Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2019 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI DAN UMRAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA a. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; b. bahwa salah satu ^jaminan negara atas kemerdekaan beribadah ialah memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi warga negara yang menunaikan ibadah haji dan umrah secara aman, nyam€ul, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat; c. bahwa semakin meningkatnya ^jumlah warga negara untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, ^perlu peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat; d. bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2OO8 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2OO9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2OO9 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor ^13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga perlu diganti; e. bahwa SALINAN e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah; Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Mengingat Menetapkan MEMUTUST(AN: UNDANG-UNDANG TENTANG IBADAH HAJI DAN UMRAH. PENYELENGGARAAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakan serangkaian ibadah tertentu di Baitullah, masyair, serta tempat, waktu, dan syarat tertentu. 2. Ibadah Umrah adalah berkunjung ke Baitullah di luar musim haji dengan niat melaksanakan umrah yang dilanjutkan dengan melakukan tawaf, sai, dan tahalul.

  2. Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah. 4. Jemaah Haji adalah warga negara yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. 5. Jemaah Haji Reguler adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh Menteri. 6. Jemaah Haji Khusus adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus. 7. Jemaah Umrah adalah seseorang yang melaksanakan Ibadah Umrah. 8. Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh Menteri dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat umum. 9. Petugas Penyelenggara Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat PPIH adalah petugas yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh Menteri yang bertugas melakukan pembinaan, pelayanan dan pelindungan, serta pengendalian dan pengoordinasian pelaksanaan operasional Ibadah Haji di dalam negeri dan/atau di Arab Saudi. 10. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat khusus. 1 1. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disingkat PIHK adalah badan hukum yang memiliki izin dari Menteri untuk melaksanakan Ibadah Haji khusus. 12. Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disebut Bipih adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan Ibadah Haji. 13. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPIH adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji. 14. Nilai Manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. 15. Dana Elisiensi adalah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya operasional penyelenggaraan Ibadah Haji. 16. Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disebut Bipih Khusus adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh Jemaah Haji yang akan menunaikan Ibadah Haji khusus. 17. Bank Penerima Setoran Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPS Bipih adalah bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah yang ditunjuk oleh Badan Pengelola Keuangan Haji. 18. Setoran Jemaah adalah sejumlah uang yang diserahkan oleh Jemaah Haji melalui BPS Bipih. 19. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah yang selanjutnya disingkat PPIU adalah biro perjalanan wisata yang memiliki izin dari Menteri untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah.

  3. Kelompok 20. 2r. 22 23. 24 25 26 27 28 Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah yang selanjutnya disingkat KBIHU adalah kelompok yang menyelenggarakan bimbingan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah yang telah mendapatkan izin dari Menteri. Sistem Komputerisasi Haji Terpadu yang selanjutnya disebut Siskohat adalah sistem pengelolaan data dan informasi penyelenggaraan Ibadah Haji secara terpadu. Kelompok Terbang yang selanjutnya disebut Kloter adalah pengelompokan rombongan Jemaah Haji Reguler berdasarkan jadwal keberangkatan penerbangan ke Arab Saudi. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat DPR RI adalah Dewan Perwakilan Ralryat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Hari adalah hari kerja. Setiap Orang adalah orang perseorangan danlatau badan hukum.

    Pasal 2

    Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah berasaskan:

    1. syariat;

    2. amanah;

    3. keadilan;

    4. kemaslahatan;

    5. kemanfaatan;

    6. keselamatan;

    7. keamanan;

    8. profesionalitas;

    9. transparansi; dan

    10. akuntabilitas.


    Pasal 3

    Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah bertujuan:

    1. memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi Jemaah Haji dan Jemaah Umrah sehingga dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan syariat; dan

    2. mewujudkan kemandirian dan ketahanan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. BAB II JEMAAH HAJI Bagian Kesatu Umum Pasal 4 (1) Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dapat mendaftar sebagai Jemaah Haji dengan membayar setoran awal dan menyerahkan salinan dokumen kependudukan yang sah. Pasal 5 (1) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi:

    3. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah;

    4. memenuhipersyaratankesehatan;

    5. melunasi Bipih; dan

    6. belum pernah menunaikan Ibadah Haji atau sudah pernah menunaikan Ibadah Haji paling singkat 10 (sepuluh) tahun sejak menunaikan Ibadah Haji yang terakhir. (21 Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikecualikan bagi:

    7. petugas penyelenggara Ibadah Haji reguler;

    8. pembimbing KBIHU; dan

    9. petugas PIHK. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. (41 Peraturan menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri. Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Jemaah Haji Pasal 6 (1) Jemaah Haji berhak:

    10. mendapatkan bukti setoran dari BPS Bipih dan nomor porsi dari Menteri;

    11. mendapatkan bimbingan manasik haji dan materi lainnya di tanah air, dalam perjalanan, dan di Arab Saudi;

    12. mendapatkan pelayanan akomodasi, konsumsi, dan kesehatan;

    13. mendapatkan pelayanan transportasi;

    14. mendapatkan pelindungan sebagai Jemaah Haji Indonesia;

    15. mendapatkan identitas haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah Haji;

    16. mendapatkan asuransi jiwa sesuai dengan prinsip syariat;

    17. mendapatkan pelayanan khusus bagi Jemaah Haji penyandang disabilitas;

    18. mendapatkan informasi pelaksanaan Ibadah Haji;

    19. memilih PIHK untuk Jemaah Haji Khusus; dan

    20. melimpahkan nomor porsi kepada suami, istri, ayah, ibu, anak kandung, atau saudara kandung yang ditunjuk dan/atau disepakati secara tertulis oleh keluarga dengan alasan meninggal dunia atau sakit permanen menurut keterangan kesehatan Jemaah Haji. (21 Pelimpahan porsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k berlaku hanya untuk 1 (satu) kali pelimpahan.

      (3)

      Ketentuan (3) Ketentuan mengenai tata cara pelimpahan porsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k dan ayat (21diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 7

    Jemaah Haji berkewajiban:

    1. mendaftarkan diri ke kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota bagi Jemaah Haji Reguler;

    2. mendaftarkan diri ke PIHK pilihan jemaah yang terhubung dengan Siskohat bagi Jemaah Haji Khusus;

    3. membayar Bipih yang disetorkan ke BPS Bipih;

    4. melaporkan diri ke kantor Kementerian Agama di kabupatenlkota bagi Jemaah Haji Khusus melalui PIHK; dan

    5. memenuhi persyaratan dan mematuhi ketentuan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji. Bagian Ketiga Kuota Jemaah Haji Pasal 8 (1) Jemaah Haji diberangkatkan berdasarkan kuota haji Indonesia. (2) Kuota haji Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. (3) Kuota haji Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kuota:

    6. haji reguler; dan

    7. haji khusus. (41 Kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri atas kuota:

    8. Jemaah Haji; dan

    9. petugas haji.

