Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021

Kerangka<< >>

PRE S IDEN REPUBLIK INDONESIA PRE S IDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2021 TENTANG PEI{-YELENGGARAAN BIDANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat bahwa untuk melaksanakan ketentuart Pasal 48 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal;

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2Ol4 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 560a);

  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (kmbaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); Menetapkan MEMUTUSKAN: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG JAMINAN PRODUK HALAL. BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


  4. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal. 2. Produk adalah barang dan/atau ^jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. 3. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. 4. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk. 5. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk. 6. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

  5. Label. telah memenuhi persyaratan acuan. 9. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. 10. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan danf atau pengujian terhadap kehalalan Produk. 11. Akreditasi LPH adalah rangkaian kegiatan pengakuan formal untuk Penilaian Kesesuaian, kompetensi, dan kelayakan LPH. 12. Tim Akreditasi LPH adalah sejumlah orang yang berada dalam kelembagaan untuk melakukan Akreditasi LPH dan bertanggung jawab kepada BPJPH. 13. Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk. 14. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH. 15. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zt)afiaa, dan cendekiawan muslim. L6. Pengawas JPH adalah aparatur sipil negara yang diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan JPH.

  6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. 18. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH. Kepala Badan adalah Kepala BPJPH. Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. t9 20 Pasal 2 (1) Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. (21 Produk yang berasal dari Bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal. (3) Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberikan keterangan tidak halal.

    Pasal 3

    Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diberikan terhadap Produk yang berasal dari Bahan halal dan memenuhi PPH. BAB II PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL Pasal 4 (1) Pemerintah bertanggun ab dalam menyelenggarakan JPH. (21 Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. bertanggung ^jawab kepada Menteri.


    Pasal 5

    Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang:

    1. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;

    2. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;

    3. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;

    4. melakukan registrasi Sertilikat Halal pada Produk luar negeri;

    5. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;

    6. melakukan akreditasi terhadap LPH;

    7. melakukan registrasi Auditor Halal;

    8. melakukan pengawasan terhadap JPH;

    9. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan

    10. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH. BAB III LOKASI, TEMPAT, DAN ALAT PROSES PRODUK HALAL Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat proses Produk tidak halal. (21 Lokasi . Bagian Kedua Lokasi, Tempat, dan Alat Proses Produk Halal Penyembelihan


    Pasal 7
    1. dijaga kebersihan dan higienitasnya;

    2. bebas dari najis; dan

    3. bebas dari Bahan tidak halal. (3) Lokasi yang wajib dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni lokasi penyembelihan. (41 Tempat dan alat PPH yang wajib dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tempat dan alat:

    4. penyembelihan;

    5. pengolahan;

    6. penyimpanan;

    7. pengemasan;

    8. pendistribusian;

    9. penjualan; dan

    10. penyajian. Lokasi penyembelihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) wajib memenuhi persyaratan:

    11. terpisah secara fisik antara lokasi rumah potong hewan halal dengan lokasi rumah potong hewan tidak halal;

    12. dibatasi dengan pagar tembok paling rendah 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu lintas orang, alat, dan Produk antar rumah potong;

    13. tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu, dan kontaminan lainnya;

    14. memiliki konstruksi dasar seluruh bangunan harus mampu mencegah kontaminasi; dan memiliki pintu yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas dan daging.


    Pasal 8

    Tempat penyembelihan sebagaimana dimaksud daram Pasal 6 ayat (a) huruf a wajib dipisahkan antara yang halal dan tidak halal pada:

    1. penampungan hewan;

    2. penyembelihan hewan;

    3. pengulitan;

    4. pengeluaran jeroan;

    5. rulang pelayuan;

    6. penanganan karkas;

    7. ruang pendinginan; dan

    8. sarana penanganan limbah.


    Pasal 9

    Alat penyembelihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) huruf a wajib memenuhi persyaratan: a' tidak menggunakan alat penyembelihan secara bergantian dengan yang digunakan untuk penyembelihan hewan tidak halal; b' enggunakan sarana yang berbeda untuk yang haral dan tidak halal dalam pembersihan alat; c' menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan

    1. memiliki tempat penyimpanan alat sendiri untuk yang halal dan tidak halal. d e f. Bagian Ketiga Bagian Ketiga Tempat dan Alat Proses produk Halal pengolahan


    Pasal 10

    Tempat pengolahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) huruf b wajib dipisahkan antara yang halal dan tidak halal pada:

    1. penampungan Bahan;

    2. penimbangan Bahan;

    3. pencampuran Bahan;

    4. pencetakan produk;

    5. pemasakan produk; dan/atau

    6. proses lainnya yang mempengaruhi pengolahan pangan. Pasal 1 1 Alat pengolahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) huruf b wajib memenuhi persyaratan:

    7. tidak menggunakan alat pengolahan secara bergantian dengan yang digunakan untuk pengolahan produk tidak halal;

    8. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pembersihan alat;

    9. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan

    10. memiliki tempat penyimpanan alat sendiri untuk yang halal dan tidak halal. Bagian Keempat Tempat dan Alat proses produk Halal penyimpanan


    Pasal 12

    Tempat penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) huruf c wajib dipisahkan antara yang halal dan tidak halal pada:

    1. penerlmaan b. penerimaan Produk setelah proses pengolahan; dan

    2. sarana yang digunakan untuk penyimpanan Bahan dan Produk.


    Pasal 13

    Alat penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) huruf c wajib memenuhi persyaratan:

    1. tidak menggunakan alat penyimpanan secara bergantian dengan yang digunakan untuk penyimpanan Produk tidak halal;

    2. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halar dan tidak halal dalam pembersihan alat;

    3. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan

    4. memiliki tempat penyimpanan arat sendiri untuk yang halal dan tidak halal. Bagian Kelima Tempat dan Alat Proses produk Halal pengemasan


    Pasal 14

    Tempat pengemasan sebagaimana dimaksud daram pasal 6 ayat (4) huruf d wajib dipisahkan antara yang halal dan tidak'halal pada:

    1. Bahan kemasan yang digunakan untuk mengemas Produk; dan

    2. sarana pengemasan produk.


    Pasal 15

    Alat pengemasan sebagaimana dimaksud daram pasal 6 ayat {4) hurrf d wajib memenuhi persyaratan:

    1. tidak a. tidak menggunakan alat pengemasan secara bergantian dengan yang digunakan untuk pengemasan produk tidak halal;

    2. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak hatal dalam pembersihan alat;

    3. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan

    4. memiliki tempat penyimpanan alat sendiri untuk yang halal dan tidak halal. Bagian Keenam Tempat dan Alat proses produk Halal pendistribusian


    Pasal 16

    Tempat pendistribusian sebagaimana dimaksud daram Pasal 6 ayat (a) huruf e wajib dipisahkan antara produk Halal dan tidak halal pada:

    1. sarana pengangkutan dari tempat penyimpanan ke alat distribusi produk; dan

    2. alat transportasi untuk distribusi produk.


    Pasal 17

    Alat pendistribusian sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) huruf e wajib memenuhi persyaratan:

    1. tidak menggunakan alat pendistribusian secara bergantian dengan yang digunakan untuk pendistribusian produk tidak halal; b' menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pembersihan alat;

    2. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan

    3. memiliki tempat penyimpanan alat sendiri untuk yang halal dan tidak halal. Bagian Ketujuh Bagian Ketujuh Tempat dan Alat proses produk Halal penjualan


    Pasal 18

    Tempat penjualan sebagaimana dimaksud daram pasal 6 ayat (4) huruf f wajib dipisahkan antara yang haral dan tidak halal pada:

    1. sarana penjualan produk; dan

    2. proses penjualan produk.


    Pasal 19

    Alat penjualan sebagaimana dimaksud daram pasal 6 ayat (a) huruf f wajib memenuhi persyaratan: a' tidak menggunakan arat penjuaran secara bergantian dengan yang digunakan untuk penjualan produk tidak halal;

    1. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halat dalam pembersihan alat; dan c' menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halar dan tidak halal dalam pemeliharaan alat. Bagian Kedelapan Tempat dan Alat proses produk Halal penyajian


    Pasal 20

    Tempat penyajian sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) huruf g wajib dipisahkan antara yang halal dan tidak halal pada:

    1. sarana penyajian produk; dan

    2. proses penyajian produk. Pasal 2 1 Alat penyajian sebagaimana dimaksud dalam pasar 6 ayat (a) huruf g wajib memenuhi persyaratan:

    3. tidak a. tidak menggunakan arat penyajian secara bergantian dengan yang digunakan untuk penyajian produk tidak halal;

    4. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pembersihan alat;

    5. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan d' memiliki tempat penyimpanan arat sendiri untuk yang halal dan tidak halal. Bagian Kesembilan Pendistribusian, Penjualan, dan penyajian produk yang Berasal dari Hewan dan Nonhewan Pasal 22 (1) Pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk segar asal hewan tidak halar dipisahkan dari pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk segar asal hewan halal. (21 Pendistribusian produk olahan asal hewan tidak halal dan Produk olahan asal nonhewan tidak halal dapat disatukan dengan pendistribusian produk olahan asal hewan halal dan produk olahan nonhewan halal sepanjang terjamin tidak terjadi kontaminasi silang dan alat distribusi yang digunakan bukan setelah digunakan untuk mendistribusikan produk segar asal hewan tidak halal, yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari pihak produsen atau distributor. (3) Penjualan dan penyajian produk segar dan olahan asal hewan dan nonhewan tidak halal dipisahkan dari penjualan dan penyajian produk segar dan orahan asal hewan dan nonhewan halal.

      (4)

      Pendistribusian . BAB IV LEMBAGA PEMERIKSA HALAL DAN AUDITOR HALAL Bagian Kesatu Pendirian Lembaga pemeriksa Halal Pasal 23 (1) LPH dapat didirikan oleh:

    6. pemerintah; dan/atau

    7. masyarakat. (21 LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mandiri yakni independen, kompeten, dan bebas dari konflik kepentingan baik secara perorangan atau kelembagaan dalam penyelenggaraan sertifikasi halal. Pasal 24 (1) LPH yang didirikan oreh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasar 23 ayat (1) huruf a meliputi LPH yang didirikan oleh:

    8. kementerian/lembaga;

    9. pemerintah daerah;

    10. perguruan tinggi negeri; atau d' badan usaha milik negaralbadan usaha milik daerah. (2) LPH yang didirikan oleh kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan fungsi unit kerja atau unit pelaksana teknis kementerian / lembaga.

