Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013

Kerangka<< >>

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 47 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 41 ayat (3), Pasal 43 ayat (3), dan Pasal 45 ayat (2) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan; Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);

  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN. BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


  4. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disingkat BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

  5. Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah Dana Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja, Dana Jaminan Sosial Kematian, Dana Jaminan Sosial Hari Tua, dan Dana Jaminan Sosial Pensiun.

  6. Dana Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja adalah dana amanat milik peserta jaminan kecelakaan kerja yang merupakan himpunan iuran jaminan kecelakaan kerja beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja.

  7. Dana Jaminan Sosial Kematian adalah dana amanat milik peserta jaminan kematian yang merupakan himpunan jaminan kematian beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan kematian.

  8. Dana Jaminan Sosial Hari Tua adalah dana amanat milik peserta jaminan hari tua yang merupakan himpunan iuran jaminan hari tua beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan hari tua.

  9. Cadangan Teknis adalah cadangan teknis sesuai dengan praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum.

  10. Dana Operasional adalah bagian dari akumulasi iuran jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian serta hasil pengembangannya yang dapat digunakan BPJS Ketenagakerjaan untuk membiayai kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

  11. Iuran Jaminan Sosial yang selanjutnya disebut Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh pekerja, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah dalam rangka program jaminan sosial.

  12. Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang sistem jaminan sosial nasional.

  13. Aset Bersih adalah selisih total aset atas total Liabilitas pada waktu tertentu yang dicatat sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.

  14. Investasi BPJS Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Investasi adalah investasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan terhadap aset BPJS Ketenagakerjaan dan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dalam instrumen investasi sesuai peraturan perundang- undangan.

  15. Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Dewan Pengawas adalah organ BPJS Ketenagakerjaan yang bertugas melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengurusan BPJS Ketenagakerjaan oleh direksi dan memberikan arahan dan/atau nasihat kepada direksi dalam penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

  16. Direksi BPJS Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Direksi adalah organ BPJS Ketenagakerjaan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan BPJS Ketenagakerjaan untuk kepentingan BPJS Ketenagakerjaan, sesuai dengan asas, tujuan, dan prinsip BPJS Ketenagakerjaan, serta mewakili BPJS Ketenagakerjaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

  17. Bank Kustodian yang selanjutnya disebut Bank adalah Bank Badan Usaha Milik Negara yang telah mendapat izin dari pihak yang berwenang untuk memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.

  18. Bursa Efek adalah Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Pasar Modal.

  19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

    Pasal 2

    Pengelolaan aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dilakukan secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.


    Pasal 3
    (1)

    BPJS Ketenagakerjaan mengelola aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang terdiri atas:

    1. aset BPJS Ketenagakerjaan; dan

    2. aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (2)

    Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b terdiri atas aset dana:

    1. jaminan kecelakaan kerja;

    2. jaminan kematian;

    3. jaminan hari tua; dan

    4. jaminan pensiun.

    (3)

    BPJS Ketenagakerjaan dalam melaksanakan pengelolaan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

    1. perencanaan;

    2. pelaksanaan; dan

    3. pengawasan dan evaluasi. BAB II PERENCANAAN PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN Bagian Kesatu Umum


    Pasal 4

    Perencanaan pengelolaan aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a disusun sesuai dengan tahapan yang ditetapkan dalam standar perencanaan yang berlaku secara nasional yang mencakup:

    1. inventarisasi data dan informasi aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan; dan

    2. penyusunan dan penetapan rencana pengelolaan aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Bagian Kedua Inventarisasi Data dan Informasi Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan


    Pasal 5
    (1)

    Inventarisasi aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a ditujukan untuk mengumpulkan data dan informasi aset termasuk Liabilitas Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (2)

    Pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. sumber aset;

    2. Liabilitas;

    3. penggunaan; dan

    4. pengembangan. Bagian Ketiga Penyusunan dan Penetapan Rencana Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Paragraf 1 Umum


    Pasal 6

    Rancangan rencana pengelolaan aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b memuat rencana pengelolaan:

    1. aset dan Liabilitas BPJS Ketenagakerjaan.

    2. aset dan Liabilitas Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.


    Pasal 7

    Rancangan rencana pengelolaan aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 terdiri atas:

    1. rancangan rencana strategis; dan

    2. rancangan rencana kerja anggaran tahunan. Paragraf 2 Rancangan Rencana Strategis


    Pasal 8
    (1)

    Rancangan rencana strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a disusun oleh Direksi.

    (2)

    Rancangan rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat arah kebijakan pengelolaan aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan termasuk rancangan rencana strategis Investasi.

    (3)

    Kebijakan dan rancangan rencana strategis Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:

    1. profil aset dan Liabilitas Jaminan Sosial Ketenagakerjaan; dan

    2. kesesuaian antara durasi aset dan durasi Liabilitas.

    (4)

    Rancangan rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Dewan Pengawas menjadi rencana strategis program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (5)

    Rencana strategis program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

    (6)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana strategis diatur dengan peraturan Direksi. Paragraf 3 Rancangan Rencana Kerja Anggaran Tahunan


    Pasal 9
    (1)

    Rancangan rencana kerja anggaran tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b disusun oleh Direksi.

    (2)

    Rancangan rencana kerja anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengacu pada rencana strategis program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (3)

    Rancangan rencana kerja anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Dewan Pengawas menjadi rencana kerja anggaran tahunan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (4)

    Rencana kerja anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan aset dan Liabilitas Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. BAB III PELAKSANAAN PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN Bagian Kesatu Umum


    Pasal 10

    Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b meliputi:

    1. sumber aset;

    2. Liabilitas;

    3. penggunaan;

    4. pengembangan;

    5. kesehatan keuangan; dan

    6. pertanggungjawaban. Bagian Kedua Sumber Aset Paragraf 1 Umum


    Pasal 11

    Sumber aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a terdiri atas:

    1. aset BPJS Ketenagakerjaan; dan

    2. aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang terdiri atas:


  20. jaminan kecelakaan kerja;

  21. jaminan hari tua;

  22. jaminan pensiun; dan

  1. jaminan kematian. Paragraf 2 Sumber Aset BPJS Ketenagakerjaan
    Pasal 12
    (1)

    Sumber aset BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a terdiri atas:

    1. modal awal dari Pemerintah yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;

    2. hasil pengalihan aset PT. Jamsostek (Persero) yang menyelenggarakan program jaminan sosial;

    3. hasil pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan;

    4. Dana Operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan; dan/atau

    5. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan yang bersumber dari modal awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.

