Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022

Kerangka Peraturan
  • JUDULUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDO NESIA NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
  • PEMBUKAAN
      • a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provins…
      • b. bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan …
      • c. bahwa untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efektif dan…
      • d. bahwa sesuai dengan Pasal 18A ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara …
      • e. bahwa sesuai dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik …
      • f. bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan …
      • g. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi…
      • h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai…
      • Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A ayat (2), Pasal 18B, Pasal 20, dan Pasal…
  • BATANG TUBUH
      • Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan Keuangan antara…
      • Pasal 2Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah…
      • Pasal 3Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka…
            • ayat (1)Pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri atas: a. PKB; b. …
            • ayat (2)Pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri atas: a.…
            • ayat (3)Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipungut oleh Daerah yang…
            • ayat (1)Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf…
            • ayat (2)Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf f, dan…
            • ayat (3)Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana…
            • ayat (4)Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana…
            • ayat (5)Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4)…
            • ayat (1)Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak sebagaimana …
            • ayat (2)Jenis Pajak sebagaimana dimaksud da lam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dapat…
            • ayat (3)Jenis Pajak yang tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan…
            • ayat (1)Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
            • ayat (2)Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang…
            • ayat (3)Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah…
            • ayat (1)Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai…
            • ayat (2)Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
            • ayat (1)Dasar pengenaan PKB adalah h asil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok,…
            • ayat (2)Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kenda raan Bermotor di air, ditetapkan…
            • ayat (3)Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan…
            • ayat (4)Nilai jual Kend araan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan…
            • ayat (5)Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata…
            • ayat (6)Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui,…
            • ayat (7)Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien,…
            • ayat (8)Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor: a.…
            • ayat (9)Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan…
            • ayat (10)Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling…
            • ayat (1)Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut: a. untuk kepemilikan dan/atau…
            • ayat (2)Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi…
            • ayat (3)Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang…
            • ayat (4)Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk …
            • ayat (5)Tarif PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) ditetapkan…
            • ayat (1)Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan…
            • ayat (2)PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendar aan Bermotor…
            • ayat (3)PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut- turut terhitung sejak …
            • ayat (1)Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
            • ayat (2)Kendaraan Bermotor sebagaima na dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan…
            • ayat (3)Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah…
            • ayat (4)Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (5)Pengecualian sebagaimana dimaks ud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak…
            • ayat (1)Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan…
            • ayat (2)Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan…
          • Pasal 14Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan…
            • ayat (1)Tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 12% (dua belas persen).
            • ayat (2)Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terba gi…
            • ayat (3)Tarif BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan…
            • ayat (1)Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (2)BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor…
            • ayat (3)Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum p endaftaran Kendaraan Bermotor.
            • ayat (4)Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor…
            • ayat (1)Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat .
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah…
            • ayat (1)Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai…
            • ayat (2)Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat…
            • ayat (1)Dasar pengenaan PAB adalah nilai jua l Alat Berat.
            • ayat (2)Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga…
            • ayat (3)Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan…
            • ayat (4)Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam…
            • ayat (5)Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling…
            • ayat (1)Tarif PAB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
            • ayat (2)Tarif PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan…
            • ayat (2)PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
            • ayat (1)PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak…
            • ayat (2)PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap…
            • ayat (3)PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
            • ayat (4)Dalam hal terjadi k eadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum…
            • ayat (5)Ketentuan lebih lanj ut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana…
            • ayat (1)Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.
            • ayat (2)Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang…
            • ayat (3)Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
            • ayat (4)Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah produsen dan/atau impo…
          • Pasal 25Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak…
            • ayat (1)Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh per sen).
            • ayat (2)Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling…
            • ayat (3)Untuk jenis BBKB tertentu, Pemerintah dapat menyesuaikan tarif PBBKB yang sudah…
            • ayat (4)Penyesuaian tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan…
            • ayat (5)Tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan…
          • Pasal 27Besaran pokok PBBKB yang teru tang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (1)Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
            • ayat (2)Yang dikecu alikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan…
            • ayat (1)Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau…
            • ayat (2)Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau…
            • ayat (1)Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
            • ayat (2)Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada aya t (1) adalah hasil…
            • ayat (3)Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya…
            • ayat (4)Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam…
            • ayat (5)Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (6)Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air…
            • ayat (1)Tarif PAP ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
            • ayat (2)Tarif PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan…
            • ayat (2)PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
            • ayat (1)Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
            • ayat (2)Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun,…
            • ayat (3)Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (1)Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
            • ayat (2)Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok …
            • ayat (3)Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai…
            • ayat (4)Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (5)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak …
          • Pasal 35Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah…
          • Pasal 36Tarif Pajak Rokok d itetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
          • Pasal 37Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (1)Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau…
            • ayat (2)Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan…
            • ayat (3)Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (1)Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata…
            • ayat (2)Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai…
            • ayat (1)Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
            • ayat (2)NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian…
            • ayat (3)NJOP tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00…
            • ayat (4)Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2…
            • ayat (5)NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 paling tinggi 100% (seratus …
            • ayat (6)NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun,…
            • ayat (7)Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah.
            • ayat (8)Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat…
            • ayat (1)Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima pe rsen).
            • ayat (2)Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi…
            • ayat (3)Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan…
          • Pasal 42Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (1)Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (sat u) tahun kalender.
            • ayat (2)Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut…
            • ayat (3)Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak…
            • ayat (1)Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
            • ayat (2)Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (3)Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (4)Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau…
            • ayat (1)Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas…
            • ayat (2)Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas…
            • ayat (1)Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
            • ayat (2)Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan…
            • ayat (3)Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)…
            • ayat (4)Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai…
            • ayat (5)Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling…
            • ayat (6)Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud…
            • ayat (7)Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah…
            • ayat (8)Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5)…
            • ayat (1)Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi s ebesar 5% (lima persen).
            • ayat (2)Tarif BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar …
            • ayat (2)BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan…
          • Pasal 49Saat terutangnya BPHTB ditetapkan: a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya…
          • Pasal 50Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi bar ang dan jasa…
            • ayat (1)Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud…
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah…
            • ayat (1)Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud Listrik oleh pengguna akhir.
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (1)Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c meliputi jasa…
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (1)Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d meliputi: a. …
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (1)Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e…
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (1)Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
            • ayat (2)Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan,…
            • ayat (1)Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau…
            • ayat (2)Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),…
            • ayat (1)Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
            • ayat (2)Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar,…
            • ayat (3)Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk: a. konsumsi Tenaga Listrik dari…
            • ayat (4)Tarif PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)…
            • ayat (1)Besaran pokok PBJT yang terutang d ihitung dengan cara mengalikan dasar …
            • ayat (2)PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, …
            • ayat (3)Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat tertentu dilakukan.
            • ayat (1)Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
            • ayat (2)Objek Pajak Reklame sebag aimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Reklame …
            • ayat (3)Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah: a. penyelenggaraan Reklame…
            • ayat (1)Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
            • ayat (2)Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan…
            • ayat (1)Dasar Pengenaan Pa jak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
            • ayat (2)Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame …
            • ayat (3)Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame se bagaimana…
            • ayat (4)Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak …
            • ayat (5)Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan…
            • ayat (1)Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima…
            • ayat (2)Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan …
            • ayat (2)Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame …
            • ayat (3)Khusus untuk Reklam e berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2)…
            • ayat (1)Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk: a. keperluan dasar…
            • ayat (1)Subjek PAT adalah orang p ribadi atau Badan yang melakukan pengambilan …
            • ayat (2)Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau…
            • ayat (1)Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
            • ayat (2)Nilai peroleh an Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil…
            • ayat (3)Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya…
            • ayat (4)Bobot A ir Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam …
            • ayat (1)Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah …
            • ayat (2)Peraturan yang ditetapkan oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (1)Tarif PAT ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
            • ayat (2)Tarif PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Besaran pokok PA T yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (2)PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau…
            • ayat (3)Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air…
            • ayat (1)Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi: a.…
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1),…
            • ayat (1)Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
            • ayat (2)Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
            • ayat (1)Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
            • ayat (2)Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian…
            • ayat (3)Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga…
            • ayat (4)Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan keten…
            • ayat (1)Tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
            • ayat (2)Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi…
            • ayat (3)Tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan…
            • ayat (1)Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (2)Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
            • ayat (1)Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang…
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud…
            • ayat (1)Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan…
            • ayat (2)Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang…
            • ayat (1)Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung …
            • ayat (2)Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung…
            • ayat (1)Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh…
            • ayat (2)Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Perda.
          • Pasal 80Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara…
          • Pasal 81Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari: a. PKB; b. BBNKB; dan c. Pajak MBLB.
          • Pasal 82Wajib Pa jak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 merupakan Wajib…
            • ayat (1)Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut: a. Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh…
            • ayat (2)Besaran tarif Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenak an Opsen.
            • ayat (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud…
            • ayat (1)Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen)…
            • ayat (2)Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada…
            • ayat (3)Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu)…
            • ayat (4)Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen)…
            • ayat (5)Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , ayat (2), dan ayat…
            • ayat (6)Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota sebagaimana…
            • ayat (1)Hasil penerimaan atas jeni s pajak berikut: a. PKB dan Opsen PKB; b. PBJT atas…
            • ayat (2)Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat…
            • ayat (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan…
            • ayat (1)Jenis Retribusi terdiri atas: a. Retribusi Jasa Umum; b. Retribusi Jasa Usaha;…
            • ayat (2)Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/a tau jasa dan pemberian…
            • ayat (3)Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati…
            • ayat (4)Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas…
            • ayat (1)Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana…
            • ayat (2)Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut…
            • ayat (3)Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi…
            • ayat (4)Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan…
            • ayat (5)Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaimana atas penerbitan…
            • ayat (6)Retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4)…
            • ayat (7)Retribusi pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)…
            • ayat (8)Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (9)Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada…
          • Pasal 89Ketentuan lebih lanjut mengenai Retribusi diatur dengan atau berdasarkan…
          • Pasal 90Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat…
          • Pasal 91Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan jumlah…
            • ayat (1)Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan nilai rupiah …
            • ayat (2)Tarif Retribusi sebagaimana d imaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam…
            • ayat (1)Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ditinjau kembali paling…
            • ayat (2)Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan…
            • ayat (3)Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan deng…
        • Pasal 94Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan…
            • ayat (1)Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung…
            • ayat (2)Kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi …
            • ayat (3)Penetapan tarif Pajak yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (4)Penetapan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud…
            • ayat (5)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan tarif Pajak dan Retribusi …
            • ayat (1)Evaluasi rancangan Perda provinsi mengenai Pajak dan Retribusi dilakukan oleh…
            • ayat (2)Rancangan Perda provinsi mengenai Pajak dan Retribusi yang telah disetujui…
            • ayat (3)Evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota mengenai Pajak dan Retribusi…
            • ayat (4)Rancangan Perda kabupaten/kota mengenai Pajak dan Retribusi yang telah …
            • ayat (5)Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan…
            • ayat (6)Gubernur melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda sebagaimana dimaksud…
            • ayat (7)Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan…
            • ayat (8)Dalam pelaksanaan koordinasi sebagaiman a dimaksud pada ayat (7), Menteri…
            • ayat (9)Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri sebagaimana…
            • ayat (10)Hasil evaluasi sebagaimana dimaks ud pada ayat (9) disampaikan oleh menteri…
            • ayat (11)Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan…
            • ayat (12)Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9),…
            • ayat (13)Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9),…
            • ayat (14)Ketentuan lebi h lanjut mengenai tata cara evaluasi rancangan Perda tentang…
            • ayat (1)Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/wali kota disampaikan…
            • ayat (2)Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri…
            • ayat (3)Dalam hal berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)…
            • ayat (4)Penyampaian rekomendasi perubahan Perda oleh Menteri kepada menteri yang…
            • ayat (5)Berdasarkan rekomendasi perubahan Perda yang disampaikan oleh Menteri, menteri…
            • ayat (6)Jika dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja, gubernur/bupati/wali kota tidak…
            • ayat (7)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi Perda tentang Pajak dan…
            • ayat (1)Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, gubernur/bupati/wali kota…
            • ayat (2)Insentif fis kal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan,…
            • ayat (3)Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas…
            • ayat (4)Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan…
            • ayat (5)Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan…
            • ayat (6)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal …
          • ayat (1)Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit: a.…
          • ayat (2)Kebijakan makroekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a…
          • ayat (3)Kebijakan makroekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a…
          • ayat (1)Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu …
          • ayat (2)Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga …
          • ayat (3)Yang dikec ualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat…
          • ayat (4)Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberikan izin tertulis…
          • ayat (5)Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau…
          • ayat (6)Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan …
          • ayat (1)Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi…
          • ayat (2)Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui…
          • ayat (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif…
          • ayat (1)Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah …
          • ayat (2)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil…
          • ayat (3)Wewenang penyidik sebagaimana dim aksud pada ayat (1) adalah: a. menerima,…
          • ayat (4)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya…
        • Pasal 106TKD terdiri atas: a. DBH; b. DAU; c. DAK; d. Dana Otonomi Khusus; e. Dana…
          • ayat (1)Pemerintah menetapkan kebijakan TKD.
          • ayat (2)Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada rencana…
          • ayat (3)Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan…
          • ayat (4)Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibahas terlebih dahulu dalam…
          • ayat (1)Anggaran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ditetapkan setiap tahun…
          • ayat (2)Rincian alokasi TKD menurut provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada…
          • ayat (1)Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dan besaran…
          • ayat (2)Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan …
          • Pasal 110Pagu DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 6 huruf a ditetapkan berdasarkan…
            • ayat (1)DBH terdiri atas: a. DBH pajak; dan b. DBH sumber daya alam.
            • ayat (2)DBH pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Pajak…
            • ayat (3)DBH sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri…
            • ayat (1)DBH Pajak Penghasilan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf a…
            • ayat (2)DBH Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 20%…
            • ayat (3)Pendaftaran Wajib Pajak atas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur pada ayat (1)…
            • ayat (1)DBH Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf…
            • ayat (2)DBH Pajak Bumi dan Bangunan untuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (1)DBH cukai hasil tembaka u sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf…
            • ayat (2)DBH cukai hasil tembakau untuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (3)DBH cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sesuai…
            • ayat (1)DBH sumber daya alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 11 ayat …
            • ayat (2)DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari iuran izin usaha…
            • ayat (3)DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari provisi sumber daya hutan …
            • ayat (4)DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi sebagaimana…
            • ayat (5)DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari da na reboisasi…
            • ayat (1)DBH sumber daya alam mineral dan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111…
            • ayat (2)DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap…
            • ayat (3)DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap…
            • ayat (4)DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi…
            • ayat (5)DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi…
            • ayat (1)DBH sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud da lam Pasal…
            • ayat (2)DBH sumber daya alam minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang…
            • ayat (3)DBH sumber daya alam minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang…
            • ayat (4)DBH sumber daya alam gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang…
            • ayat (5)DBH sumber daya alam gas bumi yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4…
            • ayat (1)DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat …
            • ayat (2)DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk…
            • ayat (3)DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang…
            • ayat (1)DBH sumber daya alam perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3)…
            • ayat (2)DBH sumber daya alam perikanan untuk Daerah sebagaimana di maksud pada ayat (1)…
          • Pasal 120Berdasarkan pagu DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, alokasi DBH per…
          • Pasal 121Dalam hal tidak terdapat kabupaten/kota pengolah sebagaimana dimaksud dalam…
          • Pasal 122Persentase pembagian DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan…
            • ayat (1)Selain DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1), Pemerintah dapat…
            • ayat (2)DBH lainnya sebagaimana dim aksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan…
            • ayat (3)DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mendanai…
            • ayat (4)Keten tuan lebih lanjut mengenai DBH lainnya Peraturan Pemerintah setelah…
          • ayat (1)Pagu nasional DAU ditetap kan dengan mempertimbangkan: a. Kebutuhan …
          • ayat (2)Proporsi pagu DAU antara Da erah provinsi dan Daerah kabupaten/kota …
          • ayat (3)Proporsi pagu DAU Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dibagi menjadi …
          • ayat (1)DAU untuk tiap-tiap Daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal untuk 1…
          • ayat (2)Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai selisih…
          • ayat (3)Kebutuhan fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan…