      (3)

      LPH a. bagian dari unit usaha jasa badan usaha milik negaralbadan usaha milik daerah; atau

    11. anak perusahaan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah. Pasal 25 (1) LPH yang didirikan oreh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasar 23 ayat (r) huruf b harus diajukan oleh lembaga keagamaan Isram berbadan hukum, dan perguruan tinggi swasta yang berada di bawah naungan lembaga keagamaan Isram berbadan hukum atau yayasan Islam berbadan hukum. (21 Dalam hal suatu daerah tidak terdapat LpH yang didirikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga keagamaan Islam berbadan hukum dan perguruan tinggi swasta yang berada di bawah naungan rembaga keagamaan Islam berbadan hukum atau yayasan Islam berbadan hukum dapat bekerja sama dengan badan usaha milik negara atau Badan Pengawas Obat dan Makanan.


    Pasal 26

    REpu JLT': t',?55*.=,^ -15- Pasal 26 (1) Pendirian LpH oleh pemerintah dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud daram pasal 23 harus memenuhi persyaratan:

    1. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;

    2. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan

    3. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium. (2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian LpH harus dilengkapi dengan dokumen pendukung yang terdiri atas:

    4. dokumen legalitas badan hukum;

    5. data sumber daya manusia di bidang syariat Islam; dan

    6. data dukung kompetensi sumber daya. (3) Persyaratan pendirian LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan BPJPH. Bagian Kedua Akreditasi Lembaga pemeriksa Halal Paragraf 1 Umum (1) (2) pasal 2T Akreditasi LPH dilakukan oleh BpJpH. Dalam melakukan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BpJpH:

    7. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Akreditasi LpH; dan

    8. membentuk Tim Akreditasi LpH.

      (3)

      Dalam RE p u J,-Tnt t',?o=5* r r, ^ -16- (3) Dalam menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Akreditasi LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a, BpJpH dapat bekerjasama dengan lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang akreditasi. (4) Tim Akreditasi LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b bertugas:

    9. merumuskankebijakanoperasional;

    10. melakukansosialisasikebijakan;

    11. melaksanakan Akreditasi LpH sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria Akreditasi LpH; dan

    12. memberikan masukan dan teraah terkait penyelenggaraan Akreditasi LpH kepada BpJpH. (5) Tim Akreditasi LpH dapat terdiri atas unsur akademisi, praktisi, ulama, dan aparatur sipil negara yang mempunyai kompetensi dan keahlian kehalalan Produk. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Akreditasi LpH diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 28 (1) Penetapan pendirian LpH dilakukan merarui mekanisme akreditasi. (2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap LpH yang telah memenuhi persyaratan pendirian dan dokumen pendukung. Paragraf 2 Paragraf 2 Permohonan Akreditasi Lembaga pemeriksa Halar Pasal 29 (1) Permohonan Akreditasi LpH diajukan oleh pimpinan satuan kerja yang terkait dengan penyelenggaraan JPH baik kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah, pimpinan perguruan tinggi negeri, pimpinan perguruan tinggi swasta yang berada di bawah naungan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum atau yayasan Islam berbadan hukum, pimpinan badan usaha milik negara, pimpinan badan usaha milik daerah, dan pimpinan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum kepada Kepala Badan. (2) Dalam hal permohonan Akreditasi LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah harus melalui sekretaris jenderal kementerian/sekretaris utama rembaga pemerintah nonkementerian/ sekretaris daerah. (3) Permohonan Akreditasi LpH diajukan dengan melampirkan persyaratan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud daram pasal 26 ayat (r) dan t (2). Paragraf 3 Mekanisme Akreditasi Lembaga pemeriksa Halal Pasal 30 (1) Persyaratan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) diperiksa oleh Tim Akreditasi LpH dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak persyaratan dan dokumen pendukung diterima. Pasal 31 (1) Dalam hal persyaratan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) dan ayat (21 dinyatakan lengkap, Tim Akreditasi LpH melakukan verifikasi paling lama 7 (tujuh) Hari sejak persyaratan dan dokumen pendukung dinyatakan lengkap. (2) Verifikasi persyaratan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:

    13. pemeriksaan keabsahan dokumen; dan

    14. pemeriksaan lapangan. Pasal 32 (1) Dalam hal hasil verifikasi persyaratan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 r belum memenuhi persyaratan, Tim Akreditasi LpH menyampaikan surat permintaan klarifikasi kepada pemohon. o*r=,o (2) Pemohon harus menyampaikan krarifikasi dan menyerahkan tambahan dokumen jika diperlukan kepada Tim Akreditasi LpH dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) Hari sejak permintaan klarifikasi dan/atau tambahan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima. (3) Dalam hal pemohon tidak menyampaikan klarifikasi dan/atau tambahan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan Akreditasi LpH dinyatakan ditorak dengan menerbitkan surat penolakan. Paragraf 4 Penetapan Akreditasi Lembaga pemeriksa Halal Pasal 33 (1) Dalam hal pemohon telah memenuhi ketentuan Akreditasi LpH, Tim Akreditasi LpH menyampaikan rekomendasi kepada BpJpH untuk mendapatkan penetapan Akreditasi LpH. (2) Penetapan Akreditasi LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) Hari sejak rekomendasi diterima. Pasal 34 (1) Penetapan Akreditasi LpH oleh BpJpH sebagai dasar penugasan LpH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. (21 Penetapan Akreditasi LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat keterangan mengenai:

    15. nama LpH;

    16. alamat LpH;

    17. nomor registrasi LpH; dan

    18. lingkup kegiatan LpH. Paragraf 5 Biaya Akreditasi Lembaga pemeriksa Halal (1) (2)


    Pasal 35

    Biaya Akreditasi LpH dibebankan kepada LpH. Penetapan besaran/nominal biaya Akreditasi LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusurkan oleh Menteri kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.


    Pasal 36

    BPJPH menerbitkan sertifikat Akreditasi LpH. Sertifikat Akreditasi LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BpJpH. Paragraf 6 Penerbitan Sertifikat Akreditasi Lembaga pemeriksa Halal (1) (2) Bagian Ketiga Lingkup Kegiatan Lembaga pemeriksa Halal (1) (2)


    Pasal 37

    Penetapan LPH memuat lingkup kegiatan LpH. Lingkup kegiatan LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. verifikasi/validasi;

    2. inspeksi produk dan/atau ppH;

    3. inspeksi rumah potong hewan/unggas atau unit potong hewan/unggas; dan/atau

    4. inspeksi, audit, dan pengujian laboratorium jika diperlukan terhadap kehalalan produk. Lingkup kegiatan LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat kualifikasi akreditasi.

      (4)

      Mekanisme (3) Bagian Keempat Perubahan Data Lembaga pemeriksa Halal Pasal 38 (1) LPH harus melaporkan setiap perubahan data LpH kepada BPJPH, meliputi:

    5. jumlah dan nama Auditor Halal;

    6. jumlah dan nama sumber daya manusia di bidang syariat Islam;

    7. lingkup kegiatan;

    8. nama LPH;

    9. alamat kantor; dan/atau

    10. kepemilikan danf atau ketersediaan laboratoriurn. (2) Pelaporan perubahan data LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen pendukung perubahan. (3) BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen pendukung dan verifikasi dokumen pendukung perubahan data LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan mengenai pemeri kelengkapan dokumen pendukung dan verifikasi dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam pasal 30, Pasal 31, dan pasar 32 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemeriksaan kelengkapan dokumen pendukung dan verifikasi dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

      (5)

      Perubahan. o*r$o (5) Perubahan data LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah nomor registrasi dalam persetujuan pendirian LpH yang telah diterbitkan. Bagian Kelima Auditor Halal Paragraf 1 Umum (1) (2)


    Pasal 39

    Auditor Halal diangkat dan diberhentikan oleh LpH. Auditor Halal hanya dapat diangkat dan terdaftar pada 1 (satu) LPH. Paragraf 2 Pengangkatan Auditor Halal Pasal 40 (1) Pengangkatan Auditor Haral oleh LpH sebagaimana dimaksud dalam pasar 39 harus memenuhi persyaratan:

    1. warga negara Indonesia;

    2. beragama Islam;

    3. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian;

    4. memahami dan memiliki wawasan 1uas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; dan

    5. mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan priba di d,an I atau golongan.

      (2)

      Auditor orrr,o (2) Auditor Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan secara tertulis kepada pimpinan LPH dengan melampirkan:

    6. fotokopi kartu tanda penduduk;

    7. daftar riwayat hidup;

    8. salinan ijazah sarjana strata 1 (satu) yang dilegalisasi;

    9. salinan sertifikat pelatihan Auditor Halal dan/atau sertifikat kompetensi Auditor Halal yang dilegalisasi; dan

    10. surat pernyataan bermeterai untuk mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan priba di dan I atau golongan. (3) Pengangkatan Auditor Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan pimpinan LPH. Paragraf 3 Pelatihan dan Sertifikasi Kompetensi Auditor Halal Pasal 41 Untuk memperoleh sertifikat pelatihan Auditor Halal dan/atau sertifikat kompetensi Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (2) huruf d, Auditor Halal harus mengikuti:

    11. pelatihan Auditor Halal; dan/atau

    12. sertifikasi kompetensi Auditor Halal. Pasal 42 (1) Pelatihan Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a dilaksanakan oreh BpJpH, pergurLran tinggi, dan/atau lembaga pelatihan rain yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (2)

      Perguruan Pasal 43 (1) sertifikasi kompetensi Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 huruf b dilaksanakan oleh BPJPH dan dapat bekerja sama dengan lembaga yang memiliki kewenangan penjaminan mutu kompetensi profesi. (2) Peserta sertifikasi kompetensi Auditor Halal yang dinyatakan lulus berhak kompetensi Auditor Halal. memperoleh sertifikat


    Pasal 44

    Mekanisme, prosedur, dan tata cara penyelenggaraan pelatihan dan standar kompetensi Auditor Halal diatur dalam Peraturan BpJpH. Paragraf 4 Registrasi Auditor Halal Pasal 45 (1) Auditor Halal yang telah diangkat sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (3) harus diregistrasi oleh BPJpH. (2) LPH mengajukan registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BpJpH. (3) Pengajuan oleh LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan salinan keputusan pimpinan LPH mengenai pengangkatan Auditor Halal.