    (3)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan yang bersumber dari hasil pengalihan aset PT. Jamsostek (Persero) yang menyelenggarakan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan hasil pengalihan aset lembaga dari PT. Jamsostek (Persero).

    (4)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan yang bersumber dari hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berasal dari semua penambahan aset BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan hasil dari penempatan Investasi maupun bukan investasi.

    (5)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan yang bersumber dari Dana Operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, merupakan dana yang disediakan untuk membiayai kegiatan operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (6)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan yang bersumber dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, merupakan dana yang berasal dari:

    1. Surplus kegiatan BPJS Ketenagakerjaan; dan

    2. hibah dan/atau bantuan lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (7)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan yang bersumber dari hibah dan/atau bantuan lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa.

    (8)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a wajib dinilai sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.


    Pasal 13
    (1)

    Dana Operasional yang dapat diambil dari Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) ditetapkan paling tinggi:

    1. 10% (sepuluh persen) dari Iuran jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian; dan

    2. 2% (dua persen) dari akumulasi Iuran dan dana hasil pengembangan jaminan hari tua.

    (2)

    Besaran persentase Dana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan DJSN.


    Pasal 14
    (1)

    Dalam penentuan persentase Dana Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), BPJS Ketenagakerjaan mengajukan usulan besaran persentase Dana Operasional kepada Menteri paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dengan melampirkan rencana kerja anggaran tahunan BPJS Ketenagakerjaan.

    (2)

    Menteri menetapkan besaran persentase Dana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berjalan.

    (3)

    Besaran persentase Dana Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk tahun 2014 ditetapkan oleh Menteri paling lambat 31 Desember 2013. Paragraf 3 Sumber Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan


    Pasal 15
    (1)

    Sumber aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b terdiri atas:

    1. Iuran jaminan sosial ketenagakerjaan termasuk bantuan iuran;

    2. hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan;

    3. aset program jaminan sosial ketenagakerjaan yang menjadi hak peserta PT. Jamsostek (Persero); dan

    4. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang bersumber dari Iuran jaminan sosial termasuk bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berasal dari Iuran program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan termasuk bantuan iuran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang bersumber dari hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berasal dari semua penambahan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang merupakan hasil dari penempatan Investasi maupun bukan investasi.

    (4)

    Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang bersumber dari hasil pengalihan aset program jaminan sosial ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:

    1. aset program jaminan kecelakaan kerja yang dialihkan menjadi aset Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja;

    2. aset program jaminan hari tua yang dialihkan menjadi aset Dana Jaminan Sosial hari tua; dan

    3. aset program jaminan kematian yang dialihkan menjadi aset Dana Jaminan Sosial kematian.

    (5)

    Jumlah aset program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit sebesar jumlah Liabilitas kepada peserta pada saat pengalihan aset PT. Jamsostek (Persero) menjadi aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (6)

    Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang bersumber dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, merupakan dana yang berasal dari:

    1. Surplus aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sesuai dengan program;

    2. Surplus aset BPJS Ketenagakerjaan;

    3. dana talangan dari BPJS Ketenagakerjaan untuk pembayaran manfaat; dan/atau

    4. hibah dan/atau bantuan lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (7)

    Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang bersumber dari hibah dan/atau bantuan lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. Bagian Ketiga Liabilitas Paragraf 1 Umum


    Pasal 16

    Liabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b terdiri atas:

    1. Liabilitas BPJS Ketenagakerjaan; dan

    2. Liabilitas Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Paragraf 2 Liabilitas BPJS Ketenagakerjaan


    Pasal 17
    (1)

    Liabilitas BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a meliputi seluruh Liabilitas BPJS Ketenagakerjaan selaku penyelenggara program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (2)

    Liabilitas BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dinilai sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Paragraf 3 Liabilitas Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan


    Pasal 18
    (1)

    Liabilitas Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan terdiri atas:

    1. Liabilitas jaminan kecelakaan kerja;

    2. Liabilitas jaminan kematian;

    3. Liabilitas jaminan hari tua; dan

    4. Liabilitas jaminan pensiun.

    (2)

    Liabilitas jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b terdiri atas:

    1. cadangan teknis;

    2. utang klaim;

    3. utang Investasi; dan

    4. utang lainnya.

    (3)

    Cadangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas :

    1. cadangan Iuran yang belum merupakan pendapatan;

    2. cadangan atas klaim yang masih dalam proses penyelesaian; dan

    3. cadangan atas klaim yang sudah terjadi namun belum dilaporkan ( incurred but not reported ).

    (4)

    Liabilitas jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:

    1. utang jaminan hari tua;

    2. utang Investasi; dan

    3. utang lainnya.

    (5)

    Liabilitas Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dinilai sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku .


    Pasal 19

    Pengelolaan aset dan Liabilitas Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 18 dipisahkan untuk masing-masing program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.


    Pasal 20
    (1)

    BPJS Ketenagakerjaan wajib membentuk cadangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a dengan metode dan asumsi perhitungan sesuai dengan standar praktik aktuaria yang berlaku umum.

    (2)

    Perhitungan dan valuasi terhadap cadangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh aktuaris yang ditunjuk oleh Direksi.

    (3)

    Setiap 3 (tiga) tahun sekali Direksi menunjuk aktuaris independen yang memiliki kompetensi aktuaria di bidang jaminan sosial dengan persetujuan Dewan Pengawas untuk mereview perhitungan dan valuasi yang dilakukan oleh aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


    Pasal 21

    __ (1) Dewan Pengawas, dalam hal ditemukan ketidakwajaran perhitungan dan valuasi terhadap cadangan teknis atau bagian dari cadangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), dapat meminta Direksi untuk:

    1. memerintahkan aktuaris melakukan valuasi ulang atas jumlah cadangan teknis atau atas sebagian dari cadangan teknis yang dianggap tidak wajar; atau

    2. menunjuk aktuaris independen untuk melakukan valuasi ulang atas cadangan teknis atau atas bagian dari cadangan teknis yang dianggap tidak wajar.

