Penyelenggaraan Kehutanan

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021

Kerangka<< >>

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 36 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor l1 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Kehutanan ; Menimbang Mengingat 1. 2. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945; Undang-Undang Nomor 4l Tahun l99g tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2OO4 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO4 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4I Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44121; 3. Undang-Undang. 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); MEMUTUSKAN: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: Menetapkan 9. Hutan Lindung adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 10. Hutan Produksi adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan. 11. Hutan Produksi Tetap adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Tetap. 12. Hutan Produksi yang dapat Dikonversi adalah Kawasan Hutan Produksi yang secara ruang dapat dicadangkan untuk pembangunan di luar kegiatan Kehutanan dan dapat dijadikan Hutan Produksi Tetap. 13. Hutan Tetap adalah Hutan yang dipertahankan keberadaannya sebagai Kawasan Hutan yang terdiri dari Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi Tetap. L4. Kawasan Hutan Suaka Alam adalah Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai pengawetan keanekeragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang ^juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. 15. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi ^pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 16. Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan, dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan Hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan Kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran ralryat yang berkeadilan dan berkelanjutan. 17. Sistem Informasi Kehutanan adalah kegiatan pengelolaan data yang meliputi kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian serta tata caranya. 18. Pengukuhan Kawasan Hutan adalah rangkaian ^kegiatan Penunjukan Kawasan Hutan, Penataan ^Batas ^Kawasan Hutan, pemetaan Kawasan Hutan, dan ^Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan untuk ^memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas, dan ^luas Kawasan Hutan. 19. Penunjukan Kawasan Hutan adalah ^penetapan ^awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai Kawasan Hutan. 20. Penataan Batas Kawasan Hutan adalah kegiatan ^yang meliputi proyeksi batas, ^pemancangan ^patok ^batas, pengumuman, inventarisasi, dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran, dan pemetaan, serta pembuatan berita acara tata batas. 21. Penetapan Kawasan Hutan adalah suatu ^penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas ^dan ^luas suatu Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan ^Tetap. 22. Trayek Batas adalah uraian arah Penataan Batas ^Kawasan Hutan yang memuat ^jarak dan azimut dari titik ^ke ^titik ukur dan di lapangan ditandai dengan rintis ^batas ^dan patok batas atau tanda-tanda lainnya. 23. Penatagunaan Kawasan Hutan adalah ^rangkaian kegiatan dalam rangka menetapkan fungsi dan ^Penggunaan Kawasan Hutan. 24. Unit Pengelolaan Hutan adalah Kesatuan ^Pengelolaan Hutan terkecil sesuai fungsi ^pokok dan ^peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien, efektif, dan lestari. 25. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut ^DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan ^satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya ^yang dibatasi oleh pemisah topografi berupa ^punggung bukit atau gunung yang berfungsi menampung air ^yang ^berasal dari curah hujan, menyimpan, dan mengalirkannya ^ke danau atau laut secara alami. 26. Taman Buru adalah Kawasan Hutan ^yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. 27. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan adalah perubahan Kawasan Hutan menjadi bukan Kawasan Hutan. 28. Perubahan Fungsi Kawasan Hutan ^adalah ^perubahan sebagian atau seluruh fungsi Hutan dalam ^satu ^atau beberapa kelompok Hutan menjadi ^fungsi ^Kawasan ^Hutan yang lain. 29. Pelepasan Kawasan Hutan adalah perubahan peruntukan Kawasan Hutan Produksi ^yang ^dapat Dikonversi dan/atau Hutan Produksi ^Tetap ^menjadi bukan Kawasan Hutan. 30. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan adalah persetujuan tentang Perubahan Peruntukan ^Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi ^dan/atau ^Hutan Produksi Tetap menjadi bukan ^Kawasan ^Hutan ^yang diterbitkan oleh Menteri. 31. Penggunaan Kawasan Hutan ^adalah ^penggunaan ^atas sebagian Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan ^tanpa mengubah fungsi dan peruntukan ^Kawasan ^Hutan. 32. Persetujuan Penggunaan Kawasan ^Hutan adalah persetujuan penggunaan atas sebagian Kawasan ^Hutan untuk kepentingan pembangunan di ^luar ^kegiatan Kehutanan tanpa mengubah fungsi ^dan ^peruntukan Kawasan Hutan tersebut. 33. Penelitian Terpadu adalah ^penelitian ^yang ^dilakukan ^oleh lembaga pemerintah yang mempunyai ^kompetensi ^dan memiliki otoritas ilmiah (scientific ^authoitg) ^yang dilakukan bersama-sama dengan ^pihak lain ^yang ^terkait. 34. Kesatuan Pengelolaan Hutan ^yang ^selanjutnya disingkat KPH adalah wilayah ^pengelolaan ^Hutan ^sesuai ^fungsi pokok dan peruntukannya, yang dikelola secara ^efisien, efektif, dan lestari. 35. Kepala KPH adalah ^pimpinan ^pemegang ^kewenangan ^dan penanggung ^jawab pengelolaan Hutan dalam ^wilayah ^yang dikelolanya. 36. Tata Hutan adalah kegiatan ^menata ^ruang Hutan ^dalam rangka pengelolaan dan Pemanfaatan ^Kawasan Hutan yang intensif, efisien, dan efektif untuk ^memperoleh manfaat yang lebih optimal dan berkelanjutan. 37. Penataan Kawasan Hutan dalam ^rangka ^Pengukuhan Kawasan Hutan adalah rangkaian kegiatan ^dalam rangka menyelesaikan permasalahan Masyarakat di ^dalam Kawasan Hutan. 38. Penataan Kawasan Hutan dalam ^rangka ^Pemanfaatan Kawasan Hutan adalah kegiatan Tata ^Hutan ^yang ^antara lain meliputi pembagian Kawasan Hutan menjadi ^unit- unit manajemen Hutan terkecil (blok dan ^petak) berdasarkan satuan ekosistem, kesamaan ^umur ^tanaman, tipe, fungsi, dan rencana Pemanfaatan ^Hutan. 39. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan, memanfaatkan ^j ^asa ^lingkungan, memanfaatkan hasil Hutan kayu dan ^bukan ^ka1ru, memungut hasit Hutan kayu dan bukan ^kayu, ^serta mengolah dan memasarkan hasil Hutan secara ^optimal dan adil untuk kesejahteraan Masyarakat ^dengan ^tetap menjaga kelestariannya. 40. Pemanfaatan Kawasan adalah kegiatan ^untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga ^diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ^ekonomi ^secara optimal dengan tidak mengurangi ^fungsi utamanya. 4t. Pemanfaatan Jasa Lingkungan adalah ^kegiatan ^untuk memanfaatkan dan mengusahakan ^potensi ^jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan ^dan mengurangi fungsi utamanya. 42. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah ^kegiatan ^untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil Hutan ^berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan ^tidak mengurangi fungsi pokoknya. 43. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah ^kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan ^hasil ^Hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak ^lingkungan ^dan tidak mengurangi fungsi ^pokoknya. 44. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan/atau ^Bukan ^Kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil Hutan ^baik berupa kayu dan/atau bukan kayu. 45. Peta Arahan Pemanfaatan Hutan adalah ^peta indikatif Pemanfaatan Hutan yang ditetapkan oleh ^Menteri untuk menjadi acuan pemberian Perizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan Lindung dan Pemanfaatan ^Hutan Produksi. 46. Perizinan Berusaha adalah legalitas ^yang ^diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan ^menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. 47. Perizinan 47. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan adalah ^Petizinan Berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau ^kegiatan Pemanfaatan Hutan. 48. Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan ^adalah Perizinan Berusaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan Pengolahan Hasil Hutan. 49. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disingkat Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi ^yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko. 50. Sistem Silvikultur adalah sistem budidaya Hutan ^atau sistem teknik bercocok tanaman Hutan mulai dari ^memilih benih atau bibit, penyemaian, ^penanaman, pemeliharaan tanaman, perlindungan hama, dan penyakit serta pemanenan. 51. Multiusaha Kehutanan adalah ^penerapan ^beberapa kegiatan usaha Kehutanan berupa usaha Pemanfaatan Kawasan, usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ^dan Bukan Kayu, dan/atau usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan untuk mengoptimalkan Kawasan Hutan ^pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi. 52. Penerimaan Negara Bukan Pajak ^yang ^selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan ^yang dibayar oleh ^orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau ^pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, ^yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah, dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. 53. Penatausahaan , 53. Penatausahaan Hasil Hutan yang selanjutnya disebut PUHH adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan atas perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran, pengujian, penandaan, pengangkutan/ peredaran, pengolahan, dan pemasaran hasil Hutan. 54. Iuran Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan ^yang selanjutnya disingkat IPBPH adalah pungutan ^yang dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. 55. Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya disingkat PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai ^pengganti nilai intrinsik dari hasil Hutan dan/atau hasil usaha ^yang dipungut dari Hutan Negara. 56. Dana Reboisasi yang selanjutnya disingkat DR adalah dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang tumbuh alami dari Hutan Negara. 57. Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam Kehutanan. 58. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan dari dalam negeri atau luar negeri yang mempunyai kewajiban membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 59. Perseorangan adalah Warga Negara Indonesia ^yang cakap bertindak menurut hukum. 60. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan adalah dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil Hutan pada setiap segmen kegiatan dalam PUHH. 61. Pengolahan Hasil Hutan adalah kegiatan mengolah hasil Hutan menjadi barang setengah ^jadi dan/atau barang ^jadi. 62. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. 63. Koperasi adalah koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. PFIES IDEN REPUBLIK INDONESIA -9 - 64. Perhutanan Sosial adalah sistem ^pengelolaan ^Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan ^Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum ^Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan ^dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, ^Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan ^Adat, dan kemitraan Kehutanan. 65. Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial ^yang ^selanjutnya disingkat PIAPS adalah peta yang memuat areal ^Kawasan Hutan yang dicadangkan untuk Perhutanan Sosial. 66. Hutan Kemasyarakatan adalah Kawasan Hutan ^yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan Masyarakat. 67. Hutan Tanaman Rakyat ^yang selanjutnya disingkat ^HTR adalah Hutan tanaman pada Hutan Produksi ^yang dibangun oleh kelompok Masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya Hutan. 68. Hutan Desa adalah Kawasan Hutan ^yang belum ^dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. 69. Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disingkat MHA adalah Masyarakat tradisional ^yang masih terkait ^dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil Hutan ^di wilayah Hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. 70. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan/atau perairan beserta sumber daya alam ^yang ^ada ^di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan, dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup Masyarakat yang diperoleh melalui ^pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau Hutan Adat. 71. Wilayah 7I. Wilayah Indikatif Hutan Adat adalah wilayah ^Hutan ^Adat yang berada pada Kawasan Hutan Negara ^yang belum memperoleh produk hukum dalam bentuk ^Peraturan Daerah namun wilayahnya telah ditetapkan ^oleh bupati/walikota. 72. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur ^yang berlaku ^dalam tata kehidupan Masyarakat setempat antara lain untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan ^sumber daya alam secara lestari. 73. Perlindungan Hutan adalah usaha untuk mencegah ^dan membatasi kerusakan Hutan di dalam dan di ^luar Kawasan Hutan dan hasil Hutan, ^yang disebabkan ^oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan ^menjaga hak-hak negara, Masyarakat, dan ^perorangan atas ^Hutan, Kawasan Hutan, hasil Hutan, investasi, serta ^perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan Hutan. 74. Pengawasan Kehutanan yang selanjutnya ^disebut Pengawasan adalah serangkaian kegiatan ^yang dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan dan/atau ^pengawas Kehutanan untuk mengetahui, memastikan, ^dan menetapkan tingkat ketaatan pemegang ^Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah ^yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha atau ^persetujuan ^pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di ^bidang Kehutanan. 75. Sanksi Administratif adalah ^perangkat sarana ^hukum administrasi yang bersifat pembebanan ^kewajiban/ perintah dan/atau penarikan kembali keputusan tata usaha negara yang dikenakan kepada ^pemegangPerizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah atas ^dasar ketidaktaatan terhadap peraturan ^perundang-undangan di bidang Kehutanan danf atau ketentuan dalam ^Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah yang terkait dengan Kehutanan. 76. Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu ^dalam lingkungan instansi Kehutanan pusat dan daerah ^yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha Perlindungan ^Hutan ^yang oleh kuasa undang-undang diberikan ^wewenang kepolisian khusus di bidang Kehutanan. 77. Masyarakat adalah Perseorangan, kelompok orang, termasuk MHA atau badan hukum. 78. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 79. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelen ggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 80. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan Kehutanan. 81. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini mengatur: a. Perencanaan Kehutanan; b. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan; c. Penggunaan Kawasan Hutan; d. Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan; e. Pengelolaan Perhutanan Sosial; f. Perlindungan Hutan; g. Pengawasan; dan h. SanksiAdministratif. BAB II PERENCANAAN KEHUTANAN Bagian Kesatu Umum Pasal 3 (1) Perencanaan Kehutanan meliputi kegiatan: a. inventarisasi Hutan; b. Pengukuhan Kawasan Hutan; c. Penatagunaan Kawasan Hutan; d. pembentukan wilayah pengelolaan Hutan; dan e. penyusunan rencana Kehutanan. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung peta Kehutanan dan/atau data numerik. Bagian Kedua Inventarisasi Hutan Paragraf 1 Umum Pasal 4 (1) Inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam Hutan serta lingkungannya secara lengkap. (21 Inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) terdiri atas: a. inventarisasi Hutan tingkat nasional; b. inventarisasi Hutan tingkat wilayah ^provinsi; c. inventarisasi PRE S IDEN REPUBLIK INDONESIA _ 13_ c. inventarisasi Hutan tingkat DAS; dan d. inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan. (3) Inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan terhadap Hutan Negara, Hutan Adat, dan Hutan Hak. (4) Inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan pada tingkat: a. nasional mencakup areal Hutan di seluruh Indonesia; b. wilayah provinsi mencakup areal Hutan di ^provinsi; c. DAS mencakup areal Hutan pada DAS; dan d. Unit Pengelolaan Hutan mencakup areal Hutan ^pada Unit Pengelolaan Hutan. Paragraf 2 Inventarisasi Hutan Tingkat Nasional Pasal 5 Inventarisasi Hutan tingkat nasional mengacu pada kriteria dan standar yang tertuang dalam pedoman inventarisasi Hutan yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 6 (1) Menteri menyelenggarakan inventarisasi Hutan tingkat nasional. (21 Penyelenggaraan inventarisasi Hutan tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di seluruh wilayah Indonesia untuk memperoleh data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat ^(1). (3) Inventarisasi Hutan tingkat nasional dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dan menjadi acuan pelaksanaan inventarisasi pada tingkat yang lebih rendah. (4) Menteri dapat melimpahkan dan/atau menugaskan pelaksanaan kegiatan inventarisasi Hutan tingkat nasional kepada gubernur sesuai dengan kebutuhan. Paragraf 3 Inventarisasi Hutan Tingkat Wilayah Provinsi Pasal 7 Inventarisasi Hutan tingkat wilayah provinsi mengacu ^pada kriteria dan standar yang tertuang dalam ^pedoman inventarisasi Hutan yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 8 (1) Gubernur menyelenggarakan inventarisasi Hutan tingkat wilayah provinsi dengan mengacu pada ^pedoman penyelenggaraan inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Penyelenggaraan inventarisasi Hutan tingkat wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melaksanakan inventarisasi Hutan di seluruh wilayah provinsi untuk memperoleh data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat ^(1). (3) Penyelenggaraan inventarisasi Hutan tingkat wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan mengacu hasil inventarisasi Hutan tingkat nasional. (4) Dalam hal hasil inventarisasi Hutan tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, maka gubernur dapat menyelenggarakan inventarisasi Hutan untuk mengetahui potensi sumber daya Hutan terbaru yang ada di wilayahnya. (5) Inventarisasi Hutan tingkat wilayah provinsi dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Paragraf 4 . PRES lDEN REPUBLIK ]NDONESIA 15 Paragraf 4 Inventarisasi Hutan Tingkat Daerah Aliran Sungai Pasal 9 (1) Inventarisasi Hutan tingkat DAS diselenggarakan oleh: a. Menteri pada DAS yang wilayahnya meliputi lintas provinsi; dan b. gubernur pada DAS yang wilayahnya di dalam provinsi. (2\ Inventarisasi Hutan tingkat DAS dimaksudkan sebagai bahan pen5rusunan rencana pengelolaan DAS yang bersangkutan. (3) Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diiaksanakan dengan mengacu hasil inventarisasi tingkat nasional. (4) Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan mengacu pada: a. pedoman inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; dan b. hasil inventarisasi Hutan tingkat nasional dan tingkat provinsi. (5) Inventarisasi Hutan tingkat DAS dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Paragraf 5 Inventarisasi Hutan Tingkat Unit Pengelolaan Hutan Pasal 10 (1) Gubernur menyelenggarakan inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan dan dilaksanakan oleh KPH. (2) Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan dimaksudkan sebagai bahan dalam pen5rusunan rencana pengelolaan Hutan pada Unit Pengelolaan Hutan yang bersangkutan. (3) Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola dengan mengacu pada pedoman penyelenggaraan inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (4) Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (5) Inventarisasi Hutan untuk men1rusun rencana kegiatan tahunan pada blok operasional dilaksanakan setiap tahun. (6) Hasil Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Hutan dikompilasi secara nasional melalui suatu Sistem Informasi Kehutanan. Pasal 1 1 (1) Pengendalian inventarisasi Hutan meliputi kegiatan: a. monitoring;dan/atau b. evaluasi. (2) Kegiatan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kegiatan untuk memperoleh data dan informasi pelaksanaan inventarisasi Hutan. (3) Kegiatan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan untuk menilai pelaksanaan inventarisasi Hutan secara periodik sesuai dengan tingkat inventarisasi. Pasal 12 (1) Hasil inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) dikelola dalam suatu Sistem Informasi Kehutanan. (21 Sistem Informasi Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi spasial dan tabular serta informasi lainnya. Pasal 13 (1) Pemerintah melaksanakan pemantauan terhadap Kawasan Hutan dan penutupan Hutan melalui Sistem Informasi Kehutanan yang merupakan bagian dari jaringan informasi spasial Kehutanan. (21 Sistem Informasi Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan bagi sistem informasi Kehutanan pada tingkatan sub-nasional. Bagian Ketiga Pengukuhan Kawasan Hutan Paragraf 1 Umum Pasal 14 Pengukuhan Kawasan Hutan diselenggarakan oleh Menteri untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas, dan luas Kawasan Hutan. Pasal 15 (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri atas: a. Hutan Negara; b. Hutan Adat; dan c. Hutan Hak. (21 Kawasan Hutan terdiri atas: a. Hutan Negara; dan b. Hutan Adat. Pasal 16 (1) Berdasarkan hasil inventarisasi Hutan, Menteri menyelenggarakan Pengukuhan Kawasan Hutan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. (21 Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan proses: a. Penunjukan Kawasan Hutan; b. Penataan Batas Kawasan Hutan; c. pemetaan Kawasan Hutan; dan d. Penetapan Kawasan Hutan. (3) Penyelenggaraan Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. memanfaatkan koordinat geogralis atau satelit dengan menggunakan teknologi penginderaan ^jauh pada seluruh tahapan Pengukuhan Kawasan Hutan; b. penggunaan teknologi penginderaan ^jauh sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat dilakukan pada seluruh tahapan Pengukuhan Kawasan Hutan; c. pemancangan batas sementara yang lebih rapat dan/atau membuat lorong batas dan parit, pada wilayah yang berdekatan dengan permukiman padat penduduk dan berpotensi tinggi terjadi perambahan terhadap Kawasan Hutan; dan d. mengumumkan rencana batas Kawasan Hutan yang tertuang pada peta Penunjukan Kawasan Hutan secara digital, terutama pada lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak. (4) Menteri memprioritaskan percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan pada daerah strategis meliputi: a. program strategis nasional; b. kegiatan pemulihan ekonomi nasional; c. kegiatan pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi; d. pengadaan tanah obyek reforma agraria; e. Hutan Adat; f. kegiatan rehabilitasi Kawasan Hutan pada DAS yang memberikan perlindungan; dan g. pada wilayah yang berdekatan dengan permukiman padat penduduk dan berpotensi tinggi terjadi perambahan Kawasan Hutan. Paragraf 2 Paragraf 2 Penunjukan Kawasan Hutan Pasal 17 Penunjukan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dilaksanakan sebagai proses awal suatu wilayah tertentu menjadi Kawasan Hutan. Pasal 18 (1) Penunjukan Kawasan Hutan meliputi : a. wilayah provinsi; dan b. wilayah tertentu secara parsial. (2) Penunjukan Kawasan Hutan wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah provinsi. (3) Penunjukan wilayah tertentu secara parsial menjadi Kawasan Hutan harus memenuhi syarat: a. usulan atau rekomendasi gubernur; dan b. secara teknis dapat dijadikan Hutan. (41 Penunjukan wilayah tertentu secara parsial untuk dapat dijadikan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Menteri. (5) Penunjukan Kawasan Hutan wilayah provinsi dan/atau secara parsial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. (6) Penunjukan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat (4) dilampiri peta Penunjukan Kawasan Hutan. Paragraf 3 Paragraf 3 Penataan Batas Kawasan Hutan Pasal 19 (1) Berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dilakukan Penataan Batas Kawasan Hutan. (21 Tahapan pelaksanaan Penataan Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan: a. pen1rusunan rencana Trayek Batas yang memuat koordinat titik-titik batas yang akan dilakukan pemancangan patok batas sementara dan/atau koordinat yang ditetapkan secara virtual hasil pembahasan panitia tata batas; b. pemancangan patok batas sementara; c. pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara; d. inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang Trayek Batas Kawasan Hutan; e. pen1rusunan berita acara pemancangan batas sementara yang disertai dengan peta pemancangan patok batas sementara; f. pemasangan pal batas; g. pemetaan hasil penataan batas; h. pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas dan peta tata batas; dan i. pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada gubernur. (3) Penyelesaian hak-hak pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat(2\huruf d yang berada di dalam Kawasan Hutan diselesaikan melalui Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan. (4) Tahapan pelaksanaan kegiatan Penataan Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21dikecualikan bagi Penataan Batas Kawasan Hutan daerah strategis untuk: SK l*Jo 085400 A a. program strategis nasional; b. kegiatan pemulihan ekonomi nasional; c. kegiatan ketahanan pangan (food estatel dan energi; dan/atau d. kegiatan pengadaan tanah obyek reforma agraria. (5) Penataan Batas Kawasan Hutan daerah strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mencakup kegiatan: a. penJrusunan rencana Trayek Batas yang memuat koordinat titik-titik batas yang akan dilakukan pemancangan patok batas sementara dan/atau koordinat yang ditetapkan secara virtual hasil pembahasan panitia tata batas; b. pengumuman Trayek Batas; c. pemasangan pal batas; d. pemetaan hasil Penataan Batas Kawasan Hutan; e. pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas dan peta tata batas; dan f. pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada gubernur. (6) Pelaksanaan Penataan Batas Kawasan Hutan daerah strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diselesaikan dalam ^jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah keputusan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan atau Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. (7) Penataan Batas Kawasan Hutan dapat ditetapkan menggunakan batas virtual yang digambarkan pada peta dengan memanfaatkan citra dan pendekatan koordinat geografis. (8) Penataan Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (71 dilakukan dengan mempertimbangkan: a. kondisi alam; atau b. kondisi keamanan. Pasal 20 Pasal 20 (1) Pelaksanaan Penataan Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (6) dilakukan oleh panitia tata batas Kawasan Hutan. (21 Panitia tata batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas: a. melakukan persiapan dan pelaksanaan Penataan Batas Kawasan Hutan; b. menyelesaikan masalah hak atas tanah/lahan disepanjang Trayek Batas; c. memantau pekerjaan dan memeriksa hasil pelaksanaan pekerjaan tata batas; dan d. membuat dan menandatangani berita acara tata batas Kawasan Hutan dan peta tata batas Kawasan Hutan. (3) Hasil Penataan Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (6) dituangkan dalam berita acara tata batas Kawasan Hutan dan peta tata batas Kawasan Hutan yang ditandatangani oleh panitia tata batas Kawasan Hutan. (4) Hasil Penataan Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disahkan oleh Menteri. Paragraf 4 Pemetaan Kawasan Hutan Pasal 2 1 Pemetaan dalam rangka kegiatan Pengukuhan Kawasan Hutan dilakukan melalui proses pembuatan peta: a. Penunjukan Kawasan Hutan; b. rencana Trayek Batas; c. pemancangan patok batas sementara; d. Penataan Batas Kawasan Hutan; dan e. Penetapan Kawasan Hutan. Paragraf 5 Penetapan Kawasan Hutan Pasal 22 (1) Menteri menetapkan Kawasan Hutan didasarkan atas: a. berita acara tata batas Kawasan Hutan; dan b. peta tata batas Kawasan Hutan yang telah temu gelang. (21 Dalam hal tata batas Kawasan Hutan telah temu gelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b namun masih terdapat hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, Kawasan Hutan ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak pihak ketiga yang ada di dalamnya. (3) Hasil Penetapan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbuka untuk diketahui Masyarakat. (41 Setiap Kawasan Hutan yang sudah ditetapkan wajib diberi nomor register oleh Menteri. Paragraf 6 Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan Pasal 23 Penyelesaian penguasaan tanah dalam Kawasan Hutan Negara dilakukan dengan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan melalui kegiatan: a. pengadaan tanah obyek reforma agrarua; b. pengelolaan Perhutanan Sosial; c. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan; dan/atau d. Penggunaan Kawasan Hutan. Pasal 24 (1) Penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib memenuhi ' kriteria: a. penguasaan tanah di dalam Kawasan Hutan Negara oleh Masyarakat dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja; b. dikuasai paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus; c. dikuasai oleh Perseorangan dengan luasan ^paling banyak 5 (lima) hektar; d. bidang tanah telah dikuasai secara fisik dengan iktikad baik secara terbuka; dan e. bidang tanah yang tidak bersengketa. (21 Pihak yang menguasai bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) meliputi: a. Perseorangan; b. instansi; dan/atau c. badansosial/keagamaan. (3) Penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. sarana dan prasarana permanen milik Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; b. fasilitas sosial dan fasilitas umum; c. permukiman; d. lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak; atau e. bangunan untuk kegiatan lainnya yang terpisah dari permukiman. (4) Kategori penguasaan bidang tanah dalam Kawasan Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai Kawasan Hutan; atau Sl'( l.ir: C85396 A PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA -25- b. bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai Kawasan Hutan. Pasal 25 Penyelesaian bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf a, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam Kawasan Hutan Negara melalui perubahan batas Kawasan Hutan. Pasal 26 (1) Penyelesaian penguasaan bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Negara di dalam Kawasan Hutan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf b, diawali dengan inventarisasi dan verifikasi. (21 Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pengeluaran bidang tanah dalam Kawasan Hutan melalui perubahan batas Kawasan Hutan; b. pelepasan melalui Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan; c. memberikan akses pengelolaan Hutan melalui program Perhutanan Sosial; atau d. Penggunaan Kawasan Hutan. Pasal 2T (1) Pola penyelesaian penguasaan bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) yang dikuasai oleh instansi Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah: a. di dalam Kawasan Hutan Produksi, diselesaikan dengan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan; b. di dalam b. di dalam Kawasan Hutan Lindung, diselesaikan dengan mekanisme Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan; atau c. di dalam Hutan Konservasi, diselesaikan dengan mekanisme kerja sama konservasi. (21 Dalam hal penyelesaian bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat diselesaikan dengan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, didahului dengan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan. (3) Pola penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa memperhitungkan kecukupan luas Kawasan Hutan dari luas DAS, pulau, dan/atau provinsi. Pasal 28 Pola penyelesaian penguasaan bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat ^(21 yang dikuasai oleh Perseorangan atau badan sosial/keagamaan: a. di dalam Kawasan Hutan Konservasi, dilakukan dengan kemitraan konservasi dengan tanpa memperhitungkan kecukupan luas Kawasan Hutan dari luas DAS, ^pulau, dan/atau provinsi. b. di dalam Kawasan Hutan Lindung, dalam hal:

  1. mempunyai kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan lebih dari kecukupan luas Kawasan Hutan pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi, maka: a) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum, dan/atau fasilitas sosial, bangunan untuk kegiatan lainya yang terpisah dari permukiman dan memenuhi kriteria sebagai Hutan Lindung, dilakukan melalui Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan; b) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum, dan/atau fasilitas sosial, bangunan untuk kegiatan lainnya yang terpisah dari permukiman dan tidak memenuhi kriteria sebagai Hutan Lindung, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam Kawasan Hutan melalui perubahan batas Kawasan Hutan; Si( No 085394 A c) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut memenuhi atau tidak memenuhi kriteria sebagai Hutan Lindung, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam Kawasan Hutan melalui perubahan batas Kawasan Hutan; d) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak dan telah dikuasai kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut memenuhi atau tidak memenuhi kriteria sebagai Hutan Lindung, dilakukan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. 2. mempunyai kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan kurang dari kecukupan luas Kawasan Hutan pada luas DAS, pulau dan/atau provinsi, maka: a) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, bangunan untuk kegiatan lainnya yang terpisah dari permukiman dan memenuhi kriteria sebagai Hutan Lindung, dilakukan melalui Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan; b) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, bangunan untuk kegiatan lainnya yang terpisah dari permukiman dan tidak memenuhi kriteria sebagai Hutan Lindung, dilakukan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau melalui Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan; atau c) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan, pertanian, perkebunan, tambak dan memenuhi kriteria sebagai Hutan Lindung, dilakukan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial.

