Perkebunan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 20 14 TENT ANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa perkebunan berperan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan; c. bahwa penyelenggaraan perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 8 Tahun 2004 tentang Perkebunan sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat, belum mampu memberikan hasil yang optimal, serta belum mampu meningkatkan nilai tambah usaha perkebunan nasional, sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perkebunan; Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 33 Undang­ Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; F>Rt.: S!DE: àhi ,ݙ,: £: .: . r· ݚ,i Et; .,. t t<, iiݘ o <: > r..: 2: s i A Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan Menetapkan MEMUTUSKAN: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKEBUNAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan.

  2. Tanaman Perkebunan adalah tanaman semusim atau tanaman tahunan yang jenis dan tujuan pengelolaannya ditetapkan untuk usaha Perkebunan.

  3. Usaha Perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/ a tau jasa Perkebunan. 4. Tanah adalah permukaan bumi, baik yang berupa daratan maupun yang tertutup air dalam batas tertentu sepan jang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung dengan permukaan bumi, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi.

  4. Hak Ulayat adalah kewenangan masyarakat hukurr adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan Tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya. -Þß t,-ݖ M __ iFiݗ. H< H-J D C; r-; £ 51 A 6. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geograf1s tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usu! leluhur, hubungan yang kuat dengan Tanah, wilayah, sumber daya alam yang memiliki pranata pemerintahan adat dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.

  5. Lahan Perkebunan adalah bidang Tanah yang digunakan untuk Usaha Perkebunan.

  6. Pelaku Usaha Perkebunan adalah peke bun dan/atau perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha Perkebunan.

  7. Pekebun adalah orang perseorangan warga negara Indonesia yang melakukan Usaha Perkebunan ci̸ngan skala usaha tidak mencapai skala tertentu.

  8. Perusahaan Perkebunan adalah badan usaha yang berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola Usaha Perkebunan dengan skala tertentu. 1 1. Hasil Perkebunan adalah semua produk Tanaman Perkebunan dan pengolahannya yang terdiri atas produk utama, produk olahan untuk memperpanjang daya simpan, produk sampingan, dan produk ikutan.

  9. Pengolahan Hasil Perkebunan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan terhadap hasil Tanaman Perkebunan untuk memenuhi standar mutu produk, memperpanjang daya simpan, mengurangi kehilangan dan/atau kerusakan, dan memperoleh hasil optimal untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi. 13 . Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  10. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang mem1mpm pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. : : ( ݐ . ݑIO[t·ݒ .-· ; rݔݕ.: _; : q-( ; : .. iA 15. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau koq: : .Jrasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

  11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perkebunan. BAB II ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN

    Pasal 2

    Perkebunan diselenggarakan berdasarkan asas:

    1. kedaulatan;

    2. kemandirian;

    3. kebermanfaatan;

    4. keberlanjutan e. keterpaduan;

    5. kebersamaan;

    6. keterbukaan;

    7. efisiensi-berkeadilan;


  12. kearifan lokal; dan J. kelestarian fungsi lingkungan hidup.

    Pasal 3

    Penyelenggaraan Perkebunan bertujuan untuk:

    1. meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;

    2. meningkatkan sumber devisa negara;

    3. menyediakan lapangan ker ja dan kesempatan usaha;

    4. meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar; ; e. meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri; PRES!DE-N f. memberikan pelindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat;

    5. mengelola dan mengembangkan sumber daya Perkebunan secara optimal, bertanggung jawab, dan !estari; dan

    6. meningkatkan pemanfaatan jasa Perkebunan.


    Pasal 4

    Lingkup pengaturan Perkebunan meliputi:

    1. perencanaan;

    2. penggunaan lahan;

    3. perbenihan;

    4. budi daya Tanaman Perkebunan;

    5. Usaha Perkebunan;

    6. pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan;

    7. penelitian dan pengembangan;

    8. sistem data dan informasi; I. J. pengembangan sumber daya manusia; pembiayaan Usaha Perkebunan;

    9. penanaman modal; I. pembinaan dan pengawasan; dan

    10. peran serta masyarakat. BAB III PERENCANAAN


    Pasal 5
    (1)

    Perencanaan Perkebunan dimaksudkan "ntuk memberikan arah, pedoman, dan alat pengendali pencapaian tu juan penyelenggaraan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 . ?RESIDEl'-..i : ,-.: _-.,_ݎ··-ݏ-?; •: -: . 11݌0Cݍ<-; .SiA (2) Perencanaan Perkebunan terdiri nasional, perencanaan provinsi, kabupaten/kota. atas dan perencanaan perencanaan (3) Perencanaan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan Pelaku Usaha Perkebunan dan peran serta masyarakat.


    Pasal 6
    (1)

    Perencanaan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan berdasarkan:

    1. rencana pembangunan nasional;

    2. rencana tata ruang wilayah;

    3. kesesuaian Tanah dan iklim serta ketersediaan lahan untuk Usaha Perkebunan;

    4. daya dukung dan daya tampung lingkungan;

    5. kinerja pembangunan Perkebunan;

    6. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

    7. kondisi ekonomi dan sosial budaya;

    8. kondisi pasar dan tuntutan globalisasi; dan


  1. aspirasi daerah dengan tetap menjunjung ',.inggi keutuhan bangsa dan negara.
    (2)

    Perencanaan Perkebunan mencakup:

    1. wilayah;

    2. Tanaman Perkebunan;

    3. sumber daya manusia;

    4. kelembagaan;

    5. kawasan Perkebunan;

    6. keterkaitan dan keterpaduan hulu-hilir;

    7. sarana dan prasarana;

    8. pembiayaan;

    9. penanaman modal; dan j . penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 7

    (1)

    Perencanaan Perkebunan merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah, dan perencanaan pembangunan sektoral.

    (2)

    Perencanaan Perkebunan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana tahunan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 8

    (1)

    Perencanaan Perkebunan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan nasional serta kebutuhan dan usulan provinsi.

    (2)

    Perencanaan Perkebunan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan nasional dan provinsi serta kebutuhan dan usulan kabupaten/kota.

    (3)

    Perencanaan Perkebunan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan provinsi dan kabupaten/ kota. Pasal 9

    (1)

    Perencanaan Perkebunan diwu judkan dalam bentuk rencana Perkebunan.

    (2)

    Rencana Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. rencana Perkebunan nasional disusun oleh Menteri; C ݊: -, ... ; ; _: ݋; __ !; -.; '..; : .r; _: ; iA b . rencana Perkebunan provinsi disusun oleh gubernur; dan

    2. rencana Perkebunan kabupaten/kota disusun oleh bupati/wali kota. Pasal 10

    (1)

    Rencana Perkebunan nasional menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan Perkebunan provinsi.

    (2)

    Rencana Perkebunan provinsi menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan Perkebunan kabupaten/kota.

    (3)

    Rencana Perkebunan nasional, rencana Perkebunan provinsi, dan rencana Perkebunan kabupaten/kota men jadi pedoman bagi Pelaku Usaha Perkebunan dalam pengembangan Perkebunan. BAB IV PENGGUNAAN LAHAN Pasal 1 1 (1) Pelaku Usaha Perkebunan dapat diberi hak atas ranah untuk Usaha Perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Dalam ha! terjadi perubahan status kawasan hutan negara atau Tanah terlantar, Pemerintah Pusat dapat mengalihkan status alas hak kepada Pekebun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12

    (1)

    Dalam hal Tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya. ; : : .: ; f݇ESIDf.݈-.1 ; ݉'·F,; : JilJl" it·( IND{),݄ •. ; f; .,݅·݆!,l\ (2) Musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 13

    Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 14

    (1)

    Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan.

    (2)

    Penetapan batasan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:

    1. jenis tanaman;

    2. ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat;

    3. modal;

    4. kapasitas pabrik;

    5. tingkat kepadatan penduduk;

    6. pola pengembangan usaha;

    7. kondisi geografis;

    8. perkembangan teknologi; dan

    9. pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang.

    (3)

    Ketentuan lebih lan jut mengenai penetapan batasan luas diatur dalam Peraturan Pemerintah.

    Pasal 15

    Perusahaan Perkebunan dilarang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan ter jadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. .݃·; ; RE: ; ; [)E!'J ·-.: ,-- '. ·: _-t: ; t.__·\V, (.},[)(); -<&: .. ^· %.'.ft-.


    Pasal 16

    (1)

    Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan:

    1. paling lambat 3 (tiga) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wa jib mengusahakan Lahan Perkebunan paling sediki, 30% (tiga puluh perseratus) dari luas hak atas tanah; dan

    2. paling lambat 6 (enam) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan seluruh luas hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami Tanaman Perkebunan.

    (2)

    Jika Lahan Perkebunan tidak diusahakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bidang Tanah Perkebunan yang belum diusahakan diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 17

    (1)

    Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

    (2)

    Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). Pasal 18

    (1)

    Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 dikenai sanksi administratif.