      (2)

      Direksi wajib menunjuk aktuaris independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan setelah permintaan Dewan Pengawas. Bagian Keempat Penggunaan Paragraf 1 Umum


    Pasal 22

    Penggunaan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c terdiri atas:

    1. penggunaan aset BPJS Ketenagakerjaan; dan

    2. penggunaaan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Paragraf 2 Penggunaan Aset BPJS Ketenagakerjaan


    Pasal 23
    (1)

    Penggunaan aset BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a dapat dilakukan untuk:

    1. biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan;

    2. biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan;

    3. biaya untuk meningkatkan kapasitas pelayanan; dan

    4. Investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan yang digunakan untuk biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas biaya personel dan biaya non personel yang jenis dan besarannya ditetapkan oleh Direksi.

    (3)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan yang digunakan untuk biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Direksi sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku.

    (4)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan yang digunakan untuk biaya peningkatan kapasitas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Direksi sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku.

    (5)

    Aset BPJS Ketenagakerjaan yang digunakan untuk Investasi dalam instrumen investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dilakukan melalui Investasi pada instrumen investasi pasar uang, pasar modal, dan investasi langsung. Paragraf 3 Penggunaan Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan


    Pasal 24
    (1)

    Penggunaan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b dapat dilakukan untuk:

    1. pembayaran manfaat atau pembiayaan layanan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan;

    2. Dana Operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan; dan

    3. Investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang digunakan untuk pembayaran manfaat atau pembiayaan layanan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pembayaran uang tunai dan/atau pelayanan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (3)

    Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang digunakan untuk Dana Operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk operasionalisasi penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

    (4)

    Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang digunakan untuk Investasi dalam instrumen investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui Investasi pada instrumen sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Bagian Kelima Pengembangan Paragraf 1 Umum


    Pasal 25

    Pengembangan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d terdiri atas:

    1. pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan; dan

    2. pengembangan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Paragraf 2 Pengembangan Aset BPJS Ketenagakerjaan


    Pasal 26
    (1)

    Pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a dilakukan dalam bentuk Investasi yang dikembangkan melalui penempatan pada instrumen investasi dalam negeri.

    (2)

    Instrumen investasi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. deposito berjangka termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan serta sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan ( non negotiable certificate deposit ) pada Bank;

    2. surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia;

    3. surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia;

    4. surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek;

    5. saham yang tercatat dalam Bursa Efek;

    6. reksadana;

    7. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset;

    8. dana investasi real estate ;

    9. repurchase agreement ;

    10. penyertaan langsung; dan/atau

    11. tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan.


    Pasal 27

    Dalam hal jumlah Investasi melebihi batasan karena terjadi kenaikan dan/atau penurunan nilai Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b, BPJS Ketenagakerjaan wajib menyesuaikan kembali jumlah Investasi tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak terjadinya kelebihan batasan tersebut.


    Pasal 28
    (1)

    Pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Investasi berupa surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d paling sedikit harus memiliki peringkat A- atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar modal.

    (2)

    Pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Investasi berupa reksadana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf f merupakan produk reksadana yang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal.

    (3)

    Pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset dan dana investasi real estate sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf g dan huruf h harus memenuhi ketentuan:

    1. telah mendapat pernyataan efektif dari lembaga pengawas di bidang pasar modal;

    2. paling sedikit memiliki peringkat A- atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar modal; dan

    3. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

    (4)

    Pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Investasi berupa repurchase agreement sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf i harus memenuhi ketentuan:

    1. menggunakan kontrak perjanjian dengan standar Global Master _Repurchase Agreement (GMRA); _ b. jenis jaminan terbatas pada surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia dan/atau Bank Indonesia;

    2. jangka waktu tidak melebihi 90 (sembilan puluh) hari; dan d. nilai r epurchase agreement tidak lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari nilai pasar surat berharga yang dijaminkan.

    (5)

    Pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Investasi berupa penyertaan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf j hanya dapat dilakukan dengan kriteria:

    1. badan usaha yang bergerak di bidang yang mendukung pelaksanaan tugas BPJS Ketenagakerjaan dalam menyelenggarakan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan;

    2. badan usaha yang tidak bergerak di bidang usaha jasa keuangan yang diatur permodalannya secara ketat sehingga berpotensi menimbulkan kewajiban memenuhi permodalan secara berkelanjutan; dan

    3. tidak berpotensi menimbulkan benturan kepentingan di dalam melakukan kerjasama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (6)

    Pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Investasi berupa tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat 2 huruf k harus memenuhi ketentuan:

    1. dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama BPJS Ketenagakerjaan;

    2. memberikan penghasilan kepada BPJS Ketenagakerjaan; dan

    3. tidak ditempatkan pada tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan yang sedang diagunkan, dalam sengketa, atau diblokir pihak lain. __ __


    Pasal 29
    (1)

    Instrumen investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dibatasi dengan ketentuan:

    1. Investasi berupa deposito berjangka termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan serta sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan ( non negotiable certificate deposit ) pada Bank, paling tinggi 15% (lima belas persen) dari jumlah Investasi untuk setiap Bank;

    2. Investasi berupa surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek untuk setiap emiten paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah Investasi;

    3. Investasi berupa saham yang tercatat dalam Bursa Efek, untuk setiap emiten paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah Investasi;

    4. Investasi berupa reksadana, untuk setiap manajer investasi paling tinggi 15% (lima belas persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah Investasi;

    5. Investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset untuk setiap manajer investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Investasi.

