Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022

Kerangka<< >>

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2TAHVN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2OO4 TENTANG JAI.,AN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang a bahwa negara bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa tqiuan dan tugas dibentuknya pemerintahan Negara di antaranya memajukan kesejahteraan umum seluruh ralcyat Indonesia; bahwa infrastruktur Jalan sebagai salah satu pilar utama untuk kesejahteraan umum dan sebagai prasarErna dasar dalam pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya ekonomi sebagai bagian dari sistem transportasi nasional melalui pendekatan pengembangan wilayah agatr tercapai konektivitas antarpusat kegiatan, keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah, peningkatan perekonomian pusat dan daerah dalam kesatuan ekonomi nasional sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat ^(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan dan membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional berdasarkan nilai-nilai Pancasila; bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum sehingga perlu diubah; b c d e bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan; Pasal 20, Pasal 21, Pasal 33 ayat (3) dan ayat (a), dan Pasal 34 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); Mengingat Menetapkan 1 2 3 MEMUTUSKAN: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2OO4 TENTANG JALAN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) diubah sebagai berikut: I Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian Jalan, termasuk bangu.nan penghubung, bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas perrnukaan tanah, di bawah permukaan tanah, dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel, jalan lori, dan jalan kabel. 2. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan ruas Jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat kegiatan/pusat pertumbuhan, dan simpul transportasi dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis. 3. Penyelenggaraan Jalan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan Jalan. 4. Penyelenggara Jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan Jalan sesuai dengan kewenangannya. 5. Pengaturan Jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundang- undangan di bidang Jalan. 6. Pembinaan Jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan Jalan. 7. Pembangunan Jalan adalah kegiatan penyusunan program dan anggaran, perencanaan teknis, pengadaan tanah, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian Jalan, dan/atau preservasi Jalan. 2 18. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Jalan. 20. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 21. Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. 22. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasa-l 2 Penyelenggaraan Jalan dilaksanakan dengan berdasarkan asas:

    1. kemanfaatan;

    2. keselamatan;

    3. keamanan dan kenyamanan;

    4. persatuan dan kesatuan;

    5. efisiensi dan efektivitas;

    6. keadilan;

    7. keserasian,keselarasan, dankeseimbangan;

    8. keterpaduan;

    9. kebersamaan dan kemitraan;

    10. berkelanjutan;

    11. transparansi dan akuntabilitas; dan

  2. partisipatif. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: 3 4

    Pasal 3

    Pengaturan Penyelenggaraan Jalan bertujuan untuk mewujudkan:

    1. ketertiban, keamanan, kelancaran, keselamatan arus penumpang dan barang, serta kepastian hukum dalam Penyelenggaraan Jalan;

    2. Penyelenggaraan Jalan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan distribusi logistik, pemerataan pembangunan, dan implementasi Pembangunan Jalan Berkelanjutan;

    3. peran Penyelenggara Jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat;

    4. pelayanan Jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat dengan memenuhi kinerja Jalan yang laik fungsi dan berdaya saing;

    5. Sistem Jaringan Jalan yang efisien dan efektif untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu;

    6. pengusahaan Jalan Tol yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan serta memenuhi SPM;

    7. partisipasi masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan; dan

    8. Sistem Jaringan Jalan yang berkelanjutan. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:


    Pasal 4

    Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:

    1. peran, pengelompokan, dan bagian-bagian Jalan;

    2. Jalan Umum;

    3. Jalan To1;

    4. Jalan Khusus;

    5. data dan informasi;

    6. partisipasi masyarakat; dan

    7. penyidikan. 5 a, -l - Ketentuan Pasal 6 ayat (3) diubah dan ayat (4) dihapus, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:


    Pasal 6
    (1)

    Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas Jalan Umum dan Jalan Khusus. (21 Jalan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status, dan kelas. (3) Jalan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperuntukkan bagi lalu lintas umum, tetapi untuk kepentingan la-lu lintas sendiri/tertentu yang diselenggarakan oleh selain Penyelenggara Jalan. (4) Dihapus. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:


    Pasal 8
    (1)

    Jalan Umum menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam Jalan arteri, Jalan kolektor, Jalan lokal, dan Jalan lingkungan. (2) Jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Jalan Umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah Jalan masuk dibatasi secara efisien. (3) Pembatasan jumlah Jalan masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan izin Penyelenggara Jalan. (4) Jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Jalan Umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah Jalan masuk dibatasi. 6 7 (5) Jalan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Jalan Umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah Jalan masuk tidak dibatasi. (6) Jalan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Jalan Umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rata-rata rendah. (7) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangannya. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jalan arteri, Jalan kolektor, Jalan lokal, dan Jalan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Jalan Umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam Jalan nasional, Jalan provinsi, Jalan kabupaten, Jalan kota, dan Jalan desa. (21 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan status Ja1an sesuai dengan pengelompokan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan fungsinya dan melakukan evaluasi secara berkala. (3) Dalam hal terdapat ruas Jalan yang belum ditetapkan statusnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan status Jalan paling lama 5 (lima) tahun dengan berdasarkan fungsinya terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. (4) Dalam ha-l terdapat Jalan baru yang dibangun untuk kebutuhan khusus, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan status Jalan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Jalan baru selesai dibangun.

    (5)

    Berdasarkan pengelompokan Jalan menurut statusnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Jalan wajib mencantumkan identitas setiap ruas Jalan. (6) Jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. Jalan arteri dalam Sistem Jaringan Jalan primer yang menghubungkan:


  3. antarpusat kegiatan nasional;

  4. antara pusat kegiatan nasional dan pusat kegiatan wilayah; dan/atau

  5. pusat kegiatan nasional dan/atau pusat kegiatan wilayah dengan bandar udara pengumpul dan pelabuhan utama atau pengumpul. b. Jalan kolektor dalam Sistem Jaringan Jalan primer yang menghubungkan sistem transportasi nasional lainnya yang merupakan Jalan kolektor primer 1;

    1. Jalan strategis nasional; dan

    2. Jalan To1. (71 Jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    3. Jalan kolektor dalam Sistem Jaringan Jalan primer yang menghubungkan ibu kota provinsi dengan ibu kota kabupaten/ kota yang merupakan Jalan kolektor primer 2;

    4. Jalan kolektor dalam Sistem Jaringan Jalan primer yang menghubungkan antaribu kota kabupaten/kota yang merupakan Jalan kolektor primer 3; dan

    5. Jalan strategis provinsi yang pembangunannya diprioritaskan untuk melayani kepentingan provinsi berdasarkan pertimbangan untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan keamanan. (8) Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: FRESTDEN REPUBLIK INDONESIA -10- a. Jalan kolektor dalam Sistem Jaringan Jalan primer yang tidak termasuk Jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan Jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang merupakan Jalan kolektor primer 4;

    6. Jalan lokal dalam Sistem Jaringan Jalan primer yang menghubungkan:

    7. ibu kota kabupaten dengan ibu kota kecamatan;

  6. ibu kota kabupaten dengan pusat desa;

  7. antaribu kota kecamatan;

  8. ibu kota kecamatan dengan pusat desa;

  9. ibu kota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal;

  10. antarpusat kegiatan lokal;

  11. antardesa; dan

  12. poros desa. c. Jalan Umum dalam Sistem Jaringan Jalan sekunder dalam wilayah kabupaten; dan

    1. Jalan strategis kabupaten. (9) Jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Jalan Umum dalam Sistem Jaringan Jalan sekunder yang menghubungkan:

    2. antarpusat pelayanan dalam kota;

    3. pusat pelayanan dengan persil;

    4. antarpersil;

    5. antarpusat permukiman yang berada di dalam kota; dan

    6. Jalan poros desa dalam wilayah kota. (10) Jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Jalan Umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa serta Jalan lingkungan di dalam desa. (11) Ketentuan lebih lanjut mengenai status Jalan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (10) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 8 Di antara Pasa1 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 94, sehingga Pasal 9A berbunyi sebagai berikut: Pasal 9,4' (1) Status Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat dievaluasi secara berkala paling lama 5 (lima) tahun atau disesuaikan dengan perubahan fungsi Jalan. (2\ Perubahan status Jalan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit:

    7. pelayanan Jalan terhadap wilayah yang bertambah luas atau sempit dari wilayah sebelumnya;

    8. kebutuhan terhadap Jalan dalam rangka pengembangan sistem transportasi dan mobilitas masyarakat;

    9. kapasitas Jalan dalam melayani masyarakat di wilayah tempat Jalan berada;

    10. bertambah atau berkurangnya peran Jalan; atau

    11. kecepatan rata-rata arus lalu lintas jika dibandingkan dengan kecepatan rencana. (3) Perubahan status Jalan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak perubahan fungsi ditetapkan. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status Jalan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: 9 Pasal 11 (1) Setiap Jalan harus memiliki bagian-bagian Jalan yang merupakan ruang yang dipergunakan untuk mobilitas, konstruksi Jalan, keperluan peningkatan kapasitas Jalan, dan keselamatan bagi pengguna Jalan. (21 Bagian-bagtan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    12. ruang manfaat Jalan;

    13. ruang milik Jalan; dan

    14. ruang pengawasan Jalan. (3) Dalam rangka tertib pemanfaatan Jalan, Penyelenggara Jalan harus menjaga bagian-bagian Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 agar senantiasa berfungsi dengan baik. (4) Ruang manfaat Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:

    15. badan Jalan;

    16. jalur kendaraan bermotor roda dua, pejalan kaki, pesepeda, dan/atau penyandang disabilitas;

    17. saluran tepi Jalan;

    18. ambang pengaman Jalan;

    19. ^jaiur ^jaringan utilitas terpadu; dan

    20. lajur atau jalur angkutan massal berbasis jalan maupun lajur khusus lalu lintas lainnya. (5) Penyediaan fasilitas pejalan kaki, pesepeda, dan penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat l4l dikecualikan di Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol. (6) Ruang milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b meliputi ruang manfaat Jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat Jalan. (71 Ruang pengawasan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan ruang tertentu di luar ruang milik Jalan yang ada di bawah pengawasan Penyelenggara Jalan.