    1. di dalam c PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA -28- di dalam Hutan Produksi, dalam hal:

  2. mempunyai kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan lebih dari kecukupan luas Kawasan Hutan pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi, maka: a) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, bangunan untuk kegiatan lainnya yang terpisah dari permukiman, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam Kawasan Hutan melalui perubahan batas Kawasan Hutan; b) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam Kawasan Hutan melalui perubahan batas Kawasan Hutan; atau c) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak dan telah dikuasai kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut, dilakukan dengan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. 2. mempunyai kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan kurang dari kecukupan luas Kawasan Hutan pada luas DAS, pulau, danf atau provinsi, maka: a) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, bangunan untuk kegiatan lainnya yang terpisah dari permukiman, dilakukan dengan Pelepasan Kawasan Hutan atau Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan; atau b) dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan pertanian, perkebunan, tambak, dilakukan dengan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 29 (1) Apabila di wilayah Perizinan Berusaha terdapat permukiman dan penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perubahan batas Kawasan Hutan, diselesaikan melalui:

    1. penataan permukiman dengan program tanah obyek reforma agraria; atau

    2. penataan permukiman dengan secara langsung dikeluarkan dari Kawasan Hutan melalui proses Penataan Batas Kawasan Hutan, dengan memperhatikan fungsi Kawasan Hutan. (2) Dalam hal di wilayah Perizinan Berusaha terdapat permukiman dan penyelesaiannya tidak dapat dilakukan melalui perubahan batas Kawasan Hutan, Pelepasan Kawasan Hutan, atau Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, diselesaikan melalui Perhutanan Sosial dengan pola kemitraan Kehutanan dengan pemegang Perizinan Berusaha. (3) Penataan permukiman di dalam wilayah MHA mengikuti ketentuan penetapan status Hutan Adat. Bagian Keempat Penatagunaan Kawasan Hutan Paragraf 1 Umum Pasal 30 (1) Berdasarkan hasil Pengukuhan Kawasan Hutan, Menteri menyelenggarakan Penatagunaan Kawasan Hutan. (21 Penatagunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan:

    3. penetapan fungsi Kawasan Hutan; dan

    4. Penggunaan Kawasan Hutan. PFIES IDEN REPUBLIK ]NDONESIA -30- Paragraf 2 Penetapan Fungsi Kawasan Hutan Pasal 31 (1) Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), ditetapkan fungsinya menjadi:

    5. Hutan Konservasi terdiri atas:

  3. Kawasan Hutan Suaka Alam terdiri atas: a) cagar alam; dan b) suaka margasatwa;

  4. Kawasan Hutan Pelestarian Alam terdiri atas: a) taman nasional; b) taman Hutan raya; dan c) taman wisata alam;

  5. Taman Buru;

    1. Hutan Lindung; dan

    2. Hutan Produksi terdiri atas:

  6. Hutan Produksi Tetap; dan

  7. Hutan Produksi yang dapat Dikonversi. (2) Kriteria penetapan fungsi Kawasan Hutan Suaka Alam dan Kawasan Hutan Pelestarian Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. (3) Kawasan Hutan ditetapkan fungsinya menjadi:

    1. Taman Buru, apabila memenuhi kriteria:

  8. mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan; dan/atau

  9. terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olahraga, dan kelestarian satwa. b. Hutan Lindung, apabila memenuhi kriteria:

  10. Kawasan Hutan dengan faktor kelas lereng, ^jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing- masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai ^jumlah nilai lebih besar dari 175 (seratus tujuh puluh lima); PFTES IDEN REPUBLIK INDONESIA -31 - 2. Kawasan Hutan yang mempunyai lereng lapangan 4Oo/o (empat puluh persen) atau lebih;

  11. Kawasan Hutan yang berada pada ketinggian 2.OOO m (dua ribu meter) atau lebih di atas permukaan laut;

  12. Kawasan Hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15% (lima belas persen);

  13. Kawasan Hutan yang merupakan daerah resapan air; dan latau 6. Kawasan Hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai. c. Hutan Produksi Tetap, apabila memenuhi kriteria Kawasan Hutan dengan faktor kelas lereng, ^jenis tanah, dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai kurang atau sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima), di luar Kawasan lindung, Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Hutan Pelestarian Alam, dan Taman Buru. d. Hutan Produksi yang dapat Dikonversi, apabila memenuhi kriteria:

  14. Kawasan Hutan dengan faktor kelas lereng, ^jenis tanah, dan intensitas hujan, setelah masing- masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai kurang dari L24 (seratus dua puluh empat), di luar kawasan lindung, Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Hutan Pelestarian Alam, dan Taman Buru; dan

  15. Kawasan Hutan yang secara rutang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan: a) transmigrasi; b) permukiman; c) pertanian; d) perkebunan; e) industri; 0 infrastruktur proyek strategis nasional; PRE S IDEN REPUBLIK INDONESIA -32- g) pemulihan ekonomi nasional; h) ketahanan pangan (food estatel dan energi; dan f atau i) tanah obyek reforma agraria. (4) Menteri menetapkan fungsi Kawasan Hutan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat ^(3). Paragraf 3 Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 32 Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam Kawasan Hutan Produksi dan Kawasan Hutan Lindung. Bagian Kelima Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Paragraf 1 Umum Pasal 33 (1) Pembentukan wilayah pengelolaan Hutan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan Hutan yang efisien dan lestari. (21 Pembentukan wilayah pengelolaan Hutan dilaksanakan untuk tingkat:

    1. provinsi; dan

    2. Unit Pengelolaan Hutan. Si( No 085387 A Paragraf 2 Paragraf 2 Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Provinsi Pasal 34 (1) Wilayah pengelolaan Hutan tingkat provinsi terbentuk dari himpunan Unit Pengelolaan Hutan dalam provinsi.

      (2)

      Wilayah pengelolaan Hutan tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. Paragraf 3 Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Pasal 35 (1) Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan dilakukan pada seluruh Kawasan Hutan meliputi:

    3. Hutan Konservasi;

    4. Hutan Lindung; dan

    5. Hutan Produksi. (2) Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    6. KPH Konservasi pada Hutan Konservasi;

    7. KPH Lindung pada Hutan Lindung; dan

    8. KPH Produksi pada Hutan Produksi. (3) Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ditetapkan dalam 1 (satu) atau lebih fungsi pokok Hutan dan 1 (satu) wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan. (4) Dalam hal 1 (satu) Unit Pengelolaan Hutan terdiri lebih dari 1 (satu) fungsi pokok Hutan, penetapan Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(2) berdasarkan fungsi Kawasan Hutan yang luasnya dominan. (5) Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. Bagian Keenam Prosedur Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung, dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Pasal 36 (1) Unit Kementerian di daerah yang bertanggung ^jawab di bidang konservasi mengusulkan rancang bangun Unit Pengelolaan Hutan konservasi berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. (21 Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan arahan pencadangan Unit Pengelolaan Hutan konservasi. (3) Menteri menetapkan Unit Pengelolaan Hutan konservasi berdasarkan arahan pencadangan Unit Pengelolaan Hutan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 37 (1) Gubernur men5rusun rancang bangun Unit Pengelolaan Hutan lindung dan Unit Pengelolaan Hutan produksi. (21 Rancang bangun Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. (3) Rancang bangun Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh gubernur kepada Menteri. (4) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menetapkan arahan pencadangan Unit Pengelolaan Hutan lindung dan Unit Pengelolaan Hutan produksi. (5) Berdasarkan arahan pencadangan Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), gubernur membentuk Unit Pengelolaan Hutan lindung dan Unit Pengelolaan Hutan produksi. (6) Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri untuk ditetapkan sebagai Unit Pengelolaan Hutan.

      Pasal 38

      Pasal 38 Dalam hal terdapat Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan/atau Hutan Produksi yang tidak layak untuk dikelola menjadi 1 (satu) Unit Pengelolaan Hutan berdasarkan kriteria dan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 37 ayat (2), pengelolaannya disatukan dengan Unit Pengelolaan Hutan yang terdekat tanpa mengubah fungsi pokoknya. Pasal 39 (1) Pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dibentuk organisasi KPH, yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan Hutan nasional dan Pemerintah Daerah provinsi. (2) KPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


    9. KPH konservasi;

    10. KPH lindung; dan

      Pasal 40

      Organisasi KPH bertanggung ^jawab terhadap ^penyelenggaraan pengelolaan Hutan, meliputi:


    11. perencanaan pengelolaan;

    12. pengorganisasian;

    13. pelaksanaan pengelolaan; dan

    14. pengendalian dan Pengawasan. Bagian Ketujuh Kecukupan Luas Kawasan Hutan Pasal 4 1 (1) Menteri menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan berdasarkan kondisi fisik dan geografis pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional. (2) Kawasan Hutan dan penutupan Hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) memperhatikan sebaran yang proporsional dengan mempertimbangkan:

    15. biogeohsik;

    16. daya dukung dan daya tampung lingkungan;

    17. karakteristik DAS; dan

    18. keanekaragaman flora dan fauna. (3) Dalam rangka optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan budaya, dan manfaat ekonomi dan ^produksi, Menteri menetapkan dan mempertahankan fungsi Kawasan Hutan. (4) Dalam rangka mempertahankan kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan serta fungsi Kawasan Hutan, Menteri dapat melakukan upaya ^pemulihan lingkungan. SK l.lo 087477 A (5) Pemulihan lingkungan dalam rangka kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan dapat dilakukan dengan rehabilitasi Hutan termasuk penerapan teknik konservasi tanah dan air di dalam dan di luar Kawasan Hutan. (6) Penutupan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penutupan di dalam Kawasan Hutan dan di luar Kawasan Hutan. (7) Dalam hal di wilayah provinsi atau kabupatenlkota terdapat Kawasan Hutan dan penutupan Hutan yang fungsinya sangat penting bagi perlindungan lingkungan, Pemerintah Daerah harus mempertahankan kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan sesuai dengan fungsinya. (8) Pemerintah Daerah sesuai ketetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur penutupan Hutan di luar Kawasan Hutan untuk optimalisasi manfaat lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya. (9) Rehabilitasi Hutan termasuk penerapan teknik konservasi tanah dan air sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (1O) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan pihak lain dapat memberikan insentif kepada pihak yang dapat memulihkan, mempertahankan, dan/atau melestarikan Hutan di dalam Kawasan Hutan dan di luar Kawasan Hutan.

      (11)

      Kecukupan Kawasan Hutan dan penutupan Hutan yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan arahan untuk diintegrasikan ke dalam penyelenggaraan penataan ruang. Bagian Bagian Kedelapan Penyusunan Rencana Kehutanan Paragraf 1 Umum

      Pasal 42

      Pen5rusunan Rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e terdiri atas:


    19. ^jenis rencana Kehutanan;

    20. tata cara penyusunan rencana Kehutanan, ^proses perencanaan, koordinasi, dan penilaian;

    21. sistem Perencanaan Kehutanan; dan

    22. evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana Kehutanan. Paragraf 2 Jenis Rencana Kehutanan Pasal 43 Jenis rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a disusun menurut:

    23. skala geografis;

    24. fungsi pokok Kawasan Hutan; dan

    25. ^jangka waktu perencanaan. Pasal 44 (1) Skala geografis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a meliputi tingkat nasional dan tingkat provinsi. (21 Pen5rusunan rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun: tingkat nasional disusun dengan mengacu pada hasil inventarisasi Hutan tingkat nasional dan dengan memperhatikan aspek lingkungan strategis; dan tingkat provinsi disusun berdasarkan hasil inventarisasi Hutan tingkat provinsi dan memperhatikan rencana Kehutanan tingkat nasional. Pasal 45 (1) Fungsi pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b, meliputi Hutan Konservasi, Hutan Produksi, dan Hutan Lindung. (21 Penyusunan rencana pengelolaan Hutan berdasarkan fungsi pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    26. penyusunan rencana unit KPH konservasi, b. penJrusunan rencana unit KPH lindung; dan

    27. pen5rusunan rencana unit KPH produksi. Pasal 46 Jangka waktu perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c, meliputi rencana ^jangka panjang dan rencana jangka pendek. Pasal 47 (1) Rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 46 merupakan 1 (satu) kesatuan yang tidak terpisahkan. (21 Penyusunan rencana Kehutanan pada setiap tingkatan meliputi seluruh fungsi pokok Kawasan Hutan dan ^jangka waktu perencanaan. (3) Rencana yang lebih tinggi baik dalam cakupan wilayah maupun ^jangka waktunya menjadi acuan bagi rencana yang lebih rendah. a b (4) Rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) merupakan pedoman bagi penyusunan anggaran dan pelaksanaan kegiatan di lapangan. Pasal 48 (1) Rencana Kehutanan meliputi seluruh aspek pengurusan Kehutanan. (21 Aspek pengurusan Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan penyelenggaraan:

    28. Perencanaan Kehutanan;

    29. pengelolaan Hutan;

    30. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta penyuluhan Kehutanan; dan

    31. Pengawasan. Paragraf 3 Tata Cara Penyusunan Rencana Kehutanan, Proses Perencanaan, Koordinasi, dan Penilaian Pasal 49 (1) Penyusunan rencana Kehutanan tingkat nasional dilakukan oleh Kementerian. (2) Pen5rusunan rencana Kehutanan tingkat provinsi dilakukan oleh instansi Kehutanan provinsi. (3) Rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan konsultasi publik. (4) Rencana Kehutanan tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh Menteri. (5) Rencana Kehutanan tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2l'disahkan oleh gubernur. Paragraf 4 Sistem Perencanaan Kehutanan Pasal 5O Proses Penyusunan Rencana Kehutanan dilakukan melalui sistem Perencanaan Kehutanan. Paragraf 5 Evaluasi dan Pengendalian Pelaksanaan Rencana Kehutanan Pasal 51 (1) Evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf d bertujuan untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan dari rencana yang telah ditetapkan. (21 Evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana Kehutanan pada:

    32. tingkat nasional dilaksanakan oleh Menteri;

    33. tingkat provinsi dilaksanakan oleh gubernur;

    34. KPH konservasi dilaksanakan oleh Menteri; dan

    35. KPH lindung dan KPH produksi yang dilaksanakan oleh gubernur. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perencanaan Kehutanan diatur dalam Peraturan Menteri. BAB III PERUBAHAN PERUNTUKAN KAWASAN HUTAN DAN PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN Bagian Kesatu Umum

      Pasal 53

      Menteri menetapkan:


    36. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan; dan

    37. Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, dengan mempertimbangkan hasil Penelitian Terpadu. Bagian Kedua Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Paragraf 1 Umum

      Pasal 54

      Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dapat dilakukan:


    38. secara parsial; atau

    39. untuk wilayah provinsi. Paragraf 2 Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Secara Parsial Pasal 55 Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan secara parsial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dilakukan melalui Pelepasan Kawasan Hutan. Pasal 56 (1) Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan secara parsial dilakukan berdasarkan permohonan. (21 Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh:

    40. menteri atau pimpinan lembaga;

    41. gubernur atau bupati/wali kota;

    42. pimpinan badan hukum; atau

    43. Perseorangan, kelompok orang, dan/atau Masyarakat.

      Pasal 57

      Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 harus memenuhi persyaratan administrasi dan teknis. Pasal 58 (1) Pelepasan Kawasan Hutan dilakukan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi. (2) Pelepasan Kawasan Hutan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi yang tidak produktif. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan pada provinsi yang tidak tersedia lagi Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi yang tidak produktif. (41 Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 untuk kegiatan:


    44. proyek strategis nasional;

    45. pemulihan ekonomi nasional;

    46. pengadaan tanah untuk ketahanan pangan (food estate) dan energi;

    47. pengadaan tanah untuk bencana alam;

    48. pengadaan tanah obyek reforma agraria; dan

    49. kegiatan f. kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki izin di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, dapat dilakukan pada Kawasan Hutan Produksi ^yang dapat Dikonversi danlatau Kawasan Hutan Produksi Tetap. (5) Pelepasan Kawasan Hutan pada Hutan Produksi yang dapat Dikonversi dan Kawasan Hutan Produksi Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat ^(4) dilakukan setelah Penelitian Terpadu. Pasal 59 (1) Penelitian Terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (5) dilakukan oleh tim terpadu yang dibentuk Menteri. (21 Berdasarkan pertimbangan hasil Penelitian Terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim terpadu dapat merekomendasikan untuk:

    50. melakukan Pelepasan Kawasan Hutan sebagian atau seluruhnya;

    51. menolak permohonan Pelepasan Kawasan Hutan; dan/atau

    52. melakukan perubahan fungsi menjadi Kawasan Hutan Tetap. (3) Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (4) memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan dilengkapi kajian lingkungan hidup strategis ^yang disusun oleh pemrakarsa kegiatan, kecuali untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat ^(4) huruf d, huruf e, dan huruf f. Pasal 60 (1) Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, diterbitkan pada Kawasan Hutan Produksi sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan.

      (2)

      Pengelolaan lahan hasil Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu pada asas konservasi tanah dan air serta memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Pasal 61 Permohonan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diajukan kepada Menteri. Pasal 62 (1) Setelah menerima permohonan Pelepasan Kawasan Hutan, Menteri meneliti pemenuhan persyaratan administrasi dan teknis dan pemenuhan komitmen. (21 Terhadap permohonan Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim terpadu menyampaikan rekomendasi kepada Menteri sebagai bahan pertimbangan. (3) Berdasarkan penelitan persyaratan dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ayat (21, Menteri menerbitkan:

    53. keputusan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk sebagian atau seluruh Kawasan Hutan yang dimohon; atau

    54. surat penolakan Pelepasan Kawasan Hutan.

      (1)

      (2t Pasal 63 Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dikenakan PNBP Pelepasan Kawasan Hutan. Terhadap kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (a) huruf a sampai dengan huruf e dan kegiatan non komersial tidak dikenakan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Tata cara pengenaan dan tarif PNBP Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

      (3)

      Pasal 64 (1) Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) huruf a wajib:

    55. menyelesaikan tata batas Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan; dan

    56. mengamankan Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan. (2) Hasil penyelesaian tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dituangkan dalam berita acara dan peta hasil tata batas yang ditandatangani oleh panitia tata batas Kawasan Hutan sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. (3) Tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diselesaikan dalam ^jangka waktu paling lama ^1 (satu) tahun sejak diterbitkannya Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dan tidak dapat diperpanjang. (4) Dalam hal pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan merupakan instansi pemerintah, ^jangka waktu penyelesaian tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun. (5) Dalam hal pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan tidak dapat menyelesaikan tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 65 Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan yang belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a dilarang memindahtangankan Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan kepada pihak lain. Pasal 66 Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dilarang:

    57. memindahtangankan Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan kepada pihak lain; atau

    58. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan permohonan. Pasal 67 (1) Sebelum menyelesaikan tata batas Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a, pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dilarang melakukan kegiatan di Kawasan Hutan, kecuali kegiatan persiapan berupa pembangunan direksi kit, pengukuran sarana prasarana, dan pembibitan. (21 Kegiatan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapat dispensasi dari Menteri. (3) Dalam hal kegiatan di Kawasan Hutan merupakan program strategis nasional, pemulihan ekonomi nasional, ketahanan pangan lfood estatel dan energi, dan tanah objek reforma agraria, pelaksanaan kegiatannya dapat dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tata batas Kawasan Hutan. Pasal 68 Berdasarkan bukti pembayaran PNBP Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan berita acara tata batas dan peta hasil tata batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2)', Menteri menerbitkan keputusan tentang penetapan batas areal Pelepasan Kawasan Hutan yang dimohon. Pasal 69 (1) Penetapan batas areal Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 selanjutnya diintegrasikan dalam tata ruang. (21 Kegiatan di areal Pelepasan Kawasan Hutan dapat dilaksanakan sebelum dan latau dalam proses integrasi tata ruang. (3) Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian melakukan evaluasi dalam ^jangka waktu 3 (tiga) tahun terhadap Kawasan Hutan yang telah dilepaskan.

      (4)

      Dalam (41 Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terhadap Kawasan Hutan yang telah dilepaskan:

    59. belum diterbitkan hak atas tanah;

    60. tidak terdapat kegiatan usaha dan arealnya masih mempunyai tutupan Hutan; dan

    61. Perizinan Berusaha di bidang perkebunan telah dicabut oleh pejabat yang berwenang, ditetapkan kembali oleh Menteri menjadi Kawasan Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 70 Berdasarkan keputusan Menteri tentang penetapan batas areal Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, status lahan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Paragraf 3 Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Untuk Wilayah Provinsi Pasal 71 Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dapat dilakukan pada:

    62. Hutan Konservasi;

    63. Hutan Lindung; atau

    64. Hutan Produksi. Pasal 72 (1) Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan provinsi dilakukan berdasarkan usulan kepada Menteri. untuk wilayah dari gubernur (2) Gubernur dalam mengajukan usulan ^Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan wajib melakukan ^konsultasi teknis dengan Menteri. Pasal 73 (1) Menteri setelah menerima usulan Perubahan ^Peruntukan Kawasan Hutan untuk wilayah ^provinsi dari ^gubernur, melakukan telaahan teknis. (21 Berdasarkan hasil telaahan teknis sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1), Menteri membentuk tim terpadu. (3) Keanggotaan dan tugas tim terpadu ^sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan ^oleh Menteri ^setelah berkoordinasi dengan menteri terkait. (41 Tim terpadu sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(21 menyampaikan hasil penelitian dan ^rekomendasi ^terhadap Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan ^kepada Menteri' (s) Menteri setelah mempertimbangkan ^hasil ^penelitian ^dan rekomendasi tim terpadu sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (4) menerbitkan keputusan ^persetujuan ^Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk ^sebagian ^atau ^seluruh Kawasan Hutan yang diusulkan. Kajian lingkungan hidup strategis dalam ^rangka Perubahan Fungsi Kawasan Hutan ^dan ^Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan ^pada skala provinsi ^yang merupakan bagian dari ^proses ^reviu ^rencana ^tata ^ruang wilayah provinsi, menggunakan kajian ^lingkungan hidup strategis rencana tata ruang wilayah ^provinsi ^yang disusun oleh pemrakarsa kegiatan. (6)

      Pasal 74

      Keputusan Menteri tentang ^Perubahan ^Peruntukan ^Kawasan Hutan untuk wilayah ^provinsi ^sebagaimana ^dimaksud ^dalam pasal 73 ayat (5) diintegrasikan oleh gubernur dalam revisi rencana tata ruang wilayah ^provinsi. Sl( Nlo 0'; Bagian Bagian Ketiga Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Paragraf 1 Umum Pasal 75 (1) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf b dilakukan ^untuk memantapkan dan mengoptimalisasikan fungsi ^Kawasan Hutan. (21 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan ^pada Kawasan ^Hutan dengan fungsi pokok:


    65. Hutan Konservasi;

    66. Hutan Lindung; dan

    67. Hutan Produksi. (3) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

    68. secara parsial; atau

    69. untuk wilayah provinsi. Paragraf 2 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Secara ^Parsial Pasal 76 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara parsial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat ^(3) ^huruf ^a dilakukan melalui perubahan fungsi:

    70. antar fungsi pokok Kawasan Hutan; atau

    71. dalam fungsi pokok Kawasan ^Hutan. SK l.Jo 0995(10 A

      Pasal 77

      Pasal 77 Perubahan fungsi antar fungsi pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf a meliputi perubahan fungsi dari:


    72. Kawasan Hutan Konservasi menjadi Kawasan Hutan Lindung dan/atau Kawasan Hutan Produksi;

    73. Kawasan Hutan Lindung menjadi Kawasan Hutan Konservasi dan/atau Kawasan Hutan Produksi; dan

    74. Kawasan Hutan Produksi menjadi Kawasan Hutan Konservasi dan/atau Kawasan Hutan Lindung. Pasal 78 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan konservasi menjadi Kawasan Hutan Lindung danf atau Kawasan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a dilakukan dengan ketentuan:

    75. tidak memenuhi seluruh kriteria sebagai Kawasan Hutan Konservasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    76. memenuhi kriteria Kawasan Hutan Lindung atau Kawasan Hutan Produksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      Pasal 79

      Perubahan Fungsi Kawasan Hutan lindung menjadi Kawasan Hutan Konservasi dan/atau Kawasan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dilakukan dengan ketentuan:


    77. tidak memenuhi kriteria sebagai Kawasan Hutan Lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, dalam hal untuk diubah menjadi Kawasan Hutan Produksi; dan

    78. memenuhi kriteria Kawasan Hutan Konservasi atau Kawasan Hutan Produksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 80 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan produksi menjadi Kawasan Hutan Konservasi dan/atau Kawasan Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 h: uruf c wajib memenuhi kriteria sebagai Kawasan Hutan Konservasi atau Kawasan Hutan Lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 81 Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf b dilakukan dalam:

    79. Kawasan Hutan Konservasi; atau

    80. Kawasan Hutan Produksi. Pasal 82 (1) Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a meliputi perubahan dari:

    81. kawasan cagar alam menjadi kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman Hutan raya, taman wisata alam, atau Taman Buru;

    82. kawasan suaka margasatwa menjadi kawasan cagar alam, taman nasional, taman Hutan raya, taman wisata alam, atau Taman Buru;

    83. kawasan taman nasional menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka margasatwa, taman Hutan raya, taman wisata alam, atau Taman Buru;

    84. kawasan taman Hutan raya menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, atau Taman Buru;

    85. kawasan taman wisata alam menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman Hutan taya, atau Taman Buru; atau

    86. kawasan Taman Buru menjadi kawasan cagar alam, kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman Hutan raya, atau taman wisata alam.

      (2)

      Perubahan (2) Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam hal:

    87. sudah terjadi perubahan kondisi biofisik Kawasan Hutan akibat fenomena alam, lingkungan, atau manusia;

    88. diperlukan ^jangka benah untuk optimalisasi fungsi dan manfaat Kawasan Hutan; atau

    89. cakupan luasnya sangat kecil dan dikelilingi oleh lingkungan sosial dan ekonomi akibat pembangunan di luar kegiatan Kehutanan yang tidak mendukung kelangsungan proses ekologi secara alami. Pasal 83 Perubahan fungsi dalam fungsi pokok kawasan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf b meliputi perubahan dari:

    90. Kawasan Hutan Produksi Tetap menjadi Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi; dan

    91. Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap. Pasal 84 (1) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara parsial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf a ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan usulan yang diajukan oleh:

    92. gubernur, untuk Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi; atau

    93. pengelola Kawasan Hutan Konservasi. (3) Dalam hal usulan perubahan fungsi dalam rangka kegiatan proyek strategis nasional, program pemulihan ekonomi nasional, pengadaan tanah untuk bencana alam, dan tanah obyek reforma agraria yang ditetapkan Pemerintah Pusat, dapat diusulkan oleh menteri/pimpinan lembaga yang ditetapkan sebagai pelaksana.

      Pasal 85

      Pasal 85 (1) Menteri setelah menerima usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) dan ayat (3) membentuk tim terpadu. (2) Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penelitian kepada Menteri. (3) Menteri berdasarkan hasil penelitian tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menerbitkan keputusan tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan atau surat penolakan. (4) Setiap Perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara parsial yang memperoleh keputusan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan pengelolaan dan/atau kegiatan sesuai fungsi Kawasan Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Untuk Wilayah Provinsi Pasal 86 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan untuk wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf b dilakukan pada Kawasan Hutan dengan fungsi pokok:


    94. Hutan Konservasi;

    95. Hutan Lindung; dan

    96. Hutan Produksi. Pasal 87 (1) Perubahan Fungsi Kawasan Hutan secara parsial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 85 berlaku mutatis mutandis terhadap Perubahan Fungsi Kawasan Hutan untuk wilayah provinsi.