    6. Investasi berupa dana investasi real estate , untuk setiap manajer investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Investasi;

    7. Investasi berupa repurchase agreement , untuk setiap counterpart paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima persen);

    8. Investasi berupa penyertaan langsung, untuk setiap pihak tidak melebihi 1% (satu persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi; dan

    9. Investasi berupa tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan, seluruhnya paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi.

    (2)

    Pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan berupa Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dikenakan pembatasan jumlah dan persentase.


    Pasal 30

    Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), BPJS Ketenagakerjaan dalam melakukan Investasi aset BPJS Ketenagakerjaan dilarang menempatkan dana pada perusahaan yang sahamnya dimiliki anggota Direksi, anggota Dewan Pengawas, pegawai BPJS, pegawai lembaga pengawas BPJS, anggota DJSN, atau pihak yang mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat ketiga dengan anggota Direksi, anggota Dewan Pengawas, anggota DJSN, pegawai BPJS, dan pegawai lembaga pengawas BPJS.


    Pasal 31

    BPJS Ketenagakerjaan dilarang melakukan transaksi derivatif atau memiliki instrumen derivatif untuk aset BPJS Ketenagakerjaan, kecuali efek beragun aset dan turunan surat berharga yang diperoleh sebagai bagian yang melekat pada suatu surat berharga yang tercatat di Bursa Efek.


    Pasal 32

    BPJS Ketenagakerjaan dilarang melakukan pengembangan aset BPJS Ketenagakerjaan dan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dalam bentuk Investasi berupa surat utang korporasi dan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d dan huruf e yang emitennya merupakan badan hukum asing.


    Pasal 33
    (1)

    Dalam melakukan Investasi, BPJS Ketenagakerjaan wajib menerapkan manajemen risiko.

    (2)

    Ketentuan mengenai manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Paragraf 3 Pengembangan Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan


    Pasal 34
    (1)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b wajib memperhatikan karakter kewajiban dari program jaminan sosial yang dikelola.

    (2)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk Investasi yang dikembangkan melalui penempatannya pada instrumen investasi dalam negeri.


    Pasal 35

    Instrumen Investasi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) untuk Dana Jaminan Sosial Hari Tua meliputi:

    1. deposito berjangka termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan serta sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan ( non negotiable certificate deposit ) pada Bank;

    2. surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia;

    3. surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia;

    4. surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek;

    5. saham yang tercatat dalam Bursa Efek;

    6. reksadana;

    7. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset;

    8. dana investasi real estate ;

    9. repurchase agreement ;

    10. penyertaan langsung; dan/atau

    11. tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan.


    Pasal 36
    (1)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial hari tua dalam bentuk Investasi berupa surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d paling sedikit memiliki peringkat A- atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar modal.

    (2)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial hari tua dalam bentuk Investasi berupa reksadana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf f merupakan produk reksadana yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

    (3)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial hari tua dalam bentuk Investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset dan dana investasi real estate sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf g dan huruf h harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

    1. telah mendapat pernyataan efektif dari lembaga pengawas di bidang pasar modal;

    2. paling sedikit memiliki peringkat A- atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar modal; dan

    3. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

    (4)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial hari tua dalam bentuk Investasi berupa repurchase agreement sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf i harus memenuhi ketentuan:

    1. menggunakan kontrak perjanjian dengan standar Global Master Repurchase Agreement (GMRA) ;

    2. jenis jaminan terbatas pada surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia dan/atau Bank Indonesia;

    3. jangka waktu tidak melebihi 90 (sembilan puluh) hari; dan d. nilai r epurchase agreement tidak lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari nilai pasar surat berharga yang dijaminkan.

    (5)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial hari tua dalam bentuk Investasi berupa penyertaan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf j hanya dapat dilakukan dengan kriteria:

    1. badan usaha yang bergerak di bidang yang mendukung pelaksanaan tugas BPJS Ketenagakerjaan dalam menyelenggarakan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan;

    2. tidak berpotensi menimbulkan benturan kepentingan di dalam melakukan kerjasama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    3. badan usaha yang bergerak di bidang usaha jasa keuangan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari total kepemilikan di perusahaan tersebut.

    (6)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial hari tua dalam bentuk Investasi berupa tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf k harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

    1. dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama BPJS Ketenagakerjaan;

    2. memberikan penghasilan ke Dana Jaminan Sosial hari tua; dan

    3. tidak ditempatkan pada tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan yang sedang diagunkan, dalam sengketa, atau diblokir pihak lain.


    Pasal 37
    (1)

    Instrumen investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dibatasi dengan ketentuan:

    1. Investasi berupa deposito berjangka termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan serta sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan ( non negotiable certificate deposit ) pada Bank, paling tinggi 15% (lima belas persen) dari jumlah Investasi untuk setiap Bank;

    2. Investasi berupa surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek untuk setiap emiten paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah Investasi;

    3. Investasi berupa saham yang tercatat dalam Bursa Efek, untuk setiap emiten paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah Investasi;

    4. Investasi berupa reksadana, untuk setiap manajer investasi paling tinggi 15% (lima belas persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah Investasi;

    5. Investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset untuk setiap manajer investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Investasi.

    6. Investasi berupa dana investasi real estate , untuk setiap manajer investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Investasi;

    7. Investasi berupa repurchase agreement untuk setiap counterpart paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi;

    8. Investasi berupa penyertaan langsung, untuk setiap pihak tidak melebihi 1% (satu persen) dari jumlah Investasi dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi; dan

    9. Investasi berupa tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan, seluruhnya paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi.

    (2)

    Jumlah Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah investasi masing-masing Dana Jaminan Sosial hari tua.

    (3)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial hari tua dalam bentuk Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dan huruf c tidak dikenakan pembatasan jumlah dan persentase.


    Pasal 38
    (1)

    Instrumen investasi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) untuk Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja dan Dana Jaminan Sosial kematian meliputi:

    1. deposito berjangka termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan serta sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan ( non negotiable certificate deposit ) pada Bank;

    2. surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia;

    3. surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia;

    4. surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek;

    5. saham yang tercatat dalam Bursa Efek;

    6. reksadana;

    7. repurchase agreement ; dan/atau

    8. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset.