    (2)

    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. denda;

    2. penghentian sementara dari kegiatan usaha; dan/atau

    3. pencabutan izin Usaha Perkebunan.

    (3)

    Ketentuan lebih lan jut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB V PERBENIHAN

    Pasal 19

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi, memperkaya, memanfaatkan, mengembangkan, dan melestarikan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 20

    (1)

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan inventarisasi, pendaftaran, pendokumentasian, dan pemeliharaan terhadap sumber daya genetik Tanaman Perkebunan.

    (2)

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Pelaku Usaha Perkebunan dan/ a tau masyarakat.

    (3)

    Data dokumentasi sumber daya genetik Tanaman Perkebunan terbuka bagi Pelaku Usaha Perkebunan dan/atau masyarakat untuk dimanfaatkan dan dikembangkan.

    (4)

    Keterbukaan data dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk yang dikecualikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 2 1 (1) Pemanfaatan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 9 dila.kukan secara berkelanjutan. PR£SlDEN ; ..,{g; -: .. : ; ·1݂ •• ; F; ݁ ; ; . .z !NC/C)i'-..: .": .-: rA (2) Menteri menetapkan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan yang terancam punah dengan mempertimbangkan sifat, jumlah, dan sebarannya.

    (3)

    Pemanfaatan sumber daya genetik yang terancam punah dilakukan dengan izin Menteri. Pasal 22

    (1)

    Pemerintah Pusat mernfasilitasi pengayaan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan melalui berbagai metode dan introduksi.

    (2)

    Pemerintah Pusat memberikan kemudahan perizinan dan penggunaan fasilitas penelitian milik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk pengayaan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan. Pasal 23

    (1)

    Setiap Orang dilarang mengeluarkan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan yang terancam punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    (2)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya genetik Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 24

    (1)

    Pemerintah Pusat menetapkan jenis benih Perkebunan yang pengeluaran dari pemasukannya ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia memerlukan izin. Tan: unan dan/atau Kesatuan (2) Pengeluaran benih dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib mendapatkan izin Menteri.

    (3)

    Pemasukan benih dari luar negeri harus rnemenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal. t'..}RCS\C1E݀.t •·: : ܿ: ,: .r: ·: .._; 8 : .. .. !-<, it\i [)(JNE : : S 'lA (4) Ketentuan lebih lan jut mengenai standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

    Pasal 25

    Introduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan pelarangan pengeluaran sumber daya genetik Tanaman Perkebunan yang terancam punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 26

    Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budi daya Tanaman Perkebunan dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari luar negeri.


    Pasal 27

    (1)

    Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman.

    (2)

    Pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik dalam rangka pemuliaan tanaman dilakukan oleh Pemeri ntah Pu sat.

    (3)

    Kegiatan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau badan hukum berdasarkan izin Menteri.

    (4)

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ke wenangannya melakukan pelestarian sumber daya genetik bersama masyarakat.

    (5)

    Ketentuan mengenai tata cara pencarian, pengumpulan, dan pelestarian sumber daya genetik diatur lebih lanjut dalarn Peraturan Pemerintah. Pl'IESIDEN ; ; ; ; Lf: ': .... : Ec .. _ܾK lNDON£SiA. Pasal 28

    (1)

    Introduksi dari luar negeri dilakukan dalam bentuk benih atau materi induk untuk pemuliaan tanaman.

    (2)

    Introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, atau Pelaku Usaha Perkebunan.

    (3)

    Ketentuan Jebih lanjut mengenai introduksi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

    Pasal 29

    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, atau Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul.


    Pasal 30

    (1)

    Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh Pemerintah Pusat atau diluncurkan oleh pemilik varietas.

    (2)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan atau peluncuran diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 31

    (1)

    Varietas yang telah dilepas atau diluncurkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dapat diproduksi dan diedarkan.

    (2)

    Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum diedarkan harus dilakukan sertifikasi dan diberi label.

    (3)

    Ketentuan pelabelan, Menteri. lebih lanjut mengenai produksi, sertifikasi, dan peredaran diatur dengan Peraturan ': : : , t: .?· tܷܸ : .ܶ \ : : } : : .: : ·.; ܹ·ܺ : ·._ : ܱ ܲܳ ' . '.1·'\ ; ܴܵ ['; c-.: ' : . __ ܻ _i ; .'
    BAB VI BUDI DAYA TANAMAN PERKEBUNAN Bagian Kesatu Pembukaan dan Pengolahan Lahan Pasal 32

    (1)

    Setiap Orang yang membuka dan mengolah lahan dalam luasan tertentu untuk keperluan budi daya Tanaman Perkebunan wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup.

    (2)

    Setiap Orang yang menggunakan media tumbuh Tanaman Perkebunan untuk keperluan budi daya Tanaman Perkebunan wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya pencemaran lingkungan hid up.

    (3)

    Ketentuan mengenai tata cara mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hid up dan pencemaran lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pelindungan Tanaman Perkebunan Pasal 33

    (1)

    Pelindungan Tanaman Perkebunan dilakukan melalui pemantauan, pengamatan, dan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan.

    (2)

    Pelaksanaan pelindungan Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pelaku Usaha Perkebunan, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, dan Pemerintah Pusat.

    Pasal 34

    Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang memiliki atau menguasai Tanaman Perkebunan harus melaporkan adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan pada tanamannya kepada pejabat yang berwenang dan yang bersangkutan harus mengendalikannya.


    Pasal 35

    (1)

    Dalam rangka pengendalian organi sme pengganggu tumbuhan, setiap Pelaku Usaha Perkebunan berke wajiban memiliki standar minimum sarana dan prasarana pengendalian organisme pengganggu Tanaman Perkebunan.

    (2)

    Ketentuan mengenai standar minimum sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

    Pasal 36

    Pelindungan Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilaksanakan melalui kegiatan:

    1. pencegahan masuknya organisme pengganggu tumbuhan ke dalam dan tersebarnya dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan; dan/atau

    2. eradikasi organisme pengganggu tumbuhan.


    Pasal 37

    (1)

    Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ke wenangannya dapat melakukan atau memerintahkan dilakukannya eradikasi terhadap tanaman dan/atau benda lain yang menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan.

    (2)

    Eradikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan apabila organisme pengganggu tumbuhan tersebut dianggap sangat berbahaya dan mengancam keselamatan tanaman secara meluas.

    Pasal 38

    Ketentuan lebih lanjut mengenai peli ndungan Tanaman Perkebunan sebagaimana di maksud dalam Pasal 33 sampa1 dengan Pasal 37 diatur dengan Peraturan Menteri. ; RESifJ[N BAB VII U SAHA P E R K EBUNAN Bagian Kesatu Pelaku Usaha Perkebunan


    Pasal 39

    (1)

    Usaha Perkebunan dapat dilakukan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Pelaku Usaha Perkebunan dalam neger i atau penanam modal asing (2) Penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. badan hukum asing; atau

    2. perseorangan warga negara asi ng.

    (3)

    Penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang melakukan Usaha Perkebunan harus bekerja sama dengan Pelaku Usaha Perkebunan dalam negen dengan membentuk badan hukum Indonesia. Pasal 40

    (1)

    Pengalihan kepemilikan Perusahan Perkebunan k: pada penanam modal asing dapat dilakukan setelah memperoleh persetu juan Menteri.

    (2)

    Menteri dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kepen tingan nasional. Bagian Kedua Jenis dan Perizinan Usaha Perkebunan Pasal 41

    (1)

    Jenis Usaha Perkebunan terdiri atas usaha budi Tanaman Perkebunan, usaha Pengolahan Perkebunan, dan usaha jasa Perkebunan. daya Hasil >ܬE: FܰtJiܭLܮK lNDONt: ܯSiA (2) Usaha budi daya Tanam an Perkebunan sebagaim ana dimaksud pada ayat (1) m erupakan serangkaian kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan tanam an, pem anenan, dan sortasi.

    (3)

    Usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaim ana dim aksud pada ayat (1) m erupakan kegiatan pengolahan yang bahan baku utam anya Hasil Perkebunan unt uk m emperoleh nilai tam bah.

    (4)

    Usaha jasa Perkebunan sebagaim ana dim aksud pada ayat (1) merupakan kegiatan untuk m endukung usaha budi daya tanam an dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan.

    Pasal 42

    Kegiatan usaha budi daya Tanam an Perkebunan dan/at au usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan.


    Pasal 43

    Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dapat didirikan pada wilayah Perkebunan s wadaya masyarakat yang belum ada usaha Pengolahan Hasil Perkebunan setelah m emperoleh hak atas tanah dan izin Usaha Perkebunan.


    Pasal 44

    (1)

    Usaha budi daya Tanaman Perkebunan sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 41 ayat (1) dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan unit pengolahan hasil Tanaman Perkebunan dan/atau budi daya t ernak.

