Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran dalam Rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara Serta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2022

Kerangka<< >>

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2022 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOI.,AAN ANGGARAN DAI,,AM RANGKA PERSIAPAN, PEMBANGUNAN, DAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA SERTA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KHUSUS IBU KOTA NUSANTARA DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 24 ayat l7l, Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), Pasa.l 35, dan pasal 36 ayat l7l Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 ten tang Ibu Kota Negara, perlu Peraturan Pemerintah tentang Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran dalam rangka Persiapan , Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara; Mengingat Dasar Negara I 2 lasat_ ^S ^ayat ^(21 ^Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 17 Tahun Keuangan Negara 2OOg tentang Indonesia Tahun Negara Republik 2OO3 Nomor 47 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia N omor 4286); 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO4 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Repubfif Indonesia Tahun 20O4 Nomor S, Tambaf,an kmbaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); Undang-Undang Nomor 9 Tahun 20la tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol8 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6245); Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (kmbaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang lbtt Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766); MEMUTUSKAN: PERATURAN PEMEzuNTAH TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN ANGGARAN DALAM RANGKA PERSIAPAN, PEMBANGUNAN, DAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA SERTA PEI{YELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KHUSUS IBU KOTA NUSANTARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Ibu Kota Negara adalah Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5 6 7 Menetapkan 2 3 4 Ibu Kota Negara bernama Nusantara yang selanjutnya disebut Ibu Kota Nusantara adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi yang wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentarrg Ibu Kota Negara. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun t945. Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Ibu Kota Nusantara. Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut sebagai Otorita Ibu Kota Nusantara adalah pelaksana kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Presiden adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara adalah kepala Pemerintah Daerah Khusus lbu Kota Nusantara. Rencana Induk Ibu Kota Nusantara adalah dokumen perencanaan terpadu dalam melaksanakan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara adalah dokumen perencanaan terpadu yang merupakan uraian lebih lanjut dari Rencana Induk lbu Kota Nusantara.

  2. Anggaran... 5 6 7 8 9 10. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetqiui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 11. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 12. Barang Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BMD adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 13. Aset Dalam Penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disingkat ADP adalah tanah di wilayah Ibu Kota Nusantara yang tidak terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. 14. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN. 15. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN. 16. Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya. 17. Perencanaan Kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datarrg. 18. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN yang sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan.

  3. Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga/ satuan kerja dan/atau optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan. 20. Sewa adalah Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan berupa uang tunai dan/atau bentuk lainnya. 21. Ke4a Sama Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN oleh pihak lain dalam jangka waltu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. 22. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur adalah Pemanfaatan BMN melalui kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur dalam rangka pendanaan persiapan, pembangunan, dan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 23. Pemindahtanganan adalah pengalihan BMN. 24. Tukar Menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN yang dilakukan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah atau antara Pemerintah dengan pihak lain, dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang, paling sedikit dengan nilai seimbang. 25. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada pihak lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 26. Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan BMN. 27. Pengelola ADP adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan pengelolaan ADP.

  4. Pengguna ADP adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung ^jawab melaksanakan pengelolaan ADP. 29. Kuasa Pengguna ADP adalah kepala satuan kerja atau pejabat di lingkungan Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditunjuk oleh Pengguna ADP untuk melaksanakan sebagian kewenangan Pengguna ADP dengan sebaik- baiknya. 3O. Pemegang ADP adalah pihak yang diberikan kewenangan untuk mengelola ADP sesuai alokasi lahan yang ditetapkan. 31. Mitra ADP adalah pihak yang melakukan kerja sama dengan Pengguna ADP untuk mengelola ADP berdasarkan kesepalatan yang dilakukan. 32. Pengelolaan ADP adalah rangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan, pengalokasian, penggunaan, pemanfaatan, pengamErna.n dan pemeliharaan, penghapusan, penatausahaan, serta pengawasan dan pengendalian ADP. 33. Perencanaan ADP adalah kegiatan rencana pengalokasian, peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan atas ADP. 34. Pengalokasian ADP adalah penyerahan bagian-bagian dari ADP oleh Pengguna ADP kepada Pemegang ADp untuk dipergunakan sesuai peruntukan yang ditentukan. 35. Penggunaan ADP adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna ADP dalam mengelola dan menatausahakan ADP sesuai dengan peruntukan ADP. 36. Pemanfaatan ADP adalah kegiatan pendayagunaan dan/atau optimalisasi ADP oleh Pengguna ADP melalui kerja sama dengan tidak memberikan Pengalokasian ADP kepada Mitra ADP. SIDEN INDONESIA 37. Penghapusan ADP adalah tindakan menghapus ADP dari daftar ADP dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Pengguna ADP dari tanggung jawab administrasi dan Iisik atas barang yang berada dalam penguasaannya. 38. Penatausahaan ADP adalah rangkaian kegiatan pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan ADP. 39. Pengawasan ADP adalah kegiatan pemantauan yang dilakukan untuk memperoleh informasi secara terus menerus terhadap pelaksanaan kewajiban yang telah disepakati. 40. Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. 41. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 42. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. 43. Penerusan SBSN adalah pembiayaan yang bersumber dari penerbitan SBSN yang diberikan oleh Pemerintah kepada penerima penerusan SBSN berdasarkan prinsip syariah untuk penyelenggaraan proyek dan harus dibayar kembali oleh penerima penerusan SBSN dimaksud sesuai dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.

  5. Penyediaan Infrastruktur adalah kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan infrastruktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. 49. Badan Usaha Pelaksana KPBU IKN yang selanjutnya disebut Badan Usaha Pelaksana adalah perseroan terbatas yang didirikan oleh badan usaha hasil pengadaan. 50. Konsultasi Publik adalah proses interaksi antara PJPK dengan masyarakat termasuk pemangku kepentingan untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan efektivitas KPBU IKN. 51 . Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. 52. Lembaga adalah organisasi non-Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya. 53. Menteri/Pimpinan kmbaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas penggunaan anggaran dan barang pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. 54. Menteri adalah menteri yang urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 55. Pihak Lain adalah pihak-pihak selain Pengelola Barang atau Pengguna Barang. 56. Badan Usaha adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta yang berbentuk perseroan terbatas, badan hukum asing, atau koperasi.

  6. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara, untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara. 58. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian / Lembaga. 59. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab pengguna€rn anggaran pada Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan. 6O. Satuan Kerja adalah unit organisasi lini Kementerian/Lembaga atau unit organlsasr pemerintah daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran. 61 . Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/ KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara. 62. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/ KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 63 Bendahara Penerimaan adalah orang untuk menerima, menyimpan, yang ditunjuk menatausahakan, dan mempertanggungiawabkan uang dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/ satuan kerja Kementerian/ Lembaga.

  7. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, dan mempertanggungiawabkan 65 66 67. 68 69 uang untuk keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/ Satuan Kerja Kementerian/Lembaga. Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah orang yang ditunjuk untuk membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu. Pajak Khusus Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Pajak Khusus IKN adalah kontribusi wajib kepada Otorita Ibu Kota Nusantara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Ibu Kota Nusantara bagi sg6..ar-besarnya kemakmuran ralryat. Pungutan Khusus Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Pungutan Khusus IKN adalah pungutan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai pembayaran atas pelayanan atau penyediaan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Subjek Pajak Khusus Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Subjek Pajak Khusus IKN adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak Khusus IKN. Wajib Pajak Khusus Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Khusus IKN adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  8. Wajib Pungutan Khusus Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Wajib Pungutan Khusus IKN adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran atas pelayanan barang, jasa, dan/atau peizinan yang diterima, termasuk pemungut Pungutan Khusus IKN tertentu. 71. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 72. Dukungan Kelayakan adalah Dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal yang bersifat finansial yang diberikan terhadap proyek KPBU IKN oleh Menteri. 73. Pembayaran Ketersediaan Layanan (Auailabilitg Pagmentl yang selanjutnya disebut Auailabilitg Pagment adalah pembayaran secara berkala oleh ^pJpK kepada Badan Usaha Pelaksana atas tersedianya layanan Infrastruktur yang sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria sebagaimana ditentukan dalam perjanjian KPBU IKN. Pasal 2 Materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:

    1. sumber dan skema pendanaan dalam rangka persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara; b rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara yang meliputi perencanaan dan penganggaran pendapatan dan belanja sesuai siklus anggaran; pelaksanaan dan pertanggungiawaban anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara yang mencakup pelaksanaan anggaran pendapatan, pelaksanaan anggaran belanja, dan pertanggunglawaban yang antara lain dilakukan oleh pejabat perbendaharaan pengelolaan BMN meliputi perencanaan kebutuhan penganggaran, pengadaan, perolehan dari BMD dan ADP, Penggunaan, Pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, Pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan, serta pembinaan, pengawasEm dan pengendalian. Pengelolaan App sslagai kekhususan pengelolaan aset oleh Otorita Ibu Kota Nusantara yang mencakup perencanaan, pengalokasian, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penghapusan, penatausahaan, serta pengawasan dan pengendalian; dan pengalihan/penahapan dalam rangka persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. c d e f. BAB II SUMBER DAN SKEMA PENDANAAN Bagran Kesatu Sumber Pendanaan

      Pasal 3

      Pendanaan untuk persiapan, Ibu Kota Negara, Daerah Khusus pembangunan, dan serta Ibu Kota Nusantara Pemerintahan bersumber dari:


    2. APBN; dan/atau

    3. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Skema Pendanaan Pasal 4 (1) Skema pendanaan yang bersumber dari APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dapat berbentuk:

    4. belanja; dan/atau

    5. pembiayaan. (21 Skema pendanaan dalam bentuk belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk pendanaan yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak. (3) Skema pendanaan dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk pendanaan yang bersumber dari surat berharga negara. (41 Surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

    6. SBSN; dan

    7. suN. (5) Skema pendanaan yang bersumber dari ApBN dan sumber lain yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:

    8. skema pendanaern yang berasal dari:

  9. pemanfaatan BMN dan/atau pemanfaatan ADP;

  10. penggunaan skema Kerja Sama ^pemerintah dan Badan Usaha atau KpBU IKN; dan

  11. keikutsertaan pihak lain termasuk: a) penugasan badan usaha yang sebagran atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara; b) penguatan peran badan hukum milik negara; dan c) pembiayaan kreatif lcreatiue financingl. b. skema pendanaan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (6) Skema pendanaan yang berasal dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b terdiri atas:

    1. skema pendanaan yang berasal dari:

  12. kontribusi swasta;

  13. pembiayaan k: .eanf lcreatiue financingl selatn sebagaimana dimalsud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf c); dan

  14. Pajak Khusus IKN dan/atau ^pungutan Khusus IKN yang ditetapkan dengan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan Dewan Perwalilan Rakyat Republik Indonesia. b. skema pendanaan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. l7l ^Pelaksanaan ^skema pendanaan Ibu Kota Nusantara yang bersumber dari APBN dalam bentuk surat berharga negara melalui SUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (8)

    Dalam rangka mendukung pembiayaan kreatif (creatiue financirql sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf c) dan ayat (6) huruf a angka 2, Menteri dapat memberikan Dukungan Pemerintah berupa fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi. (9) Dalam hal Ibu Kota Nusantara dilakukan melalui penugasan badan usaha yang seba gian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf a), Pemerintah dapat memberikan:

    1. dukungan dalam bentuk:

    2. penyertaan modal negara; 2, investasiPemerintah;

  15. ^jaminan Pemerintah; dan/atau

  16. insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    1. dukungan dalam bentuk selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (10) Sumber pembiayaan kreatif (creatiue financingl sebagaimana dimalsud pada ayat (5) huruf a angka 3 huruf c) dan ayat (6) huruf a angka 2 ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, Kementerian/Lembaga, dan/atau Otorita Ibu Kota Nusantara. (11) Pemberian jaminan Pemerintah sebagaimana dimalsud pada ayat (9) huruf a angka S dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

    2. pemberian jaminan dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan kesinambungan fiskal dan pengelolaan risiko fiskal ApBN;

    3. Menteri dapat memberikan penugasan khusus kepada badan usaha penjaminan infrastruktur untuk memberikan jaminan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

    4. pihak terjamin yaitu badan usaha milik negara dan pihak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan APBN, serta Otorita Ibu Kota Nusantara termasuk badan usaha pelaksana Otorita Ibu Kota Nusantara; dan

    5. dalam hal pihak terjamin merupakan Otorita Ibu Kota Nusantara, dipersamakan dengan Kementerian/Lembaga dan dikecualikan dalam pengenaan regres oleh Pemerintah. (12) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (11) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 5 (1) Untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Negara yang dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, Otorita Ibu Kota Nusantara dapat menerbitkan obligasi dan/atau sukuk Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. (21 Penerbitan obligasi dan/atau sukuk pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetqjuan Menteri dan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

      Pasal 6

      Pendanaan yang bersumber dari APBN dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan:


    6. memperhatikan kesinambungan fiskal; dan

    7. berdasarkan pada Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Bagian Ketiga Program Prioritas Nasional Pasal 7 (1) Persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota ditetapkan dalam Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. (2) Pendanaan pengadaan tanah untuk persiapan dan pembangunan di Ibu Kota Nusantara dapat dilakukan oleh satuan kerja di lingkungan Kementerian yang Negara ditetapkan sebagai program prioritas nasional paling singkat 10 (sepuluh) tahun dalam rencana kerja pemerintah sejak tahun 2022 atau paling singkat sampai dengan selesainya tahap 3 (tiga) penahapan Ibu Kota Nusantara sebagaimana urusan pemerintahan di bidang keuangan negara yang melaksanakan tugas dan fungsi manajemen aset negara strategis nasional. yang berkaitan dengan proyek Bagran KeemPat Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 8 (U Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memungut penerimaan negara bukan pajak. (21 Ketentuan mengenai penetapan jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak, perencanazrn, pelaksanaan, pertanggungiawaban, pengawasan dan pemeriksaan penerimaan negara bukan pajak mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan negara bukan pajak sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) metiputi:

    8. penentuan penerimaan negara bukan pajak terutang;

    9. pemungutan penerimaan negara bukan pajak;

    10. pembayaran dan penyetoran penerimaan negara bukan pajak;

    11. pengelolaan piutang penerimaan negara bukan pajak;

    12. penetapan dan penagihan penerimaan negara bukan pajak terutang;

    13. penggunaan dana penerimaan negara bukan pajak; dan C. ^penetapan keberatan, keringanan, dan pengembalian penerimaan negara bukan pajak. (4) Persetqiuan penggunaan dana penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f dapat diberikan sampai dengan sebesar looyo (seratus persen) dari penerimaan negara bukan pajak yang diterima. (5) Dalam hal terdapat penerimaan negara bukan pajak yang belum digunakan, penerimaan negara bukan pajak dimaksud dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya mengikuti mekanisme APBN. (6) Pengawasan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri dan organ Otorita lbu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. l7l ^Dalam rangka pelaksanaan penerimaan ^negara ^bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otorita Ibu Kota Nusantara dapat menunjuk dan/atau bekerja sama dengan mitra instansi pengelola penerimaan negara bukan pajak. (8) Pengawasan penerimaan negara bukan pajak Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan terhadap pengelolaan penerimaan negara bukan pajak yang dilakukan oleh instansi pengelola penerimaan negara bukan pajak, mitra instansi pengelola penerimaan negara bukan pajak Ibu Kota Nusantara, dan/atau wajib bayar. (9) Menteri dan organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat melibatkan pihak lain dalam melakukan pengawasan penerimaan negara bukan pajak Ibu Kota Nusantara. (10) Ketentuan teknis mengenai pengelolaan penerimaan negara bukan pajak diatur lebih lanjut oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat pertimbangan dari Menteri. Bagran Kelima Pembiayaan Proyek/ Kegiatan Melalui Penerbitan SBSN Paragraf I Pengaturan Umum Terkait SBSN Proyek untuk Kementerian/ Lembaga Termasuk Otorita Ibu Kota Nusantara Pasal 9 (1) Pemerintah dapat belanja Kementerian/Lembaga atau Otorita Ibu Kota Nusantara untuk pembiayaan proyek/kegiatan APBN yang bersumber dari penerbitan SBSN. (21 Alokasi belaqia Kementerian/Lembaga untuk pembiayaan proyek/kegiatan APBN yang bersumber dari penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (l) termasuk dalam rangka pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus lbu Kota Nusantara. (3) Proses pengusulan, pengalokasian, dan pelaksanaan anggaran proyek/kegiatan APBN yang bersumber dari penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembiayaan proyek melalui penerbitan SBSN. Paragral 2 Pengaturan untuk Pengalokasian Proyek/Kegiatan SBSN Baru di Tahun Berjalan Pasal 10 (l) Pengalokasian belanja Kementerian/Lembaga atau Otorita Ibu Kota Nusantara untuk pendanaan proyek/kegiatan APBN yang bersumber dari penerbitan SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dalam hal untuk proyek/kegiatan baru di tahun anggaran berjalan, dapat dilakukan melalui:

    14. pemanfaatan sisa dana SBSN dan/atau sisa kontraktual SBSN pada Kementerian/Lembaga bersangkutan atau Otorita Ibu Kota Nusantara, tanpa menambah total alokasi SBSN pada tahun anggaran berjalan;

    15. pelaksanaan sebagian alokasi belanja SBSN pada Kementerian/ Lembaga bersangkutan atau Otorita Ibu Kota Nusantara di tahun anggaran berjalan ke tahun anggaran berikutnya, tanpa menambah total alokasi SBSN pada tahun anggaran berjalan; dan/atau

    16. pelal(sanaan sebagran alokasi belaqia rupiah murni pada Kementerian/Lembaga bersangkutan atau Otorita Ibu Kota Nusantara. di tahun anggaran berjalan ke tahun anggaran berikutnya, untuk menambah alokasi SBSN pada Kementerian/ kmbaga bersangkutan atau Otorita Ibu Kota Nusantara pada tahun anggaran berjalan. (21 Proyek/kegiatan baru yang dapat diusulkan alokasinya pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

    17. merupakan prioritas proyek sesuai arahan Presiden; dan/atau

    18. diatur atau ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pelaksanaan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat berupa penundaan atau perpanj angan waktu pelaksanaan proyek/ kegiatan pada Kementerian/Lembaga bersangkutan atau Otorita Ibu Kota Nusantara. (41 Pengalokasian belanja Kementerian/Lembaga atau Otorita Ibu Kota Nusantara untuk proyek/ kegiatan baru di tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara setelah perubahan daftar prioritas proyek SBSN untuk tahun anggaran berkenaan ditetapkan oleh menteri yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Dalam rangka pendanaan proyek/kegiatan baru di tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menyesuaikan nilai batas maksimal penerbitan SBSN untuk pembiayaan proyek pada tahun anggaran bersangkutan.