    (2)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja berupa Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf h hanya dapat dilakukan apabila jumlah Aset Bersih Dana Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja paling sedikit harus mencukupi estimasi pembayaran klaim program Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja untuk 1 (satu) bulan ke depan.

    (3)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial kematian berupa Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf h hanya dapat dilakukan apabila jumlah Aset Bersih Dana Jaminan Sosial kematian paling sedikit harus mencukupi estimasi pembayaran klaim program Jaminan Sosial Kematian untuk 1 (satu) bulan ke depan.


    Pasal 39
    (1)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja dan Dana Jaminan Sosial Kematian dalam bentuk Investasi berupa surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf d paling sedikit memiliki peringkat A- atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar modal.

    (2)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja dan Dana Jaminan Sosial kematian dalam bentuk Investasi berupa reksadana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf f merupakan produk reksadana yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal.

    (3)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja dan Dana Jaminan Sosial kematian dalam bentuk Investasi berupa repurchase agreement sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat (1) huruf g harus memenuhi ketentuan:

    1. menggunakan kontrak perjanjian dengan standar Global Master Repurchase Agreement (GMRA) ;

    2. jenis jaminan terbatas pada surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia dan/atau Bank Indonesia;

    3. jangka waktu tidak melebihi 90 (sembilan puluh) hari; dan d. nilai r epurchase agreement tidak lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari nilai pasar surat berharga yang dijaminkan.

    (4)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja dan Dana Jaminan Sosial kematian dalam bentuk Investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf h harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

    1. telah mendapat pernyataan efektif dari lembaga pengawas di bidang pasar modal.

    2. paling kurang memiliki peringkat A- atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar modal; dan

    3. dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.


    Pasal 40
    (1)

    Instrumen investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dibatasi dengan ketentuan:

    1. Investasi berupa deposito berjangka termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan serta sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan ( non negotiable certificate deposit ) pada Bank, paling tinggi 15% (lima belas persen) dari jumlah Investasi untuk setiap Bank;

    2. Investasi berupa surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek, saham yang tercatat dalam Bursa Efek, reksadana, repurchase agreement , dan efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Aset Bersih;

    3. Investasi berupa surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek untuk setiap emiten paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi;

    4. Investasi berupa saham yang tercatat dalam Bursa Efek, untuk setiap emiten paling tinggi 5% (lima persen) dari jumlah Investasi;

    5. Investasi berupa reksadana, untuk setiap manajer investasi paling tinggi 15% (lima belas persen) dari jumlah Investasi;

    6. Investasi berupa repurchase agreement , untuk setiap counterpart paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah Investasi; dan

    7. Investasi berupa efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset untuk setiap manajer investasi paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Investasi.

    (2)

    Jumlah Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah Investasi masing-masing Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja dan Dana Jaminan Sosial kematian.

    (3)

    Pengembangan aset Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja dan Dana Jaminan Sosial kematian dalam bentuk Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf b dan huruf c tidak dikenakan pembatasan jumlah dan persentase.


    Pasal 41
    (1)

    Penempatan Investasi pada satu pihak tidak dapat melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah investasi.

    (2)

    Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu perusahaan atau sekelompok perusahaan yang memiliki hubungan kepemilikan langsung yang bersifat mayoritas. Bagian Keenam Kesehatan Keuangan Paragraf 1 Umum


    Pasal 42

    Kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf e terdiri atas kesehatan keuangan:

    1. aset BPJS Ketenagakerjaan; dan

    2. aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.


    Pasal 43

    Kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 terdiri atas:

    1. Surplus;

    2. nilai negatif; dan

    3. likuiditas. Paragraf 2 Kesehatan Keuangaan BPJS Ketenagakerjaan


    Pasal 44
    (1)

    Kesehatan keuangan aset BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a yang mengalami Surplus pada suatu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a digunakan untuk:

    1. menambah Aset Bersih BPJS Ketenagakerjaan; dan/atau b. memperkuat aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (2)

    Penentuan besaran alokasi Surplus aset BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas.


    Pasal 45

    Ketentuan mengenai standar kesehatan keuangan BPJS Ketenagakerjaan diatur dalam peraturan Menteri. Paragraf 3 Kesehatan Keuangan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan


    Pasal 46

    Kesehatan keuangan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf b yang mengalami Surplus pada suatu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a digunakan untuk menambah Aset Bersih Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.


    Pasal 47
    (1)

    Kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 46, untuk Dana Jaminan Sosial Jaminan kecelakaan kerja dan Dana Jaminan Sosial Jaminan kematian, masing-masing diukur dengan jumlah Aset Bersih sebagai berikut:

    1. paling sedikit harus mencukup estimasi pembayaran klaim untuk satu bulan kedepan; dan

    2. paling banyak sebesar estimasi pembayaran klaim untuk 12 (dua belas) bulan kedepan.

    (2)

    Estimasi pembayaran klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan rata-rata klaim bulanan selama 12 (dua belas) bulan terakhir sejak tanggal pelaporan.

    (3)

    Dalam hal pelaporan disusun per tanggal 31 Desember tahun berjalan, estimasi klaim bulanan dihitung berdasarkan total klaim dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun berjalan dan kemudian dibagi 12 (dua belas).

    (4)

    Dalam hal Aset Bersih Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja dan Dana Jaminan Sosial kematian per akhir tahun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit dapat dilakukan tindakan:

    1. penyesuaian Dana Operasional;

    2. penyesuaian besaran Iuran; dan/atau

    3. penyesuaian manfaat.

    (5)

    Ketentuan kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 untuk Dana Jaminan Sosial hari tua diukur berdasarkan kemampuan aset Dana Jaminan Sosial hari tua untuk membayar seluruh kewajiban program jaminan hari tua kepada peserta.


    Pasal 48
    (1)

    Dalam hal Aset Bersih Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja dan Dana Jaminan Sosial kematian bernilai negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b, Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus.

