Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22TAHUN 2019 TENTANG SISTEM BUDI DAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194S perlu dilakukan pembangunan di segala bidang salah satunya pembangunan di bidang pertanian; bahwa sistem pembangunan berkelanjutan perlu ditumbuhkembangkan dalam pembangunan di bidang pertanian melalui sistem budi daya pertanian untuk mencapai kedaulatan pangan dengan memperhatikan daya dukung ekosistem, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim guna mewujudkan sistem pertanian yang maju, efisien, tangguh, dan berkelanjutan; bahwa Undang-Undang Nomor t2 Tahun lgg2 tentang Sistem Budidaya Tanaman masih terdapat kekurangai dan beium dapat menampung perkembangan zaman dan kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu diganti; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Budi Daya pertanian Berkelanjutan; a. b. c. d. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945; dan Pasal 33 ayat (2) dan Negara Republik Indonesia Dengan Menetapkan Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan MEMUTUSKAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANIAN BERKELANJUTAN. SISTEM BUDI DAYA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya alam hayati dalam memproduksi komoditas pertanian guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik dan berkesinambungan dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup. 2. Pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan komoditas pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem. 3. Tanaman adalah sumber daya alam nabati yang dibudidayakan mencakup tanaman semusim dan tahunan. 4. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi, baik yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. 5. Sumber Daya Genetik adalah material genetik yang berasal dari tumbuhan, hewan, atau jasad renik yang mengandung unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat keturunan, baik yang mempunyai nilai nyata maupun potensial.

  2. Pemuliaan 1 1. Sertifikasi adalah serangkaian pemeriksaan dan/atau pengujian dalam rangka penerbitan sertifikat. 12. Pelindungan Pertanian adalah segala upaya untuk mencegah kerugian pada budi daya pertanian yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan dan penyakit hewan. 13. Organisme Pengganggu Tumbuhan adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau mengakibatkan kematian tumbuhan. 14. Eradikasi adalah tindakan pemusnahan terhadap Tanaman, Organisme Pengganggu Tumbuhan, penyakit hewan, dan benda lain yang menyebabkan tersebarnya Organisme Pengganggu Tumbuhan dan penyakit hewan. 15. sarana Budi Daya Pertanian adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dan/atau bahan yang dibutuhkan untuk budi daya Pertanian. L6. Prasarana Budi Daya Pertanian adalah segala sesuatu yang menjadi penunjang utama dan pendukung budi daya Pertanian.

  3. Pupuk adalah bahan kimia anorganik dan/atau organik, bahan alami dan/atau sintetis, organisme danlatau yang telah melalui proses rekayasa, untuk menyediakan unsur hara bagi Tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. 18. Usaha Budi Daya Pertanian adalah semua kegiatan untuk menghasilkan produk dan/atau menyediakan jasa yang berkaitan dengan budi daya Pertanian. 19. Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan. 20. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 21. Pelaku Usaha adalah Setiap Orang yang melakukan usaha Prasarana Budi Daya Pertanian, Sarana Budi Daya Pertanian, budi daya Pertanian, panen, pascapanen, pengolahan dan pemasaran hasil Pertanian, serta jasa penunjang Pertanian yang berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia. 22. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Lg4S. 23. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pertanian.

    Pasal 2

    Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan diselenggarakan berdasarkan asas:

    1. kebermanfaatan;

    2. keberlanjutan;

    3. kedaulatan;

    4. keterpaduan;

    5. kebersamaan;

    6. keterbukaan;

    7. efisiensi berkeadilan;

    8. kearifan lokal;

    9. kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

    10. pelindungan negara.


    Pasal 3

    Penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan bertujuan untuk:

    1. meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil Pertanian, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor;

    2. meningkatkan pendapatan dan taraf hidup Petani; dan

    3. mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.


    Pasal 4

    Pengaturan penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanj utan meliputi :

    1. perencanaan budi daya Pertanian;

    2. tata ruang dan tata guna Lahan budi daya Pertanian;

    3. penggunaan Lahan;

    4. perbenihan dan perbibitan;

    5. penanaman;

    6. pengeluaran dan pemasukan Tanaman, benih, bibit, dan hewan;

    7. pemanfaatan air;

    8. pelindungan dan pemeliharaan Pertanian;

    9. panen dan pascapanen;

    10. Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian;

    11. Usaha Budi Daya Pertanian;

    12. pembinaan dan pengawasan;

    13. penelitian dan pengembangan;

    14. pengembangan sumber daya manusia;

    15. sistem informasi; dan

    16. peran serta masyarakat. BAB II BAB II PERENCANAAN BUDI DAYA PERTANIAN Pasal 5 (1) Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diselenggarakan perencanaan budi daya Pertanian. (2) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah, dan perencanaan pembangunan sektoral. (3) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk merancang pembangunan dan pengembangan budi daya pertanian secara berkelanjutan. (4) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan masyarakat. (5) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota. (6) Perencanaan budi daya Pertanian ditetapkan daram rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana tahunan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 (1) Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi aspek:

    17. sumber daya manusia;

    18. sumber daya alam;

    19. sarana dan prasarana;

    20. sasaran produksi;

    21. kawasan budi daya Pertanian;

    22. pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal;

    23. identifikasi persoalan pasar;

    24. penelitian (2) i. pengindentifikasian komoditas unggulan nasional dan lokal; dan

    25. produksi budi daya Pertanian tertentu berdasarkan kepentingan nasional. Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus memperhatikan: pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi; daya dukung sumber daya alam, iklim, dan lingkungan; rencana pembangunan nasional dan daerah; rencana tata ruang; pertumbuhan ekonomi dan produktivitas; kebutuhan Sarana Budi Daya pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian; kebutuhan teknis, ekonomis, dan kelembagaan; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; kepentingan masyarakat; dan kelestarian lingkungan hidup. (3) Aspek perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan yang utuh. Pasal 7 (1) Perencanaan budi daya Pertanian tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 5 ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan nasional serta kebutuhan dan usulan provinsi. (2) Perencanaan budi daya Pertanian tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 5 ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan provinsi serta kebutuhan dan usulan kabupaten/kota. (3) Perencanaan budi daya ^pertanian tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan kabupaten/kota serta usulan masyarakat.

      1. C. d. e. f. o b. h. i. j.


    Pasal 8
    Pasal 8
    (1)

    Perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diwujudkan dalam bentuk rencana budi daya Pertanian. (2) Rencana budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. rencana budi daya Pertanian nasional yang ditetapkan oleh Menteri;

    2. rencana budi daya Pertanian provinsi yang ditetapkan oleh gubernur; dan

    3. rencana budi daya Pertanian kabupaten/kota yang ditetapkan oleh bupati/wali kota. Pasal 9 (1) Rencana budi daya Pertanian nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan Pertanian provinsi. (21 Rencana budi daya Pertanian provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b menjadi pedoman untuk men5rusun perencanaan Pertanian kabupaten/kota. (3) Rencana budi daya Pertanian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c menjadi pedoman untuk pengembangan budi daya Pertanian setempat. (4) Rencana budi daya Pertanian nasional, rencana budi daya Pertanian provinsi, dan rencana budi daya Pertanian kabupaten/kota menjadi pedoman bagi Pelaku Usaha dalam pengembangan budi daya Pertanian.



    Pasal 10
    (1)

    Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis Tanaman dan hewan serta pembudidayaannya. (2) Dalam menerapkan kebebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Petani memprioritaskan perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan mengembangkan budi daya Tanaman pokok lainnya.

