Urusan Rekonstruksi Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1954

Kerangka<< >>

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1954 TENTANG URUSAN REKONSTRUKSI NASIONAL Presiden Republik Indonesia, Menimbang: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1954 TENTANG URUSAN REKONSTRUKSI NASIONAL Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Pemerintah berhasrat akan mempercepat penyelesaian masalah bekas pejoang bersenjata dengan mengarahkan penyelesaian itu kepada pembangunan dan kesejahteraan Negara pada umumnya; b. bahwa organisasi usaha rekonstruksi yang dijalankan oleh Dewan dan Biro Rekonstruksi Nasional berdasarkan atas Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1952 (Lembaran Negara 1952 No.3) telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan para bekas pejoang serta perkembangan kesadaran masyarakat; c. bahwa untuk menyesuaikan organisasi usaha rekonstruksi dengan perkembangan keadaan itu, perlu dirobah Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1952 tersebut, sehingga titik berat rekonstruksi itu beralih kepada daerah; d. bahwa dengan perobahan sedemikian ini peranan Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi Nasional yang dipimpin oleh Kepala Daerah dalam menyelenggarakan urusan rekonstruksi akan lebih sesuai dengan keadaannya, sehingga dapat diharapkan perhatian yang memuaskan dari Kepala Daerah dan dinas-dinas teknik di daerah terhadap usaha-usaha rekonstruksi itu; e. bahwa selanjutnya dengan cara demikian ini penyelenggaraan rekunstruksi lambat laun tidak akan merupakan usaha penampungan belaka sehingga perkembangannya dapat disesuaikan dengan usaha pembangunan Pemerintah pada umumnya; Mengingat: Peraturan-peraturan Pemerintah No.15 tahun 1950 (Lembaran Negara 1950 No.44), No. 12 tahun 1951 (Lembaran Negara 1951 No.22), No. 20 tahun 1951 (Lembaran Negara 1951 No.32) dan No.1 tahun 1952 (Lembaran Negara 1952 No.3): Mengingat pula : Undang-undang No.14 tahun 1953 (Lembaran Negara 1953 No. 44) dan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1954 (Lembaran Negara 1954 No. 14); Mendengar: Dewan Menteri dalam rapat-rapatnya yang ke 7 pada tanggal 14 Septamber 1953, ke 20 pada tanggal 13 Nopember 1953, ke 22 pada tanggal 24 Nopember 1953 dan ke 34 pada tanggal 9 Pebruari 1954); MEMUTUSKAN Dengan mencabut Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1952 tentang susunan dan tugas Dewan serta Biro Rekonstruksi Nasional (Lembaran negara tahun 1952 No. 3), Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG URUSAN REKONSTRUKSI NASIONAL. Pasal 1 (1) urusan Rekonstruksi Nasional diserahkan kepada Menteri Da-lam Negeri. (2) Di Kementerian Dalam Negeri diadakan Biro Rekonstruksi Nasional yang terdiri dari seorang Direktur sebagai Pemimpin dan sebuah staf, di dalam mana duduk seorang wakil dari Kementerian-kementerian yang oleh Menteri Dalam Negeri dianggap ada hubungan kewajiban dalam usaha rekonstruksi Nasional. (3) Oleh Menteri Dalam Negeri jika dianggap perlu, ditiap-tiap Propinsi dan di daerah lain dapat didirikan Cabang dan Anak Cabang Biro Rekonstruksi Nasional yang menjadi bagian dari Kantor Kepala Daerah. (4) Cabang dan Anak Cabang Biro Rekonstruksi Nasional di suatu daerah dapat dihapuskan oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 2 (1) Di tiap-tiap Propinsi dan di daerah-daerah lain di mana ada Cabang atau Anak Cabang Biro Rekonstruksi Nasional, pula di daerah-daerah yang tidak ada Cabang atau Anak Cabang Biro Rekonstruksi Nasional, dapat dibentuk suatu Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi yang dipimpin oleh Kepala Daerah selaku Ketua merangkap anggota. (2) Susunan serta peraturan bekerja Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi Nasional tersebut dalam ayat 1 pasal ini ditetap-kan oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 3 Tugas Biro Rekonstruksi Nasional adalah membantu Menteri Dalam Negeri dalam malaksanakan urusan rekonstruksi. Pasal 4 Tugas Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi adalah a. memajukan usul-usul kepada Menteri Dalam Negeri dalam lapangan rekonstruksi