Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022

Info
Isi
<<>>

BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 20

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk yang diberlakukan secara khusus dalam Penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tertentu, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.


Pasal 21
(1)

Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus memenuhi persyaratan:

  1. memiliki integritas dan kompetensi tentang Penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan Korban; dan

  2. telah mengikuti pelatihan terkait Penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

(2)

Dalam hal belum terdapat penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual ditangani oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim yang berpengalaman dalam menangani Tindak Pidana Kekerasan Seksual berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

(3)

Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. penyidik oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk;

  2. penuntut umum oleh Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk; dan

  3. hakim oleh Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk.


Pasal 22

Penyidik, penuntut umum, dan hakim melakukan pemeriksaan terhadap Saksi/Korban/tersangka/terdakwa dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi Korban atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.


Pasal 23

Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.


Bagian Kedua
Alat Bukti


Pasal 24
(1)

Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:

  1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;

  2. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

  3. barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.

(2)

Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.

(3)

Termasuk alat bukti surat yaitu:

  1. surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;

  2. rekam medis;

  3. hasil pemeriksaan forensik; dan/atau

  4. hasil pemeriksaan rekening bank.


Pasal 25
(1)

Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

(2)

Keluarga dari terdakwa dapat memberi keterangan sebagai Saksi di bawah sumpah/janji, tanpa persetujuan terdakwa.

(3)

Dalam hal keterangan Saksi hanya dapat diperoleh dari Korban, keterangan Saksi yang tidak dilakukan di bawah sumpah/janji, atau keterangan Saksi yang diperoleh dari orang lain, kekuatan pembuktiannya dapat didukung dengan keterangan yang diperoleh dari:

  1. orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana tersebut;

  2. Saksi yang keterangannya berdiri sendiri tetapi ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu dan keterangannya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah baik dalam kualifikasi sebagai keterangan Saksi maupun petunjuk; dan/atau

  3. ahli yang membuat alat bukti surat dan/atau ahli yang mendukung pembuktian tindak pidana.

(4)

Keterangan Saksi dan/atau Korban Penyandang Disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan Saksi dan/atau Korban yang bukan Penyandang Disabilitas.

(5)

Keterangan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib didukung dengan penilaian personal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akomodasi yang layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan.


Bagian Ketiga
Pendampingan Korban dan Saksi


Pasal 26
(1)

Korban dapat didampingi oleh Pendamping pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.

(2)

Pendamping Korban meliputi:

  1. petugas LPSK;

  2. petugas UPTD PPA;

  3. tenaga kesehatan;

  4. psikolog;

  5. pekerja sosial;

  6. tenaga kesejahteraan sosial;

  7. psikiater;

  8. Pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal;

  9. petugas Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat; dan

  10. Pendamping lain.

(3)

Pendamping Korban harus memenuhi syarat:

  1. memiliki kompetensi tentang Penanganan Korban yang berperspektif hak asasi manusia dan sensitivitas gender; dan

  2. telah mengikuti pelatihan Penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

(4)

Pendamping diutamakan berjenis kelamin sama dengan Korban.


Pasal 27
(1)

Saksi dan/atau Korban Penyandang Disabilitas dapat didampingi oleh orang tua, wali yang telah ditetapkan oleh pengadilan, dan/atau Pendamping.

(2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dalam hal orang tua dan/atau wali Korban atau Saksi berstatus sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara yang sedang diperiksa.


Pasal 28

Pendamping berhak mendapatkan Pelindungan hukum selama mendampingi Korban dan Saksi di setiap tingkat pemeriksaan.


Pasal 29

Pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 yang sedang melakukan Penanganan terhadap Korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas pendampingan atau pelayanannya, kecuali jika pendampingan atau pelayanannya diberikan tidak dengan iktikad baik.


Bagian Keempat
Restitusi


Pasal 30
(1)

Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan.

(2)

Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

  1. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

  2. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual;

  3. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau

  4. ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat Tindak Pidana Kekerasan Seksual.


Pasal 31
(1)

Penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberitahukan hak atas Restitusi kepada Korban dan LPSK.

(2)

Restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di kepaniteraan pengadilan negeri tempat perkara diperiksa.