    (3)

    Pemerintah BAB III TATA RUANG DAN TATA GUNA LAHAN BUDI DAYA PERTANIAN


    Pasal 12

    Pasal 1 1 Dalam hal Petani menentukan pilihan jenis Tanaman dan hewan serta pembudidayaannya sesuai dengan perencanaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menjamin pelaksanaannya.

    (1)

    Pemanfaatan Lahan untuk keperluan budi daya Pertanian disesuaikan dengan ketentuan tata ruang dan tata guna Lahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Tata rulang dan tata guna Lahan untuk keperluan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai kawasan dan penatagunaan Lahan dalam rencana tata ruang untuk subsektor Tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. (3) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan Lahan dan pelestarian lingkungan hidup, khususnya konservasi tanah dan air.


    Pasal 13
    (1)

    Pemanfaatan Lahan untuk keperluan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (l) dilakukan dengan pendekatan pengelolaan agroekosistem berdasarkan prinsip Pertanian konservasi. Pasal 14 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menetapkan kawasan budi daya Pertanian dalam rencana tata ruang. (21 Perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan peruntukan kawasan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum dilakukan dengan tidak mengganggu rencana produksi budi daya Pertanian secara nasional dan didasarkan pada kajian lingkungan hidup strategis.


    Pasal 15
    (1)

    Pemerintah Pusat menetapkan luas maksimum Lahan untuk Usaha Budi Daya Pertanian. (2) Setiap perubahan jenis Tanaman dan hewan pada Usaha Budi Daya Pertanian di atas tanah yang dikuasai negara harus memperoleh persetujuan Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan luas maksimum Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan jenis Tanaman dan hewan pada Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (21diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 16 (1) Pengembangan budi daya Pertanian dilakukan secara terpadu dengan pendekatan kawasan pengembangan budi daya Pertanian. (21 Kawasan pengembangan budi daya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi dari lokasi budi daya, pengolahan hasil, pemasaran, penelitian dan pengembangan, serta sumber daya manusia.

    (3)

    Kawasan . Pasal 17 (1) Pemerintah Pusat berkewajiban menetapkan kawasan budi daya Pertanian bagi pengembangan komoditas unggulan nasional dan lokal di provinsi atau . kabupaten/kota dengan mempertimbangkan masukan dari Pemerintah Daerah. (21 Pemerintah Pusat memfasilitasi kawasan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sehingga menjadi satu kesatuan fungsional. (3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berkewajiban mendukung pengembangan kawasan budi daya Pertanian melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta sumber pembiayaan lainnya yang sah. BAB IV PENGGUNAAN LAHAN Pasal 18 (1) Lahan budi daya Pertanian terdiri atas Lahan terbuka dan Lahan tertutup yang menggunakan tanah dan/atau media tanam lainnya. (21 Lahan budi daya Pertanian berupa Lahan terbuka wajib dilindungi, dipelihara, dipulihkan, serta ditingkatkan fungsinya oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha, dan/atau Petani. (3) Ketentuan mengenai pelindungan, pemeliharaan, pemulihan, serta peningkatan fungsi Lahan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 19 (1) Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian. (21 Dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengalihfungsian Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (21 hanya dapat dilakukan dengan syarat:

    1. dilakukan kajian strategis;

    2. disusun rencana alih fungsi lahan;

    3. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan

    4. disediakan Lahan pengganti terhadap Lahan budi daya Pertanian. (41 Alih fungsi Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan pada Lahan Pertanian yang telah memiliki jaringan pengairan lengkap. Pasal 20 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan insentif kepada Petani yang mampu mempertahankan Lahan budi daya Pertanian. (2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    5. keringanan pajak bumi dan bangunan;

    6. pengembangan infrastruktur Pertanian;

    7. pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul;

    8. kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi;

    9. penyediaan Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian;

    10. jaminan penerbitan sertipikat bidang tanah pertanian pangan melalui pendaftaran tanah secara sporadik dan sistematik;

    11. penyediaan bantuan modal atau kredit usaha dan bimbingan atau pendampingan Usaha Budi Daya Pertanian; dan/atau

    12. penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi.


    Pasal 21
    (1)

    Setiap Orang yang menggunakan Lahan dalam luasan tertentu untuk kepentingan budi daya Pertanian wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup. (21 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mempertahankan dan mengembangkan Lahan untuk kepentingan budi daya Pertanian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan :

    1. jenis Tanaman;

    2. populasi hewan ternak;

    3. ketersediaan Lahan yang sesuai secara agroklimat;

    4. modal;

    5. kapasitas unit pengolahan;

    6. tingkat kepadatan penduduk;

    7. pola pengembangan usaha;

    8. kondisi geografis;

    9. perkembangan teknologi; dan

    10. pemanfaatan Lahan berdasarkan fungsi ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang. (3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam mempertahankan dan mengembangkan Lahan untuk kepentingan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memperhatikan rencana jangka panjang terkait pengadaan, peruntukan, serta penyediaan Lahan budi daya Pertanian dan cadangan Lahan yang dibutuhkan untuk kegiatan Pertanian.


    Pasal 22

    Dalam hal penggunaan Lahan dalam luasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha di atas Lahan hak ulayat, Pelaku Usaha wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan.


    Pasal 23
    Pasal 23
    (1)

    Setiap Orang yang menggunakan Lahan dan/atau media tanam lainnya untuk keperluan budi daya Pertanian wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya pencemaran lingkungan. (21 Penggunaan Lahan dan/atau media tanam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan daya dukung Lahan berdasarkan pewilayahan komoditas Pertanian dan karakter wilayah Pertanian tertentu.



    Pasal 24

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Lahan dan/atau media tanam lainnya dan tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l sampai dengan Pasal 23 diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB V PERBENIHAN DAN PERBIBITAN


    Pasal 25

    Pemerolehan Benih Tanaman atau Bibit Hewan bermutu dapat dilakukan melalui kegiatan penemuan dan/atau perakitan Varietas atau galur unggul dan/atau introduksi.


    Pasal 26
    (1)

    Penemuan dan/atau perakitan Varietas atau galur unggul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan melalui Pemuliaan. (21 Pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Setiap Orang.


    Pasal 27
    (1)

    Pencarian dan pengumpulan Sumber Daya Genetik untuk Pemuliaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.


    Pasal 28
    (1)

    Introduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan dalam bentuk Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan/atau materi induk untuk Pemuliaan. (21 Introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan/atau materi induk belum ada di wilayah negara Republik Indonesia. (3) Introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh pemerintah atau Setiap Orang wajib memiliki izin. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 29 (1) Pemerintah Fusat melakukan pelepasan terhadap:

    1. Varietas unggul;

    2. galur c. Varietas introduksi sebelum diedarkan kecuali hasil Pemuliaan oleh Petani kecil dalam negeri. (2) Varietas hasil Pemuliaan Petani kecil dalam negeri dilaporkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. (3) Varietas hasil Pemuliaan Petani kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (21 hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam satu kabupaten/kota. (4) Setiap Orang dilarang mengedarkan Varietas hasil Pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas. (5) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 30
    (1)

    Benih Tanaman dari Varietas hasil Pemuliaan atau introduksi yang telah dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) merupakan benih unggul. (21 Benih unggul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar mutu, disertifikasi, dan diberi label. (3) Dalam hal standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 belum ditetapkan, Menteri menetapkan persyaratan teknis minimal. (41 Setiap Orang dilarang mengedarkan benih unggul yang tidak sesuai dengan standar mutu, tidak bersertifikat, dan/atau tidak berlabel. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu, sertifikasi, dan pelabelan benih unggul sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


    Pasal 31
    (1)

    Pengadaan benih unggul diperoleh dari produksi dalam negeri dan/atau pemasukan dari luar negeri.