    (2)

    Usaha budi daya Tanam an Perkebunan sebagaimana dim aksud dalam Pasal 41 ayat (1) dapat dilaksanakan diversifikasi berupa agro wisata dan/atau usaha lainnya. t.: .,r.; - ܪܫ- ': .i ; : .>E.. ܧ-.<. 1-ܨܩ ; : : .: . 1_.: ,·- j.' (3) Integrasi u saha bu di daya Tanaman Perkebu nan dengan bu di daya ternak dan di versifikasi u saha haru s mengu tamakan Tanaman Perkebu nan sebagai u saha pokok.

    (4)

    Ketentu an mengenai pelaksanaan integrasi dan di versifikasi u saha diatu r dengan Peratu ran Menteri. Pasal 45

    (1)

    Untu k mendapatkan rzm Usaha Perkebu nan sebagaimana dimaksu d dalam Pasal 4 2 haru s memenu hi persyaratan:

    1. izin lingku ngan;

    2. kesesu aian dengan rencana tata ru ang wilayah; dan

    3. kesesu aian dengan rencana Perkebu nan.

    (2)

    Selain persyaratan sebagaimana dimaksu d pad a ayat (1):

    1. u saha bu di daya Perkebu nan haru s mempu nyai sarana, prasarana, sistem, dan sarana pengendalian organisme pengganggu tu mbu han; dan

    2. u saha Pengolahan Hasil Perkebu nan haru s memenu hi seku rang - ku rangnya 2 0% ( du a pu lu h perseratu s) dari keselu ru han bahan baku yang dibu tu hkan berasal dari kebu n yang diu sahakan sendiri. Pasal 4 6 Jenis Tanaman Perkebu nan pada u saha bu di daya Tanaman Perkebu nan sebagaimana dimaksu d dalam Pasal 41 ayat (!) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 4 7 (1) Peru sahaan Perkebu nan yang melaku kan u saha bu di daya Tanaman Perkebu nan dengan lu asan s k a l a tertentu dan/atau u saha Pengolahan Hasil Perkebu nan c1NJngan kapasitas pabrik tertentu wa jib memiliki izin Usaha Perkebu nan.

    (2)

    Izin Usaha Perkebunan mempertimbangkan:

    1. jenis tanaman; diberikan b. kesesuaian Tanah dan agroklimat;

    2. teknologi;

    3. tenaga kerja; dan

    4. modal.

      Pasal 48

      dengan (!) Izin Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) diberikan oleh:


    5. gubernur untuk wilayah lintas kabupaten/kota; dan

    6. bupati/ wali kota untuk wilayah dalam suatu kabupaten/kota.

    (2)

    Dalam ha! lahan Usaha Perkebunan berada pada 'vilayah lintas pro vinsi, izin diberikan oleh Menteri.

    (3)

    Perusahaan Perkebunan yang telah mendapat izin Usaha Perkebunan wa jib menyampaikan laporan perkembangan usahanya secara berkala sekurang - kurangnya 1 ( satu) tahun sekali kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

    (4)

    LuDorzm perk6mbJngan usaha secara bcrketL, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga disampai kan kepada Menteri.

    Pasal 49

    Ketentuan lebih lan jut mengenai syarat dan tata cara pemberian izin Usaha Perk ebunan, luasan lahan tertentu untuL ·.1saha budi daya Tanarnan Perkebunan, dan kapasitas pabrik tertentu untuk usaha Pengolahan Hasi l Perkebunan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 4 1 sampai dengan Pasal 48 diatur dalam Peraturan Pemerintah. ',._ I Pasal 50 Menteri, gubern l r, dan bupati/wali kota yang berwenang menerbitkan izin Usaha Perkebunan dilarang:

    1. menerbitkan 1zm yang tidak sesuai peruntukan: dan/atau ' b. menerbitkan \ izin yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan pei\aturan perundang-undangan. I ! ; B , gian Ketiga Pemberdaya l n Usaha Perkebunan r asal 51 (1) Pemerintah  sat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangann y a berkewajiban menyelenggarakan pemberdayaary Usaha Perkebunan. I (2) Pemberdayaary Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud p 1 da ayat (1) dapat dilakukan dengan melibatkan m f syarakat.


    (3)

    Pemberdayaa 9 sebagaimana dimaksud pad a ayat (I) meliputi: l a. menyeleng ¥ ^arakan pendidikan dan pelatihan sumber daya man t: \ sia Perkebunan;

    1. memfasilitasi sumber pembiayaan/permodalan;

    2. menghindari pengenaan biaya yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

    3. memfasilitasi pelaksanaan ekspor Hasil Perkebunan;

    4. mengutamakan Hasil Perkebunan dalam neger: untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri;

    5. mengatur pemasukan dan pengeluaran Hasil Perkebunan;

    6. memfasilitasi aksesibilitas ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi;

    7. memfasilitasi akses penyebaran informasi dan penggunaan benih unggul; '; _, ' 1. memfasilitasi penguatan kelembagaan Pekebun; dan/atau

    8. memfasilitasi jaringan kemitraan antarPelaku Usalia Perkebunan.

      Pasal 52

      Pemerintah Pusat memfasilitasi terbentuknya dewan komoditas yang berfungsi sebagai wadah untuk pengembangan komoditas Perkebunan strategis tertentu bagi seluruh pemangku kepentingan Perkebunan.


      Pasal 53

    (1)

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong terbentuknya kelembagaan Pelaku Usaha Perkebunan.

    (2)

    Kelembagaan sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pemberdayaan petani.

    Pasal 54

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memfasilitasi pemberda yaan Pekebun, kelompok Pekebun, koperasi, serta asosias1 Pekebun untuk mengembangkan Usaha Perkebunan.


    Pasal 55

    Setiap Orang secara tidak sah dilarang:

    1. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;

    2. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/ a tau menguasai Tanah mas yarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;

    3. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau

    4. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan.


    Pasal 56

    (1)

    Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.

    (2)

    Setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun.

    (3)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan lahan tanpa membakar diatur dengan Peraturan Menteri. B agian Keempat Kemitraan Usaha Perkebunan Pasal 57

    (1)

    Untuk pemberdayaan Usaha Perkebunan, Perusahaan Perkebunan melakukan kemitraan Usaha Perkebunan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, serta saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan Pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar Perkebunan.

    (2)

    Kemitraan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) dapat berupa pola kerja sama:

    1. penyediaan sarana produksi;

    2. produksi;

    3. pengolahan dan pemasaran;

    4. kepemilikan saham; dan

    5. jasa pendukung lainnya.

    (3)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 58. SiA Pasal 5 8 (1) Perusahaan Perkebunan yang memiliki 1zm Usaha Perkebunan atau izin Usaha Perkebunan untuk budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan.

    (2)

    Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui po la kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Kewajiban memfasilitasi pernbangunan kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan.

    (4)

    Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan '.: epada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Pasa!59 Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 6 0 (1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi administratif.

    (2)

    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. denda;

    2. pemberhentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan/atau

    3. pencabutan izin Usaha Perkebunan. REPtJBLIK lNDOܥ-JE.S!A (3) Ketentuan lebih lanjut mengena1 Jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. B agian Ke!ima Kawasan Pengembangan Perkebunan Pasal 6 1 (1) Pengembangan Perkebunan dilakukan secara terpadu dengan pendekatan kawasan pengembangan Perkebunan.

    (2)
    (2)

    Kawasan pengembangan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi antara lokasi budi daya Perkebunan, Pengolahan Hasi l Perkebunan, pemasaran, serta penelitian dan pengembangan sumber daya manusia.

    (3)

    Kawasan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terhubung secara fungsional yang membentuk kawasan pengembangan Perkebunan kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.

    (4)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan pengembangan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. B agian Keenam Pengembangan Perkebunan B erkelanjutan Pasal 6 2 (1) Pengembangan Perkebunan diselenggarakan secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspek:

    1. ekonomi;

    2. sosial budaya; dan

    3. ekologi.

    (2)

    Pengembangan Perkebunan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi prinsip dan kriteria pembangunan Perkebunan berkelanjutan. FlR(SIDE1'! REFJUBLtl'. lhJ[)(!''-1E.S'. ·: .\ (3) Ketentuan Perkebunan Pemerintah. Jebih Janjut berkelanjutan mengenai pengembangan diatur dalam Peraturan B agian Ketujuh Pelindungan Wilayah Ge ografis yang Mempr oduksi Hasil Perkebunan Spesifik Pasal 63

    (1)

    Pemerintah Pusat melindungi kelestarian wilayah ge ografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik.

    (2)

    Setiap Pelaku U saha Perkebunan dilarang mengalihfungsikan Lahan Perkebunan di dalam wilayah ge ografis yang mempr oduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik. Pasal 64

    (1)

    Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dikenai sanksi administratif.

    (2)

    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. denda;

    2. perriberhentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan/atau

    3. pencabutan izin Usaha Perkebunan.