      (2)

      Setiap Perubahan Fungsi Kawasan Hutan untuk ^wilayah provinsi yang memperoleh keputusan Perubahan ^Fungsi Kawasan Hutan dari Menteri dapat dilakukan ^pengelolaan dan/atau kegiatan sesuai fungsi ^Kawasan ^Hutan ^sesuai dengan ketentuan ^peraturan ^perundang-undangan.

      Pasal 88

      Ketentuan lebih lanjut mengenai ^Perubahan ^Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan ^Fungsi ^Kawasan Hutan diatur dalam Peraturan Menteri. BAB IV PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN Bagian Kesatu Umum


      Pasal 89

      Penggunaan Kawasan Hutan bertujuan untuk ^mengatur penggunaan sebagian Kawasan Hutan untuk ^kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan. Pasal 90 (1) Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana ^dimaksud dalam Pasal 89 hanya dapat dilakukan ^di ^dalam:


    97. Kawasan Hutan Produksi; dan/atau

    98. Kawasan Hutan Lindung. (21 Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah fungsi ^pokok Kawasan Hutan dengan mempertimbangkan ^batasan luas dan ^jangka waktu tertentu serta ^kelestarian lingkungan. Bagian Bagian Kedua Tata Cara Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 91 (1) Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. (21 Kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

    99. religi;

    100. pertambangan;

    101. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan;

    102. pembangunan ^jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relay televisi, dan stasiun bumi pengamatan keantariksaan;

    103. ^jalan umum, ^jalan tol, dan ^jalur kereta api;

    104. sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;

    105. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;

    106. fasilitas umum;

    107. industri selain Pengolahan Hasil Hutan;

    108. pertahanan dan keamanan;

    109. prasarana penunjang keselamatan umum;

  16. penampungan korban bencana alam dan lahan usahanya yang bersifat sementara atau ^pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan ketahanan energi; atau Pasal 92 (1) Penggunaan Kawasan Hutan untuk kegiatan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^91 ayat (21huruf b dilakukan dengan ketentuan:

    1. dalam Kawasan Hutan Produksi ^dapat ^dilakukan:

  17. penambangan dengan pola ^pertambangan terbuka; dan/atau

  18. penambangan dengan ^pola pertambangan ^bawah tanah;

    1. dalam Kawasan Hutan Lindung ^hanya ^dapat dilakukan penambangan dengan ^pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan ^dilarang mengakibatkan:

  19. turunnya permukaan tanah;

  20. berubahnya fungsi ^pokok Kawasan ^Hutan ^secara permanen; dan/atau

  21. terjadinya kerusakan akuifer air ^tanah' (21 Larangan sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) ^huruf ^b dikecualikan bagi kegiatan ^pertambangan ^yang ^dalam dokumen lingkungannya telah dikaji ^bahwa ^akan berdampak pada penurunan ^permukaan ^tanah, perubahan fungsi pokok Kawasan Hutan ^secara permanen, atau gangguan akuifer air tanah ^yang dilengkapi dengan upaya ^yang akan ^dilakukan untuk meminimalisir dampak dimaksud. (3) Penambangan bawah tanah ^pada Hutan ^Lindung dilakukan sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. Pasal 93 Selain kegiatan untuk kepentingan ^pembangunan ^di ^luar kegiatan Kehutanan sebagaimana ^dimaksud dalam ^Pasal ^91 ayat (2), Penggunaan Kawasan Hutan ^dapat ^dilakukan ^untuk kegiatan lain yang dapat menunjang ^pengelolaan ^Hutan ^secara langsung maupun tidak langsung melalui ^mekanisme kerja sama. Pasal 94 (1) Penggunaan Kawasan Hutan untuk ^kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat ^(2) dilakukan ^berdasarkan Persetujuan Penggunaan Kawasan ^Hutan. Sl( No 099-5-59 A (2) (3) (41 (s) (6) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan ^berlaku ^sebagai persetujuan pemanfaatan ka1ru, serta ^persetujuan pemasukan dan penggunaan peralatan. Penggunaan Kawasan Hutan untuk ^kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan ^untuk kepentingan umum khususnya ^proyek ^prioritas Pemerintah Pusat, dilakukan dengan ^ketentuan:

    1. dalam hal pengadaan tanah dilakukan ^oleh instansi pemerintah, melalui mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan; atau

    2. dalam hal pengadaan tanah dilakukan ^oleh ^selain instansi pemerintah, dengan ketentuan:

  22. bersifat permanen, dengan ^mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan; atau

  23. bersifat tidak ^permanen atau ^untuk ^menghindari fragmentasi Kawasan Hutan serta ^dapat menjadi bagian pengelolaan Hutan, dengan ^mekanisme Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. Persetujuan Penggunaan Kawasan ^Hutan ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dan ayat ^(3) ^huruf ^b ^angka ^2 dapat dilakukan:

    1. pada provinsi yang terlampaui ^kecukupan ^luas Kawasan Hutannya; dan/atau

    2. pada provinsi yang kurang ^kecukupan luas ^Kawasan Hutannya. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan ^pada provinsi yang terlampaui kecukupan luas Kawasan Hutan ^nya sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(4) ^huruf ^a ^wajib membayar PNBP Penggunaan ^Kawasan ^Hutan. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan ^pada ^provinsi yang kurang kecukupan luas Kawasan ^Hutannya sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(4) ^huruf ^b ^wajib:

    3. membayar PNBP Penggunaan ^Kawasan ^Hutan; ^dan b. membayar PNBP komPensasi. Pemegang Persetujuan Penggunaan ^Kawasan ^Hutan ^wajib melakukan penanaman dalam rangka ^rehabilitasi ^DAS. Sl( Ne 009-5-s,q A (7) (8) Persetujuan (8) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk kegiatan:

    4. pertahanan negara, sarana keselamatan lalu ^lintas laut atau udara, dan sarana meteorologi, klimatologi, dan geofisika;

    5. kegiatan survei dan eksplorasi;

    6. penampungan korban bencana alam ^dan ^lahan usahanya yang bersifat sementara;

    7. infrastruktur oleh instansi ^pemerintah yang ^bersifat non komersial;

    8. religi meliputi tempat ibadah, ^tempat ^pemakaman, dan wisata rohani; dan

    9. kegiatan program strategis nasional, ^pemulihan ekonomi nasional, serta ketahanan ^pangan ^(food estate) dan energi yang bersifat non komersial, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (5), ayat (6), dan ayat ^(7). (9) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk infrastruktur sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(8) ^huruf d, dibebani kewajiban untuk melakukan ^penanaman tanaman kayu di bagian tepi di kiri ^kanan atau ^sekeliling areal Persetujuan Penggunaan Kawasan ^Hutan ^sebagai bentuk perlindungan. Pasal 95 (1) Penggunaan Kawasan Hutan di luar kegiatan ^Kehutanan tanpa memiliki izin di bidang Kehutanan ^yang ^dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang ^Nomor ^11 Tahun 2O2O tentang Cipta Keda, dapat diterbitkan ^Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan setelah dipenuhinya ^Sanksi Administratif sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. (21 Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

    10. perkebunan; l.ii( lrlc 0i9.;

    11. kegiatan lain meliputi minyak dan B?S, ketenagalistrikan, infrastruktur panas bumi, tambak, pertanian, permukiman, dan/atau wisata alam, beserta sarana dan prasarananya; dan/atau

    12. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2t. Pasal 96 (1) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (3) huruf b angka 2 serta Pasal 95 ayat (1) diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan. (21 Menteri dapat melimpahkan wewenang pemberian Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dengan luasan tertentu kepada gubernur untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat nonkomersial dan pertambangan ralryat. Pasal 97 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) diajukan oleh:

    13. menteri atau pimpinan lembaga;

    14. gubernur atau bupati/wali kota;

    15. pimpinan badan hukum; atau

    16. Perseorangan, kelompok orang dan/atau Masyarakat. (21 Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

    17. administrasi; dan

    18. teknis.

      Pasal 98

      Pasa] 98 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1), Menteri melakukan penilaian.

      (2)

      Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan tidak memenuhi ^persyaratan, Menteri menerbitkan surat penolakan.

      (3)

      Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan memenuhi persyaratan, Menteri menerbitkan Persetujuan Penggunaaan Kawasan Hutan. Pasal 99 (1) Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan wajib:


    19. melaksanakan tata batas areal Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan;

    20. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan;

    21. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS;

    22. membayar PNBP kompensasi, bagi ^pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan pada provinsi yang kurang kecukupan luas Kawasan Hutannya;

    23. menyelenggarakan Perlindungan Hutan;

    24. melaksanakan reklamasi danlatau reboisasi pada Kawasan Hutan yang diberikan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang sudah tidak digunakan;

    25. mengganti biaya investasi kepada pengelola/ pemegang pengelolaanf Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan; dan

    26. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri. Sl( ^Nk-r 0q9-5.56 A (2) Pemegang (2) Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan wajib melaksanakan tata batas areal Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama dalam ^jangka waktu 1 (satu) tahun setelah diterbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dan tidak dapat diperpanjang. (3) Dalam hal pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan merupakan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, ^jangka waktu pelaksanaan tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dapat diperpanjang untuk ^jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (4) Dalam hal pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan telah menyelesaikan pelaksanaan tata batas areal Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21dan ayat (3), Menteri menetapkan batas areal kerja Penggunaan Kawasan Hutan. (5) Dalam hal pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan tidak menyelesaikan pelaksanaan tata batas areal Penggunaan Kawasan Hutan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat (3), Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan menjadi batal dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 1OO Pengelolaan dan pemanfaatan PNBP kompensasi dan PNBP Penggunaan Kawasan Hutan diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP. Pasal 101 Penggunaan denda administratif yang berasal dari Sanksi Administratif dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP.

      Pasal 102

      Pasal 102 Berdasarkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, pemegang persetujuan dapat melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan dengan membayar PSDH dan/atau DR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 103 (1) Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan Hutan dilarang:


    27. memindahtangankan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan kepada pihak lain atau melakukan perubahan nama pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan tanpa persetujuan Menteri;

    28. menjaminkan atau mengagunkan areal Penggunaan Kawasan Hutan kepada pihak lain;

    29. menggunakan merkuri bagi kegiatan pertambangan; dan/atau

    30. melakukan kegiatan di dalam areal Penggunaan Kawasan Hutan sebelum memperoleh penetapan batas areal kerja Penggunaan Kawasan Hutan, kecuali membuat kegiatan persiapan berupa pembangunan direksi kit dan/atau pengukuran sarana dan prasarana. (2) Dalam hal Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan diberikan untuk kegiatan pembangunan nasional yang bersifat vital yaitu panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, pertahanan dan kemanan, pemulihan ekonomi nasional dan ketahanan pangan (food estatel, dan energi yang bersifat non komersial serta waduk dan bendungan, pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dapat melakukan kegiatan di areal Penggunaan Kawasan Hutan sebelum pelaksanaan tata batas diselesaikan. Pasal 104 (1) Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan diberikan sama dengan jangka waktu Perizinan Berusaha sesuai bidangnya dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk kegiatan yang tidak memerlukan Perizinan Berusaha sesuai bidangnya, diberikan dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. (3) Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas laut atau udara, jalan umum, jalur kereta api, waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, bangunan pengairan lainnya, sarana meteorologi, klimatologi, geofisika, serta religi berlaku selama digunakan untuk kepentingan dimaksud. (4) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dievaluasi oleh Menteri 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (5) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi menunjukkan bahwa pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan tidak lagi menggunakan Kawasan Hutan sesuai dengan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, maka Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dicabut. Pasal 105 (1) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. (21 Dalam melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat mendelegasikan kepada pejabat yang ditunjuk atau melimpahkan kepada gubernur. Pasal 1O6 (1) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) hapus apabila:

    31. jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan telah berakhir;

    32. dicabut oleh Menteri;

    33. dicabut oleh Menteri atas keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; atau

    34. diserahkan kembali secara sukarela oleh pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan kepada Menteri sebelum jangka waktu berakhir dengan pernyataan tertulis. (21 Pencabutan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan jika pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dikenakan sanksi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. (3) Berdasarkan penyerahan kembali secara sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Menteri menerbitkan keputusan pencabutan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. Pasal 107 (1) Hapusnya Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 tidak membebaskan kewajiban pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk menyelesaikan kewajiban:

    35. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan;

    36. membayar PNBP kompensasi bagi pemegang persetujuan penggunaan Kawasan Hutan yang dikenakan kewajiban pembayaran PNBP kompensasi;

    37. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS atau reboisasi pada lahan kompensasi;

    38. melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada Kawasan Hutan yang diberikan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang sudah tidak digunakan;

    39. membayar PSDH dan/atau DR; dan

    40. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan dalam Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. (21Pada (21 Pada saat hapusnya Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaan barang tidak bergerak termasuk tanaman yang telah ditanam dalam Kawasan Hutan yang diberikan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan maupun barang bergerak, kepemilikannya ditentukan sesuai den gan keten tuan peraturan perundang-undan gan. (3) Barang bergerak yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 kepemilikannya menjadi milik pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak hapusnya Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau sejak kegiatan reklamasi dinilai berhasil, wajib dikeluarkan dari Kawasan Hutan oleh pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. (4) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang persetujuannya hapus tidak mengeluarkan barang bergerak dari Kawasan Hutan, barang bergerak dilelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Kawasan Hutan dengan Tujuan Tertentu Paragraf 1 Umum Pasal 108 (1) Untuk tujuan tertentu Kawasan Hutan dapat ditetapkan sebagai:

    41. Kawasan Hutan dengan tujuan khusus;

    42. Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus; atau Paragraf 2 Kawasan Hutan dengan T.rjuan Khusus Pasal 1O9 (1) Kawasan Hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf a ditetapkan untuk kepentingan:

    43. penelitian dan pengembangan Kehutanan;

    44. pendidikan dan pelatihan Kehutanan; atau

    45. religi dan budaya setempat. (21 Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada:

    46. semua fungsi Kawasan Hutan kecuali pada cagar alam dan zona inti taman nasional;

    47. Kawasan Hutan yang telah dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan; atau

    48. Kawasan Hutan yang telah dibebani Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, setelah dikeluarkan dari areal kerjanya. (3) Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan:

    49. tidak mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan;

    50. tidak mengubah bentang lahan pada Hutan Konservasi atau Hutan Lindung;

    51. penutupan Hutan bukan berupa Hutan primer; dan

    52. ditetapkan menjadi zonalblok khusus dalam penataan areal KPH. (4) Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan luas dengan mempertimbangkan:

    53. luas areal KPH, paling banyak 5% (lima persen) dari luas setiap KPH; c kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutannya, paling luas 5O0 (lima ratus) hektar per unit Kawasan Hutan dengan tujuan khusus untuk kegiatan penelitian dan pengembangan Kehutanan serta pendidikan dan pelatihan Kehutanan; dan untuk 1 (satu) unit Kawasan Hutan dengan tujuan khusus untuk kegiatan religi dan budaya, paling luas 10 (sepuluh) hektar. Pasal 1 10 (1) Penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ditetapkan oleh Menteri berdasarkan permohonan.

      (2)

      Permohonan penetapan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan:

    54. Kementerian; atau

    55. di luar Kementerian meliputi:

  24. perguruan tinggi;

  25. lembaga penelitian bidang Kehutanan;

  26. lembaga pendidikan bidang Kehutanan;

  27. lembaga MHA; atau

  28. lembaga keagamaan. (3) Persyaratan permohonan untuk Kawasan Hutan dengan tujuan khusus untuk kepentingan Kementerian dilengkapi:

    1. proposal pengelolaan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus; dan

    2. peta permohonan pada peta dasar skala 1: 50.000 (satu banding lima puluh ribu). (4) Persyaratan permohonan untuk Kawasan Hutan dengan tujuan khusus untuk kepentingan di luar Kementerian dilengkapi:

    3. proposal pengelolaan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus;

    4. penunjukkan lembaga pengelola Kawasan Hutan dengan tujuan khusus; b C peta c. peta permohonan pada ^peta dasar skala ^1: 50.000 ^(satu banding lima puluh ribu);

    5. pertimbangan teknis dari ^pejabat Kementerian; ^dan e. surat pernyataan dalam bentuk akta ^notariil ^yang menyatakan ke san ggupan memenuhi ^kewaj ^iban dalam pengelolaan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus dan tidak akan memidahtangankan ^kepada ^pihak ^lain.

      (5)

      Berdasarkan permohonan dilakukan ^penilaian ^administrasi dan penilaian teknis.

      (6)

      Berdasarkan hasil penilaian administrasi dan ^penilaian teknis Menteri menetapkan Kawasan Hutan ^dengan ^tujuan khusus. Pasal 1 1 1 (1) Menteri menetapkan kriteria dan standar ^pengelolaan Kawasan Hutan dengan tujuan khusus untuk mewujudkan pengelolaan Kawasan Hutan ^dengan ^tujuan khusus yang mandiri, meliPuti:

    6. Perencanaan Kawasan Hutan ^dengan ^tujuan ^khusus;

    7. pelaksanaan kegiatan Kawasan Hutan ^dengan ^tujuan khusus;

    8. kerja sama pengelolaan Kawasan Hutan ^dengan tujuan khusus;

    9. Pemanfaatan Hutan ^pada areal ^Kawasan ^Hutan dengan tujuan khusus;

    10. pembangunan sarana dan ^prasarana ^pendukung Kawasan Hutan dengan tujuan khusus; ^dan f. pelaporan pengelolaan Kawasan Hutan ^dengan ^tujuan khusus. (21 Kawasan Hutan dengan tujuan khusus ^hapus ^dan berakhir apabila:

    11. dikembalikan kepada ^pemerintah; ^dan/atau b. dikenakan Sanksi Administratif ^berupa pencabutan. Sl( No 099-5-5-s A Paragraf 3 Paragraf 3 Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus Pasal 1 12 (1) Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk kepentingan:

    12. Perhutanan Sosial;

    13. Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan;

    14. Penggunaan Kawasan Hutan;

    15. rehabilitasi Hutan;

    16. Perlindungan Hutan; atau

    17. Pemanfaatan Jasa Lingkungan. (2) Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada areal yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan pada sebagian Hutan Negara yang berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten. (3) Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan dengan ketentuan:

    18. tidak mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan;

    19. tidak mengubah bentang lahan pada Hutan Lindung atau Hutan Produksi; dan

    20. penutupan Hutannya bukan berupa Hutan primer.

      (4)

      Penetapan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus ditetapkan oleh Menteri. Pasal 1 13 (1) Pengelolaan Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dilaksanakan oleh Menteri.

      (2)

      Menteri menetapkan kriteria dan standar ^pengelolaan Kawasan Hutan dengan ^pengelolaan khusus untuk mewujudkan pengelolaan Hutan lestari. Paragraf 4 Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan Pasal 1 14 (1) Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan ^pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat ^(1) huruf ^c dilakukan Menteri berdasarkan ^permohonan. (21 Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan ^pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk kegiatan penyediaan Kawasan Hutan ^guna pembangunan ketahanan pangan (food estatel. (3) Permohonan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan ^pangan (food estatel sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) diajukan oleh:

    21. menteri atau pimpinan lembaga;

    22. gubernur atau bupati/wali kota; atau

    23. kepala badan otorita yang ditugaskan khusus oleh Pemerintah Pusat. (4) Permohonan Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(3) dilengkapi dengan dokumen:

    24. pernyataan komitmen; dan

    25. persyaratan teknis. (5) Pernyataan komitmen sebagaimana dimaksud ^pada ayat (4) huruf a untuk Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan, dibuat dalam bentuk surat bermeterai yang menyatakan:

    26. kesanggupan menyelesaikan masterplan ^pengelolaan Kawasan Hutan untuk ketahanan ^pangan, ^yang memuat rencana pengelolaan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan dan menyusun Detail Enginering Design dalam hal Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan berasal dari Kawasan Hutan Lindung; 'il( t'lr;

    27. kesanggupan menyelesaikan tata batas areal Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan dan berkoordinasi dengan Kementerian;

    28. kesanggupan menyelesaikan persetujuanlingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

    29. kesanggupan mengganti biaya investasi tanaman kepada pengelola/ pemegang izin. (6) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b untuk Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan, meliputi:

    30. kajian lingkungan hidup strategis;

    31. proposal dan rencana teknis yang ditandatangani oleh pemohon;

    32. peta permohonan Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan dengan menggunakan peta dasar skala paling kecil 1: 50.000 (satu banding lima puluh ribu); dan

    33. pakta integritas dalam bentuk surat bermeterai yang menyatakan:

  29. semua dokumen yang dilampirkan sah;

  30. tidak melakukan kegiatan sebelum mendapat persetujuan dari Menteri;

  31. bersikap transparan, jujur, objektif, dan akuntabel;

  32. tidak memberi, menerima, menjanjikan hadiah/hiburan dalam bentuk apapun;

  33. melakukan permohonan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

  34. sanggup menghadapi konsekuensi hukum, apabila melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5. Pasal 115 (1) Penyediaan Kawasan Hutan untuk pembangunan ketahanan pangan (food estate) dengan mekanisme Penetapan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan dilakukan pada:

    1. Kawasan Hutan Lindung; dan/atau

    2. Kawasan Hutan Produksi.

      (2)

      Kawasan Hutan Lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung dilakukan melalui kegiatan pemulihan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Penyediaan Kawasan Hutan untuk pembangunan ketahanan pangan (food estatel dapat dilakukan pada Kawasan Hutan:

    3. yang telah dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan;

    4. yang telah dibebani Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, setelah dikeluarkan dari areal kerjanya; dan

    5. yang telah dicadangkan atau telah dibebani persetujuan Perhutanan Sosial atau telah dicadangkan untuk tanah objek reforma agraria dengan menyesuaikan program yang berorientasi pada ralryat dan reforma agraria. (4) Menteri menetapkan batasan luasan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan dengan mempertimbangkan luasan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan dan kecukupan luas Kawasan Hutan dan hasil kajian lingkungan hidup strategis. (5) Pengelolaan penggunaan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan, meliputi: a. b.

    6. perencanaan; pelaksanaan Penggunaan Kawasan Hutan; pelaksanaan kegiatan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan; kerja sama pengelolaan Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan; Pemanfaatan Hutan pada areal Kawasan Hutan untuk ketahanan pangan; pembangunan sarana dan prasarana pendukung; pemulihan dan rehabilitasi Hutan; dan pelaporan pengelolaan. d. e.

    7. o b' h. Pasal I 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggunaan Kawasan Hutan diatur dalam Peraturan Menteri. BAB V TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN SERTA PEMANFAATAN HUTAN Bagian Kesatu Tata Hutan Pasal 1 17 (1) Tata Hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan Kawasan Hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. (21 Tata Hutan meliputi pembagian Kawasan Hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi, dan rencana Pemanfaatan Hutan. (3) Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Pasal 118 (1) Tata Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ll7 dilaksanakan pada setiap Unit Pengelolaan Hutan di semua Kawasan Hutan. (21 Kegiatan Tata Hutan pada setiap Unit Pengelolaan Hutan terdiri dari:

    8. inventarisasi Hutan;

    9. perancangan Tata Hutan;

    10. penataan batas dalam Unit Pengelolaan Hutan; dan

    11. pemetaan. (3) Inventarisasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui survei lapangan dan/atau analisis data hasil penginderaan jauh serta informasi sumber daya Hutan dari pemangku yang dapat dipertanggungjawabkan. (4) Perancangan Tata Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan perancangan blok dan petak serta perancangan pembukaan wilayah Hutan dengan mempertimbangkan sumber daya Hutan, bentang lahan, jenis pengelolaan Hutan, dan efektivitas pengelolaan Hutan sesuai fungsi Kawasan Hutan. Sl( No ^()?9601 A (5) Penataan Batas dalam Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan berdasarkan rancangan Tata Hutan dan jenis pengelolaan yang dapat dilakukan pada Unit Pengelolaan Hutan. (6) Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf d dilakukan dengan penyusunan rancangan Tata Hutan dalam bentuk peta yang menggunakan sumber data spasial dengan skala paling kecil 1 : 50.000 (satu banding lima puluh ribu) atau peta dasar terbesar yang tersedia. (71 Peta Tata Hutan ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditugaskan oleh Menteri. (8) Tata Hutan dan pen5rusunan rencana pengelolaan Hutan pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dilakukan oleh KPH. Bagian Kedua Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Pasal 119 (1) Berdasarkan blok dan petak melalui kegiatan Tata Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, disusun rencana pengelolaan Hutan untuk jangka waktu tertentu. (21 Pen5rusunan rencana pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan neraca sumber daya Hutan, rencana Kehutanan tingkat nasional, rencana Kehutanan tingkat provinsi, nilai budaya, aspirasi Masyarakat setempat, kondisi sosial, dan kelembagaan serta pengendalian lingkungan pada setiap Unit Pengelolaan Hutan. (3) Rencana Pengelolaan Hutan meliputi :

    12. rencana pengelolaan Hutan jangka panjang untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun; dan

    13. rencana pengelolaan Hutan jangka pendek untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. (4) Rencana pengelolaan Hutan jangka panjang disusun oleh KPH dan ditetapkan Menteri atau pejabat yang ditugaskan. (5) Rencana pengelolaan Hutan jangka pendek disusun oleh KPH berdasarkan rencana pengelolaan Hutan jangka panjang dan ditetapkan oleh kepala organisasi perangkat daerah provinsi yang membidangi Kehutanan.

      Pasal 120

      Pasal 120 (1) Rencana pengelolaan Hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (3) huruf a memuat unsur:


    14. tujuan yang akan dicapai KPH;

    15. potensi sumber daya Hutan;

    16. kondisi yang dihadapi; dan

    17. strategi serta kelayakan pengembangan pengelolaan Hutan, yang meliputi Tata Hutan, pemanfaatan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, rehabilitasi Hutan dan reklamasi, dan perlindungan dan pengamanan Hutan dan konservasi alam. (2) Rencana pengelolaan Hutan jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (3) huruf b, memuat unsur:

    18. tujuan pengelolaan Hutan lestari dalam skala KPH yang bersangkutan;

    19. evaluasi hasil rencana ^jangka pendek sebelumnya;

    20. target yang akan dicapai;

    21. basis data dan informasi;

    22. kegiatan yang akan dilaksanakan;

    23. status neraca sumber daya Hutan;

    24. pemantarran, evaluasi, dan pengendalian kegiatan; dan

    25. partisipasi para pihak. Pasal 122 (1) Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya, menetapkan organisasi KPH. (2) Pemenuhan kebutuhan alokasi sumber daya manusia dan sarana prasarana untuk KPH konservasi diselenggarakan oleh Menteri. (3) Pemenuhan kebutuhan alokasi sumber daya manusia dan sarana prasarana untuk KPH lindung dan KPH produksi diselenggarakan oleh gubernur. (41 Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat (3) wajib memiliki kompetensi di bidang Kehutanan. (5) Organisasi KPH lindung dan organisasi KPH produksi merupakan unit pelaksana teknis daerah yang ditetapkan dengan peraturan gubernur. (6) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan tugas dan fungsi KPH lindung dan KPH produksi dibentuk unit manajemen tingkat tapaklresort KPH lindung dan latau KPH produksi oleh Pemerintah Daerah provinsi.