      (6)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penealokasian dan pelaksanaan anggaran proyek/kegiatan APBN yang bersumber dari SBSN termasuk dalam rangka persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara diatur dalam Peraturan Menteri. Paragraf 3 Dukungan untuk Pengembangan Pembiayaan Kreatif (Creatiue Financhgl dalam Pembangunan Ibu Kota Negara Pasal l1 (1) Pendanaan APBN yang bersumber dari SBSN untuk perslap€u-r, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggarEran Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, dapat diintegrasikan dengan pendanaan daerah, badan usaha milik negara, swasta, KPBU IKN, dan/atau sumber dana lainnya. (21 Menteri dapat melakukan Penerusan SBSN kepada pemerintah daerah atau badan usaha milik negara, dalam rangka dukungan bagi pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. (3) Pengalokasian anggaran proyek/ kegiatan dalam ApBN untuk Penerusan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara setelah terlebih dahulu penilaian atas ke dan penetapan Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan nasional. siapan pelaksanaan proyek/kegiatan daftar prioritas proyek SBSN oleh (41 Penilaian atas kesiapan pelaksanaan proyek/kegiatan dalam rangka Penerusan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan berdasarkan penyampaian usulan proyek/ kegiatan oleh pemerintah daerah atau badan usaha milik negara kepada menteri ya.ng menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. (5) Dalam hal Penerusan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mekanisme investasi Pemerintah melalui badan usaha milik negara yang ditunjuk oleh Menteri, anggaran Bagian Keenam Skema Pendanaan Melalui Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha Paragraf I Umum Pasal 12 (1) Dalam rangka persiapan, pembangunan, Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan sebagai64114 dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai investasi Pemerintah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai integrasi SBSN dengan pendanaan daerah, badan usaha milik negara, swasta, KPBU IKN, dan/atau sumber dana lainnya sebagaimana dimalsud pada ayat (1) dan Penerusan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, pJpK dapat melakukan kerja sama dengan Badan Usaha dalam rangka Penyediaan Infrastruktur. (21 Kerja sama pemerintah dan Badan Usaha dalam rangka Penyediaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: I a. Skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

    19. KPBU IKN berdasarkan ketentuan dan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilaksanakan dengan ketentuan:

    20. Menteri, kepala Lembaga, dan/atau direksi badan usaha milik negara sebagai pJpK dapat menerapkan skema Kerja Sama ^pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b; dan

    21. Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai pJpK menerapkan skema KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.

      Pasal 13

      KPBU IKN dilaksanakan dengan tujuan: kebutuhan pendanaan khususnya untuk pembangunan dan Ibu Kota a b Nusantara secara berkelanjutan dalam penyediaan Infrastruktur melalui peran serta dana swasta; mewu.judkan Penyediaan Infrastruktur yang berkualitas, efektif, efisien, tepat sasaran, dan tepat waktu; menciptakan iklim investasi yang mendorong keikutsertaan Badan Usaha pelaksana dalam Penyediaan Infrastruktur berdasarkan prinsip persaingan usaha secara sehat; dan/atau memberikan kepastian pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana dalam Penyediaan Infrastruktur. c d b


      Pasal 14

      KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (21 huruf b dilakukan berdasarkan prinsip:


    22. kemitraan, yaitu kerja sama antara pemerintah dengan Badan Usaha Pelaksana dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dan persyaratan yang mem kebutuhan kedua belah pihak; kemanfaatan, yaitu penyediaan layanan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah dengan Badan Usaha Pelaksana untuk memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagr masyarakat; bersaing, yaitu pengadaan mitra kerja sama Badan Usaha Pelaksana dilakukan melalui tahapan pemilihan yang adil, terbuka, dan transparan, serta memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat; pengendalian dan pengelolaan risiko, yaitu kerja sama penyediaan layanan infrastruktur dilakukan dengan penilaian risiko, pengembangan strategi pengelolaan, dan mitigasi terhadap risiko; efektif, yaitu kerja sarna penyediaan layanan infrastruktur mampu mempercepat pembangunan sekaligus kualitas pelayanan pengelolaan dan pemeliharaan infrastruktur; dan efisien, yaitu kerja sama penyediaan layanan infrastruktur mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam Penyediaan Infrastruktur melalui dukungan dana swasta. c d e f. Pasal 15 (l) Infrastruktur lbu Kota Nusantara yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha dalam rangka Penyediaan Infrastruktur berdasarkan Peraturan Pemerintah ini mencakup Infrastruktur Ibu Kota Nusantara yang tercantum dalam Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. (21 Infrastruktur Ibu Kota Nusantara yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penahapan pembangunan, yang memuat paling sedikit: rencana proyek/aktivitas/ guna lahan; indikasi skema pembiayaan; dan indikasi waktu tersedianya layanan Infrastruktur. a. b.

    23. Paragraf 2 Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN Pasal 16 (1) Dalam pelaksanaan Ke{a Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN, menteri, kepala Lembaga, direksi badan usaha milik negara, dan/atau Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai tugas dan fungsinya bertindak sebagai PJPK. (21 Dalam hal terjadi peralihan kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kementerian/ Lemba ga menjadi dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dilakukan perubahan PJPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. SIDEN !NDONES (3) Dalam bertindak sebagai PJPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri, kepala Lembaga, direksi badan usaha milik negara, dan/atau Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara bertugas dan bertanggung jawab sebagai penyedia dan/atau penyelenggara Infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Tahap Pelaksanaan KPBU IKN

      Pasal 17

      KPBU IKN dilaksanakan dengan tahapan:


    24. perencanaan;

    25. penyiapan;

    26. transaksi; dan

    27. pelaksanaan perjanjian. Paragraf 4 Perencanaan KPBU IKN Pasal 18 (1) Perencanaan KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a dilaksanakan oleh PJPK dan/atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaErn pembangunan nasional. l2l ^Perencanaan KPBU ^IKN ^sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan paling sedikit:

    28. identifrkasi KPBU IKN;

    29. penetapan KPBU IKN; dan

    30. penganggaran KPBU IKN.

      (3)

      Dalam melakukan identifikasi KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a, PJPK dapat melakukan Konsultasi Publik. (4) Identifikasi KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (21huruf a, dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit:

    31. kesesuaian Penyediaan Infrastruktur dengan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara;

    32. analisis biaya manfaat dan sosial;

    33. analisis nilai manfaat uang (ualue for monegl;

    34. analisis kebutuhan ^(need analgsisl;

    35. analisis potensi pendapatan dan skema pembiayaan proyek;

    36. hasil Konsultasi Publik dengan memperhatikan kebutuhan proyek; dan

    37. rekomendasi dan rencana tindak lanjut. Pasal 19 Dalam rangka menentukan Infrastruktur yang akan dikerjasamakan dengan Badan Usaha sebagai ^pelaksanaan KPBU IKN, PJPK mempertimbangkan kelancaran pemenuhan target Penyediaan Infrastruktur guna persiapan, pembangunan, dan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.

      Pasal 20

      Berdasarkan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat ^(1) dan/atau hasil identifrkasi KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), PJPK menetapkan KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat ^(2) huruf b. Pasal 21 (1) Hasil identifrkasi KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dituangkan dalam dokumen identilikasi. (21 Penatausahaan dokumen hasil kegiatan perencanaan KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dilakukan berbasis elektronik secara bertahap. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses/mekanisme perencanaan KPBU IKN termasuk tetapi tidak terbatas pada penetapan daftar rencana KPBU IKN diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Paragraf 5 Penganggaran KPBU IKN Pasal 22 Penganggaran KPBU IKN sslag4imana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (21 huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:


    38. PJPK menganggarkan dana perencanaan, penyiapan, transaksi, dan pelaksanaan perjanjian KPBU IKN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

    39. PJPK menganggarkan dana pengembalian investasi kepada Badan Usaha Pelaksana dalam rangka KpBU IKN dalam APBN dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, kapasitas liskal nasional dan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri. Paragraf 6 Penyiapan KPBU IKN Pasal 23 (1) Penyiapan KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b dilakukan oleh PJPK dengan menrusun dokumen yang memuat antara lain:

    40. prastudi kelayakan;

    41. rencana Dukungan Pemerintah dan jaminan Pemerintah;

    42. penetapan tata cara pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana; dan

    43. ketersediaan tanah untuk KPBU IKN, dalam hal proyek Infrastruktur membutuhkan lahan. (2) Penyiapan KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi oleh Menteri atau badan usaha atau lembaga/organisasi internasional berdasarkan kesepakatan dengan Kepala Otorita lbu Kota Nusantara. (3) Penyiapan KPBU IKN yang difasilitasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan salah satu bentuk Dukungan Pemerintah. (4) Penyiapan KPBU IKN yang difasilitasi oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (21 perlu memperhatikan kesinambungan fiskal nasional. PasaL24 (1) Penatausahaan dokumen penyiapan KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) dilakukan berbasis elektronik secara bertahap. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai:

    44. b proses/mekanisme penyiapan KPBU IKN, diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaa.n pembangunan nasional; dan tata cara pengadaan badan usaha atau lembaga/organisasi internasional dalam rangka pemberian fasilitas penyiapan KPBU IKN, diatur dalam peraturan Lembaga yang urusan pemerintahan di Pasal 25 (1) Transaksi KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c, dilakukan oleh PJPK dengan kegiatan paling sedikit:

    45. pengadaan Badan Usaha Pelaksana;

    46. penandatanganan perjanjian KpBU IKN; dan

    47. pemenuhan pembiayaan penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha ^pelaksana. (21 Pengadaan Badan Usaha Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ay.at (l) huruf a, dilaksanakan setelah PJPK menyelesaikan penJrusunan dokumen kegiatan lingkungan hidup, penetapan lokasi dan pengadaan lahan, pengajuan penjaminan serta Duliungan Pemerintah dan izir: pemanfaatan BMN dan/atau BMD, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. (3) Perjanjian KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditandatangani oleh pJpK dengan Badan Usaha Pelaksana. bidang kebiiakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Paragraf 7 Transaksi KPBU IKN Pasal 26 (1) Pemenuhan pembiayaan Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

    48. setelah Badan Usaha Pelaksana menandatangani perjanjian KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Badan Usaha Pelaksana harus memperoleh pembiayaan untuk KPBU IKN paling lama 4 (empat) bulan sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian KPBU IKN;

    49. perolehan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dinyatakan terpenuhi apabila: l) perjanjian pinjaman untuk membiayai KPBU IKN telah ditandatangani; dan 2l sebagian pinjaman sslagairnan4 dimaksud pada angka 1), telah dapat dicairkan untuk memulai pekerj aan konstruksi;

    50. dalam hal perolehan pembiayaan untuk KPBU IKN terbagi dalam beberapa tahapan, perolehan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dinyatakan terpenuhi apabila: l) perjanjian pinjaman untuk membiayai salah satu tahapan konstruksi Infrastruktur telah ditandangani; dan 2l sebagian pinjaman sebagaimana dimaksud pada angka l) telah dapat dicairkan untuk memulai pekerj aan konstruksi; (2t (3) d. dalam hal terlampauinya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a Badan Usaha Pelaksana belum memperoleh pembiayaan, Badan Usaha Pelaksana dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu kepada PJPK disertai dengan penambahan nilai jaminan;

    51. perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf d, diberikan paling lama 2 (dua) bulan;

    52. dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf e terlampaui dan Badan Usaha Pelalsana tidak memperoleh pembiayaan, perjanjian KPBU IKN dinyatakan berakhir; dan C. ^dalam ^hal ^perjanjian ^KPBU IKN ^berakhir sebagaimana dimaksud dalam huruf f, PJPK dapat melaksanakan pengadaan ulang Badan Usaha Pelaksana. Dalam rangka mempercepat pemenuhan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c, Badan Usaha Pelaksana dapat menggunakan sumber pembiayaan yang berasal dari perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan infrastruktur dan/atau lembaga yang bergerak di bidang pengelolaan investasi Pemerintah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai:

    53. proses/mekanisme transaksi KPBU IKN diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan nasional setelah rekomendasi dari Menteri; pengadaan untuk Badan Usaha Pelaksana diatur dalam peraturan Lembaga yang urusErn pemerintahan di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah; dan/atau b c Paragraf 8 Pelaksanaan Perjanjian KPBU IKN berkoordinasi dengan urusan perolehan pembiayaan dalam rangka KPBU IKN diatur dalam peraturan menteri yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional setelah berkoordinasi dengan Lembaga yang urusan pemerintahan di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Pasal 27 (l) Dalam hal perolehan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c terpenuhi, Badan Usaha Pelaksana dan PJpK melaksanakan tahapan perjanjian KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d. (21 Pada masa konstruksi Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana, Badan Usaha pelaksana menyerahkan laporan hasil konstruksi penyediaan Infrastruktur yang paling sedikit memuat perkembangan dan informasi nilai wajar konstruksi Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha pelaksana kepada PJPK setiap semester dan/atau saat diperlukan PJPK. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses/mekanisme pelaksanaan perjanjian KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (l), diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional setelah Lembaga pemerintahan yang di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah, dan Menteri. setelah mendapat rekomendasi dari Pasal 28 (1) Dalam hal jangka waktu perjanjian KPBU IKN telah berakhir, Badan Usaha Pelaksana menyerahkan aset KPBU IKN kepada PJPK atau ditentukan lain berdasarkan Peraturan Menteri. (21 Penyerahan aset KPBU IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian KPBU IKN paling sedikit memuat:

    54. kondisi aset yang dialihkan;

    55. tata cara pengalihan aset;

    56. status aset yang bebas dari segala jaminan kebendaan atau pembebanan dalam bentuk apapun pada saat aset diserahkan kepada ^pJpK;

    57. status aset yang bebas dari tuntutan pihak ketiga; dan

    58. pembebasan PJPK dari segala tuntutan hukum yang timbul setelah penyerahan aset sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tata kelola yang berlaku. Paragraf 9 Pengembalian Investasi Badan Usaha Pasal 29 (1) PJPK menetapkan bentuk pengembalian investasi yang meliputi penutupan biaya modal, biaya operasional, dan keuntungan yang wajar Badan Usaha pelaksana. (21 Pengembalian investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas Penyediaan Infrastruktur dapat dilakukan melalui skema:

    59. pembayaran oleh pengguna dalam bentuk tarif (user pagmentl;

    60. Auailabilitg Pagment; dan/atau

    61. bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 30 (1) Untuk pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana yang bersumber dari pembayaran oleh pengguna dalam bentuk tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (21 huruf a, PJPK menetapkan tarif awal atas Penyediaan Infrastruktur. (2) Tarif awal dan penyesuaiannya ditetapkan untuk memastikan pengembalian investasi yang meliputi:

    62. penutupan biaya modal;

    63. biaya operasional; dan

    64. keuntungan yang wajar dalam kurun waktu tertentu. Pasal 31 (1) Dalam hal berdasarkan pertimbangan PJPK, tarif awal dan penyesuaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3O ayat (21 belum dapat ditetapkan untuk mengembalikan seluruh investasi Badan Usaha Pelaksana, tarif dapat ditentukan berdasarkan tingkat kemampuan pengguna. (21 Untuk tarif yang ditentukan berdasarkan kemampuan pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha Pelaksana dapat diberikan Dukungan Pemerintah sehingga Badan Usaha Pelaksana dapat memperoleh investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).