      Pasal 65

      Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, Pelaku Usaha Perkebunan yang me!anggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) wajib mengembalikan fungsi Lahan Perkebunan dalam wilayah ge ografis. REPLJEtL_I; .<: , INO(J!'·r·Eܤ; IA


      Pasal 66

      Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah. B agian Kedelapan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup


      Pasal 67

    (1)

    Setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.

    (2)
    (2)

    Kewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundan g­ undangan.

    (3)

    Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , se">elum memperoleh izm Usaha Perkebunan, Perusahaan Perkebunan harus:

    1. membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup;

    2. memiliki analisis dan manajemen risiko bagi yan g menggunakan hasil rekayasa genetik; dan

    3. membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tan ggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran.

    (4)

    Setiap Perusahaan Perkebunan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak permohonan izin usahanya. REPUELJr<, (f.JD': )i',; Fܣ-; ,;

    Pasal 68

    Setelah memperoleh izin usaha perkebunan sebagaimana dimak: sud dalam Pasal 67 ayat (3), Pelaku Usaha Perkebunan wajib menerapkan:

    1. analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup;

    2. analisis risik o lingkungan hidup; dan

    3. pemantauan lingkungan hidup.


    Pasal 69

    (1)

    Setiap Perusahaan Perkebunan wajib membangun sarana dan prasarana di dalam kawasan Perkebunan.

    (2)

    Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

    (3)

    Ketentuan mengenai sarana dan prasarana di dalam kawasan Perkebunan diatur Pemerintah. Pasal 7 0 (1) Setiap Perusahaan Perkebunan ketentuan sebagaimana dimak: sud dikenai sanksi administratif. dalam Peraturan yang melanggar dalam Pasal 69 (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. denda;

    2. pemberhentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan/atau

    3. pencabutan izin usaha perkebunan.

    (3)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. PRES!OEN REPL'BLH..Z !t!Ot)ܡ,: ; _: : : : : ܢ!£\ B agian Kesembilan Harga K om oditas Perkebunan Pasal 7 1 (1) Pemerintah Pusat berkewajiban menciptakan k ondisi yang menghasi!kan harga k om oditas Perkebunan yang menguntungkan bagi Pelaku Usaha Perkebunan.

    (2)

    Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

    1. penetapan harga untuk k omoditas Perkebunan tertentu;

    2. penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif;

    3. pengaturan kelancaran distribusi Hasil Perkebunan; dan/atau

    4. penyebarluasan informasi perkembangan harga komoditas Perkebunan.

    (3)

    Ketentuan mengenai kewajiban menciptakan k ondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan. BAB VI II PENGO L A H AN D AN PE M A S ARAN H ASIL PER KEBUNAN B agian Kesatu Peng olahan Hasil Perkebunan Pasal 72

    (1)

    Usaha Peng olahan Hasil Perkebunan dilakukan untuk memper oleh nilai tambah.

    (2)

    Usaha Peng olahan Hasil Perkebunan dilakukan rnelalui kegiatan panen dan pascapanen yang baik.

    (3)

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dalam rangka pengembangan panen dan pascapanen Perkebunan. F1R ES! DE f\l REPUBUK lܟIDOܠJES!t\ (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kegiatan panen dan pascapanen yang baik diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 7 3 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dalam rangka pengembangan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan.

    (2)

    Usaha Pengo lahan Hasil Perkebunan dilakukan di dalam kawasan pengembangan Perkebunan secara terpadu dengan usaha budi daya Tanaman Perkebunan.

    (3)

    Ketentuan mengenai pembinaan dan keterpaduan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan usaha budi daya Tanaman Perkebunan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 7 4 (1) Setiap unit Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah unit pengolahannya beroperasi.

    (2)

    Ketentuan mengenai jenis Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 75

    (1)

    Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 4 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

    (2)

    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. denda;

    2. pemberhentian sementara dari kegiatan, produ ksi, dan/atau peredaran hasil usaha industri;

    3. ganti rugi; dan/atau

    4. pencabutan izin usaha. REi ^. : !L.JBL_i,'o lNi.JC)l···C-Sr/1..

    (3)

    Ketentuan lebih lanjut mengena1 Jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana diTTiaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pemasaran Hasil Perkebunan Pasal 76

    (1)

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi kerja sama antara Pelaku Usaha Perkebunan, asosiasi pemasaran, asosiasi komoditas, dewan komoditas, kelembagaan lainn ya, dan/atau masyarakat.

    (2)

    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada a yat (1) di lakukan dengan men yelenggarakan informasi pasar, promosi, dan menumbuhkembangkan pusat pemasaran komoditas Perkebunan, baik di dalam maupun di luar negeri.

    Pasal 77

    Setiap Orang dalam melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran Hasil Perkebunan dilarang:

    1. memalsukan mutu dan/atau kemasan Hasil Perkebunan;

    2. menggunakan bahan penolong dan/atau bahan tambahan untuk pengolahan; dan/atau

    3. mencampur Hasil Perkebunan dengan benda atau bahan lain; yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, ·merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.


    Pasal 78

    Setiap Orang dilarang menadah hasil Usaha Perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian. REF·t.JOL_!ܞ<.. Ji'J: : : - ).: J . . ܜ: ܝ: .. f,,: i.


    Pasal 79

    Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang mengiklankan hasil Usaha Perkebunan yang menyesatkan konsumen. Pasal 8 0 Pemasaran Hasil Perkebunan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidan g perdagangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang 1n 1. BA B IX PENELITI AN D AN PENGEMBAN G AN


    Pasal 81

    Penelitian dan pengembangan Perkebunan dimaksudkan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan Usaha Perkebunan agar memberikan nilai tambah, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan dengan menghargai kearifan !aka!.


    Pasal 82

    (1)

    Penelitian dan pengembangan Perkebunan dapat dilaksanakan oleh perseorangan, badan usaha, perguruan tinggi, serta lembaga penelitian dan pengembangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

    (2)

    Perseorangan, badan usaha, perguruan tinggi, serta lembaga penelitian dan pengembangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan:

    1. sesama pelaksana penelitian dan pengembangan;

    2. Pelaku Usaha Perkebunan;

    3. asosiasi komoditas Perkebunan; REPLlBLiK iNDOf,_: ESܛA d. organisasi profesi terkait; dan/atau

    4. lembaga penelitian dan pengembangan Perkebunan a sing.

    (3)

    Kerja sama dengan lembaga penelitian dan pengembangan Perkebunan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri. Pasal 83

    (1)

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyedi akan fasilitas untu k menduku n g penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Perkebunan.

    (2)

    Penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat ( l) berupa:

    1. perizinan penelitian;

    2. kemudahan pemasukan sarana dan prasarana penelitian dari luar negeri; dan

    3. penggunaan sarana dan prasarana penelitian dari luar negeri. Pasal 8 4 Dalam mendukung penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 3 , Pelaku Usaha Perkebunan menyediakan fasilitas berupa:

    4. kemudahan perizinan penelitian;

    5. penggunaan sarana dan prasarana Perkebunan untuk penelitian; dan

    6. kemudahan akses data yang tidak bersifat rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan perun dang- undangan. .''.-.!r< ii'ܚ[.)(): ·ܙ_: : : _ 1A. Pasal 85

    (1)

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mendorong pemangku kepentingan di bidang Perkebunan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melakukan penelitian dan pengembangan teknologi Perkebunan.

    (2)

    Perseorangan warga negara asing dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan asing yang akan me lakukan penelitian dan pengembangan Perkebunan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari instan si Pemerintah Pusat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. B A B X SI S TEM DATA DAN I NF OR MA SI Pasal 86

    (1)

    Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewa jiban membangun , menyusun, mengembangkan, dan menyediakan sistem data dan informasi Perkebunan yang terintegrasi.

    (2)

    Sistem data dan in formasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit digunakan untuk keperluan:

    1. perencanaan;

    2. pemantauan dan evaluasi;

    3. pengelolaan pasokan dan permintaan produk Perkebunan; dan

    4. pertimbangan penanaman modal.

    (3)

    Pengembangan dan penyediaan sistem data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang data dan informasi Perkebunan.

    (4)

    Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada a_,·at (3) paling sediki t berupa:

    1. letak dan luas wilayah, kawasan, dan budi daya Perkebunan;

    2. ketersediaan sarana dan prasarana Perkebunan;

    3. prakiraan iklim ". .\A c. prakiraan iklim;

    4. izin Usaha Perkebunan dan status hak Lahan Perkebunan;

    5. varietas tanaman;

    6. peluang dan tantangan pasar;

    7. permintaan pasar;

    8. perkiraan pr oduksi;

    9. perkiraan pas okan; dan J. perkiraan harga.

    (5)

    Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan pemutakhiran data dan informasi secara berkala.

    (6)

    Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 87

    (1)

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin kerahasiaan data dan informasi Pelaku Usaha Perkebunan.

    (2)

    Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kategori yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BA B XI PEN GE MBANGAN S U M B ER DAYA M AN U S I A Pasal 88

    (1)

    Sumber daya manusia Perkebunan meliputi aparatur, Pelaku Usaha Perkebunan, dan masyarakat Perkebunan.