    Pasal 46

    Pasal 46 (1) Pencabutan registrasi Auditor Halal dilakukan oleh BPJPH. (21 Pencabutan registrasi Auditor Halal dilakukan dalam hal Auditor Halal diberhentikan oleh LpH. Paragraf 5 Pemberhentian Auditor Halal


    Pasal 47

    Auditor Halal dapat diberhentikan oleh LpH dalam hal:

    1. mengundurkan diri;

    2. meninggal dunia;

    3. tidak memenuhi lagi salah satu persyaratan Auditor Halal;

    4. terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku tingkat berat; atau

    5. dinyatakan bersalah merakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. BAB V PELAKU USAHA Bagian Kesatu Umum


    Pasal 48

    Pelaku Usaha berhak memperoleh:

    1. informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem JPH;

    2. pembinaan dalam memproduksi produk Halar; dan

    3. pelayanan c Bagian Kedua Kewajiban Pelaku Usaha


    Pasal 49

    Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan sertifikat Halal wajib:

    1. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;

    2. memisahkan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;

    3. memiliki Penyelia Halal; dan

    4. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH. Bagian Ketiga Penyelia Halal Paragraf 1 Umum


    Pasal 50

    Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 huruf c ditetapkan oleh pelaku Usaha.


    Pasal 51

    Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 bertugas:

    1. mengawasi ppH di perusahaan;

    2. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan;

    3. mengoordinasikan ppH; dan Pasal 52 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Penyelia Halal bertanggung jawab:

    4. menerapkan ketentuan peraturan perundang_ undangan mengenai JpH;

    5. menerapkan sistem JpH;

    6. men5rusun rencana ppH;

    7. menerapkan manajemen risiko pengendalian ppH;

    8. mengusulkan penggantian Bahan;

    9. mengusulkan penghentian produksi yang tidak memenuhi ketentuan ppH;

    10. membuat laporan pengawasan ppH;

    11. melakukan kaji ulang pelaksanaan ppH;

    12. menyiapkan Bahan dan sampel pemeriksaan untuk Auditor Halal; dan

    13. menunjukkan bukti dan memberikan keterangan yang benar selama proses pemeriksaan oleh Auditor Halal. Pasal 53 (1) Untuk ditetapkan sebagai penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam pasar s0 harus memenuhi persyaratan:

    14. beragama Islam; dan

    15. memiliki wawasan ruas dan memahami syariat tentang kehalalan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuktikan dengan sertifikat penyelia Halal. (3) Untuk memperoreh sertifikat penyelia Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelia Halal harus mengikuti peratihan dan/atau sertifikasi kompetensi penyelia Halal. Paragraf 2 Pelatihan dan Sertifikasi Kompetensi penyelia Halal Pasal 54 (1) Pelatihan Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) dilaksanakan oleh BpJpH, perguruan tinggi, dan/atau lembaga pelatihan lain yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perguruan tinggi dan lembaga pelatihan lain yang terakreditasi melaksanakan pelatihan penyelia Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oreh BPJPH. (3) Peserta pelatihan penyeria Halar yang dinyatakan lulus berhak memperoleh sertifikat pelatihan penyelia Halal. Pasal 55 (1) Sertifikasi kompetensi penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam pasar 53 ayat (3) dilaksanakan oreh BPJPH dan dapat bekerja sama dengan lembaga yang memiliki kewenangan penjaminan mutu kompetensi profesi. (2) Peserta kompetensi penyelia Harar yang dinyatakan lulus berhak Penyelia Halal. memperoleh sertifikat kompetensi


    Pasal 56

    Mekanisme, prosedur, dan tata cara penyelenggaraan pelatihan dan standar kompetensi penyelia Halal diatur dalam Peraturan BpJpH. Paragraf 3 Paragraf 4 Fasilitasi Penyelia Halal bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil Paragraf 3 Penetapan Penyelia Halal oleh pelaku Usaha Pasal 57 (1) Pimpinan Pelaku Usaha menyampaikan penetapan Penyelia Halal yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 kepada BPJPH dengan melampirkan:

    1. fotokopi kartu tanda penduduk penyelia Halal;

    2. daftar riwayat hidup;

    3. salinan sertifikat pelatihan dan sertifikat kompetensi yang dilegalisasi; dan

    4. salinan keputusan penetapan penyelia Halal yang dilegalisasi. (2) Penetapan Penyelia Halal bagi pelaku Usaha mikro dan kecil didasarkan atas sertifikat pelatihan penyelia Halal. Pasal 58 (1) Dalam hal kegiatan usaha dilakukan oleh pelaku Usaha mikro dan kecil, penyelia Halal dapat berasal dari organisasi kemasyarakatan. (21 Selain berasal dari organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelia Halal dapat berasal dari pelaku Usaha yang bersangkutan, instansi pemerintah, badan usaha, atau pergu*an tinggi. (3) selain penyediaan penyelia Haral sebagaimana dimaksud pada ayat (1), organisasi kemasyarakatan, instansi pemerintah, badan usaha, atau perguruan tinggi dapat memberikan fasilitasi berupa keikutsertaan dalam pelatihan dan/atau sertifikasi kompetensi penyelia Halal. BAB VI . BAB VI PENGAJUAN PERMOHONAN DAN PERPANJANGAN SERTIFIKAT HALAL Bagian Kesatu Pengajuan Permohonan Sertifikat Halal Pasal 59 (1) Pelaku Usaha mengajukan permohonan Sertifikat Halal secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada BPJPH melalui sistem elektronik. (21 Permohonan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen:

    5. data Pelaku Usaha;

    6. nama dan ^jenis Produk;

    7. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan

    8. pengolahan Produk. Pasal 60 Data Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf a dibuktikan dengan nomor induk berusaha atau dokumen izin usaha lainnya.


    Pasal 61

    Nama dan jenis Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b harus sesuai dengan nama dan jenis Produk yang akan disertifikasi halal. Pasal 62 (1) Daftar Produk dan Bahan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf c harus merupakan Produk dan Bahan halat yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

    1. berasal dari alam berupa tumbuhan dan bahan tambang tanpa melalui proses pengolahan;

    2. dikategorikan tidak berisiko mengandung Bahan yang diharamkan; dan f atau c. tidak tergolong berbahaya serta tidak bersinggungan dengan bahan haram.


    Pasal 63

    Dokumen pengolahan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d memuat keterangan mengenai pembelian, penerimaan, penyimpanan Bahan yang digunakan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan Produk jadi, dan distribusi.


    Pasal 64

    Dalam hal fasilitas produksi yang digunakan untuk memproduksi Produk yang diajukan Sertifikat Halal juga digunakan untuk memproduksi Produk yang tidak diajukan Sertifikat Halal yang tidak berasal dari Bahan yang mengandung Bahan yang diharamkan, Pelaku Usaha harus menyampaikan dokumen:

    1. nama Produk;

    2. daftar Produk dan Bahan yang digunakan;

    3. proses pengolahan Produk; dan

    4. pencucian atau penyamakan pada fasilitas produksi yang digunakan secara bersama.


    Pasal 65

    Untuk menjaga kesinambungan PPH, Pelaku Usaha wajib menerapkan sistem JPH. Bagian Kedua Bagian Kedua Pemeriksaan Kelengkapan Dokumen Permohonan Sertifikat Hala1


    Pasal 66

    BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen permohonan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) Hari sejak permohonan diterima BPJPH. Bagian Ketiga Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal untuk Melakukan Pemeriksaan dan/atau Pengujian Kehalalan Produk Pasal 67 (1) Dalam hal permohonan Sertifikat Halal telah memenuhi kelengkapan dokumen, pemohon memilih LPH. (2) Penetapan LPH dilakukan berdasarkan pertimbangan:

    1. Akreditasi LPH;

    2. ruang lingkup kegiatan LPH;

    3. aksesibilitas LPH;

    4. beban kerja LPH; dan/atau

    5. kinerja LPH. (3) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) Hari terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dinyatakan lengkap. (41 Dalam hal penetapan LPH yang dilakukan oleh BPJPH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat kendala, BPJPH menambah jangka waktu paling lama 1 (satu) Hari. Bagian Keempat Pemeriks aan dan f atau pengujian Kehalalan produk Pasal 68 (1) LPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh BpJpH. (21 Pemeriksaan danfatau pengujian kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    6. pemeriksaan keabsahan dokumen; dan

    7. pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. Pasal 69 (1) P iksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6g ayat (2) huruf a dilakukan dengan pemeriksaan terhadap keabsahan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2). (2) Dalam hal berdasarkan hasit pemeriksaan diperlukan dokumen tambahan, LpH menyampaikan permintaan tambahan dokumen kepada pemohon dengan tembusan kepada BpJpH. (3) Pemohon harus menyerahkan tambahan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (21 kepada LpH dengan tembusan kepada BpJpH daram jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari sejak permintaan tambahan dokumen diterima. (4) Dalam hal pemohon tidak menyerahkan tambahan dokumen dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), LpH menyatakan permohonan Sertifikat Halal tidak dapat diproses lebih lanjut dengan menyampaikan pemberitahuan kepada pemohon. Pasal 70 (1) Pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) huruf b dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha pada saat proses produksi secara tatap muka. (2) Dalam pelaksanaan pemeriksaan produk di lokasi usaha secara tatap muka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon wajib memberikan informasi dan data kepada Auditor Halal. (3) Dalam hal terjadi kondisi kedaruratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang_undangan, pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara daring.


    Pasal 71

    Dalam hal hasil pemeriksaan produk terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud dalam pasal 6g ayat-(2) huruf b dapat dilakukan dengan pengujian di laboratorium. Pasal 72 (1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan untuk Produk yang diproduksi di daram negeri dilakukan dalam jangka waktu paring lama 15 (rima beras) Hari sejak penetapan LpH diterbitkan oreh BpJpH berdasarkan pilihan pemohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 6T ayat (l). (2) Dalam hal batas waktu pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, jangka waktu pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) Hari.