      (3)

      Dalam hal KPBU IKN dengan skema pengembalian investasi bersumber dari pembayaran oleh pengguna dalam bentuk tarif diprakarsai oleh PJPK, dapat diberikan Dukungan Pemerintah yang bersumber dari APBN dalam bentuk dukungan sebagian konstruksi, Dukungan Kelayakan, dan/atau dukungan penjaminan infrastruktur. Pasal 32 (1) Untuk pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana yang bersumber dari Auailabilitg Pagment sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b, PJPK menganggarkan dana Auailabilitg Pagment urftuk Penyediaan Infrastruktur yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelaksana pada masa operasi selama jangka waktu yang diatur dalam Perjanjian Kerja Sama dengan memperhatikan kapasitas fiskal PJPK. (21 Penganggaran dana Auailabilitg Pagment sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memperhitungkan:

    65. biaya modal;

    66. biaya operasional; dan/atau

    67. keuntungan yang wajar Badan Usaha Pelaksana. Pasal 33 (1) Dalam hal dibutuhkan untuk memastikan kelayakan proyek, proyek KPBU IKN dengan skema pengembalian investasi yang bersumber dari Auailabilitg Pagment, dapat diberikan dukungan yang bersumber dari APBN. (2) Bentuk dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) termasuk tetapi tidak terbatas pada penjaminan infrastruktur, dukungan sebagian konstruksi, dan/atau Dukungan Kelayakan. Paragraf 10 Prakarsa Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN Pasal 34 (1) PJPK melakukan pembayaran AuailabilitA PdAment kepada Badan Usaha Pelaksana apabila telah terpenuhinya kondisi sebagai berikut:

    68. Infrastruktur yang dikerjasamakan telah dibangun dan dinyatakan siap beroperasi; dan

    69. PJPK menyatakan bahwa Infrastruktur telah memenuhi indikator layanan Infrastruktur sebagaimana diatur dalam Perjanjian KPBU IKN. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai Auailability Pagment diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 35 (1) PJPK memprakarsai Penyediaan Infrastruktur yang akan dengan badan usaha melalui (2t skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN. Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), badan usaha dapat mengajukan prakarsa Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN kepada PJPK. Penyediaan Infrastruktur yang dapat diprakarsai badan usaha yaitu yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

    70. tercantum dalam Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan/atau Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara;

    71. layak secara ekonomi dan finansial; dan

      (3)
      1. badan usaha yang mengajukan prakarsa memiliki kemampuan keuangan yang memadai untuk membiayai pelaksanaan Penyediaan Infrastruktur. (4) Badan usaha pemrakarsa wajib menyusun studi kelayalan atas Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN yang diusulkan. Pasal 36 (l) Badan usaha pemrakarsa Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN dapat diberikan alternatif kompensasi sebagai berikut:

    72. pemberian tambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen);

    73. pemberian hak untuk melakukan penawaran oleh badan usaha pemrakarsa terhadap penawar terbaik {right to matcfi; atau

    74. pembelian prakarsa Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN, antara lain hak kekayaan intelektual yang menyertainya oleh PJPK atau oleh pemenang proses pengadaan. l2l ^Pemberian ^kompensasi ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (l), dicantumkan dalam persetqluan PJPK. (3) Dalam hal badan usaha pemrakarsa telah mendapatkan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh studi kelayakan dan dokumen pendukungnya, termasuk hak kekayaan intelektual yang menyertainya beralih menjadi milik PJPK. (41 PJPK dapat mengubah atau melakukan terhadap studi kelayakan dan pendukungnya. dokumen PRES!OEN REPUELIK INDONES Pasal 37 (1) Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN yang diprakarsai badan usaha dapat diberikan jaminan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. l2l ^Skema ^pengembalian ^investasi Badan Usaha Pelaksana untuk Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU IKN yang diprakarsai badan usaha dapat bersumber dari pembayaran oleh pengguna dalam bentuk tarif atau bersumber dari Auailabilitg Payment sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 11 Dukungan Pemerintah Pasal 38 Dalam rangka mendukung KPBU IKN, Menteri, menteri, kepala kmbaga, kepala daerah, dan/atau Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memberi Dukungan Pemerintah sesuai dengan kewenangan dan kebutuhan proyek. Pasal 39 Dukungan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 terdiri atas:

    75. dukungan dari Kementerian, Lembaga, pemerintah daerah, dan/atau Otorita Ibu Kota Nusantara; dan/atau

    76. dukungan dari Menteri dengan tetap memperhatikan kapasitas fiskal nasional, antara lain berupa:

      1. fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi KPBU IKN;

      2. Dukungan Kelayakan;

      3. insentifperpajakan; 4l penjaminan Pemerintah; dan/atau

      4. Pemanfaatan BMN. Pasal 40 (1) Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b angka 4) dilaksanakan melalui rangkaian proses penjaminan infrastruktur yang dilakukan dengan mekanisme satu pelaksana oleh badan usaha penjaminan infrastruktur (single uindow policAl. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai:

    77. bentuk dan tata cara pemberian Dukungan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a diatur oleh menteri, kepala Lembaga, kepala daerah, dan/atau Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    78. bentuk dan tata cara pemberian Dukungan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 41 (l) Dalam rangka mempercepat Penyediaan Infrastruktur di Ibu Kota Nusantara, perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan infrastruktur dan lembaga yang bergerak di bidang pengelolaan investasi Pemerintah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan dapat bertindak sebagai penyedia pembiayaan infrastruktur. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan pembiayaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan nasional dan kmbaga yang urusan pemerintahan di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Bagran EtrEIEtrN REPIIBLIK INDONESIA Bagian Ketujuh Pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN Pasal 42 (1) Dalam rangka pendanaan untuk Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, Otorita Ibu Kota Nusantara dapat melakukan pemungutan Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN di Ibu Kota Nusantara. (21 Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah pengalihan kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (3) Pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan berlaku secara mutatis mutandis sebagai Pajak Khusus IKN dan Pungutan Khusus IKN di Ibu Kota Nusantara. (4) Dasar pelaksanaan pemungutan Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia. Paragraf 1 Pajak Khusus IKN Pasal 43 Jenis Pajak Khusus IKN yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 terdiri atas:

    79. Pajak Kendaraan Bermotor;

    80. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

    81. Pajak Alat Berat;

    82. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

    83. Pajak Air Permukaan;

    84. Pajak Rokok;

    85. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;

    86. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

    87. Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas:

  17. Makanan dan/atau Minuman;

  18. Tenaga Listrik;

  19. Jasa Perhotelan;

  20. Jasa Parkir; dan

  21. Jasa Kesenian dan Hiburan. j. Pajak Reklame;

    1. PajakAirTanah; L Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; dan

    2. Pajak Sarang Burung Walet.

      Pasal 44

      Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a mengacu pada peraturan perundang- undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:


    3. Objek, yaitu kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    4. Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor;

    5. Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor;

    6. Tarif, yaitu:

  22. untuk dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama, ditetapkan paling tinggs 2%o (dua persen); untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen); dan untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Otorita Ibu Kota Nusantara, ditetapkan paling tinggi O,5% (nol koma lima persen). yang 2 3 Pasal 45 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    1. Objek, yaitu penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan menerima penyerahan Kendaraan Bermotor; b c. Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor; dan

    2. Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar 2Oo/o (dua puluh persen). Pasal 46 Pajak Alat Berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada: Objek, yaitu Berat; kepemilikan dan/atau penguasaan Alat a. b. c.

    3. Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat; Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat; dan Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar O,2Vo (nol koma dua persen). Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan Tarif, yaitu:

  23. ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen); dan Pasal 47 Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf d mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    1. Objek, yaitu penyerahan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor;

    2. Subjek, yaitu konsumen Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

    3. Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan penyedia d 2 khusus untuk bahan bakar kendaraan umum, tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dapat ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi. Pasal 48 Pajak Air Permukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf e mengacu pada peraturan perundang- undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    4. Objek, yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan;

    5. Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan;

    6. Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan; dan

    7. Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar loyo (sepuluh persen). Pasal 49 Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 huruf f mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    8. Objek, yaitu konsumsi rokok. b. Subjek, yaitu konsumen rokok. c. Wajib pajak, yaitu pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai; dan

    9. larif, Vaitu ditetapkan sebesar lO% (sepuluh persen) dari cukai rokok. Pasal 5O Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebaqaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf g mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    10. Objek, yaitu Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan;

    11. Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan;

    12. Wajib Pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan; dan

    13. Tarif, yaitu:

  24. ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5yo (nol koma lima persen); dan

  25. untuk lahan yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah dari tarif untuk lahan lainnya.

    Pasal 51

    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf h mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    1. Objek, yaitu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;

    2. Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;

    3. Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan

    4. Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Pasal 52 Pajak Barang dan Jasa Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf i mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    5. Objek, yaitu penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu atas:


  26. mal<anan dan/atau minuman;

  27. tenaga listrik;

  28. ^jasa perhotelan;

  29. jasa parkir; dan

  30. ^jasa kesenian dan hiburan;

    1. Subjek, yaitu konsumen barang dan jasa tertentu;

    2. Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu; dan

    3. Tarif, yaitu:

  31. ditetapkan paling tinggi sebesar lO% (sepuluh persen);

  32. khusus untuk Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas ^jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 4Oo/o (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); dan khusus untuk Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas tenaga listrik untuk: a) konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3o/o (tiga persen); dan b) konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen). Pasal 53 Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 huruf j mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    1. Objek, yaitu semua penyelenggaraan reklame;

    2. Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan reklame; 3 yang c, d. Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang reklame; dan Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar 25olo (dua puluh lima persen). Pasal 54 Pajak Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 huruf k mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    3. Objek, yaitu pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah;

    4. Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Aii Tanah;

    5. Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah; dan

    6. Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar 2Oo/o (dua puluh persen). Pasal 55 Pajak Mineral Bukan logam dan Batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf I mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

    7. Objek, yaitu kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan;

    8. Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil mineral bukan logam dan batuan;

    9. Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil mineral bukan logam dan batuan; dan

    10. Tarit yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar 25o/o (dua puluh lima persen).

      Pasal 56

      Pajak Sarang Burung Walet sebageimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf m mengacu pada peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pajak daerah, termasuk tetapi tidak terbatas pada:


    11. Objek, yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet;

    12. Subjek, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau sarang burung walet;

    13. Wajib pajak, yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet; dan

    14. Tarif, yaitu ditetapkan paling tinggi sebesar 107o (sepuluh persen). Pasal 57 (l) Dalam rangka pengena.an Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 56, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyampaikan Rancangan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri untuk dilakukan reviu. (2) Rancangan Peraturan Otorita lbu Kota Nusantara yang telah direviu oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, disampaikan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan. (3) Setelah mendapatkan persetqjuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Otorita lbu Kota Nusantara menetapkan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka pengenaan Pajak Khusus IKN. (41 Jenis Pajak Khusus IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 56 dapat tidak dipungut, dalam hal:

    15. potensinya kurang memadai; dan/atau

    16. Otorita Ibu Kota Nusantara menetapkan kebijakan untuk tidak memungut. Paragraf 2 Pungutan Khusus IKN Pasal 58 (1) Jenis Pungutan Khusus IKN yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai retribusi daerah. (21 Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan berdasarkan pelayanan yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara, yang terdiri atas:

    17. pelayanan umum;

    18. penyediaan / pelayanan barang dan/atau jasa; dan/atau

    19. pemberian perizinan tertentu. (3) Objek Pungutan Khusus IKN adalah penyediaan dan/atau pelayanan barang dan/atau jasa serta pemberian perizinan tertentu yang diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Wajib ^pungutan Khusus IKN. Pasal 59 (1) Bentuk pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf a berupa:

    20. pelayanankesehatan;

    21. pelayanankebersihan;

    22. pelayanan parkir di tepi jalan umum;

    23. pelayanan pasar; dan/atau

    24. pengendalian lalu lintas. l2l ^Bentuk ^pelayanan ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dikenakan ^pungutan Khusus IKN dalam hal:

    25. potensi penerimaannya kecil; dan/atau

    26. dalam rangka pelaksanaan kebliakan nasional atau kebljakan Otorita Ibu Kota Nusantara untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma- cuma. (3) Bentuk pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 huruf b berupa:

    27. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;

    28. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;

    29. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;

    30. penyediaan tempat penginapan/ pesanggrahanl uilla;

    31. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;

    32. pelayanan jasa kepelabuhanan;

    33. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;

    34. pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;

    35. penjualan hasil produksi usaha Otorita Ibu Kota Nusantara; dan/atau

    36. pemanfaatan aset dalam penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Otorita Ibu Kota Nusantara dan/atau optimalisasi aset dalam penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. l4l ^Bentuk ^pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 huruf c berupa:

      (5)

      Pungutan Khusus IKN atas persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetqjuan bangunan gedung oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. (6) Pungutan Khusus IKN atas penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (41 huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana pengguneran tenaga ke{a asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing. (71 Pungutan Khusus IKN atas pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan ralryat yang dapat dipungut oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. (8) Penambahan bentuk layanan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

    37. persetqjuan bangunan gedung;

    38. penggun€ran tenaga kerja asing; dan/atau

    39. pengelolaanpertambanganrakyat. Paragraf 3 Tarif Pungutan Khusus IKN Pasal 60 (1) Tarif Pungutan Khusus IKN merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Pungutan Khusus IKN yang terutang. {21 ^Tarif ^Pungutan Khusus IKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut bentuk layanan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif ^pungutan Khusus IKN. Paragraf 4 Tata Cara Pemungutan Pajak Khusus IKN dan pungutan Khusus IKN Pasal 61 (1) Ketentuan lain yang terkait dengan pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, pengaturannya mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. (21 Termasuk ketentuan terkait pajak Khusus dan Pungutan Khusus IKN yang mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

    40. dasar pengenaan pajak;

    41. pengecualian objek pajak, subjek pajak, dan wajib pajak;

    42. saat terutangnya pajak;

    43. tempat terutangnya pajak;

    44. tahun pajak dan masa pajak;

    45. prinsip dan sasaran penetapan tarif pungutan khusus; dan C. ^tata ^cara ^penghitungan tarif pungutan khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tat: - cara p€mungutan Pajak Khusus IKN dan/atau pungutan Khusus IKN diatur dengan peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, Paragraf 5 Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan Pasal 62 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. (21 Keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak Khusus IKN, Wajib Pungutan Khusus IKN, dan/atau Objek Pajak Khusus IKN serta bentuk pelayanan Pungutan Khusus IKN. Bagran Kedelapan Skema Pendanaan l,ainnya Pasal 63 Partisipasi badan usaha milik negara dalam mendanai persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara tidak terbatas pada investasi yang dalam swasta. dilakukan termasuk tetapi badan usaha milik negara dapat bekerja sama dengan Pasal 64 Skema swasta murni merupakan investasi murni dari swasta yang dapat diberikan insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 65 (1) Skema pendanaan dalam bentuk belanja dan/atau pembiayaan sebagaimana dimalsud dalam pasal 4 dapat berupa:

    46. penerimaan hibah; dan/atau

    47. pengadaan pinjaman. l2l ^Skema ^pendanaan ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (l) termasuk dukungan pendanaan/pembiayaan internasional yang merupakan skema untuk mewadahi pemberian dana antara lain dari bilateral/lembaga multilateral yang hendak berpartisipasi dalam pengembangan Ibu Kota Nusantara yang hijau dan cerdas yang dapat melalui hibah dan/atau pemberian dana talangan. (3) Tata cara penerimaan hibah dan pengadaan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III RENCANA KERJA DAN ANGGARAN OTORITA IBU KOTA NUSANTARA Bagian Kesatu Perencanaan dan Penganggaran Rencana Kerja dan Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara Pasal 66 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/Pengguna Barang men5rusun rencana kerja dan a.nggaran Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 67 (1) Dalam rangka pen3rusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan pemerintah mengenai pen5rusunan rencana ke{a dan anggarErn Kementerian/Lembaga sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Pemerintah ini. (21 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun rencana kerja dan anggaran yang terdiri atas rencana pendapatan dan belanja. (3) Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara meliputi penerimaan negara bukan pajak d an/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN. (41 Rencana pendapatan dalam rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara merupakan perkiraan pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara yang disusun secara realistis dan optimal. (5) Rencana pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayal l2l merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggarErn Otorita Ibu Kota Nusantara yang ditelaah oleh Menteri. Pasal 68 Otorita Ibu Kota Nusantara pengelolaan rencana belanja berdasarkan:

    48. indikator kinerja utama;

    49. fluktuasi pendapatan; dan

    50. penerapan prinsip belanja berkualitas. Pasal 69 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA/ Pengguna Barang menJrusun rencana kerja dan anggar€rn Ibu Kota Nusantara dengan memperhatikan paling sedikit:

    51. Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara;

    52. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional;

    53. rencana kerja pemerintah;

    54. pagu anggaran; dan

    55. standar biaya. l2l ^Penyusunan ^rencana ^kerja dan ^anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara harus menggunakan pendekatan:

    56. kerangka pengeluaran jangka menengah;

    57. penganggaran terpadu; dan

    58. penganggaran berbasis kinerja. (3) Penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan instrumen:

    59. indikator kinerja;

    60. standar biaya; dan

    61. evaluasi kinerja. Pasal 70 (1) Struktur rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara memuat:

    62. rincian anggaran; dan

    63. informasi kinerja. (21 Rincian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit disusun menurut:

    64. program;

    65. kegiatan;

    66. keluaran; dan

    67. sumber pendanaan. (3) Informasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat paling sedikit:

    68. hasil;

    69. keluaran; dan

    70. indikator kinerja. Pasal 71 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) kepada Menteri untuk dilakukan penelaahan. l2l ^Penelaahan ^rencana ^kerja ^dan ^anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilalsanakan oleh:

    71. menteri yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional untuk menelaah kesesuaian pencapaian sasaran rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dengan rencana kerja Kementerian/Lembaga dan Rencana Kerja Pemerintah; dan

    72. Menteri untuk menelaah kesesuaian rencana kerja dan anggaran Kementerian/lembaga dengan kualitas belanja Kementerian/Lembaga. (3) Rencana kerja dan anggarErn Otorita Ibu Kota Nusantara hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihimpun bersama dengan rencana kerja dan anggaran Kementerian/t embaga untuk digunakan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dan dokumen pendukungnya. (4) Berdasarkan hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Menteri menyampaikan alokasi anggaran hasil kesepakatan kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dan pimpinan Kementerian/Lembaga lainnya.

      (5)

      Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan penyesuaian rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggar.Ln hasil kesepakatan pembahasan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia. (6) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaErn pembangunan nasional melakukan penelaahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berdasarkan alokasi anggaran dengan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. (71 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku pengguna Anggaran wajib menyusun dan bertanggung jawab terhadap rencana kerja dan anggaran atas bagian Ernggaran yang dikuasainya. (8) Dalam rangka penJrusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menugaskan organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. PasaT 72 Dalam rangka melaksanakan sinkronisasi penyusunan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara:

    73. berkoordinasi dengan Kementerian/kmbaga dan daerah mitra Ibu Kota Nusantara; dan

    74. dapat melibatkan perwakilan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait lainnya. Pasal 73 (l) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana ke{a dan anggararn Otorita Ibu Kota Nusantara tahun sebelumnya dan tahun anggaran berjalan. (21 Hasil evaluasi kinerja atas pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disampaikan kepada Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. Bagian Kedua Dokumen Pelalsanaan Anggaran Pasal 74 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun dokumen pelaksanaan anggaran Bagian Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara mengacu pada rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l ayat (6) dan peraturan presiden mengenai rincian APBN. (21 Dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara 5slagaimana dimaksud pada ayat (l) diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggara.n yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana serta pendapatan yang diperkirakan. (3) Menteri mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara paling lambat tanggal 31 Desember meqielang awal tahun anggaran. Bagian Ketiga Mekanisme Perubahan Anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara l4l ^Dokumen ^pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 75 (1) Dalam hal diperlukan perubahan rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, perubahan diajukan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Menteri untuk mendapatkan pengesahan. (2) Perubahan rencana kerja dan anggara.n sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

    75. sebagai akibat dari:

  33. perubahan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara yang memerlukan penyesuaian kebutuhan pelaksanaan;

  34. penggunaan selisih lebih penerimaan negara bukan pajak pada Otorita Ibu Kota Nusantara;

  35. fluktuasi pendapatan; dan/atau

  36. hasil pengendalian dan pemantauan. b. sebagai akibat selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (3) Pengajuan perubahan anggaran rencana ke{a dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara berpedoman pada peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perubahan renca.na kerja dan €rnggaran. BAB tV PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN Bagian Kesatu Umum

    Pasal 76

    Pelaksanaan dan pertanggungiawaban anggaran Otorita lbu Kota Nusantara mencakup:

    1. pelaksanaan anggaran pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara;

    2. pelaksanaan anggaran belanja Otorita Ibu Kota Nusantara; dan

    3. pertanggungiawabananggaran. Bagian Kedua Pej abat Perbendaharaan Pasal TT Pejabat perbendaharaan merupakan pejabat yang melaksanakan tugas dalam rangka pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara terdiri atas: A. PA;

    4. KPA; C. PPK;

    5. PPSPM;

    6. Bendahara Penerimaan; dan

    7. BendaharaPengeluaran.

      (4)

      Kewenangan PA untuk Pasal 78 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara bertindak sebagai PA atas lagran angg€rran yang disediakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Otorita Ibu Kota Nusantara dalam pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. l2l ^Kepala ^Otorita Ibu Kota Nusantara mengatur lebih lanjut pelaksana€Ln anggaran atas bagian anggaran yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. (3) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku pA berwenang:

    8. menunjuk kepala Satuan Kerja yang melaksanakan kegiatan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai KPA; dan

    9. menetapkan pejabatperbendaharaan lainnya. sebagaimana dimaksud pada pejabat ayat (3) huruf b dapat dilimpahkan kepada KpA. Pasal 79 Pejabat perbendaharaan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimalsud dalam pasal 77 huruf c dan huruf d ditetapkan oleh KPA. Pasal 80 Dalam melaksanakan anggaran pendapatan pada Satuan Kerja di lingkungan Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat mengangkat Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam pasal Z7 huruf e. SIDEN INDONES!A Pasal 8l Kewenangan mengangkat Bendahara ^penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dapat didelegasikan kepada kepala Satuan Kerja. Pasal 82 (1) Pengangkatan Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 8l dilakukan setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara. (2) Mekanisme pengangkatan Bendahara penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 83 Dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja pada Satuan Ke{a di lingkungan Otorita Ibu Kota Nusantara, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat mengangkat Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 huruf f. Pasal 84 Kewenangan mengangkat Bendahara pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dapat didelegasikan kepada kepala Satuan Kerja. Pasal 85 (1) Pengangkatan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dan ^pasal 84 dilakukan setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara. (21 Mekanisme Pengangkatan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 86 (1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan Emggaran belanja, kepala Satuan Kerja pada Otorita Ibu Kota Nusantara dapat mengangkat Bendahara Pengeluaran Pembantu. l2l ^Mekanisme pengangkatan ^Bendahara ^Pengeluaran Pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 87 (1) Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran merupakan pejabat fungsional. (21 Pejabat/pegawai yang akan diangkat sebagai Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran, dan Bendahara Pengeluaran Pembantu harus memiliki sertifikat bendahara yang diterbitkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 88 (1) KPA, PPK, PPSPM, Bendahara Bendahara Pengeluaran, dan Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Otorita Ibu Kota Nusantara dijabat oleh pegawai negeri sipil, Prajurit TNI, dan/atau Anggota Polri. (21 Dalam hal kepala Satuan Kerja pada Otorita Ibu Kota Nusantara berstatus bukan pegawai negeri sipil, Pra.iurit TNI, dan/atau Anggota Polri, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku PA dapat menunjuk pejabat lain yang berstatus pegawai negeri sipil, Pr4iurit TNI, dan/atau Anggota Polri sebagai KPA. 69 (3) Mekanisme penunjukan KPA, PPK, PPSPM, Bendahara Bendahara Pengeluaran, dan Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Otorita lbu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 89 (1) Dalam rangka efektivitas pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, KPA, PPK, dan PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dapat diiabat oleh bukan pegawai negeri sipil, Prajurit TNI, dan/atau Anggota Polri. (21 Penunjukan KPA, PPK, PPSPM yang dijabat oleh bukan pegawai negeri sipil, Pra.furit TNI, dan/atau Anggota Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

    10. memenuhi standar kompetensi dan/atau sertifikasi yang diperlukan;

    11. harus mendapat persetujuan Menteri selaku Bendahara Umum Negara; dan

    12. diangkat oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Bagian Ketiga Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Pasal 90 (1) Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara dapat berupa penerimaan kas dari:

    13. pemanfaatan BMN dan/atau pemanfaatan Aset Dalam Penguasaan;

    14. pemindahtangananBMN;

    15. Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN; hasil ke{a sama dengan pihak lain; dan/atau d.

    16. pendapatan Ibu Kota Nusantara lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperlakukan sebagai penerimaan negara bukan pajak. Pasal 91 Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan sistem penerimaan negara sesuai dengan ketenhran peraturan perundang-undangan. Pasal 92 (1) Otorita Ibu Kota Nusantara dapat memperoleh hibah berupa:

    17. hibah yang direncanakan; dan/atau

    18. hibah langsung. (21 Tata cara penerimaan hibah yang direncanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan hibah. (3) Hibah langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa perolehan:

    19. uang kas yang digunakan langsung untuk mendukung program dan kegiatan Otorita Ibu Kota Nusantara;

    20. barang dan jasa yang dimanfaatkan langsung untuk mendukung program dan kegiatan Otorita Ibu Kota Nusantara; dan/atau

    21. surat berharga.

      (4)

      Mekanisme administrasi dan pertanggungiawaban penerimaan, penggunaan uang kas, perolehan barang danjasa, dan/atau surat berharga dari hibah langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penerimaan hibah. Bagian Keempat Pelaksanaan Anggaran Belanja Pasal 93 (1) Pendapatan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dapat digunakan untuk belanja sesuai dengan persetujuan penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4). (21 Pencairan atas penggunaan dana penerimaan negara bukan pajak untuk belanja Otorita Ibu Kota Nusantara dilakukan dengan memperhatikan batas maksimum pencairan yang dihitung berdasarkan proporsi pengeluaran terhadap penerimaan. (3) Penggunaan dana penerimaan negara bukan pajak untuk membiayai belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat melampaui pagu dana penerimaan negara bukan pajak dalam daftar isian pelaksanaan anggaran Satuan Kerja yang bersangkutan. (41 Pembayaran dan penatausahaan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terpisah dengan belanja yang bersumber selain dari penerimaan negara bukan pajak. (5) Dalam perhitungan batas malsimum pencairan dana, setoran penerimaan negara bukan pajak yang belum digunakan sampai dengan akhir tahun anggaran, dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan tahun anggaran berikutnya setelah diterimanya daftar isian pelaksanaan anggaran. Pasal 94 (1) Anggaran belanja untuk kebutuhan Otorita Ibu Kota Nusantara dapat dibiayai dari sumber dana hibah berupa:

    22. hibah yang direncanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf a; dan/atau

    23. hibah langsung berupa uang kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (3) huruf a. (21 Pelaksanaan anggaran belanja sebagaimana dimalsud pada ayat (1) huruf a dan huruf b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan hibah.

      (1)

      Bagian Kelima Pertanggungiawaban Pasal 95 Otorita Ibu Kota Nusantara akuntansi dan menyusun laporan keuangan atas transaksi pelaksanaan APBN dan kejadian keuangan yang menjadi tugas dan kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantana. (21 Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan standar akuntansi pemerintahan. (3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (41 Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsolidasi dalam kerangka sistem akuntansi Pemerintah ^pusat untuk pertanggungiawaban APBN dan laporan keuangan Pemerintah Pusat. Pasal 96 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan pengendalian internal atas pelaksanaan dan pertanggungiawaban anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 97

    Pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan dan pertanggungiawaban APBN, kecuali diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 98 Ketentuan mengenai teknis pelaksanaan anggaran dan pertanggunglawaban anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara diatur dalam Peraturan Menteri. BAB V PENGELOLAAN BMN Bagian Kesatu Umum Paragraf 1 objek Pasal 99 (1) BMN meliputi:

    1. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN; dan b barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. l2l ^Barang ^sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

    2. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;

    3. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;

    4. barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

    5. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 1O0 Pengelolaan atas BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 meliputi:

    6. BMN yang sebelumnya digunakan oleh Kementerian/kmbaga di provinsi Daerah Khusus Ibukota Jalarta dan/atau provinsi lainnya yang dialihkan kepada Menteri dalam rangka pemindahan Ibu Kota Negara; dan

    7. BMN di wilayah Ibu Kota Nusantara. Paragraf 2 Pejabat Pengelolaan BMN Pasal 101 (1) Menteri selaku Bendahara Umum Negara adalah Pengelola Barang. (2) Menteri bertanggung jawab dan berwenang:

    8. melakukan penelitian dan verifikasi atas usulan daftar BMN yang akan dialihkan oleh Kementerian / Lembaga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya;

    9. menetapkan daftar BMN yang harus dialihkan oleh Kementerian / Lembaga di provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya;

    10. melakukan pengelolaan atas BMN yang telah dialihkan oleh Kementerian/lembaga di provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya, termasuk melakukan penataan ulang atas Penggunaan BMN berupa tanah dan/atau bangunan oleh Kementerian/Lembaga;

    11. melakukan Pemanfaatan dan/atau Pemindahtanganan BMN yang telah dialihkan oleh Kementerian/Iembaga di provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya;

    12. menunjuk badan usaha sebagai mitra dan/atau Badan l,ayanan Umum dalam rangka Pemanfaatan dan/atau ^pemindahtanganan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya;

    13. meneliti dan menyetqjui standar barang dan standar kebutuhan BMN di Ibu Kota Nusantara yang diusulkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara;

    14. melakukan penetapan status penggunaan BMN yang berada di kawasan Ibu Kota Nusantara;

    15. menetapkan bentuk lain ^pemanfaatan BMN; dan

    16. melakukan tanggung jawab dan wewenang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. (3) Menteri dapat melimpahkan tanggung jawab dan kewenangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara.

