Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022
Disclaimer
Dokumen peraturan ini ditampilkan sebagai hasil parsing semi-otomatis menggunakan teknologi OCR (Optical Character Recognition).
Oleh karena itu, dimungkinkan terdapat perbedaan format, penulisan, maupun kekeliruan teks dari dokumen aslinya.
Untuk keakuratan dan keabsahan, silakan merujuk pada dokumen resmi/sumber asli peraturan tersebut.
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk yang diberlakukan secara khusus dalam Penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tertentu, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 21
Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus memenuhi persyaratan:
memiliki integritas dan kompetensi tentang Penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan Korban; dan
telah mengikuti pelatihan terkait Penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dalam hal belum terdapat penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual ditangani oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim yang berpengalaman dalam menangani Tindak Pidana Kekerasan Seksual berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
penyidik oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk;
penuntut umum oleh Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk; dan
hakim oleh Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk.
Pasal 22
Penyidik, penuntut umum, dan hakim melakukan pemeriksaan terhadap Saksi/Korban/tersangka/terdakwa dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi Korban atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pasal 23
Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.