    (2)

    Tindakan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan melalui:

    1. penyesuaian besaran Iuran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    2. pemberian dana tambahan untuk kecukupan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

    3. penyesuaian manfaat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 49
    (1)

    Dalam hal terjadi kesulitan likuiditas Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c, BPJS Ketenagakerjaan dapat memberikan dana talangan kepada Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (2)

    Dana talangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 10% (sepuluh persen) dari aset BPJS Ketenagakerjaan.

    (3)

    Penggantian pinjaman dilakukan setelah Aset Bersih Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bernilai positif dan penggantian tersebut tidak mengakibatkan Aset Bersih Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan kembali bernilai negatif.

    (4)

    Penggantian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan secara bertahap. Bagian Ketujuh Pertanggungjawaban


    Pasal 50
    (1)

    BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun:

    1. laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan BPJS Ketenagakerjaan dan laporan keuangan tahunan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; dan

    2. laporan pengelolaan program dan laporan keuangan semesteran BPJS Ketenagakerjaan dan laporan keuangan semesteran Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni.

    (2)

    Ketentuan mengenai bentuk dan isi laporan pengelolaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk laporan aktuaris yang wajib disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.


    Pasal 51
    (1)

    BPJS Ketenagakerjaan wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden setelah mendapatkan persetujuan Dewan Pengawas paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya.

    (2)

    Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, dan DJSN.


    Pasal 52
    (1)

    Presiden sewaktu-waktu dapat meminta laporan keuangan dan laporan kinerja BPJS Ketenagakerjaan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (2)

    BPJS Ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permintaan Presiden diterima harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


    Pasal 53
    (1)

    BPJS Ketenagakerjaan wajib mengumumkan laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dalam bentuk ringkasan pada situs ( website ) BPJS dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.

    (2)

    Jangka waktu pengumuman pada situs ( website ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling cepat sampai dengan terbitnya laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan berikutnya.

    (3)

    Ketentuan mengenai bentuk dan isi ringkasan atas laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Direksi setelah mendapat persetujuan Dewan Pengawas.


    Pasal 54
    (1)

    Laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.

    (2)

    Pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib disajikan secara terpisah pada masing-masing program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan. BAB IV PENGAWASAN PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN


    Pasal 55

    Pengawasan pengelolaan aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c dilakukan melalui pengawasan:

    1. internal; dan

    2. eksternal.


    Pasal 56

    Pengawasan internal terhadap penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a dilakukan oleh Dewan Pengawas dan satuan pengawas internal.


    Pasal 57
    (1)

    Pengawasan Eksternal penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf b dilakukan oleh DJSN dan lembaga pengawas independen.

    (2)

    Pengawasan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

    (3)

    Dalam hal tertentu sesuai dengan kewenangannya, Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan.

    (4)

    Pengawasan eksternal oleh DJSN, dilakukan terhadap kinerja BPJS Ketenagakerjaan dalam penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (5)

    Pengawasan eksternal oleh Otoritas Jasa Keuangan dan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


    Pasal 58
    (1)

    Dalam rangka pengendalian intern, Direksi membentuk Satuan Pengawasan Internal atau disingkat SPI.

    (2)

    Satuan Pengawas Internal terdiri atas beberapa tenaga pengawas internal yang dipimpin oleh Kepala Satuan Pengawas Internal.

    (3)

    Ruang lingkup pengawasan internal mencakup pengawasan internal terhadap dana Investasi BPJS Ketenagakerjaan, aset BPJS Ketenagakerjaan, pembinaan sumber daya manusia, belanja modal untuk operasional BPJS Ketenagakerjaan, dan kegiatan operasional BPJS Ketenagakerjaan, baik di pusat maupun di daerah.

    (4)

    Pengawas internal menjalankan tugas pemeriksaan secara bebas dan mandiri sesuai kode etik pemeriksaan.

    (5)

    Pengawas internal memiliki akses terhadap seluruh dokumen, pencatatan, personal, dan fisik kekayaan di seluruh unit kerja BPJS Ketenagakerjaan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pemeriksanan.

    (6)

    Pengawas internal dilarang mempunyai hubungan pertalian ke atas dan ke bawah sampai derajat kedua dengan jajaran pimpinan obyek pemeriksaan.

    (7)

    Pengawas internal melakukan penilaian risiko dalam pengelolaan dan pengembangan dana BPJS Ketenagakerjaan dan Aset BPJS Ketenagakerjaan yang meliputi proses-proses identifikasi, analisis, dan pengukuran risiko yang relevan sesuai tujuan BPJS Ketenagakerjaan dalam penyelenggaraan program-program BPJS Ketenagakerjaan.


    Pasal 59

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik pemeriksaan, ruang lingkup, prinsip-prinsip, dan prosedur pengawasan internal diatur dengan peraturan Direksi.


    Pasal 60
    (1)

    Laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan diaudit oleh akuntan publik paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya.

    (2)

    Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh Dewan Pengawas.

    (3)

    Otoritas Jasa Keuangan berwenang memeriksa dan mengawasi kinerja BPJS Ketenagakerjaan, mengenai:

    1. kepatuhan BPJS Ketenagakerjaan terhadap peraturan mengenai kesehatan keuangan badan hukum milik negara;

    2. persediaan cadangan teknis program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (4)

    DJSN melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan program 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun.

    (5)

    Dalam hal tertentu sesuai dengan kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan. BAB V MONITORING DAN EVALUASI


    Pasal 61
    (1)

    DJSN melakukan monitoring dan evaluasi kondisi kesehatan keuangan BPJS Ketenagakerjaan dan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

    (2)

    DJSN wajib menyampaikan hasil monitoring dan evaluasi kondisi kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden.

    (3)

    DJSN menyelenggarakan rapat koordinasi untuk menyampaikan hasil monitoring dan evaluasi kondisi kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menteri terkait paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.