      (4)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan tertentu yang dapat dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara pelimpahannya diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 102 (l) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan Pengguna Barang di Ibu Kota Nusantara atas BMN yang berada dalam penguasaannya. (21 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara bertanggung jawab dan berwenang:

    17. merumuskan kebljakan, mengatur, dan menetapkan pedoman teknis pengelolaan BMN yang berada dalam penguasaannya dengan pada peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN;

    18. menetapkan Kuasa Pengguna Barang dan menunjuk pejabat yang mengunrs dan menyimpan BMN;

    19. menetapkan standar barang dan standar kebutuhan BMN di Ibu Kota Nusantara setelah berkoordinasi dengan Menteri/ Pimpinan Lembaga teknis terkait dan setelah mendapat persetqiuan Menteri;

    20. mengajukan rencana kebutuhan dan penganggaran BMN untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga;

    21. melaksanakan pengadaan BMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    22. menerima pengalihan BMD yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara;

    23. mengajukan permohonan penetapan status Penggunaan BMN yang berada dalam penguasaannya kepada Menteri;

    24. menggunakan (3) h. menggunakan BMN yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga;

    25. mengamankan dan memelihara BMN yang berada dalam penguasaannya;

    26. mengajukan usul Pemanfaatan BMN yang berada dalam penguasaannya kepada Menteri;

    27. mengajukan usul Pemindahtanganan BMN yang berada dalam penguasaannya kepada Menteri;


  37. menyerahkan BMN yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan tidak dimanfaatkan oleh Pihak Lain kepada Menteri;

    1. mengajukan usul pemusnahan dan penghapusan BMN yang berada dalam penguasaannya kepada Menteri;

    2. melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian atas Penggunaan BMN yang berada dalam penguasaannya;

    3. melakukan pencatatan dan Inventarisasi BMN yang berada dalam penguasaannya;

    4. menJrusun dan menyampaikan laporan barang pengguna semesteran dan laporan barang pengguna tahunan yang berada dalam penguasaannya kepada Menteri; dan

    5. melakukan wewenang dan tanggung jawab lainnya selaku Pengguna Barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dapat melimpahkan sebagian tanggung jawab dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kuasa Pengguna Barang. 78 (4) Tanggung jawab dan kewenangan yang dapat dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara pelimpahannya diatur oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Kuasa Pengguna Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertanggung jawab dan berwenang:

    6. mengajukan rencana kebutuhan BMN untuk lingkungan kantor yang dipimpinnya kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara;

    7. mengajukan permohonan penetapan status Penggunaan BMN yang berada dalam penguasaannya kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara;

    8. melakukan pencatatan dan Inventarisasi BMN yang berada dalam penguasaannya;

    9. (s) BMN yang berada dalam untuk kepentingan tugas dan fungsi pemerintahan;

    10. mengamankan dan memelihara BMN yang berada dalam penguasaannya;

    11. mengajukan usul pemanfaatan dan Pemindahtanganan BMN yang berada dalam penguasaannya kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara; o BMN yang tidak digunakan untuk kepentingan tugas dan fungsi pemerintahan dan sedang tidak dimanfiaatkan Pihak Lain kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara;

    12. mengajukan usul pemusnahan dan penghapusan BMN yang berada dalam penguasaannya kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara; penguasaannya I melakukan pengawasa.n dan pengendalian atas Penggunaan BMN yang berada dalam penguasaannya; menJrusun dan menyampaikan laporan barang kuasa pengguna semesteran dan laporan barang kuasa pengguna tahunan yang berada dalam penguasaannya kepada Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara; dan melakukan wewenang dan tanggung jawab lainnya selaku Kuasa Pengguna Barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 103 Menteri/Pimpinan lembaga adalah Pengguna Barang. Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab dan berwenang:

    13. melakukan inventarisasi dan menyusun daftar BMN berupa tanah dan/atau bangunan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya yang akan dialihkan kepada Menteri;

    14. melakukan pemberesan atas BMN selain tanah dan/atau bangunan yang terkait dengan BMN yang dialihkan kepada Menteri;

    15. mengalihkan BMN berupa tanah dan/atau bangunan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya kepada Menteri; dan J k (1) (21 melakukan wewenang dan tanggung jawab lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 104 (1) Menteri/Pimpinan Lembaga dapat menjadi Pengguna Barang untuk BMN yang berada pada Ibu Kota Nusantara dengan ketentuan:

    16. merupakan BMN yang terkait dengan sektor:

    17. pertahanan dan keamanan;

  38. politik luar negeri;

  39. kesekretariatannegara;

  40. yustisi; dan

  41. fiskal. b. dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dalam mendukung Ibu Kota Nusantara;

    1. dalam rangka efektivitas pengelolaan BMN di Ibu Kota Nusantara; dan/atau

    2. melaksanakan peraturan perundang-undangan. (21 Penetapan Menteri/Pimpinan Iembaga sebagai Pengguna Barang pada Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimalsud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri selaku Pengelola Barang atau pejabat yang ditunjuk. d B"gian Bagian Kedua Pengelolaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau Provinsi Lainnya dalam rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara Paragraf 1 Umum Pasal 105 (1) Pengelolaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya meliputi: perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; Penggunaan; pemberesan dan pengalihan; Pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; Pemindahtanganan; pemusnahan; penghapusan; a. b. c. d. e. f.

    3. h.

    4. j. k.

    5. ; ^dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian. l2l ^Tata ^cara ^pemberesan ^dan ^pengalihan ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

      (3)

      Tata cara perencanaan kebutuhan dan penganggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf b, Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pengamanan dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, penatausahaan sslagaimana dimalsud pada ayat (1) huruf k, dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf I dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. (4) Pengelolaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya dilaksanakan oleh Menteri dan Menteri/Pimpinan Lembaga sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Paragraf 2 Pemberesan dan Pengalihan BMN Pasal 106 (1) BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya yang terkait dengan pemindahan Ibu Kota Negara wajib dialihkan pengelolaannya kepada Menteri. (2) Pengalihan pengelolaan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk optimalisasi pengelolaan BMN dalam rangka pemindahan Ibu Kota Negara. (3) BlldlJ sgfagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi BMN:

    6. berupa tanah dan/atau bangunan berikut BMN berupa selain tanah dan/atau bangunan yang melekat di atas/pada tanah dan/atau bangunan;

    7. yang berada dalam penguasaan Kementerian/ Lembaga; dan

    8. yang tidak dalam sengketa terkait kepemilikan. Pasal 107 (1) Menteri men5rusun dan menetapkan rencana Pemanfaatan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya yang terkait dengan pemindahan Ibu Kota Negara. (21 Rencana Pemanfaatan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tetapi tidak terbatas pada: BMN yang akan dilakukan Pemanfaatan; bentuk Pemanfaatan BMN; dan linimasa Pemanfaatan BMN. (3) Terhadap rencana Pemanfaatan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan evaluasi secara periodik dan dapat dilakukan penyesuaian jika diperlukan. (4) Rencana Pemanfaatan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi masukan dalam penataan ulang Penggunaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya. Pasal 108 (1) Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan inventarisasi atas BMN yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3). 12) ^Berdasarkan inventarisasi ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/ Pimpinan Lembaga menyusun dan menyampaikan daftar usulan BMN yang akan dialihkan UCritut dokumen pendukung kepada Menteri. a. b.

    9. Pasal 1O9 (1) Menteri melakukan penelitian dan verilikasi terhadap BMN dalam daftar usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO8 ayat (2). (21 Berdasarkan hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan daftar BMN yang harus dialihkan oleh Menteri/Pimpinan kmbaga. (3) Daftar BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar b"gi Kementerian/Lembaga dalam penyusunan perencanaan Penggunaan, pemeliharaan, dan penghapusan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya. (41 Berdasarkan hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal BMN yang diusulkan tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3), BMN tetap dilakukan pengelolaan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 11O (1) Pengalihan BMN oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak selesainya:

    10. pemindahan kedudukan Satuan Kerja Kementerian/Lembaga ke lbu Kota Nusantara berdasarkan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara; dan/atau

    11. penataan ulang Penggunaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya yang dilakukan oleh Menteri. (21 Jangka waktu pengalihan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpaqlang dengan persetujuan Menteri.

      (3)

      Jangka waktu pengalihan BMN sebagaimana dimalsud pada ayat (21 dilakukan dengan mempertimbangkan:

    12. jadwal waktu kepindahan Satuan Kerja Kementerian/ lembaga;

    13. penataan ulang yang dilakukan oleh Pengelola Barang atas penggunaan BMN oleh Kementerian/ Lembaga;

    14. kesesuaian BMN yang akan dialihkan dengan pemenuhan persyaratan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3); dan/atau

    15. aspek lainnya yang ditentukan oleh Pengelola Barang. (4) Sebelum dilakukan pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan lembaga menyelesaikan pemberesan atas BMN selain tanah dan/atau bangunan yang terkait dengan BMN yang menjadi objek pengalihan. (5) Pengalihan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dituangkan dalam berita acara serah terima. (6) Berdasarkan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan penghapusan BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang telah dialihkan kepada Menteri dari daftar BMN pada Pengguna Barang. (71 Pelaksanaan pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi pertimbangan Menteri dalam melakukan evaluasi kinerja pengelolaan BMN masing- masing Kementerian/ lembaga. Pasal 111 (1) Pemberesan atas BMN selain tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (4) dilakukan melalui: Penggunaan BMN oleh Kuasa Pengguna Barang pada Kementerian/Lembaga yang sama; alih status Penggunaan BMN; Pemanfaatan BMN; Pemindahtanganan BMN; pemusnahan BMN; penghapusan; dan/atau

    16. skema lainnya yang ditetapkan oleh Menteri. l2l ^Tata cara pemberesan ^atas ^BMN selain ^tanah dan/ ^atau bangunan melalui Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a, alih status Penggunaan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf c, Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf e, dan penghapusan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf f, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. (3) Tata cara pemberesan atas BMN selain tanah dan/atau bangunan melalui skema lainnya yang dilstaFkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 112 (1) BMN yang telah dialihkan kepada Menteri dilakukan pengamanan dan pemeliharaan. (21 Pengamanan dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dibebankan pada APBN. (3) Untuk pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (l), dapat ditunjuk Pihak Lain. c a. b.

    17. e, f. Paragraf 3 Pemanfaatan BMN yang Dialihkan kepada Menteri dalam rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara Pasal 113 (1) Pemanfaatan BMN dilakukan oleh Menteri selaku Pengelola Barang. (21 Menteri dapat menunjuk:

    18. Pihak Lain sebagai konsultan/ aduisor dalam persiapan Pemanfaatan BMN; dan/atau

    19. badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara atau badan layanan umum, dalam pelaksanaan Pemanfaatan BMN. (3) Pemilihan mitra Pemanfaatan BMN dapat dilakukan melalui penunjukan langsung atau tender. (4) Penunjukan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara. (5) Tender sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. (6) Pembayaran imbal hasil Pemanfaatan BMN dapat berupa:

    20. uang yang disetorkan ke Kas Negara;

    21. penyediaan BMN di Ibu Kota Nusantara; dan/atau

    22. bentuk lainnya yang ditentukan oleh Menteri. (71 Mitra Pemanfaatan BMN dilarang menjaminkan, menggadaikan, dan/atau memindahtangankan BMN yang menjadi objek Pemanfaatan.

      (8)

      Dalam hal BMN dilakukan Pemanfaatan dengan Pihak Lain, biaya pengErmanan dan pemeliharaan menjadi tanggung jawab Pihak Lain yang menjadi mitra pemanfaatan. Pasal 114 (1) Bentuk Pemanfaatan BMN meliputi:

    23. Sewa;

    24. pinjam pakai;

    25. Kerja Sama Pemanfaatan;

    26. bangun guna serah/bangun serah guna;

    27. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur; atau

    28. kerja sama terbatas untuk pembiayaan Infrastruktur; (21 Pemanfaatan BMN berupa Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Kerja Sama Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Tata cara pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, bangun guna serah/bangun serah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, kerja sama terbatas untuk pembiayaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN.

      (1)

      Pasal 115 BMN dapat disewakan kepada Pihak Lain dengan jangka waktu Sewa paling lama 3O (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang dengan persetujuan Menteri selaku Pengelola Barang. Formula tarif/ besaran Sewa ditetapkan oleh Menteri. Sewa dilaksanakan berdasarkan pedanjian. (2t (3) (41 Pembayaran uang Sewa dapat dilakukan secara:

    29. sekaligus; atau

    30. bertahap. (5) Dalam hal pembayaran uang Sewa dilakukan sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a:

    31. pembayaran dilakukan tunai sebelum ditandatanganinya perjanjian Sewa; dan

    32. kepada mitra Sewa dapat diberikan faktor penyesuaian. (6) Dalam hal pembayaran uang Sewa dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (41 huruf b:

    33. mitra Sewa membayar paling sedikit lOo/o (sepuluh persen) dari keseluruhan nilai Sewa untuk tahap pertama;

    34. pembayaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus dibayar penuh secara tunai sebelum ditandatanganinya perjanjian Sewa; dan

    35. pembayaran uang Sewa pada tahap selanjutnya dilakukan sesuai dengan perjaqiian. (71 Percepatan pembayaran Sewa yang dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c dapat dilakukan dengan mempertimbangkan nilai waktu uang (time ualue of monegl. (8) Dalam pelaksanaan Sewa, mitra Sewa dapat melakukan perubahan struktur BMN berupa bangunan, atas persetqjuan Pengelola Barang. Pasal 116 (1) Kerja Sama Pemanfaatan dilaksanakan ketentuan: dengan a. mitra Kerja Sama Pemanfaatan harus membayar pembagran pendapatan lreuenue sharing) Ke4a Sama Pemanfaatan ke Kas Negara;

    36. besaran pembagian pendapatan hasil Kerja Sama Pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Menteri;

    37. sebagian pembagran pendapatan Kerja Sama Pemanfaatan dapat berupa bangunan beserta fasilitasnya yang dibangun dalam satu kesatuan perencanaan tetapi tidak termasuk sebagai objek Kerj a Sama Pemanfaatan;

    38. bangunan beserta fasilitasnya sebagaimana dimaksud dalam huruf c merupakan BMN; dan

    39. jangka waktu Kerja Sama Pemanfaatan paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani. (21 Semua biaya persiapan Kerja Sama Pemanfaatan yang terjadi setelah ditetapkannya mitra Kerja Sama Pemanfaatan dan biaya pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan menjadi beban mitra Kerja Sama Pemanfaatan. (3) Untuk biaya persiapan Kerja Sama Pemanfaatan yang te{adi setelah ditetapkannya mitra Kerja Sama Pemanfaatan dan biaya pelalsanaan Kerja Sama Pemanfaatan dapat dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sepanjang dilaksanakan dalam bentuk pemberian dukungan berupa fasilitas penyiapan dan pelalsanaan Kerja Sama Pemanfaatan. Patagral 4 Pemindahtanganan BMN yang Dialihkan kepada Menteri dalam rangka , ^dan Pemindahan ^lbu Kota Negara Persiapan, Pembangunan Pasal 117 (1) Pemindahtanganan BMN dilakukan dengan cara:

    40. T\rkar Menukar;

    41. Penjualan;

    42. Hibah; atau

    43. Penyertaan Modal Pemerintah Pusat. (2) Tata cara Pemindahtanganan BMN berupa Tukar Menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Tata cara hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf c, dan Penyertaan Modal Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 118 (1) Pemindahtanganan BMN:

    44. dengan nilai sampai dengan RpIO0.O0O.0O0.00O,0O (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetqiuan Menteri; atau

    45. dengan nilai di atas Rp1O0.000.0OO.0O0,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetqiuan Presiden. (21 Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Menteri. (3) Pemilihan badan usaha dalam rangka Pemindahtanganan dapat dilakukan dengan cara:

    46. penunjukan badan usaha yang seluruh atau sebaqian modalnya dimiliki oleh negara; dan/atau

    47. tender. (41 Pemindahtanganan BMN tidak boleh dilakukan terhadap barang dengan kriteria:

      (1)

      (2t (3) a. cagar budaya;

    48. memiliki arti khusus bagr sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan

    49. memiliki nilai budaya bag' penguatan kepribadian bangsa. Pasal 119 T\rkar menukar BMN dapat dilakukan dengan pihak:

    50. badan usaha yang seluruh atau sebegtan modalnya dimiliki negara; atau

    51. swasta. Pemilihan mitra tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan:

    52. penunjukan badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara; atau

    53. tender. Objek tukar menukar dapat berupa:

    54. tanah dan/atau bangunan; dan/atau

    55. selain tanah dan/atau bangunan. T\rkar menukar dilaksanakan oleh Pengelola Barang. Pelaksanaan serah terima BMN yang dilepas dan barang pengganti dituangkan dalam berita acara serah terima. Ketentuan mengenai tender sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dalam Peraturan Menteri.

      (4)

      (s) (6) Pasal 12O (1) Penjualan BMN dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal tertentu. 12) ^Pengecualian ^dalam hal tertentu 5slagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    56. BMN yang dijual kepada badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara;

    57. BMN yang bersifat khusus; atau

    58. BMN selain huruf a dan huruf b yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 121 (1) Penentuan nilai dalam rangka Penjualan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dilakukan dengan memperhitungkan faktor penyesuaian. (21 Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan batasan terendah sebagai dasar penetapan:

    59. nilai limit penjualan melalui lelang; atau

    60. harga jual untuk penjualan tanpa melalui lelang. Pasal 122 Hasil Peqiualan BMN wajib disetor seluruhnya ke Kas Negara sebagai penerimaan negara. Paragraf 5 Bentuk Lain Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Pasal 123 Menteri dapat menetapkan bentuk lain Pemanfaatan dan Pemindahtanganan selain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 124 (1) Menteri dalam melalukan pengelolaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) dapat: a.