    (2)

    Pengembangan sumber daya manus1a Perkebunan dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, dan/ a tau metode pengembangan lainnya.

    (3)

    Pengemba: P R E S I D E: ܕ; R E P f.. ! 8 L. / ܖ( i ܔ·i L") (·"-, ' : ܓ.- i ;

    (3)

    Pengembangan sumber daya manusia Perkebunan sebagaimana dimaksud pada aya t (2) bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profe sionalisme, kemandirian, dan ded i kasi. Pasal 89

    (1)

    Pengembangan sumber daya manusia Perkebunan sebagaima na dimaksud dalam Pasal 88 dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, Pelaku U saha Perkebu ? ^an, dan masyarakat Perkebunan.

    (2)

    Pengembangan sumber daya manusra Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri. Pasal 9 0 (1) Pengembangan sumber daya manusia Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilaksanakan secara sendiri-sendiri atau bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

    (2)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumbe r daya manusia Perkebunan diatur dengan Pera t uran Menteri. Pasal 9 1 (1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, dan Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban menyelenggarakan pen y uluhan Perkebunan.

    (2)

    Penyuluhan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyuluh bersertifi kat.

    Pasal 92

    Penyelenggaraan penyuluhan Perkebunan di l aksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan pe rundang-undangan. P R F S I D lc ''i R E P Ll B L ! !•<..'_ f i! t: J ·.: ܒ-·: : : ; / \ B AB XI I PEM B I AYAAN U S AH A P E RKEBUN AN Pasal 9 3 (1) Pe mbiayaa n Usaha P e rke bu n a n ya n g dilakuka n ol e h Pe m e rintah Pusat b e rsumb e r dari a n ggara n p en dapatan da n b e la nja ne gara.


    (2)

    Pe mbiayaa n p en y e l en ggaraa n P e rke bu n a n yan g di lakuka n o leh P e m e rintah Da e rah se suai d en ga n ke w en a n ga nn ya b e rsumbe r dari a n ggara n pen dapata n dan b e la n ja da e rah.

    (3)

    P e mbiayaa n Usaha P e rkebu n a n yan g dilakuka n ol e h P elaku Usaha P e rke bu n a n b e rsumb e r dar i pen ghimpu n a n da n a P e laku Usaha Pe rke bu n a n, dan a l e mbaga pe mbiayaa n, da n a masyarakat, da n da n a lain yan g sah.

    (4)

    P en ghimpu n a n da na dari Pe laku Usaha Pe rke bu n an s e bagaima n a dimaksud pada ayat (3) digu n aka n u n tuk pen g e mba n ga n sumb e r daya ma n usia, p ene litia n da n pen g e mban ga n , promosi P e rke bun a n, pe r e majaan T a n ama n P e rk e bu n a n, da n/ atau sara n a da n prasara n a Pe rke bu n a n .

    (5)

    K et en tua n l e bih la njut m en g en ai pen ghimpu n a n da n a dari P e laku Usaha P e rk e bu n a n , l e mbaga pe mbiayaan , dan masyarakat sebagaima na dimaksud pada ayat (4) diatur da lam P e ra tura n Pe m e rin tah. Pasal 9 4 (1) Pe me ri n tah Pusat da n P e m e rintah Da e rah se suai den ga n ke w en a n ga nn ya m en doro n g da n m e mfasilitasi t e rb entuk n ya l e mbaga k e uan gan P e rkebu n a n b e rdasa rkan kebutuha n da n karakt e ristik Usaha Pe rkebu n a n s e suai d en ga n k e t en tua n p e raturan pe ru n da ng- u n da n ga n .

    (2)

    Pe mbiayaa n yang b e rsumbe r dari P e me rin tah Pusat dan Pe m e ri nt ah Dae rah se sua i d en ga n ke w en a n ga nn ya s e bagaima n a dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) da n ayat (2) diutamaka n u nt uk P e k e bun. P R L S l D E f"܏1 R E P LJ 8 L ! tܐܑ I N D () ! , ܎· : . : , ܍ BA B XI II PENANA M A N MO D A L Pasal 95

    (1)

    Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Perkebunan melalui penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing.

    (2)

    Pengembangan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan melalui penanaman modal dalam negeri.

    (3)

    B esaran penanaman modal asing sebagaimana dimaksu d pada ayat (1) wajib dibatasi dengan memperhatikan kepentingan nasional dan Pekebun.

    (4)

    Pembatasan penanaman modal as i ng sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan jenis T anaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu.

    (5)

    Ketentuan mengenai besaran penanaman modal asi ng, jenis T anaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu diatur dengan Peraturan Pemerint.-.: 1 . BA B XIV PE M B I NAAN D A N PENG A W A S A N B agian Kesatu Pembinaan Pasal 96

    (1)

    Pembinaan Usaha Perkebunan dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

    (2)

    Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. perencanaan;

    2. pelaksanaan Usaha Perkebunan; P R E S I D E N R E F -l lJ 8 L l K ! N D C )f-: f : ) t !܌ - 39 - c. pengo la han dan pemasaran Has i l Perkeb u nan ;

    3. penel i t i an dan pengembangan ;

    4. pengembanga n s u mber daya man u sia ;

    5. pemb i ayaaan Usaha Perkeb u nan ; dan

    6. pember i an rekomendasi penanaman modal. Pasal 97

    (1)

    Pemb i naa n teknis u n tu k Per u sahaan Perkeb u nan mili k negara , s wasta dan/at a u Pekeb u n dilak u ka n oleh Menteri.

    (2)

    E val u as i atas k i ner j a Per u sahaan Perkeb u nan mil i k negara dan/ ata u s wasta d i laksanakan melal u i penilaian Usaha Perkeb u nan secara r u t i n dan / ata u se waktu­ wakt u.

    (3)

    Ketent uan leb i h lan j u t mengena i pembinaan t e knis dan pen i la i an Usaha Perkeb u nan d i at u r dalam Perat u ran Pemer i ntah. B ag i an Ked u a Penga wasan Pasal 98

    (1)

    Penga wasan d i lak u kan u nt u k men j amin penegakan h u k u m dan terselenggaranya Us a ha Perkeb u nan .

    (2)

    Penga wasan sebagaimana d i maks u d pada ay "t (1) d i laksanakan se c ara berjen jang oleh Pemer i nt ah P u sat dan Pemer i ntah D aerah ses u ai dengan ke wenangannya dengan mel i batkan pera n serta masyarakat. P R E S i D [ i'>< P. E F: lJ _! 8 '. '. Y ܊ ! l,HJ '·: ,

    Pasal 99

    ' I ,., • /- ' .


    (1)

    Pe ngawasa n sebagaima n a dimaksud dalam Pasal 98 dilakuka n melalui:

    1. pelapora n dari Pelaku Usaha Perkebu na n ; da n /atau b. pema n taua n da n e v aluasi terhadap pelaksa n aa n dan hasil Usaha Perkebuna n .

    (2)

    Dalam ha! ter ten tu pe n gawasa n dapat dilakuka n melalui pemeriksaa n terhadap proses dan Hasil Perkebu n a n .

    (3)

    Pelapora n sebagaima n a dimaksud pada ayat (1) h uru f a merupaka n i nfo rmasi publik yang diumumkan da n dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai de n gan kete ntua n peratura n perun dan g-u n dan ga n .

    (4)

    Pema ntaua n da n e valuasi sebagaima n a dimaksud pada aya t (1) huruf b dilakuka n den ga n me n gamati dan memeriksa kesesuaia n laporan de n ga n pelaksa naa n di lapa n ga n .

    (5)

    Keten tua n lebih la n jut me n gen ai persyaratan dan tata cara pen gawasa n diatur de ngan Peratura n Me n teri. BA B XV PERAN S ERTA M A SY A RA K A T Pasal 10 0 (1) Pe n yele n ggaraa n Perkebuna n dilaksa n aka n den gan meliba tka n pera n serta masyarakat.

    (2)

    Pera n serta masyarakat sebagaima n a dimaksud pada aya t (1) dilakuka n dalam hal:

    1. penyusu n a n peren can aa n ;

    2. pen gemba n ga n kawasa n ;

    3. pe n elitian da n pen gemba n ga n ;

    4. pembiayaa n ; P R E S I D E l'1 R E P U 2 U K i N D O l'·' E. S i/,, e . p e mb e rdayaan ;

    5. p e nga wasan ;

    6. p e ng e mbangan sist e m data dan in fo rmasi ;

    7. p e ng e mbangan k e l e mbagaan ; dan / ata u i. p e nyus u nan P e rk e b u nan. p e doman p e ng e mbangan Usaha (3) P e ran s e rta masyarakat s e bagaimana dimaks u d pada ayat (2) dapat dilak u kan dalam b e nt u k p e mb e rian u s u lan , tanggapan , p e nga ju an k e b e ratan, saran p e rbaikan, dan/ata u bant u an. Pasal 10 1 K e t e nt u an l e bih lanj u t m e ng e nai p e ran s e rta masyarakat diat u r d e ngan P e rat u ran M e nt e ri. BAB XVI P E N YID I KAN Pasal 102

    (1)

    S el ain p e nyidik p e jabat K e polisian N e gara R e p u bik Indon e sia , p e jabat p e ga wai n e g e ri sipil t e rt e nt u yang l ingk u p t u gas dan tanggung ja wabnya di bidang P e rk e b u nan ju ga dib e ri w ew e nang kh u s u s s e bagai p e nyidik p e ga wai n e g e ri sipil s e bagaimana dimaks ud da l am u ndang -u ndang t e ntang h u k u m acara pidana u n tu k m e lak u kan p e nyidikan ti ndak pi dana di bi dang P e rk e b u nan .