(3)

Penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai jaminan Restitusi dengan izin pengadilan negeri setempat.

(4)

Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan hak pihak ketiga yang beriktikad baik.


Pasal 32

Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dikembalikan kepada pelaku dalam hal:

  1. perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; dan/atau

  2. berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.


Pasal 33
(1)

Restitusi diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak salinan putusan atau penetapan pengadilan diterima.

(2)

Jaksa menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memuat pemberian Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada terpidana, Korban, dan LPSK dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak salinan putusan pengadilan diterima.

(3)

Dalam hal pelaksanaan pemberian Restitusi kepada pihak Korban tidak dipenuhi sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.

(4)

Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi Restitusi untuk segera memenuhi kewajiban memberikan Restitusi kepada Korban atau ahli warisnya.

(5)

Hakim dalam putusan memerintahkan jaksa untuk melelang sita jaminan Restitusi sepanjang tidak dilakukan pembayaran Restitusi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(6)

Dalam hal Restitusi yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dan harta kekayaan terpidana yang dilelang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melebihi jumlah Restitusi yang diputuskan atau ditetapkan pengadilan, jaksa mengembalikan kelebihannya kepada terpidana.

(7)

Jika harta kekayaan terpidana yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencukupi biaya Restitusi, terpidana dikenai pidana penjara pengganti tidak melebihi ancaman pidana pokoknya.

(8)

Dalam hal terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan Korporasi, dilakukan penutupan sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan usaha Korporasi paling lama 1 (satu) tahun.

(9)

Pelaksanaan pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dilakukan dengan memperhitungkan Restitusi yang telah dibayar secara proporsional.


Pasal 34

Jaksa membuat berita acara pelaksanaan Restitusi dan disampaikan kepada:

  1. Korban dan Keluarga Korban;

  2. penyidik; dan

  3. pengadilan.


Pasal 35
(1)

Dalam hal harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (7), negara memberikan kompensasi sejumlah Restitusi yang kurang bayar kepada Korban sesuai dengan putusan pengadilan.

(2)

Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan melalui Dana Bantuan Korban.

(3)

Dana Bantuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperoleh dari filantropi, Masyarakat, individu, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat serta anggaran negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)

Ketentuan mengenai sumber, peruntukan, dan pemanfaatan Dana Bantuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 36
(1)

Terhadap perkara yang dikesampingkan demi kepentingan umum atau dihentikan demi hukum, untuk sita Restitusi atau Restitusi yang dititipkan berupa barang, dimintakan penetapan kepada ketua pengadilan negeri untuk dilakukan lelang.

(2)

Dalam hal perkara dikesampingkan demi kepentingan umum, permintaan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Jaksa Agung.

(3)

Dalam hal perkara dihentikan demi hukum pada tahap penyidikan, permintaan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyidik melalui penuntut umum.

(4)

Dalam hal perkara dihentikan demi hukum pada tahap penuntutan, permintaan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penuntut umum.

(5)

Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat sesuai dengan tahapan pemeriksaan perkara.

(6)

Dalam hal telah dilakukan lelang oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), hasil lelang digunakan untuk pembayaran Restitusi dengan memperhitungkan penilaian LPSK.


Pasal 37

Dalam hal pelaku adalah Anak, pemberian Restitusi dilakukan oleh orang tua atau wali.


Pasal 38

Ketentuan mengenai tata cara pengajuan Restitusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Pelaporan


Pasal 39
(1)

Korban atau orang yang mengetahui, melihat, dan/atau menyaksikan peristiwa yang merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual melaporkan kepada UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan/atau kepolisian, baik di tempat Korban berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana.

(2)

Tenaga medis atau tenaga kesehatan wajib menginformasikan kepada UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan/atau kepolisian jika menemukan adanya dugaan terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual.


Pasal 40

UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) wajib memberikan pendampingan dan Pelayanan Terpadu yang dibutuhkan Korban.


Pasal 41
(1)

UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat wajib:

  1. menerima laporan di ruang khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan Korban; dan

  2. menyelenggarakan penguatan psikologis bagi Korban,

dalam hal Korban menyampaikan laporan dan/atau informasi melalui UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.