    61. menyerahkelolakan melalui kerja sama utilisasi kepada:

  42. Badan l.ayanat Umum pada Pengelola Barang;

  43. badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara; dan/atau

  44. Pihak Lain yang ditetapkan oleh Menteri. b. membentuk suatu unit pada Pengelola Barang. (21 Dalam hal kerja sama utilisasi dilakukan dengan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Layanan Umum harus menyetorkan ke Kas Negara atas hasil:

    1. pengelolaan secara mandiri yang dilakukan atas BMN; dan/atau

    2. kerja sama yang dilakukan dengan Pihak Lain, sesuai dengan ketentuan dalam penyerahkelolaan. (3) Badan usaha dan Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membayar pembagian pendapatan (reuenue shaingil hasil kerja sama utilisasi ke Kas Negara. Pasal 125 (1) Dalam rangka pemindahan Ibu Kota Negara, BMN berupa rumah negara dialihkan pengelolaannya kepada Menteri selaku Pengelola Barang. (21 Ketentuan pengalihan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1O6 sampai dengan Pasal 112 mutatis mutandis berlaku untuk pengalihan BMN berupa rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam pengelolaan BMN berupa rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat:

    3. mengalihkan status penggunaannya kepada Kementerian/Lembaga lain; atau

    4. mencabut statusnya sebagai rumah negara untuk dilakukan Pemanfaatan atau Pemindahtanganan BMN. Pasal 126 (1) Menteri dapat memberikan dukungan berupa fasilitas penyiapan dan pelaksanaan Pemanfaatan BMN dan/atau Pemindahtanganan BMN. l2l ^Ketentuan Pemanfaatan ^dan ^Pemindahtanganan ^BMN sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Ketiga Pengelolaan BMN di Ibu Kota Nusantara Paragraf I Umum Pasal 127 (1) Pengelolaan BMN di Ibu Kota Nusantara meliputi: perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; perolehan BMN dari pengalihan BMD dan ADP; Penggunaan; Pemanfaatan; pengamanan dan penilaian; Pemindahtanganan; pemusnahan; penghapusan;

      1. c, d. e, f. g. h. i. j.

    5. penatausahaan; dan

  45. pembinaan, pengawasan dan pengendalian. (21 Tata cara perencan€ran kebutuhan dan penganggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a, perolehan BMN dari pengdihan BMD dan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf d, dan Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf e dilakukan mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Tata cara pengadaan seba ga i66114 dimaksud pada ayat (1) huruf b, pengamanan dan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf h, pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k, dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf I dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. Paragraf 2 Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran Pasal 128 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara menyusun perencanaan kebutuhan BMN. (21 Dalam rangka persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, perencanaan kebutuhan BMN disusun dengan memperhatikan termasuk tetapi tidak terbatas pada Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, standar barang, dan standar kebutuhan.

    (3)

    Perencanaan kebutuhan sslagaiman4 dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu dasar b"gr Otorita Ibu Kota Nusantara dalam pengusulan penyediaan anggaran untuk kebutuhan baru dan angka dasar serta pen5rusunan rencana kerja dan anggaran. Pasal 129 (1) Pelaksanaan pengalokasian Penggunaan BMN oleh Otorita Ibu Kota Nusantara untuk kepentingan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dilaksanakan dengan mempertimbangkan standar barang dan standar kebutuhan. (21 Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara setelah berkoordinasi dengan Menteri/Pimpinan Lembaga teknis terkait dan setelah memperoleh persetqiuan dari Menteri. Paragraf 3 Perolehan BMN dari Pengalihan BMD dan ADP Pasal 130 (1) BMD yang berada di Ibu Kota Nusantara dialihkan kepada Pemerintah Pusat. (21 Pengalihan BMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Pemindahtanganan dalam bentuk hibah untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMD. (3) Pemindahtanganan BMD sebagaimana dimalsud pada ayal (21 dilakukan paling lambat sebelum pengalihan kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentanglbu Kota Negara.

    (1)

    (2t

    Pasal 131

    ADP dapat dialihkan statusnya menjadi BMN. Pengalihan status ADP menjadi BMN dilaksanakan berdasarkan persetujuan Menteri. Paragraf 4 Penggunaan BMN Pasal 132 (l) Penggunaan BMN di Ibu Kota Nusantara dilakukan oleh:

    1. Otorita Ibu Kota Nusantara, untuk BMN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasa.annya;

    2. Kementerian/kmbaga tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO4 ayat (1), untuk BMN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya; dan

    3. Kementerian/Lembaga lainnya, untuk BMN berupa selain tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguas€rannya. {21 ^Otorita Ibu ^Kota Nusantara menyediakan BMN berupa tanah dan/atau bangunan untuk kepentingan pemerintahan Kementerian/ Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf c. (3) Penggunaan BMN mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 133 (1) BMN berupa rumah negara beserta tanahnya di wilayah Ibu Kota Nusantara ditetapkan sebagai rumah negara golongan I dan rumah negara golongan II. (21 BMN berupa rumah negara beserta tanahnya sebagaimana dimalsud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan. (3) Rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan statusnya menjadi rumah negara golongan III. (41 Biaya pengamanan dan BMN berupa rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (l) menjadi beban Otorita lbu Kota Nusantara. (71 Dalam hal pejabat negara atau pegawal negeri sipil/Prajurit TNl/Anggota Polri yang ditugaskan pindah ke Ibu Kota Nusantara belum fasilitas beru pa rumah negara sebagaimana dimaksud (5) Pejabat negara yang bekerja di wilayah Ibu Kota Nusantara disediakan fasilitas berupa rumah negara. (6) fegawai negeri sipil/Prajurit TNl/Anggota polri yang lgkerja ^di ^wilayah ^Ibu ^Kota ^Nusantara ^dapat disediakan fasilitas berupa rumah negara.


    (8)

    pada ayat (5) dan ayat (6), pejabat negara atau pegawai negeri sipil/Pra-iurit TNl/Anggota polri tersebut dapat diberikan tunjangan atau kompensasi perumahan/ hunian untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. Tunjangan atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat {71 dibebankan pada daftar isian pelaksanaan anggaran Kementerian/Lembaga. Pasal 134 BMN berupa tanah dan/atau bangunan di wilayah kawasan inti pusat pemerintahan tidak dapat dipindahtangankan. Pasal 135 BMN yang dihasilkan oleh Kementerian/kmbaga dalam rangka pembangunan di Ibu Kota Nusantara dialihkan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara dimulai pada fahur: 2023, kecuali ditentukan lain oleh Menteri selaku Pengelola Barang. Paragraf 5 Pemanfaatan Pasal 136 (1) Bentuk Pemanfaatan BMN meliputi:

    1. Sewa;

    2. pinjam pakai;

    3. Kerja Sama Pemanfaatan;

    4. bangun guna serah/bangun serah gu.na;

    5. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur; atau

    6. kerja sarna terbatas untuk pembiayaan Infrastruktur. (2) Tata cara Kerja Sama penyediaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf e dilakukan mengikuti ketentuan dalam peraturan Pemerintah ini.

    (3)

    Tata cara Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a, pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Kerja Sama ^pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, bangun guna serah / bangun serah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf d, dan kerja sama terbatas untuk pembiayaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 137 (1) Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur atas BMN dilaksanakan terhadap BMN berupa tanah dan/atau bangunan atau selain tanah dan/atau bangunan. (21 Kerja sama Penyediaan Infrastruktur sebagaimsna dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dengan persetujuan Menteri. Pasal 138 Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur dapat memperoleh fasilitas peniadaan pembagian kelebihan keuntungan (danubaclel setelah mendapatkan persetqiuan Menieri selaku Pengelola Barang. Pasal 139 Bentuk Pemanfaatan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) yang tidak diatur dalam peraturan Pemerintah ini mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. -to2- Paragraf 6 Bentuk Lain Pengelolaan BMN Pasal 140 Bentuk pengelolaan BMN selain sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan BMN. Pasal 141 Ketentuan lebih lanjut mengenai:

    1. pengelolaan BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya dalam rangka persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara; dan

    2. pengelolaan BMN di Ibu Kota Nusantara, diatur dalam Peraturan Menteri. BAB VI PENGELOLAAN ASET DALAM PENGUASAAN Bagran Kesatu Umum PasaT 142 ADP meliputi tanah yang diperoleh dari:

    3. penetapan dan pemberian hak pengelolaan lahan;

    4. hibah/ sumbangan atau yang sejenis;

    5. hasilpelalsanaandariperjanjian/kontrak;

    6. pengalihan BMN dan/atau BMD;

    7. pelaksanaanperaturanperundang-undangan; dan

    8. pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 143 (1) Pengelolaan ADP dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. l2l ^Pengelolaan ^ADP sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) meliputi: perencanaan; penggunaan pengamanan dan penghapusan; penatausahaan; dan pengawasan dan pengendalian. Bagian Kedua Pejabat Pengelolaan ADP a. b. c, d.

    9. f.

    10. h.

    (1)

    t2t Pasal 144 Menteri adalah Pengelola ADP. Pengelola ADP bertanggung jawab dan berwenang untuk:

    1. menetapkan kebijakan umum Pengelolaan ADp;

    2. melakukan penetapan status ADP atas tanah yang berada di kawasan Ibu Kota Nusantara;

    3. melakukan penetapan status ADp yang berasal dari pengalihan BMN dan/atau BMD;

    4. memberikan persetujuan Penghapusan ADp untuk dialihkan menjadi BMN; dan

    5. melakukan pengawasan dan pengendalian atas Pengelolaan ADP. (3) Pengelola ADP dapat melimpahkan tanggung jawab dan kewenangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 kepada Pengguna/Kuasa Pengguna ADP. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan tertentu yang dapat dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara pelimpahannya diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 145 (1) Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara adalah pengguna ADP. (21 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang dan bertanggung jawab:

    6. mengatur Pengelolaan ADP sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Pengelola ADP; mengusulkan penetapan ADP atas tanah yang b. c. d. e.

    7. dialihkan/dihapuskan/dilepaskan menjadi ADp; men5rusun Perencanaan ADP; melakukan Penggunaan ADP; memberikan persetqjuan berada di kawasan Pengelola ADP; menerima BMN Ibu Kota Nusantara kepada dan/atau BMD yang Pengalokasian ADP kepada Pemegang ADp; C. ^menetapkan ^pengalokasian untuk Penggunaan ADP berdasarkan persetqiuan Pengelola ADp;

    8. memberikan persetujuan Pemanfaatan ADP kepada Mitra ADp; SIDEN INDONESIA 1. perjanjian dalam rangka , ^Penggunaan, ^dan ^Pemanfaatan ADP;

    9. mengamankan dan memelihara ADP; mengajukan usul Penghapusan ADP untuk dialihkan menjadi BMN; ADP yang dihapuskan untuk menjadi BMN kepada Pengguna Barang; melakukan Penatausahaan ADP; melakukan pengawasan dan ^pengendalian ^atas pelaksanaan Pengelolaan ADP; dan menunjuk dan/atau menetapkan ^Kuasa Pengguna ADP. Pengguna ADP dapat melimpahkan ^tanggung jawab dan kewenangan tertentu sebagaimana ^dimaksud pada ayat (21kepada Kuasa Pengguna ^ADP. Ketentuan lebih lanjut mengenai ^tanggung ^jawab ^dan kewenangan tertentu yang dapat ^dilimpahkan sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(3) ^dan tata ^cara pelimpahannya diatur dengan Peraturan ^Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. k.

      1. m. n. o.
    (3)
    (4)

    Pasal 146 (1) Kuasa Pengguna ADP ditunjuk dan/atau ^ditetapkan oleh Pengguna ADP. (21 Kuasa Pengguna ADP bertanggung ^jawab ^dan berwenang:

    1. melaksanakan kewenangan ^dan ^tanggung ^jawab yang dilimpahkan oleh Pengguna ADP;

    2. melaksanakan tugas ^yang ^diberikan ^oleh Pengguna ADP; dan REPIJBLlK SIDEN INDONESIA melaporkan pelaksanaan tugas, kewenangan dan tanggung ^jawab yang diberikan/dilimpahkan oleh Pengguna ADP. Bagian Ketiga Perencanaan ADP Pasal 147 (1) Pengguna ADP menyusun rencana Pengelolaan ADP dan menyampaikannya kepada Pengelola ADP. l2l ^Penyusunan rencana ^Pengelolaan ^ADP ^sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukaa berdasarkan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. (3) Rencana Pengelolaan ADP paling sedikit meliputi:

    3. rencana area kawasan yang akan dikembangkan untuk dilakukan pengguna.an, dan/atau pemanfaatan; dan/atau

    4. rencana peruntukan area kawasan yang akan dikembangkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (41 Pengguna ADP dapat menetapkan perubahan atas rencana Pengelolaan ADP. Bagian Keempat Pengalokasian ADP Paragraf 1 Bentuk Kegiatan Pasal 148 Bentuk kegiatan Pengalokasian ADP meliputi:

    5. pengalokasianlahan;

    6. peruntukan; c -to7- c. pemberian hak atas tanah;

    7. hak tanggungan;

    8. pengalihan; dan

    9. pelepasan. Paragraf 2 Penealokasian Lahan Pasal 149 (1) Pengguna ADP dapat memberikan/ pemberian alokasi lahan ADP selama jangka waktu tertentu berdasarkan Pemegang ADP. (21 Jangka waktu pemberian alokasi lahan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Jangka waktu pemberian alokasi lahan ADP sebagaimsn4 dimaksud pada ayat (2) dapat lebih dari 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk:

    10. peruntukan tertentu, paling lama 50 (lima puluh) tahun; atau

    11. ditentukan lain dalam Undang-Undang. (4) Peruntukan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diterepkan oleh Pengguna ADP. Pasal 150 (1) Pihak yang dapat menjadi Pemegang ADP meliputi:

    12. l arga Negara Indonesia;

    13. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

    14. perwakilan negara lain;

    15. organisasiinternasional; dari calon e. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan yang berkedudukan di Indonesia;

    16. orang asing;

    17. badan/lembaga yang dibentuk dengan Undang- Undang; atau

    18. PenggunaADP. (21 Pihak yang dapat menjadi Pemegang ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (3) Perwakilan negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perwakilan resmi dari negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Negara Republik Indonesia. (41 Pemberian alokasi lahan kepada perwakilan negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus rekomendasi dari Kementerian yang urusan pemerintahan di bidang luar negeri. (5) Organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan organisasi multilateral yang secara resmi diikuti oleh Indonesia sebagai anggotanya. (6) Pemberian alokasi lahan kepada organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari Kementerian/ Lembaga yang menyelenggarakan a. urusan pemerintahan di bidang luar negeri; dan/atau

    19. urusan terkait keanggotaan Indonesia dalam organisasi internasional dimaksud. (71 Badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan badan hukum yang:

    20. memiliki perwalilan di Indonesia; dan

    21. berasal dari negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Negara Republik Indonesia. (8) Orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan Warga Negara Asing yang:

    22. berasal dari negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Negara Republik Indonesia;

    23. memiliki izin sesuai peraturan perundang- undangan; dan

    24. pemberian alokasi lahannya harus terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari:

    25. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri; dan

  46. perwakilan negara asal di Indonesia atau yang wilayah Indonesia. meliputi (9) Pengguna ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dapat menjadi Pemegang ADP setelah mendapat persetujuan dari Pengelola ADP. Pasal 151 (1) Pengalokasian lahan dapat diberikan atas ADP yang:

    1. telah terbit hak pengelolaan lahannya; dan

    2. berada dalam area kawasan yang telah masuk dalam rencana Pengelolaan ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (3) huruf a. (21 Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ADP yang belum terbit hak pengelolaan lahan dapat diberikan alokasi penggunaan dengan kondisi sepanjang pemberian alokasi lahan ADp dilakukan berdasarkan penugasan pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden.