    (2)

    Pengadaan


    Pasal 32
    (1)

    Pengadaan benih unggul melalui pemasukan dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan setelah mendapatizin dari Menteri. (21 Pengeluaran benih unggul dari wilayah negara Republik Indonesia dapat dilakukan oleh instansi pemerintah, Petani, atau Pelaku Usaha berdasarkan izin. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan izin pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 33

    Setiap Orang yang mengedarkan Benih Tanaman Hewan, dan/atau Bibit Hewan hasil rekayasa mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Benih genetik


    Pasal 34

    Setiap Orang dilarang:

    1. mengadakan, mengedarkan, dan/atau menanam Benih Tanaman; dan/atau

    2. mengadakan, mengedarkan , danf atau memelihara Benih Hewan atau Bibit Hewan yang merugikan masyarakat, budi daya Pertanian, sumber daya alam lainnya, dan/atau lingkungan hidup.


    Pasal 35

    Varietas yang dapat diberi pelindungan meliputi varietas dari jenis atau spesies Tanaman yang baru, unik, seragam, stabil, dan diberi nama.


    Pasal 36
    Pasal 36

    Varietas yang penggunaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, kesusilaan, norma agama, kesehatan, dan kelestarian lingkungan hidup tidak dapat diberi pelindungan Varietas. Pasal 37 (1) Pemegang hak pelindungan Varietas yaitu Setiap Orang atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak pelindungan Varietas dari pemegang hak pelindungan sebelumnya. (21 Pemegang hak pelindungan Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hak untuk menggunakan dan memberikan persetujuan kepada Setiap Orang untuk menggunakan Varietas berupa Benih Tanaman dan hasil panen yang digunakan untuk propagasi.



    Pasal 38

    Jika hak pelindungan Varietas diberikan kepada Setiap Orang yang tidak berhak, Setiap Orang yang berhak dapat menuntut hak pelindungan Varietas ke pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 39

    Pelindungan Varietas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 38 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perLlndang-undangan. BAB VI PENANAMAN Pasal 40 (1) Penanaman merupakan kegiatan menanam Benih Tanaman pada Lahan atau media tanam lainnya. (2) Penanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan tepat pola tanam, tepat Benih Tanaman, tepat cara, tepat sarana dan prasarana, serta tepat waktu. trRES IDEN REPUBLIK INDONESIA -19- Pasal 4 1 (1) Tepat pola tanam, tepat Benih Tanaman, tepat cara, tepat sarana dan prasarana, serta tepat waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (21 dilakukan dengan manajemen tanam. (21 Manajemen tanam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. kalender tanam;

    2. pola pemupukan;

    3. pola pengairan; dan

    4. perbenihan. (3) Pemerintah Pusat menetapkan manajemen tanam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memperhatikan kearifan lokal.


    Pasal 42

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan manajemen tanam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4l diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII PENGELUARAN DAN PEMASUKAN TANAMAN, BENIH, BIBIT, DAN HEWAN


    Pasal 43

    Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari wilayah negara Republik Indonesia oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika keperluan dalam negeri telah terpenuhi dengan memperoleh izin dari Menteri.


    Pasal 44
    (1)

    Pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari luar negeri dapat dilakukan untuk:

    1. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;

    2. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau

    3. memenuhi keperluan di dalam negeri. (21 Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar mutu. (3) Setiap Orang yang melakukan pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Menteri.


    Pasal 45
    (1)

    Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap pengeluaran dan pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44. (21 Pengeluaran dan pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


    Pasal 46
    (1)

    Setiap Orang dilarang memasukkan dan/atau mengeluarkan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan yang terancam punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional ke dan/atau dari wilayah negara Republik Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan yang terancam punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VIII PEMANFAATAN AIR


    Pasal 47
    (1)

    Pemanfaatan air untuk budi daya Pertanian memperhatikan baku mutu air sesuai dengan peruntukannya. (21 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengatur pemanfaatan air untuk budi daya Pertanian.

    1. mengupayakan ketersediaan air dengan mempertimbangkan kondisi hidroklimatologi, hidrologi, dan hidrogeologi;

    2. menetapkan prioritas penggunaan air untuk kegiatan budi daya Pertanian setelah kebutuhan pokok manusia sehari-hari terpenuhi; dan

    3. menetapkan rencana alokasi dan mengatur pembagian air sesuai rencana alokasi yang ditetapkan untuk kegiatan budi daya Pertanian. (4) Pengaturan pemanfaatan air untuk budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB IX PELINDUNGAN DAN PEMELIHARAAN PERTANIAN Bagian Kesatu Pelindungan Pertanian


    Pasal 48
    (1)

    Pelindungan Pertanian dilaksanakan dengan sistem pengelolaan hama terpadu serta penanganan dampak perubahan iklim. (2) Pelaksanaan Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, Petani, Pelaku Usaha, dan masyarakat.


    Pasal 49

    Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dilaksanakan melalui kegiatan:

    1. pencegahan masuknya Organisme Penggangggu Tumbuhan dan penyakit hewan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia serta tersebarnya dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    2. penanganan dampak perubahan iklim.


    Pasal 50
    (1)

    Setiap Orang dilarang menggunakan Sarana Budi Daya Pertanian, Prasarana Budi Daya Pertanian, dan/atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia serta menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup dalam pelaksanaan Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sarana, prasarana, danf atau cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


    Pasal 51
    (1)

    Setiap Orang yang memiliki atau menguasai Tanaman atau hewan harus melaporkan adanya serangan Organisme Pengganggu T\rmbuhan dan penyakit hewan kepada pejabat yang berwenang dan yang bersangkutan harus mengendalikannya. (21 Dalam hal serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan dan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:

    1. eksplosi; atau

    2. Organisme Pengganggu Tumbuhan dan penyakit hewan yang belum pernah ada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menanggulangi bersama masyarakat. Pasal 52 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan atau memerintahkan:

    3. Eradikasi Tanaman dan/atau benda lain; atau

    4. depopulasi hewan yang menyebabkan tersebarnya penyakit hewan.

    (2)

    Dalam (21 Dalam hal Organisme Pengganggu Tumbuhan atau penyakit hewan dianggap sangat berbahaya dan mengancam keselamatan Tanaman dan hewan secara meluas, dilakukan Eradikasi atau depopulasi.


    Pasal 53

    Pemilik Tanaman dan hewan yang Tanaman, hewan, dan/atau benda lainnya tidak terserang Organisme Pengganggu Tumbuhan dan penyakit hewan tetapi harus dimusnahkan dalam rangka Eradikasi atau depopulasi diberi kompensasi.