          • ayat (4)Potensi pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan…
          • ayat (1)Kebutuhan pendanaan Daerah dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…
          • ayat (2)Satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan…
          • ayat (3)Jumlah unit target layanan untuk tiap-tiap urusan sebagaimana dimaksud pada…
          • ayat (4)Faktor penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah indikator yang…
        • Pasal 127Data untuk menghitung kebutuhan fiskal Daerah dan potensi pendapatan Daerah…
          • ayat (1)DAU suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi yang…
          • ayat (2)Bobot provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi celah…
          • ayat (1)DAU suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/kota…
          • ayat (2)Bobot kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di hitung dengan…
          • ayat (1)DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dan Pasal 129 ay at (1)…
          • ayat (2)Penggunaan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas bagian DAU yang…
          • ayat (3)Bagian DAU yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)…
          • ayat (1)DAK dialokasikan sesuai de ngan kebijakan Pemerintah untuk mendanai program,…
          • ayat (2)Kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada: a.…
          • ayat (3)DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. DAK fisik, yang…
          • ayat (4)Perencanaan dan pengalokasian DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat…
          • ayat (5)DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam…
          • ayat (6)DAK sebagaimana dimaksud pada aya t (1) dialokasikan untuk mencapai target…
          • ayat (7)Hibah kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, yang bersumber…
          • ayat (1)Dana Otonomi Khusus dialokasikan kepada Daerah yang memiliki otonomi khusus…
          • ayat (2)Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi antara provinsi…
          • ayat (3)Pengelolaan Dana Otonomi Khusus dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang…
          • ayat (1)Dana Keistimewaan dialokasikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Daerah…
          • ayat (2)Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diserahkan kepada…
          • ayat (3)Pendanaan atas urusan keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)…
          • ayat (4)Pengelolaan Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan…
          • ayat (1)Dana Desa merupakan pendapatan desa yang dananya bersumber dari APBN.
          • ayat (2)Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dengan…
          • ayat (3)Pemerintah dapat menentukan fokus penggunaan Dana Desa setiap tahunnya…
          • ayat (4)Penganggaran, pengalokasian, pelaporan, pemantauan, dan evaluasi Dana Desa…
          • ayat (1)Pemerintah dap at memberikan insentif fiskal kepada Daerah atas pencapaian …
          • ayat (2)Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perbaikan dan/atau…
          • ayat (1)Menteri mengalokasikan bagian dana TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106…
          • ayat (2)Bagian dana TKD untuk Daera h persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
          • ayat (3)Daerah induk menganggarkan bagian dana TKD untuk Daerah persiapan sesuai…
          • ayat (4)Dalam hal Daerah persiapan berada di wilayah Daerah yang memiliki otonomi…
          • ayat (5)Pengalokasian dana TKD untuk Daerah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat…
          • ayat (1)Dana TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 untuk Daerah baru dialokasikan…
          • ayat (2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Daerah baru yang…
          • ayat (3)Dalam hal undang-undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah t anggal…
          • ayat (4)Proporsi dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain dihitung…
          • ayat (5)Dalam hal undang-undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah penetapan…
          • ayat (1)Penyaluran TKD dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas negara ke kas…
          • ayat (2)Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sekaligus…
        • Pasal 139Ketentuan lebih lanjut mengen ai mekanisme perencanaan, penganggaran,…
        • Pasal 140Belanja Daerah disusun dengan menggunakan pendekatan: a. kerangka …
          • ayat (1)Pemerinta h Daerah menyusun program pembangunan Daerah sesuai dengan…
          • ayat (2)Program sebagaiman a dimaksud pada ayat (1) disinkronisasikan dan…
          • ayat (1)Alokasi anggaran untuk setiap perangkat Daerah ditentukan berdasarkan…
          • ayat (2)Alokasi anggaran untuk setiap perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada…
          • ayat (3)Dalam rangka memfokuskan pencapa ian target pelayanan publik, perangkat …
          • ayat (1)Belanja Daerah disusun berdasarkan standar harga dan analisis standar belanja.
          • ayat (2)Standar harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup standar harga untuk…
          • ayat (3)Standar harga untuk belanja operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)…
          • ayat (4)Standar tunjangan kinerja aparatur sipil negara pada Pemerintahan Daerah …
          • ayat (5)Analisis standar belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun…
          • ayat (6)Pedoman mengenai standar harga dan analisis standar belanja sebagaimana…
          • ayat (1)Belanja untuk pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait …
          • ayat (2)Belanja Daerah dapat dialokasikan untuk pelaksanaan Urusan Pemerintahan…
          • ayat (1)Daerah wajib mengalokasikan belanja untuk mendanai Urusan Pemerintaha n…
          • ayat (2)Belanja Daerah yang berasal dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya…
          • ayat (1)Daerah wajib mengalokasikan belanja pegawai Daerah di luar tunjangan guru yang…
          • ayat (2)Dalam hal persentase belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) t…
          • ayat (3)Besaran persentase belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat…
          • ayat (1)Daerah wajib mengalokasikan belanja infrastruktur pelayanan publik paling…
          • ayat (2)Belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa sebagaimana…
          • ayat (3)Dalam hal persentase belanja infrastruktur pelayanan publik sebagaimana…
          • ayat (4)Besaran persentase belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat…
        • Pasal 148Dalam hal Daerah tidak melaksanakan ketentuan alokasi Belanja Daerah…
          • ayat (1)Dalam hal terdapat SiLPA yang telah ditentukan penggunaannya berdasarkan…
          • ayat (2)Dalam hal SiLPA Daerah tinggi dan kinerja layanan tinggi, SiLPA dapat…
          • ayat (3)Dalam hal SiLPA Daerah ting gi dan kinerja layanan rendah, Pemerintah dapat…
          • ayat (4)Penilaian kinerja layanan sebagaimana dimaksud penilaian kinerja yang berlaku…
          • ayat (5)Ketentuan lebih lanjut mengenai optimalisasi SiLPA untuk Belanja Daerah diatur…
        • Pasal 150Pemerintah menyelenggarakan pengembangan kapasitas aparatur pengelola Keuangan…
          • ayat (1)Aparatur pengelo la Keuangan Daerah harus mendapatkan sertifikasi yang…
          • ayat (2)Pelaksanaan kewajiban sertif ikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
          • ayat (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengembangan aparatur…
          • ayat (1)Pengawasan pengelolaan APBD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan…
          • ayat (2)Lembaga pemerintahan yang membidangi pe ngawasan yang bertanggung jawab…
          • ayat (3)Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga…
          • ayat (4)Kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri bekerja …
        • Pasal 153Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan Belanja Daerah dan…
        • ayat (1)Pembiayaan Utang Daerah terdiri atas: a. Pinjaman Daera h; b. Obligasi Daerah;…
        • ayat (2)Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk…
        • ayat (3)Pemerintah tidak memberikan jaminan atas Pembiayaan Utang Daerah.
        • ayat (4)Pemerintah Daerah dilarang melakukan Pembiayaan langsung dari pihak luar…
        • ayat (5)Nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat…
        • ayat (6)Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksu d pada ayat (5) diberikan pada saat…
        • ayat (7)Dalam hal tertentu, Kepala Daerah dapat melakukan Pembiayaan melebihi nilai…
        • ayat (8)Pembiayaan Utang Daerah yang memenuhi persyaratan teknis dapat dilakukan…
        • ayat (1)Pinjaman Daerah dapat bersumber dari: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah…
        • ayat (2)Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat …
        • ayat (3)Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat …
        • ayat (4)Pinjaman Daerah sebaga imana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf…
        • ayat (5)Pinjaman Daerah dapat berbentuk konvensional atau syariah.
        • ayat (1)Pinjaman Daerah dilakukan dalam rangka: a. pengelolaan kas; b. pembiayaan pemb…
        • ayat (2)Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
        • ayat (3)Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
        • ayat (4)Pinjaman Daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah…
        • ayat (5)Pinjaman Daerah dalam rangka penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal…
        • ayat (6)Penugasan Pemerintah Daerah kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang…
        • ayat (1)Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka: a.…
        • ayat (2)Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah diterbitkan melalui pas ar modal domestik dan…
        • ayat (3)Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dalam rangka pembiayaan …
        • ayat (4)Penerbita n Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
        • ayat (5)Penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah…
        • ayat (1)Barang milik Daerah dan/atau objek Pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk…
        • ayat (2)Barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut sebagai aset…
        • ayat (3)Aset Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipindah…
      • Pasal 159Kepala Daerah bertanggung jawab atas pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah.
        • ayat (1)Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas Pembiayaan utang pihak…
        • ayat (2)Barang milik Daerah tidak dapat dijadikan jaminan atau digadaikan untuk…
        • ayat (1)Pemerintah Daerah wajib membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah pada saat…
        • ayat (2)Dana untuk membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada…
        • ayat (3)Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menganggarkan pembayaran kewajiban …
        • ayat (1)Dalam hal Daerah tidak membayar kewajiban Pinjaman Daerah yang bersumber dari…
        • ayat (2)Pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi…
      • Pasal 163Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, milik Daerah dan/atau…
        • ayat (1)Daerah dapat membentuk Dana Abadi Daerah yan g ditetapkan dengan Perda.
        • ayat (2)Pembentukan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
        • ayat (3)Hasil pengelolaan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
        • ayat (1)Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1) dikelola oleh…
        • ayat (2)Pengelolaan Dana Abadi Daerah dilakukan dalam investasi yang bebas dari…
        • ayat (3)Hasil pengelolaan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
      • Pasal 166Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan pengelolaan Dana…
        • ayat (1)Dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur dan/atau program …
        • ayat (2)Sinergi Pendanaan sebagaimana dimak sud pada ayat (1) dapat dilaksanakan…
        • ayat (3)Pendanaan dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari PAD,…
        • ayat (4)Pendanaan selain dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa…
        • ayat (5)Dalam rangka mendukung Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),…
      • Pasal 168Ketentuan lebih lanjut mengenai Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam…
        • ayat (1)Pemerintah menyinergikan kebijakan fiskal nasional.
        • ayat (2)Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan…
        • ayat (1)Pemerintah Daerah menyinergikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal…
        • ayat (2)Rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana kerja pemerintah …
      • Pasal 171Penyelarasan dengan rencana jangka menengah nasional dan renca na kerja …
      • Pasal 172Penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah se bagaimana…
      • Pasal 173Pengendalian dalam kondisi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat…
      • Pasal 174Sinergi bagan akun standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf…
      • Pasal 175Pemerintah dapat memberikan sanksi berupa penundaa n dan/atau pemotongan TKD…
      • Pasal 176Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169…
      • Pasal 177Pemerintah memba ngun sistem informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan…
      • Pasal 178Dalam rangka penyajian informasi keuangan Da erah secara nasional sebagaimana…
        • ayat (1)Pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala paling sedikit…
        • ayat (2)Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan…
        • ayat (3)Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadik…
      • Pasal 180Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana…
        • ayat (1)Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan…
        • ayat (2)Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagai…
      • Pasal 182Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah…
      • Pasal 183Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud…
      • Pasal 184Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam…
      • Pasal 185Denda sebagaimana di maksud dalam Pasal 181, Pasal 183, dan Pasal 184 merupakan…
      • Pasal 186Dalam hal terdapat beban Keuangan Negara akibat perbuatan hukum yang dilakukan…
      • Pasal 187Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. terhadap hak dan kewajiban Wajib…
      • Pasal 188Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. peraturan perundang-undangan …
        • ayat (1)Pada saat Undang-Undang ini mula i berlaku: a. Undang-Undang Nomor 33 Tahun…
        • ayat (2)Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hubungan Keuangan…
      • Pasal 190Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur…
        • ayat (1)Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, Pajak MBLB, Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen…
        • ayat (2)Ketentuan mengenai alokasi atas DAU dan DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal…
      • Pasal 192Peraturan pelak sanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua)…
      • Pasal 193Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
  • PENUTUP
  • JUDULUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDO NESIA NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
  • PEMBUKAAN
      • a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provins…
      • b. bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan …
      • c. bahwa untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efektif dan…
      • d. bahwa sesuai dengan Pasal 18A ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara …
      • e. bahwa sesuai dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik …
      • f. bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan …
      • g. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi…
      • h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai…
      • Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A ayat (2), Pasal 18B, Pasal 20, dan Pasal…
  • BATANG TUBUH
      • Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan Keuangan antara…
      • Pasal 2Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah…
      • Pasal 3Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka…
            • ayat (1)Pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri atas: a. PKB; b. …
            • ayat (2)Pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri atas: a.…
            • ayat (3)Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipungut oleh Daerah yang…
            • ayat (1)Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf…
            • ayat (2)Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf f, dan…
            • ayat (3)Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana…
            • ayat (4)Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana…
            • ayat (5)Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4)…
            • ayat (1)Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak sebagaimana …
            • ayat (2)Jenis Pajak sebagaimana dimaksud da lam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dapat…
            • ayat (3)Jenis Pajak yang tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan…
            • ayat (1)Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
            • ayat (2)Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang…
            • ayat (3)Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah…
            • ayat (1)Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai…
            • ayat (2)Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
            • ayat (1)Dasar pengenaan PKB adalah h asil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok,…
            • ayat (2)Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kenda raan Bermotor di air, ditetapkan…
            • ayat (3)Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan…
            • ayat (4)Nilai jual Kend araan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan…
            • ayat (5)Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata…
            • ayat (6)Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui,…
            • ayat (7)Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien,…
            • ayat (8)Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor: a.…
            • ayat (9)Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan…
            • ayat (10)Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling…
            • ayat (1)Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut: a. untuk kepemilikan dan/atau…
            • ayat (2)Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi…
            • ayat (3)Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang…
            • ayat (4)Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk …
            • ayat (5)Tarif PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) ditetapkan…
            • ayat (1)Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan…
            • ayat (2)PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendar aan Bermotor…
            • ayat (3)PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut- turut terhitung sejak …
            • ayat (1)Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
            • ayat (2)Kendaraan Bermotor sebagaima na dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan…
            • ayat (3)Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah…
            • ayat (4)Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (5)Pengecualian sebagaimana dimaks ud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak…
            • ayat (1)Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan…
            • ayat (2)Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan…
          • Pasal 14Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan…
            • ayat (1)Tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 12% (dua belas persen).
            • ayat (2)Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terba gi…
            • ayat (3)Tarif BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan…
            • ayat (1)Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (2)BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor…
            • ayat (3)Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum p endaftaran Kendaraan Bermotor.
            • ayat (4)Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor…
            • ayat (1)Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat .
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah…
            • ayat (1)Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai…
            • ayat (2)Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat…
            • ayat (1)Dasar pengenaan PAB adalah nilai jua l Alat Berat.
            • ayat (2)Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga…
            • ayat (3)Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan…
            • ayat (4)Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam…
            • ayat (5)Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling…
            • ayat (1)Tarif PAB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
            • ayat (2)Tarif PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan…
            • ayat (2)PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.
            • ayat (1)PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak…
            • ayat (2)PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap…
            • ayat (3)PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
            • ayat (4)Dalam hal terjadi k eadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum…
            • ayat (5)Ketentuan lebih lanj ut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana…
            • ayat (1)Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.
            • ayat (2)Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang…
            • ayat (3)Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
            • ayat (4)Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah produsen dan/atau impo…
          • Pasal 25Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak…
            • ayat (1)Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh per sen).
            • ayat (2)Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling…
            • ayat (3)Untuk jenis BBKB tertentu, Pemerintah dapat menyesuaikan tarif PBBKB yang sudah…
            • ayat (4)Penyesuaian tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan…
            • ayat (5)Tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan…
          • Pasal 27Besaran pokok PBBKB yang teru tang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (1)Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
            • ayat (2)Yang dikecu alikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan…
            • ayat (1)Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau…
            • ayat (2)Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau…
            • ayat (1)Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
            • ayat (2)Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada aya t (1) adalah hasil…
            • ayat (3)Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya…
            • ayat (4)Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam…
            • ayat (5)Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (6)Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air…
            • ayat (1)Tarif PAP ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
            • ayat (2)Tarif PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan…
            • ayat (2)PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.
            • ayat (1)Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
            • ayat (2)Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun,…
            • ayat (3)Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (1)Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
            • ayat (2)Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok …
            • ayat (3)Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai…
            • ayat (4)Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (5)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak …
          • Pasal 35Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah…
          • Pasal 36Tarif Pajak Rokok d itetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
          • Pasal 37Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (1)Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau…
            • ayat (2)Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan…
            • ayat (3)Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (1)Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata…
            • ayat (2)Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai…
            • ayat (1)Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
            • ayat (2)NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian…
            • ayat (3)NJOP tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00…
            • ayat (4)Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2…
            • ayat (5)NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 paling tinggi 100% (seratus …
            • ayat (6)NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun,…
            • ayat (7)Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah.
            • ayat (8)Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat…
            • ayat (1)Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima pe rsen).
            • ayat (2)Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi…
            • ayat (3)Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan…
          • Pasal 42Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (1)Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (sat u) tahun kalender.
            • ayat (2)Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut…
            • ayat (3)Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak…
            • ayat (1)Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
            • ayat (2)Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (3)Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (4)Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau…
            • ayat (1)Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas…
            • ayat (2)Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas…
            • ayat (1)Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
            • ayat (2)Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan…
            • ayat (3)Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)…
            • ayat (4)Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai…
            • ayat (5)Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling…
            • ayat (6)Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud…
            • ayat (7)Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah…
            • ayat (8)Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5)…
            • ayat (1)Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi s ebesar 5% (lima persen).
            • ayat (2)Tarif BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar …
            • ayat (2)BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan…
          • Pasal 49Saat terutangnya BPHTB ditetapkan: a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya…
          • Pasal 50Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi bar ang dan jasa…
            • ayat (1)Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud…
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah…
            • ayat (1)Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud Listrik oleh pengguna akhir.
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (1)Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c meliputi jasa…
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (1)Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d meliputi: a. …
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (1)Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e…
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (1)Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
            • ayat (2)Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan,…
            • ayat (1)Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau…
            • ayat (2)Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),…
            • ayat (1)Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
            • ayat (2)Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar,…
            • ayat (3)Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk: a. konsumsi Tenaga Listrik dari…
            • ayat (4)Tarif PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)…
            • ayat (1)Besaran pokok PBJT yang terutang d ihitung dengan cara mengalikan dasar …
            • ayat (2)PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, …
            • ayat (3)Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat tertentu dilakukan.
            • ayat (1)Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
            • ayat (2)Objek Pajak Reklame sebag aimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Reklame …
            • ayat (3)Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah: a. penyelenggaraan Reklame…
            • ayat (1)Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
            • ayat (2)Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan…
            • ayat (1)Dasar Pengenaan Pa jak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
            • ayat (2)Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame …
            • ayat (3)Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame se bagaimana…
            • ayat (4)Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak …
            • ayat (5)Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan…
            • ayat (1)Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima…
            • ayat (2)Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan …
            • ayat (2)Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame …
            • ayat (3)Khusus untuk Reklam e berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2)…