    (3)

    LPH Pasal 73 (1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan untuk Produk yang diproduksi di ruar negeri dilakukan dalam jangka waktu paring lama 15 (rima belas) Hari sejak penetapan LpH diterbitkan oleh BpJpH. (2) Dalam hal batas waktu pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, jangka waktu pemeriksaan dan/atau pengujian kehalaran produk dapat diperpanjang paling lama 15 (lima belas) Hari. (3) LPH melaporkan perpanjangan waktu pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada BpJpH paling lama 3 (tiga) Hari sebelum jangka waktu berakhir. Pasal 74 (1) Dalam hal jangka waktu pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dan pasal T3 ayat (2) tidak dipenuhi:

    1. LPH menyampaikan laporan akhir mengenai hasil pemeriksaan danfatau pengujian kepada BPJPH sesuai dengan kondisi yang ada; dan

    2. LPH wajib mengembalikan dokumen dan biaya pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada BpJpH.

    (2)

    Laporan . Pasal 75 (1) LPH 'menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada MUI dengan tembusan kepada BpJpH. (2) Hasil pemeriksaan danfatau pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

    1. nama dan jenis produk;

    2. Produk dan Bahan yang digunakan;

    3. PPH;

    4. hasil analisis dan/atau spesifikasi Bahan;

    5. berita acara pemeriksaan; dan

    6. rekomendasi. Bagian Kelima Penetapan Kehalalan produk Pasal 76 (1) Penetapan kehalalan produk dilaksanakan oteh MUI melalui sidang fatwa halal MUI. (2) Sidang fatwa halar MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh MUI pusat, MUI provinsi, MUI kabupatenf kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh. (3) Hasil penetapan kehalaran produk berupa penetapan halal Produk atau penetapan ketidakhalalan produk. PasaL 77 (1) Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 disampaikan kepada BpJpH dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Hari sejak hasil pemeriksaan kelengkapan dokumen dari LpH diterima oleh MUL (2) Dalam hal MUI belum menyerahkan penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jangka waktu penyampaian penetapan dapat diperpanjang 3 (tiga) Hari dengan menyampaikan alasan tertulis kepada BpJpH. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 terlampaui, BpJpH memberitahukan secara tertulis mengenai status permohonan penetapan kehalalan produk kepada pemohon. Bagian Keenam Bagian Keenam Penerbitan Sertifikat Halal Pasal 78 (1) BPJPH menerbitkan Sertihkat Halal, berlaku selama 4 (empat) tahun. (2) Penerbitan Sertifikat Halal oleh BpJpH dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) Hari sejak keputusan penetapan kehalalan produk dari MUI diterima oleh BPJPH. (3) Dalam hal MUI menetapkan ketidakhalalan produk, BPJPH mengeluarkan surat keterangan tidak halal dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) Hari sejak keputusan penetapan ketidakhalalan produk dari MUI diterima oleh BPJPH. Bagian Ketujuh Sertifikasi Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil Pasal 79 (1) Kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku Usaha mikro dan kecil didasarkan atas pernyataan pelaku Usaha mikro dan kecil. (2) Pelaku Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan usaha produktif yang memiliki kekayaan bersih atau memiliki hasit penjualan tahunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan kriteria:

    7. Produk tidak berisiko atau menggunakan Bahan yang sudah dipastikan kehalalannya; dan

    8. proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana.

    (3)

    Pernyataan a. adanya pernyataan pelaku Usaha yang berupa akad/ikrar yang berisi:


  7. kehalalan produk dan Bahan yang digunakan; dan

  1. PPH. b. adanya pendampingan ppH. (5) Pernyataan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a disampaikan kepada BpJpH untuk diteruskan kepada MUI. (6) Setelah menerima dokumen dari BpJpH sebagaimana dimaksud pada ayat (5), MUI menyelenggarakan sidang fatwa halal untuk menetapkan kehalalan Produk. (7) BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan fatwa halal tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Kriteria Pelaku Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan BPJPH. Pasal 8O (1) Pendampingan PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf b dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam atau lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum dan/atau perguruan tinggi.
    (2)

    Pendampingan Pasal 81 (1) Dalam hal permohonan sertifikat Halal diajukan oreh Pelaku Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal Tg, tidak dikenai biaya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. (2) Kriteria dan tata cara penetapan pelaku Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan BpJpH. Bagian Kedelapan Perpanjangan Sertifikat Halal Pasal 82 (1) BPJPH menerbitkan perpanjangan sertifikat Harar, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan. (21 Sertifikat Halat wajib diperpanjang oleh pelaku Usaha dengan mengajukan perpanjangan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan seberum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir. (3) Perpanjangan Sertifikat Halar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh pelaku Usaha secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada BpJpH.

    Pasal 83

    Pasal 83 (1) Permohonan perpanjangan Sertifikat Halar sebagaimana dimaksud dalam pasal g2 ayat (2) dilengkapi dengan dokumen:

    1. salinan Sertifikat Halal; dan

    2. surat pernyataan yang menerangkan produk yang didaftarkan tidak mengalami perubahan PPH dan komposisi Bahan dengan dibubuhi meterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Dalam hal pelaku Usaha memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BpJpH dapat langsung menerbitkan perpanjangan Sertifikat l{alal. Pasal 84 (1) Dalam hal terdapat perubahan komposisi Bahan dalam Produk, peraku Usaha wajib meraporkan kepada BPJPH. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melampirkan:

    3. dokumen perubahan komposisi Bahan; dan

    4. dokumen kehalalan atas Bahan yang diubah. (3) Dalam hal Bahan yang diubah tidak memiliki dokumen kehalalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, pelaku Usaha mengajukan permohonan sertifikat Halal produk kepada BpJpH. Bagian Kesembilan Biaya Sertifikasi Halal Pasal 85 (1) Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.


    (2)

    Biaya

    Pasal 86

    Dalam hal permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8i ayat (1), pembiayaan dapat dilakukan juga dengan:

    1. anggaran pendapatan dan belanja daerah;

    2. pembiayaan alternatif untuk usaha mikro dan kecil;

    3. pembiayaan dari dana kemitraan;

    4. bantuan hibah pemerintah atau lembaga lain;

    5. dana bergulir; atau

    6. sumber lain yang sah dan tidak mengikat. BAB VII LABEL HALAL DAN KETERANGAN TIDAK HALAL Bagian Kesatu Label Halal Pasal 87 (1) Pelaku Usaha wajib mencantumkan Laber Halar pada Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal. (21 Label Halal dapat dicantumkan serama proses perpanjangan Sertifikat Halal.


    Pasal 88

    BPJPH menetapkan Label Halal yang berraku nasionar. Pasal 89 (1) Label Halal paling sedikit memuat:

    1. logo; dan

    2. nomor sertifikat atau nomor registrasi. (2) Logo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi gambar, tulisan, atau kombinasi dari gambar dan tulisan.


    Pasal 90

    Logo dalam Label Halar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) huruf a merurpakan wujud keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh BPJPH. Bagian Kedua Pencantuman Label Halal Pasal 91 (1) Label Halal sebagaimana dimaksud dalam pasal g7 dicantumkan pada:

    1. kemasan a. kemasan produk;

    2. bagian tertentu dari produk; dan/atau

    3. tempat tertentu pada produk. (21 Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mudah dilihat dan dibaca, serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk:

    4. Produk yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan seluruh keterangan;

    5. Produk yang dijual dan dikemas secara langsung dihadapan pembeli dalam jumlah kecil; dan

    6. Produk yang dijual dalam bentuk curah. (4) Pemberlakuan pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuktikan dengan dokumen Sertifikat Halal. Bagian Ketiga Keterangan Tidak Halal Pasal 92 (1) Pelaku Usaha yang memproduksi produk yang berasal dari Bahan yang diharamkan, wajib mencantumkan keterangan tidak halal. (2) Keterangan tidak halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan yang dicantumkan pada:

    7. kemasan produk;

    8. bagian tertentu dari produk; dan/atau

    9. tempat tertentu pada produk.


    Pasal 93
    Pasal 93

    Produk yang berasal dari Bahan yang diharamkan wajib mencantumkan keterangan tidak halal berupa gambar, tulisan, dan/atau nama Bahan dengan warna yang berbeda pada komposisi Bahan.



    Pasal 94

    Pencantuman keterangan tidak halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dan pasal 93 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak, sesuai dengan ketentuan peraturan perllndang- undangan. BAB VIII PENGAWASAN JAMINAN PRODUK HALAL Bagian Kesatu Umum


    Pasal 95

    (1)

    (21 BPJPH melakukan pengawasan terhadap JpH. Pengawasan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:

    1. LPH;

    2. masa berlaku Sertifikat Halal;

    3. kehaialan Produk;

    4. pencantuman Label Halal;

    5. pencantuman keterangan tidak halal;

    6. pemisahan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara produk Halal dan tidak halal;

    7. keberadaan Penyelia Halal; dan/atau

    8. kegiatan lain yang berkaitan dengan JpH.

    (3)

    Kementerian (3) Kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah provinsi/kabupate nlkota berkoordinasi dan bekerjasama dengan BpJpH dalam pelaksanaan pengawasan JpH sesuai dengan tugas dan fungsinya. (41 Koordinasi dan kerja sama pelaksanaan pengawasan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditindaklanjuti melalui pen5rusunan program strategis pengawasan JpH. (5) Pengawasan terhadap JpH dapat dilakukan oleh BPJPH, kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah provinsi/kabupaten/ kota sesuai dengan kewenangan secara sendiri- sendiri atau bersama-sama. Pasal 96 (1) BPJPH, kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah provinsi/kabupaten/ kota dalam melaksanakan pengawasan JpH dapat mengikutsertakan pihak terkait. (21 Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertindak untuk memberikan masukan, pertimbangan, atau kegiatan lain yang bertujuan menunjang kegiatan pengawasan JpH. Pasal 97 (1) Pengawasan JpH dilaksanakan oleh pengawas JpH pada BPJPH, kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah provinsi/kabupaten/ kota. (2) Pengawas JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh pejabat yang berwenang di BpJpH, kementerian terkait, lembaga terkait, dan atau pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perLlndang_undangan. Pasal 98 (1) Pengawas JPH yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (2) harus memenuhi persyaratan:

    1. beragama Islam;

    2. aparatur sipil negara yang bertugas pada unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang pengawasan;

    3. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu);