      (3)

      huruf b terdiri atas kuota:

    10. Jemaah Haji Khusus; dan

    11. petugas haji khusus. (6) Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan prinsip transparan dan proporsional. Pasal 9 (1) Dalam hal terdapat penambahan kuota haji Indonesia setelah Menteri menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (21, Menteri menetapkan kuota haji tambahan. (21 Ketentuan mengenai pengisian kuota haji tambahan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI REGULER Bagian Kesatu Umum Pasal 10 (1) Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler menjadi tanggung ^jawab Pemerintah. (2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. (3) Pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan melalui satuan kerja yang bersifat tetap dan terstruktur di tingkat daerah, di tingkat pusat, dan di Arab Saudi. Bagian Kedua Bagian Kedua Perencanaan Paragraf 1 Umum Pasal 1 1 Perencanaan Ibadah Haji Reguler meliputi:

    12. penetapan dan pengisian kuota;

    13. penetapan BPIH;

    14. penyediaan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan kesehatan;

    15. pelayanan dokumen perjalanan Ibadah Haji dan visa; dan

    16. penetapan PPIH. Paragraf 2 Penetapan dan Pengisian Kuota Pasal 12 (1) Menteri menetapkan kuota haji Indonesia dan kuota haji provinsi Jemaah Haji Reguler. (21 Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparan dan proporsional. Pasal 13 (1) Menteri membagi kuota haji reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a menjadi kuota haji provinsi. (21 Pembagian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan ^pada pertimbangan:

    17. proporsi ^jumlah daftar tunggu Jemaah Haji antarprovinsi. (3) Gubernur dapat membagi dan menetapkan kuota haji provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam kuota haji kabupaten/kota didasarkan pada pertimbangan:

    18. proporsi jumlah penduduk muslim kabupaten/kota; atau

    19. proporsi ^jumlah daftar tunggu Jemaah Haji di setiap kabupaten/ kota. (41 Pembagian dan penetapan kuota haji kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari setelah penetapan kuota haji Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (41diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 14 (1) Dalam menetapkan kuota haji Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat ^(1), Menteri memberi prioritas kuota kepada Jemaah Haji lanjut usia yang berusia paling rendah 65 (enam puluh lima) tahun dengan persentase tertentu. (21 Ketentuan mengenai pemberian prioritas kuota kepada Jemaah Haji lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 15 (1) Dalam hal kuota haji reguler tidak terpenuhi pada hari penutupan pengisian kuota haji kabupaten/kota, Menteri dapat memperpanjang masa pengisian sisa kuota selama 30 (tiga puluh) Hari untuk:

    20. Jemaah Haji terpisah dengan mahram atau keluarga;

    21. Jemaah Haji penyandang disabilitas dan pendampingnya;

    22. Jemaah Haji lunas tunda;

    23. pendamping Jemaah Haji lanjut usia; dan

    24. Jemaah Haji pada urutan berikutnya;

      (2)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian sisa kuota haji kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 16 (1) Menteri menetapkan masa pelunasan dana setoran pelunasan untuk pengisian kuota haji reguler. (2) Dalam hal pengisian kuota haji reguler pada masa pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri memperpanjang masa pengisian sisa kuota paling lama 30 (tiga puluh) Hari untuk:

    25. Jemaah Haji yang saat pelunasan tahap sebelumnya mengalami kegagalan sistem;

    26. pendamping Jemaah Haji lanjut usia;

    27. Jemaah Haji terpisah dengan mahram atau keluarga;

    28. Jemaah Haji penyandang disabilitas dan pendampingnya; dan

    29. Jemaah Haji pada urutan berikutnya.

      (3)

      Ketentuan Paragraf 3 Warga Negara Indonesia dengan Visa Haji di Luar Kuota Haji Indonesia Pasal 17 (1) Visa haji di luar kuota haji Indonesia dilarang digunakan oleh Jemaah Haji. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk melaksanakan Ibadah Haji. Pasal 18 (1) Visa haji Indonesia terdiri atas:

    30. visa haji kuota Indonesia; dan

    31. visa haji mujamalah undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi. (2) Warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berangkat melalui PIHK. (3) PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi wajib melapor kepada Menteri. Pasal 19 (1) PIHK yang tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenai sanksi administratif. (21 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    32. teguran lisan;

    33. teguran tertulis;

    34. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

    35. pencabutan izin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 20

    Menteri melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Bagian ketiga Pengorganisasian Paragraf 1 Umum Pasal 21 (1) Pemerintah bertanggung ^jawab atas penyelenggaraan Ibadah Haji. (21 Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. Paragraf 2 PPIH Pasal 22 (1) PPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (3) dibentuk oleh Menteri. (21 PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. PPIH pusat;

    2. PPIH Arab Saudi;

    3. PPIH embarkasi; dan

    4. PPIH Kloter. (3) PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (21 terdiri atas unsur:

    5. kementerian/lembaga terkait; dan

    6. masyarakat. (41 PPIH Kloter sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf d terdiri atas:

    7. ketua kloter;

    8. pembimbing Ibadah Haji; dan

    9. tenaga kesehatan haji. (5) Calon PPIH harus memenuhi syarat:

    10. beragama Islam;

    11. memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang penyelenggaraan Ibadah Haji;

    12. memiliki dokumen yang sah;

    13. PPIH e. lulus seleksi dan/atau penunjukan sesuai kebutuhan. (6) Biaya operasional PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Pasal 23 (1) Gubernur atau bupati/wali kota dapat mengusulkan calon petugas haji daerah kepada Menteri. (21 Calon petugas haji daerah yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diseleksi oleh Menteri. (3) Calon petugas haji daerah harus memenuhi persyaratan:

    14. beragama Islam;

    15. memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang penyelenggaraan Ibadah Haji;

    16. memiliki dokumen yang sah; dan

    17. lulus seleksi. (4) Petugas haji daerah yang lulus seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (21diangkat oleh Menteri.


    Pasal 24

    Kuota petugas haji daerah menggunakan kuota ^haji Indonesia. Pasal 25 (1) Petugas haji daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) terdiri atas:

    1. petugas pelayanan umum;

    2. petugas pelayanan kesehatan. (21 Petugas Haji daerah sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) bertugas membantu petugas Kloter dalam pelayanan bimbingan ibadah, pelayanan umum, dan pelayanan kesehatan di Kloter. (3) Biaya operasional petugas haji daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan ^pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.