      (8)

      Selain memiliki bagian Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk mendukung fungsi Jalan, dapat dibangun bangunan penghubung berupa jembatan dan/atau terowongan guna mengatasi rintangan antarnras Jalan. (9) Pemanfaatan bagian-bagian Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain peruntukannya wajib memperoleh bin dari Penyelenggara Jalan sesuai dengan kewenangannya dan pelaksanaannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/barang milik daerah. (10) Setiap orang yang melanggar ketentuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda administratif. (1 1) Ketentuan lebih lanjut mengenai bagian-bagian Jalan dan bangunan penghubung, pemanfaatannya, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (10) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  13. Ketentuan Pasal 72 tetap, penjelasan Pasal 12 ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal.

  14. Ketentuan Pasal 13 ayat (2) diubah sehingga Pasa-l 13 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 13

    Penguasaan atas Jalan ada pada negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa untuk melaksanakan Penyelenggaraan Jalan sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan keberlangsungan pelayanan Jalan dalam kesatuan Sistem Jaringan Jalan.

    (1)

    (2t


  15. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 14
    (1)

    Wewenang Pemerintah Pusat dalam Penyelenggaraan Jalan meliputi:

    1. Pengembangan Sistem Jaringan Jalan secara nasional;

    2. Penyelenggaraan Jalan secara umum; dan

    3. Penyelenggaraan Jalan nasional. l2l ^Dalam ^mengembangkan ^Sistem ^Jaringan ^Jalan secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pemerintah Pusat menJrusun rencana umum jaringan Jalan secara nasional dengan memperhatikan:

    4. rencana pembangunan jangka panjang nasional;

    5. rencana tata ruang wilayah;

    6. tataran transportasi nasional yang ada dalam sistem transportasi nasional;

    7. implementasi Pembangunan Jalan Berkelanjutan; dan

    8. rencana pengembangan kawasan prioritas dan terintegrasi antarsektor. (3) Rencana umum jaringan Jalan secara nasional dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan dasar penyusunan prioritas untuk menyeimbangkan pembangunan wilayah dan kawasan antara daerah sudah berkembang, sedang berkembang, dan daerah pengembangan baru. (4) Wewenang Penyelenggaraan Ja-lan secara umum dan Penyelenggaraan Jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.


  16. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 15
    (1)

    Wewenang Pemerintah Daerah provinsi dalam Penyelenggaraan Jalan meliputi Penyelenggaraan Jalan provinsi. (21 Wewenang Penyelenggaraan Jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan Jalan provinsi. (3) Dalam hal Pemerintah Daerah provinsi belum dapat melaksanakan wewenang pembangunan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Pemerintah Pusat melakukan pengambilalihan pelaksanaan urusan Pembangunan Jalan provinsi. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang Penyelenggaraan Jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengambilalihan pelaksanaan urusan Pembangunan Jalan provinsi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


  17. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 16
    (1)

    Wewenang Pemerintah Daerah kabupaten dalam Penyelenggaraan Jalan meliputi Penyelenggaraan Jalan kabupaten, pengaturan Jalan desa, dan pembinaan Jalan desa. (2) Wewenang Pemerintah Daerah kota dalam Penyelenggaraan Jalan meliputi Penyelenggaraan Jalan kota serta pengaturan Jalan desa dan pembinaan Jalan desa dalam wilayah kota. (3) Wewenang Penyelenggaraan Jalan kabupaten dan Jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan Jalan kabupaten/kota. (41 Dalam hal Pemerintah Daerah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan wewenang Pembangunan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah provinsi dan/atau Pemerintah Pusat melakukan pengambilalihan pelaksanaan urusan pembangunan Jalan kabupaten/kota. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang Penyelenggaraan Ja-lan kabupaten dan Jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 serta pengambilalihan pelaksanaan urusan pembangunan Jalan kabupaten/kota oleh Pemerintah Daerah provinsi dan/atau Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


  18. Di antara Pasal 16 dan Pasa-l 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A sehingga Pasal 16A berbunyi sebagai berikut: Pasal L6A (1) Wewenang Pemerintah Desa dalam Penyelenggaraan Jalan meliputi Jalan desa. (21 Wewenang Penyelenggaraan Jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembangunan dan Pengawasan Jalan desa. (3) Dalam hal Pemerintah Desa belum dapat melaksanakan wewenang Pembangunan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah kabupaten, Pemerintah Daerah kota, dan/atau Pemerintah Daerah provinsi melakukan pengambilalihan pelaksanaan urusan Pembangunan Jalan Desa. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang Penyelenggaraan Jalan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pengambilalihan pelaksanaan urusan pembangunan Jalan Desa oleh Pemerintah Daerah kabupaten, Pemerintah Daerah kota, dan/atau Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  19. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 17

    Pengaturan Jalan Umum meliputi:

    1. pengaturan Jalan secara umum;

    2. pengaturan Jalan nasional;

    3. pengaturan Jalan provinsi;

    4. pengaturan Jalan kabupaten;

    5. pengaturan Jalan kota; dan

    6. pengaturan Jalan desa.


  20. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 18
    (1)

    Pengaturan Jalan secara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi:

    1. pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya;

    2. perumusan kebijakan perencanaan;

    3. pengendalian Penyelenggaraan Jalan secara makro; dan

    4. penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pengaturan Jalan. (2) Pengaturan Jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b meliputi:

    5. penetapan fungsi Jalan untuk ruas Jalan arteri dan Jaian kolektor yang menghubungkan simpul transportasi nasional lainnya dalam Sistem Jaringan Jalan primer;

    6. penetapan status Jalan nasional; dan

    7. peny'usunan rencana umum jaringan Jalan nasional.

    (3)

    Dalam perumusan kebijakan perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan penyusunan rencana umum jaringan Jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf c, Pemerintah Pusat harus memperhatikan:

    1. rencana pembangunan jangka panjang nasional;

    2. rencana tata ruang wilayah nasional;

    3. tataran transportasi nasional yang ada dalam sistem transportasi nasional; dan

    4. implementasi Pembangunan Jalan Berkelanjutan.


  21. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 19
    (1)

    Pengaturan Jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c meliputi:

    1. perumusan kebijakan Penyelenggaraan Jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang Jalan;

    2. penyusunan pedoman operasional Penyelenggaraan Jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian antarwilayah provinsi;

    3. penetapan fungsi Jalan dalam Sistem Jaringan Jalan sekunder dan jaringan Jalan kolektor yang menghubungkan ibu kota provinsi dengan ibu kota kabupaten, antaribu kota kabupaten, Jalan lokal, dan Jalan lingkungan dalam Sistem Jaringan Jalan primer;

    4. penetapan status Jalan provinsi; dan

    5. penJrusunan perencanaan jaringan Jalan provinsi. (21 Dalam penyusunan perencanaan jaringan Jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, Pemerintah Daerah provinsi harus memperhatikan:

    6. rencana pembangunan jangka panjang provinsi;

    7. rencana b. rencana tata ruang wilayah provinsi;

    8. tataran transportasi wilayah provinsi yang ada dalam sistem transportasi nasional;

    9. rencana umum jaringan Jalan nasional; dan

    10. implementasi Pembangunan Jalan Berkelanjutan.


  22. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 20
    (1)

    Pengaturan Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d meliputi:

    1. perumusan kebijakan Penyelenggaraan Jalan kabupaten berdasarkan kebijakan nasional di bidang Jalan dengan memperhatikan keserasian antardaerah dan antarkawasan;

    2. penyusunan pedoman operasional Penyelenggaraan Jalan kabupaten; penetapan status Jalan kabupaten; dan penyusunan perencanaan jaringan kabupaten. (21 Dalam penyusunan perencanaan jaringan Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah kabupaten harus memperhatikan:

    3. rencana pembangunan jangka panjang kabupaten;

    4. rencana tata ruang wilayah kabupaten;

    5. tataran transportasi lokal kabupaten yang ada dalam sistem transportasi nasional;

    6. rencana umum jaringan Jalan nasional dan Jalan provinsi; dan

    7. implementasi Pembangunan Jalan Berkelanjutan.