    4. memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; dan

    5. lulus pelatihan Pengawas JpH. (21 Pengawas JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan pengawasan harus dilengkapi dengan surat tugas dan tanda pengenal. (3) Pengawas JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga kerahasiaan hasil pengawasan. t (41 Ketentuan mengenai pengangkatan pengawas JpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Pelatihan Pengawas Jaminan produk Halal Pasal 99 (1) Pelatihan Pengawas JpH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf e diselenggarakan oleh BPJPH dan/atau kementerian terkait, lembaga terkait, pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang_ undangan. REpu JrT^tt'^?55*r'o -48- (2) BPJPH dalam melaksanakan pelatihan pengawas JpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang pendidikan dan pelatihan di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. (3) Kementerian terkait, lembaga terkait, pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melaksanakan pelatihan Pengawas JpH setelah berkoordinasi dengan BPJPH. (4) Koordinasi BpJpH dengan kementerian terkait, lembaga terkait, pemerintah daerah provinsi/kabupatenlkota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi:

    6. sistem dan tata cara pelatihan; dan

    7. penyediaan tenaga pengajar pelatihan pengawas JPH. (5) Penyelenggaraan pe han pengawas JpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan BPJPH. Pasal 1OO (1) Kurikulum pelatihan pengawas JpH disusun dan ditetapkan oleh Kepala Badan. (21 Kurikulum pelatihan pengawas JpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

    8. wawasan mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; dan

    9. pengetahuan mengenai sasaran pengawasan JPH. Pasal 101 . Pasal 101 (1) Peserta pelatihan pengawas JpH yang dinyatakan lulus berhak memperoleh sertifikat tanda rulus pelatihan Pengawas JpH. (2) Sertifikat tanda lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pimpinan lembaga penyelenggara pelatihan. Pasal 1O2 (1) Dalam hal BPJPH, kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah provinsi/ kabupatenlkota belum memiliki pengawas JpH yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf b, BpJpH, kementerian/lembaga terkait, dan f atau pemerintah daerah provinsi/kabupaten I kota dapat menugaskan aparatur sipil negara di lingkungan masing_masing untuk melakukan pengawasan JpH. (2) Aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diusulkan mengikuti pelatihan Pengawas JPH dalam jangka waktu paling lama I (satu) tahun sejak penugasan. Bagian Ketiga Jenis dan Tahapan pengawasan Jaminan produk Halal Pasal 103 (1) Pengawasan JPH dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu. (2) Pengawasan JpH secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan 1 (satu) kari dalam 6 (enam) bulan.

    (3)

    Dalam (3) Dalam hal pengawasan JpH dilaksanakan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2), unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang pengawasan men5rusun rencana kerja dengan mempertimbangkan kondisi penyelenggaraan JpH. (4) Pengawasan JpH sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (i) ditaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan/atau dalam har terjadi dugaan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IX KERJA SAMA DALAM PEI{YELENGGARAAN JAMINAN PRODUK HALAL Bagian Kesatu Umum Pasal 1O4 (1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal S, BpJpH bekerja sama dengan:

    1. kementerian dan/atau lembaga terkait;

    2. LPH; dan

    3. MUI. (2) Kementerian terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:

    4. perindustrian;

    5. perdagangan;

    6. kesehatan;

    7. pertanian;

    8. koperasi dan usaha kecil dan menengah;

    9. dalam negeri;

    10. luar negeri h. lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JPH. (3) Lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi lembaga pemerintah nonkementerian atau lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang:

    11. pengawasan obat dan makanan;

    12. standardisasi dan penilaian kesesuaian. c. akreditasi; dan

    13. lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JPH. Bagian Kedua Kerja Sama Badan Penyelenggara Jaminan produk Halal dengan Kementerian Terkait Pasal 105 (1) Kerja sama BpJpH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian sebagaimana dimaksud dalam pasal lO4 ayat (2) huruf a dengan rurang lingkup:

    14. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan industri terkait dengan bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong yang digunakan untuk menghasilkan produk Halal;

    15. fasilitasi JPH bagi industri kecil dan industri menengah;

    16. pembentukan kawasan industri halal; dan

    17. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing_masing.

    (2)

    Kementerian Pasal 106 (1) Kerja sama BpJpH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan sebagaimana dimaksud dalam pasar 104 ayat (2) huruf b dengan ruang tingkup:

    1. pembinaan kepada pelaku Usaha dan masyarakat;

    2. pengawasan produk Halal yang beredar di pasar;

    3. fasilitasi penerapan JpH bagi pelaku Usaha di bidang perdagangan;

    4. perluasan akses pasar dalam negeri dan luar negeri bagi produk Halal;

    5. penarikan barang dari peredaran; dan

    6. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing_masing. (21 Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dalam perumusan dan penetapan kebijakan dengan ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (t) melibatkan BpJpH. Pasal 1O7 (1) Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 ayat (21huruf c dengan ruang lingkup:

    7. pengawasan Sertifikat Halal dan Labet Halal bagi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga;

    8. fasilitasi c. rekomendasi pencabutan Sertifikat Halal dan Label Halal bagi atat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; dan

    9. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing_masing. (2) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dalam perLrmusan dan penetapan kebijakan dengan ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan BPJPH. Pasal 108 (1) Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian sebagaimana dimaksud dalam pasal lO4 ayat (2) huruf d dengan rLrang lingkup:

    10. sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk Halal;

    11. penetapan persyaratan rumah potong hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas;

    12. penetapan pedoman pemotongan hewan/unggas;

    13. penanganan daging hewan dan hasil ikutannya;

    14. fasilitasi JPH bagi rumah potong hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas;

    15. penetapan pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit usaha pangan asal hewan, sistem jaminan mutu, dan keamanan pangan hasil pertanian; dan

    16. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

    (2)

    Kementerian Pasal 109 (1) Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 ayat (2) huruf e meliputi:

    1. koordinasi dan sosialisasi sertifikasi kehalalan Produk bagi koperasi dan pelaku Usaha mikro, kecil, dan menengah;

    2. fasilitasi JpH bagi koperasi dan peraku Usaha mikro, kecil, dan menengah;

    3. pendataan koperasi dan pelaku Usaha mikro, kecil, dan menengah;

    4. fasilitasi sertifikasi halal bagi pelaku Usaha mikro dan kecil; dan

    5. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing_masing. (2) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah dalam perumusan dan penetapan kebijakan dengan rllang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan BpJpH. Pasal I 10 (1) Keda sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri sebagaimana dimaksud daram pasal 1O4 ayat (2) huruf f dengan ruang lingkup:

    6. sosialisasi b. fasilitasi JPH bagi koperasi dan pelaku Usaha mikro, kecil, dan menengah;

    7. pengawasan JPH;

    8. pengembangan JPH; dan

    9. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing. (2) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri dalam perulmusan dan penetapan kebijakan dengan ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan BPJPH. Pasal 1 1 1 (1) Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 ayat (21huruf g dengan ruang lingkup:

    10. fasilitasi kerja sama internasional;

    11. promosi Produk Halal di luar negeri;

    12. penyediaan informasi mengenai lembaga halal luar negeri; dan

    13. tugas lain yang terkait derrgan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing. (2) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri dalam perumusan dan penetapan kebijakan dengan rurang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan BPJPH. Pasal 1 12 (1) Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JpH sebagaimana dimaksud dalam Pasal tO4 ayat (2) huruf h dengan rLrang lingkup:

    14. sosialisasi, edukasi, dan publikasi ^produk Halal; dan

    15. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing. (2) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JPH dalam perLlmusan dan penetapan kebijakan dengan ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan BPJPH. Kerja sama Badan ,"ff: ,'il#: 'il"--an produk Hatar dengan Lembaga Terkait Pasal 1 13 (1) Kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 104 ayat (3) huruf a dengan ruang lingkup:

    16. sertifikasi halal bagi obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, obat kuasi, pangan olahan, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong melalui sistem yang terintegrasi dengan pendaftaran produk;

    17. pengawasan.

    18. pencabutan Sertifikat Halal pada obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, obat kuasi, pangan olahan, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong yang beredar;

    19. penarikan barangdariperedaran padaobat, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, obat kuasi, pangan olahan, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong;

    20. sosialisasi, edukasi, dan publikasi JpH berupa obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, obat kuasi, pangan olahan, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong; dan

    21. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing. (2) Lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dalam perumusan dan penetapan kebijakan dengan rLtang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan BPJPH. Pasal 1 14 (1) Kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) huruf b dengan rLrang lingkup:

    22. pen5rusunan standar dan skema Penilaian Kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ; dan

    23. tugas Pasal 1 15 (1) Kerja sama BPJPH dengan lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang akreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) huruf c dengan rLrang lingkup:

    24. pen)rusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria Akreditasi LpH; dan

    25. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing. (2) Lembaga pemerintah nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang akreditasi dalam perumusan dan penetapan kebijakan dengan rLlang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan BpJpH. Pasal 1 16 (1) Kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah nonkementerian atau lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JpH sebagaimana dimaksud dalam pasal IO4 ayat (3) huruf d dengan ruang lingkup:

    26. sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk Halal; dan

    27. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Bagian Keempat Kerja Sama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dengan Lembaga Pemeriksa Hala1 Pasal 1 17 (1) Kerja sama BPJPH dengan LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal LO4 ayat (1) huruf b meliputi:

    28. pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk yang ditetapkan oleh BPJPH; dan

    29. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing. (2) Perumusan dan penetapan kebijakan kerja sama dengan ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berkoordinasi dengan BPJPH. Bagian Kelima Kerja Sama Badan Penyelen ggaraJaminan Produk Halal dengan Majelis Ulama Indonesia Pasal 1 18 (1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO4 ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal penetapan kehalalan Produk. (21 Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan MUI dalam bentuk keputusan penetapan kehalalan Produk. Bagian Keenam Kerja Sama Internasional Jaminan Produk Halal Pasal 1 19 (1) Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional dalam bidang JPH. (21 Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:

    30. pengembangan JPH;

    31. Penilaian Kesesuaian; dan/atau

    32. pengakuan Sertifikat Halal. (3) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh BPJPH untuk melaksanakan hasil koordinasi dan konsultasi antara Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri. (4) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas perjanjian antar negara. (5) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan sesuai dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia, ketentuan peraturan perundang-undangan nasional, dan hukum serta kebiasaan internasional. Pasal 120 (1) Kerja sama internasional dalam pengembangan JPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) huruf a meliputi:

    33. pengembangan teknologi;

    34. sumber .