      Pasal 123

      Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi:


    26. menyusun rencana pengelolaan Hutan yang dituangkan dalam dokumen rencana pengelolaan Hutan jangka panjang dan rencana pengelolaan Hutan jangka pendek;

    27. melaksanakan koordinasi perencanaan pengelolaan Hutan dengan pemegang Perizinan Berusaha, pemegang persetujuan penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan serta pengelola Perhutanan Sosial;

    28. melaksanakan fasilitasi implementasi kebijakan di bidang lingkungan hidup dan Kehutanan yang meliputi: f . inventarisasi Hutan, Pengukuhan Kawasan Hutan, Penatagunaan Kawasan Hutan dan pen5rusunan rencana Kehutanan;

  35. rehabilitasi Hutan dan reklamasi;

  36. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; dan

  37. perlindungan dan pengamanan Hutan, pengendalian kebakaran Hutan dan lahan, mitigasi ketahanan bencana dan perubahan iklim. d. melaksanakan fasilitasi, bimbingan teknis, pendampingan, dan pembinaan kelompok tani Hutan dalam mendukung kegiatan Perhutanan Sosial;

    1. melaksanakan fasilitasi Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan dan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan;

    2. melaksanakan fasilitasi pertumbuhan investasi, pengembangan industri, dan pasar untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional;

    3. melaksanakan fasilitasi kegiatan dalam rangka ketahanan pangan (food estatel dan energi;

    4. melaksanakan fasilitasi peningkatan kapasitas sumber daya manusia;

    5. melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan;

    6. melaksanakan Pengawasan dan pengendalian atas kegiatan pengelolaan Hutan; dan

    7. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di wilayah kerjanya. Pasal 124 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan dan pengembangan KPH. (21 Anggaran pembangunan dan pengembangan KPH bersumber dari:

    8. anggaran pendapatan dan belanja negara;

    9. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau

    10. dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 125 (1) Pemerintah Pusat dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan Hutan kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan. (21 Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan meliputi pengelolaan Hutan pada sebagian Hutan Negara yang berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten. (3) Direksi badan usaha milik negara bidang Kehutanan yang mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membentuk organisasi kesatuan pemangkuan Hutan dan menunjuk kepala kesatuan pemangkuan Hutan. (41 Penyelenggaraan pengelolaan Hutan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak termasuk kewenangan publik. (5) Kewenangan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:

    11. Penunjukan Kawasan Hutan dan Penetapan Kawasan Hutan;

    12. Pengukuhan Kawasan Hutan;

    13. Penggunaan Kawasan Hutan;

    14. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan;

    15. pemberian Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan kepada pihak ketiga atas pengelolaan Hutan yang ada di wilayah kerjanya; dan

    16. kegiatan yang berkaitan dengan penyidik pegawai negeri sipil Kehutanan. (6) Dalam hal kegiatan Penggunaan Kawasan Hutan atau Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan huruf d diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan, badan usaha milik negara bidang Kehutanan memberikan pertimbangan teknis kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7t (8) (e) (10) Terhadap Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi yang tidak dilimpahkan penyelenggaraan pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus untuk kepentingan Perhutanan Sosial, Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan dan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, rehabilitasi Hutan atau Pemanfaatan Jasa Lingkungan yang menjadi kewenangan' Pemerintah Fusat. Penyelenggaraan pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (71, mengacu pada PIAPS. Penyelenggaraan pengelolaan Hutan Lindung di Pulau Jawa dilakukan dengan memperhatikan kaidah konservasi dalam rangka memperkuat fungsi lindung. Penyelenggaraan pengelolaan Hutan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Bagian Ketiga Pemanfaatan Hutan Paragraf 1 Umum Pasal 126 (1) Pemanfaatan Hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa Hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan Masyarakat. (21 Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:

    17. usaha Pemanfaatan Kawasan;

    18. usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan;

    19. usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu; dan

    20. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu. Pasal 127 . Pasal 127 (1) Kegiatan Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan atau kegiatan Pengelolaan Perhutanan Sosial. (2) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dapat dipindahtangankan setelah mendapat persetujuan tertulis dari pemberi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. (3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dilakukan penilaian kinerja dengan memenuhi standar dan pedoman pengelolaan Hutan lestari yang ditetapkan oleh Menteri. (4) Kegiatan Pemanfaatan Hutan dapat dilakukan pada:

    21. Hutan Lindung;

    22. Hutan Produksi; atau

    23. Hutan Konservasi. (5) Kegiatan Pemanfaatan Hutan pada Hutan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (41 huruf c dan perizinan berusahanya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung

      Pasal 128
      (1)

      Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dilakukan melalui kegiatan:


    24. usaha Pemanfaatan Kawasan;

    25. usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan; atau

    26. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. (21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan, Pemanfaatan Jasa Lingkungan, atau Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pada blok pemanfaatan. (3) Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, selain dilakukan pada blok pemanfaatan dapat dilakukan pada blok inti dengan tidak merrrsak tegakan Hutan. Sl( No 099-578 A PRFSIDqN REPUP!: . IN'...NESIA -82- Pasal 129 (1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan pada Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) huruf a, meliputi:

    27. budidaya tanaman obat;

    28. budidaya tanaman hias;

    29. budidaya ^jamur;

    30. budidaya lebah;

    31. budidaya hijauan makanan ternak;

    32. budidaya buah-buahan dan biji-bijian;

    33. budidaya tanaman atsiri;

    34. budidaya tanaman nira;

    35. wana mina (siluofisheryl;

    36. wana ternak (siluopastural;

    37. tanam wana tani (agroforestryl;

  38. wana tani ternak (agrosiluopastura);

    1. penangkaran satwa liar; dan/atau

    2. rehabilitasi satwa. lr2l Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan pada Hutan Lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:

    3. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya;

    4. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;

    5. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan

    6. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. Pasal 130 (1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) huruf b, meliputi:

    7. pemanfaatan aliran air;

    8. pemanfaatan air;

    9. wisata alam;

    10. perlindungan keanekaragaman hayati;

    11. pemulihan lingkungan; dan f atau f. penyerapan danf atau penyimpanan karbon. (2) Kegiatan usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Lindung, dilakukan dengan ketentuan:

    12. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya;

    13. tidak mengubah bentang alam;

    14. tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan; dan

    15. tidak dilakukan pada blok inti dan blok khusus. Pasal 131 (1) Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) huruf c, berupa:

    16. rotan;

    17. madu;

    18. getah;

    19. buah;

    20. biji;

    21. jamur;

    22. daun;

    23. bunga;

    24. sarang burung walet; dan/atau

    25. hasil Hutan bukan kayu lainnya. (21 Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Lindung dilakukan dengan ketentuan:

    26. hasil Hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami dan/atau hasil rehabilitasi;

    27. tidak merusak lingkungan;

    28. tidak c. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya; dan

    29. memungut hasil Hutan bukan kayu sesuai ^jumlah, berat atau volume yang diizinkan.

      Pasal 132

      PemegangPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung, dilakukan dengan Multiusaha Kehutanan meliputi kegiatan:


    30. Pemanfaatan Kawasan;

    31. Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan/atau

    32. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. Pasal 133 (1) Jangka waktu kegiatan usaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung paling singkat 35 (tiga puluh lima) tahun. (21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi oleh Menteri.

      (1)

      Pasal 134 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Pembatasan terdiri atas:

    33. pembatasan luasan;

    34. pembatasanjumlahPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan; dan

    35. penataan lokasi usaha. (2) Pembatasan luasan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keadilan, pemerataan, daya dukung dan daya tampung lingkungan, kelestarian Hutan, dan kepastian usaha. (3) Pembatasan jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat diberikan paling banyak 2 (dua) Perizinan Berusaha untuk setiap Pelaku Usaha.

      (4)

      Penataan (41 Penataan lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit aspek kondisi biogeofisik dan potensi hasil Hutan. Pasal 135 (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 diberikan oleh Menteri. (21 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung diproses melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung diberikan pada areal yang telah ditetapkan oleh Menteri berupa Peta Arahan Pemanfaatan Hutan. (41 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh:

    36. Perseorangan;

    37. Koperasi;

    38. badan usaha milik negara;

    39. badan usaha milik daerah; atau

    40. badan usaha milik swasta. (5) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung diberikan apabila memenuhi persyaratan teknis dan pemenuhan komitmen berupa:

    41. penyampaiandokumenlingkungan;

    42. pembuatan berita acara koordinat geografis areal yang dimohon; dan

    43. pelunasan IPBPH. Sl( Nlo 099600 A

      Pasal 136

      Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung yang kegiatannya tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memenuhi standar upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan sesuai dengan ketentuan perundan gan -undangan. Pasal 137 (1) Pemberian Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dilakukan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pertzinan Berusaha. (21 Norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. (3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dilarang diberikan dalam:


    44. wilayah kerja badan usaha milik negara bidang Kehutanan yang telah mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan Hutan; dan

    45. areal Hutan yang telah dibebani Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.

      Pasal 138

      Setiap pemegan g Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung berhak melakukan kegiatan usaha dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya.


      Pasal 139

      Setiap pemegan g P erizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung, wajib:


    46. menyusun dokumen perencanaan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diterbitkan;

    47. melaksanakan kegiatan nyata di lapangan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diterbitkan;

    48. melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun sejak Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diterbitkan;

    49. melaksanakan Perlindungan Hutan di areal kerjanya;

    50. melakukan upaya pencegahan kebakaran Hutan di areal kerjanya;

    51. bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran Hutan di areal kerjanya;

    52. melakukan pemulihan lingkungan;

    53. menatausahakan keuangan kegiatan usahanya;

    54. mempekerjakan tenaga profesional bidang Kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan;

    55. membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    56. melakukan PUHH;

  39. menyampaikan laporan kinerja secara periodik kepada Menteri;

    1. melaksanakan kemitraan dengan Masyarakat setempat;

    2. melaksanakan kerja sama dengan Koperasi dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/atau

    3. melaksanakan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      Pasal 140

      PemegangPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung, dilarang:


    4. menebang pohon pada areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;

    5. melakukan pemanenan atau pemungutan hasil Hutan melebihi daya dukung Hutan;

    6. memindahtangankan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemberi Perizinan Berusaha;

    7. membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam;

    8. menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau

    9. meninggalkan areal kerja. Paragraf 3 Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi Pasal 141 (1) Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi dilaksanakan berdasarkan prinsip untuk mengelola Hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya. (21 Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui kegiatan:

    10. usaha Pemanfaatan Kawasan;

    11. usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan;

    12. usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kryr;

    13. usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan K.yr;

    14. Pemungutan Hasil Hutan K"y,.r; dan/atau

    15. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. Pasal 142 (1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal l4l ayat (2) huruf a, dilakukan paling sedikit meliputi kegiatan:

    16. budidaya tanaman obat;

    17. budidaya tanaman hias;

    18. budidaya ^jamur;

    19. budidaya lebah;

    20. penangkaran satwa liar;

    21. budidaya sarang burung walet;

    22. rehabilitasi satwa;

    23. budidaya hijauan makanan ternak;

    24. budidaya i. budidaya buah-buahan dan biji-bijian;

    25. budidaya tanaman atsiri;

    26. budidaya tanaman nira;

  40. budidaya serat;

    1. wana mina (siluofisheryl;

    2. wana ternak (siluopasfiral;

    3. tanam wana tani (agroforestryl;

    4. wana tani ternak (agrosiluopasfitra);

    5. budidaya tanaman penghasil biomassa atau bioenergg; dan/atau

    6. budidaya tanaman pangan dalam rangka ketahanan pangan. (21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Kawasan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan kegiatan pemanfaatan lainnya, dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi. Pasal 143 (1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) huruf b dilakukan paling sedikit meliputi:

    7. pemanfaatan ^jasa aliran air;

    8. pemanfaatan air;

    9. wisata alam;

    10. perlindungan keanekaragaman hayati;

    11. pemulihan lingkungan; dan latau f. penyerapan danf atau penyimpanan karbon. (21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan kegiatan pemanfaatan lainnya, dengan tidak merusak keseimbangan unsur lingkungan.

      Pasal 144

      Pasal 144 (1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) huruf c dilaksanakan untuk mengoptimalkan fungsi produksi dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan dan sosial, untuk tetap menjaga kelestarian Hutan. (21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi dilakukan melalui:


    12. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang tumbuh alami; dan/atau ' b. Pemanfaatan Hasil Hutan Ka)ru budidaya tanaman. (3) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan satu atau lebih Sistem Silvikultur sesuai dengan karakteristik sumber daya Hutan dan lingkungannya. (41 Sistem Silvikultur dipilih dan diterapkan dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi berdasarkan:

    13. umur tegakan; dan

    14. sistem pemanenan Hutan. (5) Sistem silvikultur dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi paling sedikit meliputi:

    15. Sistem Silvikultur tebang habis permudaan buatan;

    16. Sistem Silvikultur tebang habis permudaan alam;

    17. Sistem Silvikultur tebang pilih tanam Indonesia;

    18. Sistem Silvikultur tebang jalur tanam Indonesia;

    19. Sistem Silvikultur tebang pilih tanam jalur; dan

    20. Sistem Silvikultur tebang rumpang. (6) Penerapan Sistem Silvikultur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam pelaksanaannya dapat menggunakan teknik silvikultur intensif. sr( I'to 087427 A

      Pasal 145

      Pasal 145 (1) Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang tumbuh alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (21huruf a meliputi kegiatan:


    21. penebangan/pemanenan;

    22. pengayaan;

    23. pembibitan;

    24. penanaman;

    25. pemeliharaan;

    26. pengamanan;

    27. pengolahan; dan

    28. pemasaran. (2) Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Ka]ru budidaya tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:

    29. penyiapan lahan;

    30. pembibitan;

    31. penanaman;

    32. pemeliharaan;

    33. pengamanan;

    34. pemanenan;

    35. pengolahan; dan

    36. pemasaran. (3) Kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui inventarisasi Hutan menyeluruh berkala pada seluruh areal kerja. (4) Hasil inventarisasi Hutan menyeluruh berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijadikan dasar pen5rusunan rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan untuk ^jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan rencana pengelolaan ^jangka panjang KPH. (5) Rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (41, dievaluasi oleh pemberi Perizinan Berusaha sesuai kebutuhan.

      (6)

      Tanaman yang dihasilkan dari Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu budidaya tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan aset pemegangPerizinan Berusaha dan dapat dijadikan agunan sepanjang Perizinan Berusaha yang dipegang masih berlaku. (7) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu budidaya tanaman hasil rehabilitasi dilaksanakan melalui penjualan tegakan. Pasal 146 (U Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal l4l ayat (2) huruf d, paling sedikit berupa pemanfaatan:

    37. rotan, sagu, nipah, aren, bambu;

    38. getah, kulit ka5ru, daun, buah atau biji, gaharu;

    39. komoditas pengembangan bahan baku bahan bakar nabati (bioenerggl; dan I atau d. komoditas pengembangan tanaman pangan, yang meliputi kegiatan pengayaan/penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan/atau pemasaran. (21 Kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu untuk kegiatan pengembangan bahan baku bahan bakar nabati (bioenerg,gd sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi yang tidak produktif.

      Pasal 147

      Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal l4l ayat (2) huruf e, dilakukan untuk:


    40. memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas umum kelompok Masyarakat setempat; dan

    41. memenuhi kebutuhan individu. SK l.lo 087421 A Pasal 148 (1) Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (21huruf f hanya boleh dilakukan oleh Masyarakat di sekitar Hutan. (2) Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    42. rotan;

    43. madu;

    44. getah;

    45. buah atau biji;

    46. daun;

    47. gaharu;

    48. kulit kayu;

    49. tanaman obat;

    50. umbi-umbian; atau

    51. hasil Hutan bukan kayu lainnya. (3) Kegiatan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap tumbuhan liar dan/atau satwa liar dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

      Pasal 149

      PemegangPertzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi, dilakukan dengan Multiusaha Kehutanan meliputi kegiatan:


    52. Pemanfaatan Kawasan;

    53. Pemanfaatan Jasa Lingkungan;

    54. Pemanfaatan Hasil Hutan K"y,r;

    55. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan K.yr;

    56. Pemungutan Hasil Hutan K"yr; dan/atau

    57. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. Pasal 150 (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal I49, diberikan untuk ^jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) tahun. (21 Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi oleh Menteri. Pasal 151 (1) Pembatasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi meliputi:

    58. pembatasan luasan;

    59. pembatasan ^jumlah Perizinan Berusaha; dan

    60. penataan lokasi. (21 Pembatasan luasan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keadilan, pemerataan, daya dukung dan daya tampung lingkungan, kelestarian Hutan dan kepastian usaha. (3) Pembatasan luasan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan paling luas 50.000 Ha (lima puluh ribu hektare), kecuali untuk wilayah Papua, dapat diberikan paling luas 100.000 Ha (seratus ribu hektare). (41 Pembatasan jumlah Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan paling banyak 2 (dua) Perizinan Berusaha. (5) Penataan lokasi Penzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain aspek kondisi biogeofisik dan potensi hasil Hutan. S!( No 037419 A

      Pasal 152

      Pasal 152 (1) Setiap kegiatan Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149, wajib memiliki Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dari Menteri. (2) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi diproses melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi diberikan pada areal yang telah ditetapkan oleh Menteri berupa Peta Arahan Pemanfaatan Hutan. (4) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh:


    61. Perseorangan;

    62. Koperasi;

    63. badan usaha milik negara;

    64. badan usaha milik daerah; atau

    65. badan usaha milik swasta. (5) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diberikan apabila memenuhi persyaratan teknis dan pemenuhan komitmen berupa:

    66. penyampaian dokumen lingkungan;

    67. pembuatan berita acara koordinat geografis areal yang dimohon; dan

    68. pelunasan IPBPH. Pasal 153 (1) PemberianPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi dilakukan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha. (2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi, diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

      (3)

      Perizinan (3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang diberikan dalam:

    69. wilayah kerja badan usaha milik negara bidang Kehutanan yang telah mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan Hutan ;

    70. Kawasan Hutan yang telah dibebani Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;

    71. Kawasan Hutan yang telah diberikan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial; dan

    72. Kawasan Hutan yang telah diberikan persetujuan penggunaan Kawasan Hutan dan Pelepasan Kawasan Hutan.

      Pasal 154

      Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi yang kegiatannya mengubah bentang alam dan mempengaruhi lingkungan serta berdampak penting wajib memenuhi analisis mengenai dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 155 Setiap pemegang Perrzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya.


      Pasal 156

      Setiap pemegan g Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi, wajib:


    73. men)rusun dokumen rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan untuk 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan rencana pengelolaan Hutan jangka panjang KPH, paling lambat 1 (satu) tahun setelah Perizinan Berusaha diberikan;

    74. menyusun rencana kerja tahunan berdasarkan rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

    75. melaksanakan c. melaksanakan kegiatan nyata di lapangan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Perizinan Berusaha diterbitkan;

    76. melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 2 (dua) tahun sejak Perizinan Berusaha diberikan;

    77. melaksanakan Perlindungan Hutan di areal kerjanya;

    78. melakukan upaya pencegahan kebakaran Hutan di areal kerjanya;

    79. bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran Hutan di areal kerjanya;

    80. melakukan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan di areal kerjanya;

    81. melaksanakan penanaman paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari target yang telah ditentukan;

    82. merealisasikan produksi hasil Hutan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari target yang direncanakan;

    83. menatausahakankeuangankegiatanusahanya;

    84. mempekerjakan tenaga profesional bidang Kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan dan kompetensi;

    85. membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    86. melaksanakan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dengan Sistem Silvikultur sesuai dengan kondisi Hutan;

    87. melaksanakan pemanenan hasil Hutan kayu dengan menerapkan teknik pembalakan berdampak rendah / Reduce Impact Logging;

    88. melakukan PUHH;

    89. melakukan pengukuran atau pengujian hasil Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

    90. menyampaikan laporan kinerja secara periodik kepada Menteri; dan/atau

    91. melaksanakan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      Pasal 157

      Pasal 157 (1) Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, pemegang Perizinan Berusaha wajib melakukan kerja sama dengan Koperasi Masyarakat setempat, paling lambat 3 (tiga) tahun setelah diterimany a P erizinan Berusaha. (2) PemegangPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dalam melaksanakan kegiatan usaha Pemanfaatan Hutan wajib melakukan kemitraan dengan Masyarakat di dalam dan di sekitar Hutan. (3) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dapat bekerja sama dengan badan usaha lainnya antara lain dalam rangka menunjang ketahanan pangan (food estate) dan energi.


      Pasal 158

      Peme gan g P erizinan Berusaha Pemanfaatan H asil Hutan untuk kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang tumbuh alami, dilarang:


    92. menebang pohon yang dilindungi;

    93. menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 5% (lima persen) dari total target volume yang ditentukan dalam rencana kerja tahunan;

    94. menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 3o/o (tiga persen) dari volume per ^jenis kayu yang ditetapkan dalam rencana kerja tahunan;

    95. menebang pohon sebelum rencana kerja tahunan disahkan;

    96. menebang pohon untuk pembuatan koridor sebelum ada persetujuan atau tidak sesuai dengan persetujuan pembuatan koridor;

    97. menebang pohon di bawah batas diameter yang diizinkan;

    98. menebang pohon di luar blok tebangan yang dirzinkan;

    99. menebang pohon untuk pembuatan jalan bagi lintasan angkutan kayu di luar blok rencana kerja tahunan, kecuali dengan persetujuan dari pejabat yang berwenang; Sl( No 087415 A i. meninggalkan meninggalkan areal kerja; dan/atau memindahtangankan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemberi Perizinan Berusaha. Paragraf 4 Perpanjangan, Perubahan Luas, dan Hapusnya Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Pasal 159 (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dapat diperpanjang 1 (satu) kali. (2) Permohonan perpanjangan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan harus diajukan paling lambat 2 (dua) tahun sebelum berakhirny a Perizinan Berusaha. (3) Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang tidak mengajukan permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, pemberi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan menerbitkan keputusan hapusny a P erizinan Berusaha. Pasal 160 (1) Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas Pemanfaatan Hutan secara lestari, dilakukan perubahan luasan terhadap areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan antara lain dilaksanakan dengan mengurangi luasan areal kerja Penzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. l2l ^Pengurangan ^luasan areal ^kerja ^Perizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dalam hal terjadi paling sedikit:

    100. tumpang tindih Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;

    101. perubahan status dan/atau fungsi Kawasan Hutan yang diakibatkan adanya perubahan tata ruang; atau 1 J .Sl( No 099.599 A c. kebijakan Pemerintah, meliputi proyek strategis nasional, pemulihan ekonomi nasional, ketahanan pangan (food estate) dan kegiatan lainnya yang strategis serta Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan pada areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. (3) Pengurangan luasan terhadap areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, melalui:

    102. permohonan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;

    103. permohonan oleh gubernur; atau

    104. penetapan oleh pemberi Perizinan Berusaha. Pasal 161 (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan hapus, apabila:

    105. jangka waktu Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan telah berakhir;

    106. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dicabut oleh pemberi Perizinan Berusaha sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha atau berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; atau

    107. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diserahkan kembali oleh pemegang Perizinan Berusaha dengan pernyataan tertulis kepada pemberi Perizinan Berusaha sebelum jangka waktu Perizinan Berusaha berakhir. (2) Sebelum Pefizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan hapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu diaudit oleh pemberi Perizinan Berusaha. (3) Hapusnya Pertzinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak membebaskan kewajiban pemegang Perizinan Berusaha untuk melunasi seluruh kewajiban finansial serta memenuhi seluruh kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/ kota. Sl( Nlo 0c)9598 A (41 (s) (6) Pada saat hapusnya Perizinan ^Berusaha ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1), seluruh ^barang ^tidak ^bergerak menjadi milik negara kecuali ^aset ^berupa ^hasil ^budidaya tanaman. Aset berupa hasil budidaya ^tanaman ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(4l1, ^harus ^dimanfaatkan ^oleh pemegan g Perizinan Berusaha ^Pemanfaatan ^Hutan ^paling iam" 1 (satu) tahun sejak ^hapusnya Petuinan ^Berusaha, dan dalam hal tidak dimanfaatkan ^menjadi ^milik ^negara. Dengan hapusnya Perizinan ^Berusaha ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) ^Pemerintah ^Pusat, ^Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah ^Daerah ^kabupaten/kota tidak bertanggung ^jawab atas ^kewajiban ^pemegang Perizinan Berusaha terhadap ^pihak ^ketiga' Paragraf 5 Pengolahan dan Pemasaran ^Hasil Hutan Pasal 162 (1) Pengolahan Hasil Hutan bertujuan ^untuk:

    108. meningkatkan investasi;

    109. meningkatkan nilai ^tambah hasil ^Hutan;

    110. memanfaatkan hasil ^Hutan ^secara efisien;

    111. menciptakan laPangan ^kerja;

    112. mewujudkan Pengolahan ^Hasil Hutan ^yang ^efisien, produktif dan berdaya saing tinggi;

    113. menjamin terselenggaranya ^rantai ^pasok ^hasil Hutan legal; dan

    114. menjamin tersedianya bahan ^baku ^legal ^untuk pengolahan lanjutan. (2) Pengolahan Hasil Hutan terdiri ^atas:

    115. Pengolahan Hasil Hutan ^kaYu; ^dan b. Pengolahan Hasil Hutan ^bukan ^kayu.

      (3)

      Pengolahan (3) Pengolahan Hasil Hutan kayu dan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dapat dilakukan secara terintegrasi dalam 1 (satu) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. (4) Pengolahan Hasil Hutan dapat dibangun dan terintegrasi di dalam areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan dan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. (5) Kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan dengan ketentuan:

    116. telah memenuhi kelayakan teknis; dan

    117. terletak pada lokasi yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang. (6) Dalam rangka penguatan daya saing Pengolahan Hasil Hutan skala usaha kecil atau skala usaha menengah, Pemerintah dapat memberikan bantuan sarana Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 163 (1) Setiap usaha Pengolahan Hasil Hutan, wajib memiliki Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. (2) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan kepada:

    118. Perseorangan;

    119. Koperasi;

    120. badan usaha milik desa;

    121. badan usaha milik swasta;

    122. badan usaha milik daerah; atau

    123. badan usaha milik negara. (3) Perizinan Berusaha pengolahan kayu bulat menjadi produk kayu gergajian dengan kapasitas produksi kurang dari 2.000 m3 (dua ribu meter kubik) pertahun dan/atau Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dengan skala usaha kecil, hanya diberikan kepada: Perseorangan; Koperasi; atau badan usaha milik desa. (41 Kapasitas produksi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku legal dan/atau lestari. (5) Pertzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan skala besar dan perubahannya diterbitkan oleh Menteri, untuk kegiatan usaha:

    124. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 6.0OO m3 (enam ribu meter kubik) pertahun atau lebih;

    125. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha besar; dan

    126. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun atau lebih yang terintegrasi dengan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu skala usaha menengah atau skala usaha besar. (6) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan Skala Menengah dan perubahannya diterbitkan oleh gubernur untuk kegiatan usaha:

    127. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 2.OO0 m3 (dua ribu meter kubik) sampai dengan kurang dari 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun;

    128. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha menengah; dan a b c c pengolahan c. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi 2.OOO m3 (dua ribu meter kubik) sampai dengan kurang dari 6.000 m3 (enam ribu meter kubik) pertahun yang terintegrasi dengan Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu skala usaha kecil atau skala usaha menengah. (71 Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan skala kecil dan perubahannya diterbitkan oleh gubernur, untuk kegiatan usaha:

    129. pengolahan kayu bulat, kayu bahan baku serpih, dan/atau biomassa kayu menjadi produk-produk kayu olahan dengan kapasitas produksi kurang dari 2.000 m3 (dua ribu meter kubik) pertahun; dan

    130. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk- produk olahan hasil Hutan bukan kayu untuk skala usaha kecil. (8) Dalam hal Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan danf ata: u perubahannya berstatus penanaman modal asing, diterbitkan oleh Menteri. (9) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahtangankan atau dilakukan pemindahan hak atas saham dan dilaporkan kepada pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan untuk dilakukan penyesuaian. (10) Setiap perubahan data pokok dalam Pefizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan termasuk perluasan usaha Pengolahan Hasil Hutan, dilakukan penyesuaian melalui mekanisme addendum Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 164 (1) Pengolahan Hasil Hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (21 huruf a, meliputi seluruh kegiatan pengolahan:

    131. kayu bulat menjadi produk kayu gergajian dan ragam produk turunannya, kecuali mebel dan kerajinan; SK l,lo 037409 A b. kayu b. kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi produk serpih kayu (tuood chips)dan ragam produk turunannya, kecuali pulp dan kertas;

    132. kayu bulat menjadi produk panel kayu dan ragam produk turunannya; dan/atau

    133. kayu bulat, kayu bahan baku serpih dan/atau biomassa kayu menjadi ragam produk bioenergg. (2) Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (21 huruf b meliputi kegiatan usaha:

    134. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk olahan setengah ^jadi; dan/atau

    135. Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu menjadi produk jadi. (3) Menteri berwenang mengatur, membina, dan mengembangkan seluruh kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 165 (1) Pengaturan produk Pengolahan Hasil Hutan berupa mebel, kerajinan, pulp dan kertas merupakan tanggung jawab dan wewenang menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. (2) Dalam pelaksanaan pengaturan produk Pengolahan Hasil Hutan berupa mebel, kerajinan, pulp dan kertas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian harus memperhatikan daya dukung hasil Hutan atas usulan dan masukan dari Menteri. Pasal 166 (1) Sumber bahan baku Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan kayu dapat berasal dari:

    136. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi;

    137. Pengelolaan Perhutanan Sosial;

    138. pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan;

    139. Hutan Hak;

    140. perkebunan;

    141. impor; dan

    142. sumber sah lainnya. (21 Sumber bahan baku Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan bukan kayu dapat berasal dari:

    143. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Produksi;

    144. Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Lindung;

    145. Pengelolaan Perhutanan Sosial;

    146. pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan;

    147. Hutan Hak;

    148. Perkebunan; dan

    149. sumber sah lainnya. (3) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya dapat mengembangkan Hutan Hak atau melaksanakan kerja sama dengan pemegang Hutan Hak. (4\ Kegiatan Pengolahan Hasil Hutan selain menggunakan bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)', dapat menggunakan bahan baku setengah jadi dan/atau bahan baku penolong lainnya yang berasal dari sumber yang sah. Pasal 167 (1) Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163, dilakukan melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 168 (1) Masa berlaku Penzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan dinyatakan berakhir apabila:

    150. dikembalikan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan kepada pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sesuai kewenangannya;

    151. dibatalkan oleh pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan apabila dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan diterbitkan tidak merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau tidak melakukan kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; atau

    152. dicabut oleh pemberiPerizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagai akibat dari pengenaan Sanksi Administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Menteri dan gubernur sesuai kewenangannya melakukan pembinaan dan Pengawasan Perizinan Berrrsaha Pengolahan Hasil Hutan dan kegiatan Pengolahan Hasil Hutan. Pasal 169 (1) Setiap pemegang Pertzinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan berhak memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya dan mendapatkan pelayanan dari Pemerintah Fusat dan Pemerintah Daerah. 12) ^Hak ^sebagaimana ^dimaksud pada ayat ^(1) ^juga ^berlaku untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan, atau persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 170 (1) Pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, wajib:

    153. merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau kegiatan Pengolahan Hasil Hutan;

    154. menjalankan usahanya sesuai dengan legalitas Perrzinan Berusaha yang dimiliki;

    155. men)rusun c. men5rusun dan menyampaikan rencana kegiatan operasional setiap tahun melalui sistem rencana pemenuhan bahan baku Pengolahan Hasil Hutan;

    156. menyampaikan laporan realisasi kinerja secara periodik setiap bulan melalui sistem rencana pemenuhan bahan baku Pengolahan Hasil Hutan;

    157. melaksanakan PUHH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;

    158. memiliki jaminan legalitas bahan baku dan produk;

    159. mengajukan addendum Perizinan Berusaha apabila merencanakan penambahan jenis pengolahan dan/atau penambahan kapasitas produksi melebihi 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang diizinkan;

    160. memiliki dan/atau mempekerjakan tenaga teknis pengukuran dan pengujian hasil Hutan bersertifikat;

    161. melaksanakan pengukuran dan pengujian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    162. membayar PNBP atas jasa fasilitas pelayanan dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    163. melaporkan pemindahtanganan Perizinan Berusaha atau pemindahan hak atas saham kepada pemberi Perizinan Berusaha;

    164. melakukan penyesuaian perubahan data pokok dalam Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan apabila melakukan penambahan jenis Pengolahan Hasil Hutan, penambahan ragam produk olahan, atau melakukan perubahan data pokok Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan melalui addendum Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan;

    165. melakukan kegiatan produksi, memiliki sarana dan prasarana kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; dan

    166. mematuhi dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (2)

      Kewajiban (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diberlakukan untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan, atau Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 171 (1) Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1), pemegang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan, dilarang:

    167. memperluas usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa addendum P erizinan Berusaha ;

    168. memindahkan lokasi usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa addendum Perizinan Berusaha;

    169. melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan;

    170. menadah, menampung, atau mengolah bahan baku hasil Hutan yang berasal dari sumber bahan baku yang tidak sa}l (ilegal); atau

    171. melakukan kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. (21 Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga berlaku untuk kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan usaha Pemanfaatan Hutan atau Pengelolaan Perhutanan Sosial. Pasal 172 (1) Semua hasil Hutan yang diproduksi, diedarkan, diolah, dan dipasarkan, harus berasal dari sumber bahan baku yang legal dan/atau lestari. (21 Untuk memastikan hasil Hutan berasal dari sumber yang legal dan/atau lestari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan kegiatan penjaminan legalitas hasil Hutan. (3) Penjaminan legalitas hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    172. penilaian kinerja pengelolaan Hutan Lestari;

    173. verifikasi legalitas hasil Hutan; dan

    174. deklarasi hasil Hutan secara mandiri. (41 Pengendalian penjaminan legalitas produk hasil Hutan diselenggarakan melalui sistem informasi pada Kementerian. Pasal 173 (1) Produk hasil Hutan dapat dipasarkan untuk tujuan dalam negeri dan tujuan luar negeri. (21 Produk ekspor atau produk impor hasil Hutan, harus dilengkapi dengan dokumen penjaminan legalitas produk hasil Hutan. (3) Dalam hal pelaku ekspor berasal dari Pelaku Usaha mikro, kecil, atau menengah, maka persyaratan dokumen penjaminan legalitas produk hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi oleh Pemerintah Pusat. (4) Pemerintah Pusat dapat melakukan kerja sama internasional untuk memperkuat sistem penjaminan legalitas produk hasil Hutan. Pasal 174 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya, berwenang mengatur, membina, dan mengembangkan pemasaran hasil Hutan. (21 Kewenangan pengaturan ekspor dan/atau impor hasil Hutan diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan atas usulan Menteri. (3) Usulan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan hasil kajian kebutuhan ekspor dan/atau impor hasil Hutan. Paragraf 6 Penatausahaan Hasil Hutan Pasal 175 (1) Dalam rangka melindungi hak negara atas hasil Hutan, menjamin legalitas dan tertib peredaran hasil Hutan serta kelestarian Hutan, dilakukan pengendalian dan pemasaran hasil Hutan melalui PUHH. (21 Setiap Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, Pengolahan Hasil Hutan dan perizinan lainnya yang terkait dengan peredaran hasil Hutan wajib melaksanakan PUHH dengan sellassessment melalui Sistem Informasi PUHH. (3) PUHH sebagaimana dimaksud pada ayat (21, dapat terintegrasi dengan sistem informasi pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, dan latau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. (4) PUHH yang berasal dari kegiatan Pengelolaan Perhutanan Sosial, dilakukan pengukuran dan pengujian oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan atau pendamping dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Semua hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara, dilakukan pengukuran dan pengujian meliputi volume/berat, penghitungan jumlah dan penetapan ^jenis oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan sebagai dasar pengenaan PNBP atas Pemanfaatan Hutan. (6) Terhadap fisik hasil Hutan berupa kayu bulat yang telah dilakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan penandaan berupa pemasangan ID quick response code. Pasal 176 Semua hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak, dilakukan penetapan jenis, pengukuran volumef berat, dan penghitungan jumlah serta dilengkapi dengan surat keterangan asal usul hasil Hutan Hak. Pasal 177 (1) Setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara, wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen. (21 Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) merupakan surat keterangan sahnya hasil Hutan ^yang berlaku dan dipergunakan untuk mengangkut hasil Hutan di dalam wilayah Republik Indonesia. Pasal 178 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 harus sesuai dengan fisik hasil Hutan yang diangkut. (21 Kesesuaian fisik hasil Hutan sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) mempertimbangkan hasil pengukuran ^dan pengujian oleh tenaga teknis di bidang pengelolaan Hutan. (3) Pengukuran dan pengujian sebagaimana dimaksud ^pada ayat (21 dilakukan sesuai dengan Standar ^Nasional Indonesia. Paragraf 7 Penerimaan Negara Bukan Pajak Pemanfaatan Hutan Pasal 179 (1) PNBP atas Pemanfaatan Hutan berupa:

    175. IPBPH;

    176. PSDH;

    177. DR;

    178. dana hasil usaha penjualan tegakan ^yang berasal dari Hutan tanaman hasil rehabilitasi;

    179. penerimaan dari denda pelanggaran; dan

    180. penerimaan dari pelayanan dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan.

      (2)

      Instansi Pengelola PNBP menghitung sendiri menatausahakan PNBP. dan PNBP yang wajib Wajib Bayar terutang Pasal 180 Seluruh penatausahaan PNBP dilakukan secara self assessment melalui Sistem Informasi PNBP bidang Kehutanan. Pasal 181 (1) IPBPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (ll huruf a dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan berdasarkan pada ^jangka waktu, luas areal, dan tarif yang diberikan dalam Perizinan Berusaha. (2) Penentuan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan kondisi tutupan lahan. (3) IPBPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut sekali sebelum Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan diberikan. Pasal 182 (1) PSDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf b dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil Hutan dan/atau hasil usaha yang dipungut dari Hutan Negara. (21 Pemungutan PSDH atas hasil Hutan kayu tumbuh alami dan pemungutan PSDH atas hasil Hutan kayu budidaya tanaman didasarkan pada laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan kayu. (3) Pemungutan PSDH atas hasil Hutan bukan kayu yang berasal dari hasil Hutan bukan kayu tumbuh alami atau hasil Hutan bukan kayu budidaya tanaman didasarkan pada laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan bukan kayu. (4) Pemungutan PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (21 tidak berlaku bagi:

    181. hasil Hutan yang berasal dari Hutan Adat yang dimanfaatkan oleh MHA dan tidak diperdagangkan;

    182. hasil b. hasil Hutan kayu yang langsung dipakai sendiri oleh penduduk setempat atau Masyarakat sekitar Hutan dan tidak diperdagangkan; atau

    183. hasil Hutan kayu budidaya yang berasal dari Hutan Hak. Pasal 183 (1) DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf c dikenakan atas Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu tumbuh alami berdasarkan laporan hasil produksi atau atas lelang hasil Hutan kayu alam atau hasil rehabilitasi. (21 Pengenaan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi:

    184. hasil Hutan kayu yang berasa-l dari budidaya tanaman;

    185. hasil Hutan kayu yang berasal dari Hutan Adat yang dimanfaatkan oleh MHA dan tidak diperdagangkan;

    186. hasil Hutan kayu yang langsung dipakai sendiri oleh penduduk setempat atau Masyarakat sekitar Hutan dan tidak diperdagangkan; atau

    187. hasil Hutan kayu budidaya yang berasal dari Hutan Hak. (3) DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan. (4) Tata cara pelaksanaan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 184 Perencanaan DR terdiri atas:

    188. rencana penerimaan; dan

    189. rencana penggunaan. Pasal 185 (1) Penyusunan rencana penerimaan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 huruf a, organisasi perangkat daerah provinsi penghasil melakukan inventarisasi dan kompilasi rencana produksi hasil Hutan kayu yang dikenakan DR dan disampaikan kepada Menteri. (2) Berdasarkan laporan organisasi perangkat daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri melakukan verifikasi. (3) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Menteri men5rusun rencana penerimaan negara yang bersumber dari DR untuk disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Pasal 186 Rencana penggunaan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 huruf b, dituangkan dalam bentuk perencanaan rehabilitasi Hutan dan lahan. Pasal 187 (1) Perencanaan rehabilitasi Hutan dan lahan terdiri atas:

    190. rencana umum rehabilitasi Hutan dan lahan DAS; dan

    191. rencana tahunan rehabilitasi Hutan dan lahan. (2) Rencana umum rehabilitasi Hutan dan lahan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dan ditetapkan oleh Menteri dalam ^jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Pasal 188 (1) Rencana tahunan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (1) huruf b terdiri atas:

    192. rencana tahunan rehabilitasi Hutan; dan

    193. rencana b. rencana tahunan rehabilitasi lahan. (2) Rencana tahunan rehabilitasi Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun oleh:

    194. Menteri, pada Kawasan Hutan yang tidak dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;

    195. gubernur dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya pada taman Hutan raya; atau

    196. pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Kawasan Hutan yang telah dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. (3) Rencana tahunan rehabilitasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun oleh gubernur. Pasal 189 Pen5rusunan rencana rehabilitasi Hutan dan lahan, dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai rehabilitasi Hutan dan lahan. Pasal 190 (1) DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dikenakan sebesar tarif yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah mengenai ^jenis dan tarif atas ^jenis PNBPyang berlaku pada kementerian teknis. (2) Pengenaan DR terhadap pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dilakukan berdasarkan laporan hasil produksi. (3) Pengenaan DR terhadap pemenang lelang hasil Hutan kayu alam didasarkan pada berita acara hasil lelang. Pasal 191 (1) DR wajib disetor ke kas negara.

      (2)

      wajib (2) Wajib Bayar DR menyetorkan DR melalui sistem informasi PNBP yang telah terintegrasi dengan sistem penerimaan negara.

      (1)

      PNBP berupa: Pasal 192

    197. sisa DR setiap tahun yang diperoleh dari realisasi setoran/penerimaan DR yang sudah mendapat persetujuan penggunaan untuk bagian Pemerintah Pusat setelah dikurangi realisasi penggunaan oleh kementerian teknis;

    198. penerimaan pembayaran kembali pinjaman/kredit beserta bunganya dari para debitur dan denda yang tidak dikelola oleh instansi yang menangani pembiayaan pembangunan Hutan;

    199. penerimaan hasil divestasi, deviden, dan pungutan dari kayu sitaan;

    200. pengembalian DR yang berada di pihak ketiga; dan

    201. bunga dan/atau ^jasa giro yang berasal dari rekening pembangunan Hutan, disetor ke kas negara. (2) Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e digunakan untuk kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan. Pasal 193 (1) DR dibagi dengan imbangan:

    202. 60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah Pusat; dan

    203. 4Oo/o (empat puluh persen) bagian Pemerintah Daerah provinsi penghasil. (2) DR bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dialokasikan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara Kementerian. (3) Penggunaan DR bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diutamakan untuk rehabilitasi Hutan dan lahan di luar daerah provinsi penghasil DR.

      (4)

      DR bagian Pemerintah Daerah ^provinsi ^penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf ^b dialokasikan melalui Dana Bagi ^Hasil Dana ^Reboisasi.

      (5)

      DR bagian Pemerintah Daerah ^provinsi ^penghasil sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) huruf ^b ^disalurkan dengan cara pemindahbukuan ^dari ^rekening kas umum negara ke rekening kas umum ^daerah ^sesuai ^dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan.

      (6)

      DR bagian Pemerintah Daerah ^provinsi ^penghasil sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(5) ^diutamakan digunakan untuk kegiatan rehabilitasi ^di ^wilayah penghasil DR di provinsi tersebut. Pasal 194 Ketentuan lebih lanjut mengenai ^tata ^cara pengalokasian ^dan mekanisme penyaluran Dana Bagi ^Hasil ^DR ^diatur ^dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan ^urusan pemerintahan di bidang keuangan. Pasal 195 DR digunakan oleh Pemerintah ^Pusat ^dan ^Pemerintah Daerah provinsi untuk membiayai ^kegiatan:

    204. rehabilitasi Hutan dan lahan; ^dan b. pendukung rehabilitasi ^Hutan ^dan lahan. Pasal 196 (1) Kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 huruf a ^untuk ^Pemerintah Pusat diselenggarakan melalui ^kegiatan:

    205. reboisasi;

    206. penghijauan;

    207. pemeliharaan Hutan;

    208. pengayaan tanaman;

    209. penerapan teknis konservasi tanah ^secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan ^tidak produktif;

    210. Perhutanan Sosial;

    211. pencegahan g. pencegahan dan penanggulangan kebakaran Hutan dan lahan; dan/atau

    212. pemulihan ekosistem gambut dan mangrove. (2) Kegiatan pendukung rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 huruf b untuk Pemerintah Pusat diselenggarakan melalui kegiatan:

    213. prakondisi;

    214. pengembangan perbenihan;

    215. pengembangan teknologi;

    216. pengamanan Hutan dan perlindungan tanaman;

    217. pengembangan kelembagaan; dan latau f. Penataan Kawasan Hutan. Pasal 197 (i) Kegiatan rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 huruf a untuk Pemerintah Daerah provinsi meliputi:

    218. pembangunan Hutan Hak;

    219. penghijauan lingkungan;

    220. pembangunan Hutan kota;

    221. rehabilitasi Hutan dan lahan yang menjadi kewenangannya;

    222. rehabilitasi Hutan dan lahan oleh Masyarakat; dan

    223. rehabilitasi lahan dan taman Hutan raya yang terdiri atas:

  41. penghijauan;

  42. reboisasi;

  43. pemeliharaan tanaman;

  44. pengayaan tanaman;

  45. penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis;

  46. penanaman pohon kanan kiri sungai; dan

  47. pengendalian kebakaran Hutan dan lahan. Sl( No 099-596 A (2) Kegiatan PFTES IDEN REPUBLIK INDONESIA -t20- (2) Kegiatan pendukung rehabilitasi Hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 huruf b untuk Pemerintah Daerah provinsi meliputi:

    1. prakondisi;

    2. pengembangan perbenihan;

    3. pengembangan teknologi;

    4. pencegahan dan penanggulangan kebakaran Hutan dan lahan;

    5. pengamanan Hutan dan perlindungan tanaman;

    6. pengembangan kelembagaan; dan

    7. pemulihan ekosistem gambut dan mangrove. Pasal 198 (1) Menteri menyelenggarakan pembinaan dan Pengawasan atas perencanaan, pengenaan, pembayaran, penggunaan, dan pertanggungjawaban DR. (2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan atas operasionalisasi pengenaan, pembayaran, dan penggunaan DR. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan terhadap perencanaan, pengenaan, pembayaran, penggunaan, dan pertanggungjawaban DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri setelah mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan atas operasionalisasi pengenaan, pembayaran, dan penggunaan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai dengan kewenangannya.

      Pasal 199

      Pasal 199 Dana hasil penjualan tegakan yang berasal dari Hutan tanaman hasil rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf d dipungut dari hasil Pemanfaatan Hutan tanaman hasil rehabilitasi. Pasal 200 Denda Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf e dikenakan terhadap Wajib Bayar yang melakukan pelanggaran atas kewajiban dan larangan dalam Pemanfaatan Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 2O1 Pengenaan PNBP atas Pelayanan dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas produk hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1) huruf ^j dikenakan kepada:


    8. pengguna layanan dokumen angkutan hasil Hutan; atau

    9. pengguna dokumen legalitas produk hasil Hutan melalui penerbit dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan. Pasal 2O2 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Hutan, pen5rusunan rencana pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi, Pengolahan Hasil Hutan, PUHH, dan PNBP Pemanfaatan Hutan diatur dalam Peraturan Menteri. BAB VI BAB VI PENGELOLAAN PERHUTANAN SOSIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 203 Pemanfaatan Hutan melalui pengelolaan Perhutanan Sosia-l di dalam Kawasan Hutan Negara dan Hutan Adat dilaksanakan untuk mewujudkan kelestarian Hutan, kesejahteraan Masyarakat, keseimbangan lingkungan, dan menampung dinamika sosial budaya, diperlukan pemberian persetujuan, pengakuan, dan peningkatan kapasitas kepada Masyarakat. Pasal 204 (1) Pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O3, terdiri atas:

    10. Hutan Desa;

    11. Hutan Kemasyarakatan;

    12. HTR;

    13. Hutan Adat; dan

    14. kemitraan Kehutanan. (21 Kemitraan Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e di Hutan Konservasi, diberikan dalam bentuk kemitraan konservasi. (3) Pada Hutan Lindung dapat diberikan persetujuan sebagai Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan/atau kemitraan Kehutanan. (4) Pada Hutan Produksi dapat diberikan persetujuan sebagai Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, HTR, dan/atau kemitraan Kehutanan. (5) Arahan areal pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c ditetapkan oleh Menteri dalam bentuk PIAPS. Pasal 205 Pengelolaan Hutan ^yang dilakukan ^atas ^inisiatif ^Masyarakat yang sudah berjalan dapat diproses menjadi ^pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal 204. Pasal 206 (1) Kegiatan pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 meliPuti: (21 a. penataan areal dan penyusunan ^rencana;

    15. pengembangan usaha;

    16. penanganan konflik tenurial;

    17. pendampingan; dan

    18. kemitraan lingkungan. Penataan areal dan penyusunan rencana ^sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, meliputi:

    19. penandaaan batas, ^penataan blok/petak, ^penataan batas areal garapan per kepala keluarga ^dan pemetaan; dan

    20. pen5rusunan rencana ^jangka panjang ^10 ^(sepuluh) tahun dan rencana tahunan. Pengembangan usaha sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat (1) huruf b, terhadap Pemanfaatan Hutan ^pada pengelolaan Perhutanan Sosial, meliputi:

    21. Pemanfaatan Kawasan;

    22. Pemanfaatan Jasa Lingkungan;

    23. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ^dan/atau Pemungutan Hasil Hutan KaYu; dan

    24. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu ^dan/atau Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. Pengembangan usaha pengelolaan Perhutanan ^Sosial dapat dilakukan secara mandiri oleh ^pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dan/atau bekerja sama dengan para ^pihak.

      (3)

      (41 (5) Bentuk Pemanfaatan Kawasan, Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan/atau Pemungutan Hasil Hutan Ka5ru, dan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dan/atau Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan dengan pola tanam:

    25. wana tani (agroforestryl;

    26. wana mina (siluofishery);

    27. wana ternak (siluopasfitre); dan

    28. wana tani ternak (agrosiluopasture). (6) Pemanfaatan areal pengelolaan Perhutanan Sosial didasarkan kondisi dan potensi Hutan sesuai fungsi konservasi, lindung, dan produksi. (7) Peningkatan pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh Kementerian atau kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan para pihak sesuai perencanaan pengelolaan Perhutanan Sosial dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 2O7 (1) Peningkatan pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (7) dapat berupa:

    29. fasilitasi;

    30. pengembangan kelembagaan;

    31. bimbingan teknis; dan

    32. pendidikan dan pelatihan. (21 Menteri melakukan pembinaan, pengendalian, dan Pengawasan pengelolaan Perhutanan Sosial. (3) Dalam melakukan Pengawasan pengelolaan Perhutanan Sosial, Menteri dapat mendelegasikan kepada Pemerintah Daerah. Sl( No 099-59-5 A

      Pasal 208

      Pasal 208 (1) Persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial yang berada pada areal Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus dapat dilakukan melalui Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan HTR. (2) Persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial yang berada di areal badan usaha milik negara bidang Kehutanan dilakukan melalui kemitraan Kehutanan. (3) Ketentuan mengenai pengelolaan aset tanaman dan aset lainnya pada areal Kawasan Hutan dengan pengelolaan khusus dan pada areal badan usaha milik negara bidang Kehutanan melalui kemitraan Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 2O9 Pengelolaan Perhutanan Sosial dapat diberikan kepada:


    33. Perseorangan;

    34. kelompok tani Hutan; dan

    35. Koperasi. Pasal 210 (1) Akses legal berupa persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dalam Kawasan Hutan diberikan oleh Menteri. (21 Jangka waktu pengelolaan Perhutanan Sosial selain Hutan Adat diberikan paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial bukan merupakan hak kepemilikan atas Kawasan Hutan. Pasal 21 1 (1) Pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial diberikan insentif atas kegiatan pemulihan lingkungan. (21 Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 2L2 (1) Pemegang persetujuan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan HTR, wajib:

    36. melaksanakan pengelolaan Hutan sesuai dengan prinsip pengelolaan Hutan lestari yang dituangkan dalam peraturan desa;

    37. menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran lingkungan;

    38. memberi tanda batas areal kerjanya;

    39. menyusun rencana pengelolaan Hutan, rencana kerja usaha, dan rencana kerja tahunan, serta menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada pemberi persetujuan pengelolaan Hutan Desa;

    40. melakukan penanaman dan pemeliharaan Hutan di areal kerjanya;

    41. melaksanakan penatausahan hasil Hutan;

    42. membayar PNBP dari hasil kegiatan pengelolaan Perhutanan Sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undan gan ; dan

    43. melaksanakan Perlindungan Hutan. (21 Pemegang persetujuan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan HTR, dilarang:

    44. memindahtangankan persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;

    45. menanam kelapa sawit pada areal persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;

    46. mengagunkan areal persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;

    47. menebang pohon pada areal persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dengan fungsi Hutan Lindung;

    48. menggunakan peralatan mekanis pada areal persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dengan fungsi Hutan Lindung;

    49. membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam pada areal persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dengan fungsi Hutan Lindung;

    50. menyewakan .

    51. menyewakan areal persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial; dan/atau

    52. menggunakan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial untuk kepentingan lain. Pasal 213 (1) Pemilik kebun rakyat yang berada di Kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, dapat mengajukan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dalam jangka waktu tertentu yang selanjutnya dilakukan penanaman pohon dalam rangka ^jangka benah. (21 Pemanfaatan kebun ralgrat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:

    53. kemitraan Kehutanan atau kemitraan konservasi;

    54. Hutan Desa; dan/atau

    55. Hutan Kemasyarakatan. Bagian Kedua Hutan Desa Pasal 214 Hutan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ayat (71 huruf a, dapat dilaksanakan dalam kawasan:

    56. Hutan Lindung; dan

    57. Hutan Produksi. Pasal 215 (1) Legalitas pengelolaan Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Desa diberikan dalam bentuk persetujuan pengelolaan Hutan Desa kepada lembaga desa oleh Menteri.