    (2)

    P e nyidik p e ga wai n e g e r i sipil s e baga i mana di mak s ud pada ayat (1) b e r w e nang u nt u k :

    1. m el ak u kan p e m e riksaan atas k e b e naran laporan atau k e t e rangan yang b e rk e naan d e ngan tindak pidana di bidang P e rk e b u nan ; PE! E: . S ! [) i: : ; ,,1 R E l܈71 , ! [·J L_ l f-" H'.J r"J ܉) ; . b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang Perkebunan;

    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Perkebunan;

    3. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan pengembangan Perkebunan;

    4. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang Perkebunan;

    5. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Perkebunan;

    6. membuat dan menanda tangani berita acara;

    7. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang Perkebunan; dan I . meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang Perkebunan.

    (3)

    Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pe jabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    (4)

    Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (5)

    Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan per ...indang-undangan. F- ' R E S I D [ i'-1 R E P L! B L. ! f'. ; (\J O O i·.: c ·: : f/.; . (6) Pengangkatan pejabat penyid i k pegawai negeri sipil, tata cara, dan proses penyidikan dilaksanakan sesuai denga n ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XVII KETENT U AN PID ANA

    Pasal 103

    Set iap pejabat yang menerbitkan izin Usaha Perkebunan d i atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebaga i mana di maksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipida n a dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak R pS . 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0 0 , 0 0 (lima ,niliar rup i ah) . Pasal 10 4 Set i ap Orang yang mengeluarkan sumber daya geneti k Tanaman Perkebunan yang terancam punah d an/ atau ya n g dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah N egara Kesatuan R epubl i k I ndonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara pali n g lama 5 (lima) tahun dan denda paling banya k R p S . 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0 0, 0 0 (lima miliar rupiah) .


    Pasal 105

    Setiap Per usahaan Perkebuna n yang melakukan usaha bu d i daya Tanaman Perkebunan dengan luasa n skala terte n tu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu ya n g tidak memiliki izin Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak R pl 0 . 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0 0 , 0 0 (sepuluh miliar rupiah) . PR E S I D E l\J R E F- .., U E J f _ l l-<". ! r--. J [) () i - '. ^· .. ܆!'- Pasa l 106 Menteri, gubernur dan bupati/wali kota yang ber w enang menerbitkan izin usaha perkebunan yang:

    1. menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan per u ntukan; dan/atau

    2. menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dip i dana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 5. 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0 0 , 0 0 (lima miliar rupiah) .


    Pasal 107

    Setiap O rang secara tidak sah yang:

    1. mengerjakan, mengg u nakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;

    2. mengerjakan, menggu nakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;

    3. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau

    4. memanen dan/atau memungu t Hasil Perkebunan; sebagaimana dimaksud da lam Pasal 55, dipidana dengan pidana pen j ara pa ling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp4 . 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0 0 , 0 0 (empat miliar rupiah) .


    Pasal 108

    Setiap Pelaku Usaha Perkebunan y an g membuka dan/atau mengolah la h an dengan cara membakar sebagaiman a dimaksud dalam Pasa l 56 ayat (1) dipidana dengan pidana p en j ara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rpl 0 . 0 0 0 . 0 0 0 . 0 0 0 , 0 0 (sepuluh miliar rupiah) . PRE S I D E N R E P t.J B L ! K f f.J [) Q 1',. [ S LL\


    Pasal 109

    Pelaku Usaha Perkebunan yang tidak menerapkan:

    1. analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup; b . analisis risiko lingkungan hidup; dan

    2. pemantauan lingkungan hidup; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) . Pasal 1 10 Setiap Orang yang dalam pengolahan, peredaran, dan/ a tau pemasaran Hasil Perkebunan yang melakukan:

    3. pemalsuan mutu dan/atau kemasan Hasil Perkebunan;

    4. penggunaan bahan penolong dan/atau bahan tambahan untuk pengolahan; dan/atau

    5. pencampuran Hasil Perkebunan dengan bendL atau bahan lain; yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hid up, dan/ a tau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5. 000.000.000,00 (lima miliar rupiah) . Pasal 1 1 1 Setiap Orang yang menadah hasil Usaha Perkebunan yang diperoleh dari pcnjarahan dan/atau pencurian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tu juh) tahun dan denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). PR E S I D E N R E P LJ B L ! K l f'.! D ' : )!-,_ [ S i A Pasal 1 12 Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang mengiklankan hasil Usaha Perkebunan yang menyesatkan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dipidana dengan pidana pen jara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 1 13 (1) Dalam ha! perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 1 03, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 1 07, Pasal 1 08, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum di tarn bah 1 /3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing tersebut.


    (2)

    Dalam ha! perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 1 05, Pasal 106, Pasal 1 07 , Pasal 1 08, dan Pasal 109 dilakukan o!eh pejabat sebagai orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan di bi dang Perkebunan , pejabat tersebut dipidana dengan pidana sebagaimana ancaman pidana dalam Undang-Undang ini ditambah 1 / 3 ( sepertiga). BAB XVIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 1 14 (1) Perusahaan Perkebunan yang telah melakukan Usaha Perkebunan sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum rnemiliki izin Usaha Perkebunan, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang ini, wa jib memiliki izin Usaha Perkebunan. F1R E : ܃ ܄ ! ; : ) E_ f ^· ·J R E P L: E L. .. ! K . H,J D C/ f -·· ·- , _t ܅ (2) Perusahaan Perkebunan yang telah melakukan Usaha Perkebunan dan telah memiliki izin Usaha Perkebunan yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini diberi waktu paling lama 5 (lima) tahun untuk melaksanakan penyesuaian sejak Undang-Undang ini berlaku.

