Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023

Kerangka Peraturan

BAB II
TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA


Bagian Kesatu
Tindak Pidana


Paragraf 1
Umum

Pasal 12
(1)

Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/ atau tindakan.

(2)

Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundangundangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

(3)

Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.


Paragraf 2
Permufakatan Jahat

Pasal 13
(1)

Permufalatan jahat terjadi jika 2 (dua) orang atau lebih bersepakat untuk melakukan Tindak Pidana.

(2)

Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana dipidana jika ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.

(3)

Pidana untuk permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana paling banyak I /3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

(4)

Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

(5)

Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.


Pasal 14

Permufakatan jahat melakukan Tindak Pidana tidak dipidana, jika pelaku:

  1. menarik diri dari kesepakatan itu; atau

  2. melakukan tindakan yang patut untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana.


Paragraf 3
Persiapan

Pasal 15
(1)

Persiapan melakukan Tindak Pidana terjadi jika pelaku berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana berupa alat, mengumpulkan informasi atau men5rusun perencanaan tindakan, atau melakukan tindakan serupa yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian Tindak Pidana.

(2)

Persiapan melakukan Tindak Pidana dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.

(3)

Pidana untuk persiapan melakukan Tindak Pidana paling banyak l/2 (satu per dua) dari maksimum ancarnan pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

(4)

Persiapan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(5)

Pidana tambahan untuk persiapan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.


Pasal 16

Persiapan melakukan Tindak Pidana tidak dipidana jika pelaku menghentikan atau mencegah kemungkinan terciptanya kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).


Paragraf 4
Percobaan

Pasal 17
(1)

Percobaan melakukan Tindak Pidana terjadi jika niat pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan dari Tindak Pidana yang ditqju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.

(2)

Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi jika:

  1. perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditqiukan untuk te{adinya Tindak Pidana; dan

  2. perbuatan yang dilakukan langsung berpotensi menimbulkan Tindak Pidana yang dituju.

(3)

Pidana untuk percobaan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancarnan pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

(4)

Percobaan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

(5)

Pidana tambahan untuk percobaan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.


Pasal 18
(1)

Percobaan melakukan Tindak Pidana tidak dipidana jika pelaku setelah melakukan permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1):

  1. tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela; atau

  2. dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tqiuan atau akibat perbuatannya.

(2)

Dalam hal percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan mempakan Tindak Pidana tersendiri, pelaku dapat dipertanggungiawabkan untuk Tindak Pidana tersebut.


Pasal 19

Percobaan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II, tidak dipidana.


Paragraf 5
Penyertaan

Pasal 20

Setiap Orang dipidana sebagai pelaku Tindak Pidana jika:

  1. melakukan sendiri Tindak Pidana;

  2. melakukan Tindak Pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ;

  3. turut serta melakukan Tindak Pidana; atau

  4. menggerakkan orang lain supaya melakukan Tindak Pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan Kekerasan, menggunakan Ancaman Kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.


Pasal 21
(1)

Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja:

  1. memberi kesempatan, sar€rna, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau

  2. memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan.

(2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II.

(3)

Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 213 (dua per tiga) dari maksimum ancarnan pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

(4)

Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

(5)

Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.


Pasal 22

Keadaan pribadi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O atau pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat menghapus, mengurangi, atau memperberat pidananya.


Paragraf 6
Pengulangan

Pasal 23
(1)

Pengulangan Tindak Pidana terjadi jika Setiap Orang:

  1. melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau

  2. pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa.

(2)

Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lnencakup Tindak Pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III.

(3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku untuk Tindak Pidana mengenai penganiayaan.


Paragraf 7
Tindak Pidana Aduan

Pasal 24
(1)

Dalam hal tertentu, pelaku Tindak Pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan.

(2)

Tindak Pidana aduan harus ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.


Pasal 25
(1)

Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun, yang berhak mengadu merupakan Orang Tua atau walinya.

(2)

Dalam hal Orang Tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau Orang Tua atau wali itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis lurus.

(3)

Dalam hal keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derqiat ketiga.

(4)

Dalam hal Korban Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Orang Tua, wali, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas ataupun menyamping sampai derajat ketiga, pengaduan dilakukan oleh diri sendiri dan/atau pendamping.


Pasal 26
(1)

Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan berada di bawah pengampuan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi Korban Tindak Pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.

(2)

Dalam hal pengampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau pengampu itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh suami atau istri Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus.

(3)

Dalam hal suami atau istri Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.


Pasal 27

Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan meninggal dunia, pengaduan dapat dilakukan oleh Orang Tua, anak, suami, atau istri Korban, kecuali jika Korban sebelumnya secara tegas tidak menghendaki adanya penuntutan.


Pasal 28
(1)

Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut.

(2)

Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara lisan atau tertulis kepada Pejabat yang berwenang.


Pasal 29
(1)

Pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu:

  1. 6 (enam) Bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya Tindak Pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau

  2. 9 (sembilan) Bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya Tindak Pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2)

Jika yang berhak mengadu lebih dari 1 (satu) orang, tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal masing-masing pengadu mengetahui adanya Tindak Pidana.


Pasal 30
(1)

Pengaduan dapat ditarik kembali oleh pengadu dalam waktu 3 (tiga) Bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan.

(2)

Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.


Paragraf 8
Alasan Pembenar

Pasal 31

Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 32

Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan dari Pejabat yang berwenang.


Pasal 33

Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena keadaan darurat.


Pasal 34

Setiap Orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancarnan serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.


Pasal 35

Ketiadaan sifat melawan hukum dari Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayal (2) merupakan alasan pembenar.


Bagian Kedua
Pertanggungjawaban Pidana


Paragraf 1
Umum

Pasal 36
(1)

Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.

(2)

Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.


Pasal 37

Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, Setiap Orang dapat:

  1. dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsurunsur Tindak Pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan; atau

  2. dimintai pertanggungiawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang lain.


Pasal 38

Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.


Pasal 39

Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/ atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.


Paragraf 2
Alasan Pemaaf

Pasal 40

Pertanggunglawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan Tindak Pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun.


Pasal 41

Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Tindak Pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk:

  1. menyerahkan kembali kepada Orang Tua/wali; atau

  2. mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik pada tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) Bulan.


Pasal 42

Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena:

  1. dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau

  2. dipaksa oleh adanya ancarnan, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari.


Pasal 43

Setiap Orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman ser€rngan seketika yang melawan hukum, tidak dipidana.


Pasal 44

Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya, termasuk dalam lingkup pekerjaannya.


Paragraf 3
Pertanggungjawaban Korporasi

Pasal 45

Korporasi merupakan subjek Tindak Pidana. Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, badan usaha yang berbentuk lirma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 46

Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.


Pasal 47

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.


Pasal 48

Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 dapat dipertanggungjawabkan, jika:

  1. termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi;

  2. menguntungkan Korporasi secara melawan hukum;

  3. diterima sebagai kebijakan Korporasi;

  4. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/ atau

  5. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.


Pasal 49

Pertanggunglawaban atas Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dikenakan terhadap Korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/ atau pemilik manfaat Korporasi.


Pasal 50

Alasan pembenar dan alasan pemaaf yang dapat diajukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/ atau pemilik manfaat Korporasi dapat juga diajukan oleh Korporasi sepanjang alasan tersebut berhubungan langsung dengan Tindak Pidana yang didakwakan kepada Korporasi.


Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):