      (2)

      Pemanfaatan (2) Pemanfaatan Hutan Desa yang berada pada:

    58. Hutan Lindung, meliputi kegiatan:

  48. PemanfaatanKawasan;

  49. Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan

  50. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. b. Hutan Produksi, meliputi kegiatan:

  51. Pemanfaatan Kawasan;

  52. Pemanfaatan Jasa Lingkungan;

  53. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu; dan

  54. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu. Pasal 216 Persetujuan pengelolaan Hutan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (1) diberikan selama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang. Pasal 217 (1) Menteri memberikan persetujuan pengelolaan Hutan Desa dengan tembusan kepada gubernur atau bupati/wali kota dan Kepala KPH. (2) Dalam keadaan tertentu, pemberian persetujuan pengelolaan Hutan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan oleh Menteri kepada gubernur. (3) Lembaga desa sebagai pemegang persetujuan pengelolaan Hutan Desa, wajib melaksanakan pengelolaan Hutan sesuai dengan prinsip pengelolaan Hutan lestari yang dituangkan dalam peraturan desa. (41 Lembaga desa bersama Kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk, men5rusun rencana pengelolaan Hutan Desa sebagai bagian dari rencana pengelolaan Hutan. Pasal 218 (1) Persetujuan pengelolaan Hutan Desa bukan merupakan hak kepemilikan atas Kawasan Hutan. (2) Kawasan Hutan yang ditetapkan sebagai Hutan Desa wajib dikelola berdasarkan prinsip pengelolaan Hutan lestari. Pasal 2 19 Setiap pemanfaatan hasil Hutan pada persetujuan pengelolaan Hutan Desa dikenakan PSDH dan/atau DR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Hutan Kemasyarakatan Pasal 220 Pengelolaan Perhutanan Sosial dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ayat (1) huruf b dapat dilaksanakan dalam kawasan:

    1. Hutan Lindung; dan/atau

    2. Hutan Produksi. Pasal 221 (1) Legalitas pengelolaan Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan diberikan dalam bentuk Persetujuan Hutan Kemasyarakatan oleh Menteri. (21 Persetujuan Hutan Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada pada:

    3. Hutan Lindung meliputi kegiatan:

  55. Pemanfaatan Kawasan;

  56. Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan

  57. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. b. Hutan Produksi meliputi kegiatan:

  58. Pemanfaatan Kawasan;

  59. Pemanfaatan Jasa Lingkungan;

  60. Pemanfaatan 3. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu; dan

  61. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu. Pasal 222 (1) Menteri memberikan persetujuan Hutan Kemasyarakatan pada areal kerja Hutan Kemasyarakatan, dengan tembusan kepada gubernur, bupati/wali kota, dan Kepala KPH. 12) ^Dalam ^keadaan ^tertentu ^pemberian ^persetujuan ^Hutan Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat dilimpahkan oleh Menteri kepada gubernur. (3) Persetujuan Hutan Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada:

    1. Perorangan;

    2. kelompok tani; atau

    3. Koperasi. (4) Pemegang persetujuan Hutan Kemasyarakatan selain melaksanakan kegiatan Pemanfaatan Hutan wajib melaksanakan pengelolaan Hutan sesuai dengan prinsip pengelolaan Hutan lestari. Pasal 223 Persetujuan Hutan Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (1) diberikan paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang. Pasal 224 (1) Persetujuan Hutan Kemasyarakatan bukan merupakan hak kepemilikan atas Kawasan Hutan. (2) Kawasan Hutan yang ditetapkan untuk Hutan Kemasyarakatan harus dikelola berdasarkan prinsip pengelolaan Hutan lestari. Sl( No 099(r 13 A Pasal 225 Setiap pemegang persetujuan Hutan Kemasyarakatan dikenakan PSDH dan/atau DR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Hutan Tanaman Rallyat Pasal 226 Persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial dalam bentuk HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ayat (1) huruf c dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam:

    4. memberikan akses legal;

    5. meningkatkan produktivitas Hutan Produksi;

    6. meningkatan kapasitas Masyarakat dalam pengelolaan Hutan;

    7. menyelesaikan permasalahan tenurial dan pemulihan ekosistem; dan

    8. menyelesaikanpengentasankemiskinan. Pasal 227 HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 bertujuan untuk mendorong Masyarakat memiliki kemampuan secara mandiri dalam pengelolaan Hutan, meningkatkan kesejahteraan Masyarakat, dan mendukung ketersediaan bahan baku Industri Pengolahan Hasil Hutan, bahan pangan, buah- buahan, dan ternak. Pasal 228 (1) Areal HTR yang berada pada Kawasan Hutan Produksi Tetap diprioritaskan pada Kawasan Hutan Produksi yang tidak produktif dan belum dibebani Perizinan Berusaha atau pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan. (21 Areal HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicadangkan oleh Menteri melalui penetapan peta arahan Pemanfaatan Hutan yang tidak dibebani Perizinan Berusaha dan/atau berdasarkan PIAPS. Pasal 229 (1) Legalitas pengelolaan Perhutanan Sosial dengan skema HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 diberikan dalam bentuk Persetujuan HTR oleh Menteri. (2) Persetujuan HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

    9. kelompok tani Hutan;

    10. gabungan kelompok tani Hutan;

    11. Koperasi tani Hutan;

    12. kelompok usaha Perhutanan Sosial; atau

    13. profesional Kehutanan atau Perseorangan yang memperoleh pendidikan Kehutanan atau bidang ilmu lainnya yang pernah sebagai pendamping atau penyuluh di bidang Kehutanan, dengan membentuk kelompok atau Koperasi bersama Masyarakat setempat. (3) Pemohon persetujuan HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipersyaratkan memiliki jaminan penyediaan modal dari lembaga keuangan. Pasal 230 (1) Persetujuan HTR bukan merupakan hak kepemilikan atas Kawasan Hutan. (21 Kawasan Hutan yang ditetapkan sebagai HTR wajib dikelola berdasarkan prinsip pengelolaan Hutan lestari. Pasal 23 I (1) Pengelolaan Perhutanan Sosial dalam bentuk HTR dilakukan dengan menerapkan Sistem Silvikultur melalui kegiatan Multiusaha Kehutanan berupa:

    14. Pemanfaatan Kawasan;

    15. Pemanfaatan Jasa Lingkungan;

    16. Pemanfaatan Hasil Hutan Kryr;

    17. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan K"yu;

    18. Pemungutan Hasil Hutan Kayu; dan

    19. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (21 Kegiatan Multiusaha Kehutanan dalam pengelolaan HTR dituangkan dalam rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan dan rencana kerja tahunan. (3) Penilaian dan persetujuan rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. (4) Penilaian dan persetujuan rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Menteri atau dapat dilimpahkan kepada gubernur atau pejabat yang ditunjuk oleh gubernur. Pasal 232 Persetujuan HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) diberikan selama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang. Bagian Kelima Hutan Adat Pasal 233 (1) Hutan Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ayat (1) huruf d, dapat berasal dari:

    20. Hutan Negara; dan/atau

    21. bukan Hutan Negara. (21 Hutan Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi pokok:

    22. konservasi;

    23. lindung; dan/atau

    24. produksi. (3) Hutan Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh MHA. Sl( No 099-593 A

      Pasal 234

      Pasal 234 (1) Pengukuhan keberadaan MHA dalam Kawasan Hutan Negara ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (2) Pengukuhan keberadaan MHA di luar Kawasan Hutan Negara ditetapkan dengan Peraturan Daerah atau keputusan gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya. (3) Pengukuhan keberadaan MHA dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a- Peraturan Daerah yang memuat substansi pengaturan tata cara pengakuan MHA; atau


    25. Peraturan Daerah yang memuat substansi penetapan pengukuhan, pengakuan, dan pelindungan MHA. (4) Dalam hal Peraturan Daerah hanya memuat substansi pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, pengukuhan keberadaan MHA ditetapkan dengan keputusan gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya. (5) Pemerintah dapat memfasilitasi pendanaan dan pendampingan dalam rangka pengukuhan keberadaan MHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 235 Pengukuhan keberadaan MHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 dilakukan dengan kriteria:

    26. MHA masih dalam bentuk paguyuban;

    27. terdapat kelembagaan pengelola dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

    28. terdapat batas wilayah Hukum Adat yang jelas;

    29. terdapat pranata dan perangkat hukum, khususnya sanksi adat yang masih ditaati; dan

    30. masih mengadakan pemungutan hasil Hutan di wilayah Hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pasal 236 . Pasal 236 Penetapan status Hutan Adat dilakukan dengan kriteria a. berada di dalam wilayah MHA;

    31. merupakan areal berhutan dengan batas yang jelas dan dikelola sesuai Kearifan Lokal MHA yang bersangkutan;

    32. berasal dari Kawasan Hutan Negara atau di luar Kawasan Hutan Negara; dan

    33. masih ada kegiatan pemungutan hasil Hutan oleh MHA di wilayah Hutan di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pasal 237 (1) Wilayah MHA yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 234 dan telah memenuhi kriteria dalam Pasal 235 dan Pasal 236 dikeluarkan dari Hutan Negara. (2) Wilayah MHA yang telah dikeluarkan dari Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kriteria berhutan ditetapkan statusnya sebagai Hutan Adat. (3) Wilayah MHA yang telah dikeluarkan dari Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta penetapan status Hutan Adat sesuai dengan kondisi penutupan dan penggunaan lahannya. Pasal 238 (1) Penetapan status Hutan Adat dilakukan melalui permohonan kepada Menteri oleh pemangku adat. (2) Terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan dalam Pasal 234, Menteri membentuk tim terpadu untuk melakukan verifikasi lapangan dengan merujuk kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 dan Pasal 236. Pasal 239 (1) Dalam hal permohonan penetapan status Hutan Adat yang berada pada Hutan Negara dan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234, tetapi telah mendapat penetapan Wilayah Adat dengan keputusan bupati lwali kota, Menteri melakukan proses penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat.

      (2)

      Dalam rangka penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membentuk tim terpadu untuk melakukan verif,rkasi lapangan dengan merujuk kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 dan Pasal 236. (3) Hasil verifikasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (21menjadi pertimbangan Menteri dalam menerbitkan keputusan penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat. (41 Wilayah Indikatif Hutan Adat ditetapkan statusnya menjadi Hutan Adat setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234. (5) Kegiatan pemegang Perizinan Berusaha atau pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang berada dalam Wilayah Indikatif Hutan Adat disesuaikan dengan Kearifan Lokal dan dikoordinasikan dengan pemangku adat yang bersangkutan. (6) Dalam hal Wilayah Indikatif Hutan Adat berada pada areal yang tidak dibebani Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan atau persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, maka pada wilayah tersebut tidak diterbitkan Perizinan Berusaha atau persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. Pasal 24O Hutan Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal dinyatakan tetap berlaku selama kelembagaan MHA mengelola masih ada. 237 yang Pasal 241 (1) Perubahan Fungsi Hutan yang telah ditetapkan statusnya sebagai Hutan Adat harus mendapat persetujuan Menteri. (21 Hutan Adat yang telah ditetapkan statusnya diintegrasikan dalam peta Kawasan Hutan dan peta rencana tata ruang wilayah. Pasal 242 Pemanfaatan dan/atau Pemungutan Hasil Hutan Kayu dilakukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup ^sehari- hari dan sesuai dengan Kearifan Lokal MHA ^yang bersangkutan. Pasal 243 (1) Pemegang persetujuan Hutan Adat, wajib:

    34. menjalankan prinsip pengelolaan Hutan ^lestari;

    35. memanfaatkan Hutan Adat sesuai dengan ^kearifan lokalnya;

    36. mempertahankan fungsi Hutan Adat;

    37. memanfaatkan Hutan Adat sesuai fungsinya;

    38. memulihkan dan meningkatkan fungsi Hutan; dan

    39. melakukan pengamanan dan pelindungan terhadap Hutan Adat, antara lain pelindungan dari kebakaran Hutan dan lahan. (21 Pemegang persetujuan Hutan Adat, dilarang:

    40. menyewakan areal Hutan Adat;

    41. mengubah status dan fungsi Hutan Adat;

    42. menebang pohon pada areal Hutan Adat ^dengan fungsi Hutan Lindung;

    43. menggunakan peralatan mekanis ^pada ^areal ^Hutan Adat dengan fungsi Hutan Lindung;

    44. membangun sarana dan ^prasarana yang mengubah bentang alam pada areal Hutan Adat dengan fungsi Hutan Lindung; dan

    45. menanam kelapa sawit pada areal Hutan Adat. Bagian Keenam Kemitraan Kehutanan Pasal 244 (1) Pengelolaan Perhutanan Sosial dalam bentuk kemitraan Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ^ayat (1) huruf e, diberikan pada Kawasan Hutan yang telah dibebani pengelolaan oleh badan usaha milik ^negara bidang Kehutanan atau Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.

      (2)

      Kemitraan (21 Kemitraan Kehutanan sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat (1) dilakukan berdasarkan kesepakatan antara ^pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau pemegang Perizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan dengan Masyarakat setempat. (3) Kemitraan Kehutanan sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat (1) diberikan untuk ^jangka waktu yang disesuaikan dengan masa berlakunya Peizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan. (4) Kemitraan Kehutanan tidak mengubah kewenangan ^dari pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan atau ^pemegang ^Perizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan kepada Masyarakat setempat. Bagian Ketujuh Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasal 245 (1) Dalam rangka percepatan Perhutanan Sosial ^untuk kesejahteraan dan kelestarian Hutan ^perlu ^disusun perencanaan terpadu percepatan persetujuan distribusi akses legal, pendampingan, dan ^pengembangan usaha Perhutanan Sosial. (2) Perencanaan terpadu sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Kedelapan Pembiayaan Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasal 246 (1) Pembiayaan pengelolaan Perhutanan Sosial ^bersumber dari:

    46. anggaran pendapatan dan belanja ^negara;

    47. anggaran pendapatan dan belanja daerah; ^dan/atau c. sumber dana lain yang sah dan tidak ^mengikat. (21 Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah ^provinsi, Pemerintah Daerah kabupatenfkota, dan ^para ^pihak dapat memberikan insentif kepada ^pihak ^yang ^dapat memulihkan, mempertahankan, danf atau ^melestarikan Hutan di dalam dan di luar Kawasan Hutan. Pasal 247 Ketentuan lebih lanjut mengenai ^pengelolaan ^Perhutanan Sosial diatur dalam Peraturan Menteri. BAB VII PERLINDUNGAN HUTAN Pasal 248 (1) Perlindungan Hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan Hutan. (21 Kegiatan Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada:

    48. wilayah pengelolaan Hutan;

    49. wilayah Hutan Hak;

    50. areal kerja persetujuan Penggunaan Kawasan ^Hutan, areal kerja pengelolaan Perhutanan Sosial, atau areal kerja Perizinan Berusaha; dan/atau

    51. areal di luar Kawasan Hutan dalam ^rangka memenuhi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Pasal 249 (1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 sesuai kewenangannya. (21 Pemerintah Daerah menyelenggarakan Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ^sesuai kewenangannya. (3) Badan usaha milik negara bidang Kehutanan menyelenggarakan Perlindungan Hutan pada wilayah pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (2) huruf a sesuai kewenangannya.

      (4)

      Pemegang Hak menyelenggarakan Perlindungan ^Hutan pada wilayah Hutan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (2) huruf b. (5) Pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, pengelolaan Perhutanan Sosial atau Perizinan Berusaha, menyelenggarakan Perlindungan Hutan pada ^areal kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^248 ^ayat ^(21 huruf c. (6) Pemegang Perizinan Berusaha di luar Kawasan ^Hutan menyelenggarakan Perlindungan Hutan ^pada ^areal ^di luar Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal 248 ayat (21huruf d. (7) Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya menyelenggarakan Perlindungan Hutan ^pada ^areal ^di luar Kawasan Hutan yang tidak dibebani Perizinan ^Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat ^(2) ^huruf ^d. Pasal 250 Penyelenggaraan Perlindungan Hutan sebagaimana ^dimaksud dalam Pasal 248 dilaksanakan dengan ^prinsip:

    52. mencegah dan membatasi kerusakan Hutan ^di ^dalam dan di luar Kawasan Hutan dan hasil Hutan, ^yang ^disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, ^daya ^alam, hama serta penyakit dalam rangka ^perlindungan ^paling sedikit:

  62. landscape;

  63. kerapuhan terhadap flora dan fauna ^endemik;

  64. perlindungan terhadap nilai konservasi ^tinggi;

  65. fragmentasi habitat (koridor satwa); atau

  66. mangrove;

    1. mempertahankan dan menjaga hak-hak ^negara, Masyarakat, dan Perseorangan atas Hutan, ^Kawasan Hutan, hasil Hutan, investasi serta perangkat ^yang berhubungan dengan pengelolaan Hutan; dan

    2. pemulihan lingkungan. Pasal 251 Dalam rangka penyelenggaraan Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat:

    3. melakukan sosialisasi dan penyuluhan ^peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan;

    4. melakukan inventarisasi permasalahan;

    5. mendorongpeningkatan produktivitas Masyarakat;

    6. memfasilitasi terbentuknya kelembagaan Masyarakat;

    7. meningkatkan peran serta Masyarakat dalam kegiatan pengelolaan Hutan;

    8. melakukan kerja sama dengan pemegang hak atau Perizinan Berusaha;

    9. meningkatkan efektivitas koordinasi kegiatan Perlindungan Hutan;

    10. mendorong terciptanya alternatif mata ^pencaharian Masyarakat;

    11. meningkatkan efektifitas pelaporan terjadinya ^gangguan keamanan Hutan;

    12. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap gangguan keamanan Hutan; atau

    13. mengenakan sanksi terhadap pelanggaran hukum. Pasal 252 (1) Perlindungan Hutan atas Kawasan Hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan, dilaksanakan dan menjadi tanggung ^jawab pengelolanya. (21 Perlindungan Hutan atas Kawasan Hutan yang telah menjadi areal kerja pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, persetujuan Perhutanan Sosial, dan persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dilaksanakan dan menjadi tanggung ^jawab pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, persetujuan Perhutanan Sosial, dan persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang bersangkutan.

      (3)

      Kegiatan .

      (3)

      Kegiatan Perlindungan Hutan pada Kawasan Hutan dengan tujuan khusus dilaksanakan dan menjadi tanggung ^jawab pengelolanya. (4) Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) paling sedikit meliputi kegiatan:

    14. mengamankan areal kerjanya yang menyangkut Hutan, Kawasan Hutan, dan hasil Hutan termasuk tumbuhan dan satwa;

    15. mencegah kerusakan Hutan dari perbuatan manusia dan ternak, kebakaran Hutan, hama, dan ^penyakit serta daya-daya alam;

    16. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap adanya gangguan keamanan Hutan di areal kerjanya;

    17. melaporkan setiap adanya kejadian ^pelanggaran hukum di areal kedanya kepada instansi Kehutanan yang terdekat; dan

    18. menyediakan sarana dan prasarana, serta tenaga pengamanan Hutan yang sesuai dengan kebutuhan. Pasal 253 (1) Perlindungan Hutan pada Hutan Hak, dilaksanakan dan menjadi tanggung ^jawab pemegang hak. (21 Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) paling sedikit meliputi kegiatan:

    19. pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak;

    20. pencegahan, pemadaman, dan ^penanganan dampak kebakaran;

    21. penyediaan personil dan sarana ^prasarana Perlindungan Hutan;

    22. mempertahankan dan memelihara sumber air; dan

    23. melakukan kerja sama dengan sesama pemilik Hutan Hak, pengelola Kawasan Hutan, pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, dan Masyarakat. Pasal 254 (1) Pemantiaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan hanya dapat dilakukan apabila telah memiliki Perizinan Berusaha atau persetujuan dari ^pejabat yang berwenang. (21 Terkait dengan Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1), dikategorikan tanp a Perizinan Berusaha atau ^persetujuan apabila:

    24. pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan atau Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang melakukan Pemanfaatan Hutan atau Penggunaan Kawasan Hutan di luar areal ^yang diberikan;

    25. pemegang Perizinan Berusaha yang melakukan penangkapan/ pengumpulan flora dan fauna melebihi target/kuota yang telah ditetapkan; atau

    26. pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan atau Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang melakukan kegiatan dalam radius dari lokasi tertentu yang dilarang undang-undang. (3) Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat ^(21 diatur sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang- undangan.

      (1)
      (2)

      Pasal 255 Setiap orang dilarang membakar Hutan. Larangan membakar Hutan sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dikecualikan terhadap kegiatan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang meliputi:

    27. pengendalian kebakaran Hutan;

    28. pembasmian hama dan penyakit; dan latau c. pembinaan habitat tumbuhan dan satwa.

      Pasal 256

      Pasal 256 (1) Dalam rangka pemadaman kebakaran, setiap pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, ^pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial, pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, pemangku Hutan Adat, pemilik Hutan Hak, danf atau Kepala KPH, berkewaj iban melakukan rangkaian tindakan ^pemadaman dengan cara:


    29. melakukan upaya pencegahan kebakaran Hutan ^di areal kerjanya;

    30. melakukan deteksi terjadinya kebakaran Hutan;

    31. mengerahkan satuan pemadaman kebakaran Hutan yang dimiliki untuk melakukan pemadaman;

    32. membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir ^api;

    33. memobilisasi Masyarakat untuk mempercepat pemadaman;

    34. koordinasi dengan instansi terkait dan tokoh Masyarakat dalam rangka mempercepat ^pemadaman, evakuasi, litigasi, dan mencegah bencana; dan

    35. menyarnpaikan laporan kepada bupati/wali kota mengenai kebakaran Hutan yang terjadi dan tindakan pemadaman yang dilakukan. (2) Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial, pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, pemilik Hutan Hak, dan/atau Kepala KPH melakukan:

    36. koordinasi dengan instansi terkait dan tokoh Masyarakat dalam rangka mempercepat ^pemadaman, evakuasi, litigasi, dan mencegah bencana; dan

    37. pelaporan kepada bupati/wali kota mengenai kebakaran Hutan yang terjadi dan tindakan pemadaman yang dilakukan. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) huruf b, bupati lwali kota melakukan:

    38. deteksi terjadinya kebakaran Hutan;

    39. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan koordinasi instansi terkait dan tokoh Masyarakat; dan

    40. penyampaian laporan kepada gubernur dan Menteri tentang kebakaran Hutan yang terjadi, tindakan yang sudah dan akan dilakukan. (4) Berdasarkan informasi dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), gubernur melakukan:

    41. deteksi terjadinya kebakaran Hutan;

    42. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan koordinasi instansi terkait dan tokoh Masyarakat; dan

    43. penyampaian laporan kepada Menteri tentang kebakaran Hutan yang terjadi, tindakan yang sudah dan akan dilakukan. (5) Berdasarkan informasi dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Menteri melakukan:

    44. deteksi terjadinya kebakaran Hutan; dan

    45. koordinasi dan mobilisasi tenaga, sarana, dan prasarana kebakaran Hutan. (6) Dalam rangka koordinasi dan mobilisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, Menteri membentuk pusat pengendalian operasi kebakaran Hutan. Pasal 257 Untuk membatasi meluasnya kebakaran Hutan dan mempercepat pemadaman kebakaran setiap orang yang berada di dalam dan di sekitar Hutan wajib:

    46. melaporkan kejadian kebakaran Hutan kepada kepala desa setempat, petugas Kehutanan, Kepala KPH, pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial, pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau pemilik Hutan Hak; dan

    47. membantu memadamkan kebakaran Hutan. Pasal 258 (1) Kepala KPH, pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pemegang persetujuan ^pengelolaan Perhutanan Sosial, pemegang persetujuan Penggunaan ^Kawasan Hutan, atau pemilik Hutan Hak, melakukan ^kegiatan identifikasi dan evaluasi. (21 Kegiatan identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:

    48. pengumpulan data dan informasi ^terjadinya kebakaran;

    49. pengukuran dan sketsa lokasi kebakaran; ^dan c. analisis tingkat kerusakan dan rekomendasi. Pasal 259 (1) Berdasarkan hasil kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256, dilakukan kegiatan rehabilitasi. (21 Kegiatan rehabilitasi dilakukan oleh Kepala KPH, pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial, pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, atau pemilik Hutan Hak. (3) Kegiatan rehabilitasi diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 260 (1) Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial, pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau pemilik Hutan Hak bertanggung ^jawab atas terjadinya kebakaran Hutan di areal kerjanya. (2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) diatur dengan peraturan perundang-undangan ^tersendiri.

      Pasal 261

      Pasa1 261 (1) Untuk terselenggaranya pelaksanaan tugas Polisi Kehutanan, Menteri menetapkan standar susunan organisasi personil dan standar peralatan Polisi Kehutanan. (21 Polisi Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di Kementerian, instansi Kehutanan Daerah dan badan usaha milik negara bidang Kehutanan. (3) Polisi Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 berada dalam satu kesatuan komando di bawah Menteri. Pasal 262 (1) Wewenang Polisi Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26I, meliputi kegiatan dan tindakan kepolisian khusus di bidang Kehutanan yang bersifat deteksi dini, pre-emtif, preventif, Pengawasan tindakan administrasi, dan operasi represif. (21 Wewenang sebagimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


    50. mengadakan patroli/perondaan di dalam Kawasan Hutan atau wilayah hukumnya;

    51. mengadakan operasi fungsional dan operasi gabungan terhadap tindak pidana yang menyangkut Hutan, Kawasan Hutan, dan hasil Hutan;

    52. melakukan pengumpulan data dan informasi dan operasi intelijen terhadap dugaan tindak pidana yang menyangkut Hutan, Kawasan Hutan, dan hasil Hutan;

    53. memeriksa surat atau dokumen berkaitan dengan pengangkutan hasil Hutan di dalam Kawasan Hutan atau wilayah hukumnya;

    54. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut Hutan, Kawasan Hutan, dan hasil Hutan;

    55. mencari (3) f. mencari keterangan dan barang ^bukti ^terjadinya tindak pidana yang menyangkut ^Hutan ^dan ^hasil Hutan;

    56. dalam hal tertangkap tangan, wajib ^menangkap tersangka untuk diserahkan ^kepada yang berwenang, dan membuat laporan dan menandatangani ^laporan tentang terjadinya tindak ^pidana yang ^menyangkut Hutan, Kawasan Hutan, dan ^hasil Hutan; ^dan h. melakukan Pengawasan ^terhadap ^penyelenggaraan serta pelaksanaan kegiatan ^dari ^pemegarlg ^Perizinan Berusaha, pemegang ^persetujuan ^Pemerintah, pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan ^Hutan, pemegang persetujuan pengelolaan ^Perhutanan Sosial, sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan. Polisi Kehutanan atas ^perintah pimpinan ^berwenang untuk melakukan ^pengumpulan bahan keterangan ^untuk mencari dan menemukan suatu ^peristiwa yang ^diduga sebagai tindak pidana Kehutanan. Pasal 263 (1) Satuan Pengamanan Kehutanan ^dibentuk ^oleh ^pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik ^negara ^bidang Kehutanan, pemegang Perrzinan ^Berusaha, ^atau persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. (2) Anggota Satuan Pengamanan Kehutanan ^diangkat ^oleh Pengelola Hutan, ^pemegang ^Perizinan Berusaha, ^atau pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan ^Hutan ^yang jumlahnya disesuaikan dengan luas dan intensitas pengelolaan atau usaha Pemanfaatan ^Hutan ^atau Penggunaan Kawasan Hutan. (3) Tugas Satuan Pengaman Kehutanan ^terbatas ^pada pengamanan fisik di lingkungan areal ^Hutan ^yang ^menjadi tanggung ^jawabnya. (4) Satuan Pengaman Kehutanan sebelum ^diangkat ^diberikan pelatihan terkait perlindungan dan ^pengamanan bidang Kehutanan dan kepolisian. (5) Satuan Pengamanan Kehutanan ^sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya ^bertanggung jawab kepada pimpinan perusahaan dan dalam koordinasi instansi Kehutanan setemPat. Sl( No 099-s7l A Pasal 264 Setiap pemegang pengelolaan oleh badan usaha milik ^negara bidang Kehutanan, pemegang Perizinan Berusaha, ^pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial, atau persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan wajib melakukan ^pencegahan dan pengamanan Hutan di areal kelolanya. Pasal 265 Ketentuan lebih tanjut mengenai Perlindungan Hutan ^diatur dalam Peraturan Menteri. BAB VIII PENGAWASAN Pasal 266 (1) Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan Pengawasan penaatan terhadap ^pelaksanaan kegiatan meliputi:

    57. Perizinan Berusaha di bidang Kehutanan;

    58. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan;

    59. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan;

    60. Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;

    61. Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan; atau

    62. penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perllndang-undangan di bidang Kehutanan.

      1. ^Pengawasan ^Kehutanan ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ^ayat (1) dilakukan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri. (21 Gubernur berwenang melakukan penaatan terhadap pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal 266 ayat (1) yang diterbitkan oleh ^Pemerintah ^Daerah provinsi. (3) Menteri atau gubernur dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan ^Pengawasan ^kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung ^jawab di bidang Pengawasan Kehutanan. (4) Untuk melaksanakan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri atau ^gubernur ^sesuai kewenangannya menetapkan ^pejabat fungsional. (5) Pejabat fungsional sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(4) terdiri dari:

    63. Polisi Kehutanan; dan/atau

    64. Pengawas Kehutanan. (6) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara ^pengangkatan, pelantikan, dan pemberhentian pejabat fungsional sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(5) dilakukan ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan' Pasal 268 (1) Menteri dapat melakukan Pengawasan terhadap ^penaatan pelaksanaan kegiatan yang tidak dilakukan Pengawasan oleh gubernur sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^267 ayat (2). (21 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dilakukan berdasarkan:

    65. pelanggaran serius;

    66. pelanggaran berulang;

    67. pengaduan Masyarakat; atau

    68. penyerahan Pengawasan oleh ^gubernur. Pasal 269 (1) Untuk melaksanakan tugas, Pengawas ^Kehutanan berwenang:

    69. melaksanakan pemantauan;

    70. meminta keterangan;

    71. melakukan pemeriksaan ^pengelolaan ^Hutan;

    72. memeriksa dan membuat salinan dari ^dokumen dan/atau membuat catatan ^yang diperlukan;

    73. memasuki tempat tertentu;

    74. memotret;

    75. membuat rekaman audio visual;

    76. mengukur dan menguji hasil Hutan;

    77. mengambil sampel;

    78. memeriksaperalatan;

    79. memeriksa instalasi dan/atau alat ^transportasi; dan/atau

  67. menghentikan pelanggaran tertentu. (21 Penghentian pelanggaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 dapat dilakukan melalui ^pemasangan plang penghentian pelanggaran tertentu dan/atau ^garis pejabat pengawas Kehutanan. (3) Pejabat pengawas Kehutanan setelah ^melakukan penghentian pelanggaran tertentu men5rusun berita acara penghentian pelanggaran tertentu yang paling sedikit memuat:

    1. lokasi;

    2. waktu;

    3. dugaan pelanggaran; dan

    4. ^jangka waktu penghentian ^pelanggaran ^tertentu. (41 Terhadap tindakan penghentian pelanggaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf ^1, ^Pelaku Usaha bertanggung ^jawab menjaga lokasi dari ^potensi kerusakan, berubah atau hilangnya barang ^bukti. (5) Berdasarkan berita acara penghentian ^pelanggaran tertentu sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(3), ^pejabat pengawas Kehutanan segera melaporkan kepada ^pejabat pemberi tugas. SK l.Jo 0873,61 A Pasal 27O . Pasal 270 (1) Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (ll dilakukan dengan intensitas pelaksanaan secara:

    5. rutin; dan

    6. insidental. (2) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) hurtf a dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam ^1 (satu) tahun. (3) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap:

    7. hasil evaluasi internal;

    8. pengaduan Masyarakat; dan/atau

    9. dugaan pelanggaran yang berdampak nasional dan internasional di bidang Kehutanan. (41 Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan secara terkoordinasi antara Menteri dan gubernur sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. Pasal 271 (1) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27O ayat (1) huruf a dilakukan dengan tahapan:

    10. perencanaan Pengawasan; dan

    11. pelaksanaanPengawasan. (21 Perencanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan dasar untuk melaksanakan Pengawasan yang meliputi kegiatan:

    12. inventarisasi Perizinan Berusaha, ^persetujuan pemerintah, dan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Kehutanan; dan

    13. identifikasi pemegang Perizinan Berusaha, persetujuan pemerintah, dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan. (3) Pelaksanaan Pengawasan sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:

    14. persiapan Pengawasan;

    15. pemeriksaan administrasi dan lapangan; ^dan c. tindak lanjut hasil Pengawasan. Pasal 272 Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengawasan ^Kehutanan, diatur dalam Peraturan Menteri. BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Penerapan Sanksi Administratif Pasal 273 (1) Menteri atau gubernur sesuai kewenangan menerapkan Sanksi Administratif terhadap ^pemegang ^Perizinan Berusaha atau persetujuan ^pemerintah di ^bidang Kehutanan yang melanggar ketentuan dalam ^Perizinan Berusaha atau persetujuan ^pemerintah di ^bidang Kehutanan dan peraturan perundang-undangan ^di ^bidang Kehutanan. (21 Gubernur atau bupati/wali kota sesuai kewenangan dapat menerapkan Sanksi Administratif terhadap ^pemegang perizinan yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/wali kota sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor ^11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. (3) Dalam hal gubernur atau bupati/wali kota tidak menerapkan Sanksi Administratif sebagaimana ^dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menerapkan Sanksi Administrarif terhadap pemegang ^perizinan ^yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati/wali kota ^sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun ^2O2O tentang Cipta Kerja. Bagian Bagian Kedua Sanksi Administratif Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Pasal 274 Pemegang Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan ^yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 66, diberikan ^Sanksi Administratif berupa:

    16. pembekuan persetujuan; atau

    17. pencabutan persetujuan. Pasal 275 Sanksi Administratif berupa pembekuan ^persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 h: uruf a dikenakan kepada pemegang persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, apabila tidak:

    18. menyelesaikan tata batas Kawasan Hutan ^yang dilakukan pelepasan; dan b, mengamankan Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan. Pasal 276 Sanksi Administratif berupa pencabutan ^persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ilruruf b dikenakan kepada pemegang persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, apabila:

    19. memindahtangankan Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan kepada pihak lain;

    20. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan permohonan; atau

    21. tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif pembekuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275. Bagian Ketiga Sanksi Administratif Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 277 Pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf b, Pasal 99, dan Pasal 103, diberikan Sanksi Administratif berupa:

    22. teguran tertulis;

    23. pembekuan persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan; dan/atau

    24. pencabutan persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. Pasal 278 Sanksi Administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 huruf a dikenakan kepada pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, apabila:

    25. melakukan kegiatan di dalam areal Penggunaan Kawasan Hutan sebelum memperoleh penetapan batas areal kerja Penggunaan Kawasan Hutan, kecuali membuat kegiatan persiapan berupa pembangunan direksi kit dan/atau pengukuran sarana dan prasarana;

    26. tidak membayar PNBP Kawasan Hutan;

    27. tidak melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS;

    28. tidak membayar PNBP kompensasi, bagi pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan pada provinsi yang kurang kecukupan luas Kawasan Hutannya;

    29. tidak menyelenggarakan Perlindungan Hutan; atau

    30. tidak melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada Kawasan Hutan yang diberikan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang sudah tidak digunakan. Pasal 279 Sanksi Administratif berupa ^pembekuan ^persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 lnuruf b dikenakan kepada ^pemegang ^persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan apabila:

    31. menjaminkan atau mengagunkan areal Penggunaan Kawasan Hutan kepada pihak lain;

    32. tidak melaksanakan tata batas areal Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan;

    33. tidak mengganti biaya investasi kepada ^pengelola/ pemegang pengelolaanlPerizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan;

    34. menggunakan merkuri bagi kegiatan ^pertambangan; atau

    35. tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal 278. Pasal 280 Sanksi Administratif berupa pencabutan ^persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 huruf c dikenakan kepada pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan ^Hutan, apabila:

    36. memindahtangankan persetujuan Penggunaan ^Kawasan Hutan kepada pihak lain atau melakukan ^perubahan nama pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan tanpa persetujuan Menteri;

    37. melakukan kegiatan pertambangan ^pada Kawasan ^Hutan Lindung dengan pola pertambangan terbuka;

    38. melakukan kegiatan pertambangan ^pada Kawasan ^Hutan Lindung yang mengakibatkan:

  68. turunnya permukaan tanah;

  69. berubahnya fungsi pokok Kawasan Hutan secara permanen; dan/atau

  70. terjadinya kerusakan akuifer air tanah.