  23. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut: c d Jalan

    Pasal 21
    (1)

    Pengaturan Jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf e meliputi:

    1. perumusan kebijakan Penyelenggaraan Jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang Jalan dengan memperhatikan keserasian antardaerah dan antarkawasan;

    2. penyusunan pedoman operasional Penyelenggaraan Jalan kota;

    3. penetapan status Jalan kota; dan

    4. penyusunan perencanaan ^jaringan Jalan kota. (21 Dalam penyu.sunan perencanaan jaringan Jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah kota harus memperhatikan:

    5. rencana pembangunan ^jangka panjang kota;

    6. rencana tata ruang wilayah kota;

    7. tataran transportasi lokal kota yang ada dalam sistem transportasi nasional;

    8. rencana umum ^jaringan Jalan nasional dan Jalan provinsi; dan

    9. implementasi Pembangunan Jalan Berkelanjutan. 2L. Di antara Pasal 21 dan Pasal 22, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 21A sehingga Pasal 21A berbunyi sebagai berikut: Pasal 21A

    (1)

    Pengaturan Jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf f meliputi:

    1. perumusan kebijakan Penyelenggaraan Jalan desa berdasarkan kebijakan nasional di bidang Jalan dengan memperhatikan keserasian antardaerah dan antarkawasan;

    2. penyusunan pedoman operasional Penyelenggaraan Jalan desa;

    3. penetapan status Jalan desa; dan

    4. penyrrsunan perencanaan ^jaringan Jalan desa. (21 Dalam penyusunan perencanaan jaringan Jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Desa harus memperhatikan:

    5. rencana pembangunan jangka panjang desa;

    6. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;

    7. tataran transportasi lokal desa yang ada dalam sistem transportasi nasional;

    8. rencana umum jaringan Jalan nasional, Jalan provinsi, dan Jalan kabupaten; dan

    9. implementasi Pembangunan Jalan Berkelanjutan.


  24. Ketenitan Pasal 22 diubah sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 22

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 2 1 , dan Pasal 2 1A diatur dalam Peraturan Pemerintah.


  25. Ketentuan Bagian Ketujuh Bab IV diubah sehingga Bagian Ketujuh Bab IV berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketujuh Pembangunan Jalan Umum Paragraf 1 Umum

    Pasal 29
    (1)

    Pembangunan Jalan Umum ditqiukan guna mencapai kondisi laik fungsi dan berdaya saing, baik untuk Jalan nasional, Jalan provinsi, Jalan kabupaten, Jalan kota, maupun Jalan desa. (21 Pembangunan Ja-lan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. Pembangunan Jalan baru; dan

    2. preservasi ^jaringan Jalan yang sudah ada. Pasal 30 (1) Pembangunan Ja-lan Umum meliputi pembangunan Jalan secara umum serta pembangunan Jalan nasional, Jalan provinsi, Jalan kabupaten, Jalan kota, dan Jalan desa. {21 ^Pembangunan Jalan Umum ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kegiatan:

    3. pen5rusunan program dan anggaran;

    4. perencanaan teknis;

    5. pengadaan tanah;

    6. pelaksanaan konstruksi;

    7. pengoperasian Jalan; dan/atau

    8. preservasi Jalan. (3) Sebagian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah di bidang pembangunan Jalan Umum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah pada tingkatan di bawahnya dan Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Penyusunan Program dan Anggaran Pasal 31 (1) Penyusunan program Pembangunan Jalan pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten, kota, ataupun desa meliputi:

    9. Pembangunan Jalan baru; dan

    10. preservasi ^jaringan Jalan yang sudah ada. (21 Penyusunan program Pembangunan Jalan harus bersinergi dengan sistem transportasi dan sistem logistik. (3) Penyusunan program Pembangunan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan rencana tata ruang. (41 Penyusunan program Pembangunan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan pengelompokan status Jalan.


    Pasal 32
    (1)

    Penyusunan program Jalan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a ditujukan untuk:

    1. mempercepat mobilitas barang dan/atau orang;

    2. menciptakan sistem logistik yang efisien; dan

    3. membuka akses yang menghubungkan ke seluruh wilayah Indonesia, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar dengan memperhatikan pengembangan wilayah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. (21 Penyusunan program preservasi jaringan Jalan yang sudah ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b ditujukan untuk mempertahankan kondisi kemantapan Jalan yang sudah ada agar bertahan hingga mencapai umur rencana. Pasal 33 (1) Anggaran pembangunan Jalan Umum menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemerintah Pusat memberikan dukungan anggaran pembangunan Jalan Umum bagi Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dukungan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    4. belanja kementerian/ lembaga;

    5. transfer ke daerah dan dana desa; dan/atau

    6. pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


    Pasal 34

    Dalam mengelola anggaran Pembangunan Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Pemerintah Desa dapat mengembangkan model pembiayaan berbasis ketersediaan layanan untuk mempercepat peningkatan layanan Jalan. Paragraf 3 Perencanaan Teknis


    Pasal 35
    (1)

    Perencanaan teknis Pembangunan Jalan meliputi perencanaan teknis Jalan, bangunan penghubung, dan bangunan pelengkap. (2\ Perencanaan teknis Pembangunan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan kriteria perencanaan teknis dalam rangka pemenuhan persyaratan teknis di bidang Jalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Perencanaan teknis Pembangunan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 harus dilengkapi dengan kajian aspek keselamatan Jalan dan memperhatikan implementasi Pembangunan Jalan Berkelanjutan. Paragraf 4 Pengadaan Tanah Pasal 35A

    (1)

    Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk Pembangunan Jalan Umum wajib dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. (21 Pengadaan tanah untuk Pembangunan Jalan Umum diselenggarakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pasal 35B Ketentuan penyelengaraan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A berlaku secara mutatis mutandis bagi pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol. Pasal 35C

    (1)

    Badan Usaha membangun Jalan ToI di atas tanah barang milik negara/barang milik daerah, mekanismenya dilakukan melalui pemanfaatan atau pemindahtanganan yang pelaksanaannya mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan barang milik negaraf barang milik daerah. (21 Badan Usaha dalam membangun Jalan Tol di atas tanah milik perseorangan, kelompok masyarakat, masyarakat hukum adat, badan usaha, dan/atau tanah kas desa, pengadaan tanah dilaksanakan dengan pemberian ganti rugi yang layak dan adil. Pasal 35D Dalam hal pengu.sahaan Jalan Tol merupakan prakarsa Badan Usaha, pembiayaan pengadaan tanah menjadi kewajiban dari pemrakarsa. Paragraf 5 Pelaksanaan Konstruksi Pasal 35E (1) Peiaksanaan konstruksi Pembangunan Jalan wajib memenuhi standar dan kualitas konstruksi Jalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konstruksi Jalan.

    (2)

    Dalam memenuhi standar dan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konstruksi Pembangunan Jalan wajib memenuhi daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat sesuai dengan kelas Jalan sebagai berikut:

    1. Jalan kelas I memiliki daya dukung muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton; dan

    2. Jalan kelas II dan III memiliki daya dukung muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton. (3) Selain memenuhi daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), konstruksi Pembangunan Jalan wajib:

    3. memenuhi spesifikasi penyediaan prasarana Jalan sesuai dengan kelas Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3);

    4. mempertahankan fungsi konservasi lingkungan; dan

    5. memperhatikan hak masyarakat atas informasi mengenai lebar ruang pengawasan Jalan pada Jalan yang baru dibangun. (41 Dalam setiap tahapan pelaksanaan konstruksi Pembangunan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (21, dan ayat (3) dilakukan audit keselamatan Jalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 6 Pengoperasian Jalan Pasal 35F

    (1)

    Penyelenggara Jalan wajib memenuhi persyaratan uji laik fungsi secara teknis dan administratif, inspeksi keselamatan Ja1an, dan audit keselamatan Jalan, baik pada saat memulai maupun pada saat pengoperasian Jalan. (21 Pengoperasian Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi SPM. Paragraf 7 Preservasi Jalan Pasal 35G

    (1)

    Preservasi Jalan meliputi kegiatan:

    1. pemeliharaan rutin;

    2. pemeliharaan berkala;

    3. rehabilitasi;

    4. rekonstruksi; dan

    5. pelebaran menuju standar. (21 Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan preservasi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkesinambungan sesuai dengan kondisi segmen ruas Jalan untuk mencapai umur rencana dan mempertahankan tingkat pelayanan Jalan. (3) Pelaksanaan preservasi Jalan harus memperhatikan keselamatan pengguna Jalan dan penempatan perlengkapan Jalan secara jelas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 35H Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30, pen)rusunan program dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 34, perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A sampai dengan Pasal 35D, pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35E, pengoperasian Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35F, dan preservasi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35G diatur dalam Peraturan Pemerintah.


  26. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 36
    (1)

    Dalam mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan, dan pembangunan Jalan Umum dilakukan pengawasan. (21 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kegiatan pemantauan dan evaluasi yang meliputi:

    1. penilaian kinerja Penyelenggaraan Jalan;

    2. pengkajian pelaksanaan kebijakan Penyelenggaraan Jalan;

    3. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan Jalan; dan

    4. pemenuhan SPM yan: g ditetapkan oleh Penyelenggara Jalan. (3) Pengawasan Jalan Umum meliputi pengawasan Ja1an secara umum, pengawasan Jalan nasional, pengawasan Jalan provinsi, pengawasan Jalan kabupaten/kota, serta pengawasan Jalan desa. (41 Pengawasan Jalan nasional, Jalan provinsi, Jalan kabupaten/kota, dan Jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Penyelenggara Jalan sesuai dengan kewenangannya.