            • ayat (1)Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk: a. keperluan dasar…
            • ayat (1)Subjek PAT adalah orang p ribadi atau Badan yang melakukan pengambilan …
            • ayat (2)Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau…
            • ayat (1)Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
            • ayat (2)Nilai peroleh an Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil…
            • ayat (3)Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya…
            • ayat (4)Bobot A ir Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam …
            • ayat (1)Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah …
            • ayat (2)Peraturan yang ditetapkan oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (1)Tarif PAT ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
            • ayat (2)Tarif PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Besaran pokok PA T yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (2)PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau…
            • ayat (3)Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air…
            • ayat (1)Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi: a.…
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1),…
            • ayat (1)Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
            • ayat (2)Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
            • ayat (1)Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
            • ayat (2)Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian…
            • ayat (3)Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga…
            • ayat (4)Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan keten…
            • ayat (1)Tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
            • ayat (2)Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi…
            • ayat (3)Tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan…
            • ayat (1)Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar…
            • ayat (2)Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
            • ayat (1)Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang…
            • ayat (2)Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud…
            • ayat (1)Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan…
            • ayat (2)Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang…
            • ayat (1)Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung …
            • ayat (2)Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung…
            • ayat (1)Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh…
            • ayat (2)Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Perda.
          • Pasal 80Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara…
          • Pasal 81Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari: a. PKB; b. BBNKB; dan c. Pajak MBLB.
          • Pasal 82Wajib Pa jak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 merupakan Wajib…
            • ayat (1)Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut: a. Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh…
            • ayat (2)Besaran tarif Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
            • ayat (1)Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenak an Opsen.
            • ayat (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud…
            • ayat (1)Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen)…
            • ayat (2)Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada…
            • ayat (3)Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu)…
            • ayat (4)Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen)…
            • ayat (5)Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , ayat (2), dan ayat…
            • ayat (6)Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota sebagaimana…
            • ayat (1)Hasil penerimaan atas jeni s pajak berikut: a. PKB dan Opsen PKB; b. PBJT atas…
            • ayat (2)Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat…
            • ayat (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan…
            • ayat (1)Jenis Retribusi terdiri atas: a. Retribusi Jasa Umum; b. Retribusi Jasa Usaha;…
            • ayat (2)Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/a tau jasa dan pemberian…
            • ayat (3)Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati…
            • ayat (4)Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas…
            • ayat (1)Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana…
            • ayat (2)Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut…
            • ayat (3)Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi…
            • ayat (4)Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan…
            • ayat (5)Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaimana atas penerbitan…
            • ayat (6)Retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4)…
            • ayat (7)Retribusi pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)…
            • ayat (8)Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (9)Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada…
          • Pasal 89Ketentuan lebih lanjut mengenai Retribusi diatur dengan atau berdasarkan…
          • Pasal 90Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat…
          • Pasal 91Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan jumlah…
            • ayat (1)Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan nilai rupiah …
            • ayat (2)Tarif Retribusi sebagaimana d imaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam…
            • ayat (1)Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ditinjau kembali paling…
            • ayat (2)Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan…
            • ayat (3)Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan deng…
        • Pasal 94Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan…
            • ayat (1)Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung…
            • ayat (2)Kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi …
            • ayat (3)Penetapan tarif Pajak yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada…
            • ayat (4)Penetapan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud…
            • ayat (5)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan tarif Pajak dan Retribusi …
            • ayat (1)Evaluasi rancangan Perda provinsi mengenai Pajak dan Retribusi dilakukan oleh…
            • ayat (2)Rancangan Perda provinsi mengenai Pajak dan Retribusi yang telah disetujui…
            • ayat (3)Evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota mengenai Pajak dan Retribusi…
            • ayat (4)Rancangan Perda kabupaten/kota mengenai Pajak dan Retribusi yang telah …
            • ayat (5)Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan…
            • ayat (6)Gubernur melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda sebagaimana dimaksud…
            • ayat (7)Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan…
            • ayat (8)Dalam pelaksanaan koordinasi sebagaiman a dimaksud pada ayat (7), Menteri…
            • ayat (9)Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri sebagaimana…
            • ayat (10)Hasil evaluasi sebagaimana dimaks ud pada ayat (9) disampaikan oleh menteri…
            • ayat (11)Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan…
            • ayat (12)Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9),…
            • ayat (13)Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9),…
            • ayat (14)Ketentuan lebi h lanjut mengenai tata cara evaluasi rancangan Perda tentang…
            • ayat (1)Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/wali kota disampaikan…
            • ayat (2)Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri…
            • ayat (3)Dalam hal berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)…
            • ayat (4)Penyampaian rekomendasi perubahan Perda oleh Menteri kepada menteri yang…
            • ayat (5)Berdasarkan rekomendasi perubahan Perda yang disampaikan oleh Menteri, menteri…
            • ayat (6)Jika dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja, gubernur/bupati/wali kota tidak…
            • ayat (7)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi Perda tentang Pajak dan…
            • ayat (1)Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, gubernur/bupati/wali kota…
            • ayat (2)Insentif fis kal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan,…
            • ayat (3)Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas…
            • ayat (4)Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan…
            • ayat (5)Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan…
            • ayat (6)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal …
          • ayat (1)Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit: a.…
          • ayat (2)Kebijakan makroekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a…
          • ayat (3)Kebijakan makroekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a…
          • ayat (1)Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu …
          • ayat (2)Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga …
          • ayat (3)Yang dikec ualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat…
          • ayat (4)Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberikan izin tertulis…
          • ayat (5)Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau…
          • ayat (6)Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan …
          • ayat (1)Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi…
          • ayat (2)Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui…
          • ayat (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif…
          • ayat (1)Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah …
          • ayat (2)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil…
          • ayat (3)Wewenang penyidik sebagaimana dim aksud pada ayat (1) adalah: a. menerima,…
          • ayat (4)Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya…
        • Pasal 106TKD terdiri atas: a. DBH; b. DAU; c. DAK; d. Dana Otonomi Khusus; e. Dana…
          • ayat (1)Pemerintah menetapkan kebijakan TKD.
          • ayat (2)Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada rencana…
          • ayat (3)Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan…
          • ayat (4)Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibahas terlebih dahulu dalam…
          • ayat (1)Anggaran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ditetapkan setiap tahun…
          • ayat (2)Rincian alokasi TKD menurut provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada…
          • ayat (1)Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dan besaran…
          • ayat (2)Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan …
          • Pasal 110Pagu DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 6 huruf a ditetapkan berdasarkan…
            • ayat (1)DBH terdiri atas: a. DBH pajak; dan b. DBH sumber daya alam.
            • ayat (2)DBH pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Pajak…
            • ayat (3)DBH sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri…
            • ayat (1)DBH Pajak Penghasilan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf a…
            • ayat (2)DBH Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 20%…
            • ayat (3)Pendaftaran Wajib Pajak atas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur pada ayat (1)…
            • ayat (1)DBH Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf…
            • ayat (2)DBH Pajak Bumi dan Bangunan untuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (1)DBH cukai hasil tembaka u sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf…
            • ayat (2)DBH cukai hasil tembakau untuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
            • ayat (3)DBH cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sesuai…
            • ayat (1)DBH sumber daya alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 11 ayat …
            • ayat (2)DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari iuran izin usaha…
            • ayat (3)DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari provisi sumber daya hutan …
            • ayat (4)DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi sebagaimana…
            • ayat (5)DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari da na reboisasi…
            • ayat (1)DBH sumber daya alam mineral dan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111…
            • ayat (2)DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap…
            • ayat (3)DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap…
            • ayat (4)DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi…
            • ayat (5)DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi…
            • ayat (1)DBH sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud da lam Pasal…
            • ayat (2)DBH sumber daya alam minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang…
            • ayat (3)DBH sumber daya alam minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang…
            • ayat (4)DBH sumber daya alam gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang…
            • ayat (5)DBH sumber daya alam gas bumi yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4…
            • ayat (1)DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat …
            • ayat (2)DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk…
            • ayat (3)DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang…
            • ayat (1)DBH sumber daya alam perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3)…
            • ayat (2)DBH sumber daya alam perikanan untuk Daerah sebagaimana di maksud pada ayat (1)…
          • Pasal 120Berdasarkan pagu DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, alokasi DBH per…
          • Pasal 121Dalam hal tidak terdapat kabupaten/kota pengolah sebagaimana dimaksud dalam…
          • Pasal 122Persentase pembagian DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan…
            • ayat (1)Selain DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1), Pemerintah dapat…
            • ayat (2)DBH lainnya sebagaimana dim aksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan…
            • ayat (3)DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mendanai…
            • ayat (4)Keten tuan lebih lanjut mengenai DBH lainnya Peraturan Pemerintah setelah…
          • ayat (1)Pagu nasional DAU ditetap kan dengan mempertimbangkan: a. Kebutuhan …
          • ayat (2)Proporsi pagu DAU antara Da erah provinsi dan Daerah kabupaten/kota …
          • ayat (3)Proporsi pagu DAU Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dibagi menjadi …
          • ayat (1)DAU untuk tiap-tiap Daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal untuk 1…
          • ayat (2)Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai selisih…
          • ayat (3)Kebutuhan fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan…
          • ayat (4)Potensi pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan…
          • ayat (1)Kebutuhan pendanaan Daerah dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…
          • ayat (2)Satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan…
          • ayat (3)Jumlah unit target layanan untuk tiap-tiap urusan sebagaimana dimaksud pada…
          • ayat (4)Faktor penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah indikator yang…
        • Pasal 127Data untuk menghitung kebutuhan fiskal Daerah dan potensi pendapatan Daerah…
          • ayat (1)DAU suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi yang…
          • ayat (2)Bobot provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi celah…
          • ayat (1)DAU suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/kota…
          • ayat (2)Bobot kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di hitung dengan…
          • ayat (1)DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dan Pasal 129 ay at (1)…
          • ayat (2)Penggunaan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas bagian DAU yang…
          • ayat (3)Bagian DAU yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)…
          • ayat (1)DAK dialokasikan sesuai de ngan kebijakan Pemerintah untuk mendanai program,…
          • ayat (2)Kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada: a.…
          • ayat (3)DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. DAK fisik, yang…
          • ayat (4)Perencanaan dan pengalokasian DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat…
          • ayat (5)DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam…
          • ayat (6)DAK sebagaimana dimaksud pada aya t (1) dialokasikan untuk mencapai target…
          • ayat (7)Hibah kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, yang bersumber…
          • ayat (1)Dana Otonomi Khusus dialokasikan kepada Daerah yang memiliki otonomi khusus…
          • ayat (2)Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi antara provinsi…
          • ayat (3)Pengelolaan Dana Otonomi Khusus dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang…
          • ayat (1)Dana Keistimewaan dialokasikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Daerah…
          • ayat (2)Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diserahkan kepada…
          • ayat (3)Pendanaan atas urusan keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)…
          • ayat (4)Pengelolaan Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan…
          • ayat (1)Dana Desa merupakan pendapatan desa yang dananya bersumber dari APBN.
          • ayat (2)Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dengan…
          • ayat (3)Pemerintah dapat menentukan fokus penggunaan Dana Desa setiap tahunnya…
          • ayat (4)Penganggaran, pengalokasian, pelaporan, pemantauan, dan evaluasi Dana Desa…
          • ayat (1)Pemerintah dap at memberikan insentif fiskal kepada Daerah atas pencapaian …
          • ayat (2)Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perbaikan dan/atau…
          • ayat (1)Menteri mengalokasikan bagian dana TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106…
          • ayat (2)Bagian dana TKD untuk Daera h persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
          • ayat (3)Daerah induk menganggarkan bagian dana TKD untuk Daerah persiapan sesuai…
          • ayat (4)Dalam hal Daerah persiapan berada di wilayah Daerah yang memiliki otonomi…
          • ayat (5)Pengalokasian dana TKD untuk Daerah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat…
          • ayat (1)Dana TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 untuk Daerah baru dialokasikan…
          • ayat (2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Daerah baru yang…
          • ayat (3)Dalam hal undang-undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah t anggal…
          • ayat (4)Proporsi dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain dihitung…
          • ayat (5)Dalam hal undang-undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah penetapan…
          • ayat (1)Penyaluran TKD dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas negara ke kas…
          • ayat (2)Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sekaligus…
        • Pasal 139Ketentuan lebih lanjut mengen ai mekanisme perencanaan, penganggaran,…
        • Pasal 140Belanja Daerah disusun dengan menggunakan pendekatan: a. kerangka …
          • ayat (1)Pemerinta h Daerah menyusun program pembangunan Daerah sesuai dengan…
          • ayat (2)Program sebagaiman a dimaksud pada ayat (1) disinkronisasikan dan…
          • ayat (1)Alokasi anggaran untuk setiap perangkat Daerah ditentukan berdasarkan…
          • ayat (2)Alokasi anggaran untuk setiap perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada…
          • ayat (3)Dalam rangka memfokuskan pencapa ian target pelayanan publik, perangkat …
          • ayat (1)Belanja Daerah disusun berdasarkan standar harga dan analisis standar belanja.
          • ayat (2)Standar harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup standar harga untuk…
          • ayat (3)Standar harga untuk belanja operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)…
          • ayat (4)Standar tunjangan kinerja aparatur sipil negara pada Pemerintahan Daerah …
          • ayat (5)Analisis standar belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun…
          • ayat (6)Pedoman mengenai standar harga dan analisis standar belanja sebagaimana…
          • ayat (1)Belanja untuk pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait …
          • ayat (2)Belanja Daerah dapat dialokasikan untuk pelaksanaan Urusan Pemerintahan…
          • ayat (1)Daerah wajib mengalokasikan belanja untuk mendanai Urusan Pemerintaha n…
          • ayat (2)Belanja Daerah yang berasal dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya…
          • ayat (1)Daerah wajib mengalokasikan belanja pegawai Daerah di luar tunjangan guru yang…
          • ayat (2)Dalam hal persentase belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) t…
          • ayat (3)Besaran persentase belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat…
          • ayat (1)Daerah wajib mengalokasikan belanja infrastruktur pelayanan publik paling…
          • ayat (2)Belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa sebagaimana…
          • ayat (3)Dalam hal persentase belanja infrastruktur pelayanan publik sebagaimana…
          • ayat (4)Besaran persentase belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat…
        • Pasal 148Dalam hal Daerah tidak melaksanakan ketentuan alokasi Belanja Daerah…
          • ayat (1)Dalam hal terdapat SiLPA yang telah ditentukan penggunaannya berdasarkan…
          • ayat (2)Dalam hal SiLPA Daerah tinggi dan kinerja layanan tinggi, SiLPA dapat…
          • ayat (3)Dalam hal SiLPA Daerah ting gi dan kinerja layanan rendah, Pemerintah dapat…
          • ayat (4)Penilaian kinerja layanan sebagaimana dimaksud penilaian kinerja yang berlaku…
          • ayat (5)Ketentuan lebih lanjut mengenai optimalisasi SiLPA untuk Belanja Daerah diatur…
        • Pasal 150Pemerintah menyelenggarakan pengembangan kapasitas aparatur pengelola Keuangan…
          • ayat (1)Aparatur pengelo la Keuangan Daerah harus mendapatkan sertifikasi yang…
          • ayat (2)Pelaksanaan kewajiban sertif ikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
          • ayat (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengembangan aparatur…
          • ayat (1)Pengawasan pengelolaan APBD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan…
          • ayat (2)Lembaga pemerintahan yang membidangi pe ngawasan yang bertanggung jawab…
          • ayat (3)Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga…
          • ayat (4)Kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri bekerja …
        • Pasal 153Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan Belanja Daerah dan…
        • ayat (1)Pembiayaan Utang Daerah terdiri atas: a. Pinjaman Daera h; b. Obligasi Daerah;…
        • ayat (2)Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk…
        • ayat (3)Pemerintah tidak memberikan jaminan atas Pembiayaan Utang Daerah.
        • ayat (4)Pemerintah Daerah dilarang melakukan Pembiayaan langsung dari pihak luar…
        • ayat (5)Nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat…
        • ayat (6)Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksu d pada ayat (5) diberikan pada saat…
        • ayat (7)Dalam hal tertentu, Kepala Daerah dapat melakukan Pembiayaan melebihi nilai…
        • ayat (8)Pembiayaan Utang Daerah yang memenuhi persyaratan teknis dapat dilakukan…
        • ayat (1)Pinjaman Daerah dapat bersumber dari: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah…
        • ayat (2)Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat …
        • ayat (3)Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat …
        • ayat (4)Pinjaman Daerah sebaga imana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf…
        • ayat (5)Pinjaman Daerah dapat berbentuk konvensional atau syariah.
        • ayat (1)Pinjaman Daerah dilakukan dalam rangka: a. pengelolaan kas; b. pembiayaan pemb…
        • ayat (2)Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
        • ayat (3)Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
        • ayat (4)Pinjaman Daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah…
        • ayat (5)Pinjaman Daerah dalam rangka penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal…
        • ayat (6)Penugasan Pemerintah Daerah kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang…
        • ayat (1)Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka: a.…
        • ayat (2)Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah diterbitkan melalui pas ar modal domestik dan…
        • ayat (3)Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dalam rangka pembiayaan …
        • ayat (4)Penerbita n Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
        • ayat (5)Penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah…
        • ayat (1)Barang milik Daerah dan/atau objek Pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk…
        • ayat (2)Barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut sebagai aset…
        • ayat (3)Aset Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipindah…
      • Pasal 159Kepala Daerah bertanggung jawab atas pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah.
        • ayat (1)Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas Pembiayaan utang pihak…
        • ayat (2)Barang milik Daerah tidak dapat dijadikan jaminan atau digadaikan untuk…
        • ayat (1)Pemerintah Daerah wajib membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah pada saat…
        • ayat (2)Dana untuk membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada…
        • ayat (3)Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menganggarkan pembayaran kewajiban …
        • ayat (1)Dalam hal Daerah tidak membayar kewajiban Pinjaman Daerah yang bersumber dari…
        • ayat (2)Pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi…
      • Pasal 163Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, milik Daerah dan/atau…
        • ayat (1)Daerah dapat membentuk Dana Abadi Daerah yan g ditetapkan dengan Perda.
        • ayat (2)Pembentukan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
        • ayat (3)Hasil pengelolaan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
        • ayat (1)Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1) dikelola oleh…
        • ayat (2)Pengelolaan Dana Abadi Daerah dilakukan dalam investasi yang bebas dari…
        • ayat (3)Hasil pengelolaan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)…
      • Pasal 166Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan pengelolaan Dana…
        • ayat (1)Dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur dan/atau program …
        • ayat (2)Sinergi Pendanaan sebagaimana dimak sud pada ayat (1) dapat dilaksanakan…
        • ayat (3)Pendanaan dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari PAD,…
        • ayat (4)Pendanaan selain dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa…
        • ayat (5)Dalam rangka mendukung Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),…
      • Pasal 168Ketentuan lebih lanjut mengenai Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam…
        • ayat (1)Pemerintah menyinergikan kebijakan fiskal nasional.
        • ayat (2)Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan…
        • ayat (1)Pemerintah Daerah menyinergikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal…
        • ayat (2)Rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana kerja pemerintah …
      • Pasal 171Penyelarasan dengan rencana jangka menengah nasional dan renca na kerja …
      • Pasal 172Penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah se bagaimana…
      • Pasal 173Pengendalian dalam kondisi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat…
      • Pasal 174Sinergi bagan akun standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf…
      • Pasal 175Pemerintah dapat memberikan sanksi berupa penundaa n dan/atau pemotongan TKD…
      • Pasal 176Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169…
      • Pasal 177Pemerintah memba ngun sistem informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan…
      • Pasal 178Dalam rangka penyajian informasi keuangan Da erah secara nasional sebagaimana…
        • ayat (1)Pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala paling sedikit…
        • ayat (2)Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan…
        • ayat (3)Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadik…
      • Pasal 180Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana…
        • ayat (1)Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan…
        • ayat (2)Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagai…
      • Pasal 182Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah…
      • Pasal 183Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud…
      • Pasal 184Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam…
      • Pasal 185Denda sebagaimana di maksud dalam Pasal 181, Pasal 183, dan Pasal 184 merupakan…
      • Pasal 186Dalam hal terdapat beban Keuangan Negara akibat perbuatan hukum yang dilakukan…
      • Pasal 187Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. terhadap hak dan kewajiban Wajib…
      • Pasal 188Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. peraturan perundang-undangan …
        • ayat (1)Pada saat Undang-Undang ini mula i berlaku: a. Undang-Undang Nomor 33 Tahun…
        • ayat (2)Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hubungan Keuangan…
      • Pasal 190Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur…
        • ayat (1)Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, Pajak MBLB, Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen…
        • ayat (2)Ketentuan mengenai alokasi atas DAU dan DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal…
      • Pasal 192Peraturan pelak sanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua)…
      • Pasal 193Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
  • PENUTUP
Kerangka<< >>