    1. tidak d tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif Pembekuan Persetujuan penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279. Bagian Keempat Sanksi Administratif Pemanfaatan Hutan Pasal 281 Untuk menjamin status, kelestarian Hutan, dan kelestarian fungsi Hutan, setiap pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Undang- Undang Nomor 4L Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor ^19 Tahun 2OO4 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO4 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4l Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, dan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2Ol3 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dikenakan Sanksi Administratif. Pasal 282 Pemegang Perizinan Berusaha yang tidak melaksanakan kewajiban dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, Pasal l4O, Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158, Menteri dapat memberikan Sanksi Administratif berupa:

    2. teguran tertulis;

    3. denda administratif;

    4. pembekuan Perizinan Berusaha; dan latau d. pencabutan Perizinan Berusaha. Pasal 283 Sanksi Administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf a dikenakan kepada pemegan g Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, apabila:

    5. tidak melaksanakan penanaman ^paling sedikit 50% ^(lima puluh persen) dari target yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 huruf i;

    6. tidak merealisasikan rencana produksi hasil Hutan ^paling sedikit 5oo/o (lima puluh persen) dari target ^yang direncanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^156 huruf ^j;

    7. tidak menatausahakan keuangan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf h atau Pasal 156 hurufk;

    8. tidak men5rusun rencana kerja usaha Pemanfaatan ^Hutan jangka panjang untuk seluruh areal kerja dengan memperhatikan rencana pengelolaan Hutan ^jangka panjang yang disusun oleh KPH, paling lambat 1 (satu) tahun setelah Perizinan Berusaha diberikan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf a atau Pasal 156 huruf a;

    9. tidak men5rusun rencana kerja tahunan berdasarkan rencana kerja usaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 huruf b;

    10. tidak melaksanakan penataan batas areal kerja sejak diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf c atau Pasal 156 hurufd;

    11. tidak mempekerjakan tenaga profesional bidang keHutanan dan tenaga lain yang memenuhi ^persyaratan sesuai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf i atau Pasal 156 huruf ^1;

    12. tidak melaksanakan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dengan Sistem Silvikultur sesuai dengan kondisi Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 huruf n;

    13. tidak melaksanakan pemanenan hasil Hutan kayu ^pada Hutan Produksi dengan menerapkan teknik ^pembalakan berdampak rendahl Reduce Impact Logging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 huruf o;

    14. tidak melaksanakan kemitraan dengan Masyarakat di dalam dan di sekitar Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf m atau Pasal 157 ayat (21; SK I{o 087354 A k tidak melaksanakan kerja sama dengan Koperasi Masyarakat setempat paling lambat 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf n ^atau Pasal 157 ayat (1); dan/atau tidak menyampaikan laporan kinerja secara ^periodik kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^139 huruf I atau Pasal 156 huruf r. Pasal 284 (1) Sanksi Administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat ^(1) huruf ^b dikenakan kepada pemegan g Perizinan Berusaha sebesar:

    15. 10 (sepuluh) kali PSDH; atau

    16. 15 (lima belas) kali PSDH. (2) Pengenaan Sanksi Administratif berupa denda administratif sebesar 1O (sepuluh) kali PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan apabila:

    17. tidak melakukan pengukuran atau ^pengujian hasil Hutan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 huruf q;

    18. menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 5% (lima persen) dari total target volume ^yang ditentukan dalam rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf b;

    19. menebang pohon yang melebihi toleransi target sebesar 3o/o (tiga persen) dari volume per ^jenis kayu yang ditetapkan dalam rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf c;

    20. memanen atau memungut hasil Hutan ^yang melebihi daya dukung Hutan yaitu 5% (lima persen) dari target volume per jenis hasil Hutan yang diizinkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14O huruf b; dan/atau

    21. tidak melaksanakan PUHH dengan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf k atau Pasal 156 huruf p. t.

      (3)

      Pengenaan Sanksi Administratif berupa denda administratif sebesar 15 (lima belas) kali PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan apabila:

    22. menebang pohon sebelum rencana kerja tahunan disahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^158 huruf d;

    23. menebang pohon untuk pembuatan koridor sebelum ada persetujuan atau tidak sesuai dengan ^persetujuan pembuatan koridor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf e;

    24. menebang pohon di bawah batas diameter ^yang diizinkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^158 huruf f;

    25. menebang pohon di luar blok tebangan ^yang diizinkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf ^g;

    26. menebang pohon untuk pembuatan ^jalan bagi lintasan angkutan kayu di luar blok rencana kerja tahunan, kecuali dengan ^persetujuan dari ^pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf h; dan/atau

    27. menebang pohon yang dilindungi, kecuali dengan izin dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf a. Pasal 285 (1) Sanksi Administratif berupa pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 huruf c dikenakan kepada pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, apabila:

    28. tidak melaksanakan Perlindungan Hutan di areal kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^139 huruf d atau Pasal 156 huruf e;

    29. tidak melakukan upaya pencegahan kebakaran Hutan di areal kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf e atau Pasal 156 huruf ^f;

    30. tidak bertanggung ^jawab atas terjadinya ^kebakaran Hutan di areal kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf f atau Pasal 156 huruf ^g;

    31. tidak melakukan pemulihan terhadap ^kerusakan lingkungan di areal kerjanya sebagaimana ^dimaksud dalam Pasal 139 huruf g atau Pasal 156 huruf ^h; dan/atau

    32. tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal 283. (2) Terhadap pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung yang melakukan ^pelanggaran sebagaim ana ayat (1), ^juga dikenakan Sanksi Administratif berupa pembeku an Perizinan Berusaha apabila:

    33. menebang pohon pada areal Perizinan ^Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ^huruf ^a;

    34. menggunakan peralatan mekanis dan alat ^berat ^pada areal. Perizinan Berusaha sebagaimana ^dimaksud dalam Pasal 140 huruf e; dan/atau

    35. membangun sarana dan ^prasarana yang ^mengubah bentang alam pada areal Perizinan ^Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf ^d. Pasal 286 Sanksi Administratif berupa ^pencabutan Perizinan ^Berusaha Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal 282 huruf d dikenakan kepada ^pemegang ^Perizinan ^Berusaha, apabila:

    36. tidak melaksanakan kegiatan nyata di ^lapangan ^paling lambat 1 (satu) tahun setelah Perizinan ^Berusaha diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^139 ^huruf b atau Pasal 156 huruf c;

    37. tidak membayar PNBP sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf j atau Pasal 156 huruf m;

    38. meninggalkan areal kerja sebagaimana dimaksud ^dalam Pasal 140 huruf f atau Pasal 158 huruf i;

    39. memindahtangankan d memindahtangankan Perizinan ^Berusaha ^tanpa persetujuan pemberi Perizinan Berusaha ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal l4O ^huruf c ^atau ^Pasal ^158 huruf ^j; dinyatakan pailit oleh Pengadilan ^Negeri; dikenakan sanksi ^pidana ^yang ^telah berkekuatan ^hukum tetap; dan/atau tidak melaksanakan perintah Sanksi ^Adminitratif pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana ^dimaksud dalam Pasal 285. Bagian Kelima Sanksi Administratif Pengolahan ^Hasil ^Hutan Pasal 287 (1) Pemegang Perizinan Berusaha ^Pengolahan ^Hasil ^Hutan yang melanggar ketentuan sebagaimana ^dimaksud ^dalam Pasal l7O dan Pasal 171, dikenakan ^Sanksi ^Administratif, berupa:

    40. teguran tertulis;

    41. denda administratif;

    42. pembekuanPerizinan Berusaha/operasional ^kegiatan Pengolahan Hasil Hutan; dan/atau

    43. pencabutanPerizinan ^Berusaha. (2) Pengenaan Sanksi Administratif ^berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) ^huruf ^a, ^dikenakan apabila:

    44. tidak merealisasikan ^pembangunan ^pabrik ^dan/atau kegiatan Pengolahan Hasil Hutan ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17O ^ayat (1) ^huruf a ^dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya Perizinan Berusaha Pengolahan ^Hasil ^Hutan;

    45. tidak menjalankan usahanya ^sesuai ^dengan te galitas / P erizinan Beru saha ^Pen ^golahan ^H ^asil ^Hutan yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam ^Pasa1 l7O ayat (1) huruf b; e.

    46. o b' c. tidak menyusun dan menyampaikan kegiatan operasional setiap tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal L7O ayat (1) huruf c;

    47. tidak menyampaikan laporan realisasi kinerja secara periodik sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1) huruf d;

    48. tidak memiliki ^jaminan legalitas bahan baku dan produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal L7O ayat (1) huruf f;

    49. melakukan kegiatan produksi melebihi kapasitas izin produksi tanpa pemberitahuan kepada pemberi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan dan/atau tanpa addendum Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1) huruf g;

    50. melakukan penambahan jenis Pengolahan Hasil Hutan, penambahan ragam produk olahan, atau melakukan perubahan data pokok Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa pemberitahuan kepada pemberi Perizinan Berusaha dan/atau tanpa addendum Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1) huruf l; dan/atau

    51. tidak melaporkan pemindahtanganan Perizinan Berusaha atau pemindahan hak atas saham kepada pemberi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1) huruf k. (3) Pengenaan Sanksi Administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikenakan apabila tidak membayar PNBP atas ^jasa pelayanan dokumen angkutan hasil Hutan dan dokumen penjaminan legalitas ekspor hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal I7O ayat (1) huruf j. (41 Pengenaan Sanksi Administratif berupa pembekuan Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan /operasional kegiatan Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenakan apabila:

    52. tidak melaksanakan PUHH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1) huruf e;

    53. tidak b. tidak memiliki dan/atau tidak mempekerjakan tenaga teknis pengukuran dan pengujian hasil Hutan bersertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (1) huruf h;

    54. tidak melaksanakan pengukuran dan pengujian sesuai ketentuan peraturan perundang undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1) huruf i;

    55. memperluas usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa addendum Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17l ayat (1) huruf a;

    56. memindahkan lokasi usaha Pengolahan Hasil Hutan tanpa addendum Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17l ayat (1) huruf b; dan/atau

    57. tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif Teguran Tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Sanksi Administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dikenakan apabila:

    58. tidak merealisasikan pembangunan pabrik dan/atau kegiatan Pengolahan Hasil Hutan dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Perizinan Berusaha diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7O ayat (1) huruf a;

    59. tidak melakukan kegiatan produksi dalam kurun waktu paling sedikit 3 (tiga) tahun berturut-turut dan/atau sudah tidak memiliki sarana dan prasarana kegiatan Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17O ayat (1) huruf m;

    60. melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l7l ayat (1) huruf c;

    61. menadah, menampung, atau mengolah bahan baku hasil Hutan yang berasal dari sumber bahan baku yang tidak sah (ilegaQ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17I ayat (1) huruf d; 5r( No 099591 A e. melakukan kegiatan usaha Pengolahan Hasil Hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal I7I ayat (1) huruf e;

    62. dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri;

    63. dikenakan sanksi pidana yang telah berkekuatan hukum tetap; dan/atau

    64. tidak melaksanakan perintah Sanksi Administratif pembekuan Perizinan Berusaha/ operasional kegiatan Pengolahan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, juga diberlakukan terhadap kegiatan Pengolahan Hasil Hutan yang terintegrasi dengan Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pengelolaan oleh badan usaha milik negara bidang Kehutanan, atau persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. Bagian Keenam Sanksi Administratif Pengelolaan Perhutanan Sosial (6) (1) (2t Pasal 288 Pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 dan Pasal 243 dikenakan Sanksi Administratif. Sanksi Administratif sebagaimana ayat (1) berupa:

    65. teguran tertulis;

    66. denda administratif;

    67. pembekuan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial; dan/atau

    68. pencabutan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. Sanksi Administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a dikenakan kepada pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial apabila tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan yang telah ditetapkan.

      (3)
      (4)

      Sanksi Administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b dikenakan kepada pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial apabila tidak melaksanakan PUHH berlaku mutatis muntadis dengan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. (5) Sanksi Administratif berupa pembekuan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf c dikenakan kepada pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial apabila tidak menindaklanj uti te guran tertulis yan g ditetapkan.

      (6)

      Sanksi Administratif berupa pencabutan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf d dikenakan kepada pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial apabila tidak menindaklanjuti teguran tertulis dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pembekuan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial. Bagian Ketujuh Sanksi Administratif Perlindungan Hutan Pasal 289 Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dan pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 dan Pasal 257 dikenakan Sanksi Administratif. Pasal 290 Ketentuan lebih lanjut mengenai Sanksi Administratif diatur dalam Peraturan Menteri. St( No 099567 A BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 291 Dalam hal penentuan Peraturan Pemerintah tentang tarif PNBP Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan belum ditetapkan maka pengenaan PNBP digunakan nilai tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 292 (1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha dalam rangka percepatan cipta kerja. (21 Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. Pasal 293 Dalam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Kehutanan. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Bagian Kesatu Perencanaan Kehutanan

      Pasal 294

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    69. Kawasan Hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan atau diubah fungsinya berdasarkan Keputusan Menteri sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku;

    70. Kawasan Hutan Produksi terbatas sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sesuai dengan tahap pengukuhannya serta diberlakukan peruntukan dan fungsinya sebagai Hutan Produksi Tetap;

    71. Kawasan Hutan Produksi terbatas yang masih dalam tahap proses pengukuhan, dilanjutkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini;

    72. Rencana Kehutanan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diubah atau diganti dengan rencana Kehutanan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini;

    73. Kawasan Hutan yang telah ditunjuk atau ditetapkan oleh Menteri sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan sebagai bagian dari kecukupan luas Kawasan Hutan;

    74. Kawasan Hutan yang belum dilakukan pengukuhan diselesaikan paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini;

    75. dalam hal suatu provinsi atau wilayah belum ditetapkan kecukupan luas Kawasan Hutan nya maka Kawasan Hutan yang dipakai adalah Kawasan Hutan sebelumnya; dan

    76. untuk usaha yang telah terbangun di Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, mekanisme Penataan Kawasan Hutan diselesaikan berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, selanjutnya diproses dengan Peraturan Pemerintah ini. Bagian Kedua Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan

      Pasal 295

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    77. Permohonan a permohonan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau Perubahan Fungsi Kawasan Hutan yang telah diajukan dan memenuhi persyaratan, atau telah mendapat persetujuan prinsip sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap diproses dengan memenuhi kewajibannya, selanjutnya diproses dan diterbitkan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau Perubahan Fungsi Kawasan Hutan sesuai Peraturan Pemerintah ini; permohonan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau Perubahan Fungsi Kawasan Hutan yang telah diajukan dan belum memenuhi persyaratan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah ini; permohonan Pelepasan Kawasan Hutan atau tukar menukar Kawasan Hutan sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan ayat (21 Peraturan Pemerintah Nomor 1.O4 Tahun 2Ol5 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan yang telah diajukan dan memenuhi seluruh persyaratan, atau telah mendapat persetujuan prinsip sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap diproses dengan memenuhi kewajibannya, dan selanjutnya diterbitkan persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan sesuai Peraturan Pemerintah ini; permohonan Pelepasan Kawasan Hutan, tukar menukar Kawasan Hutan, atau persetujuan melanjutkan kegiatan usaha yang telah terbangun di Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, diproses sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini; dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, penetapannya dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan. b c d e SI( No 099523 A Bagian Bagian Ketiga Penggunaan Kawasan Hutan

      Pasal 296

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    78. izin atau perjanjian pinjam pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan dan telah memenuhi seluruh kewajiban sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin atau perjanjian pinjam pakai Kawasan Hutan dan diberlakukan sebagai persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan;

    79. izin pinjam pakai Kawasan Hutan yang telah diterbitkan dan belum memenuhi seluruh kewajiban sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku dan melengkapi kewajiban sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini;

    80. permohonan izin pinjam pakai Kawasan Hutan yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan telah memenuhi persyaratan dapat diterbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dengan kewajiban sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini;

    81. permohonan izin pinjam pakai Kawasan Hutan yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan belum memenuhi seluruh persyaratan serta kewajiban, diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah ini;

    82. permohonan izin pinjam pakai Kawasan Hutan untuk Kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan bagi kepentingan umum, khususnya proyek prioritas Pemerintah yang diajukan oleh instansi pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah ini;

    83. pemegang f. - l7l - pemegang izin pinjam pakai Kawasan Hutan dengan kewajiban menyediakan dan menyerahkan lahan kompensasi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan telah melakukan ganti rugi sebagian lahan kompensasi atau telah mendapatkan persetujuan sebagian lahan kompensasi atau telah melaksanakan serah terima sebagian lahan kompensasi, lahan kompensasi tersebut dapat diserahkan kepada Menteri dan kekurangannya dikenakan PNBP kompensasi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini; pemegang izin pinjam pakai Kawasan Hutan dengan kewajiban menyediakan dan menyerahkan lahan kompensasi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan telah melakukan ganti rugi atau telah mendapatkan persetujuan atau telah melaksanakan serah terima seluruh lahan kompensasi, lahan kompensasi tersebut dapat diserahkan kepada Menteri dan tidak lagi dikenakan PNBP kompensasi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini; pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, izin prinsip pinjam pakai Kawasan Hutan, atau penggunaan Kawasan Hutan yang telah memenuhi kewajiban menyerahkan lahan kompensasi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan telah menyelesaikan kewajiban serah terima lahan kompensasi, permohonan penggunaan Kawasan Hutan nya diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah ini; permohonan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan pada areal yang belum dilakukan penetapan kecukupan luas Kawasan Hutan provinsi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, tetap diproses berdasarkan batasan kecukupan luas Kawasan Hutan yang telah ditetapkan sebelumnya; dan usaha dan/atau kegiatan yang telah terbangun di Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. o b' h 1 J Bagian Bagian Keempat Pemanfaatan Hutan

      Pasal 297

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    84. seluruh hak, perizinan, dan kerja sama pemanfatan Hutan di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan hak, perizinart, dan kerja sama pemanfaatan berakhir dan disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini;

    85. permohonan lzin Usaha Pemanfaatan Hutan, perluasan dan perpanjangan izin yang sedang dalam proses sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, penerbitannya disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini; dan

    86. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku, dan disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini. Bagian Kelima Perhutanan Sosial

      Pasal 298

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: a hak pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan, Izin Usaha Pemanflaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Ra}ryat, Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial, pengakuan dan perlindungan kemitraan Kehutanan, penetapan Hutan Adat, dan penetapan Hutan Hak yang sudah terbit sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan hak pengelolaan atau izin berakhir dan disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini; dan b permohonan Hak pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan, lzin ^Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan ^Tanaman Ra}ryat, Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan ^Sosial, pengakuan dan perlindungan Kemitraan Kehutanan, Penetapan Hutan Adat, dan ^penetapan Hutan ^Hak ^yang sedang dalam proses penetapan, ^prosesnya ^dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. BAB XII KETENTUAN PENUTUP


      Pasal 299

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai ^berlaku:


    87. DR yang ditampung di rekening ^pembangunan Hutan dan merupakan bagian Pemerintah Pusat ^digunakan sesuai dengan ketentuan ^peraturan ^perundang- undangan;

    88. saldo DR pada rekening ^pembangunan ^Hutan dialokasikan melalui daftar isian ^pelaksanaan ^anggaran bendahara umum negara investasi Pemerintah ^Pusat dan penggunaannya untuk pembiayaan badan ^pengelolaan dana lingkungan hidup sesuai dengan ^ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    89. ketentuan mengenai ^pengalokasian saldo ^DR ^diatur dalam peraturan mehteri ^yang menyelenggarakan ^urusan pemerintahan di bidang keuangan.

      Pasal 300

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini ^mulai berlaku, ^peraturan pelaksanaan dari:


    90. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun ^2OO4 ^tentang Perencanaan Kehutanan ;

    91. Peraturan d b c e f o b' Peraturan Pemerintah Nomor 1O4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2Ol5 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan; Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2OO7 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2OO7 tentang Tata Hutan dan Pen5rusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2OO4 tentang Perlindungan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2OO9 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2OO4 tentang Perlindungan Hutan; Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2OO2 tentang Dana Reboisasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2OO7 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2OO7 tentang Dana Reboisasi; Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan; dan

    92. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2OlO tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

      Pasal 301

      b c


      Pasal 301

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: a Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2OO4 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor aa1; Peraturan Pemerintah Nomor lO4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol5 Nomor 326, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 579a1; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2OlO tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 3O, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 327, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5795); Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2OO7 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO7 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 46961 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2OO7 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor aSlal; d e. Pasal e Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasa1 14, Pasal 19, Pasal 24,Pasal 26,Pasal 28, Pasal 29,Pasal 30, Pasal 34, Pasal 36, dan Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2OO4 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2OO9 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2OO4 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor I37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5O56);


    93. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2OO2 tentang Dana Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO2 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4207) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2OO7 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2OO7 tentang Dana Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO7 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor a776);

    94. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3759); dan

    95. Pasal 3 ayat (1), ayat (21, ayat (4), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 201O tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 1241, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3O2 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Sl( No 099-589 A Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam Lembaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2O2L JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2O2l MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2O2I NOMOR 33 I PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN KEH UTANAN UMUM Hutan sebagai karunia T\rhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya Hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada T\rhan Yang Maha Esa. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata agar kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu Hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan Masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam rangka meningkatkan iklim investasi dan kegiatan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, kemudahan, pemberdayaan, perlindungan UMK-M serta perkoperasian, dan percepatan proyek strategis nasional serta mempermudah dalam pengurusan dan memperoleh lahan khususnya Kawasan Hutan di Indonesia guna menciptakan lapangan kerja,maka dipandang perlu melakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2OO4, di antaranya:

  71. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2OO4 tentang Perencanaan Kehutanan, yang erat kaitannya dengan perubahan:

    1. batas maksimal 30 (tiga puluh) persen Kawasan Hutan yang harus dipertahankan dari luas DAS atau pulau yang sering dianggap menghambat perolehan lahan untuk investasi diganti dengan kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan; Sl( No 099588 A b. pelaksanaan a. perubahan terhadap kriteria Kawasan Hutan Produksi yang semula terdapat 3 (tiga) kriteria fungsi yaitu Kawasan Hutan Produksi terbatas, Kawasan Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi diubah menjadi 2 (dua) fungsi yaitu Kawasan Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi, sehingga akan memudahkan dalam menentukan kriteria fungsi Hutan dan dalam penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan;

    2. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan yang semula hanya pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi untuk semua kegiatan, pada Peraturan Pemerintah ini untuk kegiatan program proyek strategis nasional (PSN), kegiatan pemulihan ekonomi nasional (PEN), kegiatan ketahanan pangan (food estatel dan energi, program tanah obyek reforma agraria, kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, dapat dilakukan pada Kawasan Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi, serta dikecualikan dari ketentuan pengenaan PNBP. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2OlO tentang Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015, memberikan kemudahan dan percepatan serta kepastian usaha seperti:

    3. pengadaan tanah yang dilakukan oleh swasta yang bersifat permanen dengan mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan sedangkan yang bersifat tidak permanen dan untuk menghindari fragmentasi Kawasan Hutan serta dapat menjadi bagian pengelolaan Hutan dilakukan dengan mekanisme persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan; Sl( No 099(r ll A b. Penggunaan c. ketentuan terkait penyediaan lahan pengganti dalam Penggunaan Kawasan Hutan, pada provinsi yang kecukupann luas Hutannya terlampaui berkewajiban membayar PNBP, sedangkan pada provinsi yang luas Hutannya kurang terlampaui berkewajiban membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan membayar PNBP kompensasi sebesar nilai lahan yang digunakan. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2OO7 tentang Tata Hutan dan Pen5rusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, pembatasan izin usaha Pemanfaatan Hutan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kelestarian Hutan dan aspek kepastian usaha, seperti:

    4. perubahan nomenklatur yang semula diberikan dalam bentuk izin diganti dengan Perizinan Berusaha untuk seluruh kegiatan Pemanfaatan Hutan;

    5. menghapus jenis-jenis izin menjadi satu Perizinan Berusaha;

    6. mengubah pemberdayaan Masyarakat menjadi pengelolaan Perhutanan Sosial serta memasukan kegiatan yang selama ini telah diatur dalam Peraturan Menteri ke dalam Peraturan Pemerintah serta memberikan legalitas kegiatan pengelolaan Perhutanan Sosial yang selama ini diatur dalam Peraturan Menteri ke dalam Peraturan Pemerintah; dan

    7. Multiusaha Kehutanan. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2OO4 tentang Perlindungan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2OO9, seperti menyesuaikan kewajiban dan larangan serta nomenklatur yang berada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2OO4 tentang Perlindungan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2OO9 ke dalam Peraturan Pemerintah ini dengan Peraturan Pemerintah yang terkait.