    (3) Untuk penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, penanam modal asing wajib menyesuaikan setelah masa berlaku hak guna usaha berakhir. BAB XIX KETENTUAN PENUTUP Pasal 1 1 5 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang­ Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 25 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 1 1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 1 16 Pada saat Undang-Undang m1 mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perkebunan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 1 1 7 Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Undang-undang diundangkan. Pasal 1 18 ini mulai berlaku pad a tanggal i·J R E ܼ; J C.> L l'·I R E ; : -: : tt • r: ] ܂ . ܀: ܁. ; ܽi r: , : ·i '.·· .- Agar setiap orang mengetahuinya, pengundangan Undang-Undang ini dengan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta memerintahkan penempatannya pada tanggal 17 Oktober 2014 ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 20 14 MENTERl HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 308 I . UMUM P R E: S I D E N R E P U 8 l. J i"" ۿ ! f'·J O C)/' ·,: : · r .: : .. \ /۾ . PEN J E L A S AN A TAS UN D ANG-UN D AN G REPUBLIK I N D ONESIA NOMOR 39 TAHUN 2014 TEN T AN G PER KE BUN AN In don es ia s ebagai n egara agraris m em iliki s um ber daya al arn m elim pah, terdiri dari bumi, air, da n kekayaa n alam yan g terka n dun g d i dalamn ya. Pote ns i ters ebut m erupaka n karu n ia da n am an at T uha n Yang M aha Es a, yang haru s dipergu n aka n u n tuk m ewujudka n kes e j ahteraan um um dan kemakm ura n rakyat, sebagaiman a am a n at Pa nc as ila dan U n da n g-Un da n g Das ar Negara Republik In do n es ia T ahu n 1 945 . Pote nsi s umber daya alam dim aks ud, s a ngat pen tin g digu n akan u n t u k pe n gem ba ngan Perkebu n an di Indo n es ia. Dalam ran gk a pe n gembangan Perkebunan, telah dibe n tuk Un dan g­ Un dan g Nom or 1 8 T ahun 2004 te n ta n g Perkebu n a n . Pe n gatura n ters ebut m eliputi pere n ca n aan Perkebu n a n, pe n ggu n aa n Ta n ah un tuk Us aha Perkebu n an, pemberdayaan dan pe n gelolaa n Us aha Perkebu n a n , pe n golaha n da n pem a s ara n Has il Perkebu n a n , pen elitia n dan pe ngemba n ga n Perkebu n a n , pe ngemban gan s um ber daya m a n usia Perkebu n a n , pembiayaa n Us aha Perkebun a n, s erta pem bi n aa n dan pe n gawa s a n Us aha Perkebu n a n . Nam u n dalam perkemba nga nn ya, U n dan g-Un dan g Nom or 18 Tahun 2004 tenta n g Perkebu n a n s udah tidak s e s uai den gan di n am ika dan kebutuha n hukum m as yarakat, belum m am pu m em berika n has il ya ng optim al, s erta belum m am pu m en i n gkatka n nilai tam bah U s aha Perkebu n a n n a s ion al. Oleh kare n a itu, U n da n g-Un da n g Nom or 1 8 Tahun 2004 te n tan g Perkebun a n perlu diga n ti, agar dapat m em e n uhi perubaha n paradigma pen yele nggaraa n Perkebu n a n , m e n a n ga n i ko nflik s e ngketa Lahai1 Perkebu n a n , pem batas a n pe n a n am a n m odal as in g, kewa j iba n m em ba ngun clan menyiapkan sarana da n pras ara n a Perkebu n a n , iz1n U s aha Perkebu n a n , s is tem data da n i nfo rm a s i, da n s a n k s i bagi pejabat. t ۼR E S I D E f۽ R E P U EJ L : J-<: li'JC • C) i··.: L , : ,. Tu juan penyelenggaraan Perkebunan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, meningkatkan sumber devisa negara, menyediakan lapangan ker ja dan kesempatan usaha, meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar, meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri, memberikan pelindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat, mengelola dan mengembangkan sumber daya Perkebunan secara optimal, bertanggung jawab, dan lestari, dan meningkatkan pemanfaatan jasa Perkebunan. Penyelenggaraan Perkebunan tersebut didasarkan pada asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlan jutan keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Adapun lingkup pengaturan penyelenggaraan Perkebunan meliputi: perencanaan, penggunaan lahan, perbenihan, budi daya Tanaman Perkebunan, Usaha Perkebunan, pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan, penelitian dan pengembangan, sistem data dan informasi, pengembangan sumber daya manusia, pembiayaan Usaha Perkebunan, penanaman modal, pembinaan dan pengawasan, dan peran serta masyarakat. II . PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan "asas kedaulatan" adalah penyelenggaraan Perkebunan harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi kedaulatan Pelaku Usaha Perkebunan yang memiliki hak untuk mengembangkan dirinya. Huruf b Yang dimaksud dengan "asas kemandirian" adalah penyelenggaraan Perkebunan harus dilaksanakan secara independen dengan mengutamakan kemampuan sumber daya dalam negeri. Huruf c Yang dimaksud dengan "asas kebermanfaatan" adalah penyelenggaraan Perkebunan dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran dan kese jahteraan rakyat. Huruf d P R E S I D E l'J R EP LJ B L ! K ! N D O ۻ·.i E S ! A . Yang dimaksud dengan "asas keberlanjutan" a  alah penyelenggaraan Perkebunan harus dilaksanakan secara kons1sten dan berkesinambungan dengan memanfaatkan sumber daya alam, menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, dan memperhatikan fungsi sosial budaya. Huruf e Yang dimaksud dengan "asas keterpaduan" adalah penyelenggaraan Perkebunan harus dilakukan dengan memadukan aspek sarana dan prasarana produksi Perkebunan, pembiayaan, budi daya Perkebunan, serta pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan. Huruf f Yang dimaksud dengan "asas kebersamaan" adalah penyelenggaraan Perkebunan menerapkan kemitraan secara terbuka sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antarPelaku Usaha Perkebunan. Huruf g Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah penyelenggaraan Perkebunan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan pelayanan informasi yang dapat diakses oleh Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat. Huruf h Yang dimaksud dengan "asas efisiensi-berkeadilan" adalah penyelenggaraan Perkebunan harus dilaksanakan secara tepat guna untuk menciptakan manfaat sebesar-besarnya dari sumber daya dan memberikan peluang serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya. Huruf i Yang dimaksud dengan "asas kearifan Iokal" adalah penyelenggaraan Perkebunan harus mempertimbangkan karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya serta nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat. Hurufj Yang dimaksud dengan "asas kelestarian fungsi lingkungan hidup" adalah penyelenggaraan Perkebunan harus menggunakan sarana, prasarana, tata cara, dan teknologi yang tidak mengganggu f ungsi lingkungan hidup, baik secara biologis, mekanis, geologis, maupun kimiawi. P R E S I D E l'<l R EF"L#Bt$ ! K. 1 N 0 () t·.; E S i 1
    Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Pelindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat dimaksudkan agar penyelenggaraan Perkebunan menjadi perekat dan pemersatu bangsa. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Pasal 4 Yang dimaksud dengan " jasa Perkebunan" adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun badan usaha atas dasar balas jasa atau kontrak, yang antara lain meliputi kegiatan pembuatan desain kebun dan/atau unit pengolahan, pengolahan lahan, penyewaan alat dan mesin Perkebunan dengan operatornya, penyemprotan a tau pengendalian organisme pengganggu tumbuhan, pemangkasan, pemanenan dan pascapanen, serta pemeliharaan alat dan mesin Perkebunan. Cukup jelas. Pt ܦ C: S ! 0 E.. ۺ',! R E r' Li iJ : _ ! K l f'..; [.( -' 1-; i'.: _ : : . /> Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "perencanaan Perkebunan" adalah perencanaan makro nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, bukan perencanaan usaha atau perencanaan mikro yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Perkebunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "wilayah" adalah ketersediaan lahan berdasarkan agroklimat dan jenis Tanah yang sesuai untuk budi daya Tanaman Perkebunan dan Usaha Perkebunan yang dilakukan secara terintegrasi, pelindungan wilayah geografis bagi komoditas Perkebunan yang spesifik lokasi, dan kawasan pengembangan Perkebunan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Sumber daya manusia mencakup Pelaku Usaha Perkebunan, tenaga ker ja Perkebunan, serta aparat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang terkait di bidang Perkebunan. Huruf d Kelembagaan Perkebunan antara lain, kelembagaan Pelaku Usaha Perkebunan dan kelembagaan layanan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Huruf e Cukup jelas. Pasal 7 Huruf f PR E S ! O E !\l R E P U E7: L ! I'< . _ I N [) () f',: : : : .: : : ; Yang dimaksud dengan "keterkaitan dan keterpaduan hulu­ hilir" adalah seluruh kegiatan perencanaan diselenggarakan dengan memperhatikan pendekatan sistem dan usaha agribisnis untuk membangun sinergi. Huruf g Sarana antara lain benih, pupuk, pestisida atau bio pestisida, alat dan mesin, sedangkan prasarana antara lain jalan, jembatan, dan saluran irigasi. Huruf h Pembiayaan mencakup sumber dan komponen pembiayaan yang diperlukan dalam penyelenggaraan Perkebunan. Huruf i Cukup jelas. Hurufj Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 1 1 Ayat (l) PRE S I D E l'-i R E PlJBl f K l ۸۹ [) (; t·. c.--. : : , : J.. \ Hak atas tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 1 2 Ayat (1) Imbalan yang bisa diberikan antara lain berupa uang dan/atau kepemilikan saham. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Larangan pemindahan hak tersebut bertujuan agar Lahan Perkebunan dengan batas minimum tidak ter jadi pemecahan yang dapat mengubah peruntukan dan penggunaan lahannya sehingga tidak memenuhi skala usaha yang dipersyaratkan. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pf۷ E S I D E N R EP lJ B L ! K J N D C ) f·,: C. : ...dA Bidang Tanah Perkebunan yang diambil alih oleh negara merupakan bidang Tanah Perkebunan yang belum diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan, sedangkan bidang Tanah Perkebunan yang telah diusahakan tetap menjadi milik Perusahaan Perkebunan. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 2 1 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 3 1 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. P R E S I D D' R E P U B L ! K ! N IJ C J N [ . : . i/\ - 9 - Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Huruf a Cukup jelas. Huruf b PR E. S I D E I': R E P t.Jf J t_ ; ! !'-.!Ct ')! ܋r: · __ . · /1. - 10 - Yang dimaksud dengan "eradikasi" adalah tindakan pemusnahan terhadap tanaman, organisme pengganggu tumbuhan, dan benda lain yang menyebabkan tersebarnya orgamsme pengganggu tumbuhan di lokasi tertentu. Pasal 37 Cukup je!as. Pasal 38 Cukup je!as. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kepentingan nasional" adalah suatu pendekatan yang bertujuan menjaga stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Pasal 4 1 Ayat (1) P R E S I D E: N R E P LJ B !_ i K f N D O !' : [ '. - . : ! : r \ Yang dimaksud dengan "usaha Pengo!ahan Hasil Perkebunan" adalah kegiatan pengolahan yang bahan baku utamanya berasal dari hasil budidaya Tanaman Perkebunan untuk memperoleh nilai tambah, yang menurut sifat dan karakteristiknya tidak dapat dipisahkan dengan usaha budi daya Tanaman Perkebunan, seperti gula pasir dari tebu, teh hitam dan teh hijau dari daun teh, serta minyak sawit mentah dari ekstraksi kelapa sawit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Usaha lainnya antara lain budi daya tanaman Perkebunan dengan tanaman kehutanan dan tanaman Perkebunan dengan lebah madu. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. P R E ' o i D E r.! R E P U B L I K l t'-'. C - O f· .: _ . ·, . l Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan sesuai dengan skala usaha yang ditetapkan oleh Menteri. Yang dimaksud dengan "kapasitas pabrik tertentu" adalah kapasitas minimal unit pengolahan Hasil Perkebunan yang ditetapkan oleh Menteri. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Pemberian izin usaha pada wilayah khusus seperti Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua, dan Provinsi Aceh disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Laporan perkembangan usaha antara lain perkembangan pelaksanaan perizinan, jumlah produksi, pelaksanaan kemitraan, kegiatan lapangan, pabrik pengolahan, pemasaran, dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Pemberdayaan Usaha Perkebunan dilaksanakan melalui fasilitasi kepada Pelaku Usaha Perkebunan yang diutamakan kepada Pekebun agar mampu mengembangkan usaha dan meningkatkan kesejahteraannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 52 Yang dimaksud dengan "komoditas Perkebunan strategis tertentu" adalah komoditas Perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup antara lain kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, kopi, tebu, dan tembakau. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Ketentuan kemitraan dimaksudkan untuk !ebih meningkatkan kese jahteraan karyawan, Pekebun dan masyarakat sekitar serta untuk menjaga keamanan, kesinambungan, dan keutuhan Usaha Perkebunan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Jasa pendukung lainnya dapat berupa kegiatan penyediaan tranportasi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan" adalah luas sesuai dengan izin Usaha Perkebunan atau izin Usaha Perkebunan untuk budi daya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) ݛJ R F. S l lJ f.: f'., R . : .r=i \ j ··: : < '--\܇• , i·-; · , ^ , . Yang dimaksud dengan "kawasan pengembangan Perkebunan" adalah wilayah Perkebunan sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan sistem dan Usaha Perkebunan yang berkelanjutan guna meningkatkan daya saing dan nilai tambah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pengaturan lebih lanjut, antara lain mengatur mengenai potensi, rancang bangun, pengusulan dan pen eta pan kawasan pengembangan Perkebunan, pengembangan jejaring (networking}, dan ketentuan lain yang mendukung pengembangan kawasan Perkebunan. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik berkaitan erat dengan sifat Tanah sebagai media tumbuh tanaman sehingga dapat memproduksi Hasil Perkebunan dengan spesifikasi tertentu. : -.: 1 · Pengaturan pelindungan wilayah geografis dimaksudkan untuk menunjukkan daerah asal suatu komoditas Perkebunan yang karena f aktor lingkungan geografis termasuk faktor alam. faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri khas dan kualitas tertentu pada komoditas Perkebunan yang dihasilkan dan tidak dapat diperoleh pada wilayah lainnya. Sebagai contoh, tembakau Deli tumbuh optimal dengan cita rasa spesifik apabila ditanam pada wilayah sekitar Sungai Wampu dan Sungai Ular. Apabila ditanam di daerah lain walaupun agro­ ekosistemnya mirip dan menggunakan teknologi yang sama, cita rasa spesifiknya tidak muncul. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Memelihara kelestarian f ungsi lingkungan hidup di dalamnya termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha dari Pelaku Usaha Perkebunan. Dalam hal ini Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota berkewa jiban membina dan memfasilitasi pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup tersebut, khususnya kepada Pekebun. Ayat (2) Cukup jelas. .. . .. ^. . , PRE S . CJ L ۳ r,i F<? E ۴.: -: . l ; ۵۶ '.., J t ",' ; \ Ayat (3) Huruf a Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin Usaha Perkebunan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hiclup. Seclangkan bagi Perusahaan Perkebunan yang Usaha Perkebunan atau kegiatannya ticlak menimbulkan clampak besar clan penting terhaclap lingkungan hiclup cliwajibkan memiliki upaya pengelo!aan !ingkungan hiclup clan upaya pemantauan lingkungan hiclup. Huruf b Kewa jiban memiliki analisis clan mana jemen risiko clibebankan kepada Perusahaan Perkebunan yang memproduksi dan/atau memasarkan benih hasil rekayasa genetik agar memenuhi kaiclah-kaidah keamanan hayati dan keamanan pangan atau pakan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Sarana clan prasarana di clalam kawasan Perkebunan meliputi sarana dan prasarana yang berkaitan dengan proses produksi clan kese jahteraan karyawan, seperti kolam Iimbah, penangkap gas metan (methan ca pture), pembuatan pupuk dari janjang kosong, perumahan, balai kesehatan clan pencliclikan untuk peker ja Perkebunan. P R E S i D l i\I Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 7 1 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "harga komoditas Perkebunan yang menguntungkan bagi Pelaku Usaha Perkebunan" adalah harga komoditas yang tidak hanya berdasarkan nilai komoditas dalarn bentuk bahan baku tetapi juga berdasarkan nilai tambah produk turunan dari komoditas sehingga harga komoditas Perkebunan menjadi wajar. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pembinaan" adalah memfasilitasi, memberikan pedoman, kriteria, standar dan pelayanan informasi antara lain sumber dan potensi bahan baku, teknologi pengolahan, sarana dan prasarana, serta permodalan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) P R E. S i [) C l··i R E F3 lJ ; ) L ; ۰, ۱ t\Jf_i ; .) t ۲ 1.\ Hal-hal pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pembinaan dan keterpaduan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan usaha budi daya Tanaman Perkebunan antara lain jaminan ketersediaan bahan baku dalam kaitannya dengan kapasitas unit Pengolahan Hasil Perkebunan, peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga ker ja, peningkatan pendapatan Pekebun, jenis dan kualitas Hasil Perkebunan, dan sanksi administratif bagi Perusahaan Perkebunan yang tidak melaksanakan kewa jiban. Pasal 74 Ayat (1) Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor antara lain gula tebu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 8 1 Ketentuan menghargai kearifan lokal dimaksudkan agar penerapan teknologi untuk pengembangan Usaha Perkebunan di suatu wilayah dapat bersinergi dengan kebiasaan, tradisi, adat, agama, dan budaya setempat sehingga dapat diterima oleh masyarakat agar mencapai basil yang optimal. Pasal 82 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ker ja sama di sini dimaksudkan untuk mengembangkan sistem informasi mana jemen penelitian dan pengembangan. Organisasi profesi, antara lain, persatuan agronomi Indonesia, himpunan ilmu tanah Indonesia, perhimpunan ekonomi pertanian Indonesia, ikatan ahli gula Indonesia, dan masyarakat kelapa sawit Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pi۬ [ S i [) l.: \,: R E P L ! ۮ .: : Lۯ ! ; \ ۭ!'-![) ; _ . . Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Pemangku kepentingan di bidang Perkebunan antara lain Pelaku Usaha Perkebunan, pelaksana penelitian dan pengembangan, asosiasi komoditas, dan perguruan tinggi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Ayat (1) Masyarakat Perkebunan antara lain pakar Perkebunan dan pemerhati masalah Perkebunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 9 1 Ayat (1) f1RE ,ۦ i [) ۧ · i'< ۨ ۩ E f"-J L.lE۪ <... . _ ; : ۫ 1 i',! l. 1 '' / Yang dimaksud dengan "penyuluhan Perkebunan" adalah salah satu upaya pemberdayaan Pekebun yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan mengubah sikap serta perilakunya, yang di!aksanakan antara lain melalui pendidikan nonformal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 92 Cukup je!as. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Ayat (l) Yang dimaksud dengan pembinaan teknis adalah penerapan budidaya yang baik (good agricultural practices), pen era pan pascapanen dan pengolahan yang baik (good handling practices) dan good manu f acturing practices, dan penerapan pengem b a nga n Perkebunan berkelanjutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. F1 l ۥ E : ; iL1: 3f.-. if·\ ! N C; ()!· l ; !.': . - 23 - Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 1 10 Cukup jelas. Pasal 1 1 1 Cukup jelas. Pasal 1 12 Cukup jelas. Pasal 1 13 Cukup jelas. Pasal 1 14 Cukup jelas. Pasal 1 15 Cukup jelas. Pasal 1 16 Cukup jelas. F'f ../ ES ID L i·J R E F0 U B L 1 : -<. ! !'-! [; , C i t"- [ " ·: , ; ; : ,. - 24 - Pasal 1 17 Culrup jelas. Pasal 1 18 Cukup jelas. ·,"-ۣ! f .. ' - : ! <> : ; ,I ۢ-, /ۡ ^r: .' I .: ; : " : ^' ; ._.- ! '

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):