(2)

UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat wajib membuat laporan kepada kepolisian atas laporan dan/atau informasi yang disampaikan oleh Korban, tenaga medis, tenaga kesehatan, psikiater, psikolog, atau pekerja sosial.

(3)

UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat wajib menyampaikan laporan dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Korban melapor.

(4)

Dalam hal Korban menyampaikan laporan langsung melalui kepolisian, kepolisian wajib menerima laporan di ruang pelayanan khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan Korban.

(5)

Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima oleh petugas atau penyidik yang melaksanakan pelayanan khusus bagi Korban.


Bagian Keenam
Pelindungan Korban


Pasal 42
(1)

Dalam waktu paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak menerima laporan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kepolisian dapat memberikan Pelindungan sementara kepada Korban.

(2)

Pelindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan surat perintah Pelindungan sementara untuk waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak Korban ditangani.

(3)

Untuk keperluan Pelindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian berwenang membatasi gerak pelaku, baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari Korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku.

(4)

Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam surat perintah Pelindungan sementara.


Pasal 43
(1)

Dalam waktu paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian Pelindungan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepolisian wajib mengajukan permintaan Pelindungan kepada LPSK.

(2)

Pemberian Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 44

Dalam hal pemberian Pelindungan sementara dan Pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1), kepolisian dan LPSK dapat bekerja sama dengan UPTD PPA.


Pasal 45
(1)

Dalam hal tersangka atau terdakwa tidak ditahan dan ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melakukan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, intimidasi, ancaman, dan/atau kekerasan kepada Korban dan berdasarkan permintaan Korban, Keluarga, penyidik, penuntut umum, atau Pendamping, hakim dapat mengeluarkan penetapan pembatasan gerak pelaku, baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari Korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku.

(2)

Penetapan pembatasan gerak pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 6 (enam) bulan.

(3)

Permohonan perpanjangan penetapan pembatasan gerak pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum masa berlaku pembatasan berakhir.

(4)

Pembatasan gerak pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kepolisian.

(5)

Dalam hal terdapat pelanggaran penetapan pembatasan gerak pelaku, terhadap tersangka atau terdakwa dilakukan penahanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.


Pasal 46
(1)

Pemerintah Pusat berwenang melakukan penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 47

Demi kepentingan umum, jaksa dapat mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri untuk memerintahkan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika menghapus informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.


Bagian Ketujuh
Pemeriksaan Saksi


Pasal 48
(1)

Dalam hal Saksi dan/atau Korban karena alasan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan/atau alasan lainnya yang sah tidak dapat hadir untuk diperiksa di persidangan, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara:

  1. pembacaan berita acara pemeriksaan yang telah diberikan di bawah sumpah/janji;

  2. pemeriksaan melalui perekaman elektronik; dan/atau

  3. pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual.

(2)

Keterangan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki nilai yang sama dengan keterangan Saksi yang diberikan di sidang pengadilan.


Pasal 49
(1)

Penyidik dapat melakukan pemeriksaan Saksi dan/atau Korban melalui perekaman elektronik dengan dihadiri penuntut umum, baik secara langsung maupun melalui sarana elektronik dari jarak jauh.

(2)

Perekaman elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas penetapan ketua pengadilan negeri.

(3)

Ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak menerima permohonan penetapan dari penyidik.

(4)

Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ketua pengadilan negeri tidak mengeluarkan penetapan, penyidik berdasarkan kewenangannya dapat melakukan pemeriksaan Saksi dan/atau Korban melalui perekaman elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5)

Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan:

  1. kondisi kesehatan, keamanan, keselamatan Saksi dan/atau Korban, dan/atau alasan lainnya yang sah didukung dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang atau pihak yang berkompeten;

  2. keputusan LPSK yang memberi Pelindungan terhadap Saksi dan/atau Korban;

  3. jumlah Saksi dan/atau Korban; dan/atau

  4. tempat kediaman atau tempat tinggal Saksi dan/atau Korban.