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDO NESIA
NOMOR 1 TAHUN 2022
TENTANG
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT
DAN PEMERINTAHAN DAERAH


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
  1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provins i dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah;

  2. bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembant uan;

  3. bahwa untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efektif dan efisien, perlu diatur tata kelola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang adil, selaras, dan akuntabel berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  4. bahwa sesuai dengan Pasal 18A ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan keuangan, pelayanan umum, lainnya antara pemerintah pusat d an pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang;

  5. bahwa sesuai dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan nega ra diatur dengan undang-undang;

  6. bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan keadaan dan pelaksanaan desentralisasi fiskal, sehingga perlu diganti;

  7. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan keadaan dan pelaksanaan desentralisasi fiskal, sehingga perlu diganti;

  8. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g, perlu membentuk Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;


Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A ayat (2), Pasal 18B, Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem penyelenggaraan keuangan yang mengatur hak dan kewajiban keuangan antar a pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel, dan selaras berdasarkan undang-undang.

  2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerin tahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

  4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indone sia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah oto nom.

  6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur

  7. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum ya ng mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  8. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

  9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.

  10. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.

  11. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

  12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah.

  13. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.

  14. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.

  15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran

  16. Anggaran Pendapat an dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

  17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Da erah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.

  18. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.

  19. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan guber nur dan peraturan bupati/wali kota.

  20. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah y ang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  21. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imb alan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  22. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan d an/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

  23. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.

  24. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  25. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.

  26. Wajib Retribusi adalah orang pri badi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.

  27. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tid ak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan , yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

  28. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemil ikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.

  29. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi k arena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.

  30. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi

  31. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.

  32. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, t idak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

  33. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak a tas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.

  34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.

  35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di a tas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.

  36. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentuka n melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

  37. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.

  38. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.

  39. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang- undang di bidang pertanahan dan Bangunan.

  40. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.

  41. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.

  42. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsume n akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.

  43. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.

  44. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.

  45. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.

  46. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pe mbangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.

  47. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.

  48. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaa n

  49. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.

  50. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelengg araan reklame.

  51. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.

  52. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.

  53. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.

  54. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.

  55. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.

  56. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.

  57. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

  58. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.

  59. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.

  60. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga maxina , colloc alia esculanta , dan collocalia linchi .

  61. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.

  62. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentua n peraturan perundang-undangan.

  63. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

  64. Opsen Pajak Mineral Bukan Lo gam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

  65. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apa bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

  66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.

  67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

  68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemb erian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi lingkungan.

  69. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dala m rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

  70. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, y ang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah .

  71. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah.

  72. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD y ang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.

  73. Dana Otonomi Khusus adalah bagia n dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus.

  74. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang

  75. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.

  76. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang s erta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.

  77. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (sa tu) periode anggaran.

  78. Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun- tahun anggaran berikutnya.

  79. Pinjaman Daerah adalah pembiayaan utang Daerah yang diikat dal am suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.

  80. Obligasi Daer ah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.

  81. Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.

  82. Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari APBD dan selain APBD dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau

  83. Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat d igunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok.


Pasal 2

Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:

  1. pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi;

  2. pengelolaan TKD;

  3. pengelolaan Belanja Daerah;

  4. pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan

  5. pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional.


Pasal 3

Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pe merintahan Daerah meliputi:

  1. penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD; dan

  2. penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.


BAB II
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH


Bagian Kesatu
Pajak


Paragraf 1
Jenis Pajak

Pasal 4
(1)

Pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri atas:

  1. PKB;

  2. BBNKB;

  3. PAB;

  4. PBBKB;

  5. PAP;

  6. Pajak Rokok; dan

  7. Opsen Pajak MBLB.

(2)

Pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri atas:

  1. PBB-P2;

  2. BPHTB;

  3. PBJT;

  4. Pajak Reklame;

  5. PAT;

  6. Pajak MBLB;

  7. Pajak Sarang Burung Walet;

  8. Opsen PKB; dan

  9. Opsen BBNKB.

(3)

Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipungut oleh Daerah yang setingkat den gan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom.


Pasal 5
(1)

Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e serta Pasal 4 ayat (2) huruf a, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i meru pakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah.

(2)

Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf f, dan huruf g serta Pasal 4 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut ber dasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.

(3)

Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.

(4)

Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.

(5)

Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan ole h Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 6
(1)

Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).

(2)

Jenis Pajak sebagaimana dimaksud da lam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dapat tidak dipungut, dalam hal:

  1. potensinya kurang memadai; dan/atau

  2. Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut.

(3)

Jenis Pajak yang tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi.


Paragraf 2
PKB

Pasal 7
(1)

Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.

(2)

Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:

  1. kereta api;

  2. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negar a;

  3. Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari Pemerintah;

  4. Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan

  5. Kendaraan Bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda.


Pasal 8
(1)

Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.

(2)

Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.


Pasal 9
(1)

Dasar pengenaan PKB adalah h asil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:

  1. bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.

(2)

Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kenda raan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor.

(3)

Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.

(4)

Nilai jual Kend araan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.

(5)

Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.

(6)

Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:

  1. harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan te naga yang sama;

  2. penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;

  3. harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;

  4. harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;

  5. harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;

  6. harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan

  7. harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.

(7)

Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan seb agai berikut:

  1. koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan

  2. koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau p encemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.

(8)

Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:

  1. Tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kend araan Bermotor;

  2. jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan

  3. jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Ber motor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.

(9)

Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan:

  1. untuk Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyele nggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri; dan

  2. untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai dimaksud pada ayat (1) huruf b.

(10)

Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.


Pasal 10
(1)

Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:

  1. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama, ditetapkan paling tinggi 1,2% (satu koma dua persen); dan

  2. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermo tor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 6% (enam persen).

(2)

Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:

  1. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama paling tinggi sebesar 2% (dua persen); dan

  2. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perse n).

(3)

Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, d itetapkan paling tinggi 0,5% (nol koma lima persen).

(4)

Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.

(5)

Tarif PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 11
(1)

Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5).

(2)

PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendar aan Bermotor terdaftar.

(3)

PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut- turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.


Paragraf 3
BBNKB

Pasal 12
(1)

Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.

(2)

Kendaraan Bermotor sebagaima na dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:

  1. kereta api;

  2. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;

  3. Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;

  4. Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan;

  5. Kendaraan Bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda.

(4)

Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dip akai secara tetap di Indonesia, kecuali:

  1. untuk diperdagangkan;

  2. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan

  3. digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.

(5)

Pengecualian sebagaimana dimaks ud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.


Pasal 13
(1)

Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.

(2)

Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.


Pasal 14

Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggaraka n Urusan Pemerintahan dalam negeri dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9).


Pasal 15
(1)

Tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 12% (dua belas persen).

(2)

Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terba gi dalam Daerah paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

(3)

Tarif BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 16
(1)

Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3).

(2)

BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.

(3)

Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum p endaftaran Kendaraan Bermotor.

(4)

Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 4
PAB

Pasal 17
(1)

Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat .

(2)

Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:

  1. Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia ;

  2. Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan

  3. kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat lainnya yang diatur dalam Perda.


Pasal 18
(1)

Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.

(2)

Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.


Pasal 19
(1)

Dasar pengenaan PAB adalah nilai jua l Alat Berat.

(2)

Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.

(3)

Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang dipero leh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.

(4)

Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sete lah mendapat pertimbangan dari Menteri.

(5)

Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.


Pasal 20
(1)

Tarif PAB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).

(2)

Tarif PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 21
(1)

Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dengan ta rif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).

(2)

PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.


Pasal 22
(1)

PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.

(2)

PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.

(3)

PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.

(4)

Dalam hal terjadi k eadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.

(5)

Ketentuan lebih lanj ut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan gubernur.


Paragraf 5
PBBKB

Pasal 23

Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.

Pasal 2 4

(1)

Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.

(2)

Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.

(3)

Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.

(4)

Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah produsen dan/atau impo rtir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.


Pasal 25

Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.


Pasal 26
(1)

Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh per sen).

(2)

Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.

(3)

Untuk jenis BBKB tertentu, Pemerintah dapat menyesuaikan tarif PBBKB yang sudah ditetapkan dalam Per da dalam rangka stabilisasi harga.

(4)

Penyesuaian tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

(5)

Tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 27

Besaran pokok PBBKB yang teru tang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.


Paragraf 6
PAP

Pasal 28
(1)

Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.

(2)

Yang dikecu alikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:

  1. keperluan dasar rumah tangga;

  2. pengairan pertanian rakyat;

  3. perikanan rakyat;

  4. keperluan keagamaan;

  5. kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau); dan

  6. kegiatan lainnya yang ditetapkan dalam Perda, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ketentuan peraturan perundang- undangan.


Pasal 29
(1)

Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pem anfaatan Air Permukaan.

(2)

Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.


Pasal 30
(1)

Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.

(2)

Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada aya t (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.

(3)

Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian

(4)

Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:

  1. lokasi pengambilan air;

  2. volume air; dan

  3. kewenangan pengelolaan sumber daya air.

(5)

Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan gubernur.

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.


Pasal 31
(1)

Tarif PAP ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2)

Tarif PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 32
(1)

Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pa sal 30 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2).

(2)

PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.


Paragraf 7
Pajak Rokok

Pasal 33
(1)

Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.

(2)

Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya

(3)

Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan p erundang-undangan di bidang cukai.


Pasal 34
(1)

Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.

(2)

Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.

(3)

Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.

(4)

Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan ju mlah penduduk.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 35

Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.


Pasal 36

Tarif Pajak Rokok d itetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.


Pasal 37

Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam P asal 36.


Paragraf 8
PBB-P2

Pasal 38
(1)

Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

(2)

Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.

(3)

Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:

  1. Bumi dan/atau Bangun an kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;

  2. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagama an, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;

  3. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;

  4. Bumi yang merupa kan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;

  5. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas p erlakuan timbal balik;

  6. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri;

  7. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu ( Mass Rapid Transit ), lintas raya terpa du ( Light Rail Transit ), atau yang sejenis;

  8. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan

  9. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.


Pasal 39
(1)

Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

(2)

Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.


Pasal 40
(1)

Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.

(2)

NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.

(3)

NJOP tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

(4)

Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/ko ta, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.

(5)

NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(6)

NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkemba ngan wilayahnya.

(7)

Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah.

(8)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 41
(1)

Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima pe rsen).

(2)

Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya.

(3)

Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 42

Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3).


Pasal 43
(1)

Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (sat u) tahun kalender.

(2)

Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.

(3)

Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.


Paragraf 9
Bea Perolehan Hak A tas Tanah
dan/atau Bangunan (BPHTB)

Pasal 44
(1)

Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

(2)

Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. pemindahan hak karena:

    1. jual beli;

    2. tukar-menukar;

    3. hibah;

    4. hibah wasiat;

    5. waris;

    6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;

    7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

    8. penunjukan pembeli dalam lelang;

    9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

    10. penggabungan usaha;

    11. peleburan usaha;

    12. pemekaran u saha; atau

    13. hadiah; dan

  2. pemberian hak baru karena:

    1. kelanjutan pelepasan hak; atau

    2. di luar pelepasan hak.

(3)

Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. hak milik;

  2. hak guna usaha;

  3. hak guna bangunan;

  4. hak pakai;

  5. hak milik atas sa tuan rumah susun; dan

(4)

Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:

  1. untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik neg ara atau barang milik Daerah;

  2. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

  3. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri;

  4. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

  5. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

  6. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;

  7. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan

  8. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undanga n.


Pasal 45
(1)

Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

(2)

Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


Pasal 46
(1)

Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.

(2)

Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

  1. harga transaksi untuk jual beli;

  2. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan

  3. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.

(3)

Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui at au lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.

(4)

Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5)

Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.

(6)

Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(7)

Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang lebih tinggi daripada nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

(8)

Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 47
(1)

Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi s ebesar 5% (lima persen).

(2)

Tarif BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 48
(1)

Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) setelah dikurang i nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2).

(2)

BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada .


Pasal 49

Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:

  1. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;

  2. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;

  3. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidan g pertanahan untuk waris;

  4. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;

  5. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;

  6. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau

  7. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.


Paragraf 10
PBJT

Pasal 50

Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi bar ang dan jasa tertentu yang meliputi:

  1. Makanan dan/atau Minuman;

  2. Tenaga Listrik;

  3. Jasa Perhotelan;

  4. Jasa Parkir; dan

  5. Jasa Kesenian dan Hiburan.


Pasal 51
(1)

Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a melipu ti Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:

  1. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;

  2. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:

    1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;

    2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan

    3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.

(2)

Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:

  1. dengan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dalam Perda;

  2. dilakuka n oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;

  3. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau

  4. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat ( lounge ) pada bandar udara.


Pasal 52
(1)

Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud Listrik oleh pengguna akhir.

(2)

Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

  1. konsu msi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;

  2. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;

  3. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;

  4. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan

  5. konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang diatur dengan Perda.


Pasal 53
(1)

Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:

  1. hotel;

  2. hostel;

  3. vila;

  4. pondok wis ata;

  5. motel;

  6. losmen;

  7. wisma pariwisata;

  8. pesanggrahan;

  9. rumah penginapan/ guesthouse /bungalo /resort/ cottage ;

  10. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan

(2)

Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;

  2. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;

  3. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;

  4. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan

  5. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.


Pasal 54
(1)

Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d meliputi:

  1. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau

  2. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).

(2)

Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

  2. jasa tempat parkir yang diseleng garakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;

  3. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan

  4. jasa tempat parkir lainnya yang diatur dengan Perda.


Pasal 55
(1)

Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e meliputi:

  1. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual suatu lokasi tertentu;

  2. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;

  3. kontes kecantikan;

  4. kontes binaraga;

  5. pameran;

  6. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;

  7. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;

  8. permainan ketangkasan;

  9. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;

  10. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;

  11. panti pijat dan pijat refleksi; dan

  12. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

(2)

Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:

  1. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;

  2. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; da n/atau

  3. bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang diatur dengan Perda.


Pasal 56
(1)

Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.

(2)

Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan j asa tertentu.


Pasal 57
(1)

Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu.

(2)

Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.


Pasal 58
(1)

Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2)

Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).

(3)

Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:

  1. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan

  2. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen).

(4)

Tarif PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 59
(1)

Besaran pokok PBJT yang terutang d ihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4).

(2)

PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.

(3)

Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat tertentu dilakukan.


Paragraf 11
Pajak Reklame

Pasal 60
(1)

Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.

(2)

Objek Pajak Reklame sebag aimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. Reklame papan/ billboard /videotron /megatron ;

  2. Reklame kain;

  3. Reklame melekat/stiker;

  4. Reklame selebaran;

  5. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;

  6. Reklame udara;

  7. Reklame apung;

  8. Reklame film/ slide; dan

  9. Reklame peragaan.

(3)

Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:

  1. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;

  2. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;

  3. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Perkada dengan berpedoman pada kete ntuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;

  4. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;

  5. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka tidak disertai dengan iklan k omersial; dan

  6. Reklame lainnya yang diatur dengan Perda.


Pasal 61
(1)

Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.

(2)

Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.


Pasal 62
(1)

Dasar Pengenaan Pa jak Reklame adalah nilai sewa Reklame.

(2)

Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.

(3)

Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.

(4)

Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5)

Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perkada.


Pasal 63
(1)

Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).

(2)

Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 64
(1)

Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).

(2)

Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.

(3)

Khusus untuk Reklam e berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.


Paragraf 12
PAT

Pasal 65
(1)

Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.

(2)

Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:

  1. keperluan dasar rumah tangga;

  2. pengairan pertanian rakyat;

  3. perikanan rakyat;

  4. peternakan rakyat;

  5. keperluan keagamaan; dan

  6. kegiatan lainnya yang diatur dengan Perda.


Pasal 66
(1)

Subjek PAT adalah orang p ribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.

(2)

Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Pasal 67
(1)

Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.

(2)

Nilai peroleh an Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.

(3)

Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.

(4)

Bobot A ir Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:

  1. jenis sumber air;

  2. lokasi sumber air;

  3. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;

  4. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;

  5. kualitas air ; dan

  6. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.


Pasal 68
(1)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) diatur dengan peraturan gubernur denga n berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

(2)

Peraturan yang ditetapkan oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan kebijakan ke mudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.


Pasal 69
(1)

Tarif PAT ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

(2)

Tarif PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 70
(1)

Besaran pokok PA T yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2).

(2)

PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfa atan Air Tanah.

(3)

Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Paragraf 13
Pajak MBLB

Pasal 71
(1)

Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:

  1. asbes;

  2. batu tulis;

  3. batu setengah permata;

  4. batu kapur;

  5. batu a pung;

  6. batu permata;

  7. bentonit;

  8. dolomit;

  9. feldspar ;

  10. garam batu ( halite );

  11. grafit;

  12. granit/andesit;

  13. gips;

  14. kalsit;

  15. leusit;

  16. magnesit;

  17. mika;

  18. marmer;

  19. nitrat;

  20. obsidia n;

  21. oker;

  22. pasir dan kerikil;

  23. pasir kuarsa;

  24. perlit;

  25. fosfat;

  26. talk;

  27. tanah serap ( fullers ear th);

  28. tanah diatom;

  29. tanah liat;

  30. tawas ( alum);

  31. tras;

  32. yarosi t;

  33. zeolit;

  34. basal;

  35. trakhit;

  36. belerang;

  37. MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan

  38. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undan gan.

(2)

Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:

  1. untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;

  2. untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penan aman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan

  3. untuk keperluan lainnya yang ditetapkan dengan


Pasal 72
(1)

Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.

(2)

Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.


Pasal 73
(1)

Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.

(2)

Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.

(3)

Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.

(4)

Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan keten tuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.


Pasal 74
(1)

Tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).

(2)

Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).

(3)

Tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 75
(1)

Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dalam Pasal 74 ayat (3).

(2)

Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.