  27. Ketentuan Pasal 37 dihapus.

  28. Ketentuan Pasa-l 38 dihapus.

  29. Ketentuan Pasal 39 dihapus.

  30. Ketentuan Pasal 40 dihapus.

  31. Ketentuan Pasal 41 dihapus.

  32. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 43
    (1)

    Jalan Tol diselenggarakan untuk:

    1. memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang;

    2. meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi;

    3. meringankan beban dana Pemerintah Pusat melalui partisipasi pengguna Jalan;

    4. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan;

    5. meningkatkan aksesibilitas dari daerah potensial yang belum berkembang; dan

    6. meningkatkan dan memberdayakan perekonomian masyarakat. (2\ Jalan Tol merupakan bagian dari Sistem Jaringan Jalan nasional dan terintegrasi dengan sistem transportasi yang terpadu. (3) Pengusahaan Jalan Tol dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan berdasarkan prinsip transparansi dan keterbukaan. (4) Pengguna Jalan Tol dikenai kewajiban membayar Tol yang digunakan untuk pengembalian investasi, preservasi, dan pengembangan jaringan Jalan To1. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggaraan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


  33. Ketentuan Pasal 47 tetap, penjelasan Pasal 47 ayat (21 dan ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal.

  34. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Tarif Tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna Jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi. (21 Tarif To1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)yang besarannya tercantum dalam perjanjian pengusahaan Jalan Tol ditetapkan bersamaan dengan penetapan pengoperasian Jalan dimaksud sebagai Jalan To1. (3) Evaluasi dan penyesuaian tarif To1 dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan:

    1. pengaruh laju inflasi; dan

    2. evaluasi terhadap pemenuhan SPM Jalan To1. (41 Selain evaluasi dan penyesuaian tarif To1 yang dilakukan setiap 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), evaluasi dan penyesuaian dapat dilakukan dalam hal:

    3. pemenuhan pelayanan lalu lintas pada sistem jaringan Jalan Tol di wilayah tertentu dengan memperhatikan kapasitas Jalan Tol;

    4. terdapat penambahan lingkup di luar rencana usaha yang mempengaruhi kelayakan investasi; dan/atau

    5. terdapat kebijakan Pemerintah Pusat yang mempengaruhi kelayakan investasi Jalan To1. (5) Dalam hal tingkat kelayakan finansial Jalan Tol pada masa operasi melebihi tingkat kelayakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, kelebihan tingkat kelayakan finansial merupakan penerimaan negara bukan pajak yang akan dipergunakan untuk pengembangan jaringan Jalan Tol sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan setelah dilakukan audit oleh lembaga yang berwenang di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan. (71 Pemberlakuan tarif Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), evaluasi dan penyesuaian tarif tol setiap 2 (dua) tahun sekali sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan evaluasi dan penyesuaian tarif tol selain setiap 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif Tol dan penyesuaian tarif Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (71 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  35. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut: Pasa] 50 (1) Pengusahaan Jalan Tol dilaksanakan dengan maksud untuk mempercepat peru'ujudan jaringan Jalan Bebas Hambatan sebagai bagian jaringan Jalan nasional. (2) Pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau preservasi. (3) Pengaturan pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. (4) Pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau Badan Usaha milik swasta. (5) Pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui perjanjian pengusahaan Jalan Tol dengan Pemerintah Pusat. (6) Pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diaudit oleh lembaga yang berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. (71 Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengembangan jaringan Jalan Tol tidak dapat diwujudkan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Pusat dapat mengambil kebijakan sesuai dengan kewenangannya. (8) Konsesi pengusahaan Jalan Tol diberikan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian yang ditetapkan antara Pemerintah Pusat dan Badan Usaha melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel. (9) Dalam hal konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berakhir, Pengusahaan Jalan Tol dikembalikan kepada Pemerintah Pusat.

    (10)

    Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (9) sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pengusahaan Jalan Tol sebagai berikut:

    1. mengalihkan status Jalan Tol menjadi Jalan bebas hambatan non-Tol; atau

    2. menugaskan pengusahaan baru kepada badan usaha milik negara untuk pengoperasian dan preservasi Jalan To1. ( 1 1) Tarif To1 awal dari pengusahaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b ditetapkan lebih rendah daripada tarif Tol yang berlaku pada akhir masa konsesi. (12) Dalam hal terdapat kebutuhan peningkatan kapasitas Jalan Tol selain pengoperasian dan preservasi Jalan To1 sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b dapat dilakukan perubahan perjanjian pengusahaan Jalan To1. (13) Dalam hal terdapat selisih lebih antara tarif Tol yang dtetapkan Pemerintah Pusat dan tarif Tol penugasan kepada badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b, selisih tersebut merupakan penerimaan negara bukan pajak yang dipergunakan untuk pengembangan jaringan Jalan To1. (14) Penetapan pengusahaan Jalan To1 sebagaimana dimaksud pada ayat (10) didasarkan pada kemampuan keuangan negara serta kelayakan ekonomi dan finansial untuk pengoperasian dan preservasi Jalan To1. (15) Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengusahaan Jalan Tol tidak dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Pusat dapat meiakukan langkah penyelesaian untuk keberlangsungan pengusahaan Jalan Tol sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    (16)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengusahaan Jalan To1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (15) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  36. Di antara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 51A dan Pasal 5lE} sehingga Pasal 51A dan Pasal 5lEl berbunyi sebagai berikut: Pasal 51A (1) Badan Usaha yang mendapatlan hak pengusahaan Jalan Tol sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 51 ayat (3) wajib memenuhi SPM Jalan Tol. (21 SPM Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. kondisi Jalan Tol;

    2. prasarana keselamatan dan keamanan; dan

    3. prasarana pendukung layanan bagi pengguna Jalan Tol. (3) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan evaluasi terhadap pemenuhan SPM Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara berkala paling lama 6 (enam) bulan dan menyampaikan laporan eva-luasi kepada Menteri. (4) Menteri melalui BPJT dan/atau unit organisasi yang ditunjuk oleh Menteri melakukan pengecekan atas laporan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) SPM Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dimuat dalam perjanjian pengusahaan Jalan To1. (6) Hasil evaluasi SPM Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan informasi publik. (71 Ketentuan lebih lanjut mengenai SPM Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 51B

      (1)

      Setiap Badan Usaha yang tidak memenuhi SPM Jalan Tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51A ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:

    4. teguran tertulis;

    5. penundaan penyesuaian tarif;

    6. denda administratif; dan/atau

    7. pembatalan perjanjian pengusahaan Jalan To1. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  37. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Badan Usaha yang melaksanakan pembangunan Jalan Tol melewati Jalan yang telah ada wajib menyediakan Jalan pengganti yang laik fungsi. (21 Badan Usaha yang melaksanakan pembangunan Jalan To1 yang berlokasi di atas Jalan yang telah ada wajib memastikan Jalan yang ada tetap laik fungsi. (3) Badan Usaha wajib memastikan bangunan perlintasan pada Jalan Tol telah mempertimbangkan rencana pengembangan Jalan dan berkoordinasi dengan pihak yang berwenang. (4) Dalam hal pelaksanaan pembangunan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 mengganggu jalur lalu lintas yang telah ada, Badan Usaha wajib menyediakan Jalan pengganti sementara yang layak. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jalan pengganti, pembangunan Jalan Tol di atas Ja1an yang telah ada, dan penyediaan Jalan pengganti sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (41 diatur da-lam Peraturan Pemerintah.

  38. Di antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 52A sehingga Pasal 52A berbunyi sebagai berikut: Pasal 52A (1) Badan Usaha yang tidak menyediakan Jalan pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) sampai dengan ayat (41 dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif; dan/atau

    3. pembatalan perjanjian pengusahaan Jalan To1. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  39. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga Pasal 55 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 55
    (1)

    (2t Pengguna Jalan To1 wajib membayar tarif To1. Pengguna Jalan Tol yang tidak membayar tarif Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda. Pengguna Jalan Tol wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai lalu lintas dan angkutan Jalan serta ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Pengguna Jalan Tol berhak mendapatkan pelayanan Ja1an Tol yang sesuai dengan SPM. Ketentuan lebih Ianjut mengenai kewajiban pengguna Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), besaran dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (21, dan hak pengguna Jalan To1 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

    (3)
    (4)

    (s) 38. Di antara ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 56A sehingga Pasal 56A berbunyi sebagai berikut: Pasal 56A

    (1)

    Setiap Orang dilarang mendirikan bangunan yang mengganggu akses masuk dan keluar Jalan Tol. (2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. penghentian kegiatan;

    3. penghentian peiayanan umum;

    4. penutupan lokasi;

    5. pencabutan izin;

    6. pembatalan izin; atau

    7. pembongkaran bangunan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


  40. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 57
    (1)

    Pengawasan Jalan Tol meliputi kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan dan pembinaan Jalan Tol serta pengusahaan Jalan To1. (21 Pengawasan Jalan Tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari pengawasan umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan pengawasan pengusahaan yang dilakukan oleh BPJT. (3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    (4)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Jalan ToI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


  41. Di antara Bab V dan Bab VI disisipkan 1 (satu) Bab yakni Bab VA sehingga Bab VA berbunyi sebagai berikut: BAB VA JALAN KHUSUS Pasal 57A (1) Jalan Khusus merupakan Jalan yang dibangun dan dipelihara oleh:

    1. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah;

    2. badan usaha berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum;