    Pasal 54

    Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 53 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pemeliharaan Pertanian


    Pasal 55
    (1)

    Pemeliharaan Pertanian bertujuan untuk:

    1. menciptakan kondisi pertumbuhan dan produktivitas Pertanian yang optimal;

    2. menjaga kelestarian lingkungan; dan

    3. mencegah timbulnya kerugian pihak lain dan/atau kepentingan umum. (2) Setiap Orang dilarang menggunakan Sarana Budi Daya Pertanian, Prasarana Budi Daya Pertanian, dan/atau cara yang mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia serta menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup dalam melakukan pemeliharaan Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB X BAB X PANEN DAN PASCAPANEN Bagian Kesatu Panen


    Pasal 56
    (1)

    Panen merupakan kegiatan memungut hasil budi daya Pertanian yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan menekan tingkat kehilangan dan/atau kerusakan hasil. (21 Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), panen dilaksanakan secara tepat waktu, tepat keadaan, tepat cara, dan tepat sarana dan prasarana. (3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, Petani, Pelaku Usaha, dan masyarakat berkewajiban untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Setiap Orang yang melakukan panen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencegah rusaknya sumber daya alam dan lingkungan hidup serta timbulnya kerugian bagi masyarakat.


    Pasal 57

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib berupaya untuk meringankan beban Petani kecil yang mengalami gagal panen yang tidak ditanggung oleh asuransi Pertanian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Pascapanen


    Pasal 58

    Pascapanen merupakan kegiatan penanganan hasil panen yang bertujuan untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan mutu, menekan tingkat kehilangan dan/atau kerusakan, memperpanjang daya simpan, dan meningkatkan daya guna serta nilai tambah hasil budi daya Pertanian.


    Pasal 59
    Pasal 59
    (1)

    Hasil budi daya Pertanian yang dipasarkan harus memenuhi standar mutu. (2) Pemerintah Fusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya membina dan memfasilitasi pemenuhan standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengawasi mutu hasil budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).



    Pasal 60
    (1)

    Pemerintah Pusat menetapkan standar unit pengolahan, alat transportasi, dan unit penyimpanan hasil budi daya Pertanian. (21 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan akreditasi atas kelayakan unit pengolahan, alat transportasi, dan unit penyimpanan hasil budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap unit pengolahan, alat transportasi, dan unit penyimpanan hasil budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


    Pasal 61

    Pemerintah Pusat menetapkan tata cara pengawasan atas mutu unit pengolahan, alat transportasi, dan unit penyimpanan hasil budi daya Pertanian.


    Pasal 62

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pascapanen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 6l diatur dalam Peraturan Pemerintah.


    Pasal 63
    (1)

    Pemerintah Pusat menetapkan harga dasar hasil budi daya Pertanian strategis nasional.

    (2)

    Ketentuan


    Pasal 64
    (1)

    Untuk melindungi hasil budi daya Pertanian, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menyerap kelebihan hasil budi daya Pertanian strategis nasional. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyerapan kelebihan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB XI SARANA BUDI DAYA PERTANIAN DAN PRASARANA BUDI DAYA PERTANIAN Bagian Kesatu Sarana Budi Daya Pertanian


    Pasal 65
    (1)

    Sarana Budi Daya Pertanian terdiri atas:

    1. Benih Tanaman dan Benih Hewan atau Bibit Hewan;

    2. Pupuk;

    3. pestisida;

    4. pakan; dan

    5. alat dan mesin Pertanian. (2) Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari dalam negeri atau luar negeri. (3) Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan dengan teknologi yang memperhatikan kondisi iklim, kondisi Lahan, dan ramah lingkungan.


    Pasal 66
    (1)

    Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu.

    (2)

    Untuk


    Pasal 67
    (1)

    Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dapat merupakan atau mengandung hasil rekayasa genetik. (21 Setiap Orang yang mengedarkan Sarana Budi Daya Pertanian yang merupakan atau mengandung hasil rekayasa genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peredarannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keamanan hayati.


    Pasal 68
    (1)

    Sarana Budi Daya Pertanian yang diedarkan wajib diberi label, kecuali Sarana Budi Daya Pertanian produksi lokal atau Petani kecil ,yang diedarkan secara terbatas dalam satu kabupaten/kota. (2) Pemberian label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 69
    (1)

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya dapat mendanai Sarana Budi Daya Pertanian untuk Petani kecil sesuai dengan program:

    1. pengentasan kemiskinan;

    2. kedaulatan pangan;

    3. pemberantasan narkoba; dan/atau

    4. penanggulangan terorisme. (2) Untuk Sarana Budi Daya Pertanian dalam bentuk Pupuk, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan subsidi yang diperuntukkan bagi Petani kecil.


    Pasal 70
    (1)

    Pemerintah Pusat berkewajiban menyediakan bank genetik, cadangan Benih Tanaman dan Benih Hewan atau Bibit Hewan, serta cadangan Pupuk nasional. (21 Pemerintah Pusat dalam menyediakan bank genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan masyarakat. (3) Cadangan Benih Tanaman dan Benih Hewan atau Bibit Hewan, serta cadangan Pupuk nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk keadaan darurat, bencana alam, atau bencana sosial. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bank genetik, cadangan Benih Tanaman dan Benih Hewan atau Bibit Hewan, serta cadangan Pupuk nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


    Pasal 71
    (1)

    Pupuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b pengadaannya dilakukan melalui produksi dalam negerl danlatau pemasukan dari luar negeri. (2) Pupuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diedarkan wajib terdaftar. (3) Pupuk yang terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2),, harus memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, dan diberi label.


    Pasal 72

    FRES IDEN REPUEUK INDONESIA -29-


    Pasal 72
    (1)

    Pupuk yang diproduksi oleh Petani kecil dikecualikan dari pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (21. (21 Pupuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam satu kabupaten/kota.


    Pasal 73

    Setiap Orang dilarang mengedarkan Pupuk yang tidak terdaftar dan/atau tidak berlabel.


    Pasal 74

    Ketentuan mengenai pengadaan dan peredaran Pupuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l dan Pasal 72 diatur dengan Peraturan Pemerintah.


    Pasal 75

    Pestisida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c merupakan semua zat kirnia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dapat dipergunakan untuk:

    1. memberantas atau mencegah:


  4. hama dan penyakit yang merusak Tanaman atau hasil Pertanian;

  5. hama luar pada hewan piaraan dan ternak;

  6. hama air;

  7. binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat pengangkutan; dan

  8. binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada Tanaman, tanah, atau air;

    1. memberantas rerumputan dan/atau Tanaman yang tidak diinginkan;

    2. mematikan dan mencegah pertumbuhan bagian Tanaman yang tidak diinginkan; dan

    3. mengatur atau merangsang pertumbuhan Tanaman atau bagian Tanaman yang tidak termasuk Pupuk.

      Pasal 76

      trRES IDEN REPUBUK INDONESIA -30-


      Pasal 76
      (1)

      Pestisida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 pengadaannya dilakukan melalui produksi dalam negeri dan/atau pemasukan dari luar negeri. (21 Pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diedarkan wajib terdaftar. (3) Pestisida yang terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (21 harus memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, dan diberi label. (4) Pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan.


      Pasal 77
      (1)

      Setiap Orang dilarang mengedarkan dan/atau menggunakan Pestisida yang tidak terdaftar, membahayakan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan, danf atau tidak berlabel. (21 Pestisida yang dilarang peredaran dan/atau penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimusnahkan oleh Setiap Orang yang menguasai pestisida. (3) Dalam hal Setiap Orang yang menguasai pestisida sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui keberadaannya, pemerintah berkewajiban melakukan pemusnahan.