(6)

Dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap Saksi dan/atau Korban yang berkediaman atau bertempat tinggal di luar negeri, perekaman elektronik dilakukan dengan didampingi pejabat perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.


Pasal 50
(1)

Perekaman elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dibuatkan:

  1. berita acara pemeriksaan Saksi;

  2. berita acara perekaman elektronik; dan

  3. berita acara sumpah atau janji untuk Saksi yang dapat disumpah atau diambil janjinya.

(2)

Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditandatangani secara elektronik.


Pasal 51
(1)

Hakim dapat memerintahkan penuntut umum untuk melakukan pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual terhadap Saksi dan/atau Korban.

(2)

Perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan:

  1. kondisi kesehatan, keamanan, keselamatan Saksi dan/atau Korban, dan/atau alasan lainnya yang sah didukung dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang atau pihak yang berkompeten;

  2. keputusan LPSK yang memberi Pelindungan terhadap Saksi dan/atau Korban;

  3. jumlah Saksi dan/atau Korban; dan/atau

  4. tempat kediaman atau tempat tinggal Saksi dan/atau Korban.

(3)

Pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual dapat dilakukan di pengadilan tempat perkara diperiksa atau di tempat lain dengan memperhatikan kesehatan, keamanan, dan/atau keselamatan Saksi dan/atau Korban.

(4)

Dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap Saksi dan/atau Korban yang berkediaman atau bertempat tinggal di luar negeri, pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual dilakukan dengan didampingi pejabat perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.


Bagian Kedelapan
Penyidikan


Pasal 52

Dalam hal Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah Anak, penyidik dapat melakukan perekaman elektronik atau pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual, dengan persetujuan atau tanpa persetujuan orang tua atau walinya, dan dengan tetap memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak.


Pasal 53
(1)

Pemeriksaan pada tahap penyidikan dilakukan di ruang pelayanan khusus di kepolisian.

(2)

Dalam hal tertentu, pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di UPTD PPA atau tempat lain.


Pasal 54
(1)

Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap Korban, penyidik wajib berkoordinasi dengan Pendamping tentang kesiapan dan kebutuhan terkait kondisi Korban.

(2)

Hasil koordinasi dengan Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan dasar penyidik untuk melakukan pemeriksaan terhadap Korban.

(3)

Dalam hal Korban mengalami trauma berat, penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui Pendamping.


Pasal 55
(1)

Penyidik berwenang membuat suatu data dan/atau sistem elektronik yang terkait Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar tidak dapat diakses selain untuk proses peradilan.

(2)

Pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan kepala kejaksaan negeri setempat.


Bagian Kesembilan
Penuntutan


Pasal 56
(1)

Dalam hal dianggap perlu, penuntut umum dapat melakukan pertemuan pendahuluan dengan Saksi dan/atau Korban setelah menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik.

(2)

Pertemuan pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah penyerahan tersangka dan barang bukti.

(3)

Untuk keperluan pertemuan pendahuluan, penuntut umum melakukan pemanggilan terhadap Saksi dan/atau Korban dengan menyebut waktu, tempat, dan alasan pemanggilan.

(4)

Pertemuan pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui media elektronik dengan mempertimbangkan kesehatan, keamanan, dan/atau keselamatan Saksi dan/atau Korban.

(5)

Dalam pertemuan pendahuluan, Saksi dan/atau Korban dapat didampingi oleh Pendamping dan/atau Keluarga serta dapat dihadiri penyidik.

(6)

Dalam pertemuan pendahuluan, penuntut umum menyampaikan dan menjelaskan informasi mengenai:

  1. proses peradilan;

  2. hak Saksi dan/atau Korban, termasuk hak untuk mengajukan Restitusi serta tata cara pengajuannya;

  3. konsekuensi atas keputusan Saksi dan/atau Korban untuk hadir atau tidak hadir dalam pemeriksaan di persidangan guna memastikan Saksi dan/atau Korban dapat memahami situasinya; dan

  4. pemeriksaan di luar persidangan melalui perekaman elektronik dan/atau pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual dapat dilakukan jika Saksi dan/atau Korban tidak dapat hadir di persidangan karena alasan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan/atau alasan lainnya yang sah.