nasional; b. mengatur dan mengawasi usaha-usaha rekonstruksi yang dikerjakan didaerahnya; c. menyelenggarakan usaha-usaha rekonstruksi. Pasal 5 (1) Rekonstruksi Nasional yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah ini adalah pelaksanaan maksud Pemerintah untuk membuka jalan bagi para tenaga bekas pejoang bersenjata yang belum mendapat pekerjaan dalam masyarakat, untuk hidup dengan mata pencaharian yang layak. (2) Maksud Pemerintah tersebut dalam ayat 1 pasal ini ditujukan kepada Program Pemerintah mengenai pembangunan dan kesejahteraan Negara pada umumnya, yang lambat laun harus dapat menghilangkan sifat penampungan daripada usaha rekons- truksi nasional ini, dengan menitikberatkan kepada usaha transmigrasi dan pendidikan-pendidikan kejuruan yang sesuai dengan kemampuan para bekas pejoang guna mempermudah mendapat mata pencaharian yang layak. Pasal 6 (1) Yang dimaksud dengan tenaga bekas pejoang bersenjata adalah bekas anggota badan-badan perjoangan bersenjata yang turut serta memperjoangkan Kemerdekaan Nasional dengan mempergunakan senjata diwaktu perang aksi militer kedua; (2) Syarat-syarat untuk membuktikan apa yang dimaksud dengan tenaga bekas pejoang bersenjata dapat diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 7 Untuk membiayai usaha Rekonstruksi Nasional ini diadakan pembedaan antara: a. Biaya yang khusus untuk personil dan meteriil Biro Rekonstruksi Nasional; biaya ini dalam anggaran belanja Negara diberatkan kepada Kementerian Dalam Negeri; b. Biaya untuk menjalankan rencana-rencana Rekonstruksi Nasional; biaya ini dalam anggaran belanja Negara diberatkan kepada Kementrian-kementerian yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan atas usul Menteri Dalam Negeri setelah mendengar Direktur Biro Rekonstruksi Nasional serta staf interdepartemental tersebut dalam pasal 1 ayat 1b. Pasal 8 Persiapan-persiapan serta pengoperan pembiayaan rencana-rencana Rekonstruksi kepada anggaran belanja Kementerian-kementerian yang bersangkutan, begitu pula pengoperan pegawai-pegawai tehnis kepada Kementerian-kementerian yang bersangkutan diatur dan dilaksanakan berangur-angsur dan sedemikian rupa sehingga usaha rekonstruksi nasional dapat berjalan terus. Pasal 9 Aturan peralihan (1) Terhitung mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini: a. Dewan Rekonstruksi Nasional yang dibentuk menurut pasal 1 ayat 1a, Peraturan Pemerintah No 1 tahun 1952 (Lembaran Negara 1952 No.3) ditiadakan dan tugas dan kekuasaannya beralih kepada Menteri Dalam Negeri. b. Biro Rekonstruksi Nasional yang dibentuk menurut pasal 1 ayat 1 b, Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1952 (Lembaran Negara 1952 No.3) menjadi Biro dari yang terdiri dari 8 Menteri terbukti sangat "log" dan tidak dapat bekerja semestinya. Oleh karena itu DRN dihapuskan dan kekuasaannya beralih kepada seorang Menteri sehingga BRN menjadi Biro biasa yang tidak lagi bernaung di bawah suatu Dewan, akan tetapi di bawah suatu Kementerian. Dengan hilangnya sifat keistimewaan dari BRN itu yang sekarang hanya merupakan suatu biro (jawatan) biasa yang menjalankan penyelenggaraan (uitvoering), maka sukar untuk melangsungkan BRN itu tetap di bawah Perdana Menteri (Wakil Perdana Menteri), yang pada hakekatnya tidak memegang sesuatu Kementerian. Dalam waktu yang lampau pun telah terbukti bahwa Wakil Perdana Menteri tidak dapat mengadakan pengawasan yang tepat terhadap BRN karena Kabinet Perdana Menteri itu tidak dilengkapi dengan perlengkapan untuk memegang suatu jawatan yang mempunyai penyelenggaraan. Karena BRN mempunyai sifat penampungan (sociale instelling) maka pada hakekatnya BRN dapat bernaung di bawah Kementerian Sosial. Akan tetapi berhubung dengan yang menyelenggarakan usaha rekonstruksi di daerah-daerah itu adalah Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi yang diketuai oleh Kepala Daerah maka sebaiknya BRN dinaungkan di bawah Kementerian Dalam Negeri. Perubahan ini adalah sesuai dengan sifat usaha-usaha rekonstruksi pada umumnya dan sifat BRN pada khususnya, ialah bahwa adanya BRN itu hanya untuk waktu yang terbatas ("van