    35. sarana dan prasarana JPH. (21 BPJPH merumuskan dan menetapkan kebijakan kerja sama internasional dalam pengembangan JPH dengan rulang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil koordinasi dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri. (3) Kerja sama internasional dalam pengembangan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh BPJPH dengan pemerintah atau lembaga lainnya di negara setempat. Pasal 121 (1) Kerja sama internasional dalam Penilaian Kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (21 huruf b meliputi:

    36. saling pengakuan; dan

    37. saling keberterimaan hasil Penilaian Kesesuaian. (21 Kerja sama internasional dalam Penilaian Kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengembangan skema saling pengakuan dan saling keberterimaan hasil Penilaian Kesesuaian. (3) Kerja sama internasional dalam Penilaian Kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh BPJPH bersama dengan lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang akreditasi dengan lembaga akreditasi negara setempat. Pasal 122 (1) Kerja sama internasional dalam pengakuan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal l19 ayat(2) huruf c merupakan kerja sama saling pengakuan Sertif,rkat Halal. (21 Kerja sama Pasal 123 (1) Sertifikat Halal yang diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dapat diterima sebagai pemenuhan Sertifikat Halal berdasarkan perjanjian saling keberterimaan Sertifikat Halal yang berlaku timbal balik. (2) Perjanjian saling keberterimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh BPJPH dengan lembaga halal luar negeri. (3) Lembaga halal luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (21dibentuk oleh pemerintah atau lembaga keagamaan Islam yang diakui oleh negara setempat. (41 Lembaga halal luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diakreditasi oleh lembaga akreditasi di negara setempat yang telah memperoleh pengakuan dalam organisasi kerja sama akreditasi regional atau internasional. (5) Lembaga akreditasi di negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan lembaga yang telah melakukan kerja sama pengembangan skema saling pengakuan dan saling keberterimaan hasil Penilaian Kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121. (6) Akreditasi lembaga halal luar negeri oleh lembaga akreditasi di negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (41 harus sesuai dengan standar halal Indonesia yang ditetapkan oleh BPJPH.

      Pasal 724

      BAB X SERTIFIKASI PRODUK DAN REGISTRASI SERTIFIKAT HALAL LUAR NEGERI Bagian Kesatu Umum Pasal 124 (1) Dalam hal di negara setempat tidak terdapat lembaga halal luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 123 ayat (3), Pelaku Usaha wajib melakukan sertifikasi halal sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini. (21 Dalam hal di negara setempat tidak terdapat lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (4) lembaga halal luar negeri diakreditasi oleh Tim Akreditasi LPH. (3) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerjasama dengan lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang akreditasi.


      Pasal 125

      Produk luar negeri yang masuk ke Indonesia wajib bersertifikat halal. Bagian Kedua Sertifikasi Halal Produk Luar Negeri


      Pasal 126

      Permohonan sertifikasi halal Produk luar negeri diajukan oleh importir atau perwakilan resminya. Bagian Ketiga Paragraf 2 Pengajuan Permohonan Registrasi Sertifikat Halal Luar Negeri


      Pasal 128

      Bagian Ketiga Registrasi Sertifikat Halal Luar Negeri Paragraf 1 Umum Pasal 127 (1) Produk Halal yang Sertifikat Halalnya diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan Sertifikat Halal dengan BPJPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halal. (2) Sertifikat Halal dengan kategori bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, dan hasil sembelihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 yang diterbitkan oleh'lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan Sertifikat Halal dengan BPJPH wajib diregistrasi sebelum diedarkan di Indonesia. (3) Dalam hal negara setempat tidak mengakui lembaga halal luar negeri negara setempat, sertifikasi halal Produk dilakukan di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Tata cara pelaksanaan kerja sama internasional di bidang JPH diatur dalam Peraturan BPJPH. Registrasi Sertifikat Halal luar negeri diajukan permohonannya oleh masing-masing importir dan/atau perwakilan resmi kepada BPJPH secara tertulis dengan melampirkan:


    38. data pemohon; daftar barang yang akan diimpor ke Indonesia dilengkapi dengan nomor kode sistem harmonisasi; dan surat pernyataan bahwa dokumen yang disampaikan benar dan sah. Paragraf 3 Pemeriksaan Kelengkapan Dokumen Permohonan Registrasi Sertifikat Halal Luar Negeri Pasal 129

    (1)

    BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen permohonan registrasi Sertifikat Halal luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128. (21 Dalam hal hasil pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap, BPJPH menyampaikan permintaan tambahan dokumen kepada pemohon. (3) Pemohon harus menyerahkan tambahan dokumen kepada BPJPH dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari sejak permintaan tambahan dokumen diterima. (41 Dalam hal pemohon tidak menyerahkan tambahan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan ditolak. Pasal 13O (1) BPJPH melakukan pemeriksaan keabsahan dokumen permohonan registrasi Sertifikat Halal luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal I28 setelah dokumen dinyatakan lengkap. b C d Paragraf 4 Biaya Registrasi Sertifikasi Luar Negeri Pasal 131 (1) Biaya registrasi Sertifikat Halal luar negeri dibebankan kepada pemohon. (21 Besaran tarif biaya registrasi Sertifikat Halal luar negeri ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 5 Penerbitan Registrasi Sertifikat Halal Luar Negeri Pasal 132 (1) BPJPH melakukan registrasi Sertifikat Halal luar negeri yang telah memenuhi persyaratan. (2) Sertifikat Halal yang telah diregistrasi oleh BPJPH dapat diterima sebagai pemenuhan Sertifikat Halal Produk. (3) Registrasi Sertilikat Halal luar negeri diterbitkan sesuai dengan pendaftaran yang dilakukan oleh pemohon berdasarkan Sertifikat Halal luar negeri. (4) Importir dan/atau perwakilan resmi yang telah memperoleh registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan nomor registrasi berdekatan dengan Label Halal pada:

    1. kemasan .

    2. bagian tertentu dari Produk; dan/atau

    3. tempat tertentu pada Produk. Pasal 133 (1) Registrasi Sertifikat Halal luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal I32 ayat (1) paling sedikit memuat keterangan mengenai:

    4. lembaga penerbit nomor registrasi Sertifikat Halal luar negeri;

    5. nomor registrasi Sertifikat Halal luar negeri;

    6. data pemohon;

    7. nama Produk yang diregistrasi;

    8. masa berlaku Sertifikat Halal luar negeri;

    9. tanda tangan Kepala Badan; dan

    10. kode identitas unik. (2) Registrasi Sertifikat Halal luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam ^peraturan BPJPH. Pasal 134 (1) Masa berlaku registrasi Sertifikat Halal luar negeri menyesuaikan dengan masa berlaku Sertifikat Halal yang diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri. (2) Registrasi Sertihkat Halal luar negeri wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku registrasi Sertifikat Halal luar negeri berakhir. BAB XI PENAHAPAN KEWAJIBAN BERSERTIFIKAT HALAL BAGI JENIS PRODUK Pasal 135 (1) Produk yang wajib bersertifikat halal terdiri atas:

    11. barang; dan/atau

    12. jasa. (2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    13. makanan;

    14. minuman;

    15. obat;

    16. kosmetik;

    17. produk kimiawi;

    18. produk biologi;

    19. produk rekayasa genetik; dan

    20. barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan. (3) Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi layanan usaha yang terkait dengan:

    21. penyembelihan;

    22. pengolahan;

    23. penyimpanan;

    24. pengemasan;

    25. pendistribusian;

    26. penjualan; dan/atau

    27. penyajian. Pasal 136 (1) Makanan, minuman, obat, dan kosmetik sebagaimana dimaksud dalam pasal 135 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d ditetapkan masing- masing jenisnya oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian terkait, lembaga terkait, dan MUI.

    (2)

    Pelaksanaan

    Pasal 137

    Produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik sebagaimana dimaksud dalam pasal 135 ayat (2) huruf e sampai dengan huruf g dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (3) hanya yang terkait dengan makanan, minuman, obat, atau kosmetik. Pasal 138 (1) Barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 135 ayat (2) huruf h hanya bagi barang yang berasal dari dan/atau mengandung unsur hewan. (2) Penetapan jenis barang gunaan yang wajib bersertifikat halal diatur dalam keputusan Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. (3) Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) difasilitasi oleh BpJpH. Pasal 139 (1) Kewajiban bersertifikat halal bagi jenis produk sebagaimana dimaksud dalam pasal 136 dan pasal 137 dilakukan secara bertahap. (2) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali terdiri atas:

    1. Produk makanan dan minuman;

    2. Bahan baku, Bahan tambahan pangan, dan Bahan penolong untuk produk makanan dan minuman; dan

    3. hasil a. Produk yang kewqjiban kehalalannya sudah ditetapkan dalam peraturan perundang_ undangan;

    4. Produk sudah bersertifikat halat sebelum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2Ol4 tentang Jaminan Produk Halal berlaku; dan

    5. Produk yang sudah bersertifikat halal sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2OI4 tentang Jaminan produk Halal sampai diundangkannya peraturan pemerintah ini. asal 140 Penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi produk makanan, minuman, hasit sembelihan, dan jasa penyembelihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 139 ayat (2) huruf a dan huruf c dimulai dari tanggal rT oktober 2ol9 sampai dengan tanggal 17 oktober 2024. Pasal 141 (1) Penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi selain Produk sebagaimana dimaksud dalam pasal 139 ayat (2) meliputi:

    6. obat tradisional, obat kuasi, dan suplemen kesehatan dimulai dari tanggal 17 Oktober 2O2l sampai dengan tanggal 17 Oktober 2026;

    7. obat bebas dan obat bebas terbatas dimulai dari tanggal 17 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2029;

    8. kosmetik, produk kimiawi, dan produk rekayasa genetik dimulai dari tanggal 17 Oktober 2O2l sampai dengan tanggal 17 Oktober 2026;

    9. barang gunaan yang dipakai kategori sandang, penutup kepala, dan aksesoris dimulai dari tanggal 17 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2026;

    10. barang gunaan yang digunakan kategori perbekalan kesehatan rumah tangga, peralatan rumah tangga, perlengkapan peribadatan bagi umat Islam, alat tulis, dan perlengkapan kantor dimulai dari tanggal t7 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2026;

    11. barang gunaan yang dimanfaatkan kategori alat kesehatan kelas risiko A sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dimulai dari tanggal 17 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2026;

    12. barang gunaan yang dimanfaatkan kategori alat kesehatan kelas risiko B sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dimulai dari tanggal 17 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2029;

    13. barang gunaan yang dimanfaatkan kategori alat kesehatan kelas risiko C sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dimulai dari tanggal 17 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2034; Pasal 142 (1) Produk berupa obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang akan dilakukan sertifikasi halal harus memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan/khasiat, dan mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal Produk berupa obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang Bahan bakunya belum bersumber dari Bahan halal dan/atau cara pembuatannya belum halal, dapat beredar dengan mencantumkan informasi asal Bahan sampai ditemukan Bahan yang halal dan/atau cara pembuatannya yang halal. (3) Produk berupa obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang akan dilakukan sertilikasi halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus memenuhi cara pembuatan yang halal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Produk berupa obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang Bahan bakunya belum bersumber dari Bahan halal dan/atau cara pembuatannya belum halal sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ketentuan memenuhi cara pembuatan yang hatal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam ^peraturan Presiden.