Paragraf 14
Pajak Sar ang Burung Walet

Pasal 76
(1)

Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.

(2)

Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

  1. pengambilan sarang Burung Walet yang t elah dikenakan penerimaan negara bukan pajak; dan

  2. kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Perda.


Pasal 77
(1)

Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/ atau mengusahakan sarang Burung Walet.

(2)

Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.


Pasal 78
(1)

Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.

(2)

Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet.


Pasal 79
(1)

Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

(2)

Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Perda.


Pasal 80

Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burun g Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2).


Paragraf 15
Opsen

Pasal 81

Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:

  1. PKB;

  2. BBNKB; dan

  3. Pajak MBLB.


Pasal 82

Wajib Pa jak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 merupakan Wajib Pajak atas jenis Pajak:

  1. PKB;

  2. BBNKB; dan

  3. Pajak MBLB.


Pasal 83
(1)

Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:

  1. Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen);

  2. Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh en am persen); dan

  3. Opsen Pajak MBLB sebesar 25% (dua puluh lima dihitung dari besaran Pajak terutang.

(2)

Besaran tarif Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 84
(1)

Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenak an Opsen.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Paragraf 16
Bagi Hasil Pajak Provinsi

Pasal 85
(1)

Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota.

(2)

Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada kabupaten/kota.

(3)

Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP dimaksud dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen).

(4)

Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota.

(5)

Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan sebagai berikut:

  1. PBBKB dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

  2. PAP dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air; dan

  3. Pajak Rokok dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan jumlah penduduk kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Perda provinsi.


Paragraf 17
Penerimaan Pajak yang Diarahkan
Penggunaannya

Pasal 86
(1)

Hasil penerimaan atas jeni s pajak berikut:

  1. PKB dan Opsen PKB;

  2. PBJT atas Tenaga Listrik;

  3. Pajak Rokok; dan

  4. PAT, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.

(2)

Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis Pajaknya.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peratur an Pemerintah.


Bagian Kedua
Retribusi


Paragraf 1
Jenis dan Objek Retribusi

Pasal 87
(1)

Jenis Retribusi terdiri atas:

  1. Retribusi Jasa Umum;

  2. Retribusi Jasa Usaha; dan

  3. Retribusi Perizinan Tertentu.

(2)

Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/a tau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.

(3)

Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.

(4)

Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/ dinikmati.


Paragraf 2
Jenis Pelayanan Retribusi

Pasal 88
(1)

Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a meliputi:

  1. pelayanan kesehatan;

  2. pelayanan kebersihan;

  3. pelayanan parkir di tepi jalan umum;

  4. pelayanan pasar; dan

  5. pengendalian lalu lintas.

(2)

Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.

(3)

Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf b meliputi:

  1. penyediaan tempat kegiat an usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;

  2. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;

  3. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;

  4. penyediaan tempat penginapan/ pesanggrahan/vila;

  5. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;

  6. pelayanan jasa kepelabuhanan;

  7. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;

  8. pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di ai r;

  9. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan

  10. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ket entuan peraturan perundang-undangan.

(4)

Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c meliputi:

  1. persetujuan bangunan gedung;

  2. penggunaan tenaga kerja asing; dan

  3. pengelolaan pertambangan rakyat.

(5)

Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaimana atas penerbitan persetujuan bangunan gedung oleh Daerah.

(6)

Retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hu ruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing.

(7)

Retribusi pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan Daerah berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara.

(8)

Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(9)

Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) antara lain:

  1. Objek Retribusi;

  2. Subjek dan Wajib Retribus i;

  3. Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi; dan

  4. Tata cara penghitungan Retribusi.


Pasal 89

Ketentuan lebih lanjut mengenai Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Paragraf 3
Tata Cara Penghitungan Retribusi

Pasal 90

Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.


Pasal 91

Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya ya ng dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.


Pasal 92
(1)

Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.

(2)

Tarif Retribusi sebagaimana d imaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.


Pasal 93
(1)

Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.

(2)

Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.

(3)

Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan deng an Perkada.


Bagian Ketiga
Muatan Perda tentang Pajak
dan Retribusi


Pasal 94

Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribus i, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.


Bagian Keempat
Pemungutan Pajak dan Ret ribusi


Paragraf 1
Ketentuan Umum dan Tata Cara
Pemungutan Pajak dan Retribusi

Pasal 95
(1)

Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.

(2)

Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:

  1. pendaftaran dan pendataan;

  2. penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;

  3. pembayaran dan penyetoran;

  4. pelaporan;

  5. pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;

  6. pemeriksaan Pa jak;

  7. penagihan Pajak dan Retribusi;

  8. keberatan;

  9. gugatan;

  10. penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Kepala Daerah; dan

  11. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.

(3)

Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retrib usi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Paragraf 2
Pemberian Keringanan, Pengurangan,
dan Pembebasan

Pasal 96
(1)

Kepala Daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembaya ran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.

(2)

Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.


Bagian Kelima
Pengaturan Pajak dan Retribusi
dalam rangka Mendukung Kemudahan
Berusaha dan Berinvestasi


Paragraf 1
Kewenangan Pemerintah dalam
Pengawasan dan Evaluasi Tarif

Pasal 97
(1)

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta untuk mendorong pertumbuhan industri dan/atau usaha yang berdaya saing tinggi serta memberikan pelindungan dan pengaturan yang berkeadilan, Pemerintah sesuai dengan program prioritas nasional dapa t melakukan penyesuaian terhadap kebijakan Pajak dan Retribusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

(2)

Kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

  1. dapat mengubah tarif Pajak dan tarif Retri busi dengan penetapan tarif Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional; dan

  2. pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

(3)

Penetapan tarif Pajak yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup tarif atas jenis Pajak provinsi dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(4)

Penetapan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2 ) huruf a mencakup objek Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan tarif Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Paragraf 2
Evaluasi Rancangan Perda dan Perda
Pajak dan Retribusi

Pasal 98
(1)

Evaluasi rancangan Perda provinsi mengenai Pajak dan Retribusi dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri.

(2)

Rancangan Perda provinsi mengenai Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh DPRD provinsi dan gubernur sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal

(3)

Evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota mengenai Pajak dan Retribusi dilakukan oleh gubernur, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan Menteri.

(4)

Rancangan Perda kabupaten/kota mengenai Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada gubernur, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan Menteri paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetu juan.

(5)

Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian rancangan Perda dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang- undangan lain yang lebih tinggi .

(6)

Gubernur melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk menguji kesesuaian rancangan Perda dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perun dang-undangan lain yang lebih tinggi.

(7)

Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) berkoordinasi dengan Menteri.

(8)

Dalam pelaksanaan koordinasi sebagaiman a dimaksud pada ayat (7), Menteri melakukan evaluasi dari sisi kebijakan fiskal nasional.

(9)

Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat berupa persetujuan atau penolakan.

(10)

Hasil evaluasi sebagaimana dimaks ud pada ayat (9) disampaikan oleh menteri yang menyelenggarakan untuk rancangan Perda provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/wali kota untuk rancangan Perda kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya rancangan Perda dimaksud dengan tembusan kepada Menteri.

(11)

Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan dengan disertai alasan penolakan.

(12)

Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), rancangan Perda dimaksud dapat langsung ditetapkan.

(13)

Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), rancangan Perda dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/wali kota bersama dengan DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri untuk rancangan Perda provinsi dan kepada gubernur dan Menteri untuk rancangan Perda kabupaten/kota.

(14)

Ketentuan lebi h lanjut mengenai tata cara evaluasi rancangan Perda tentang Pajak dan Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Pasal 99
(1)

Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/wali kota disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Urus an Pemerintahan dalam negeri dan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan untuk dilakukan evaluasi.

(2)

Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan evaluasi Perda provinsi/kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah berlaku untuk menguji kesesuaian antara Perda dimaksud dengan kepentingan umum, tinggi, dan kebijakan fiskal nasional.

(3)

Dalam hal berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Perda bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan/atau kebijakan fiskal nasional, Menteri merekomendasikan dilakukannya perubahan atas Perda dimaksud kepada menteri yang menyelenggarakan Urusa n Pemerintahan dalam negeri.

(4)

Penyampaian rekomendasi perubahan Perda oleh Menteri kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterim anya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5)

Berdasarkan rekomendasi perubahan Perda yang disampaikan oleh Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri memerintahkan gubernur/bupati/wali kota untuk melakukan perubahan Perda dal am waktu 15 (lima belas) hari kerja.

(6)

Jika dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja, gubernur/bupati/wali kota tidak melakukan perubahan atas Perda tersebut, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri menyampaikan rekomendasi pemberian san ksi kepada Menteri.

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi Perda tentang Pajak dan Retribusi dan pengawasan pelaksanaan Perda mengenai Pajak dan Retribusi dan aturan pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 10 0 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dan Pasal 99 oleh Daerah pemotongan DAU dan/atau DBH. (2) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Menteri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 3
Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi

Pasal 101
(1)

Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.

(2)

Insentif fis kal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.

(3)

Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan, antara lain:

  1. kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;

  2. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab la innya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;

  3. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;

  4. untuk mendukung kebijakan Pem erintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau

  5. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam

(4)

Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Kepala Daerah dalam memberikan insentif fiskal tersebut.

(5)

Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Perkada.

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keenam
Penetapan Target Penerimaan
Pajak dan Retribusi dalam APBD


Pasal 102
(1)

Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:

  1. kebijakan makroekonomi Daerah; dan

  2. poten si Pajak dan Retribusi.

(2)

Kebijakan makroekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangg uran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.

(3)

Kebijakan makroekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makroekonomi regional dan kebijakan makroekonomi yang mendasari penyusunan APBN.


Bagian Ketujuh
Kerahasi aan Data Wajib Pajak


Pasal 103
(1)

Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-unda ngan di bidang perpajakan Daerah.

(2)

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.

(3)

Yang dikec ualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:

  1. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan

  2. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.

(4)

Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.

(5)

Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas p ermintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Kepala Daerah dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatka n bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.

(6)

Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkuta n dengan keterangan yang diminta.


Bagian Kedelapan
Insentif Pemungutan
Pajak dan Retribusi


Pasal 104
(1)

Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.

(2)

Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kesembilan
Penyidikan


Pasal 105
(1)

Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pi dana.

(2)

Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Wewenang penyidik sebagaimana dim aksud pada ayat (1) adalah:

  1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;

  2. meneliti, menc ari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;

  3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan denga n tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;

  4. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;

  5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;

  6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;

  7. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;

  8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;

  9. memanggil orang untuk diden gar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

  10. menghentikan penyidikan; dan/atau

  11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perunda ng-undangan.

(4)

Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Und ang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.


BAB III
TRANSFER KE DAERAH


Bagian Kesatu
Jenis dan Kebijakan TKD


Pasal 106

TKD terdiri atas:

  1. DBH;

  2. DAU;

  3. DAK;

  4. Dana Otonomi Khusus;

  5. Dana Keistimewaan; dan

  6. Dana Desa.


Pasal 107
(1)

Pemerintah menetapkan kebijakan TKD.

(2)

Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan peraturan perundang- undangan terkait, selaras dengan rencana kerja rancangan APBN tahun anggara n berikutnya.

(3)

Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat setiap tahunnya.

(4)

Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibahas terlebih dahulu dalam forum dewan pertimbangan otonomi daerah sebelum penyam paian nota keuangan dan rancangan APBN ke Dewan Perwakilan Rakyat.


Bagian Kedua
Anggaran dan Alokasi TKD


Pasal 108
(1)

Anggaran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ditetapkan setiap tahun dalam Undang-Undang mengenai APBN.

(2)

Rincian alokasi TKD menurut provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Presiden.


Pasal 109
(1)

Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dan besaran anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) dapat disesuaikan denga n memperhatikan kondisi perekonomian nasional.

(2)

Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Ketiga
DBH


Paragraf 1
Umum

Pasal 110

Pagu DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 6 huruf a ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan 1 (satu) tahun sebelumnya.


Pasal 111
(1)

DBH terdiri atas:

  1. DBH pajak; dan

  2. DBH sumber daya alam.

(2)

DBH pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

  1. Pajak Penghasilan;

  2. Pajak Bumi dan Bangunan ; dan

  3. cukai hasil tembakau.

(3)

DBH sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

  1. kehutanan;

  2. mineral dan batu bara;

  3. minyak bumi dan gas bumi;

  4. panas bumi; dan

  5. perikanan.


Paragraf 2
DBH Pajak

Pasal 112
(1)

DBH Pajak Penghasilan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf a merupakan Pajak Penghasilan Pasal 21 serta Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang dipungut oleh Pemerintah undangan.

(2)

DBH Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:

  1. provinsi yang bersangkutan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen);

  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 8,9% (delap an koma sembilan persen); dan

  3. kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 3,6% (tiga koma enam persen).

(3)

Pendaftaran Wajib Pajak atas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri.


Pasal 113
(1)

DBH Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf b ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) untuk Daerah.

(2)

DBH Pajak Bumi dan Bangunan untuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada:

  1. provinsi yang bers angkutan sebesar 16,2% (enam belas koma dua persen);

  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 73,8% (tujuh puluh tiga koma delapan persen); dan

  3. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 10% (sepuluh persen).


Pasal 114
(1)

DBH cukai hasil tembaka u sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf c ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari penerimaan cukai hasil tembakau dalam negeri.

(2)

DBH cukai hasil tembakau untuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan dan/atau Daerah lainnya yang meliputi:

  1. provinsi yang bersangkutan sebesar 0,8% (nol koma delapan persen);

  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 1,2% (satu koma dua persen); dan

  3. kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan seb esar 1% (satu persen).

(3)

DBH cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 3
DBH Sumber Daya Alam

Pasal 115
(1)

DBH sumber daya alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 11 ayat (3) huruf a bersumber dari penerimaan:

  1. iuran izin usaha pemanfaatan hutan;

  2. provisi sumber daya hutan; dan

  3. dana reboisasi.

(2)

DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk bagian Daerah, dibagikan kepada:

  1. provinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua persen); dan

  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 48% (empat puluh delapan persen).

(3)

DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari provisi sumber daya hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagikan kepada:

  1. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);

  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);

  3. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 16% (enam belas persen); dan

  4. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 1 6% (enam belas persen).

(4)

DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk provinsi penghasil.

(5)

DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari da na reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.


Pasal 116
(1)

DBH sumber daya alam mineral dan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) huruf b bersumber dari p enerimaan:

  1. iuran tetap; dan

  2. iuran produksi.

(2)

DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang diperoleh dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pant ai, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:

  1. provinsi yang bersangkutan sebesar 30% (tiga puluh persen); dan

  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 50% (lima puluh persen).

(3)

DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap sebagaimana dimaksud di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk provinsi penghasil.