    Pasal 26

    Ketentuan lebih lanjut mengenai PPIH dan ^petugas haji daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Pengawas Pasal 27 (1) Pengawas Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri atas:

    1. pengawas internal; dan

    2. pengawas eksternal. (2) Pengawas internal sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah. (3) Pengawas eksternal sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh DPR RI, ^Dewan Perwakilan Daerah, dan Badan ^Pemeriksa Keuangan. (41 Dewan DPR RI. (5) Biaya pengawas sebagaimana pada ayat ^(1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Pasal 28 (1) Komposisi kuota pengawas internal dan eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat ^(1) paling banyak 4o/o (empat persen) dari ^jumlah kuota petugas. (21 Komposisi kuota pengawas internal dan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi ^menjadi pengawas internal sebanyak 4Oo/o (empat ^puluh persen) dan pengawas eksternal sebanyak ^600/o (enam puluh persen) dari ^jumlah kuota pengawas. (3) Komposisi kuota pengawas eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (21diatur dan ditetapkan ^dalam rapat pembahasan BPIH antara DPR RI dan Pemerintah. Paragraf 4 Misi Haji Indonesia (1) (2t


    Pasal 29

    Presiden menetapkan Menteri sebagai amirulhaj. Amirulhaj sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) bertugas memimpin misi Haji Indonesia ^dan melaksanakan tugas diplomasi haji di Arab ^Saudi selama musim haji. anggota yang terdiri atas:

    1. 6 (enam) orang berasal dari unsur Pemerintah; dan b. 6 (enam) orang berasal dari unsur organisasi kemasyarakatan Islam. (41 Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Keempat Pelaksanaan Paragraf 1 Pendaftaran Pasal 30 (1) Pendaftaran Jemaah Haji Reguler dilakukan sepanjang tahun setiap Hari sesuai dengan ^prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dilakukan di kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota domisili Jemaah Haji. (3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dilakukan berdasarkan prinsip pelayanan sesuai dengan nomor urut pendaftaran. (41 Nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar pelayanan pemberangkatan Jemaah Haj i. (5) Pemberangkatan Jemaah Haji berdasarkan nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud ^pada ayat (4) dikecualikan bagi Jemaah Haji lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^14. Paragraf 2 Dokumen Perjalanan Ibadah Haji Pasal 31 (1) Menteri bertanggung jawab terhadap pelayanan dokumen perjalanan Ibadah Haji. (2) Dalam melaksanakan pelayanan dokumen perjalanan Ibadah Haji, Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait. Paragraf 3 Pembinaan Pasal 32 (1) Menteri bertanggung ^jawab memberikan pembinaan Ibadah Haji kepada Jemaah Haji. (21 Menteri bertanggung ^jawab terhadap pembinaan kesehatan Jemaah Haji sebelum, selama, dan setelah melaksanakan Ibadah Haji. (3) Pembinaan kesehatan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan di bawah koordinasi Menteri. (41 Pembinaan .

    2. standar manasik Ibadah Haji; dan

    3. standar kesehatan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 33 (1) Dalam menyelenggarakan bimbingan dan pembinaan manasik haji reguler, Menteri dapat melibatkan KBIHU. (2\ Ketentuan mengenai pelibatan KBIHU dalam penyelenggaraan bimbingan dan pembinaan manasik haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Pelayanan Kesehatan Pasal 34 (1) Menteri bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan Jemaah Haji sebelum, selama, dan setelah melaksanakan Ibadah Haji. (21 Pelayanan kesehatan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan di bawah koordinasi Menteri.

      (3)

      Dalam Paragraf 5 Pelayanan Transportasi Pasal 35 (1) Menteri bertanggung jawab memberikan pelayanan transportasi kepada Jemaah Haji selama penyelenggaraan Ibadah Haji. (21 Pelayanan transportasi kepada Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi transportasi dari embarkasi pemberangkatan menuju Arab Saudi, selama di Arab Saudi, dan pemulangan ke tempat embarkasi asal di Indonesia. (3) Menteri mengoordinasikan pelaksanaan tugas dari embarkasi pemberangkatan menuju Arab Saudi dan pemulangan ke tempat embarkasi asal di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dengan menteri yang menyelenggarakan urllsan pemerintahan di bidang perhubungan. Pasal 36 (1) Transportasi Jemaah Haji dari daerah asal ke embarkasi dan/atau dari debarkasi ke daerah asal menjadi tanggung ^jawab Pemerintah Daerah. (21 Tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk akomodasi dan penyediaan konsumsi Jemaah Haji. dan belanja daerah.


    Pasal 37

    Pelayanan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 wajib memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan efisiensi serta melaksanakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 38 (1) Pengadaan jasa transportasi Jemaah Haji ke Arab Saudi dilakukan oleh Menteri. (21 Ketentuan mengenai pengadaan ^jasa transportasi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 6 Pelayanan Akomodasi Pasal 39 (1) Menteri wajib menyediakan akomodasi bagi Jemaah Haji Reguler tanpa memungut biaya tambahan dari Jemaah Haji di luar Bipih yang telah ditetapkan. (21 Akomodasi bagi Jemaah Haji Reguler harus memenuhi standar kelayakan dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan kemudahan Jemaah Haji beserta barang bawaannya serta memiliki akses yang mudah ke Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Paragraf 7 Penyediaan Konsumsi Pasal 40 (1) Menteri bertanggung ^jawab memberikan penyediaan konsumsi kepada Jemaah Haji dengan memenuhi standar kesehatan, kebutuhan gizi, tepat waktu, tepat ^jumlah, dan cita rasa Indonesia. (21 Dalam penyediaan konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan ahli gizi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 8 Pelindungan Pasal 41 (1) Menteri bertanggung jawab memberikan pelindungan kepada Jemaah Haji dan petugas haji sebelum, selama, dan setelah Jemaah Haji dan petugas haji melaksanakan Ibadah Haji. (2) Pelindungan kepada Jemaah Haji dan petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pelindungan:

    1. hukum;

    2. keamanan; dan

    3. ^jiwa, kecelakaan, dan kesehatan. (3) Dalam memberikan pelindungan kepada Jemaah Haji dan petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Pasal 42 (1) Pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4l ayat ^(21 huruf d diberikan dalam bentuk asuransi. (21 Besaran pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebesar Bipih. (3) Masa pertanggungan asuransi dimulai sejak Jemaah Haji masuk asrama haji embarkasi atau embarkasi- antara untuk pemberangkatan sampai keluar asrama haji debarkasi atau debarkasi-antara untuk kepulangan. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan asuransi kepada Jemaah Haji diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Kelima Evaluasi dan Pelaporan Pasal 43 (1) Menteri melakukan evaluasi Penyelenggaraan Ibadah Haji. terhadap BAB IV BIAYA PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI Bagian Kesatu Umum


    Pasal 44

    BPIH bersumber dari Bipih, anggaran pendapatan dan belanja negara, Nilai Manfaat, Dana Efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 45 (1) BPIH digunakan untuk biaya:

    1. penerbangan;

    2. pelayanan akomodasi;

    3. pelayanan konsumsi;

    4. pelayanantransportasi;

    5. pelayanan di Arafah, Mudzalifah, dan Mina;

    6. pelindungan;

    7. pelayanan di embarkasi atau debarkasi;

    8. pelayanankeimigrasian;

    9. premi asuransi dan pelindungan lainnya;

    10. dokumen perjalanan;

    11. biaya hidup;