    Pasal 143

    selama masa pelaksanaan penahapan bagi jenis produk yang wajib bersertifikat halal:

    1. BPJPH melakukan pembinaan kepada pelaku Usaha yang menghasilkan produk yang wajib bersertifikat halal; dan

    2. BPJPH bekerja sama dengan pemangku kepentingan lain dan masyarakat menciptakan kondisi yang mendorong peningkatan dan pengembangan iklim berusaha di Indonesia. BAB XII PERAN SERTA MASYARAKAT Bagian Kesatu Umum Pasal 144 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JpH. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    3. sosialisasi dan edukasi mengenai JpH;

    4. pendampingan dalam ppH;

    5. publikasi bahwa produk berada dalam pendampingan;

    6. pemasaran dalam jejaring organisasi kemasyarakatan Islam berbadan hukum; dan

    7. pengawasan produk Halal yang beredar. (3) Pengawasan produk Halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat(2) huruf e berbentuk pengaduan dan pelaporan kepada BpJpH. Pasal 145 (1) Pelaporan kepada BpJpH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3) dituangkan dalam bentuk laporan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat disampaikan oleh:

    8. perorangan warga negara Indonesia;

    9. badan hukum publik atau privat; atau

    10. organisasikemasyarakatan.


    Pasal 146

    BPJPH menjamin kerahasiaan identitas pelapor dan terlapor, kecuali untuk kepentingan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang_ undangan. Bagian Kedua Pemberian Penghargaan dalam penyelenggaraan Jaminan produk Halal Pasal 147 (1) BPJPH dapat memberikan penghargaan masyarakat yang telah berperan serta penyelenggaraan JpH. (2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada:

    1. perorangan warga negara Indonesia;

    2. badan hukum publik atau privat;

    3. kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga nonstruktural, pemerintah provinsi / kabupaten/kota;

    4. lembaga pendidikan; atau

    5. organisasikemasyarakatan. kepada dalam BAB XIII BAB XIII LAYANAN BERBASIS ELEKTRONIK Pasal 148 (1) Sistem layanan penyelenggaraan JpH menggunakan layanan berbasis elektronik yang terintegrasi. (2) Dalam hal keadaan terjadi gangguan yang menyebabkan layanan berbasis elektronik tidak dapat dilakukan maka layanan dilakukan secara manual. BAB XIV SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Umum Pasal 149 (1) Pelanggaran terhadap penyelenggaraan JpH dikenakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan terhadap pelaku Usaha berupa:

    6. peringatan tertulis;

    7. denda administratif;

    8. pencabutan Sertifikat Halal; dan/atau

    9. penarikan barang dari peredaran. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan terhadap LpH berupa:

    10. peringatan tertulis;

    11. denda administratif; dan/atau

    12. pembekuan operasional.


    (4)

    Pengenaan Bagian Kedua Jenis Sanksi dan Kewenangan pengenaan sanksi Administratif Pasal 150 (1) BPJPH berwenang menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal l4g ayat (21 terhadap Pelaku Usaha yang melanggar pasal 49, Pasal 65, Pasal 82 ayat (2), pasal g4 ayat (1), pasal g7 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), pasal 93, pasal 127 ayat (2), Pasal I32 ayat (4), pasal 134 ayat (2), d,an pasal 135 ayat (1). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan tertulis dikenakan terhadap pelanggaran pasal 49, pasal 65, pasal g2 ayat (2), Pasal 84 ayat (1), pasal g7 ayat (1), pasal 92 ayat (1), Pasal 93, pasal 127 ayat (2), pasal 132 ayat (4), Pasal I34 ayat (2), dan pasal 135 ayat (1). (3) sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa denda administratif dikenakan terhadap pelanggaran pasal 49, pasal 65, pasal g2 ayat(2), Pasal 84 ayat (1), pasal g7 ayat (1), pasal 127 ayat(21, dan pasal 134 ayat(2).