    8. penyelesaian sisa dana bergulir; dan

    9. penggunan DR lintas provinsi. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara, menyelesaikan permasalahan:

    10. penyelesaian tenurial Kawasan Hutan;

    11. efisiensi pengelolaan Kawasan Hutan oleh badan usaha milik negara Kehutanan dengan fokus pada pendapatan negara dan efektivitas perusahaan; dan

    12. pengurangan areal kerja badan usaha milik negara Kehutanan yang paling sedikit diperuntukkan bagi Perhutanan Sosial. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas maka perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa Peraturan Pemerintah pelaksanaan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2OO4 tersebut di atas, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, keberpihakan kepada Masyarakat kecil, mendorong pertumbuhan dan investasi. II. PASAL DEMI PASAL

      Pasal 1

      Cukup ^jelas.


      Pasal 2

      Cukup ^jelas. Cukup ^jelas.


      Pasal 4

      Cukup ^jelas.


      Pasal 5

      Cukup ^jelas.


      Pasal 6

      Cukup ^jelas.


      Pasal 7

      Cukup ^jelas.


      Pasal 8

      Cukup ^jelas.


      Pasal 9

      Cukup ^jelas.


      Pasal 10

      Cukup ^jelas. Pasal 1 1 Cukup ^jelas.


      Pasal 12

      Cukup ^jelas.


      Pasal 13

      Cukup ^jelas.


      Pasal 14

      Cukup ^jelas.


      Pasal 15

      Cukup ^jelas.


      Pasal 16

      Cukup ^jelas.


      Pasal 17

      Cukup ^jelas.


      Pasal 18

      Cukup ^jelas.


      Pasal 19

      Ayat (1) Petunjuk pelaksanaan penataan batas memuat petunjuk teknis penataan batas dan pemetaan Kawasan Hutan meliputi:


    13. pembuatan peta kerja, peta hasil tata batas sementara, dan peta tata batas;

    14. pembuatan dan pemasangan/pemancangan tanda-tanda batas fisik Kawasan Hutan di lapangan meliputi bentuk fisik tanda batas (pal batas, tugu batas, papan pengumuman, rintis batas, lorong batas, dan pada lokasi yang rawan dibuat parit batas) dan pemberian inisial nomor dan huruf pada pal batas/ tugu, batas I papan pengumuman;

    15. pengukuran ikatan dan batas Kawasan Hutan serta pemetaan Kawasan Hutan;

    16. pembuatan dokumen hasil penataan batas dan pemetaan Kawasan Hutan seperti berita acara tata batas dan peta tata batas;

    17. pengaturan dan penyelenggaraan rapat panitia tata batas dan panitia batas fungsi;

    18. tenaga kerja dan peralatan;

    19. pembuatan batas sementara dan batas definitif;

    20. pembuatan laporan;

    21. pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas; dan

    22. pendistribusian, penyimpanan, dan pemeliharaan dokumen penataan batas dan Pemetaan Kawasan Hutan. Ayat (2) Pada lokasi-lokasi yang rawan perambahan Kawasan Hutan dapat dilengkapi pembuatan parit batas. Pengakuan hasil pemancangan patok batas sementara dituangkan dalam berita acarapengakuan hasil pembuatan batas Kawasan Hutan, yang telah mengakomodir hak-hak atas lahan/tanah. berita acara tersebut ditandatangani oleh tokoh Masyarakat yang mewakili Masyarakat di sekitar Trayek Batas Kawasan Hutan dan diketahui/disetujui oleh kepala desa setempat atau yang disebut dengan nama lain. Pada PFTESIDEN REPUBLIK INDONESIA Pada saat pemasangan pal batas sekaligus dilakukan pengukuran posisi pal batas. Berita acara tata batas dan peta tata batas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain. Ayat (3) Pedoman penyelenggaraan penataan batas memuat garis-garis besar mengenai prosedur dan tata kerja Penataan Batas Kawasan Hutan dan Pemetaan Kawasan Hutan meliputi:

    23. pembuatan rencana kerja, penJrusunan Trayek Batas, pelaksanaan Penataan Batas, Pemetaan Kawasan Hutan serta pembuatan, pendistribusian, penyimpanan, dan pemeliharaan dokumen penataan batas dan pemetaan Kawasan Hutan;

    24. Pengawasan dan pembinaan;

    25. pelaporan;

    26. pelaksanaan pemeliharaan dan pengamanan batas; dan

    27. orientasi dan rekonstruksi batas Kawasan Hutan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Huruf a Yang dimaksud dengan "kondisi alam" adalah kondisi suatu wilayah yang tidak memungkinkan dilalui seperti daerah dengan topografi berat, sungai, atau rawa dalam. Huruf b Yang dimaksud dengan "kondisi keamanan" adalah suatu wilayah apabila dilakukan Penataan Batas Kawasan Hutan akan mengancam keselamatan pelaksana tata batas. Sl( Nlo 09958-s A

      Pasal 20

      Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Cukup ^jelas. Pasal 27 Cukup ^jelas. Pasal 28 Cukup ^jelas. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -8- Penetapan Kawasan Hutan ^didasarkan ^pada ^berita ^acara ^tata batas Kawasan Hutan temu ^gelang ^yang luasnya ^sudah dapat diketahui secara ^pasti ^berdasarkan ^hasil pengukuran di lapangan. Yang dimaksud dengan temu ^gelang ^adalah poligon ^tertutup hasil tata batas Kawasan Hutan ^sehingga ^dapat ^diketahui luas Kawasan Hutan. Huruf b Cukup ^jelas Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Sl( NIo 09)56,4 A


      Pasal 30
      Pasal 30

      Cukup ^jelas.



      Pasal 31

      Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Kriteria penetapan fungsi Kawasan Hutan ^yang berupa ^cagar alam, suaka marga satwa, taman ^nasional, ^taman ^Hutan ^raya, dan taman wisata alam diatur dalam Peraturan ^Pemerintah tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan ^Kawasan Pelestarian Alam. Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Cukup ^jelas. Angka 3 Cukup ^jelas. Angka 4 Cukup ^jelas. Angka 5 Yang dimaksud dengan "daerah resapan air" ^yaitu daerah percurah hujan yang tinggi, berstruktur tanah yang mudah meresapkan air, dan mempunyai geomorfologiyang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran. Angka 6 Cukup ^jelas Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas.


      Pasal 32

      Cukup ^jelas.


      Pasal 33

      Cukup ^jelas.


      Pasal 34

      Cukup ^jelas.


      Pasal 35

      Cukup ^jelas.


      Pasal 36

      Cukup ^jelas.


      Pasal 37

      Cukup ^jelas.


      Pasal 38

      Cukup ^jelas.


      Pasal 39

      Cukup ^jelas. Pasal 4O Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Huruf a Yang dimaksud dengan "biogeofisik" meliputi:


  72. tutupan Hutan/kondisi vegetasi; dan

  73. keanekaragaman flora fauna.

    1. kelerengan;

    2. curah hujan; dan

    3. ^jenis tanah. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "karakteristik DAS" adalah ^kesatuan bio dan geofisik di alam menjadi satu ^kesatuan landscape I landsy stem. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Pelaksanaan atas dukungan keberadaan dan kecukupan ^luas Kawasan Hutan atas provinsi dan/atau kabupaten/kota ^yang memberi manfaat antara lain dilakukan dengan memberikan kontribusi dan kompensasi yang disepakati bersama. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (1o) Cukup ^jelas. Cukup ^jelas. Pasal 42 Cukup ^jelas.

      Pasal 43

      Cukup ^jelas.


      Pasal 44

      Cukup ^jelas.


      Pasal 45

      Cukup ^jelas.


      Pasal 46

      Cukup ^jelas.


      Pasal 47

      Cukup ^jelas.


      Pasal 48

      Cukup ^jelas.


      Pasal 49

      Cukup ^jelas.


      Pasal 50

      Cukup ^jelas.


      Pasal 51

      Cukup ^jelas.


      Pasal 52

      Cukup ^jelas.


      Pasal 53

      Cukup jelas.


      Pasal 54

      Cukup ^jelas.


      Pasal 55

      Cukup ^jelas.


      Pasal 56

      Cukup ^jelas. Pasal 57 .


      Pasal 57

      Cukup ^jelas.


      Pasal 58
      Pasal 59

      Cukup ^jelas



      Pasal 60

      Ayat (1) Ayat (2) Cukup ^jelas.


      Pasal 61

      Cukup ^jelas.


      Pasal 62

      Cukup ^jelas.


      Pasal 63

      Cukup ^jelas. Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "Hutan Produksi ^yang dapat ^Dikonversi yang tidak produktil" berupa Hutan Produksi yang ^penutupan lahannya didominasi lahan tidak berhutan antara lain ^semak belukar, lahan kosong, dan kebun campur. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha" adalah ^izin ^usaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha sebagai legalitas untuk memulai dan menjalankan usaha dan atau kegiatannya ^yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk ^izin lokasi danf atau izin usaha di bidang perkebunan ^sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun ^2O2O tentang ^Cipta Kerja. Cukup ^jelas.


      Pasal 65

      Cukup ^jelas.


      Pasal 66

      Cukup ^jelas.


      Pasal 67

      Cukup ^jelas.


      Pasal 68

      Cukup ^jelas.


      Pasal 69

      Cukup ^jelas.


      Pasal 70

      Cukup ^jelas.


      Pasal 71

      Cukup jelas.


      Pasal 72

      Cukup ^jelas.


      Pasal 73

      Cukup ^jelas. Pasal T4 Cukup ^jelas.


      Pasal 75

      Cukup ^jelas.


      Pasal 76

      Cukup ^jelas.


      Pasal 77

      Cukup ^jelas.


      Pasal 78

      Cukup ^jelas.


      Pasal 79

      Cukup ^jelas.


      Pasal 80

      Cukup ^jelas.


      Pasal 81

      Cukup ^jelas.


      Pasal 82

      Cukup ^jelas. Pasal 83 Huruf a Perubahan fungsi dalam fungsi pokok Kawasan Hutan Produksi selain dilakukan karena tidak lagi memenuhi kriteria fungsi Kawasan Hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perLrndang- undangan, hanya dapat dilakukan dalam hal:


  74. untuk memenuhi kebutuhan luas Hutan Produksi optimal untuk mendukung stabilitas ketersediaan bahan baku industri pengolahan kayu; atau

  75. diperlukan ^jangka benah fungsi Kawasan Hutan. Huruf b Perubahan fungsi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi menjadi Hutan Produksi Tetap dalam rangka proses pemberian Perizinan Berusaha setelah memperoleh pertimbangan gubernur serta dilakukan penelitian oleh tim internal yang anggotanya berasal dari Kementerian.

    Pasal 84

    Cukup ^jelas.


    Pasal 85

    Cukup ^jelas.


    Pasal 86

    Cukup ^jelas.


    Pasal 87

    Cukup ^jelas.


    Pasal 88

    Cukup ^jelas. Sl( No 099-553 A Cukup ^jelas.


    Pasal 90

    Cukup ^jelas.


    Pasal 91

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kegiatan yang mempunyai tujuan strategis" adalah kegiatan yang diprioritaskan karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya, dan f atau lingkungan. Ayat (2) Pemohon dalam mengusulkan kegiatan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf a Kegiatan religi misalnya tempat ibadah, tempat pemakaman, dan wisata rohani. Huruf b Kegiatan pertambangan yaitu pertambangan minyak dan gas bumi, mineral, dan batubara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf j Kegiatan pertahanan dan keamanan misalnya pusat latihan tempur, stasiun radar, dan menara pengintai. Huruf k Prasarana penunjang keselamatan umum misalnya keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara, dan sarana meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Huruf I Cukup ^jelas. Huruf m Cukup ^jelas.


    Pasal 92

    Cukup ^jelas.


    Pasal 93

    Cukup ^jelas.


    Pasal 94

    Cukup ^jelas.


    Pasal 95

    Cukup ^jelas.


    Pasal 96

    Cukup ^jelas.


    Pasal 97

    Cukup ^jelas.


    Pasal 98

    Cukup ^jelas.


    Pasal 99

    Cukup ^jelas.


    Pasal 100

    Cukup ^jelas. -,1', ; ',iil 0()r)c-i i .A Cukup ^jelas.


    Pasal 102

    Cukup ^jelas.


    Pasal 103

    Cukup ^jelas.


    Pasal 104

    Cukup ^jelas.


    Pasal 105

    Cukup ^jelas.


    Pasal 106

    Cukup ^jelas.


    Pasal 107

    Cukup ^jelas.


    Pasal 108

    Cukup ^jelas.


    Pasal 109

    Cukup ^jelas. Pasal 1 10 Cukup ^jelas. Pasal 1 1 1 Cukup ^jelas. Pasal 1 12 Cukup ^jelas. Pasal 1 13 Cukup ^jelas. Pasal 1 14 Cukup ^jelas. Pasal 1 15 Cukup ^jelas. Sl( trlo 099-s-50 A Pasal 1 16 Cukup ^jelas. Pasal 1 17 Cukup ^jelas. Pasal 1 18 Cukup ^jelas. Pasal 1 19 Cukup ^jelas.


    Pasal 120

    Cukup ^jelas.


    Pasal 121

    Cukup ^jelas.


    Pasal 122

    Cukup ^jelas.


    Pasal 123

    Cukup ^jelas.


    Pasal 124

    Cukup ^jelas.


    Pasal 125

    Cukup ^jelas.


    Pasal 126

    Cukup ^jelas.


    Pasal 127

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan" adalah terbatas pada pengalihan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang berakibat beralihnya pengendalian perusahaan. Sl( Nlo 099549 A Ayat (3) Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


    Pasal 128

    Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Cukup ^jelas.


    Pasal 129

    Cukup ^jelas.


    Pasal 130

    Cukup ^jelas.


    Pasal 131

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas Pemanfaatan Hutan pada Hutan Lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan Masyarakat terutama Masyarakat setempat, sekaligus menumbuhkan kesadaran Masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi Hutan Lindung sebagai amanah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. pedoman sertifikat Kegiatan Pemanfataan Kawasan, Pemanfaatan Jasa Lingkungan, dan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dilakukan survei potensi oleh pemohon dan diverifikasi oleh KPH. Sl( Nlo 099-51+8 A Huruf b Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas.


    Pasal 132

    Cukup ^jelas.


    Pasal 133

    Cukup ^jelas.


    Pasal 134

    Cukup ^jelas.


    Pasal 135

    Cukup ^jelas.


    Pasal 136

    Cukup ^jelas.


    Pasal 137

    Cukup ^jelas.


    Pasal 138

    Cukup ^jelas. Pasal 139 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kegiatan nyata di lapangan" adalah kegiatan memasukan peralatan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari unit peralatan yang ditentukan dalam rencana ke dalam areal kerja serta membangun sarana dan prasarana Pemanfaatan Hutan yang tidak merubah bentang alam. Huruf c Cukup ^jelas. Sl( No 099-547 A Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup ^jelas. Huruf j Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup ^jelas. Huruf m Cukup ^jelas. Huruf n Cukup ^jelas. Huruf o Cukup ^jelas. Pasal 14O Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Sl( Nlo 099-546 A Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "meninggalkan areal kerja" termasuk tidak ada lagi kegiatan Pemanfaatan Hutan.


    Pasal 141

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Pemanfaatan Kawasan pada Hutan Produksi" termasuk memanfaatkan rulang tumbuh dengan tidak mengganggu fungsi utamanya. Ayat (2) Cukup ^jelas.


    Pasal 142

    Cukup ^jelas.


    Pasal 143

    Cukup ^jelas.


    Pasal 144

    Cukup ^jelas.


    Pasal 145

    Cukup ^jelas.


    Pasal 146

    Cukup ^jelas. Pasal 147 Huruf a Yang dimaksud dengan "memenuhi kebutuhan" adalah ^jumlah volume yang diberikan dalam Pemungutan Hasil Hutan Kayu disesuaikan dengan kebutuhan fasilitas umum. 5il( l.lo 099-545 A Huruf b Yang dimaksud dengan "memenuhi kebutuhan individu" adalah jumlah volume yang diberikan dalam Pemungutan Hasil Hutan Kayu disesuaikan dengan kebutuhan untuk rumah.


    Pasal 148

    Cukup ^jelas.


    Pasal 149

    Cukup ^jelas.


    Pasal 150

    Cukup ^jelas.


    Pasal 151

    Cukup ^jelas.


    Pasal 152

    Cukup ^jelas.


    Pasal 153

    Cukup ^jelas.


    Pasal 154

    Cukup ^jelas.


    Pasal 155

    Cukup ^jelas. Pasal 156 Huruf a Dalam rencana kerja, antara lain memuat pula aspek kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan, dan sosial dan ekonomi. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "kegiatan nyata" adalah kegiatan memasukkan peralatan mekanik paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari unit peralatan yang ditentukan ke dalam areal kerja serta membangun sarana dan prasarana, untuk pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. Sl( No 099.s44 A Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "Perlindungan Hutan" antara lain, meliputi:

    1. mencegah adanya pemanenan pohon tanpa izin;

    2. mencegah atau memadamkan kebakaran Hutan;

    3. menyediakan sarana dan prasarana Pengamanan Hutan;

    4. mencegah perburuan satwa liar dan/atau satwa ^yang dilindungi;

    5. mencegah penggarapan dan/atau penggunaan, dan/atau menduduki Kawasan Hutan secara tidak sah;

    6. mencegah perambahan Kawasan Hutan;

    7. mencegah terhadap gangguan hama dan penyakit; dan latau h. membangun unit satuan pengamanan Hutan. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup ^jelas. Humf j Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf 1 Yang dimaksud dengan "tenaga profesional bidang Kehutanan" adalah sarjana Kehutanan dan tenaga teknis menengah, ^yang meliputi lulusan sekolah Kehutanan menengah atas, diploma Kehutanan, serta tenaga-tenaga hasil pendidikan dan latihan Kehutanan, antara lain penguji kayu (gradefi, perisalah Hutan (cruisefl, dan pengukur (scaler). Cukup ^jelas. Huruf n Cukup ^jelas. Huruf o Cukup ^jelas. Huruf p Cukup ^jelas. Huruf q Cukup ^jelas. Huruf r Cukup ^jelas. Huruf s Cukup ^jelas.


    Pasal 157

    Ayat (1) Bentuk kerja sama dapat berupa penyertaan saham atau kerja sama usaha pada segmen kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan. Termasuk dalam kegiatan kerja sama usaha pada segmen kegiatan usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, antara lain penataan batas areal kerja, batas blok dan batas petak kerja, pembukaan wilayah Hutan, pemanenan hasil Hutan, penyiapan lahan, perapihan, inventarisasi potensi hasil Hutan, pengadaan benih dan bibit, penanaman dan pengayaan, pembebasan, pengangkutan, Pengolahan Hasil Hutan, pemasaran hasil Hutan, dan kegiatan pendukung lainnya. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Sl( No 099542 A Pasal 158. Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan "meninggalkan areal kerja" termasuk sebelum izin berakhir:


  76. tidak menyedikan alat-alat atau peralatan untuk melaksanakan kegiatannya;

  77. tidak berfungsinya alat-alat atau peralatan yang tersedia;

  78. tidak ada lagi tenaga kerja tetap di areal kerjanya; atau

  79. tidak ada kegiatan pemanfaatan. Huruf j Cukup ^jelas.

    Pasal 159

    Cukup ^jelas.


    Pasal 160

    Cukup ^jelas. Sl( No 099-s83 A Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Sebelum dilakukan pencabutan izin terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan lapangan. Huruf c Pernyataan tertulis dilengkapi dengan alasan-alasan ^yang jelas. Ayat (2) Audit dilaksanakan untuk mengevaluasi pemenuhan kewajiban pemegan g P erizinan Berusaha. Ayat (3) Untuk melunasi kewajiban finansial pemegang Perizinan Berusaha yang izinnya telah berakhir, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dapat melakukan upaya paksa, antara ^lain menyita barang-barang bergerak milik pemegang Perizinan Berusaha, sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang- undangan. Ayat (a) Barang bergerak tetap menjadi milik pemegang Perrzinan Berusaha. Ayat (5) Setelah Perizinan Berusaha berakhir, maka tanaman ^yang telah ditanam tersebut harus segera ditebang bagi tanaman ^yang telah memenuhi masa tebang sesuai daur, ^paling lambat ^1 ^(satu) tahun sejak tanggal berakhirnya Perizinan Berusaha, dan bila tidak ditebang menjadi milik negara. Ayat (6) Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" antara lain kreditor atau mitra usaha.


    Pasal 162

    Cukup ^jelas.


    Pasal 163

    Cukup ^jelas.


    Pasal 164

    Cukup ^jelas.


    Pasal 165

    Cukup ^jelas.


    Pasal 166

    Cukup ^jelas.


    Pasal 167

    Cukup ^jelas.


    Pasal 168

    Cukup ^jelas.


    Pasal 169

    Cukup ^jelas.


    Pasal 170

    Cukup ^jelas.


    Pasal 171

    Cukup ^jelas. Pasal t72 Cukup ^jelas.


    Pasal 173

    Cukup ^jelas.


    Pasal 174

    Cukup ^jelas. Cukup ^jelas.


    Pasal 176

    Cukup ^jelas. Pasal I77 Cukup ^jelas.


    Pasal 178

    Cukup ^jelas.


    Pasal 179

    Cukup ^jelas.


    Pasal 180

    Cukup ^jelas.


    Pasal 181

    Cukup ^jelas.


    Pasal 182

    Cukup ^jelas.


    Pasal 183

    Cukup ^jelas.


    Pasal 184

    Cukup ^jelas.


    Pasal 185

    Cukup ^jelas.


    Pasal 186

    Cukup ^jelas.


    Pasal 187

    Cukup ^jelas.


    Pasal 188

    Cukup ^jelas.


    Pasal 189

    Cukup ^jelas.


    Pasal 190

    Cukup ^jelas.


    Pasal 191

    Cukup ^jelas.


    Pasal 192

    Cukup ^jelas.


    Pasal 193

    Cukup ^jelas.


    Pasal 194

    Cukup ^jelas.


    Pasal 195

    Cukup ^jelas.


    Pasal 196

    Cukup ^jelas.


    Pasal 197

    Cukup ^jelas.


    Pasal 198

    Cukup ^jelas.


    Pasal 199

    Cukup ^jelas.


    Pasal 200

    Cukup ^jelas. Pasal 2O1 Cukup ^jelas. Pasal 2O2 Cukup ^jelas. Pasal 2O3 Cukup ^jelas.


    Pasal 204

    Cukup ^jelas. Cukup ^jelas.


    Pasal 206

    Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "pengembangan usaha" adalah meningkatkan kemampuan lembaga Perhutanan Sosial dalam usaha Pemanfaatan Hutan antara lain melalui:


  80. bimbingan;

  81. supervisi;

  82. pendidikan dan latihan;

  83. penyuluhan;

  84. akses terhadap pasar;

  85. permodalan; dan

  1. pembentukan Koperasi. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Pasal 207 Cukup ^jelas. Pasal 208 Cukup ^jelas. Pasal 209 Cukup ^jelas. Pasal 210 Cukup ^jelas. Pasal 21 1 Cukup ^jelas. Pasal 212 Cukup ^jelas.
    Pasal 213

    Cukup ^jelas.


    Pasal 214

    Cukup ^jelas. Pasal 2 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "lembaga desa" adalah lembaga yang dibentuk oleh kepala desa melalui musyawarah desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk melakukan pengelolaan Hutan Desa untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyakarat desa. Ayat (21 Cukup ^jelas.


    Pasal 216

    Cukup ^jelas. Pasal 2lT Cukup jelas.


    Pasal 218

    Cukup ^jelas. Sl( No 099582 A PFIESIDEN REPUELIK INDONESIA


    Pasal 219

    Cukup ^jelas. Pasal 22O Cukup ^jelas.


    Pasal 221

    Cukup ^jelas.


    Pasal 222

    Cukup ^jelas.


    Pasal 223

    Cukup ^jelas.


    Pasal 224

    Cukup ^jelas.


    Pasal 225

    Cukup ^jelas.


    Pasal 226

    Cukup ^jelas.


    Pasal 227

    Cukup ^jelas.


    Pasal 228

    Cukup ^jelas.


    Pasal 229

    Cukup ^jelas.


    Pasal 230

    Cukup ^jelas.


    Pasal 231

    Cukup ^jelas.


    Pasal 232

    Cukup ^jelas.


    Pasal 233

    Cukup ^jelas.


    Pasal 234

    Cukup ^jelas.


    Pasal 235

    Cukup ^jelas.


    Pasal 236

    Cukup ^jelas.


    Pasal 237

    Cukup ^jelas.


    Pasal 238

    Cukup ^jelas.


    Pasal 239

    Cukup ^jelas.


    Pasal 240

    Cukup ^jelas.


    Pasal 241

    Cukup ^jelas.


    Pasal 242

    Cukup ^jelas.


    Pasal 243

    Cukup ^jelas.


    Pasal 244

    Cukup ^jelas.


    Pasal 245

    Cukup ^jelas.


    Pasal 246

    Cukup ^jelas.


    Pasal 247

    Cukup ^jelas.


    Pasal 248

    Ayat (1) Kegiatan pengelolaan Hutan meliputi :

    1. Tata Hutan dan penyusunan rencana pengelolaan Hutan;

    2. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan;

    3. rehabilitasi dan reklamasi Hutan; dan PFIESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ayat (2) Cukup ^jelas.


    Pasal 249

    Cukup ^jelas. Pasal 25O Cukup ^jelas.


    Pasal 251

    Cukup ^jelas.


    Pasal 252

    Cukup ^jelas.


    Pasal 253

    Cukup ^jelas.


    Pasal 254

    Cukup ^jelas.


    Pasal 255

    Cukup ^jelas.


    Pasal 256

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Sl( Nc 099-581 A Huruf c Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.


    Pasal 257

    Cukup jelas.


    Pasal 258

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan inventarisasi dan identifikasi lapangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Tingkat kerusakan akibat kebakaran diperlukan untuk mengetahui jumlah kerugian negara akibat kebakaran Hutan. Tingkat kerawanan dan kerusakan diperlukan untuk memprediksi prioritas kegiatan yang harus dilaksanakan tahun berikutnya. Cukup ^jelas.


    Pasal 260

    Ayat (1) Ayat (21 Cukup ^jelas.


    Pasal 261

    Cukup ^jelas.


    Pasal 262

    Cukup ^jelas.


    Pasal 263

    Cukup ^jelas.


    Pasal 264

    Cukup ^jelas.


    Pasal 265

    Cukup ^jelas.


    Pasal 266

    Cukup ^jelas.


    Pasal 267

    Cukup ^jelas.


    Pasal 268

    Cukup ^jelas. Pe rtan ggu n gj awaban pe me ga ng P er izinan Beru sah a Pe manfaatan Hutan, pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau pemilik Hutan Hak atas terjadinya kebakaran Hutan di areal kerjanya merupakan tanggung jawab mutlak yang berarti pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau pemilik Hutan Hak baik sengaja maupun tidak sengaja, wajib bertanggung jawab secara pidana dan/atau membayar ganti rugi atas terjadinya kebakaran Hutan di areal kerjanya, kecuali apabila pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan atau pemilik Hutan Hak dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.


    Pasal 269

    Cukup ^jelas.


    Pasal 270

    Cukup ^jelas. Pasal 2TL Cukup ^jelas.


    Pasal 272

    Cukup ^jelas.


    Pasal 273

    Cukup ^jelas.


    Pasal 274

    Cukup ^jelas. Pasa1275 Cukup ^jelas.


    Pasal 276

    Cukup ^jelas.


    Pasal 277

    Cukup ^jelas.


    Pasal 278

    Cukup ^jelas.


    Pasal 279

    Cukup ^jelas.


    Pasal 280

    Cukup ^jelas.


    Pasal 281

    Cukup ^jelas.


    Pasal 282

    Cukup ^jelas.


    Pasal 283

    Cukup ^jelas.


    Pasal 284

    Cukup ^jelas.


    Pasal 285

    Cukup ^jelas.


    Pasal 286

    Cukup ^jelas.


    Pasal 287

    Cukup ^jelas.


    Pasal 288

    Cukup ^jelas.


    Pasal 289

    Cukup ^jelas.


    Pasal 290

    Cukup ^jelas. Pasal 29 1 Cukup ^jelas.


    Pasal 292

    Cukup ^jelas.


    Pasal 293

    Cukup ^jelas.


    Pasal 294

    Cukup ^jelas.


    Pasal 295

    Cukup ^jelas.


    Pasal 296

    Cukup ^jelas.


    Pasal 297

    Cukup ^jelas.


    Pasal 298

    Cukup ^jelas.


    Pasal 299 Cukup jelas. Pasal 30O Cukup jelas. Pasal 3O1 Cukup jelas. Pasal 3O2 Cukup jelas. Sl( No 099-s80 A

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):