aflopendeaard"). Karena itu sifat keistimewaan dari BRN harus lambat-laun dapat dihilangkan dan titik-berat daripada usaha rekonstruksi ini dapat dialihkan kepada daerah sehingga peranan Badan Penyelenggara Urusan Rekonstruksi akan lebih nampak karenanya dan usaha-usahanya akan dapat lebih disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya di daerah. Sifat rekonstruksi harus mulai dirubah pula sehingga sifat penampungan (sociale instelling) harus dapat dihilangkan. Terbukti bahwa banyak usaha rekonstruksi (misalnya proefbedrijven) yang memakai ciaya berjuta-juta tidak memuaskan hasilnya, bahkan sebaliknya, sebab perlakuan-perlakuan yang serba istimewa, oleh Pemerintah terhadap mereka itu lambat laun terbukti tidak "opvoedend", sehingga kemudian mereka dalam persaingan hidup dalam masyarakat sehari-hari tidak dapat mempertahankan diri. Karena itu sifat penampungan (sociale instelling) dan keistimewaan- keistimewaan dalam usaha rekonstruksi ini harus lebih cepat dihilangkan dan sifat rekonstruksi harus lebih cepat ditujukan kepada soal pemecahan pengangguran dan pengurangan kepadatan penduduk pada umumnya, dengan menitikberatkan kepada usaha transmigrasi dan pendidikan-pendidikan kejuruan yang sesuai dengan kemampuan para bekas pejuang guna mempermudah mendapat mata pencaharian hidup. Oleh karena itu soal rekonstruksi ini tidak dapat dipisahkan daripada program pembangunan dan kesejahteraan Negara pada umumnya, yang penyelenggaraannya harus sesuai dengan keadaan di daerah-daerah. Perkembangan BRN pada waktu belakang ini terasa kurang sehat dan makin lama merupakan perkembaran (doublures) dari hampir semua usaha lain-lain Kementerian. Misalnya BRN mempunyai usaha-usaha Perindustrian, Pertanian, Kehewanan, Perikanan, Pendidikan dan sebagainya, bahkan mempunyai Pamong Praja dan Kepolisian sendiri. Dalam Peraturan Pemerintah yang baru ini diambil sebagai pedoman bahwa usaha-usaha yang teknis dipimpin oleh Jawatan- jawatan dari Kementerian-kementerian yang bersangkutan seperti halnya dalam yang ditentukan dahulu oleh Peraturann Pemerintah No. 12 tahun 1951. Pengoperan tugas-tugas yang teknis ini tidak perlu dijalankan sekaligus, akan tetapi sejalan dengan perubahan jiwa (mentale omschakeling) para ex-pejuang dan setelah dibicarakan dengan staf interdepartemental dapat dikerjakan berangsur-angsur dan sedemikian rupa sehingga usaha rekonstruksi dapat berjalan terus. Dengan dikeluarkannya para Anggota Angkatan Perang di luar susunan organik dan bekas Anggota Angkatan Perang (ps. 6 (2) a. PP No.1 tahun 1952) dari urusan rekonstruksi ini (Keputusan DRN No. 1 tahun 1953 dan Kabinet pada tgl. 24 Nopember 1953) dan dengan selesainya urusan rekonstruksi terhadap para bekas pejuang bersenjata yang memenuhi panggilan Pemerintah tgl. 14 Nopember 1950 (ps. 6 (2) b. PP No. 1 tahun 1952) maka tinggallah urusan rekonstruksi terhadap bekas anggota badan-badan perjuangan lain- lain (ps. 6 (2) c) yang masih harus diselesaikan sehingga sifat BRN, yang "van aflopende aard" itu sudah mulai kelihatan. Soalnya sekarang lebih jelas lagi dengan keluarnya PP No. 6 tahun 1954 sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No. 14 tahun 1953 yang dalam pasal 1 ayat 2 b menyatakan bahwa penampungan anggota-anggota Tentara Nasional Indonesia yang pada waktu pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ternyata tidak masuk formasi tentara, akan dilakukan oleh "Biro Penampungan Bekas Anggota Tentara". Lagi pula percampuran penampungan bekas gerombolan-gerombolan sebagai tindakan pemulihan keamanan oleh Pemerintah tidak akan terjadi lagi, karena untuk keperluan itu disediakan biaya dan organisasi sendiri oleh Pemerintah. Untuk sekarang memberi ketentuan siapa yang dimaksud dengan bekas pejuang bersenjata itu perlu ditinjau lagi perkembangan dari badan-badan perjuangan bersenjata sejak 17 Agustus 1945 (proklamasi kemerdekaan) hingga 27 Desember 1949 (penyerahan kedaulatan). Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 maka di mana-mana berdirilah badan-badan keamanan rakyat (BKR) di dalam mana tergabung pemuda-pemuda yang sudah mempunyai didikan militer (bekas Heiho, bekas Peta, bekas KNIL dan sebagainya). Di samping BKR ini timbul pula laskar-laskar, barisan-barisan serta organisasi-organisasi rakyat yang tujuannya sama dengan BKR itu. Dengan dekrit Presiden tgl. 5 Oktober 1945 BKR menjelma menjadi TKR, Tentara Keamanan Rakyat, yang kemudian pada tgl. 7 Januari 1946 menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan pada tgl. 24 Januari 1946 menjelma menjadi TRI Tentara Republik Indonesia. Dalam pada itu pada tgl. 23 Pebruari 1946 dibentuk Panitia Besar Penyelenggaraan Organisasi Tentara yang diberi tugas memperbaiki susunan Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan dan menentukan kedudukan laskar-laskar dan barisan-barisan bersenjata. Pada tgl. 24 Mei 1946 dibentuklah "Biro Perjuangan" dalam Kementerian Pertahanan yang akan melebur badan-badan itu dalam tentara. Kemudian pada tgl. 5 Mei 1947 keluarlah Penetapan Presiden yang mempersatukan Tentara Republik Indonesia dengan laskar-laskar bersenjata menjadi Tentara Nasional Indonesia, TNI. Jelaslah bahwa setelah itu tidak ada lagi badan-badan serta organisasi-organisasi rakyat bersenjata. Semua ini telah dimasukkan dalam organisasi Tentara. Setelah aksi militer yang pertama TNI mengadakan konsolidasi secara reorganisasi dan rasionalisasi yang dipercepat oleh timbulnya peristiwa Madiun. Dengan timbulnya aksi militer kedua maka muncullah lagi badan-badan perjuangan bersenjata yang dulunya sudah tidak ada. Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan bekas pejuang bersenjata dalam Peraturan Pemerintah ini adalah bekas anggota badan-badan perjuangan bersenjata yang turut serta memperjuangkan Kemerdekaan Nasional dengan mempergunakan senjata di waktu perang aksi militer kedua. Penjelasan pasal demi pasal Pasal 1 BRN tetap terdiri dari seorang Direktur sebagai pemimpin dan sebuah staf yang terdiri dari wakil-wakil Kementerian-kementerian yang dianggap ada hubungan kewajiban dalam usaha rekonstruksi nasional. Bedanya dengan yang dulu ialah bahwa BRN sekarang bernaung di bawah Kementerian Dalam Negeri. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Menteri Dalam Negerilah yang sekarang bertanggung jawab atas urusan rekonstruksi nasional. Pasal 4 Dengan sendirinya usul-usul kepada Menteri Dalam Negeri itu di Kementerian melalui BRN karena sekarang BRN adalah Biro dari Kementerian Dalam Negeri. Pasal 5 Ayat (l) Cukup jelas; tidak berbeda dengan definisi yang lama. Ayat (2) Cukup dijelaskan dalam penjelasan umum. Pasal 6 Ayat (1) Telah dijelaskan dalam penjelasan umum. Ayat (2) Menteri Dalam Negeri dapat membuat peraturan bahwa mereka yang ditampung oleh BRN itu harus dapat membuktikan bahwa mereka dalam aksi militer kedua turut serta berjuang dengan mempergunakan senjata, misalnya dengan surat-surat keterangan dari bekas pemimpinnya, KODM, Pamong Praja dan syarat-syarat lainnya, dan jika perlu dapat pula mengadakan registrasi para ex-pejuang. Pasal 7 Perkembangan BRN yang merupakan perkembangan (doublures) dari hampir semua usaha Pemerintah dirasakan kurang sehat. Pun juga karena negara kita masih kekurangan tenaga-tenaga teknis, sehingga pembagian tenaga-tenaga ahli itu dianggap kurang efficient. Lagi pula sekarang telah mulai terasa kesulitan-kesulitan kedudukan pegawai-pegawai specifik (ahli) yang berada di BRN. Oleh karena itu sekarang diambil sebagai pedoman bahwa usaha-usaha yang teknis itu dipimpin oleh Jawatan-jawatan dari Kementerian-kementerian yang bersangkutan. Pasal 8 Pedoman tersebut dalam pasal 7 itu tentunya tidak dapat dilaksanakan begitu saja. Karena itu dalam pasal ini ditentukan bahwa pelaksanaannya dapat dijalankan berangsur-angsur sehingga pekerjaan rekonstruksi tidak terganggu. Dalam melaksanakan pedoman ini tidak dapat ditinggalkan permufakatan dengan Kementerian- kementerian yang bersangkutan dan dalam soal ini anggota-anggota staf interdepartemental dari BRN akan mempunyai peranan yang aktif. Pasal 9 Pasal ini merupakan aturan peralihan. -------------------------------- CATATAN Kutipan: LN 1954/29; TLN NO. 535

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):