    (4) Sanksi )DoNES'A (4) Sanksr administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pencabutan Sertifikat Halal dikenakan terhadap pelanggaran pasal 49, pasal 65, Pasal 84 ayat (1), dan pasal 87 ayat (1). (5) sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penarikan barang dari peredaran dikenakan terhadap pelanggaran pasal 65, pasal g2 ayat (2), Pasal 84 ayat (1), pasal l2Z ayat (2), pasal 132 ayat (4), Pasal I34 ayat (2), d,an pasal 13S ayat (1). Pasal 151 BPJPH berwenang menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 149 ayat (3) terhadap LPH yang melanggar pasal Z4. ian Ketiga Tata cara Pemeriksaan pelanggaran Administratif Paragraf 1 Umum Pasal 152 (1) Dugaan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 150 dan pasal 151 berasal dari: a. laporan; dan/atau b. temuan. (2) BPJPH melakukan kajian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran administratif. Paragraf 2 Paragraf 2 Laporan Pasal 153 (1) Laporan dugaan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal IS2 ayat (1) huruf a dapat disampaikan oleh: a. perorangan warga negara Indonesia; b. badan hukum publik atau privat; dan c. organisasi kemasyarakatan. (2) Laporan dugaan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (i) disampaikan kepada BPJPH. (3) BPJPH menjamin kerahasiaan identitas pelapor dan terlapor, kecuali untuk kepentingan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 154 (1) Laporan dugaan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 1S3 paling sedikit memuat: a. identitas pelapor yang meliputi nama, alamat, nomor telepon, surat elektronik, dan kedudukan; b. nama, alamat, dan konten isi yang diadukan; c. kewajiban yang dilanggar; d. waktu pelanggaran; e. kronologi peristiwa yang diadukan; dan f. keterangan tambahan yang memuat fakta, data, atau petunjuk terjadinya pelanggaran. (2) Laporan dugaan pelanggaran administratif selbagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan bukti permulaan sebagai pendukung. Paragraf 3 PREs !DEN REPUBLIK INDONESIA 79 Paragraf 3 Temuan Pasal 155 (1) Temuan dugaan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal lS2 ayat (1) huruf b dituangkan dalam formulir temuan pelanggaran yang paling sedikit memuat: a. identitas petugas yang menemukan dugaan pelanggaran; b. identitas pihak yang diduga melakukan pelanggaran; dan c. uraian dugaan pelanggaran. (2) Temuan dugaan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) clisampaikan kepada BPJPH. Paragraf 4 Kajian Terhadap Laporan dan/atau Temuan Pasal 156 (1) BPJPH melakukan kajian terhadap laporan dan/atau temuan dugaan pelanggaran administratif. (2) Kajian terhadap laporan dan/atau temuan dugaan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak laporan danf atau temuan disampaikan. Pasal 158 (1) Dalam hal kajian terhadap laporan dan/atau temuan dugaan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 menyimpulkan tidak terdapat dugaan pelanggaran administratif, BpJpH menghentikan proses pemeriksaan. (2) Dalam hal kajian terhadap laporan dan/atau temuan dugaan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 menyimpulkan terdapat dugaan pelanggaran administratif, BpJpH melakukan investigasi. Paragraf 5 Pemeriksaan Terhadap Laporan dan/atau Temuan Pasal 159 (1) BPJPH melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran administratif berdasarkan hasil kajian terhadap laporan dan/atau temuan dugaan pelanggaran administratif. (21 Pemeriksaan dugaan pelanggaran administratif dilakukan untuk menemukan, mendalami, dan menilai bukti telah terjadinya pelanggaran administratif. (3) Pemeriksaan dugaan peianggaran administratif dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak kajian awal selesai dilakukan. Pasal 160 Pasal 161 (1) Pengenaan sanksi peringatan tertulis dalam bentuk tertulis. (2) Dalam hal sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditindakranjuti oleh Pelaku Usaha dalam jangka waktu 14 (empat belas) Hari sejak ditetapkan, BpJpH mengenakan sanksi denda administratif dan/atau penarikan barang dari peredaran oleh pelaku Usaha. (3) Pengenaan sanksi denda administratif dilakukan dalam bentuk pembayaran daram sejumlah uang ke kas negara. (41 Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-und gan. Pasal 162 (1) Penarikan barang dari peredaran oleh pelaku Usaha dilakukan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak sanksi penarikan barang dari peredaran ditetapkan. (2) Penarikan barang dari peredaran oleh pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oreh Pelaku Usaha di , bawah pengawasan BpJpH berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang_ undangan. Pasal 163 J||: oNESrA Pasal 163 Pengenaan sanksi pencabutan Sertifikat Halal ditetapkan oleh Kepala Badan. Bagian Keempat Pengaj uan Keberatan Terhadap penj atuhan Sanksi Administratif Paragraf 1 Umum Pasal 164 (1) Pelaku Usaha atau LpH yang dikenai sanksi administratif dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Badan. (2) Keberatan yang diajukan oreh pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan terhadap sanksi administratif berupa: a. denda administratif; b. pencabutan Sertifikat Halal; dan/atau c. penarikan barang dari peredaran oleh pelaku Usaha. (3) Keberatan yang diajukan oleh LpH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan terhadap sanksi administratif berupa: a. denda administratif; dan/atau b. pembekuan operasional. Pasal 165 (1) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (2) atau ayat (3) dituangkan daram bentuk permohonan keberatan yang paring sedikit memuat: a. identitas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -83- a. identitas pemohon; b. alasan keberatan; dan c. keputusan yang dimohonkan. (2) Permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melampirkan: a. identitas Pelaku Usaha atau LpH; b. keputusan Kepala Badan terkait sanksi administratif; dan c. bukti lain yang mendukung kebenaran alasan keberatan. (3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diajukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari sejak sanksi administratif ditetapkan. Paragraf 2 Tindak Lanjut Terhadap pengajuan Keberatan penjatuhan Sanksi Administratif Pasal 166 Kepala Badan memberikan j an atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 164 dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari sejak keberatan diterima. Pasal 167 (1) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 diterima, Kepala Badan mengubah atau membatalkan keputusan sanksi administratif. (2) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ditorak, Kepala Badan memberitahukan kepada pemohon disertai dengan alasan penolakan. Pasal 168 Pasal 168 Dalam hal pemohon tidak menerima keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasar 16T ayat (2), pemohon dapat mengajukan upaya banding administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 169 Pada saat Peraturan pemerintah ini mulai berlaku: a. segala bentuk kerja sama dengan lembaga halal luar negeri dan lembaga akreditasi di negara lain yang dilakukan sebelum peraturan pemerintah ini diundangkan, tetap berlaku sampai dengan jangka waktu kerja sama berakhir; b. Sertifikat Halal luar negeri yang diakui oleh MUI sebelum Peraturan pemerintah ini diundangkan, tetap berlaku sampai dengan jangka waktu berlaku Sertifikat Halal luar negeri berakhir; c. sertifikat Halal yang telah diterbitkan oleh MUI atau BPJPH sebelum peraturan pemerintah ini diundangkan tetap berlaku sampai dengan jangka waktu Sertifikat Halal berakhir; d. bentuk logo halal yang ditetapkan oleh MUI sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, tetap rlapat digunakan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah ini diundangkan; e. Auditor f. Sertifikat Auditor Halal yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan tetap diakui dan berlaku sebagai sertifikat Auditor Halal; g. Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, tetap diakui sebagai Penyelia Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan pemerintah ini paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan Pemerintah ini diundangkan; h. dokumen sistem jaminan halal yang sudah ada sebelum Peraturan pemerintah ini diundangkan, dinyatakan tetap diakui dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan peraturan pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan; i. dalam hal layanan berbasis elektronik belum dapat dilaksanakan oleh BpJpH, layanan dilakukan secara manual paling lama 1 (satu) tahun sejak peraturan Pemerintah ini diundangkan; dan j. Lembaga Pengkajian pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika MUI dan LpH yang sudah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, tetap diakui sebagai LPH dan akreditasi masing-masing cabang wajib menyesuaikan dengan ketentuan peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah ini diundangkan. BAB XVI . BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 17O Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2Ol9 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2Ol4 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol9 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 63441 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 171 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2OL9 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2AI4 t"entang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol9 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 63441 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal I72 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februai 2O2l JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2l MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2O2I TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG JAMINAN PRODUK ^HALAL I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik ^Indonesia ^Tahun ^L945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan ^tiap-tiap ^penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk ^beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk ^menjamin ^setiap pemeluk agama Islam beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan ^pelindungan ^dan ^jaminan ^tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan ^masyarakat. Namun saat ini Produk yang beredar di ^masyarakat ^belum ^semua terjamin kehalalannya. Penyusunan Peraturan Pemerintah ini merupakan ^delegasi dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2O14 ^tentang ^Jaminan ^Produk Halal dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun ^2O2O tentang ^Cipta Kerja. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk ^memberikan kepastian hukum dan ^jaminan bagi masyarakat atas ^kehalalan Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di ^wilayah Indonesia. Pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini ^antara lain mengenai: a. penyelenggaraan JPH oleh BPJPH; b. pemisahan II c. tata cara pendirian, akreditasi, lingkup kegiatan, dan pencabutan persetujuan pendirian LPH, serta pengangkatan dan pemberhentian Auditor Halal; d. hak dan kewajiban Pelaku Usaha serta tata cara penetapan, tugas, dan fasilitasi Penyelia Halal; e. tata cara pengajuan permohonan, perpanjangan, dan penetapan Sertifikat Halal oleh BPJPH; f. kemudahan sertifikasi halal bagi Pelaku Usaha mikro dan kecil yang memenuhi standar halal yang ditetapkan oleh BpJpH; g. pencantuman Label Halal dan keterangan tidak halal; h. pengawasan JPH oleh BPJPH; i. kerja sama dalam penyelenggaraan JpH oleh BpJpH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan, pertanian, koperasi dan usaha kecil dan menerrgah, dalam negeri, Iuar negeri, dan lembaga pemerintah nonkementerian atau lembaga nonstruktural yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, standardisasi dan penilaian kesesuaian, dan akreciitasi serta LpH dan MUI; j. sertifikasi Produk dan registrasi Sertifikat Halal bagi Produk luar negeri; dan k. jenis Produk yang bersertifikat halal dan tahapan sertifikasi halal jenis Produk setelah pemberlakuan wajib Sertifikat Halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "produk tidak halal" adalah produk yang menggunakan atau mengandung bahan berasal dari dan/atau mengandung babi, alkohol yang berasal dari pengolahan khamar, hewan yang disembelih tidak sesuai syariat, dan bahan tidak halal yang ditetapkan berdasarkan fatwa MUI. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat- (a) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan ,,proses lainnya yang mempengaruhi pengolahan pangan" antara lain alat sampling, alat uji di laboratorium internal pelaku usaha, dan alat pencucian. Pasal 1 1 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 2 1 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat Ayat Pasal 26 Cukup jelas (1) Cukup jelas. (21 Kerja sama lembaga keagamaan Islam berbadan hukum dan perguruan tinggi swasta yang berada di bawah naungan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum atau yayasan Islam berbadan hukum dengan badan usaha mitik negara atau Badan Pengawas Obat dan Makanan antara lain memuat ketersediaan Auditor Halal, laboratorium, dan/atau fungsi LPH lainnya. Pasal 27 Pasal 27 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud "ulama" adalah ahli agama tentang syariat kehalalan Produk yang berasal dari organisasi kemasyarakatan Islam berbadan hukum. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan ,'sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan" meliputi sarjana pangan, teknologi pangan, pertanian, teknologi pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, kedokteran hewan, d,an gizi. Yang dimaksud dengan "sadana strata 1 (satu) di bidang biokimia,' adalah ahli di bidang ilmu yang mempelajari proses_proses kimia yang ada di dalam tubuh dan yang berhubungan dengan organisme hidup. Yang dimaksud dengan "tata boga,' adalah suatu disiplin ilmu terkait dengan seni dalam menyiapkan, memasak, dan menghidangkan makanan siap saji. Kualifikasi ilmu ini dapat diperoleh melalui jenjang strata 1 (satu) lainnya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4I Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas. Pasai 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Yang dimaksud dengan "sistem JpH" adalah suatu sistem yang terintegrasi disusun, diterapkan, dan dipelihara untuk mengatur Bahan, proses produksi, produk, sumber daya, dan prosedur dalam rangka menjaga kesinambungan PpH. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) RE p u JLTI =,',?55*.,, o, -t2_ Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Peraturan BpJpH tentang pendampingan ppH bagi Pelaku Usaha mikro dan kecil meliputi antara rain pelatihan pendamping, mekanisme pendampingan, serta pendataan dan registrasi pendamping. Pasal 81 Ayat (1) Pelaku Usaha mikro dan kecil yang tidak dikenai biaya didasarkan pada kriteria dan pri.oritas yang diatur dalam peraturan Badan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) R E p u J.T,: t',?rt5*.,, ^ -13_ Ayat (a) BPJPH merupakan badan layanan umum, maka dalam menetapkan tarif rayanan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Penetapan biaya sertifikasi halal untuk komponen biaya pemeriksaan dan/atau pengujian yang dilakukan oleh LpH berdasarkan dinamika perkembangan JpH dan kompreksitas pemeriksaan dan/atau pengujian. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dapat mendelegasikan penetapan komponen biaya pemeriksaan dan/atau pengujian yang dilakukan oleh LPH kepada BpJpH. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 86 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan .,sumber lain yang sah dan tidak mengikat" antara lain tanggung jawab sosial perusahaan atau badan usaha, saluran zakat, infaq, dan sedekah, atau skema-skema filantropi. Pasal 87 Pasal 87 Cukup jelas Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (21 Yang dimaksud dengan "pihak terkait,, antara lain LPH, akuntan publik, lembaga survei, atau lembaga swadaya masyarakat yang perlindungan konsumen. bergerak di bidang Pasal 97 Cukup jelas Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas Pasal 100 Cukup jelas Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas Pasal 107 ukup jelas Pasal 1O8 Cukup jelas Pasal 1O9 Pasal 109 Cukup jelas Pasal 1 10 Cukup jelas. Pasal 1 1 1 Cukup jelas. Pasal 1 12 Cukup jelas Pasal 1 13 Cukup jelas. Pasal 1 14 Cukup jelas. Pasal I 15 Cukup jelas Pasal 1 16 Cukup jelas Pasal 1 17 Cukup jelas Pasal 1 18 Cukup jelas. Pasal 1 19 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas Pasal 127 Cukup jelas Pasal 128 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "kode sistem harmonisasi,, atau harmonized system cod"es adalah bahasa numerik secara klasifikasi produk atau bahan Produk sebagai standar internasionar untuk pelaporan barang di bea cukai dan instansi terkait. Huruf d Cukup jelas. Pasal 129 Pasal 129 Cukup jelas. Pasai 130 Cukup jelas Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas Pasal 135 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ,Jasa" adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekedaan atau hasil keda yang dicapai, yang disediakan oleh satu pihak ke pihak lain dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku Usaha. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ,,makanan,, mencakup pangan olahan, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong. Huruf b Yang dimaksud dengan "minuman" mencakup pangan olahan, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong. Huruf c Yang dimaksud dengan "obat,, mencakup obat tradisional, suplemen kesehatan, dan obat kuasi. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas Pasal 137 Cukup jelas Pasal 138 Cukup jelas Pasal 139 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan ,Jasa penyembelihan,, contohnya rumah potong hewan atau rumah potong unggas, dan sejenisnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas Pasal 141 Cukup jelas Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas Pasal 145 Cukup jelas Pasal 146 Cukup jelas Pasal 147 Pasal I47 Cukup jelas Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup jelas Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 16O Cukup jelas Pasal 151 Cukup jelas Pasal 162 Cukup jelas Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup jelas Pasal 165 Cukup jelas Pasal 166 Cukup jelas Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas Pasal 169 Cukup jelas Pasal 170 Cukup jelas Pasal 171 Cukup ^jelas Pasal L72 Cukup ^jelas

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):