  1. pembinaan Jemaah Haji di tanah air dan di Arab Saudi; m pelayanan n. pengelolaan BPIH. (21 Biaya selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasal 46 (1) Menteri menyampaikan usulan besaran BPIH kepada DPR RI untuk keperluan BPIH. (21 Usulan BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri kepada DPR RI paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah penyampaian laporan hasil evaluasi penyelenggaraan Ibadah Haji tahun sebelumnya. Pasal 47 (1) Persetujuan DPR RI atas usulan BPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diberikan paling lama 60 (enam puluh) Hari setelah usulan BPIH dari Menteri diterima oleh DPR RI. (21 Dalam hal BPIH tahun berjalan tidak mendapat persetujuan dari DPR RI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran BPIH tahun berjalan sama dengan besaran BPIH tahun sebelumnya. Bagian Ketiga Bagian Ketiga Penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasal 48 (1) Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah usulan BPIH mendapatkan persetujuan dari DPR RI. (21 Besaran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersumber dari Bipih, Nilai Manfaat, Dana Efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan dari DPR RI. (3) Besaran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan sesuai dengan mekanisme ketentuan peraturan perLrndang-undangan. Bagian Keempat Pembayaran dan Pengembalian Setoran Jemaah Haji Pasal 49 (1) Pembayaran setoran Jemaah Haji meliputi:
    1. dana setoran awal Bipih; dan

    2. dana setoran pelunasan Bipih. (2) Pembayaran setoran Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke rekening Badan Pengelolaan Keuangan Haji di BPS Bipih. (3) Besaran pembayaran dana setoran awal Bipih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri. (41 Dana setoran pelunasan Bipih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah besaran Bipih ditetapkan oleh Presiden. Pasal 50 (1) Bipih yang telah disetorkan melalui BPS Bipih dikembalikan bersama Nilai Manfaat ^jika:

    3. porsinya tidak dimanfaatkan oleh ahli waris bagi Jemaah Haji yang meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan Ibadah Haji;

    4. Jemaah Haji membatalkan keberangkatannya dengan alasan yang sah; atau

    5. Jemaah Haji dibatalkan keberangkatannya dengan alasan yang sah. (2) Pengembalian Bipih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Jemaah Haji, orang yang diberi kuasa, atau ahli warisnya. (3) Jemaah Haji yang dibatalkan keberangkatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus mendapatkan pemberitahuan secara tertulis dari Menteri. (41 Pengembalian Bipih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 3O (tiga puluh) Hari terhitung sejak Jemaah Haji meninggal dunia, membatalkan keberangkatannya, atau dibatalkan keberangkatannya. Bagian Kelima Pelaporan Pasal 51 (1) Menteri menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan Ibadah Haji kepada Presiden dan DPR RI paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak selesainya penyelenggaraan Ibadah Haji.

      (2)

      Dalam BAB V KELOMPOK BIMBINGAN IBADAH HAJI DAN UMRAH Pasal 52 (1) KBIHU wajib memiliki izin penyelenggaraan bimbingan dan pendampingan Ibadah Haji dari Menteri. (21 Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah KBIHU memenuhi persyaratan. (3) lzin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama KBIHU menjalankan kegiatan penyelenggaraan bimbingan dan pendampingan Jemaah Haji dan Jemaah Umrah. (4) Menteri melakukan evaluasi terhadap KBIHU secara berkala. Pasal 53 (1) KBIHU melakukan bimbingan dan pendampingan Ibadah Haji sesuai dengan standardisasi bimbingan dan pendampingan. (21 KBIHU hanya melakukan bimbingan dan pendampingan kepada Jemaah Haji yang memerlukan jasa KBIHU.

      (1)

      (21 (3) (41 (s)

      Pasal 54

      Menteri melaksanakan akreditasi KBIHU. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan KBIHU. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun. Menteri menetapkan standar akreditasi KBIHU. Menteri memublikasikan hasil akreditasi KBIHU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan memperoleh izin KBIHU, evaluasi, standardisasi bimbingan dan pendampingan, serta akreditasi KBIHU diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 56 (1) KBIHU berhak mendapatkan kuota pembimbing dari Menteri. (21 Untuk mendapatkan kuota pembimbing dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KBIHU harus memenuhi persyaratan:


    6. memiliki pembimbing yang telah lulus seleksi dan memenuhi standar pembimbing; dan

    7. memperoleh Jemaah Haji paling sedikit 135 (seratus tiga puluh lima) orang untuk 1 (satu) orang pembimbing.

      (3)

      Dalam BAB VI PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS Bagian Kesatu Umum

      Pasal 57

      Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh PIHK. Bagian Kedua Persyaratan


      Pasal 58

      Untuk mendapatkan izin menjadi PIHK, badan hukum harus memenuhi persyaratan :


    8. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam;

    9. terdaftar sebagai PPIU yang terakreditasi; c d memiliki kemampuan teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji khusus yang dibuktikan dengan jaminan bank; dan memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. Pasal 59 (1) Pelaksanaan Ibadah Haji khusus dilakukan oleh PIHK setelah mendapat izin dari Menteri. (21 lzin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PIHK menjalankan kegiatan usaha Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.

      Pasal 60

      Pembukaan kantor cabang PIHK harus kepada Menteri melalui Kementerian kabupaten/ kota setempat. Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Penyelenggara Ibadah Haji Khusus dilaporkan Agama di


      Pasal 61

      Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK, izin PIHK, dan pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 diatur dengan Peraturan Menteri.


      Pasal 62

      PIHK berhak mendapatkan:


    10. pembinaan dari Menteri;

    11. informasi tentang kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus;

    12. informasi d. identitas Jemaah Haji dan asuransi;

    13. penerimaan saldo setoran Bipih Khusus dari Badan Pengelola Keuangan Haji sesuai dengan ^jumlah Jemaah Haji Khusus yang telah melunasi Bipih Khusus dan yang akan berangkat pada tahun berjalan;

    14. informasi tentang hasil pengawasan dan akreditasi; dan

    15. kuota untuk penanggung jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus. Pasal 63 (1) PIHK wajib:

    16. memfasilitasi pengurusan dokumen perjalanan Ibadah Haji khusus;

    17. memberikan bimbingan dan pembinaan Ibadah Haji khusus;

    18. memberikan pelayanan kesehatan, transportasi, akomodasi, konsumsi, dan pelindungan;

    19. memberangkatkan, melayani, dan memulangkan Jemaah Haji Khusus sesuai dengan perjanjian;

    20. memberangkatkan penanggung ^jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus sesuai dengan ketentuan pelayanan haji khusus;

    21. memfasilitasi pemindahan calon Jemaah Haji Khusus kepada PIHK lain atas permohonan jemaah; dan

    22. melaporkan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus kepada Menteri.

