Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019

Info
Isi

Bagian Kedua
Perencanaan


Paragraf 1
Umum

Pasal 11

Perencanaan Ibadah Haji Reguler meliputi:

  1. penetapan dan pengisian kuota;

  2. penetapan BPIH;

  3. penyediaan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan kesehatan;

  4. pelayanan dokumen perjalanan Ibadah Haji dan visa; dan

  5. penetapan PPIH.


Paragraf 2
Penetapan dan Pengisian Kuota

Pasal 12
(1)

Menteri menetapkan kuota haji Indonesia dan kuota haji provinsi Jemaah Haji Reguler.

(2)

Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparan dan proporsional.


Pasal 13
(1)

Menteri membagi kuota haji reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a menjadi kuota haji provinsi.

(2)

Pembagian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan:

  1. proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi; atau

  2. proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji antarprovinsi.

(3)

Gubernur dapat membagi dan menetapkan kuota haji provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam kuota haji kabupaten/kota didasarkan pada pertimbangan:

  1. proporsi jumlah penduduk muslim kabupaten/kota; atau

  2. proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji di setiap kabupaten/ kota.

(4)

Pembagian dan penetapan kuota haji kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari setelah penetapan kuota haji Indonesia.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (41diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 14
(1)

Dalam menetapkan kuota haji Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Menteri memberi prioritas kuota kepada Jemaah Haji lanjut usia yang berusia paling rendah 65 (enam puluh lima) tahun dengan persentase tertentu.

(2)

Ketentuan mengenai pemberian prioritas kuota kepada Jemaah Haji lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 15
(1)

Dalam hal kuota haji reguler tidak terpenuhi pada hari penutupan pengisian kuota haji kabupaten/kota, Menteri dapat memperpanjang masa pengisian sisa kuota selama 30 (tiga puluh) Hari untuk:

  1. Jemaah Haji terpisah dengan mahram atau keluarga;

  2. Jemaah Haji penyandang disabilitas dan pendampingnya;

  3. Jemaah Haji lunas tunda;

  4. pendamping Jemaah Haji lanjut usia; dan

  5. Jemaah Haji pada urutan berikutnya;

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian sisa kuota haji kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 16
(1)

Menteri menetapkan masa pelunasan dana setoran pelunasan untuk pengisian kuota haji reguler.

(2)

Dalam hal pengisian kuota haji reguler pada masa pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri memperpanjang masa pengisian sisa kuota paling lama 30 (tiga puluh) Hari untuk:

  1. Jemaah Haji yang saat pelunasan tahap sebelumnya mengalami kegagalan sistem;

  2. pendamping Jemaah Haji lanjut usia;

  3. Jemaah Haji terpisah dengan mahram atau keluarga;

  4. Jemaah Haji penyandang disabilitas dan pendampingnya; dan

  5. Jemaah Haji pada urutan berikutnya.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Paragraf 3
Warga Negara Indonesia dengan Visa Haji di Luar Kuota Haji Indonesia

Pasal 17
(1)

Visa haji di luar kuota haji Indonesia dilarang digunakan oleh Jemaah Haji.

(2)

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk melaksanakan Ibadah Haji.


Pasal 18
(1)

Visa haji Indonesia terdiri atas:

  1. visa haji kuota Indonesia; dan

  2. visa haji mujamalah undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

(2)

Warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berangkat melalui PIHK.

(3)

PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi wajib melapor kepada Menteri.


Pasal 19
(1)

PIHK yang tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenai sanksi administratif.

(2)

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. teguran lisan;

  2. teguran tertulis;

  3. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

  4. pencabutan izin.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 20

Menteri melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi.


Terkait

Komentar!