      (3)

      ADP yang sudah ditetapkan pemberian alokasi lahannya tidak dapat diberikan alokasi lahan yang baru di lokasi yang sama sebelum alokasi lahan yang ada berakhir, dilepas, atau dibatalkan. Pasal 152 (1) Pemberian pengalokasian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dilakukan dalam bentuk:

    3. penetapan alokasi; atau

    4. persil alokasi. (21 Pemberian pengalokasian lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pengguna ADP kepada Pemegang ADP setelah Pemegang ADP memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam persetqiuan pemberian alokasi lahan. (3) Penetapan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a diberikan dengan ketentuan:

    5. pemberian dilakukan sesuai peruntukan yang ditetapkan oleh Pengguna ADP; dan

    6. dapat dilakukan pelepasan kepada pihak lain baik seluruh atau seb"g€rn setelah mendapat persetqiuan dari Pengguna ADP. (4) Persil alokasi sebagai6611a dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan dengan ketentuan:

    7. pemberian dilakukan dalam rangka pelepasan sebagian alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dari Pemegang ADP kepada pihak lain; dan

    8. tidak dimaksudkan untuk dilakukan pelepasan sslagrAn lqgr. Pasal 153 (1) Pemberian alokasi lahan ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dilakukan setelah Pemegang ADP melakukan pembayaran kontribusi sesuai tarif yang ditetapkan oleh Pengguna ADP. (21 Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak yang dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembayaran kontribusi tidak diperlukan sepanjang:

    9. Pemegang ADP merupakan pemerintah negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf c, yang berdasarkan perjanjian hubungan antarnegara dan/atau asas timbal balik (resiprokal) dalam hubungan antarnegara tidak dikenakan kontribusi;

    10. Pemegang ADP merupakan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf d, yang berdasarkan ketentuan dan/atau membebaskan pembayaran kontribusi atas penggunaan tanah yang akan digunakan; pemberian alokasi lahan ADP dilakukan berdasarkan penugasan pemerintah yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden untuk tidak membayar kontribusi; atau Pemegang ADP merupakan Pengguna ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15O ayat (1) huruf h. c d -tt2- Paragraf 3 Peruntukan ADP Pasal 154 (l) Peruntukan ADP ditetapkan berdasarkan rencana tata ruang sesuai Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. (21 Rincian atas peruntukan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ditetapkan oleh Pengguna ADP. Paragral 4 Pemberian Hak Atas Tanah Pasal 155 (1) Dalam rangka pelaksanaan pengalokasian ADP, di atas hak pengelolaan atas tanah ADP dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (21 Pemberian hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimalsud pada ayat (1) diberikan atas tanah yang sudah mendapatkan pengalokasian lahan dari Pengguna ADP. (3) Pemberian hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permohonan Pemegang ADP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, setelah mendapatkan persetqjuan dari Pengguna ADP. {41 ^Dalam ^hal ^di ^atas ^hak ^atas tanah alokasi lahan ^ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didirikan rumah susun, Pemegang ADP dapat mengajukan permohonan penerbitan tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan rumah susun. Paragraf 5 Hak Tanggungan Pasal 156 (1) Hak atas tanah yang diberikan atas alokasi lahan yang berada dalam penguasaan Pemegang ADP dapat dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Pembebanan hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui persetujuan Pengguna ADP. (3) Pembebanan hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi batas waktu:

    11. hak atas tanah yang diberikan atas alokasi lahan; dan

    12. alokasi lahan yang diberikan. (4) Pemegang ADP menginformasikan berakhirnya pembebanan hak tanggungan kepada Pengguna ADP. (5) Kreditur yang melakukan eksekusi atas hak tanggungan wajib menginformasikan pelaksanaannya kepada Pengguna ADP. (6) Dalam hal pelaksanaan eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengakibatkan terjadinya pengalihan alokasi lahan kepada pihak lain, kreditur mengajukan persetujuan pengalihan alokasi lahan kepada Pengguna ADP. (71 Pengalihan alokasi lahan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya dapat dilakukan kepada pihak yang memenuhi syarat sebagai Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (l). -LL4- Paragraf 6 Pengalihan ADP Pasal 157 (1) Alokasi lahan ADP tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. (21 Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), alokasi lahan dapat diatihkan berdasarkan persetujuan Pengguna ADP untuk:

    13. pengalihan karena pembagian hak waris;

    14. pengalihan dalam rangka pelaksanaan eksekusi hak tanggungan;

    15. pengalihan karena pembagisn harta sebab perceraian sesuai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; atau

    16. perubahan identitas Pemegang ADP sebagai alibat:

  47. perubahan nama Pemegang ADP; atau

  48. penggabungan badan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengalihan alokasi lahan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan kepada pihak yang memenuhi syarat sebagai Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (l ). l4l ^Pengalihan ^alokasi lahan ^sebagaimana dimaksud ^pada ayat (21 dapat dilakukan terhadap tanah yang:

    1. sudah diberikan hak atas tanah; atau

    2. belum diberikan hak atas tanah.

      (5)

      Dalam hal pengalihan alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas alokasi lahan yang telah diberi hak atas tanah, hak atas tanah tersebut dialihkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Paragraf 7 Pelepasan ADP Pasal 158 (1) Alokasi lahan yang telah diberikan kepada pemegang ADP dapat dilepaskan berdasarkan:

    3. permohonan dari Pemegang ADP;

    4. pencabutan alokasi lahan; atau

    5. pembatalan. (21 Pelepasan alokasi lahan seb"gaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas:

    6. seluruh bagran alokasi lahan; atau

    7. sebagian alokasi lahan. Pasal 159 (1) Pelepasan alokasi lahan karena Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) huruf a dilaksanakan berdasarkan persetqjuan Pengguna ADP. (21 Pemegang ADP yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (l) wajib melepaskan alokasi lahan yang berada dalam penguasaannya dalam jangka waktu paling lama I (satu) tahun. (3) Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat l2l dapat dilakukan dalam rangka:

    8. pelepasan kepada pihak lain; dan/atau

    9. pengembalian kepada Pengguna ADp. permohonan dari (4) Pelepasan kepada pihak lain sebagais1s114 dimaksud pada ayat (3) huruf a hanya dapat dilakukan:

    10. terhadap alokasi lahan yang sudah diberikan hak atas tanah; dan

    11. kepada pihak yang memenuhi syarat sebagai Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1). (5) Pengembalian kepada Pengguna ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilakukan terhadap alokasi lahan yang:

    12. sudah diberikan hak atas tanah; atau

    13. belum diberikan hak atas tanah. (6) Pelepasan alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan terhadap tanah yang tidak dibebani hak tanggungan. (71 Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pelepasan alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan terhadap tanah yang dibebani hak tanggungan sepanjang pelepasan dilakukan dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (8) Dalam hal pelepasan alokasi lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas alokasi lahan yang telah diberi hak atas tanah, hak atas tanah alokasi lahan tersebut dilepaskan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (9) Pelepasan alokasi lahan oleh pemegang ADp sebagaimana dimalsud pada ayat (Zl tidak mengakibatkan beralihnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemegang ADP seb"gai akibat pembebanan hak tanggungan kepada Pengguna ADp. SIDEN INDONESIA -tt7- Pasal 16O (1) Pelepasan alokasi lahan karena pencabutan alokasi lahan dari Pemegang ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) huruf b dilakukan karena:

    14. ^jangka waktu alokasi lahan yang diberikan sudah berakhir;

    15. pelaksanaan perjanjian/kesepakatan yang mengatur mengenai pencabutan pemberian alokasi lahan;

    16. Pemegang ADP tidak memenuhi ketentuan dalam persetujuan/ keputusan pemberian ADP;

    17. pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; atau

    18. sebab lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan. (21 Pelepasan alokasi lahan berupa pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan dari Pengguna ADP. (3) Pembatalan alokasi lahan ADP berupa pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak serta merta mengakibatkan gugurnya kewajiban Pemegang ADp kepada Pengguna ADP. (4) Pencabutan alokasi lahan oleh Pengguna ADp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dihapuskannya kewajiban yang masih harus dipenuhi oleh Pemegang ADP yang timbul sebagai akibat pemberian alokasi lahan. (5) Pencabutan alokasi lahan oleh Pengguna ADp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan beralihnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemegang ADP kepada Pengguna ADp sebagai akibat pembebanan hak tanggungan. Pasal 161 (1) Pelepasan alokasi lahan karena pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Pengguna ADP. (2) Dalam hal Pemegang ADP tidak melaksanalan pembangunan atau pengembangan di atas alokasi lahan yang diberikan dalam batas waktu yang telah ditentukan, Pengguna ADP dapat membatalkan alokasi Penggunaan ADP yang diberikan. (3) Dalam hal atas ADP yang akan dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diterbitkan hak atas tanah, Pengguna ADP menyampaikan pembardan tersebut kepada kantor pertanahan setempat untuk dilakukan pencabutan hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. l4l ^Pembatalan ^alokasi lahan ^ADP ^sebagaim4ls dimaksud pada ayat (3) tidak mengakibatkan beralihnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemegang ADP yang timbul dari perikatan yang menimbulkan pembebanan hak tanggungan dari Pemegang ADP kepada Pengguna ADP. Bagran Kelima Penggunaan ADP Pasal 162 (1) Pengguna ADP dapat secara mandiri atas ADP yang berada dalam penguasaannya melalui pembangunan dan/atau pengembangan area kawasan dalam bentuk Penggunaan ADP. (21 Penyelenggaraan secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dimaksudkan untuk:

    19. pelaksanaan tugas dan fungsi Pengguna ADp; dan/atau

      (3)
      1. penyelenggaraan pemberian pelayanan kepada masyarakat oleh Pengguna ADP. ADP yang dapat dilakukan penggunaan oleh Pengguna ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (l) adalah tanah yang dapat diberikan alokasi lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151. Pelaksanaan Penggunaan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan dengan mekanisme pemberian alokasi lahan kepada Pengguna ADP. l4l (5) Dalam rangka secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengguna ADP dapat:

    20. menunjuk unit sebagai pengelola aset hasil pembangunan dan/atau pengembangan ADP;

    21. menunjuk Pihak Lain sebagai operator pelaksana atas aset hasil pembangunan dan/atau pengembangan ADP; dan/atau

    22. melakukan penyewaan atau kerja sama atas aset hasil pembangunan dan/atau pengembangan ADP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. (6) Aset hasil pembangunan dan/atau pengembangan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan BMN. Bagian Keenam Pemanfaatan ADP (21 ADP yang dapat dilakukan Pemanfaatan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (l) adalah tanah yang dapat diberikan alokasi lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151. (3) Pelaksanaan Pemanfaatan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme pemberian alokasi lahan kepada Pengguna ADp. (4) Kerja sama dengan Mitra ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 136 ayat (1) dan/atau Pemanfaatan dalam bentuk lainnya yang diatur oleh Pengguna ADP. (5) Aset hasil Pemanfaatan ADP merupakan BMN setelah diserahkan kepada Pengguna ADp sesuai perjanjian. Bagian Ketujuh Pengamanan dan Pemeliharaan ADp Paragraf 1 Pengamanan Pasal 164 (1) Pengguna ADP, Pemegang ADp, dan Mitra ADp wajib melakukan pengamanan ADp yang berada dalam penguasaannya. (21 Pengamanan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (l) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan lisik, dan pengam€rnan hukum. Pasal 165 (1) ADP berupa tanah harus diterbitkan sertipikat atas nama Pemerintah Republik Indonesia cq. Otorita lbu Kota Nusantara. -t2t- (21 Penerbitan sertipikat atas tanah ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk pemberian hak pengelolaan. Pasal 166 (1) Sertipikat hak pengelolaan atas tanah ADP dan dokumen lainnya terkait Penggunaan, dan Pemanfaatan ADP wajib disimpan dengan tertib dan aman. l2l ^Penyimpanan ^sertipikat ^hak ^pengelolaan atas tanah ADP dilakukan oleh Pengguna ADP. Pasal 167 (1) Hak pengelolaan atas tanah ADP tidak dapat dibebani hak tanggungan. (21 Hak pengelolaan atas tanah ADP dilarang:

    23. untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran "1as ^lagrhan ^kepada ^Pemerintah;

    24. dijadikan jaminan utang atau digadaikan; dan/atau

    25. dilakukan pemblokiran dan/atau penyitaan. Paragraf 2 Pemeliharaan Pasal 168 (l) Pengguna ADP, Pemegang ADP, atau Mitra ADp bertanggung jawab atas pemeliharaan ADp yang berada di bawah penguasaannya. 12) ^Biaya ^pemeliharaan ADP dibebankan pada anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara. Bagian Kedelapan Penghapusan ADP Pasal 169 (l) ADP tidak dapat dihapuskan, kecuali:

    26. dialihkan menjadi BMN;

    27. ditetapkan menjadi kawasan hutan; atau

    28. dalam rangka pelaksanaan undang-undang. (21 Penghapusan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan persetujuan Pengelola ADP atas permohonan dari Pengguna ADP. Bagran Kesembilan Penatausahaan ADP Pasal l7O (1) Pengguna ADP melakukan penatausahaan ADP. (21 Penatausahaan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    29. pencatatan dan pendaftaran;

    30. inventarisasi; dan

    31. pelaporan. (3) Pengguna/Kuasa Pengguna ADP menyusun daftar ADP yang berada dalam pengelolaannya. (4) Pengguna ADP melakukan inventarisasi atas ADP paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

      (5)

      Pengguna ADP menyusun laporan ADP sebagai bahan penJrusunan laporan keuangan Otorita Ibu Kota Nusantara. (6) Pengguna ADP menyampaikan laporan ADP yang telah disusun kepada Pengelola ADP sebagai bahan penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat. (71 Penyajian ADP dalam laporan keuangan sglagaimana dimalsud pada ayat (5) dan ayat (6) mengikuti standar akuntansi pemerintahan. Bagian Kesepuluh Pengawasan dan Pengendalian ADP

      Pasal 171

      Pengawasan dan Pengendalian ADP dilakukan oleh:


    32. Pengguna ADP melalui pemantauan dan penertiban; dan/atau

    33. Pengelola ADP melalui pemantauan dan investigasi. PasaT 172 (1) Pengguna ADP melakukan pemantauan dan penertiban terhadap pengelolaan ADP. (21 Pengguna ADP dapat meminta aparat pengawasan intern Pemerintah untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan dan penertiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengguna ADP ti hasil audit sebagaimana dimalsud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 173 Pengguna ADP menetafkan indikator kinerja di bidang Pengelolaan ADP pada unit yang membidangi pengelolaan ADP. Pasal 174 (1) Pengelola ADP melakukan pemantauan dan investigasi atas Pengelolaan ADP yang dilakukan oleh Pengguna ADP, dalam rangka penertiban Pengelolaan ADP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Pemantauan dan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat ditindatdanjuti oleh Pengelola ADP dengan meminta aparat pengawasan intern Pemerintah untuk melakukan audit atas pelaksanaan Pengelolaan ADP. (3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pengelola ADP untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 175 (1) Setiap kerugian negara/daerah alibat kelalaian, penyalahgunaan, atau pelanggaran hukum atas Pengelolaan ADP diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. l2l ^Setiap pihak yang ^mengakibatkan ^kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kesebelas Lain-Lain Pasal 176 Pihak mana pun dilarang untuk melakukan penguasaan dan/atau pengelolaan atas ADP tanpa persetqjuan Pengguna ADP, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasil 177 (1) Pengguna ADP dapat memungut kontribusi atas:

    34. pemberian alokasi lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayatlll;

    35. pemberian persetqluan untuk perubahan peruntukan alokasi lahan;

    36. pemberian persetujuan untuk perpanjangan alokasi lahan; d, pemberian persetujuan untuk pemberian hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3);

    37. pemberian persetujuan untuk penerbitan tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (4);

    38. pemberian persetujuan untuk pembebanan hak tanggungan kepada hak atas tanah yang berada di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal L56 ayat(21;

    39. pemberian persetujuan untuk pengalihan alokasi lahan ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat(21;

    40. pemberian persetqluan untuk pelepasan alokasi lahan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1);

    41. pengelolaan aset hasil pembangunan dan/atau pengembangan ADP dalam rangka Penggunaan ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1);

    42. kerja sama dalam rangka Pemanfaatan ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (1); dan

    43. pemberian layanan lainnya sehubungan dengan Pengelolaan ADP. Pasal 178 Ketentuan lebih lanjut mengenai:

    44. Perencanaan ADP;

    45. pengalokasian lahan ADP;

    46. Penggunaan ADP;

    47. Pemanfaatan ADP; dan

    48. pengam€rnan dan pemeliharaan ADp, diatur dalam Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 179 Ketentuan lebih lanjut mengenai:

    49. Penghapusan ADP;

    50. Penatausahaan ADP; dan

    51. pengawasan dan pengendalian ADp, diatur dalam Peraturan Menteri. BAB VII PENAHAPAN DAN PENGALIHAN Pasal 180 (1) Otorita Ibu Kota Nusantara mulai beroperasi paling lambat pada akhir tahuin2O22. Kementerian/ lrmbaga melaksanakan kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Nusantara sesuai tugas dan fungsinya masing-masing dengan berpedoman pada Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, sampai dengan dimulainya operasional Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (l). (21 (3) Dimulai pada tahun 2023, kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Nusantara yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kementerian/kmbagi dapat dialihkan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara atau tetap dapat dilanjutkan oleh Kementerian/kmbaga tersebut. Dalam hal terdapat pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3):

    52. tata cara perubahan perj anj ian / kontrak mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa pem-rintah; dan/atau

    53. tata cara pembayaran dan pertanggungiawaban terhadap pengalihan kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimalsud pada ayat (3) diatur dalam peraturan Menteri.