    23. teguran tertulis;

    24. pembekuan izin; atau

    25. pencabutan izin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan dan pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (21 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Kuota Haji Khusus

      Pasal 64
      (1)

      (2t (3) (41 Menteri menetapkan kuota haji khusus Kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari kuota haji Indonesia. Kuota haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kuota:


    26. Jemaah Haji Khusus; dan

    27. petugas haji khusus. Pengisian kuota haji khusus dilakukan berdasarkan urutan pendaftaran secara nasional. Pasal 65 (1) Pengisian kuota haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah penetapan Menteri. (21 Dalam hal kuota haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi pada Hari penutupan pengisian kuota, Menteri dapat memperpanjang masa pengisian sisa kuota dalam waktu 7 (tujuh) Hari untuk:

    28. Jemaah sebelumnya mengalami kegagalan sistem;

    29. pendamping Jemaah Haji Khusus lanjut usia;

    30. Jemaah Haji Khusus yang terpisah dari mahram atau keluarga;

    31. Jemaah Haji Khusus penyandang disabilitas dan pendampingnya; dan

    32. Jemaah Haji Khusus pada urutan berikutnya. (3) Dalam hal kuota haji khusus tidak terpenuhi selama 7 (tujuh) Hari sebagaimana dimaksud pada ayat (21, pengisian sisa kuota akhir berdasarkan nomor urut berikutnya berbasis PIHK serta berdasarkan kesiapan ^jemaah dan setiap PIHK paling lama 7 (tujuh) Hari.

      Pasal 66

      Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian kuota haji khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 64 dan pengisian sisa kuota haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 67 (1) PIHK hanya memberangkatkan Jemaah Haji Khusus yang terdaftar dan yang telah melaporkan kepada Menteri. (21 PIHK wajib memberangkatkan Jemaah Haji Khusus paling sedikit 45 (empat puluh lima) ^jemaah. (3) Dalam hal PIHK memperoleh kurang dari 45 (empat puluh lima) jemaah, PIHK wajib menggabungkan jemaahnya dengan PIHK lain. (41 Penggabungan Bagian Kelima Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus Pasal 68 (1) Menteri menetapkan setoran awal Bipih Khusus dan pelunasan Bipih Khusus untuk Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. (21 Bipih Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan oleh Jemaah Haji Khusus ke rekening Badan Pengelola Keuangan Haji di BPS Bipih Khusus melalui PIHK. (3) PIHK dapat memungut biaya di atas setoran Bipih Khusus sesuai dengan pelayanan tambahan dari standar pelayanan minimum. (41 Standar pelayanan minimum dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus ditetapkan oleh Menteri. Pasal 69 (1) Badan Pengelola Keuangan Haji menyerahkan saldo setoran Bipih Khusus kepada PIHK.

      (2)

      Saldo Pasal 70 (1) Bipih Khusus yang telah disetorkan melalui BPS Bipih Khusus dikembalikan sesuai dengan perjanjian jemaah dengan PIHK jika:


    33. porsinya tidak dimanfaatkan oleh ahli waris bagi Jemaah Haji Khusus yang meninggal dunia sebelum berangkat menunaikan Ibadah Haji;

    34. Jemaah Haji Khusus membatalkan keberangkatannya dengan alasan yang sah; atau

    35. Jemaah Haji Khusus dibatalkan keberangkatannya dengan alasan yang sah. (21 Pengembalian Bipih Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Jemaah Haji Khusus, pihak yang diberi kuasa, atau ahli warisnya. (3) Jemaah Haji Khusus yang dibatalkan keberangkatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, harus mendapatkan pemberitahuan secara tertulis dari Menteri. (4) Pengembalian Bipih Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak Jemaah Haji Khusus meninggal dunia, membatalkan keberangkatannya, atau dibatalkan keberangkatannya. Bagian Keenam Petugas Pasal 71 (1) PIHK wajib memberangkatkan 1 (satu) orang penanggung jawab PIHK, 1 (satu) orang petugas kesehatan, dan 1 (satu) orang pembimbing Ibadah Haji khusus untuk paling sedikit 45 (empat puluh lima) Jemaah Haji Khusus yang diberangkatkan ke Arab Saudi. (21 Petugas kesehatan dan pembimbing Ibadah Haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dirangkap oleh Jemaah Haji Khusus.

      Pasal 72

      Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggung ^jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Pendaftaran dan Penundaan Pasal 73 (1) Pendaftaran Jemaah Haji Khusus dilakukan sepanjang tahun setiap Hari sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. (21 Pendaftaran Haji khusus dilakukan oleh Jemaah Haji Khusus melalui PIHK yang terhubung dengan Siskohat. (3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip pelayanan sesuai dengan nomor urut pendaftaran. Pasal T4 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran, pemberangkatan Jemaah Haji Khusus berdasarkan nomor urut pendaftaran, pengecualian bagi Jemaah Haji Khusus lanjut usia yang dapat diberangkatkan, dan penundaan keberangkatan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedelapan Dokumen Perjalanan Ibadah Haji Khusus Pasal 75 (1) PIHK bertanggung jawab memfasilitasi pengurusan dokumen perjalanan Ibadah Haji khusus. (21 Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paspor dan visa untuk pelaksanaan Ibadah Haji. Bagian Kesembilan . Bagian Kesembilan Pembinaan Pasal 76 (1) PIHK bertanggung jawab memberikan pembinaan Ibadah Haji kepada Jemaah Haji Khusus. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) meliputi:


    36. bimbingan manasik Ibadah Haji;

    37. pelayanan kesehatan; dan

    38. pelayananperjalanan. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 dilaksanakan secara terencana, terstruktur, terukur, dan terpadu sesuai dengan standardisasi pembinaan. (4) Standardisasi pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

    39. standar manasik Ibadah Haji;

    40. standar kesehatan; dan

    41. standar perjalanan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standardisasi pembinaan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kesepuluh Pelayanan Kesehatan Pasal 77 (1) PIHK bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan Jemaah Haji Khusus sejak keberangkatan sampai dengan kembali ke tanah air. (21 Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan standardisasi organisasi kesehatan dunia yang sesuai dengan prinsip syariat. Bagian Kesebelas Bagian Kesebelas Pelayanan Transportasi Pasal 78 (1) PIHK bertanggung jawab memberikan pelayanan transportasi bagi Jemaah Haji Khusus dengan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, dan kenyamanan. (2) Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    42. transportasi udara ke dan dari Arab Saudi; dan

    43. transportasi darat atau udara selama di Arab Saudi. (3) Pelayanan transportasi dilaksanakan sesuai dengan standardisasi pelayanan minimal transportasi Ibadah Haji khusus. (41 Ketentuan mengenai standardisasi pelayanan minimal transportasi Ibadah Haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Belas Pelayanan Akomodasi dan Konsumsi Pasal 79 (1) PIHK bertanggung jawab memberikan pelayanan akomodasi dan konsumsi kepada Jemaah Haji Khusus. (21 Pelayanan akomodasi dan konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standardisasi pelayanan minimal akomodasi dan konsumsi Ibadah Haji khusus.