Pasal 57
(1)

Dalam menguraikan fakta dan perbuatan yang terkait dengan seksualitas, penuntut umum sedapat mungkin menghindari uraian yang terlalu detail, vulgar, dan berlebihan dalam surat dakwaan dengan tetap memperhatikan uraian secara cermat, jelas, dan lengkap.

(2)

Penghindaran uraian yang terlalu detail, vulgar, dan berlebihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk penghormatan terhadap hak asasi manusia, martabat, dan privasi Korban serta mencegah reviktimisasi terhadap Korban.

(3)

Penguraian fakta dan perbuatan yang terlalu detail, vulgar, dan berlebihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang diperlukan untuk mendukung pembuktian unsur pasal dan/atau tindak pidana, termasuk pertanggungjawaban pidananya serta kesalahan pelaku.

(4)

Dalam perkara tindak pidana terhadap Korban yang dieksploitasi dan mengalami kekerasan seksual melalui media elektronik atau yang terkait dengan seksualitas, penuntut umum menghindari pencantuman atau penyalinrekatan gambar, ilustrasi, dan/atau foto Korban atau yang memuat data Korban atau yang menunjukkan organ reproduksi, aktifitas, dan/atau objek seksual dalam surat dakwaan.

(5)

Penghindaran pencantuman atau penyalinrekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertujuan sebagai upaya Pelindungan dan jaminan keamanan serta penghormatan peradilan terhadap martabat dan privasi Korban.


Bagian Kesepuluh
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan


Pasal 58

Pemeriksaan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilakukan dalam sidang tertutup.


Pasal 59
(1)

Majelis hakim membacakan putusan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam sidang yang terbuka untuk umum.

(2)

Dalam membacakan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), majelis hakim wajib merahasiakan identitas Saksi dan/atau Korban.

(3)

Pengadilan harus merahasiakan informasi yang memuat identitas Saksi dan/atau Korban dalam putusan atau penetapan pengadilan.

(4)

Pengadilan di setiap tingkatan wajib memberikan salinan putusan kepada terdakwa, advokat, penyidik, dan penuntut umum dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan diucapkan.

(5)

Petikan putusan wajib diberikan kepada terdakwa, advokat, dan penuntut umum dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah putusan diucapkan.


Pasal 60
(1)

Pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan martabatnya, tanpa intimidasi, tidak menjustifikasi kesalahan, cara hidup, dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual Saksi dan/atau Korban dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai alasan yang meringankan terdakwa.

(2)

Hakim dan penuntut umum dalam melakukan pemeriksaan terhadap Korban menggali dan mempertimbangkan keadaan khusus yang melatarbelakangi Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau dampak terhadap Korban.

(3)

Pertanyaan dan/atau pernyataan yang bersifat merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi, serta menggunakan pengalaman dan/atau latar belakang seksualitas tidak boleh diajukan, baik kepada Saksi, Korban, maupun terdakwa.


Pasal 61

Pengadilan mengupayakan penyediaan fasilitas dan Pelindungan yang dibutuhkan agar Saksi atau Korban dapat memberikan kesaksian.


Pasal 62

Majelis hakim dapat memerintahkan lembaga yang memberikan pendampingan untuk mengganti Pendamping Korban atas permintaan Korban, Keluarga Korban, atau wali Korban.


Pasal 63

Majelis hakim wajib mempertimbangkan Pemulihan Korban dalam putusan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang.


Bagian Kesebelas
Pelaksanaan Putusan


Pasal 64
(1)

Jika pengadilan menjatuhkan putusan pidana denda, terpidana diberi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk membayar denda tersebut.

(2)

Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 1 (satu) bulan.

(3)

Jika terpidana tidak membayar pidana denda dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harta kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda sesuai dengan putusan pengadilan.

(4)

Jika penyitaan dan pelelangan harta kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling lama tidak melebihi ancaman pidana pokok.

(5)

Untuk terpidana Korporasi, pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(6)

Lama pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.

(7)

Pelaksanaan pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilakukan dengan memperhitungkan pidana denda yang telah dibayar secara proporsional.


Terkait

Komentar!