      Pasal 78
      (1)

      Produsen dan/atau distributor alat dan mesin Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e wajib melakukan sosialisasi mengenai tata cara penggunaan, keselamatan, pemeliharaan, dan perbaikan alat dan mesin Pertanian. (21 Alat dan mesin Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diuji terlebih dahulu sebelum diedarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


      Pasal 79
      Pasal 79

      Setiap Orang yang melakukan produksi, pengadaan, pengedaran, dan penggunaan Sarana Budi Daya Pertanian wajib:



    4. memenuhi standar keselamatan dalam proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan penggunaannya dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat setempat; dan

    5. memperhatikan Sistem Budi Daya Pertanian, daya dukung sumber daya alam, dan fungsi lingkungan.

      Pasal 80

      Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menyediakan Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 secara tepat waktu, tepat mutu, tepat jenis, tepat jumlah, tepat lokasi, dan tepat harga bagi Petani.


      Pasal 81

      Ketentuan lebih lanjut mengenai Sarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 8O diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Prasarana Budi Daya Pertanian


      Pasal 82
      (1)

      Prasarana Budi Daya Pertanian meliputi a. Lahan;


    6. ^jaringan irigasi dan/atau drainase;

    7. jalan penghubung;

    8. tenaga listrik dan jaringannya sampai ke pascapanen;

    9. gudang;

    10. rumah atau penaung Tanaman;

    11. gudang berpendingin; dan

    12. bangsal penanganan pascapanen yang memenuhi persyaratan teknis. Iokasi (21 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menyediakan, mengelola, dan/atau memelihara Prasarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d secara terintegrasi dan terencana. (3) Selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha juga dapat menyediakan, mengelola, dan/atau memelihara Prasarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (41 Petani dan Pelaku Usaha berkewajiban memelihara Prasarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

      Pasal 83

      Penyediaan, pengelolaan, dan/atau pemeliharaan Prasarana Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB XII USAHA BUDI DAYA PERTANIAN


      Pasal 84
      (1)

      Setiap Orang dapat melakukan Usaha Budi Daya Pertanian. (2) Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari modal dalam negeri dan modal asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama secara terpadu dengan Petani dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian. (41 Dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian, Setiap Orang dapat melakukan diversifikasi budi daya Pertanian dengan tetap memprioritaskan usaha pokok.


      Pasal 85

      trRES IDEN REPUELIK INDONESIA -33-


      Pasal 85
      (1)

      Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya membina dan mengarahkan kerja sama secara terpadu dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84. (21 Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip saling memperkuat dan menguntungkan yang dibuat dalam bentuk perjanjian secara tertulis.


      Pasal 86
      (1)

      Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang melakukan Usaha Budi Daya Pertanian di atas skala tertentu wajib memiliki izin. (21 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dilarang memberikan izin Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat. (3) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara masyarakat hukum adat dan Pelaku Usaha.


      Pasal 87
      (1)

      Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memfasilitasi pembiayaan dan permodalan Usaha Budi Daya Pertanian yang diprioritaskan kepada Petani kecil. (21 Pemberian fasilitas pembiayaan dan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:


    13. pinjaman modal untuk memiliki dan/atau memperluas kepemilikan Lahan budi daya Pertanian;

    14. pemberian bantuan penguatan modal bagi Petani;

    15. pemberian subsidi bunga kredit program dan/atau imbal jasa penjaminan; dan/atau

    16. pemanfaatan dana tanggung jawab sosial serta dana program kemitraan dan bina lingkungan dari badan usaha.

      Pasal 88
      Pasal 88
      (1)

      Setiap Orang yang memanfaatkan jasa atau Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian yang disediakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat dikenai pungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan kepada Petani kecil.



      Pasal 89

      Dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian, Setiap Orang dilarang melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


      Pasal 90

      Ketentuan lebih lanjut mengenai permodalan, diversifikasi, perizinan, dan pungutan Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 88 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pembinaan Pasal 9 1 (1) Pembinaan budi daya Pertanian dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan diseminasi informasi.

      (4)

      Pembinaan .


      Pasal 92

      Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mendorong dan mengarahkan peran serta Petani dan Pelaku Usaha atau pemangku kepentingan dalam pembinaan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91.


      Pasal 93

      Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan budi Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9l Pasal 92 diatur dalam Peraturan Menteri. daya dan Pasal 94 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan insentif kepada Petani pemula dan Petani yang melakukan budi daya Pertanian dan meningkatkan produksi dan produktivitas hasil Pertanian. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 95 (1) Pengawasan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilakukan untuk menjamin Sarana Budi Daya Pertanian, Prasarana Budi Daya Pertanian, dan/atau produk Pertanian sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan serta menanggulangi berbagai dampak negatif yang merugikan masyarakat luas dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

      (2)

      Pengawasan .

      (2)

      Pengawasan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berjenjang oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran serta masyarakat.


      Pasal 96
      (1)

      Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dilakukan melalui:


    17. pelaporan dari Pelaku Usaha mengenai kegiatan usahanya; dan/atau

    18. pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil budi daya Pertanian. (21 Dalam keadaan tertentu pengawasan dapat dilakukan melalui pemeriksaan terhadap proses dan hasil budi daya Pertanian. (3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian laporan dengan pelaksanaan di lapangan.

      Pasal 97

      Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96 diatur dalam Peraturan Menteri. BAB XIV PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


      Pasal 98
      (1)

      Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan penelitian dan pengembangan budi daya Pertanian.

      (2)

      Pemerintah FRES IDEN REPUELIK INDONESIA


      Pasal 99
      (1)

      Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan penghargaan kepada penemu teknologi tepat guna serta penemu teori dan metode ilmiah baru di bidang budi daya Pertanian. (2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XV PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA


      Pasal 100
      (1)

      Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pengembangan sumber daya manusia di bidang budi daya Pertanian. (2) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aparatur, Pelaku Usaha, Petani, dan masyarakat.


      Pasal 101
      Pasal 101
      (1)

      Dalam penyelenggaraan pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10O ayat (1) diselenggarakan penyuluhan Pertanian. (21 Pen5ruluhan Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:



    19. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya; dan

    20. Pelaku Usaha. (3) Penyelenggaraan penyuluhan Pertanian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB XVI SISTEM INFORMASI

      Pasal 102
      (1)

      Sistem informasi Pertanian mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. (21 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban membangun, men5rusun, dan mengembangkan sistem informasi Pertanian yang terintegrasi. (3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit digunakan untuk keperluan:


    21. perencanaan b. pemantauan dan evaluasi;

    22. pengelolaan pasokan dan permintaan produk Pertanian; dan

    23. pertimbangan penanaman modal. (4) Kewajiban Pemerintah Fusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilaksanakan oleh pusat data dan informasi. (5) Pusat data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berkewajiban melakukan pemutakhiran data dan informasi Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan secara akurat dan dapat diakses oleh masyarakat.

      Pasal 103

      Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin kerahasiaan data dan informasi Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XVII PERAN SERTA MASYARAKAT


      Pasal 104
      (1)

      Penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilaksanakan dengan melibatkan peran serta masyarakat. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:


    24. perencanaan budi daya Pertanian;

    25. tata ruang dan tata guna Lahan budi daya Pertanian;

    26. penggunaan Lahan;

    27. perbenihan dan perbibitan;

    28. penanaman;

    29. pengeluaran dan pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan;

    30. pemanfaatan air;

    31. pelindungan dan pemeliharaan Pertanian;

    32. panen dan pascapanen;

    33. Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian;

    34. Usaha Budi Daya Pertanian;

  1. pembinaan dan pengawasan;
    1. penelitian dan pengembangan;

    2. pengembangan sumber daya manusia; dan

    3. sistem informasi.