      (3)

      Ketentuan Bagian Ketiga Belas Pelindungan Pasal 80 (1) Jemaah Haji Khusus mendapatkan pelindungan:

    44. warga negara Indonesia di luar negeri;

    45. hukum;

    46. keamanan; dan

    47. ^jiwa, kecelakaan, dan kesehatan. (21 PIHK bertanggung jawab memberikan pelindungan kepada Jemaah Haji Khusus dan petugas haji khusus sebelum, selama, dan setelah Jemaah Haji Khusus dan petugas haji khusus melaksanakan Ibadah Haji. (3) Pemberian pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dilaksanakan oleh PIHK sesuai dengan kebijakan Menteri. Pasal 81 (1) Pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf d diberikan dalam bentuk asuransi. (2) Besaran pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebesar Bipih Khusus. (3) Masa pertanggungan asuransi dimulai sejak pemberangkatan sampai dengan pemulangan. Bagian Keempat Belas Bagian Keempat Belas Pelaporan Pasal 82 (1) PIHK melaporkan pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus kepada Menteri. (21 Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    48. paket program Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus;

    49. ^jadwal keberangkatan dan kepulangan Jemaah Haji Khusus;

    50. daftar nama Jemaah Haji Khusus dan petugas PlHK;

    51. daftar Jemaah Haji Khusus yang batal berangkat; dan

    52. Jemaah Haji yang menggunakan visa haji mujamalah undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Bagian Kelima Belas Pengawasan dan Evaluasi Pasal 83 (1) Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap PIHK paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak selesainya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. (21 Hasil pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada DPR RI.

      Pasal 84
      Pasal 84

      Ketentuan mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam Belas Akreditasi (1) (2t (3) (41 (s) (6)



      Pasal 85

      Menteri melaksanakan akreditasi PIHK. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan PIHK. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun. Menteri menetapkan standar akreditasi PIHK. Menteri memublikasikan hasil akreditasi PIHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik. Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi PIHK diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII PENYELENGGARAAN IBADAH UMRAH Bagian Kesatu Umum Pasal 86 (1) Perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau berkelompok melalui PPIU. (21 Penyelenggaraan perjalanan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU.


      Pasal 87

      Setiap orang yang akan menjalankan Ibadah Umrah harus memenuhi persyaratan:


    53. beragama Islam;

    54. memiliki paspor yang masih berlaku paling singkat 6 (enam) bulan dari tanggal pemberangkatan;

    55. memiliki tiket pesawat tujuan Arab Saudi ^yang sudah jelas tanggal keberangkatan dan kepulangannya;

    56. memiliki surat keterangan sehat dari dokter; dan

    57. memiliki visa serta tanda bukti akomodasi dan transportasi dari PPIU. Bagian Kedua Hak Jemaah Umrah

      Pasal 88

      Jemaah Umrah berhak memperoleh pelayanan dari ^PPIU meliputi:


    58. layanan bimbingan Ibadah Umrah;

    59. layanan kesehatan; c kepastian c kepastian pemberangkatan dan pemulangan sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; layanan lainnya sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara PPIU dan Jemaah Umrah; dan melaporkan kekurangan dalam pelayanan penyelenggaraan Ibadah Umrah kepada Menteri. Bagian Ketiga Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah

      Pasal 89

      Untuk mendapatkan izin menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan:


    60. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia beragama Islam;

    61. terdaftar sebagai biro perjalanan wisata yang sah;

    62. memiliki kemampuan manajerial, teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Umrah yang dibuktikan dengan ^jaminan bank;

    63. memiliki mitra biro penyelenggara Ibadah Umrah di Arab Saudi yang memperoleh izin resmi dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi;

    64. memiliki rekam ^jejak sebagai biro perjalanan wisata yang berkualitas dengan memiliki pengalaman memberangkatkan dan melayani perjalanan ke luar negeri; dan d e.

    65. memiliki f. Pasal 90 (1) Pelaksanaan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU setelah mendapat izin dari Menteri. (21 Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PPIU menjalankan kegiatan usaha penyelenggaraan Ibadah Umrah. Pasal 9 1 (1) PPIU dapat membuka kantor cabang PPIU di luar domisili perusahaan. (21 Pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota setempat.

      Pasal 92

      Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin dan pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah


      Pasal 93

      PPIU berhak mendapatkan:


    66. pembinaan b. informasi tentang kebijakan penyelenggaraan Ibadah Umrah; dan

    67. informasi tentang hasil pengawasan dan akreditasi.

      Pasal 94

      PPIU wajib:


    68. menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang pembimbing ibadah setiap 45 (empat puluh lima) orang Jemaah Umrah;

    69. memberikan pelayanan dokumen perjalanan, akomodasi, konsumsi, dan transportasi kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara PPIU dan Jemaah Umrah;

    70. memiliki perjanjian kerjasama dengan fasilitas pelayanan kesehatan di Arab Saudi;

    71. memberangkatkan dan memulangkan Jemaah Umrah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi;

    72. menyampaikan rencana perjalanan umrah kepada Menteri secara tertulis sebelum keberangkatan;

    73. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia. g. membuat laporan kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) Hari setelah tiba kembali di tanah air;

    74. memberangkatkan Jemaah Umrah yang terdaftar pada tahun hijriah berjalan;

    75. mengikuti standar pelayanan minimal dan harga referensi; dan

    76. mengikuti prinsip syariat. Pasal 95 (1) PPIU yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dikenai sanksi administratif berupa:

    77. teguran tertulis;

    78. pembekuan izin; atau

    79. pencabutan izin. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Pelindungan Pasal 96 (1) Jemaah Umrah mendapatkan pelindungan:

    80. warga negara Indonesia di luar negeri;

    81. hukum;

    82. keamanan; dan

    83. ^jiwa, kecelakaan, dan kesehatan. (21 PPIU bertanggung ^jawab memberikan pelindungan kepada Jemaah Umrah dan petugas umrah sebelum, selama, dan setelah Jemaah Umrah dan ^petugas umrah melaksanakan Ibadah Umrah. (3) Pemberian pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dilaksanakan oleh PPIU sesuai dengan kebijakan Menteri. Pasal 97 (1) Pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat ^(1) huruf d diberikan dalam bentuk asuransi.

      Pasal 98

      Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk ^pelindungan PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dan ^Pasal 97 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam Pengawasan dan Evaluasi Pasal 99 (1) Menteri mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah. (21 Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur tingkat pusat dan/atau daerah terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah Umrah. (3) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah, Menteri dapat membentuk tim koordinasi pencegahan, pengawasan, dan penindakan permasalahan penyelenggaraan Ibadah Umrah. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai tim koordinasi diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1OO Pengawasan Ibadah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dilaksanakan secara terpadu ^dengan kementerian / lembaga terkait. Pasal 101 (1) Hasil pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah digunakan untuk dasar akreditasi dan pengenaan sanksi. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan evaluasi diatur dengan Peraturan Menteri.


      Pasal 102

      Dalam hal hasil pengawasan dan evaluasi ^pelaksanaan Ibadah Umrah terdapat dugaan tindak pidana, hasil pengawasan dan evaluasi disampaikan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. Bagian Ketujuh Akreditasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah


      Pasal 103

      Menteri menetapkan standar akreditasi PPIU Pasal 104 (1) Menteri melakukan akreditasi PPIU. (21 Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan PPIU. (3) Akreditasi terhadap PPIU dilakukan setiap 3 (tiga) tahun. Pasal 105 Menteri memublikasikan hasil akreditasi ^PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal IO4 ^kepada masyarakat.