(4)

DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 80% (delapa n puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:

  1. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);

  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);

  3. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesa r 12% (dua belas persen);

  4. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 12% (dua belas persen); dan

  5. kabupaten/kota pengolah sebesar 8% (delapan persen).

(5)

DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagikan kepada:

  1. provinsi penghasil sebesar 26% (dua puluh enam persen);

  2. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 46% (empat puluh enam persen); dan

  3. kabupaten/kota pengolah sebesar 8% (delapan


Pasal 117
(1)

DBH sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud da lam Pasal 111 ayat (3) huruf c bersumber dari bagian negara yang diperoleh dari pengusahaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)

DBH sumber daya alam minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 15,5% (lima belas koma lima persen), dibagikan kepada:

  1. provinsi yang bersangkutan sebes ar 2% (dua persen);

  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 6,5% (enam koma lima persen);

  3. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 3% (tiga persen);

  4. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 3% (tiga persen); dan

  5. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).

(3)

DBH sumber daya alam minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dihasilkan dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 15,5% (lima belas koma lima persen), dibagikan kepada:

  1. Provinsi penghasil sebesar 5% (lima persen);

  2. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 9,5% (sembilan koma lima persen); dan

  3. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).

(4)

DBH sumber daya alam gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sejauh 4 (empat) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 30,5% (tiga puluh koma lima persen), dibagikan kepada:

  1. provinsi yang bersangkutan sebesar 4% (empat persen);

  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 13,5% (tiga belas koma lima persen);

  3. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 6% (enam persen);

  4. kabupaten/kota lainnya dala m provinsi yang bersangkutan sebesar 6% (enam persen); dan

  5. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).

(5)

DBH sumber daya alam gas bumi yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 30,5% (tiga puluh koma lima persen), dibagikan kepada:

  1. provinsi penghasil sebesar 10% (sepuluh persen);

  2. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 19,5% (sembilan belas koma lima persen); dan

  3. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).


Pasal 118
(1)

DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) huruf d, bersumber dari:

  1. iuran tetap; dan

  2. iuran produksi.

(2)

DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk yang bersumber pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

(3)

DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagikan kepada:

  1. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);

  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);

  3. kabupaten/kota lainnya yang berba tasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 12% (dua belas persen);

  4. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 12% (dua belas persen); dan

  5. kabupaten/kota pengolah sebesar 8% (delapan persen).


Pasal 119
(1)

DBH sumber daya alam perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) huruf e ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan.

(2)

DBH sumber daya alam perikanan untuk Daerah sebagaimana di maksud pada ayat (1) dibagikan kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia dan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom dengan mempertimbangkan luas wilayah laut.


Pasal 120

Berdasarkan pagu DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, alokasi DBH per Daerah pembobotan sebagai berikut:

  1. 90% (sembilan puluh persen) berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan Daerah penghasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan Pasal 119; dan

  2. 10% (sepuluh persen) berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah.


Pasal 121

Dalam hal tidak terdapat kabupaten/kota pengolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118, porsi kabupaten/kota pengolah dibagikan secara merata kepada kabupat en/kota lainnya dalam satu provinsi yang bersangkutan dan kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/ kota penghasil.


Pasal 122

Persentase pembagian DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan Pasal 120 dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.


Pasal 123
(1)

Selain DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1), Pemerintah dapat menetapkan jenis DBH lainnya.

(2)

DBH lainnya sebagaimana dim aksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara yang dapat diidentifikasi Daerah penghasilnya.

(3)

DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mendanai kegiatan tertentu sesuai dengan kewenangan Daerah dan/atau prioritas nasional.

(4)

Keten tuan lebih lanjut mengenai DBH lainnya Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.


Bagian Keempat
DAU


Pasal 124
(1)

Pagu nasional DAU ditetap kan dengan mempertimbangkan:

  1. Kebutuhan pelayanan publik sebagai bagian dari pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah;

  2. kemampuan Keuangan Negara;

  3. pagu TKD secara keseluruhan; dan

  4. target pembangunan nasional.

(2)

Proporsi pagu DAU antara Da erah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempertimbangkan kebutuh an pendanaan dalam rangka pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah antara provinsi dan kabupaten/kota.

(3)

Proporsi pagu DAU Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan karakteristik tertentu.


Pasal 125
(1)

DAU untuk tiap-tiap Daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal untuk 1 (satu) tahun anggaran.

(2)

Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai selisih antara kebutuh an fiskal Daerah dan potensi pendapatan Daerah.

(3)

Kebutuhan fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kebutuhan pendanaan Daerah dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

(4)

Potensi pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penjumlahan dari potensi PAD, alokasi DBH, dan alokasi DAK nonfisik.


Pasal 126
(1)

Kebutuhan pendanaan Daerah dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (3) dihitung berdasarkan perkiraan satuan biaya dikalikan dengan jumlah unit target layanan untuk tiap-tiap urusan dan dikalikan dengan faktor penyesuaian, serta mempertimbangkan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan.

(2)

Satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhitungkan biaya investasi dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

(3)

Jumlah unit target layanan untuk tiap-tiap urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah target penerima layanan, sep erti jumlah penduduk atau jumlah siswa, dan kesenjangan tingkat kebutuhan infrastruktur dasar dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

(4)

Faktor penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah indikator yang memperhatikan antara lain luas wilayah, karakteristik wilayah, dan indeks kemahalan konstruksi.


Pasal 127

Data untuk menghitung kebutuhan fiskal Daerah dan potensi pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (3) dan ayat (4) diperoleh dari lembaga Pemerin tah yang berwenang menerbitkan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 128
(1)

DAU suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3).

(2)

Bobot provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi celah fiskal provinsi yang bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh provinsi dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3).


Pasal 129
(1)

DAU suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh kabupaten/kota dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3).

(2)

Bobot kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di hitung dengan membagi celah fiskal kabupaten/kota yang bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh kabupaten/kota dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3).


Pasal 130
(1)

DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dan Pasal 129 ay at (1) digunakan untuk memenuhi pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan tingkat capaian kinerja layanan Daerah.

(2)

Penggunaan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas bagian DAU yang tidak ditentukan penggunaannya dan bagian DAU yang diten tukan penggunaannya.

(3)

Bagian DAU yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan.


Bagian Kelima
DAK


Pasal 131
(1)

DAK dialokasikan sesuai de ngan kebijakan Pemerintah untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu dengan tujuan:

  1. mencapai prioritas nasional;

  2. mempercepat pembangunan Daerah;

  3. mengurangi kesenjangan layanan publik;

  4. mendorong pertumbuhan perekonomian Daerah; dan/atau

  5. mendukung operasionalisasi layanan publik.

(2)

Kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:

  1. rencana pembangunan jangka menengah nasional;

  2. rencana kerja pemerintah;

  3. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal;

  4. arahan Presi den; dan

  5. ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

  1. DAK fisik, yang digunakan untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik Daerah;

  2. DAK nonfisik, yang digunakan untuk mendukung operasionalisasi layanan publik Daerah; dan

  3. hibah kepada Daerah, yang digunakan untuk mendukung pembangunan fisik dan/atau layanan publik Daerah tertentu yang didasarkan pada perjanjian antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

(4)

Perencanaan dan pengalokasian DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disinergikan dengan pendanaan lainnya.

(5)

DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam Undang-Undang mengenai APBN sesuai dengan kemampuan Keuangan Negara.

(6)

DAK sebagaimana dimaksud pada aya t (1) dialokasikan untuk mencapai target kinerja Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(7)

Hibah kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, yang bersumber dari luar negeri, dilakukan melalui Pemerintah.


Bagian Keenam
Dana Otonomi Khusus


Pasal 132
(1)

Dana Otonomi Khusus dialokasikan kepada Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan Undang-Undang mengenai otonomi khusus.

(2)

Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan secara adil dan transparan sesuai dengan Undang-Undang mengenai otonomi khusus.

(3)

Pengelolaan Dana Otonomi Khusus dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana pembangunan jangk a menengah Daerah serta target kinerja.


Bagian Ketujuh
Dana Keistimewaan


Pasal 133
(1)

Dana Keistimewaan dialokasikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keistimewaan Dae rah Istimewa Yogyakarta.

(2)

Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diserahkan kepada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan urusan keistimewaan Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yan g dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

(3)

Pendanaan atas urusan keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan memperhatikan kebutuhan dan pr ioritas tiap-tiap kabupaten/kota.

(4)

Pengelolaan Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana pembangunan jangka menengah Daerah serta targ et kinerja.


Bagian Kedelapan
Dana Desa


Pasal 134
(1)

Dana Desa merupakan pendapatan desa yang dananya bersumber dari APBN.

(2)

Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dengan mempertimbangkan pemerataan dan keadilan yang dihitung berdasarkan ki nerja desa, jumlah desa, jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.

(3)

Pemerintah dapat menentukan fokus penggunaan Dana Desa setiap tahunnya sesuai dengan prioritas nasional yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan mengenai perencanaan nasional dan alokasi TKD.

(4)

Penganggaran, pengalokasian, pelaporan, pemantauan, dan evaluasi Dana Desa dilaksanakan undangan.


Bagian Kesembilan
Insentif Fiskal


Pasal 135
(1)

Pemerintah dap at memberikan insentif fiskal kepada Daerah atas pencapaian kinerja berdasarkan kriteria tertentu.

(2)

Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja Pemerintahan Daerah, antara lain pengelolaan Keuangan Daera h, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar.


Bagian Kesepuluh
TKD untuk Daerah Persiapan


Pasal 136
(1)

Menteri mengalokasikan bagian dana TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a dan huruf b untuk Daerah persiapan.

(2)

Bagian dana TKD untuk Daera h persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung secara proporsional dari alokasi dana TKD yang diterima Daerah induk berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, target layanan, dan/atau lokasi.

(3)

Daerah induk menganggarkan bagian dana TKD untuk Daerah persiapan sesuai dengan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai anggaran Belanja Daerah persiapan dalam APBD Daerah induk.

(4)

Dalam hal Daerah persiapan berada di wilayah Daerah yang memiliki otonomi khusus atau yang memiliki keistimewaan, pengalo kasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk bagian dana TKD yang

(5)

Pengalokasian dana TKD untuk Daerah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) diberikan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kesebelas
TKD untuk Daerah Baru


Pasal 137
(1)

Dana TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 untuk Daerah baru dialokasikan secara mandiri pada tahun anggaran berikutnya sejak undang-undang pembentukan Daerah ter sebut diundangkan.

(2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Daerah baru yang undang-undang pembentukannya diundangkan sebelum atau pada tanggal 30 Juni tahun berkenaan.

(3)

Dalam hal undang-undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah t anggal 30 Juni tahun berkenaan, dana TKD untuk Daerah baru diperhitungkan secara proporsional dari dana TKD yang dialokasikan untuk Daerah induk.

(4)

Proporsi dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain dihitung berdasarkan jumlah penduduk, luas w ilayah, target layanan, lokasi, dan/atau status Daerah penghasil DBH.

(5)

Dalam hal undang-undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah penetapan APBN tahun berikutnya, pembagian TKD antara Daerah induk dengan Daerah baru dituangkan dalam Peraturan Presi den.


Bagian Kedua Belas
Penyaluran TKD


Pasal 138
(1)

Penyaluran TKD dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas negara ke kas Daerah.

(2)

Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sekaligus atau bertahap dengan mempertimbangkan:

  1. kemampuan Keuangan Negara;

  2. kinerja pelaksanaan kegiatan di Daerah yang didanai dari Pajak dan dana TKD; dan/atau

  3. kebijakan pengendalian Belanja Daerah dan kas Daerah, dalam rangka sinergi pengelolaan fiskal nasional.


Pasal 139

Ketentuan lebih lanjut mengen ai mekanisme perencanaan, penganggaran, pengalokasian, penyaluran, penggunaan, pelaporan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 138 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


BAB IV
PENGELOLAAN BELANJA DAERAH


Bagian Kesatu
Penganggaran Belanja Daerah


Pasal 140

Belanja Daerah disusun dengan menggunakan pendekatan:

  1. kerangka pengeluaran jangka menengah Daerah;

  2. penganggaran terpadu; dan

  3. penganggaran berbasis kinerja.


Pasal 141
(1)

Pemerinta h Daerah menyusun program pembangunan Daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik dan pencapaian sasaran pembangunan.

(2)

Program sebagaiman a dimaksud pada ayat (1) disinkronisasikan dan diharmonisasikan dengan program yang dilaksanakan oleh Pemerintah.


Pasal 142
(1)

Alokasi anggaran untuk setiap perangkat Daerah ditentukan berdasarkan target kinerja pelayanan publik tiap-tiap Urusan Pemerintahan .

(2)

Alokasi anggaran untuk setiap perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan pemerataan antarperangkat Daerah atau berdasarkan alokasi anggaran pada tahun anggaran sebelumnya.

(3)

Dalam rangka memfokuskan pencapa ian target pelayanan publik, perangkat Daerah menganggarkan program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan skala prioritas.


Pasal 143
(1)

Belanja Daerah disusun berdasarkan standar harga dan analisis standar belanja.

(2)

Standar harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup standar harga untuk belanja operasi dan standar tunjangan kinerja aparatur sipil negara pada Pemerintah Daerah.

(3)

Standar harga untuk belanja operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan standar harga satuan regional dengan mempertimbangkan kebutuhan, kepatutan, dan kewajaran.

(4)

Standar tunjangan kinerja aparatur sipil negara pada Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan paling sedikit mempertimbangkan capaian reformasi birokrasi Daerah, kelas jabatan, dan kemampuan Keuangan Daerah yang bersangkutan.

(5)

Analisis standar belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.

(6)

Pedoman mengenai standar harga dan analisis standar belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Pasal 144
(1)

Belanja untuk pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan untuk pencapaian standar pelayanan minimal.

(2)

Belanja Daerah dapat dialokasikan untuk pelaksanaan Urusan Pemerintahan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar dan Ur usan Pemerintahan pilihan setelah mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 145
(1)

Daerah wajib mengalokasikan belanja untuk mendanai Urusan Pemerintaha n Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)

Belanja Daerah yang berasal dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya dianggarkan dan perundang-undan gan.


Pasal 146
(1)

Daerah wajib mengalokasikan belanja pegawai Daerah di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari total belanja APBD.

(2)

Dalam hal persentase belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) t elah melebihi 30% (tiga puluh persen), Daerah harus menyesuaikan porsi belanja pegawai paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.

(3)

Besaran persentase belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan melalui keputusan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur sipil negara dan reformasi birokrasi.


Pasal 147
(1)

Daerah wajib mengalokasikan belanja infrastruktur pelayanan publik paling rendah 40% (empat puluh persen) dari total belanja APBD di luar belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa.