      Pasal 105

      Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dapat dilakukan Setiap Orang.


      Pasal 106

      Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1O4 dan Pasal 105 diatur dalam Peraturan Menteri. BAB XVIII PENYIDIKAN Pasal 1O7 (1) Selain pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang budi daya Pertanian diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana di bidang budi daya Pertanian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang hukum acara pidana. (21 Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang:


    4. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang budi daya Pertanian;

    5. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang budi daya Pertanian;

    6. melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana di bidang budi daya Pertanian;

    7. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang budi daya Pertanian;

    8. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang budi daya Pertanian. (3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (4) Dalam hal pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perLlndang-undangan. (5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (6) Pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XIX SANKSI ADMINISTRATIF

      Pasal 108
      (1)

      Sanksi administratif dikenakan kepada:


    9. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 28 ayat (3), Pasal 43, Pasal 44 ayat (2), Pasal 44 ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 7l ayat (3), Pasal 76 ayat (3), dan Pasal 79;

    10. Petani dan/atau Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)., Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (2); dan

    11. Produsen dan/atau distributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal TB ayat (1).

      (2)

      Sanksi FRES IDEN REPUBLIK INDONESIA -42- (21 Sanksi administratif ayat (1) dapat berupa: sebagaimana dimaksud pada a. teguran tertulis;

    12. denda administratif;

    13. penghentian sernentara kegiatan usaha;

    14. penarikan produk dari peredaran;