    (4)

    Dalam hal hasil monitoring dan evaluasi kondisi kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinilai berpotensi menimbulkan risiko fiskal dalam penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Menteri berkoordinasi dengan DJSN dan pihak terkait untuk melakukan tindak lanjut atas hasil monitoring dan evaluasi. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN


    Pasal 62
    (1)

    Dana peningkatan kesejahteraan peserta yang diselenggarakan oleh PT. Jamsostek (Persero) yang dialihkan menjadi aset BPJS Ketenagakerjaan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap diselenggarakan dalam bentuk layanan manfaat tambahan sampai dengan 30 Juni 2015.

    (2)

    Layanan manfaat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 30 Juni 2015 diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan manfaat layanan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan BPJS Ketenagakerjaan. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN


    Pasal 63

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, BPJS Ketenagakerjaan wajib menyesuaikan jenis investasi yang berasal dari pengalihan aset PT. Jamsostek (Persero) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, kecuali obligasi korporasi dapat dimiliki sampai dengan jatuh tempo. BAB VII KETENTUAN PENUTUP


    Pasal 64

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

    1. aset dan Liabilitas dana peningkatan kesejahteraan peserta yang bersumber dari alokasi laba PT. Jamsostek (Persero) beralih menjadi aset dan Liabilitas BPJS Ketenagakerjaan;

    2. kegiatan yang berkaitan dengan aset dan Liabilitas BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk pemberian manfaat layanan tambahan bagi peserta dan dalam bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan paling lambat sampai dengan tanggal 30 Juni 2015 yang pendanaannya dialokasikan sepenuhnya dari bagian Surplus BPJS Ketenagakerjaan;

    3. pemberian manfaat layanan tambahan bagi peserta sebagaimana dimaksud pada huruf b diintegrasikan ke dalam manfaat program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, atau jaminan hari tua paling lambat tanggal 1 Juli 2015, sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah mengenai program jaminan sosial ketenagakerjaan; dan

    4. kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada huruf b diselaraskan dengan fungsi BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tanggal 1 Juli 2015 yang pendanaannya sepenuhnya dari bagian Surplus BPJS Ketenagakerjaan.


    Pasal 65

    Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Investasi Dana Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4407), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


    Pasal 66

    Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2013 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di pada tanggal 27 Desember 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 256 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN I. UMUM Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa tujuan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menetapkan 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk melaksanakan program jaminan sosial nasional. BPJS Kesehatan melaksanakan program jaminan kesehatan sedangkan BPJS Ketenagakerjaan melaksanakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun bagi pemberi kerja dan pekerja penerima upah. BPJS Ketenagakerjaan melaksanakan program-program tersebut melalui kontribusi dari Iuran pemberi kerja dan pekerja. Penggunaan Sebagai salah satu usaha pencapaian tujuan penyelenggaraan program jaminan sosial ini, BPJS Ketenagakerjaan sebagai pihak pengelola program tersebut perlu untuk melakukan pengelolaan dan pengembangan dana dengan memperhatikan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Selain penerapan aspek tersebut diatas, penerapan tata kelola badan penyelenggara yang baik merupakan faktor yang turut mendorong tercapainya tujuan dimaksud. Dalam rangka memberikan arahan agar BPJS Ketenagakerjaan senantiasa dapat melakukan pengelolaan dan pengembangan dana program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dengan baik, diperlukan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai hal tersebut. Sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional dan terbukanya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan penempatan investasi pada jenis-jenis investasi yang baru, serta untuk mengatasi permasalahan- permasalahan yang timbul berkaitan dengan pengelolaan Investasi dana program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan tersebut kiranya ketentuan- ketentuan mengenai pengelolaan dana dan Investasi program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan perlu untuk disesuaikan dengan kondisi yang berlaku saat ini. II. PASAL DEMI PASAL


    Pasal 1

    Cukup jelas.


    Pasal 2

    Yang dimaksud dengan “ aspek likuiditas” adalah kemampuan untuk memenuhi kewajiban yang harus segera dipenuhi. Yang dimaksud dengan “aspek solvabilitas” adalah kemampuan memenuhi seluruh kewajiban kepada peserta. Yang dimaksud dengan “aspek kehati-hatian” adalah kemampuan untuk bertindak secara hati-hati dalam mengelola dana peserta dengan memperhatikan batasan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan. Yang dimaksud dengan “aspek keamanan” adalah kemungkinan dana yang dikelola dan hasil pengembangannya akan mampu memenuhi kewajiban kepada peserta. Yang dimaksud dengan “hasil yang memadai” adalah perbandingan antara hasil Investasi dan modal Investasinya. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas.


    Pasal 15

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “Liabilitas kepada peserta” adalah seluruh kewajiban yang menjadi hak peserta program Jaminan Sosial Ketenagakerjaaan yang tercantum dalam laporan keuangan PT. Jamsostek (Persero) yang menyelenggarakan program jaminan sosial, yang terdiri atas kewajiban program jaminan hari tua, program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, dan program jaminan pensiun. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dana talangan dari BPJS Ketenagakerjaan digunakan untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang bersifat jangka pendek dan hal-hal yang insidentil. Huruf d Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.


    Pasal 16

    Cukup jelas. __


    Pasal 17

    Ayat (1) __ Yang dimaksud dengan “seluruh Liabilitas” antara lain adalah:

    1. utang pembelian aset tetap;

    2. utang Investasi;

    3. utang pajak;

    4. biaya yang masih harus dibayar;

    5. pendapatan diterima di muka; dan/atau

    6. utang imbalan pasti pasca kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) __ Cukup jelas.


    Pasal 18

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “utang klaim” adalah klaim yang sudah dilaporkan dan disetujui untuk dibayar, namun belum dibayar. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “utang lainnya” adalah utang yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan terkait dengan penggunaan aset Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja dan jaminan kematian, contohnya antara lain utang pajak dan utang kepada BPJS. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “utang lainnya” adalah utang yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan terkait dengan penggunaan aset Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja dan jaminan kematian, contohnya antara lain utang pajak dan utang kepada BPJS. Ayat (5) Cukup jelas.


    Pasal 19

    Pemisahan pengelolaan aset juga diperlukan agar pendanaan untuk setiap kewajiban program jaminan tidak digunakan untuk pemenuhan kewajiban program jaminan yang lain.