      Pasal 106
      Pasal 106

      Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII KOORDINASI Pasal 107 (1) Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung ^jawab Pemerintah. (2) T\rgas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 108 (1) Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO7 ayat (2), Menteri mengoordinasikan:



    84. menteri/pimpinan lembaga pemerintah di tingkat pusat;

    85. gubernur di tingkat provinsi;

    86. bupati/wali kota di tingkat kabupaten/kota; dan

    87. Kepala Perwakilan Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi. (21 Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan dan pelaksanaan pelayanan transportasi, akomodasi, konsumsi, kesehatan, dokumen perjalanan, administrasi, dan pembinaan serta pelindungan. (3) Selain mengoordinasikan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri bekerja sama dengan pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan lembaga terkait di Arab Saudi. Pasal 109 . Pasal 109 Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi Penyelenggaraan Ibadah Haji diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IX PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 1 10 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pembinaan Jemaah Haji dan Jemaah Umrah. (21 Pembinaan Jemaah Haji dan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ber-upa penyuluhan dan pembimbingan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah. (3) Penyuluhan dan pembimbingan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dapat dilakukan secara perseorangan atau dengan membentuk KBIHU. (41 Ketentuan mengenai penyuluhan dan pembimbingan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 1 1 (1) Masyarakat dapat melaporkan dan mengadukan pelanggaran pelaksanaan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Tata cara pelaporan, pengaduan, dan penindaklanjutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perLlndang-undangan. BAB X PENYIDIKAN Pasal 1 12 (1) Selain Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana. (2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

    88. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;

    89. melakukan pemeriksaan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;

    90. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

    91. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah; e menangkap f. membuat dan menandatangani berita acara; dan g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. (3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya berkoordinasi dengan ^penyidik Kepolisian Republik Indonesia. BAB XI LARANGAN Pasal 1 13 Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak ^sebagai penerima setoran Bipih. Pasal 1 14 Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai ^PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus. Pasal 1 15 Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai ^PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah. Pasal 1 16 Pasal 1 16 Setiap Orang dilarang memperjualbelikan kuota ^Haji Indonesia. Pasal 1 17 Setiap Orang dilarang tanpa hak melakukan ^perbuatan mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah. Pasal 1 18 PIHK dilarang melakukan perbuatan ^yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus. Pasal 1 19 PPIU dilarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau ^kegagalan kepulangan Jemaah Umrah. BAB XII KETENTUAN PIDANA

      Pasal 120

      Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai ^penerima pembayaran Bipih, sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal 113 dipidana dengan pidana penjara ^paling ^lama ^4 (empat) tahun atau pidana denda paling ^banyak Rp4.O00.0OO.000,OO (empat miliar ^rupiah).


      Pasal 121
      Pasal 121

      Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PIHK dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan pidana ^penjara ^paling lama ^6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.0OO,00 (enam miliar rupiah).



      Pasal 122

      Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai ^PPIU dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^115 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 ^(enam) tahun atau pidana denda paling ^banyak Rp6.O0O.O00.0OO,O0 (enam miliar rupiah).


      Pasal 123

      Setiap Orang yang memperjualbelikan kuota ^Haji Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^116 dipidana dengan pidana ^penjara paling ^lama 8 ^(delapan) tahun atau pidana denda paling ^banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).


      Pasal 124

      Setiap Orang yang tanpa hak mengambil ^sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah, sebagaimana ^dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan ^pidana penjara ^paling lama 8 (delapan) tahun atau ^pidana denda ^paling ^banyak Rp8.0O0.000.000,00 (delapan miliar ^rupiah).


      Pasal 125
      Pasal 125

      PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.O00,00 (sepuluh miliar rupiah).



      Pasal 126

      PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1O.OOO.O00.000,0O (sepuluh miliar rupiah). BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN


      Pasal 127

      Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:


    92. KBIH yang telah memiliki izin sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya izin dan harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun;

    93. PIHK yang telah memiliki izin sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin dan harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun; dan

    c. PPIU c PPIU yang telah memiliki izin sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin dan harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 128 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2OO9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2OO9 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 129 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Komisi Pengawas Haji Indonesia dan Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 48451 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2OO9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2OO9 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dinyatakan bubar serta fungsi dan tugasnya dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 130 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 48451 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2OO9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2OO9 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2OO8 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 131 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 132 Undang-Undang ini mulai berlaku pada ^tanggal diundangkan. ttd .JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Aprll2Ol9 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA TI. LAOLY PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2OL9 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI DAN UMRAH I. UMUM Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu, baik secara fisik, mental, spiritual, sosial, maupun finansial dan sekali dalam seumur hidup. Pelaksanaan Ibadah Haji merupakan rangkaian ibadah keagamaan yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan yang mengatur tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2OO9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2OO9 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2OO8 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti. Selain itu, semakin meningkatnya ^jumlah warga negara untuk menunaikan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah, ^perlu peningkatan peningkatan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktik Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, selama ini masih ditemukan beberapa kelemahan, baik dalam aspek regulasi dan tata kelola kebijakan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan ^jemaah, maupun pengawasan terhadap pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan aturan dan perbaikan dalam praktik penyelenggaraannya, sehingga Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dapat dilaksanakan dengan aman, nyaman, tertib, lancar, dan sesuai dengan syariat, serta menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik untuk sebesar-besar kemanfaatan Jemaah Haji dan Jemaah Umrah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan dan perbaikan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Perbaikan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah tidak cukup hanya sebatas pada perbaikan kualitas pelayanan terhadap ^jemaah tetapi perbaikan tersebut harus menyentuh seluruh aspek yang ada di dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Adapun pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Jemaah Haji, Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler, BPIH, KBIHU, Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, Penyelenggaraan Ibadah Umrah, koordinasi, peran serta masyarakat, penyidikan, larangan, dan ketentuan pidana. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup ^jelas. Pasal 2 Huruf a Cukup ^jelas Huruf b Huruf b Yang dimaksud dengan "asas amanah" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dilaksanakan dengan penuh tanggung ^jawab. Huruf c Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang. Huruf d Yang dimaksud dengan "asas kemaslahatan" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah harus dilaksanakan demi kepentingan ^jemaah. Huruf e Yang dimaksud dengan "asas kemanfaatan" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dilaksanakan demi memberikan manfaat kepada ^jemaah. Huruf f Yang dimaksud dengan "asas keselamatan" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah harus dilaksanakan demi keselamatan ^jemaah. Huruf g Yang dimaksud dengan "asas keamanan" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah harus dilaksanakan dengan tertib, nyaman, dan aman guna melindungi ^jemaah. Huruf h Yang dimaksud dengan "asas profesionalitas" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan keahlian para pengelolanya. Huruf i Yang dimaksud dengan "asas transparansi" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dilakukan secara terbuka dan memudahkan akses masyarakat untuk memperoleh informasi terkait dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pengelolaan keuangan, dan aset. Huruf j Yang dimaksud dengan "asas akuntabilitas" adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dilakukan dengan penuh tanggung ^jawab baik secara etik maupun hukum. Pasal 3 Cukup ^jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas Pasal 5 Cukup ^jelas Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup ^jelas. Huruf j Cukup ^jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan "nomor porsi" adalah nomor urut pendaftaran yang diterbitkan oleh Menteri bagi Jemaah Haji yang mendaftar. Cukup ^jelas. Cukup ^jelas Ayat (2) Ayat (3) Pasal 7 Cukup ^jelas Pasal 8 Cukup ^jelas Pasal 9 Cukup ^jelas Pasal 10 Cukup ^jelas. Pasal 1 1 Cukup ^jelas. Pasal 12 Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup ^jelas Pasal 14 Cukup ^jelas Pasal 15 Cukup ^jelas Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "masa pelunasan" adalah pembayaran yang dilakukan Jemaah Haji untuk melunasi pembayaran Bipih setelah BPIH ditetapkan oleh Presiden. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 17 Cukup ^jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "berangkat melalui PIHK" adalah warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan mendapatkan pelayanan dokumen, transportasi, akomodasi, konsumsi dan kesehatan melalui PIHK. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 21 Cukup ^jelas Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas Pasal 24 Cukup ^jelas Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Cukup ^jelas. Pasal 2T Cukup ^jelas. Pasal 28 Cukup ^jelas. Pasal 29 Cukup ^jelas. Pasal 30 Pasal 30 Cukup ^jelas Pasal 3 1 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dokumen" adalah paspor dan visa untuk pelaksanaan Ibadah Haji. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup ^jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup ^jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup ^jelas Pasal 38 Cukup ^jelas Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Huruf a Yang dimaksud dengan "pelindungan warga negara Indonesia di luar negeri" adalah pendampingan dan penyelesaian dokumen perjalanan apabila Jemaah Haji menghadapi permasalahan selama melaksanakan perjalanan Ibadah Haji. Huruf b Yang dimaksud dengan "pelindungan hukum" adalah jaminan kepastian keberangkatan dan kepulangan Jemaah Haji dan petugas haji serta pelayanan bantuan hukum. Huruf c Yang dimaksud dengan "pelindungan keamanan" adalah keamanan fisik, keselamatan jiwa, dan keamanan barang bawaan. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 42 Cukup ^jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Ayat (21 Yang dimaksud dengan "Penyelenggaraan Ibadah Haji berakhir" adalah Kloter Jemaah Haji terakhir yang tiba di Indonesia. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas Pasal 46 Cukup ^jelas Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup ^jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Cukup ^jelas Pasal 52 Cukup ^jelas Pasal 53 Cukup ^jelas Pasal 54 Pasal 54 Cukup ^jelas Pasal 55 Cukup ^jelas. Pasal 56 Cukup ^jelas. Pasal 57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan 'Jaminan bank" adalah garansi bank atau deposito atas nama biro perjalanan wisata. Huruf d Cukup ^jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup ^jelas. Pasal 61 Cukup ^jelas Pasal 62 Cukup ^jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kuota haji Indonesia" adalah kuota haji aktual hasil dari keputusan pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan Pemerintah. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 65 Cukup ^jelas Pasal 66 Cukup ^jelas Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas Pasal T2 Pasal 72 Cukup ^jelas Pasal 73 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan "alasan yang sah" adalah kondisi Jemaah Haji Khusus dalam keadaan sakit, hamil, atau menunggu mahram. Pasal 74 Cukup ^jelas Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas Pasal 79 Cukup ^jelas Pasal 80 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "pelindungan warga negara Indonesia di luar negeri" adalah pendampingan dan penyelesaian dokumen perjalanan apabila ^jemaah menghadapi permasalahan selama melaksanakan perjalanan Ibadah Haji khusus. Huruf b Yang dimaksud dengan "pelindungan hukum" adalah jaminan kepastian keberangkatan dan kepulangan Jemaah Haji Khusus, ^jaminan pengembalian kerugian jemaah yang gagal berangkat dan/atau pulang, serta pelayanan bantuan hukum. Huruf c Yang dimaksud dengan "pelindungan keamanan" adalah keamanan fisik, keselamatan ^jiwa, dan keamanan barang bawaan. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas. Pasal 82 Cukup ^jelas Pasal 83 Pasal 83 Cukup ^jelas. Pasal 84 Cukup ^jelas. Pasal 85 Cukup ^jelas. Pasal 86 Cukup ^jelas Pasal 87 Cukup ^jelas Pasal 88 Cukup ^jelas Pasal 89 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan 'Jaminan bank" adalah garansi bank atau deposito atas nama biro perjalanan wisata. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup ^jelas Pasal 9 1 PFIESIDEN REPUBLIK INDONESIA _ 16_ Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup ^jelas Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup ^jelas Pasal 95 Cukup ^jelas Pasal 96 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "pelindungan warga negara Indonesia di luar negeri" adalah pendampingan dan penyelesaian dokumen perjalanan apabila Jemaah Umrah menghadapi permasalahan selama melaksanakan perjalanan Ibadah Umrah. Huruf b Yang dimaksud dengan "pelindungan hukum" adalah jaminan kepastian keberangkatan dan kepulangan Jemaah Umrah, ^jaminan pengembalian kerugian bagi Jemaah lJmrah. yang gagal berangkat dan/atau pulang, serta pelayanan bantuan hukum. Huruf c Yang dimaksud dengan "pelindungan keamanan" adalah keamanan fisik, keselamatan ^jiwa, dan keamanan barang bawaan. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (2) Ayat (21 Cukup ^jelas Ayat (3) Cukup ^jelas Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas Pasal 101 Cukup ^jelas Pasal 102 Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup ^jelas. Pasal 104 Cukup ^jelas. Pasal 1O5 Cukup ^jelas Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 1O7 Cukup ^jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup ^jelas Pasal 1 10 Cukup ^jelas. Pasal 1 1 1 Cukup ^jelas Pasal 1 12 Cukup ^jelas. Pasal 1 13 Cukup ^jelas Pasal 1 14 Cukup ^jelas. Pasal 1 15 Cukup ^jelas Pasal 1 16 Cukup ^jelas Pasal 1 17 Cukup ^jelas. Pasal 1 18 Cukup ^jelas Pasal 1 19 Cukup ^jelas Pasal 120 Cukup ^jelas. Pasal 121 Cukup ^jelas. Pasal 122 Cukup ^jelas Pasal 123 Cukup ^jelas. Pasal 124 Cukup ^jelas. Pasal 125 Cukup ^jelas Pasal 126 Cukup ^jelas Pasal 127 Cukup ^jelas Pasal 128 Cukup ^jelas. Pasal 129 Cukup ^jelas Pasal 130 Cukup ^jelas. Pasal 131 Pasal 131 Cukup ^jelas Pasal 132 Cukup ^jelas

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):