(2)

Belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Dalam hal persentase belanja infrastruktur pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencapai 40% (empat puluh persen), Daerah harus menyesuaikan porsi belanja infrastruktur pelayanan publik paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak

(4)

Besaran persentase belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan melalui keputusan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri teknis terkait dengan mempertimbangkan antara lain arah pembangunan infrastruktur nasional yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah nasiona l.


Pasal 148

Dalam hal Daerah tidak melaksanakan ketentuan alokasi Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 sampai dengan Pasal 147, Daerah dapat dikenai sanksi penundaan dan/atau pemotongan dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya.


Bagian Kedua
Optimalisasi SiLPA untuk Belanja Daerah


Pasal 149
(1)

Dalam hal terdapat SiLPA yang telah ditentukan penggunaannya berdasarkan peraturan perundang- undangan pada tahun anggaran sebelumnya, Daerah wajib menganggarkan SiLPA dimaksud sesuai dengan pengguna annya.

(2)

Dalam hal SiLPA Daerah tinggi dan kinerja layanan tinggi, SiLPA dapat diinvestasikan dan/atau digunakan untuk pembentukan Dana Abadi Daerah dengan memperhatikan kebutuhan yang menjadi prioritas Daerah yang harus dipenuhi.

(3)

Dalam hal SiLPA Daerah ting gi dan kinerja layanan rendah, Pemerintah dapat mengarahkan penggunaan SiLPA dimaksud untuk belanja infrastruktur pelayanan publik Daerah yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah.

(4)

Penilaian kinerja layanan sebagaimana dimaksud penilaian kinerja yang berlaku untuk penghitungan DAU.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai optimalisasi SiLPA untuk Belanja Daerah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga
Pengembangan Aparatur
Pengelola Keu angan Daerah


Pasal 150

Pemerintah menyelenggarakan pengembangan kapasitas aparatur pengelola Keuangan Daerah dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pengelolaan Keuangan Daerah dan meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan.


Pasal 151
(1)

Aparatur pengelo la Keuangan Daerah harus mendapatkan sertifikasi yang diberikan oleh lembaga yang ditugaskan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan pengembangan kapasitas aparatur pengelola Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150.

(2)

Pelaksanaan kewajiban sertif ikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan masa transisi sampai dengan 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengembangan aparatur pengelola Keuangan Daerah dan standardisasinya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat
Pengawasan APBD


Pasal 152
(1)

Pengawasan pengelolaan APBD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)

Lembaga pemerintahan yang membidangi pe ngawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dalam hal tertentu, melakukan pengawasan intern terhadap rancangan APBD ataupun pelaksanaan APBD dalam rangka memberikan masukan kepada Presiden.

(3)

Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga pemerintahan yang membidangi pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.

(4)

Kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri bekerja sama dengan lembaga pemerintahan yang membidangi pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melakukan penguatan terhadap kapabilitas aparat pengawasan intern Pemerintah Daerah untuk mendukung peningkatan kualitas pengelolaan APBD .


Pasal 153

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan Belanja Daerah dan pengawasan APBD diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


BAB V
PEMBIAYAAN UTANG DAERAH


Pasal 154
(1)

Pembiayaan Utang Daerah terdiri atas:

  1. Pinjaman Daera h;

  2. Obligasi Daerah; dan

  3. Sukuk Daerah.

(2)

Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk membiayai Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

(3)

Pemerintah tidak memberikan jaminan atas Pembiayaan Utang Daerah.

(4)

Pemerintah Daerah dilarang melakukan Pembiayaan langsung dari pihak luar negeri.

(5)

Nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu) tahun anggaran terlebih dahulu mendapat persetujuan DPRD.

(6)

Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksu d pada ayat (5) diberikan pada saat pembahasan APBD.

(7)

Dalam hal tertentu, Kepala Daerah dapat melakukan Pembiayaan melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan dilaporkan sebagai perubahan APBD tahun yang bersangkutan.

(8)

Pembiayaan Utang Daerah yang memenuhi persyaratan teknis dapat dilakukan melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah setelah mendapat pertimbangan dari Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang meny elenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.

Bagian Kesatu Pinjaman Daerah


Pasal 155
(1)

Pinjaman Daerah dapat bersumber dari:

  1. Pemerintah;

  2. Pemerintah Daerah lain;

  3. lembaga keuangan bank; dan/atau

  4. lembaga keuangan bukan bank.

(2)

Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan melalui Menteri setelah mendapatkan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pe merintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.

(3)

Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui penugasan kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank.

(4)

Pinjaman Daerah sebaga imana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pemberi pinjaman.

(5)

Pinjaman Daerah dapat berbentuk konvensional atau syariah.


Pasal 156
(1)

Pinjaman Daerah dilakukan dalam rangka:

  1. pengelolaan kas;

  2. pembiayaan pemb angunan infrastruktur Daerah;

  3. pengelolaan portofolio utang Daerah; dan/atau

  4. penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD.

(2)

Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan tidak dengan persetujuan DPRD.

(3)

Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dilunasi dalam tahun anggaran berkenaan.

(4)

Pinjaman Daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa pinjaman tunai dan/atau pinjaman kegiatan.

(5)

Pinjaman Daerah dalam rangka penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa penugasan dari Pemerintah/Pemerintah Daerah kepada BUMD untuk membiayai program/kegiatan yang bersifat strategis nasional atau penugasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6)

Penugasan Pemerintah Daerah kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang bukan merupakan program/kegiatan yang bersifat strategis nasional harus mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.

Bagian Kedua Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah


Pasal 157
(1)

Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka:

  1. pembiaya an pembangunan infrastruktur Daerah;

  2. pengelolaan portofolio utang Daerah; dan/atau

  3. penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD atas dana hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah.

(2)

Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah diterbitkan melalui pas ar modal domestik dan dalam mata uang Rupiah.

(3)

Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk penyediaan sarana dan prasarana Daerah.

(4)

Penerbita n Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetujuan Menteri setelah mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.

(5)

Penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat pernyataan kesesuaian Sukuk Daerah terhadap prinsip-prinsip syariah dari ahli syariah pasar modal.


Pasal 158
(1)

Barang milik Daerah dan/atau objek Pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk Daerah dapat digunakan sebagai dasar penerbi tan Sukuk Daerah.

(2)

Barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut sebagai aset Sukuk Daerah, dapat berupa:

  1. tanah dan/atau bangunan; dan

  2. selain tanah dan/atau bangunan.

(3)

Aset Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipindah tangankan dan/atau dihapuskan sampai dengan jatuh tempo Sukuk Daerah.

Bagian Ketiga Pengelolaan dan Pertanggungjawaban


Pasal 159

Kepala Daerah bertanggung jawab atas pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah.


Pasal 160
(1)

Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas Pembiayaan utang pihak lain.

(2)

Barang milik Daerah tidak dapat dijadikan jaminan atau digadaikan untuk mendapatkan Pembiayaan Utang Daerah.


Pasal 161
(1)

Pemerintah Daerah wajib membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah pada saat jatuh tempo.

(2)

Dana untuk membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD sampai dengan berakhirnya kewajiban.

(3)

Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menganggarkan pembayaran kewajiban Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimak sud pada ayat (2), Kepala Daerah dan DPRD dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.


Pasal 162
(1)

Dalam hal Daerah tidak membayar kewajiban Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah dan lembaga yang mendapat penugasan dari Pemerintah yang telah jatuh tempo, Menteri dapat melakukan pemotongan dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya.

(2)

Pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.


Pasal 163

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, milik Daerah dan/atau objek Pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk Daerah dalam rangka penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 sampai dengan Pasal 162 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


BAB VI
PEMBENTUKAN DANA ABADI


Pasal 164
(1)

Daerah dapat membentuk Dana Abadi Daerah yan g ditetapkan dengan Perda.

(2)

Pembentukan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan antara lain kapasitas fiskal Daerah dan pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik.

(3)

Hasil pengelolaan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:

  1. memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya yang ditetapkan sebelumnya;

  2. memberikan sumbangan kepada penerimaan daerah; dan

  3. menyelenggarakan kemanfaatan umum lin tas generasi.


Pasal 165
(1)

Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1) dikelola oleh bendahara umum Daerah atau badan layanan umum Daerah.

(2)

Pengelolaan Dana Abadi Daerah dilakukan dalam investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai.

(3)

Hasil pengelolaan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Pendapatan Daerah.


Pasal 166

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan pengelolaan Dana Abadi Daerah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


BAB VII
SINERGI PENDANAAN


Pasal 167
(1)

Dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur dan/atau program prioritas lainnya sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan Sinergi Pendanaan.

(2)

Sinergi Pendanaan sebagaimana dimak sud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui berbagai sumber pendanaan baik dari APBD maupun selain dari APBD.

(3)

Pendanaan dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari PAD, TKD, dan/atau Pembiayaan Utang Daerah.

(4)

Pendanaan selain dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kerja sama dengan pihak swasta, badan usaha milik negara, BUMD, dan/atau Pemerintah Daerah lainnya.

(5)

Dalam rangka mendukung Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyinergikan dengan belanja kementerian/lembaga dan/atau tugas pembantuan.


Pasal 168

Ketentuan lebih lanjut mengenai Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


BAB VIII
SINERGI KEBIJAKAN
FISKAL NASION AL


Pasal 169
(1)

Pemerintah menyinergikan kebijakan fiskal nasional.

(2)

Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

  1. penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah;

  2. penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan U tang Daerah;

  3. pengendalian dalam kondisi darurat; dan

  4. sinergi bagan akun standar.


Pasal 170
(1)

Pemerintah Daerah menyinergikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal Daerah dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional, rencana kerja pemerintah, ker angka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, arahan Presiden, dan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2).

(2)

Rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan berbagai usulan program strategis Daerah sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan mengenai sistem perencanaan pembangunan nasional.


Pasal 171

Penyelarasan dengan rencana jangka menengah nasional dan renca na kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dilakukan melalui penyelarasan target kinerja makro Daerah dan target kinerja program Daerah dengan prioritas nasional.


Pasal 172

Penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah se bagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan:

  1. Menteri menetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD untuk tahun anggaran berikutnya, paling lama bulan Agustus tahun anggaran berjalan, dengan memperhatikan keadaan dan pe rkembangan perekonomian nasional;

  2. jumlah kumulatif defisit APBD dan defisit APBN tidak melebihi 3% (tiga persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan; dan

  3. jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pembiayaan Utang Daerah tidak meleb ihi 60% (enam puluh persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan.


Pasal 173

Pengendalian dalam kondisi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf c dilakukan dengan ketentuan:

  1. Pemerintah dapat mewajibkan Daerah un tuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocusing ), perubahan alokasi, dan perubahan penggunaan APBD;

  2. Pemerintah dapat melakukan penyesuaian besaran batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172; dan

  3. ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocusing ), perubahan alokasi, dan perubahan penggunaan APBD sebagaimana dimaksud pada huruf a dan penyesuaian batas maksimal defisit APBD d an Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada huruf b, diatur lebih lanjut oleh Peraturan menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.


Pasal 174

Sinergi bagan akun standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf d dilakukan paling sedikit melalui penyelarasan program dan kegiatan serta keluaran dengan kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 175

Pemerintah dapat memberikan sanksi berupa penundaa n dan/atau pemotongan TKD dalam hal Pemerintah Daerah tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 sampai dengan Pasal 174.


Pasal 176

Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 didukung dengan:

  1. penyusunan konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional sesuai dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Daerah;

  2. penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional; dan

  3. pemantauan dan evaluasi pendanaan desentralisasi.


Pasal 177

Pemerintah memba ngun sistem informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi lainnya melalui platform digital yang terinterkoneksi dengan sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional.


Pasal 178

Dalam rangka penyajian informasi keuangan Da erah secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 keuangan Daerah secara digital dalam jaringan.


Pasal 179
(1)

Pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala paling sedikit terhadap:

  1. pelaksa naan TKD; dan

  2. pelaksanaan APBD.

(2)

Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

(3)

Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadik an sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan fiskal nasional, TKD, dan/atau pemberian sanksi atau insentif kepada Pemerintah Daerah.


Pasal 180

Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud da lam Pasal 169 sampai dengan Pasal 179 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


BAB IX
KETENTUAN PIDANA


Pasal 181
(1)

Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daer ah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2)

Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagai mana dimaksud dalam Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.


Pasal 182

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.


Pasal 183

Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah , diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.


Pasal 184

Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Pasal 185

Denda sebagaimana di maksud dalam Pasal 181, Pasal 183, dan Pasal 184 merupakan pendapatan negara.


BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 186

Dalam hal terdapat beban Keuangan Negara akibat perbuatan hukum yang dilakukan oleh unsur menda patkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tanggung jawab atas perbuatan hukum dimaksud diperhitungkan dengan pemotongan TKD.


BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 187

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Undang- Undang ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini;

  2. Perda mengenai P ajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang ini;

  3. khusus ketentuan mengenai Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor, dan bagi hasil Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam Perda yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentan g Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang ini;

  4. dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c tidak dapat dipenuhi, ketentuan mengenai Pa jak dan Retribusi mengikuti ketentuan berdasarkan Undang-Undang ini;

  5. penerapan DAU sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini tidak boleh mengakibatkan penurunan alokasi DAU per daerah paling lama 5 ketentu an mengenai alokasi DAU berdasarkan Undang-Undang ini; dan

  6. ketentuan mengenai DBH sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua sebagaimana t elah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, dinyatakan tetap berlaku selama tidak diatur lain dalam Undang-Undang ini.


Pasal 188

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republ ik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); dan

  2. peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Neg ara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 202 0 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini.


BAB XII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 189
(1)

Pada saat Undang-Undang ini mula i berlaku:

  1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

  3. Pasal 1 angka 30, Pasal 1 angka 38, Pasal 1 angka 47 sampai dengan angka 49, Pasal 245 sepanjang terkait dengan Paja k Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 279, Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 1 sampai dengan angka 4, Pasal 288 sampai dengan Pasal 291, Pasal 296, Pasal 302, Pasal 324, dan Pasal 325 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Ne gara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20 20 Nomor 245, Tambahan 6573); dan

  4. Pasal 114 dan Pasal 176 angka 4 ayat (4) dalam Pasal 252 dan angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

(2)

Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Pajak dan Retribusi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.


Pasal 190

Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 104, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai pengha silan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.


Pasal 191
(1)

Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, Pajak MBLB, Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini mulai berlaku 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang ini.

(2)

Ketentuan mengenai alokasi atas DAU dan DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dilaksanakan sepenuhnya mulai Tahun Anggaran 2023.


Pasal 192

Peraturan pelak sanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai


Pasal 193

Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini d engan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari 2022

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari 2022

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLI K INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):