    Pasal 20

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “aktuaris” adalah aktuaris yang bersertifikat FSAI dan terdaftar di lembaga yang berwenang di bidang otorisasi jasa keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas.


    Pasal 26

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “surat utang korporasi” adalah semua jenis investasi dalam bentuk surat utang yang dijual secara luas kepada publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pasar modal. Jenis surat utang tersebut antara lain obligasi, obligasi konversi, Medium Term Notes (MTN), Promissory Notes dan Floating Rate Notes (FRN) . Dengan demikian badan penyelenggara tidak diperkenankan menempatkan kekayaan dalam bentuk surat utang yang diterbitkan dan diperjualbelikan secara terbatas, misalnya Promissory Notes yang diterbitkan dan ditransaksikan secara bilateral antara penerbit dan investor. Huruf e Yang dimaksud dengan “saham yang tercatat dalam Bursa Efek” adalah seluruh penempatan Investasi dalam bentuk saham yang tercatat di Bursa Efek baik yang ditujukan untuk diperjualbelikan, tersedia untuk dijual, maupun yang ditujukan untuk dimiliki dalam jangka panjang dengan maksud antara lain untuk mengendalikan investee . Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan “ repurchase agreement ” adalah jenis transaksi surat berharga yang disertai perjanjian untuk menjual atau membeli kembali surat berharga tersebut pada jangka waktu dan harga yang telah ditentukan. Huruf j Yang dimaksud dengan “penyertaan langsung” adalah penempatan investasi pada saham yang tidak tercatat di Bursa Efek. Huruf k Cukup jelas.


    Pasal 27

    Cukup jelas.


    Pasal 28

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “bidang usaha jasa keuangan” adalah perusahaan jasa keuangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengharuskan pemilik modal untuk menambah modal dalam rangka memenuhi ukuran rasio kecukupan modal minimal, sebagaimana ditetapkan oleh lembaga yang mengawasinya. Contoh perusahaan jasa keuangan tersebut adalah lembaga perbankan dan asuransi. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.


    Pasal 29

    Cukup jelas.


    Pasal 30

    Yang dimaksud dengan “perusahaan” dalam ketentuan ini adalah perusahaan yang tidak terdaftar dalam Bursa Efek. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas . Pasal 34 Cukup jelas.


    Pasal 35

    Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan surat utang korporasi dalam ketentuan ini adalah semua jenis investasi dalam bentuk surat utang yang dijual secara luas kepada publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pasar modal. Jenis surat utang tersebut antara lain obligasi, obligasi konversi, Medium Term Notes (MTN), Promissory Notes dan Floating Rate Notes (FRN) . Dengan demikian badan penyelenggara tidak diperkenankan menempatkan kekayaan dalam bentuk surat utang yang diterbitkan dan diperjualbelikan secara terbatas, misalnya Promissory Notes yang diterbitkan dan ditransaksikan secara bilateral antara penerbit dan investor. Huruf e Yang dimaksud dengan saham yang tercatat dalam Bursa Efek dalam ketentuan ini adalah seluruh penempatan Investasi dalam bentuk saham yang tercatat di Bursa Efek baik yang ditujukan untuk diperjualbelikan, tersedia untuk dijual, maupun yang ditujukan untuk dimiliki dalam jangka panjang dengan maksud antara lain untuk mengendalikan investee . Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud repurchase agreement dalam ketentuan ini adalah jenis transaksi surat berharga yang disertai perjanjian untuk menjual atau membeli kembali surat berharga tersebut pada jangka waktu dan harga yang telah ditentukan. Huruf j Yang dimaksud dengan penyertaan langsung dalam ketentuan ini adalah penempatan investasi pada saham yang tidak tercatat di Bursa Efek. Huruf k Cukup jelas.


    Pasal 36

    Cukup jelas.


    Pasal 37

    Cukup jelas.


    Pasal 38

    Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan surat utang korporasi dalam ketentuan ini adalah semua jenis investasi dalam bentuk surat utang yang dijual secara luas kepada publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pasar modal. Jenis surat utang tersebut antara lain obligasi, obligasi konversi, Medium Term Notes (MTN), Promissory Notes dan Floating Rate Notes (FRN) . Dengan demikian badan penyelenggara tidak diperkenankan menempatkan kekayaan dalam bentuk surat utang yang diterbitkan dan diperjualbelikan secara terbatas, misalnya Promissory Notes yang diterbitkan dan ditransaksikan secara bilateral antara penerbit dan investor. Huruf e Yang dimaksud dengan saham yang tercatat dalam Bursa Efek dalam ketentuan ini adalah seluruh penempatan investasi dalam bentuk saham yang tercatat di Bursa Efek baik yang ditujukan untuk diperjualbelikan, tersedia untuk dijual, maupun yang ditujukan untuk dimiliki dalam jangka panjang dengan maksud antara lain untuk mengendalikan investee . Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud repurchase agreement dalam ketentuan ini adalah jenis transaksi surat berharga yang disertai perjanjian untuk menjual atau membeli kembali surat berharga tersebut pada jangka waktu dan harga yang telah ditentukan. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.


    Pasal 39

    Cukup jelas.


    Pasal 40

    Cukup jelas.


    Pasal 41

    Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas.


    Pasal 43

    Cukup jelas.


    Pasal 44

    Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas.


    Pasal 48

    Cukup jelas.


    Pasal 49

    Ayat (1) Pemberian dana talangan BPJS Ketenagakerjaan kepada Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai penjabaran dari “tindakan-tindakan khusus” sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.


    Pasal 50

    Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas.


    Pasal 52

    Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas.


    Pasal 54

    Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas.


    Pasal 56

    Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah peraturan perundang-undangan di bidang penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Ayat (3) Cukup jelas.


    Pasal 63

    Cukup jelas.


    Pasal 64

    Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial dan lingkungan” adalah komitmen BPJS Ketenagakerjaan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi BPJS Ketenagakerjaan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.


    Pasal 65

    Cukup jelas.


    Pasal 66 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5486

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):