    15. pencabutan izin; dan/atau

    f. penutupan usaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi dan besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 109 Setiap Orang yang mengalihfungsikan Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.0O0.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 1 10 Setiap Orang yang menggunakan Lahan dalam luasan tertentu untuk kepentingan budi daya Pertanian yang tidak mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda pating banyak RpS.0OO.00O.0OO,00 (lima miliar rupiah). Pasal 1 1 1 Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak RpS.000.OO0.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal I 12 Setiap Orang yang menggunakan Lahan dan/atau media tanam lainnya untuk keperluan budi daya Pertanian yang tidak mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.00O.O00.000,O0 (tiga miliar rupiah). Pasal 1 13 Setiap Orang yang melakukan kegiatan pencarian dan pengumpulan Sumber Daya Genetik tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 1 14 Setiap Orang yang mengedarkan Varietas hasil Pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (41 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.0OO.000.O00,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 1 15 Setiap Orang yang mengedarkan benih unggul yang tidak sesuai dengan standar mutu, tidak bersertifikat, dan/atau tidak berlabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.0OO.0OO.00O,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 1 16 (1) Setiap Orang yang mengadakan, mengedarkan, dan/atau menanam Benih Tanaman yang merugikan masyarakat, budi daya Pertanian, sumber daya alam lainnya, dan/atau lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda pating banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 1 17 Setiap Orang yang memasukkan dan/atau mengeluarkan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan yang terancam punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional ke dan/atau dari wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.0O0.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 1 18 Setiap Orang yang menggunakan Sarana Budi Daya Pertanian, Prasarana Budi Daya Pertanian, dan/atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia serta menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup dalam pelaksanaan Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.0O0.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 1 19 Setiap Orang yang menggunakan Sarana Budi Daya Pertanian, Prasarana Budi Daya Pertanian, dan/atau cara yang mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan manusia serta menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup dalam melakukan pemeliharaan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.00O.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 120 Pasal 12O Setiap Orang yang tidak mencegah rusaknya sumber daya alam dan lingkungan hidup serta timbulnya kerugian bagi masyarakat dalam melakukan panen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak RpS.OO0.O00.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 121 Setiap Orang yang mengedarkan Sarana Budi Daya Pertanian yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp3.O00.OO0.000,O0 (tiga miliar rupiah). Pasal 122 Setiap Orang yang mengedarkan Pupuk yang tidak terdaftar dan/atau tidak berlabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp3.O00.0O0.O00,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 123 Setiap Orang yang mengedarkan dan/atau menggunakan pestisida yang tidak terdaftar, membahayakan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan, dan/atau tidak berlabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.O00.000.00O,OO (lima miliar rupiah). Pasal 124 Setiap Orang yang menguasai pestisida yang dilarang peredaran dan/atau penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dan tidak memusnahkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.00O.000.0OO,00 (lima miliar rupiah). Pasal 125 Setiap Orang yang melakukan Usaha Budi Daya Pertanian di atas skala tertentu yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak RpS.000.000.O00,00 (lima miliar rupiah). Pasal 126 Pejabat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang memberikan izin Usaha Budi Daya Pertanian di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat tanpa ada persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.O00.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 127 (1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 sampai dengan Pasal 125 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 109 sampai dengan Pasal 125, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditamb ah I I 3 (sepertiga). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 sampai dengan Pasal 125 dilakukan oleh pejabat sebagai orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan di bidang Pertanian, dipidana dengan pidana sebagaimana ancaman pidana dalam Undang-Undang ini ditambah 1/3 (sepertiga). BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 128 (1) Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku sampai izin berlakunya habis. BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 129 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 34781, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 130 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 131 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung Undang-Undang ini diundangkan. harus sejak Pasal 132 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2Ol9 ttd JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2Ol9 Plt. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RBPUBLIK INDONESIA, ttd TJAHJO KUMOLO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2OI9 NOMOR ^20 ^1 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22TAHUN 2019 TENTANG SISTEM BUDI DAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN I. UMUM Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan beranekaragam sumber daya alam hayati yang mempunyai peranan penting bagi kehidupan. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi, dan seimbang bagi sebesar- besarnya untuk kemakmuran ralryat. Sistem pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan perlu ditumbuhkembangkan dalam pembangunan nasional secara menyeluruh dan terpadu. Salah satunya adalah pembangunan nasional yang diarahkan untuk meningkatkan sebesar-besarnya kesejahteraan Petani. Dengan kata lain, Pertanian yang maju, efisien, dan tangguh mempunyai peranan penting dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional, yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan sebagai bagian dari Pertanian pada hakikatnya adalah pengelolaan sumber daya alam hayati dalam memproduksi komoditas Pertanian guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik dan berkesinambungan dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu, sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan Pertanian maju, efisien, dan tangguh, Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dikembangkan dengan berasaskan kebermanfaatan, keberlanjutan, kedaulatan, keterpadttan, kebersamaan, kemandirian, keterbukaan, efisiensi berkeadilan, kearifan lokal, kelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pelindungan negara. Secara konkret, penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil Pertanian, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup Petani, serta mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melibatkan masyarakat dalam men5rusun rencana pengembangan budi daya Pertanian yang merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah, dan perencanaan pembangunan sektoral. Perencanaan menjadi penting dilakukan untuk merancang pembangunan dan pengembangan Pertanian secara berkelanjutan. Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan pada prinsipnya merupakan paradigma pengelolaan Pertanian yang mengintegrasikan empat elemen, yaitu aspek lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi sehingga manfaat Pertanian dapat dinikmati dalam waktu yang lama. Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilakukan dengan memperhatikan daya dukung ekosistem, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim, serta kelestarian lingkungan guna mewujudkan sistem Pertanian yang maju, efisien, tangguh, dan berkelanjutan. Penyelenggaraan budi daya Pertanian dapat diselenggarakan melalui ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi dengan mempertimbangkan perubahan iklim yang tidak terlepas dalam kerangka sistem agribisnis secara menyeluruh, yaitu dari tahap penggunaan Lahan dan/atau media tanam lainnya, perbenihan, penanaman, pengeluaran dan pemasukan Benih Tanaman, dan Benih Hewan atau Bibit Hewan, hewan, pemanfaatan air, pelindungan dan pemeliharaan Pertanian, panen, hingga pascapanen. Keberhasilan pembangunan Pertanian melalui penyelenggaraan budi daya Pertanian juga tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung dengan ketersediaan Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian. Adapun pemanfaatan Lahan untuk keperluan budi daya Pertanian, disesuaikan dengan ketentuan tata ruang dan tata guna Lahan, yang dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan Lahan maupun pelestarian lingkungan hidup, khususnya konservasi tanah dan air. Pelaksanaan penyelenggaraan budi daya Pertanian harus dilakukan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, pembinaan sangat penting dan merupakan kewajiban dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Selain pembinaan, dalam pelaksanaan budi daya Pertanian juga dilakukan pengawasan untuk menjamin Sarana Budi Daya Pertanian, Prasarana Budi Daya Pertanian, danf atau hasil Pertanian sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan serta menanggulangi berbagai dampak negatif yang merugikan masyarakat luas dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan budi daya Pertanian sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang yang dapat dilakukan dalam bentuk pemberian usulan, tanggapan, pengajuan keberatan, saran perbaikan, danf atau bantuan. FRES IDEN REPUBLIK INDONESIA -3- Secara umum materi muatan dalam Undang-Undang ini meliputi perencanaan budi daya Pertanian, tata ruang dan tata guna Lahan budi daya Pertanian, penggunaan Lahan, perbenihan dan perbibitan, penanaman, pengeluaran dan pemasukan Tanaman, benih, bibit, dan hewan, pemanfaatan air, pelindungan dan pemeliharaan Pertanian, panen dan pascapanen, Sarana Budi Daya Pertanian dan Prasarana Budi Daya Pertanian, Usaha Budi Daya Pertanian, pembinaan dan pengawasan, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber daya manusia, sistem informasi, dan peran serta masyarakat, serta sanksi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup ^jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan "asas kebermanfaatan" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilakukan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Huruf b Yang dimaksud dengan "asas keberlanjlltan" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Huruf c Yang dimaksud dengan "asas kedaulatan" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilaksanakan dengan menjunjung tinggi hak dan kebebasan Petani untuk mengembangkan diri. Huruf d Yang dimaksud dengan "asas keterpaduan" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Huruf e Yang dimaksud dengan "asas kebersamaan" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilaksanakan secara bersama-sama oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, pelaku Usaha, dan masyarakat. Huruf f Yang dimaksud dengan "asas kemandirian" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilaksanakan secara independen dengan mengutamakan kemampuan sumber daya dalam negeri. Huruf g Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan pelayanan informasi yang dapat diakses oleh Pelaku Usaha budi daya Pertanian dan masyarakat. Huruf h Yang dimaksud dengan "asas efisiensi berkeadilan" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dilaksanakan secara tepat guna untuk menciptakan manfaat sebesar-besarnya dari sumber daya dan memberikan peluang serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya. Huruf i Yang dimaksud dengan "asas kearifan lokal" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan mempertimbangkan karakteristik wilayah, sosial, ekonomi, dan budaya serta nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat. Huruf j Yang dimaksud dengan "asas kelestarian fungsi lingkungan hidup" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan menggunakan sarana, prasarana, tata cara, dan teknologi yang tidak mengganggu fungsi lingkungan hidup, baik secara biologis, mekanis, geologis, maupun kimiawi. Huruf k Yang dimaksud dengan "asas pelindungan negara" adalah bahwa penyelenggaraan Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan mendapatkan pelindungan dari negara. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Pasal 5 Ayat (1) Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Pengembangan budi daya Pertanian secara berkelanjutan dilakukan dengan pola, cara, dan budaya Pertanian. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "melibatkan masyarakat" adalah mengikutsertakan Petani dan Pelaku Usaha, akademisi dan pakar, serta pemangku kepentingan budi daya Pertanian. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Huruf i Cukup ^jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan "budi daya Pertanian tertentu" adalah budi daya Pertanian yang mempunyai nilai strategis, misalnya padi, jagurg, dan kedelai. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "kebutuhan teknis" adalah kebutuhan akan adanya pengembangan aspek teknis yang harus dilakukan, seperti penerapan teknologi baru, introduksi Varietas baru, perubahan pola tanam, pengembangan agroekosistem, penetapan pola produksi, dan perubahan penanganan pascapanen. Yang dimaksud dengan "kebutuhan ekonomis" adalah kebutuhan akan adanya pengembangan aspek ekonomi yang harus dilakukan, seperti introduksi lembaga keuangan mikro, pengembangan sistem penjaminan, dan pengembangan sistem informasi pasar. Yang dimaksud dengan "kebutuhan kelembagaan" adalah kebutuhan akan adanya pengembangan aspek kelembagaan yang harus dilakukan seperti penumbuhkembangan kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, dan kemitraan. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Huruf i Cukup ^jelas. Huruf j Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup ^jelas. Pasal 9 Cukup ^jelas Pasal iO Ayat (1) Cukup jelas Pasal 1 1 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas Ayat (2) Pada prinsipnya Petani bebas menentukan pilihan jenis Tanaman dan hewan yang akan dibudidayakan. Namun, kebebasan tersebut harus memprioritaskan perencanaan budi daya Pertanian karena Petani sudah dilibatkan dalam perencanaan budi daya Pertanian. Tanaman pokok lainnya antara lain sagu, ubi, dan porang. Ayat (3) Cukup ^jelas Ayat (a) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Prinsip pertanian konservasi antara lain gangguan tanah minimum, penutupan tanah permanen dengan sisa Tanaman dan mulsa hidup, serta rotasi Tanaman dan tumpang sari. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup ^jelas Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Persetujuan perubahan jenis Tanaman dan hewan pada Usaha Budi Daya Pertanian yang dimaksud dalam ayat ini, tidak berlaku bagi Petani kecil. Ayat (3) Cukup ^jelas Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Media tanam lainnya antara lain air, agar-agar, merang, serbuk gergaji, sabut kelapa, arang, dan sekam. Ayat (2) Peningkatan fungsi pada Lahan ditujukan untuk budi daya Pertanian dan bukan untuk alih fungsi lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (a) Yang dimaksud dengan 'Jaringan pengairan lengkap" adalah satu kesatuan bangunan dan saluran untuk mengatur air irigasi yang mencakup penyediaan, pengambilan, dan pembagian yang dilengkapi dengan bangunan ukur di seluruh bangunan pembaginya. Pasal 20 Ayat (1) Pemberian insentif dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat berupa kemudahan dalam memperoleh akses informasi Pertanian, kemudahan dalam memperoleh Benih Tanaman, Benih Hewan, dan Bibit Hewan, serta keringanan dalam membayar pajak terhadap Lahan budi daya Pertanian. Ayat (2) Cukup ^jelas Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "luasan tertentu" adalah luasan Lahan yang dalam pembukaan dan pengolahan untuk budi daya Pertanian harus memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Fusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 22. Pasal 22 Persetujuan antara masyarakat hukum adat dengan Pelaku Usaha dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Petani kecil" adalah Petani yang sehari- hari bekerja di sektor Pertanian yang penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi keperluan hidupnya sehari-hari. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Sumber Daya Genetik mempunyai peran sangat mendasar dan merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya sehingga menjadi kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bersama masyarakat untuk melestarikan dan memanfaatkannya. Ayat (5) Cukup ^jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "materi induk" adalah Tanaman atau bagiannya digunakan sebagai bahan Pemuliaan. Ayat (21 . Ayat (2) Cukup ^jelas Ayat (3) Cukup ^jelas Ayat (a) Cukup ^jelas Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ?emerintah Pusat melakukan pelepasan" adalah pernyataan diakuinya suatu hasil Pemuliaan menjadi Varietas unggul dan dapat disebarluaskan setelah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Ayat (2) Pelaporan oleh Petani kecil dalam negeri merupakan penyederhanaan dan kemudahan dalam mekanisme perizinan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "label" adalah keterangan tertulis yang diberikan pada Benih Tanaman atau Benih Tanaman yang sudah dikemas yang akan diedarkan dan memuat antara lain tempat asal Benih Tanaman, jenis dan Varietas Tanaman, kelas Benih Tanaman, dan akhir masa edar Benih Tanaman. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 1 Ayat (1) Benih unggul yang pengadaannya melalui pemasukan dari luar negeri setelah melalui proses pelepasan oleh Pemerintah Pusat. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup ^jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. trRES IDEN REPUBLIK INDONESIA -13- Pasal 43 Cukup ^jelas. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Merugikan kepentingan nasional antara lain untuk menghindari serangan dan ancaman bioterorisme serta biopiracg. Ayat (2) Cukup ^jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Ayat (1) Cukup ^jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "eksplosi" adalah serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan, hama, dan penyakit hewan secara cepat dan mendadak. Huruf b Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas FRES IPEN REPUtsLIK INDONESIA -t4- Pasal 53 Cukup ^jelas. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup ^jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Kegiatan pascapanen meliputi antara lain pembersihan, pencucian, penyortiran, pengelasan, pengeringan, pengupasan, pembekuan, perajangan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, dan transportasi hasil produksi budi daya Pertanian. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Dalam upaya menetapkan standar unit pengolahan, alat transportasi, dan unit penyimpanan hasil budi daya Pertanian, Pemerintah Pusat dapat mengumpulkan semua pihak yang berkepentingan terhadap standar tersebut. Pihak yang dapat dipertimbangkan ikut serta dalam rapat konsensus standar antara lain wakil dari instansi Pemerintah, badan yang menangani standardisasi nasional, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, produsen, pemakai atau konsumen, tenaga peneliti, dan perguruan tinggi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 . Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Dalam upaya menetapkan harga dasar hasil budi daya Pertanian, Pemerintah Pusat perlu mempertimbangkan pendapat masyarakat produsen melalui studi atau survei, tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat konsumen. Penetapan harga dasar akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kepentingan produsen dan konsumen hasil budi daya Pertanian yang bersangkutan serta memperhatikan perjanjian internasional. Hasil budi daya Pertanian strategis nasional adalah hasil budi daya Pertanian yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, baik produsen maupun konsumen, misalnya padi, gula, dan daging. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 64 Cukup ^jelas. Pasal 65 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. trRES IDEN REPUELIK INDONESIA - 16- Ayat (21 Cukup jelas Ayat (3) Sarana Budi Daya Pertanian yang dikembangkan dengan teknologi ditujukan untuk meningkatkan produksi dan taraf kesejahteraan Petani. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 7O Cukup jelas Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (a) Sarana Budi Daya Pertanian yang diproduksi lokal atau Petani kecil antara lain parang, cangkul, garu, atau alat bajak tradisional. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (3) Ayat (3) Penetapan standar mutu Pupuk salah satunya memperhatikan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup ^jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Cukup jelas Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c . FRES IDEN REPUBLIK INDONESIA -18- Huruf c Yang dimaksud dengan 'Jalan penghubung" adalah ^jalan usaha tani yang menghubungkan dari lokasi budi daya sampai ke lokasi pascapanen dan ke pasar. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas Huruf f Cukup ^jelas Huruf g Cukup ^jelas Huruf h Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang- undangan" adalah peraturan perundang-undangan di bidang perkebunan, hortikultura, dan Tanaman pangan. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "usaha pokok" adalah jenis usaha yang disebutkan dalam surat izin usaha atau surat tanda daftar usaha. Seperti, integrasi antara usaha perkebunan kelapa sawit dengan usaha budi daya sapi dengan tetap memprioritaskan usaha perkebunan kelapa sawit yang perizinan awalnya untuk kelapa sawit. Diversifikasi budi daya Pertanian antara lain, mina padi, sawit sapi, dan unggas ikan. Pasal 85 Cukup ^jelas. Pasal 86 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah batasan atau persentase yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pelaku Usaha dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian tertentu. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 87 Cukup jelas Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Cukup jelas Pasal 90 Cukup jelas Pasal 9 1 Cukup jelas Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Yang dimaksud "Petani pemula" adalah Petani yang baru memulai Usaha Budi Daya Pertanian dengan permodalan, teknologi, danf atau Lahan yang terbatas. Ayat (2) Cukup ^jelas Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Ayat (1) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan budi daya Pertanian diarahkan untuk kepentingan masyarakat melalui penyuluh Pertanian. Ayat (21 Cukup jelas Ayat (3) Penelitian dan pengembangan budi daya Pertanian yang dilakukan di dalam atau di luar negeri dengan tidak membahayakan kesehatan manusia, merusak keanekaragaman hayati, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Ayat (a) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 99 Cukup jelas. FRES IDEN REPUBUK INDONESIA -2r- Pasal 100 Ayat (1) Pengembangan sumber daya manusia di bidang budi daya Pertanian dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan serta mendorong dan membina masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 101 Cukup jelas Pasal 102 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (a) Pusat data dan informasi paling sedikit menyampaikan data dan informasi mengenai Varietas Tanaman, letak dan luas wilayah, kawasan, dan unit Usaha Budi Daya Pertanian, permintaan pasar, peluang dan tantangan pasar, perkiraan produksi, perkiraan harga, perkiraan pasokan, perkiraan musim tanam dan musim panen, prakiraan iklim, Organisme pengganggu T\rmbuhan serta hama dan penyakit hewan, ketersediaan Prasarana Budi Daya Pertanian, dan ketersediaan Sarana Budi Daya Pertanian. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas Pasal 104 Cukup ^jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas Pasal 107 Cukup jelas Pasal 108 Cukup ^jelas Pasal 109 Cukup jelas Pasal 1 10 Cukup ^jelas. Pasal 1 1 1 Cukup jelas. Pasal I 12 Cukup jelas Pasal 1 13 Cukup ^jelas. Pasal 1 14 Cukup jelas. Pasal 1 15 Cukup jelas Pasal 1 16 Cukup jelas Pasal 1 17 Cukup jelas Pasal 1 18 Cukup jelas. Pasal 1 19 Pasal 1 19 Cukup ^jelas Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 722 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas Pasal 125 Cukup jelas Pasal 126 Cukup jelas Pasal 127 Cukup jelas Pasal 128 Cukup jelas Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas Pasal 131 Cukup jelas Pasal 132 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6412

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):