    3. perseorangan;

    4. kelompok masyarakat; dan/atau

    5. instansi Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah selain Penyelenggara Jalan. (21 Jalan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk kepentingan sendiri. (3) Jalan Khusus dikategorikan menjadi 3 (tiga):

    6. Jalan Khusus yang hanya digunakan sendiri dengan jenis, ukuran, dan muatan sumbu terberat kendaraan yang tidak sama dengan kendaraan yang digunakan untuk Jalan Umum;

    7. Jalan Khusus yang hanya digunakan sendiri dengan jenis, ukuran, dan muatan sumbu terberat kendaraan yang sama dengan kendaraan yang digunakan untuk Jalan Umum; dan

    8. Jalan Khusus yang digunakan sendiri dan diizinkan digunakan untuk Jalan Umum. Pasal 57B

      (1)

      Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57A ayat (1) huruf a dan huruf b, termasuk penyedia jasa dan/atau subpenyedia jasa, yang memerlukan Jalan dengan spesifikasi atau konstruksi khusus wajib membangun Jalan Khusus untuk keperluan mobilitas usahanya. (21 Dalam hal badan usaha, penyedia jasa, dan/atau subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Jalan Umum dan tidak membangun Jalan Khusus, wajib meningkatkan standar dan kualitas Jalan Umum sesuai dengan kebutuhan pengguna Jalan Khusus, termasuk lebar dan muatan sumbu terberat. (3) Badan usaha, penyedia jasa, dan/atau subpenyedia jasa yang melanggar kewajiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat l2l dikenai sanksi administratif berupa:

    9. teguran tertulis;

    10. denda administratif;

    11. pembekuan izin1' danlatau d. pencabutan izin. (4\ Dalam hal badan usaha, penyedia jasa, dan/atau subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membangun Jalan Khusus di atas tanah badan milik negara/badan milik daerah, mekanismenya dilakukan melalui pemanfaatan atau pemindahtanganan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/ barang milik daerah. (5) Dalam hal badan usaha, penyedia jasa, dan/atau subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membangun Jalan Khusus di atas tanah milik perseorangan, kelompok masyarakat, masyarakat hukum adat, badan usaha, dan/atau tanah kas desa, pengadaan tanah dilaksanakan dengan pemberian ganti rugi yang layak dan adil.

      (6)

      Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan pengawasan secara berkala terhadap Jalan Khusus berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat. Pasal 57C (1) Jalan Khusus dapat digunakan untuk lalu lintas umum sepanjang tidak merugikan kepentingan Penyelenggara Jalan Khusus berdasarkan izin dari penyelenggara Jalan Khusus. (21 Dalam hal digunakan untuk lalu lintas umum, Jalan Khusus dibangun sesuai dengan persyaratan Jalan Umum sepanjang tidak merugikan kepentingan Penyelenggara Jalan Khusus. (3) Penyelenggara Jalan Khusus yang mengizinkan penggunaan Jalan Khusus untuk lalu lintas umum dapat meminta pembinaan teknis kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. (41 Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan secara berkala terhadap Jalan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat. Pasal 57D

      (1)

      Penyelenggara Jalan Khusus dapat menyerahkan Jalan Khusus kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk ditetapkan sebagai Jalan Umum. (21 Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat mengambil alih Jalan Khusus untuk ditetapkan sebagai Jalan Umum dengan pertimbangan untuk:

    12. kepentingan pertahanan dan keamanan negara;

    13. kepentingan pembangunan ekonomi nasional dan perkembangan suatu daerah; dan/atau

    14. peningkatan pelayanan kepada masyarakat. (3) Penyerahan dan pengambilalihan Jalan Khusus yang ditetapkan sebagai Jalan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat l2l dilakukan sesuai dengan fungsi Jalan. (4) Penetapan status untuk penguasaan dan penggunaan aset Jalan Khusus yang diserahkan dan diambil alih oleh Penyelenggara Jalan untuk menjadi Jalan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57E (1) Pembangunan Jalan Khusus meliputi kegiatan:

    15. penyusunan program dan anggaran;

    16. perencanaan teknis;

    17. pelaksanaan konstruksi;

    18. pengoperasian Jalan; dan

    19. preservasi Jalan. (21 Pembangunan Jalan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan aspek lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57F Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Jalan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57A sampai dengan Pasal 57E diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  42. Bab VI dihapus.

  43. Di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab MA sehingga Bab VIA berbunyi sebagai berikut: BAB VIA DATA DAN INFORMASI Pasal 614' (1) Dalam mendukung Penyelenggaraan Jalan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban membangun, men5rusun, mengembangkan, serta menyediakan sistem data dan informasi penyelenggaraan Jalan yang terintegrasi. (21 Sistem data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan paling sedikit untuk:

    1. penyusunan program dan anggaran;

    2. perencanaan teknis;

    3. pelaksanaan konstruksi;

    4. pengoperasian Jalan;

    5. preservasi Jalan; dan

    6. pengawasan. Pasal 61E} (1) Sistem data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61A memuat basis data jaringan Jalan secara nasional. (21 Basis data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diperbaharui setiap 1 (satu) tahun oleh Pemerintah Pusat. Pasal 61C Ketentuan lebih lanjut mengenai data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61A dan Pasal 61B diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  44. Ketentuan Bab VII diubah sehingga Bab VII berbunyi sebagai berikut: 43 ^ BAB VII PARTI SIPASI MASYARAKAT Pasa-l 62 (1) Masyarakat berhak:

    1. memberi masukan kepada Penyelenggara Jalan dalam rangka pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan Jalan;

    2. berpartisipasi dalam Penyelenggaraan Jalan;

    3. memperoleh manfaat atas Penyelenggaraan Jalan sesuai dengan SPM yang ditetapkan;

    4. memperoleh informasi mengenai Penyelenggaraan Jalan;

    5. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam Pembangunan Jalan; dan

    6. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat Pembangunan Jalan. (21 Masyarakat wajib ikut menjaga ketertiban dalam pemanfaatan fungsi Jalan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

  45. Di antara Bab VII dan Bab VIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIIA sehingga Bab VIIA berbunyi sebagai berikut: BAB VIIA PEI{YIDIKAN Pasal 624' (1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Jalan diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. FRESTDEN REPUELIK INDONESIA (21 Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana da-lam bidang Jalan;

    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang Jalan;

    3. meminta keterangan dan barang bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang Jalan;

    4. melakukan pemeriksaan atas dokumen- dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang Jalan;

    5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana da-lam bidang Jalan; dan

    6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang Jalan. (3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (41 Dalam hal pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

      (5)

      Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 45. Di antara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 67A sehingga Pasal 67A berbunyi sebagai berikut: Pasal 67,4' (1) Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. (21 Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia melalui alat kelengkapan yang menangani urusan di bidang Iegislasi paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang- Undang ini berlaku. Pasal II Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Penyelenggaraan Jalan desa oleh Pemerintah Daerah kabupaten yang telah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44441 tetap berlaku untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku atau sampai dengan diterbitkannya peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 1 2 Agar 46 ^ Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. ttd JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal L2 Januari 2022 MENTERI HUKUM DAN HAKASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY FRES]DEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2OO4 TENTANG JALAN I. UMUM Bahwa negara bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak dan pemanfaatan sumber daya ekonomi untuk sebesar-besar kemakmuran ralyat yang penguasaannya ada pada negara dan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh pemerintah. Infrastruktur Jalan sebagai salah satu pilar utama untuk kesejahteraan umum dan sebagai prasarana dasar dalam pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya ekonomi sebagai bagian dari sistem transportasi nasional melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai konektivitas antarpusat kegiatan, keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah, peningkatan perekonomian pusat dan daerah dalam kesatuan ekonomi nasional sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (41 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan dan membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional berdasarkan nilainilai Pancasila. Dalam kurun waktu lebih dari satu dekade, terdapat berbagai perkembangan dan kebutuhan hukum dalam Penyelenggaraan Jalan yang belum dapat diakomodasi oleh Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan perlu dilakukan perubahan agar dapat memenuhi kebutuhan hukum saat ini dan sesuai dengan perkembangan zamat'L yang makin dinamis. Penyelenggaraan Jalan harus dilaksanakan dengan berdasarkan asas: kemanfaatan; keselamatan; keamanan dan kenyamanan; persatuan dan kesatuan; efisiensi dan efektivitas; keadilan; keserasian, keselarasan dan keseimbangan; keterpaduan; kebersamaan dan kemitraan; berkelanjutan; transparansi dan akuntabilitas; dan partisipatif. Adapun pengaturan Penyelenggaraan Jalan bertujuan untuk mewujudkan:

    7. ketertiban, keamanan, kelancaran, keselamatan arus penumpang dan barang, serta kepastian hukum dalam Penyelenggaraan Jalan;

    8. Penyelenggaraan Jalan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan distribusi logistik, pemerataan pembangunan, dan implementasi Pembangunan Jalan berkelanjutan;

    9. peran Penyelenggara Jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat;

    10. pelayanan Jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat dengan memenuhi kinerja Jalan yang laik fungsi dan berdaya saing;

    11. Sistem Jaringan Jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu;

    12. pengusahaan Jalan Tol yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan serta memenuhi SPM;

