Penyandang Disabilitas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
Disclaimer
Dokumen peraturan ini ditampilkan sebagai hasil parsing semi-otomatis menggunakan teknologi OCR (Optical Character Recognition).
Oleh karena itu, dimungkinkan terdapat perbedaan format, penulisan, maupun kekeliruan teks dari dokumen aslinya.
Untuk keakuratan dan keabsahan, silakan merujuk pada dokumen resmi/sumber asli peraturan tersebut.
Bagian Kedua
Keadilan dan Perlindungan Hukum
Pasal 28
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin dan melindungi hak Penyandang Disabilitas sebagai subjek hukum untuk melakukan tindakan hukum yang sama dengan lainnya.
Pasal 29
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan bantuan hukum kepada Penyandang Disabilitas dalam setiap pemeriksaan pada setiap lembaga penegak hukum dalam hal keperdataan dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
Penegak hukum sebelum memeriksa Penyandang Disabilitas wajib meminta pertimbangan atau saran dari:
dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai kondisi kesehatan;
psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan; dan/atau
pekerja sosial mengenai kondisi psikososial.
Dalam hal pertimbangan atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan, maka dilakukan penundaan hingga waktu tertentu.
Pasal 31
Penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak penyandang disabilitas wajib mengizinkan kepada orang tua atau keluarga anak dan pendamping atau penerjemah untuk mendampingi anak penyandang disabilitas.
Pasal 32
Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
Pasal 33
Penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diajukan melalui permohonan kepada pengadilan negeri tempat tinggal Penyandang Disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada alasan yang jelas dan wajib menghadirkan atau melampirkan bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater.
Keluarga Penyandang Disabilitas berhak menunjuk seseorang untuk mewakili kepentingannya pada saat Penyandang Disabilitas ditetapkan tidak cakap oleh pengadilan negeri.
Dalam hal seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditunjuk mewakili kepentingan Penyandang Disabilitas melakukan tindakan yang berdampak kepada bertambah, berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan Penyandang Disabilitas wajib mendapat penetapan dari pengadilan negeri.
Pasal 34
Penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dapat dibatalkan.
Pembatalan penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal Penyandang Disabilitas.
Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Penyandang Disabilitas atau keluarganya dengan menghadirkan atau melampirkan bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater bahwa yang bersangkutan dinilai mampu dan cakap untuk mengambil keputusan.
Pasal 35
Proses peradilan pidana bagi Penyandang Disabilitas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
Pasal 36
Lembaga penegak hukum wajib menyediakan Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan.
Ketentuan mengenai Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Rumah tahanan negara dan lembaga permasyarakatan wajib menyediakan Unit Layanan Disabilitas.
Unit Layanan Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi:
menyediakan pelayanan masa adaptasi bagi tahanan Penyandang Disabilitas selama 6 (enam) bulan;
menyediakan kebutuhan khusus, termasuk obat– obatan yang melekat pada Penyandang Disabilitas dalam masa tahanan dan pembinaan; dan
menyediakan layanan rehabilitasi untuk Penyandang Disabilitas mental.
Pasal 38
Pembantaran terhadap Penyandang Disabilitas mental wajib ditempatkan dalam layanan rumah sakit jiwa atau pusat rehabilitasi.
Pasal 39
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan sosialisasi perlindungan hukum kepada masyarakat dan aparatur negara tentang Pelindungan Penyandang Disabilitas.
Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pencegahan;
pengenalan tindak pidana; dan
laporan dan pengaduan kasus eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan.