Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019

Info
Isi
<<>>

BAB III
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI REGULER


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 10
(1)

Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler menjadi tanggung jawab Pemerintah.

(2)

Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

(3)

Pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui satuan kerja yang bersifat tetap dan terstruktur di tingkat daerah, di tingkat pusat, dan di Arab Saudi.


Bagian Kedua
Perencanaan


Paragraf 1
Umum

Pasal 11

Perencanaan Ibadah Haji Reguler meliputi:

  1. penetapan dan pengisian kuota;

  2. penetapan BPIH;

  3. penyediaan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan kesehatan;

  4. pelayanan dokumen perjalanan Ibadah Haji dan visa; dan

  5. penetapan PPIH.


Paragraf 2
Penetapan dan Pengisian Kuota

Pasal 12
(1)

Menteri menetapkan kuota haji Indonesia dan kuota haji provinsi Jemaah Haji Reguler.

(2)

Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparan dan proporsional.


Pasal 13
(1)

Menteri membagi kuota haji reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a menjadi kuota haji provinsi.

(2)

Pembagian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan:

  1. proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi; atau

  2. proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji antarprovinsi.

(3)

Gubernur dapat membagi dan menetapkan kuota haji provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam kuota haji kabupaten/kota didasarkan pada pertimbangan:

  1. proporsi jumlah penduduk muslim kabupaten/kota; atau

  2. proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji di setiap kabupaten/ kota.

(4)

Pembagian dan penetapan kuota haji kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari setelah penetapan kuota haji Indonesia.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (41diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 14
(1)

Dalam menetapkan kuota haji Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Menteri memberi prioritas kuota kepada Jemaah Haji lanjut usia yang berusia paling rendah 65 (enam puluh lima) tahun dengan persentase tertentu.

(2)

Ketentuan mengenai pemberian prioritas kuota kepada Jemaah Haji lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 15
(1)

Dalam hal kuota haji reguler tidak terpenuhi pada hari penutupan pengisian kuota haji kabupaten/kota, Menteri dapat memperpanjang masa pengisian sisa kuota selama 30 (tiga puluh) Hari untuk:

  1. Jemaah Haji terpisah dengan mahram atau keluarga;

  2. Jemaah Haji penyandang disabilitas dan pendampingnya;

  3. Jemaah Haji lunas tunda;

  4. pendamping Jemaah Haji lanjut usia; dan

  5. Jemaah Haji pada urutan berikutnya;

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian sisa kuota haji kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 16
(1)

Menteri menetapkan masa pelunasan dana setoran pelunasan untuk pengisian kuota haji reguler.

(2)

Dalam hal pengisian kuota haji reguler pada masa pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri memperpanjang masa pengisian sisa kuota paling lama 30 (tiga puluh) Hari untuk:

  1. Jemaah Haji yang saat pelunasan tahap sebelumnya mengalami kegagalan sistem;

  2. pendamping Jemaah Haji lanjut usia;

  3. Jemaah Haji terpisah dengan mahram atau keluarga;

  4. Jemaah Haji penyandang disabilitas dan pendampingnya; dan

  5. Jemaah Haji pada urutan berikutnya.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Paragraf 3
Warga Negara Indonesia dengan Visa Haji di Luar Kuota Haji Indonesia

Pasal 17
(1)

Visa haji di luar kuota haji Indonesia dilarang digunakan oleh Jemaah Haji.

(2)

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk melaksanakan Ibadah Haji.


Pasal 18
(1)

Visa haji Indonesia terdiri atas:

  1. visa haji kuota Indonesia; dan

  2. visa haji mujamalah undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

(2)

Warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berangkat melalui PIHK.

(3)

PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi wajib melapor kepada Menteri.


Pasal 19
(1)

PIHK yang tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenai sanksi administratif.

(2)

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. teguran lisan;

  2. teguran tertulis;

  3. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

  4. pencabutan izin.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 20

Menteri melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi.


Bagian Ketiga
Pengorganisasian


Paragraf 1
Umum

Pasal 21
(1)

Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan Ibadah Haji.

(2)

Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.


Paragraf 2
PPIH
Pasal 22
(1) PPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dibentuk oleh Menteri.
(2) PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. PPIH pusat;
b. PPIH Arab Saudi;
c. PPIH embarkasi; dan
d. PPIH Kloter.
(3) PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur:
a. kementerian/lembaga terkait; dan
b. masyarakat.
(4) PPIH Kloter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri atas:
a. ketua kloter;
b. pembimbing Ibadah Haji; dan
c. tenaga kesehatan haji.
(5) Calon PPIH harus memenuhi syarat:
a. beragama Islam;
b. memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang penyelenggaraan Ibadah Haji;
c. memiliki dokumen yang sah;
d. PPIH yang bertugas memberikan bimbingan Ibadah Haji harus sudah melaksanakan Ibadah Haji; dan
e. lulus seleksi dan/atau penunjukan sesuai kebutuhan.
(6) Biaya operasional PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara.

Pasal 23
(1)

Gubernur atau bupati/wali kota dapat mengusulkan calon petugas haji daerah kepada Menteri.

(2)

Calon petugas haji daerah yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diseleksi oleh Menteri.

(3)

Calon petugas haji daerah harus memenuhi persyaratan:

  1. beragama Islam;

  2. memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang penyelenggaraan Ibadah Haji;

  3. memiliki dokumen yang sah; dan

  4. lulus seleksi.

(4)

Petugas haji daerah yang lulus seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Menteri.


Pasal 24

Kuota petugas haji daerah menggunakan kuota haji Indonesia.


Pasal 25
(1)

Petugas haji daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) terdiri atas:

  1. petugas pelayanan umum;

  2. petugas pelayanan kesehatan.

(2)

Petugas Haji daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu petugas Kloter dalam pelayanan bimbingan ibadah, pelayanan umum, dan pelayanan kesehatan di Kloter.

(3)

Biaya operasional petugas haji daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.


Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai PPIH dan petugas haji daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Menteri.


Paragraf 3
Pengawas

Pasal 27
(1)

Pengawas Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri atas:

  1. pengawas internal; dan

  2. pengawas eksternal.

(2)

Pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah.

(3)

Pengawas eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

(4)

Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan laporan hasil pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji kepada DPR RI.

(5)

Biaya pengawas sebagaimana pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara.


Pasal 28
(1)

Komposisi kuota pengawas internal dan eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) paling banyak 4% (empat persen) dari jumlah kuota petugas.

(2)

Komposisi kuota pengawas internal dan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi menjadi pengawas internal sebanyak 40% (empat puluh persen) dan pengawas eksternal sebanyak 60% (enam puluh persen) dari jumlah kuota pengawas.

(3)

Komposisi kuota pengawas eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dan ditetapkan dalam rapat pembahasan BPIH antara DPR RI dan Pemerintah.


Paragraf 4
Misi Haji Indonesia

Pasal 29
(1)

Presiden menetapkan Menteri sebagai amirulhaj.

(2)

Amirulhaj sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memimpin misi Haji Indonesia dan melaksanakan tugas diplomasi haji di Arab Saudi selama musim haji.

(3)

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat(2), amirulhaj dibantu oleh 12 (dua belas) anggota yang terdiri atas:

  1. 6 (enam) orang berasal dari unsur Pemerintah; dan

  2. 6 (enam) orang berasal dari unsur organisasi kemasyarakatan Islam.

(4)

Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.


Bagian Keempat
Pelaksanaan


Paragraf 1
Pendaftaran

Pasal 30
(1)

Pendaftaran Jemaah Haji Reguler dilakukan sepanjang tahun setiap Hari sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.

(2)

Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota domisili Jemaah Haji.

(3)

Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip pelayanan sesuai dengan nomor urut pendaftaran.

(4)

Nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar pelayanan pemberangkatan Jemaah Haji.

(5)

Pemberangkatan Jemaah Haji berdasarkan nomor urut pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan bagi Jemaah Haji lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.


Paragraf 2
Dokumen Perjalanan Ibadah Haji

Pasal 31
(1)

Menteri bertanggung jawab terhadap pelayanan dokumen perjalanan Ibadah Haji.

(2)

Dalam melaksanakan pelayanan dokumen perjalanan Ibadah Haji, Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait.


Paragraf 3
Pembinaan

Pasal 32
(1)

Menteri bertanggung jawab memberikan pembinaan Ibadah Haji kepada Jemaah Haji.

(2)

Menteri bertanggung jawab terhadap pembinaan kesehatan Jemaah Haji sebelum, selama, dan setelah melaksanakan Ibadah Haji.

(3)

Pembinaan kesehatan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan di bawah koordinasi Menteri.

(4)

Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan secara terencana, terstruktur, dan terpadu sesuai dengan standardisasi pembinaan.

(5)

Standadisasi pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliput:

  1. standar manasik Ibadah Haji; dan

  2. standar kesehatan.

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 33
(1)

Dalam menyelenggarakan bimbingan dan pembinaan manasik haji reguler, Menteri dapat melibatkan KBIHU.

(2)

Ketentuan mengenai pelibatan KBIHU dalam penyelenggaraan bimbingan dan pembinaan manasik haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Paragraf 4
Pelayanan Kesehatan

Pasal 34
(1)

Menteri bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan Jemaah Haji sebelum, selama, dan setelah melaksanakan Ibadah Haji.

(2)

Pelayanan kesehatan Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan di bawah koordinasi Menteri.

(3)

Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan standardisasi organisasi kesehatan dunia yang sesuai dengan prinsip syariat.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pelayanan kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.


Paragraf 5
Pelayanan Transportasi
Pasal 35
(1) Menteri bertanggung jawab memberikan pelayanan transportasi kepada Jemaah Haji selama penyelenggaraan Ibadah Haji.
(2) Pelayanan transportasi kepada Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi transportasi dari embarkasi pemberangkatan menuju Arab Saudi, selama di Arab Saudi, dan pemulangan ke tempat embarkasi asal di Indonesia.
(3) Menteri mengoordinasikan pelaksanaan tugas dari embarkasi pemberangkatan menuju Arab Saudi dan pemulangan ke tempat embarkasi asal di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan menteri yang menyelenggarakan urllsan pemerintahan di bidang perhubungan.

Pasal 36
(1)

Transportasi Jemaah Haji dari daerah asal ke embarkasi dan/atau dari debarkasi ke daerah asal menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

(2)

Tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk akomodasi dan penyediaan konsumsi Jemaah Haji.

(3)

Tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.


Pasal 37

Pelayanan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 wajib memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan efisiensi serta melaksanakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 38
(1)

Pengadaan jasa transportasi Jemaah Haji ke Arab Saudi dilakukan oleh Menteri.

(2)

Ketentuan mengenai pengadaan jasa transportasi Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Paragraf 6
Pelayanan Akomodasi

Pasal 39
(1)

Menteri wajib menyediakan akomodasi bagi Jemaah Haji Reguler tanpa memungut biaya tambahan dari Jemaah Haji di luar Bipih yang telah ditetapkan.

(2)

Akomodasi bagi Jemaah Haji Reguler harus memenuhi standar kelayakan dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan kemudahan Jemaah Haji beserta barang bawaannya serta memiliki akses yang mudah ke Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.


Paragraf 7
Penyediaan Konsumsi

Pasal 40
(1)

Menteri bertanggung jawab memberikan penyediaan konsumsi kepada Jemaah Haji dengan memenuhi standar kesehatan, kebutuhan gizi, tepat waktu, tepat jumlah, dan cita rasa Indonesia.

(2)

Dalam penyediaan konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan ahli gizi.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)diatur dengan Peraturan Menteri.


Paragraf 8
Pelindungan

Pasal 41
(1)

Menteri bertanggung jawab memberikan pelindungan kepada Jemaah Haji dan petugas haji sebelum, selama, dan setelah Jemaah Haji dan petugas haji melaksanakan Ibadah Haji.

(2)

Pelindungan kepada Jemaah Haji dan petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pelindungan:

  1. warga negara indonesia di luar negeri;

  2. hukum;

  3. keamanan; dan

  4. jiwa, kecelakaan, dan kesehatan.

(3)

Dalam memberikan pelindungan kepada Jemaah Haji dan petugas haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.


Pasal 42
(1)

Pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4l ayat (2) huruf d diberikan dalam bentuk asuransi.

(2)

Besaran pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebesar Bipih.

(3)

Masa pertanggungan asuransi dimulai sejak Jemaah Haji masuk asrama haji embarkasi atau embarkasi- antara untuk pemberangkatan sampai keluar asrama haji debarkasi atau debarkasi-antara untuk kepulangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan asuransi kepada Jemaah Haji diatur dalam Peraturan Menteri.


Bagian Kelima
Evaluasi dan Pelaporan


Pasal 43
(1)

Menteri melakukan evaluasi Penyelenggaraan Ibadah Haji.

(2)

Menteri menyampaikan laporan hasil evaluasi dan pertanggunjawaban sebagaiman dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden dan DPR RI paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung setelah Penyelenggaran Ibadah Haji berakhir;


Terkait

Komentar!