    13. partisipasi masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan; dan

    14. sistem Jaringan Jalan yang berkelanjutan. Substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain restrukturisasi ketentuan umum dan menambahkan pengertian SPM, penambahan dan penguatan dalam asas dan tujuan penyelenggaraan Jalan, perubahan lingkup pengaturan Undang-Undang, penyempurnaan pengaturan mengenai pengelompokan Jalan dan statusnya, pengaturan di ruas Ja-lan arteri, pencantuman identitas Jalan, pengaturan mengenai evaluasi status Jalan setelah perubahan fungsi, dan penyempurnaan pengaturan mengenai bagian Jalan, termasuk bangunan penghubung seperti ^jembatan dan terowongan serta bangunan pelengkap. Penguasaan Jalan oleh negara memberi wewenang kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa untuk melaksanakan Penyelenggaraan Jalan sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan keberlangsungan pelayanan Jalan dalam kesatuan Sistem Jaringan Jalan. Dalam hal Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/ kota belum dapat melaksanakan wewenang Pembangunan Jalan umum, Pemerintah Pusat melakukan pengambilalihan urusan Pembangunan Jalan provinsi dan Jalan kabupaten/ kota. Adapun dalam hal Pemerintah Desa belum dapat melaksanakan wewenang Pembangunan Jalan Desa, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan pengambilalihan urusan Pembangunan Jalan Desa. Perlu adanya keterpaduan dalam perumusan kebijakan Penyelenggaraan Jalan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa dengan memperhatikan rencana pembangunan jangka panjang, rencana tata ruang wilayah, tataran transportasi yang ada dalam sistem transportasi nasional; rencana umum jaringan Jalan; dan implementasi Pembangunan Jalan Berkelanjutan. Penyempurnaan juga dilakukan dalam pengaturan mengenai Pembangunan Jalan Umum yang meliputi Pembangunan Jalan baru dan preservasi jaringan Jalan yang sudah ada. Pembangunan Jalan Umum terdiri atas kegiatan pen5rusunan program dan anggaran, perencanaan teknis, pengadaan tanah, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian Jalan, dan/atau preservasi Jalan. Terkait dengan anggaran Pembangunan Jalan, anggaran Pembangunan Jalan Umum menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Pemerintah Desa sesuai dengan kewenangannya. Pemerintah Pusat memberikan dukungan anggaran yang meliputi belanja kementerian/lembaga, transfer ke daerah dan dana desa, dan pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan- undangan. Dalam melakukan pengawasan Jalan umum, Penyelenggara Jalan dan instansi terkait yang berwenang dalam pengawasan lalu lintas dan angkutan Ja-lan berkoordinasi untuk melakukan pengawasan dan pengendalian muatan berlebih yang menjadi faktor perusak Jalan. Selain pengaturan Jalan umum, dilakukan pula penyempurnaan pengaturan tentang Jalan Tol sebagai bagian dari Sistem Jaringan Jalan nasional dan terintegrasi dengan sistem transportasi yang terpadu. Pengusahaan Jalan Tol dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan berdasarkan prinsip transparansi, keterbukaan dan berkeadilan. Pengaturan tarif Tol didasarkan pada kemampuan bayar pengguna Jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi. Adapun evaluasi dan penyesuaian tarif Tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengamh laju inflasi dan eva-luasi terhadap pemenuhan SPM Jalan To1. Dalam kondisi tertentu, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian tarif di luar 2 (dua) tahun sekali. Dalam rangka pengembangan Jaringan Jalan To1, dalam hal tingkat kelayakan finansial Jalan Tol pada masa operasi melebihi tingkat kelayakan yang ditetapkan, kelebihan tingkat kelayakan merupakan penerimaan negara bukan pajak. Dalam Dalam hal pengusahaan Jalan Tol merupakan prakarsa badan usaha, pembiayaan pengadaan tanah menjadi kewajiban pemrakarsa. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai Jalan Khusus, data dan informasi Penyelenggaraan Jalan, partisipasi masyarakat, dan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup ^jelas. Angka2 Pasal 2 Hurufa Yang dimaksud dengan "asas kemanfaatan" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan untuk dapat memberikan nilai tambah sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional dalam rangka mewujudkan kesej ahteraan masyarakat. Huruf b Yang dimaksud dengan ^uasas keselamatan" ada.lah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan untuk menciptakan keselamatan pengguna Jalan dalam berlalu lintas. Huruf c Yang dimaksud dengan "asas keamanan dan kenyamanan" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan untuk memperhatikan masalah keamanan Jalan sesuai dengan persyaratan keteknikan Jalan. Huruf d Yang dimaksud dengan "asas persatuan dan kesatuan" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan untuk mempersatukan dan menghubungkan seluruh wilayah Indonesia. Huruf e Yang dimaksud dengan "asas efisiensi dan efektivitas" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan untuk memperhatikan cara yang tepat, hemat energi, hemat waktu, hemat tenaga, dan rasio dari manfaat setinggi-tingginya dengan biaya yang dikeluarkan. Huruf f Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan dapat dimanfaatkan oleh seluruh rakyat dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap seliap orang secara proporsional. Huruf g Yang dimaksud dengan "asas keserasian, keselarasan, dan keseimbangan" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan untuk mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keterpaduan antarsektor, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta memperhatikan dampak penting terhadap lingkungan. Huruf h Yang dimaksud dengan "asas keterpaduan" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan pada suatu wilayah yang dimulai dari gagasan pembangunan tahap program, perencanaan, pembangunan, operasi, dan preservasi harus dilakukan secara terpadu. Huruf i Yang dimaksud dengan "asas kebersamaan dan kemitraan" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran serta pemangku kepentingan agar memenuhi prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang dilakukan, baik langsung maupun tidak langsung. Huruf j Yang dimaksud dengan ^uasas berkelanjutan" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan dengan cara pemanfaatan sumber daya yang menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk masa kini dan masa depan dengan memperhatikan efisiensi khususnya pembangunan material dan sumber daya alam yang tidak terbarukan, keselamatan, dan keamanan penggu.na Jalan, mobilitas, pembatasan emisi, dan ekosistem. Huruf k Yang dimaksud dengan "asas transparansi dan akuntabilitas" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan yang setiap proses dan tahapannya bisa diketahui masyarakat dan pelaksanaannya bisa dipertanggungjawabkan. Huruf I Yang dimaksud dengan "asas partisipatil" adalah asas yang melandasi Penyelenggaraan Jalan yang melibatkan partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam setiap tahapan Penyelenggaraan Jalan, mulai dari pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. Angka 3 Pasal 3 Huruf a Kepastian hukum dalam Penyelenggaraan Jalan termasuk adanya jaminan kepastian dan pelindungan hukum dalam investasi Pembangunan Jalan. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "andal" adalah pelayanan Jalan yang memenuhi SPM yang meliputi aspek aksesibilitas, mobilitas, kondisi Jalan, keselamatan, dan kecepatan tempuh rata-rata. Yang dimaksud dengan "prima" adalah selalu memberikan pelayanan yang optimal. Yang dimaksud dengan "berdaya saing" adalah kondisi jaringan Jalan yang mendukung percepatan penurunan waktu tempuh untuk memangkas biaya ekonomi dan menciptakan efisiensi sehingga dapat berkompetisi dengan ^jaringan Jalan di negara lain. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Angka 4 Pasal 4 Cukup ^jelas. Angka 5 Pasal 6 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Dihapus. Angka 6 Pasal 8 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ^uJalan arteri" meliputi Jalan arteri primer dan arteri sekunder. Jalan arteri primer merupakan Jalan arteri dalam skala wilayah tingkat nasional, sedangkan Jalan arteri sekunder merupakan Jalan arteri dalam skala perkotaan. Yang dimaksud dengan "angkutan utama" adalah angkutan bernilai ekonomis tinggi dan bervolume besar. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Jalan kolektor meliputi Jalan kolektor primer dan Jalan kolektor sekunder. Jalan kolektor primer merupakan Jalan kolektor dalam skala wilayah, sedangkan Jalan kolektor sekunder dalam skala perkotaan. Yang dimaksud dengan "angkutan pengumpul" adalah angkutan antara yang bersifat mengumpulkan angkutan setempat untuk diteruskan ke angkutan utama dan sebaliknya yang bersifat membagi dari angkutan utama untuk diteruskan ke angkutan setempat. Ayat (s) Jalan lokal meliputi Jalan lokal primer dan Jalan lokal sekunder. Jalan lokal primer merupakan Jalan lokal dalam skala wilayah tingkat lokal, sedangkan Jalan lokal sekunder dalam skala perkotaan. Yang dimaksud dengan ^uangkutan setempat' adalah angkutan yang melayani kebutuhan masyarakat setempat dengan ciri perjalanan ^jarak dekat, kecepatan rendah, dan frekuensi ulang-alik yang tinggi. Ayat (6) Jalan lingkungan meliputi Jalan lingkungan primer dan Jalan lingkungan sekunder. Jalan lingkungan primer merupakan Jalan lingkungan dalam skala wilayah tingkat lingkungan seperti di kawasan perdesaan di wilayah kabupaten, sedangkan Jalan lingkungan sekunder merupakan Jalan lingkungan dalam skala perkotaan seperti di lingkungan perumahan, perdagangan, dan pariwisata di kawasan perkotaan. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Angka 7 Pasal 9 Ayat (1) Ketentuan mengenai pengelompokan Jalan dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian hukum Penyelenggaraan Jalan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kewajiban menetapkan status Jalan dilakukan agar tidak ada lagi Jalan tanpa status atau Jalan nonstatus yang disebabkan belum adanya penetapan status oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga ada kejelasan terkait dengan kewenangan dan tanggung jawab Penyelenggaraan Jalan pada ruas Jalan dimaksud. Ayat (4) Jalan baru yang dibangun untuk kebutuhan khusus, antara lain, berupa jalur evakuasi bencana yang dibangun di luar perencanaan rutin Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ayat (s) Identitas Jalan antara lain, dapat berupa kode, marka, dan angka. Pencantuman identitas Jalan dimaksudkan untuk memudahkan bagi Penyelenggara Jalan dan masyarakat umum untuk mengetahui status setiap ruas Jalan dan mengetahui Penyelenggara Jalan yang berwenang pada nras Jalan tersebut. Ayat (6) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "Jalan strategis nasional" adalah Jalan yang melayani kepentingan nasional atas dasar kriteria strategis, yaitu Jalan yang:

  46. mempunyai peranan untuk membina kesatuan dan keutuhan nasional;

  47. melayani daerah rawan dan kepentingan perbatasan antarnegara;

  48. merupakan bagian dari Jalan lintas regional atau lintas intemasional dalam rangka pertahanan dan keamanan; dan

  49. menghubungkan pusat kawasan strategis nasional dan mendukung kawasan strategis nasional, terutama yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Huruf d Cukup jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "Jalan antardesa' adalah Jalan yang menghubungkan antara 2 (dua) desa. Yang dimaksud dengan ^oJalan poros desa" ada-lah Jalan yang melintasi dan/atau menghubungkan lebih dari 2 (dua) desa. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "Jalan strategis kabupaten" adalah Jalan yang diprioritaskan untuk melayani kepentingan kabupaten berdasarkan pertimbangan untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan keamanan. Ayat (9) Yang dimaksud dengan "persil" adalah sebidang tanah dengan ukuran tertentu untuk keperluan perumahan atau kegiatan lainnya. Ayat (10) Cukup ^jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 9A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perubahan status Jalan Umum, mencakup, tetapi tidak terbatas pada Jalan nasional berubah statusnya menjadi Jalan Provinsi atau Jalan kabupaten/ kota, Jalan provinsi berubah statusnya menjadi Jalan Nasional atau Jalan kabupaten/kota, Jalan kabupaten/ kota berubah menjadi Jalan provinsi atau Jalan nasional, dan Jalan Desa berubah menjadi Jalan kabupaten/kota atau Jalan provinsi atau Jalan nasional. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Kecepatan rencana merupakan kecepatan kendaraan yang mendasari perencanaan teknis Jalan dengan mempertimbangkan Sistem Jaringan Jalan, lalu lintas harian rata-ratz. tahunan (LHRT), spesifikasi penyediaan prasarana, dan tipe medan. Ayat (3) Cukup ^jelas. Angka 9 Pasal 11 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "jaringan utilitas terpadu" adalah ^jaringan instalasi dalam bentuk kabel atau pipa yang menyangkut kepentingan umum meliputi listrik, telekomunikasi, informasi, air, minyak, gas dan bahan bakar lainnya, serta sanitasi dan sejenisnya yang direncanakan, dilaksanakan, ditempatkan di bawah tanah, dan dimanfaatkan secara terpadu. Huruf f Cukup ^je1as. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (71 Cukup ^jeias. Ayat (8) Yang dimaksud dengan "bangunan penghubung" adalah bangunan yang mempunyai kekhususan dalam karakteristik, spesifikasi, struktur, dan pemeliharaan yang dibangun untuk mendukung fungsi Jalan dan mengatasi rintangan antarruas Jalan. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan -perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi Jalan,, adalah setiap bentuk tindakan atau kegiatan yang dapat mengganggu fungsi Jalan, seperti terganggunya jarak atau sudut pandang, timbulnya hambatan samping yang menurunkan kecepatan atau menimbulkan kecelakaan lalu lintas, serta terjadinya kerusakan prasarana, bangunan pelengkap, atau perlengkapan Jalan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (s) Perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi Jalan di ruang pengawasan Jalan termasuk mendirikan bangunan, sebagian dari bangunan, atau garis sepadan bangunan di ruang pengawasan Jalan. Angka 11 Pasal 13 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Penyelenggaraan Jalan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa dilaksanakan secara terintegrasi mencakup penyelenggaraan seluruh status Jalan, baik nasional, provinsi, kabupaten/kota, maupun desa sebagai suatu Sistem Jaringan Jalan agar dapat menjamin konektivitas antarwilayah. Angka 12 Pasa-l 14 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ^oPenyelenggaraan Jalan secara umum" adalah Penyelenggaraan Jalan secara makro yang mencakup penyelenggaraan seluruh status Jalan, baik nasional, provinsi, kabupaten/ kota, maupun desa. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "sistem transportasi nasional" adalah tatanan transportasi yang terorganisasi secara kesisteman terdiri atas transportasi Jalan, kereta api, sungai dan danau, penyeberangan, laut, udara, serta pipa, yang masing-masing terdiri atas sarana dan prasarana, kecuali pipa, yang saling berinteraksi dengan dukungan perangkat lunak dan perangkat kecerdasan buatan membentuk suatu sistem pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efisien, berfungsi melayani perpindahan orang dan/atau barang, yang terus berkembang secara dinamis. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Angka 13 Pasal 15 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan 'hrusan Pembangunan Jalan provinsi" adalah salah satu urusan pemerintahan konkuren bidang pekerjaan umum dan penataan ruang suburusan Jalan yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi. Ayat (4) Cukup ^jelas. Angka 14 Pasal 16 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Yang dimaksud dengan 'trusan pembangunan Jalan kabupaten/kota" adalah salah satu urusan pemerintahan konkuren bidang pekerjaan umum dan penataan ruang suburusan Jalan yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Ayat (s) Cukup ^jelas. Angka 15 Pasal 16A Cukup jelas. Angka 16 Pasal 17 Cukup ^jelas. Angka 17 Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Perumusan kebijakan perencanaan Pembangunan Jalan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kepentingan pembangunan, pengembangan wilayah, dan kebijakan lokal, termasuk penggunaan produk lokal untuk kesejahteraan rakyat, peningkatan perekonomian daerah, dan sinergi dengan moda transportasi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Angka 18 Pasal 19 Cukup ^jelas. Angka 19 Pasal 20 Cukup jelas. Angka 20 Pasal 2 1 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 2 1A Cukup jelas. Angka22 Pasal 22 Cukup jelas. Angka 23 Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "laik fungsi" adalah kondisi suatu ruas Jalan yang memenuhi persyaratan teknis kelaikan untuk memberikan keamanan dan keselamatan bagi penggunanya serta persyaratan administratif yang memberikan kepastian hukum bagi Penyelenggara Jalan dan pengguna Jalan sehingga Jalan tersebut dapat dioperasikan untuk umum. Yang dimaksud dengan "berdaya saing" adalah kondisi jaringan Jalan yang mendukung percepatan penurunan waktu tempuh untuk memangkas biaya ekonomi dan menciptakan efisiensi sehingga dapat berkompetisi dengan jaringan Jalan di negara lain. Ayat (21 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Kegiatan preservasi jaringan Jalan yang sudah ada merupakan bagian dari aset manajemen jaringan Jalan karena ruas Jalan yang sudah dibangun harus dikelola agar tetap bertahan kemantapannya hingga mencapai umur rencana. Pasal 30 Ayat (1) Pembangunan Jalan Umum dapat dilihat dari fungsi pelayanan Jalan. Jalan yang mempunyai peran yang lebih tinggr, mendapat prioritas penanganan berdasarkan ruas Jalan, fungsi Jalan, dan jenis penanganan, dengan tetap memperhatikan kinerja dalam Sistem Jaringan Jalan agar Jalan dapat berfungsi dengan baik. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup ^jelas. Pasal 34 Cukup ^jelas. Pasal 35 Cukup ^jelas. Pasal 35A Cukup jelas. Pasal 35B Cukup jelas. Pasal 35C Cukup ^jelas. Pasal 35D Cukup jelas. Pasal 35E Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ^uaudit keselamatan Jalan' adalah pemeriksaan aktivitas dan prosedur terkait Pembangunan Jalan terhadap standar dan kriteria teknis untuk menjamin keselamatan dan keamanan pengguna Jalan. Pasal 35F Ayat (1) Yang dimaksud dengan "inspeksi keselamatan Jalan' adalah evaluasi periodik atas Jalan yang telah beroperasi oleh ahli yang terlatih dalam bidang keselamatan Jalan. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup je1as. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 35G Ayat (1) Yang dimaksud dengan "preservasi' adalah perawatan yang bersifat preventif untuk mempertahankan kondisi kemantapan Jalan hingga mencapai umur rencana. Huruf a Yang dimaksud dengan "pemeliharaan rutin" adalah kegiatan merawat serta memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pada ruas Jalan dengan kondisi pelayanan mantap. Huruf b Yang dimaksud dengan ^upemeliharaan berkala" adalah kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang diperhitungkan dalam desain agar penurunan kondisi Jalan dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana. Huruf c Yang dimaksud dengan "rehabilitasi" adalah kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang tidak diperhitungkan dalam desain yang berakibat menurunnya kondisi kemantapan pada bagian/tempat tertentu dari suatu ruas Jalan dengan kondisi rusak ringan agar penurunan kondisi kemantapan tersebut dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana. Huruf d Yang dimaksud dengan "rekonstruksi" adalah kegiatan penanganan untuk dapat meningkatkan kemampuan ruas Ja-lan dalam kondisi tidak mantap atau kritis agar ruas Jalan tersebut mempunyai kondisi pelayanan mantap sesuai dengan umur rencana yang ditetapkan. Huruf e Yang dimaksud dengan ^upelebaran menuju standa/ adalah penanganan yang dilakukan untuk mencapai standar dimensi lebar Jalan. Ayat (2) Yang dimaksud "secara berkesinambungan" adalah pemeliharaan Jalan yang dilakukan secara terus- menerus berdasarkan kondisi segmen Jalan yang bersangkutan tanpa tergantung pada siklus anggaran yang rutin. Kesinambungan pemeliharaan didukung oleh ketersediaan dukungan anggaran sesuai dengan kebutuhan faktual di lapangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan Jalan. Pasal 35H Cukup ^jelas. Angka24 Pasal 36 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang dalam pengawasan lalu lintas dan angkutan Jalan" adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 25 Pasal 37 Dihapus. Angka26 Pasal 38 Dihapus. AngJ<a2T Pasal 39 Dihapus. Angka 28 Pasa-l 40 Dihapus. Angka29 Pasal 41 Dihapus. Angka 30 Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyelenggaraan Jalan Tol mempermudah mobilitas orang dan distribusi logistik, khususnya produk rakyat ke pusat industri dan pengolahan, baik di pusat maupun daerah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Daerah potensial yang belum berkembang perlu diprioritaskan aksesibilitasnya sehingga perlu mengundang partisipasi Badan Usaha untuk berinvestasi. Huruf f Untuk meningkatkan dan memberdayakan perekonomian masyarakat salah satunya dilakukan dengan mengakomodasi usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah dalam pengusahaan tempat istirahat dan pelayanan Jalan To1. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pengembangan Jaringan Jalan Tol" adalah pembangunan ruas Jalan Tol baru dalam Jaringan Jalan Tol untuk mendukung pengembangan wilayah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 31 Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Dalam penetapan rencana umum Jaringan Jalan To1 diutamakan pengembangan wilayah dan peningkatan perekonomian daerah sehingga perencanaan pembangunan Jalan Tol harus dipersiapkan secara matang dan terstruktur, paling sedikit dalam bentuk koridor. Ayat (3) Penetapan suatu ruas Jalan Tol dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersamaan dengan penandatanganan perjanjian pengusahaan Jalan To1. Ayat (a) Cukup ^jelas. Angka 32 Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Pengaruh laju inflasi digunakan dalam perhitungan evaluasi dan penyesuaian tarif Tol dengan formula sebagai berikut: Tarif baru = tarif lama (1+inflasi). Keterangan Inflasi = data inflasi wilayah yang bersangkutan dari Badan Pusat Statistik. Penyesuaian tarif tol ditentukan 2 (dua) tahun sejak penetapan terakhir tarif Tol. Huruf b Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Angka 33 Pasal 50 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (71 Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah kondisi pada saat tidak ada Badan Usaha yang berminat ikut dalam pengusahaan Jalan To1, antara lain, disebabkan oleh ketidaklayakan pembangunan Jalan Tol secara finansial walaupun secara ekonomi layak. Yang dimaksud dengan "mengambil kebijakan' adalah pelaksanaan Pembangunan Jalan Tol seluruhnya atau sebagian oleh Pemerintah Pusat dan selanjutnya pengoperasian dan preservasi dilakukan oleh Badan Usaha. Ayat (8) Cukup ^jelas. Efi Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (10) Cukup ^jelas. Ayat (11) Cukup ^jelas. Ayat (12) Cukup ^jelas. Ayat (13) Cukup ^jelas. Ayat (14) Cukup jelas. Ayat (1s) Cukup jelas. Ayat (16) Cukup jelas. Angka 34 Pasal 51A Ayat (1) SPM Jalan Tol merupakan ukuran tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang harus selalu dipenuhi. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "kondisi Jalan Tol" adalah kondisi pada perkerasan jalur utama, drainase, median, bahu jalan, dan ketentuan lain yang terkait dengan persyaratan teknis Jalan To1. Huruf b Yang dimaksud dengan "prasarana keselamatan dan keamanan" adalah petunjuk Jalan, penerangan Jalan Umum, antisilau, pagar ruang milik Jalan, pagar pengaman, fasilitas penanganan kecelakaan, fasiiitas pengamanan dan penegakan hukum, dan segala sesuatu yang menunjang keselamatan dan keamanan. Huruf c Yang dimaksud dengan ^oprasarana pendukung layanan' adalah unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan, tempat istirahat dan pelayanan, dan segala sesuatu yang mendukung Iayanan Jalan Tol, termasuk waktu tanggap dalam penanganan hambatan lalu lintas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Pasal 51B Cukup ^jelas. Angka 35 Pasal 52 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan bahwa keberadaan Ja1an Tol yang berdampingan langsung dengan Jalan Umum yang ada pada salah satu sisi akan menyulitkan akses penggu.ha dalam memasuki Jalan Umum dari sisi Jalan To1 tersebut sehingga lebih efektif menempatkan Jalan To1 di tengah Jalan Umum yang ada. Badan Usaha menyediakan Jalan pengganti dengan kapasitas paling sedikit sama dengan kapasitas Jalan Umum sebelum Jalan Tol itu dibangun. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Angka 36 Pasal 52A Cukup ^jelas. Angka 37 Pasal 55 Cukup jelas. Angka 38 Pasal 56A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "akses masuk dan keluar Jalan Tol" adalah Jalan penghubung dari Jalan utama pada Jalan Tol sampai dengan pertemuan Jalan non-Tol. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Angka 39 Pasal 57 Cukup ^jelas. Angka 40 Pasa-l 57A Ayat (1) Jalan khusus, antara lain, ialah:

    1. Jalan dalam kawasan perkebunan;

    2. Jalan dalam kawasan pertanian;

    3. Jalan dalam kawasan kehutanan, termasuk Jalan dalam kawasan konservasi;

    4. Jalan dalam kawasan peternakan;

    5. Jalan dalam kawasan pertambangan;

    6. Jalan dalam kawasan pengairan;

    7. Jalan dalam kawasan pelabuhan laut, pelabuhan perikanan, dan bandar udara;

    8. Jalan dalam kawasan militer;

    9. Jalan dalam kawasan industri;

    10. Jalan dalam kawasan perdagangan;

    11. Jalan dalam kawasan pariwisata;

  1. Jalan dalam kawasan perkantoran;
    1. Jalan dalam kawasan berikat;

    2. Jalan dalam kawasan pendidikan;

    3. Jalan dalam kawasan permukiman yang belum diserahkan kepada Penyelenggara Jalan Umum; dan

    p. Jalan sementara pelaksanaan konstruksi. Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "badan usaha tidak berbadan hukum" adalah mmmanditaire uennootschap (persekutuan komanditer), firma, dan persekutuan perdata. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 57B Ayat (1) Kewajiban membangun Jalan Khusus dimaksudkan untuk mencegah kerusakan Jalan Umum yang digunakan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Pasal 57C Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud ^opembinaan teknis" adalah penjelasan tentang persyaratan teknis Jalan dan pedoman teknis pembangunan Jalan untuk Jalan Umum yang meliputi teknis geometrik Jalan, teknis perkerasan Jalan, teknis bangunan pelengkap Jalan, dan teknis perlengkapan Jalan. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 57D Ayat (1) Jalan Khusus dapat berubah menjadi Jalan Umum apabila memenuhi syarat sebagai Jalan Umum, seperti memenuhi kriteria geometrik dan perkerasan Jalan Umum, serta laik fungsi Jalan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbendaharaan negara. Pasal 57E Cukup ^jelas. Pasal 57F Cukup ^jelas. Angka 41 Bab VI Dihapus. Angka42 Pasal 61A Ayat (1) Data dan informasi merupakan unsur penting dalam pengambilan keputusan/kebijakan di sektor Jalan. Dukungan data dan informasi yang akurat dibutuhkan dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan Jalan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 61E} Ayat (1) Basis data ^jaringan Jalan meliputi data umum dan data isian. Data umum, antara lain, berupa wilayah, klasifikasi Jalan, dan kondisi ruas Jalan. Data isian, antara lain, berupa daftar induk jaringan Jalan, data dasar Ja1an, data kondisi Jalan, dan usulan ruas Jalan prioritas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 61C Cukup ^jelas. Angka 43 Pasal 62 Ayat (1) Huruf a Masukan masyarakat dapat berupa informasi mengenai kondisi Jalan ataupun Penyelenggaraan Jalan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan ^oganti rugi yang layak" adalah besaran ganti rugi yang wajar sesuai dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan dan tingkat kesalahan dalam Pembangunan Jalan. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Angka 44 Pasa-l 62A Cukup ^jelas. Angka 45 Pasal 67A Cukup ^jelas. Pasal II Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6760

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):