    54. Menteri dapat melakukan peninjauan kembali tgrhalap perjanjian dengan mitra sebagaimana dimaksud dalam huruf a sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (41

      Pasal 181

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    55. dalam hal BMN di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan provinsi lainnya yang dialihkan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 1O6 ayat (l) sedang dilakukan pengelolaan dengan Pihak Lain, pengelolaan dengan Pihak Lain tersebut tetap berlaku sampai dengan perjanjian dengan mitra; dan Pasal 182 (l) Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara, tetap melaksanalan urusan pemerintahan daerah di wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali kewenangan dan perizinat terkait kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, sampai dengan tanggal ditetapkannya Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara dengan Keputusan Presiden. (21 Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara, tetap melakukan pemungutan pajak dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sampai dengan penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara, tetap memperoleh alokasi transfer ke daerah sampai dengan penetapan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan . ketentuan peraturan perundang-undangan. (41 Setelah penetapan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penyesuaian terhadap alokasi transfer ke daerah Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Penajam Paser Utara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB VIII TATA KELOLA, PENGAWASAN, DAN EVALUASI Bagian Kesatu Tata Kelola Pasal 183 Penatausahaan skema pendanaan yang berasal dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dengan memperhatikan tata kelola pemerintahan yang baik lgood gouemanel. Bagian Kedua Pengawasan dan Evaluasi Pasal 184 (1) Terhadap pelaksanaan pendanaan, pengelolaan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, dan tata kelola BMN, dilakukan pengawasan dan evaluasi. l2l ^Pengawasan ^dan evaluasi sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1) meliputi pemantauan, evaluasi, dan pengendalian. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ta,t: . cara pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat l2l diatur dalam Peraturan Menteri dan Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai 130 BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 185 Pengadaan Barang/Jasa untuk Ibu Kota Nusantara dilakukan mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pengadaan barang dan ^jasa. Pasal 186 (l) Pendanaan dan pengelolaan anggaran untuk persiapan, pembangunan, dan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara secara mandiri dapat dilakukan oleh lembaga/badan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tanah yang berstatus BMN dan ADP. (3) Bangunan yang didirikan di atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sarana prasarana yang terkait dengan bangunan tersebut, dicatat sebagai barang milik lembaga/ badan negara yang bersangkutan. Pasal 187 Dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan Ibu Kota Negara, pengembangan Ibu Kota Nusantara dan/atau daerah mitra, dan/atau Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, dapat dibentuk dan/atau badan usaha dan/atau badan layanan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 188 Dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan Ibu Kota Negara, pengembangan Ibu Kota Nusantara dan/atau daerah mitra, dan/atau penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, dapat diberikan fasilitas/insentif fi skal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. BAB X KETENTUAN PENUTUP

      Pasal 189

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan negara dan perbendaharaan negErra beserta turunannya dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 19O Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Agar setiap orang .penempatannya Indonesia. Peraturan Pemerintah ini dengan dalam lembaran Negara Republik memerintahkan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Api1,2O22 ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 April2O22 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR TO1 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2022 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN ANGGARAN DALAM RANGKA PERSIAPAN, PEMBANGUNAN, DAN PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA SERTA PEI{YELENGGARAAN PEMEzuNTAHAN DAERAH KHUSUS IBU KOTA NUSANTARA I. UMUM Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tenl.ang Ibu Kota Negara mengatur mengenai Ibu Kota Negara bernama Nusantara yang memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua yang dibangun dan dikelola dengan tujuan untuk menjadi kota berkelanjutan di dunia, penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, dan simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dibentuk Ibu Kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat Kementerian yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Otorita Ibu Kota Nusantara berkedudukan sebagai pengguna anggaran/pengguna barang yang mengelola pendapatan dan belanja Ibu Kota Nusantara. Skema pendanaan Ibu Kota Nusantara dapat bersumber dari APBN dan sumber lain yang sah antara lain berupa pemanfaatan BMN dan/atau pemanfaatan ADP, penggunaan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha, dan keikutsertaan pihak lain termasuk penugasan badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara, penguatan peran badan hukum milik negara, dan pembiayaan kreatif (creatiue financing). 2 Selain itu skema pendanaan ^juga dapat berasal dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain berupa skema pendanaan yang berasal dari kontribusi swasta, pembiayaan kreatif (creatiue financing), dan Pajak Khusus IKN dan/atau Pungutan Khusus IKN yang ditetapkan dengan Peraturan Otorita Ibu Kota Nusantara setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Untuk mendukung pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara diperlukan pendanaan dengan memperhatikan kesinambungan fiskal. Pendanaan tersebut bersumber dari APBN dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pengalokasian anggaran tersebut dilakukan dengan berpedoman pada Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan/atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai APBN dan/atau sumber lain yang sah. Penatausahaan skema pendanaan yang berasal dari APBN dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik (good corporate gouemanel. Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk melaksanakan beberapa amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran dalam rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup ^jelas. Pasal 2 Cukup ^jelas. 3 Pasal 3 Cukup ^jelas. 4 Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Pemberian dukungan untuk pembiayaan kreatif (creatiue financing) ^dilakukan ^secara ^selektif dengan ^memperhatikan antara lain kesinambungan fiskal. Ayat (9) Pemberian dukungan dilakukan antara lain dengan memperhatikan kesehatan keuangan badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara termasuk badan usaha milik negara. Ayat (10) Cukup ^jelas. Ayat (11) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Otorita Ibu Kota Nusantara bertindak sebagai pihak terjamin dalam hal badan usaha yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara termasuk badan usaha milik negara melakukan kerja sama dengan Otorita Ibu Kota Nusantara. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup ^jelas. 5 Ayat (2) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang- undangan" termasuk ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah yang berlal<u secara mutati.s mutandi.s antara lain persetujuan nilai bersih maksimal pembiayaan utang Otorita Ibu Kota Nusantara oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada saat pembahasan APBN. Pasal 6 Hurufa Yang dimaksud dengan "memperhatikan kesinambungan fiskal" antara lain adalah memperhatikan keuangan negara. Huruf b Yang dimaksud dengan ^uketentuan peraturan perundang- undangan terkait" antara lain ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai APBN. Pasal 7 Cukup ^jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan negara bukan pajalC adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manflaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah ^pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup ^jelas. 6 Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (lo) Cukup ^jelas. Pasal 9 Cukup ^jelas. Pasal l0 Ayat (l) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan permintaan tambahan *proyek/kegiatan baru" proyek/kegiatan yang adalah belum alokasi dalam APBN di tahun anggaran berjalan. Arahan Presiden tersebut dalam hal untuk persiapan, , ^dan ^pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara adalah sepanjang sesuai dengan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Ketentuan ini berlaku mutatis mutandis untuk sumber dana yang lain. Ayat (3) Cukup ^jelas. 7 Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Pasal l1 Ayat (l) Ayat (2) pemerintahan di bidang keuangan negara. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "pendanaan daerah" adalah pendanaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah selain Ibu Kota Nusantara. Yang dimaksud dengan ^usumber dana lainnya" adalah seluruh sumber pendanaan yang dimungkinkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penerusan SBSN dapat dilakukan secara langsung oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah melalui pinjaman daerah atau melalui pemberian pinjaman kepada badan usaha milik negara, atau melalui investasi Pemerintah yang dilakukan melalui badan usaha milik negara yang ditunjuk oleh Menteri sebagai operator investasi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penerusan SBSN kepada badan usaha milik negara termasuk kepada badan usaha milik negara yang pem binaannya dilakukan oleh Kementerian yang urusan 8 Pasal 12 Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup ^jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Ketentuan dalam ayat ini diperlukan sejalan dengan ^pasal 36 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang mengatur terhitung sejak tahun 2023, kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara dapat dialihkan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara atau tetap dilanjutkan oleh Kementerian dan/atau Lembaga. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. 9 Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2l Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Cukup ^jelas. Pasal 27 Ayat (l) Cukup ^jelas. Ayat l2l Nilai wajar konstruksi Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana kepada PJPK merupakan transaksi pertukaran atas biaya konstruksi yang dikeluarkan oleh Badan Usaha Pelaksana dan biaya-biaya keuangan lainnya yang dapat dikapitalisasi selama masa konstruksi. Nilai wajar ini tercermin dari jenis kompensasi yang dipertukarkan antara PJPK dan Badan Usaha Pelaksana. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "aset' adalah aset dari Penyediaan Infrastruktur oleh Badan Usaha Pelaksana dan jika ada BMN yang digunakan sebelumnya dalam penyediaan Infrastruktur. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Hurufa Cukup ^jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Bentuk lainnya dilaksanakan sesuai dengan tqjuan dan prinsip-prinsip KPBU IKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah ini. Pengembalian investasi melalui skema bentuk lainnya dapat dilakukan dalam jangka panjang. Pasal 3O Cukup ^jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup ^jelas. Pasal 34 Cukup ^jelas. Pasal 35 Cukup ^jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Studi kelayakan dan dokumen pendukung yang diserahkan oleh Badan Usaha pemrakarsa kepada PJpK sudah menjadi kewenangan PJPK. Dalam hal PJPK akan melakukan perubahan termasuk penambahan terhadap studi kelayakan dan/atau dokumen pendukung, tidak diperlukan persetqjuan dari Badan Usaha pemrakarsa. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Cukup ^jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 4O Cukup ^jelas. Pasal 4l Penyediaan pembiayaan infrastruktur dalam ketentuan ini termasuk skema lainnya selain Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha atau KPBU IKN. Pasal 42 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "mendapat persetqiuan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia" adalah mendapat persetqiuan dari alat kelengkapan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia yang ditunjuk dan/atau diberi kewenangan untuk itu. Pasal 43 Hurufa Yang dimaksud dengan "Pajak Kendaraan Bermoto/ adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Yang dimaksud dengan "Kendaraan Bermotor' adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua ^jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. REPUBUK INDONESIA Hurufb Yang dimaksud dengan "Bea Balik Nama Kendaraan BermotoC adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Huruf c Yang dimaksud dengan "Pajak Alat Berat" adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Alat Berat' adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara perrnanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Hurufd Yang dimaksud dengan "Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotorp adalah pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan ^oBahan Balar Kendaraan Bermotor, adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. Huruf e Yang dimaksud dengan "Pajak Air Permukaan" adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Air Permukaan" adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Huruf f Yang dimaksud dengan "Pajak Rokok' adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Angka 2 Yang dimaksud dengan "Tenaga ListrilL adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. Angka 3 Yang dimaksud dengan "Jasa Perhotelan" adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan malan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya. Angka 4 Yang dimaksud dengan ^oJasa Parkir" adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan ^jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. Angka 5 Yang dimaksud dengan "Jasa Kesenian dan Hiburan" adalah ^jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. Hurufj Yang dimaksud dengan 'Pajak Reklame" adalah pajak atas penyelenggaraan reklame sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Reklame' adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak regamnya dirancang untuk tu-juan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. Hurufk Yang dimaksud dengan "Pajak Air Tanah" adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Air Tanah" adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Hurufl Yang dimaksud dengan "Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan" adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Mineral Bukan Logam dan Batuan" adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara. Hurufm Yang dimalsud dengan "Pajak Sarang Burung Walef adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "Burung Walet" adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu allocalia fuchliap haga, allocalia maxina, mllocalia esculanta, dan allocalia linchi. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Cukup ^jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup ^jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Cukup ^jelas. Pasal 54 Cukup ^jelas. Hurufb Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Pasal 56 Cukup ^jelas. Pasal 57 Ayat (1) Mekanisme reviu oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah yang diberlakukan secara mutatis mutandis. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal 58 Ayat (l) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "pelayanan umum" adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara untuk tqjuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Huruf b Yang dimaksud dengan "penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa' adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Huruf c Yang dimaksud dengan "penzinan tertentu" adalah kegiatan tertentu Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup ^jelas. Pasal 61 Ayat (l) Cukup ^jelas. 20 Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (3) Materi pengaturan dalam Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara memperhatikan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Huruf a Penerimaan hibah meliputi penerimaan hibah yang berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri. Hibah dalam ketentuan ini merupakan hibah sebagaimana dimaksud pada peraturan mengenai tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah. Huruf b Pengadaan pinjaman meliputi pengadaan pinjaman yang berasal dari luar negeri dan/atau dalam negeri. Pinjaman dalam ketentuan ini merupakan pinjaman sebagaimana'dimaksud pada peraturan -"rrgen"i tat cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah serta tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam negeri oleh Pemerintah. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah peraturan mengenai tata cara pengadaan pinjaman iuar negeri dan penerimaan hibah serta tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam negeri oleh pemerintah. Pasal 66 Cukup ^jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. 22 Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Keterlibatan aparat pengawas internal antara lain dilakukan untuk melakukan reviu rencana kerja dan anggarzrn Ibu Kota Nusantara dalam rangka meningkatkan kualitas rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara. Pasai 72 Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal T4 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal TT Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pelaksanaan koordinasi dapat dilakukan melalui penyelenggaraan pertemuan atau musyawarah. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Pelimpahan kewenangan dimaksud ditetapkan sekaligus dalam penunjukan KPA. Pasal 79 Cukup ^jelas. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas.


      Pasal 82

      Pasal 83 Cukup ^jelas. Pasal 84 Cukup ^jelas. Ayat (1) Pemenuhan kriteria dalam hal persyaratan pengangkatan Bendahara Penerimaan ditetapkan oleh Bendahara Umum Negara selaku Pembina ^Nasional Jabatan Fungsional Bendahara. Ayat (21 Cukup ^jelas. 24


      Pasal 85

      Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 9O Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (1) Pemenuhan kriteria dalam hal pemenuhan persyaratan pengangkatan Bendahara Pengeluaran ditetapkan oleh Bendahara Umum Negara selaku ^pembina Nasional Jabatan Fungsional Bendahara. Ayat (21 Cukup ^jelas. Hurufd Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "pendapatan Ibu Kota Nusantara lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" termasuk penerimaan negara bukan pajak. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 91 Sistem penerimaan negara diberlakukan oleh Menteri untuk menatausahakan seluruh transalsi penerimaan negara. Pasal 92 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "hibah yang direncanakan, adalah hibah yang dilalsanakan melalui mekanisme perencanaan. Huruf b Yang dimaksud dengan "hibah langsung" adalah hibah yang dilaksanakan tidak melalui mekanisme perencanaan, Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 93 Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat (1) Cukup ^jelas. (21 Cukup ^jelas.

      (3)

      Cukup jelas.

      (4)

      Cukup jelas. (s) Dalam pelaksanaan pencairan dana penerimaan negara bukan pajak yang telah dihitung melalui Formula Maksimum Pencairan (MP) dimungkinkan terjadi sisa/sa1do dana penerimaan negara bukan pajak yang belum sempat dicairkan karena tahun anggaran bersangkutan telah berakhir dan sudah memasuki tahun anggaran berikutnya. Sisa/ saldo tersebut tetap dapat dicairkan namun menunggu daJtar isian pelaksanaEm anggaran tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 94 Cukup ^jelas. Pasal 95 Cukup ^jelas. Pasal 96 Pengendalian internal atas pelaksanaan dan pertanggunglawaban anggaran dilakukan oleh organ Otorita Ibu Kota Nusantara yang menjalankan fungsi sebagai aparat pengawas internal. Pasal Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 10O Cukup ^jelas. Pasal 1O1 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. 97 Termasuk dalam pelaksanaan anggaran adalah pelaksanaan anggaran belanja yang antara lain meliputi:


  49. Pelaksanaan Komitmen;

  50. Penyelesaian Tagihan kepada Negara;

  51. Penatausahaan Komitmen;

  52. Penyelesaian atas Keterlanjuran Pembayaran; dan

  53. Pembayaran Pengembalian Penerimaan. Yang dimaksud dengan ^uperaturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan dan pertanggungiawaban APBN" termasuk ^peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan yang antara lain mengatur mengenai tuntutan ganti kerugian negara dalam hal terjadi pelanggaran hukum atau kelalaian kewajiban baik secara langsung maupun tidak langsung yang menimbulkan kerugian ^terhadap keuangan negara. Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata ^cara tuntutan ganti kerugian negara terhadap ^pegawai ^negeri ^bukan bendahara atau pejabat lain, diberlakukan secara mutatis ^mutandis terhadap subjek bukan ^pegawai negeri bukan bendahara ^atau pejabat lain yang melakukan pelanggaran hukum atau kelalaian ^kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ^ini. Pasal 1O3 Cukup ^jelas. Pasal lO4 Ayat (l) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Penetapan Menteri/ Pimpinan Lembaga yang dapat menjadi Pengguna Barang untuk BMN yang berada pada Ibu Kota Nusantara dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dilakukan secara selektif. Termasuk Lembaga dalam ketentuan ini adalah lembaga tinggi negara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 1O6 Cukup ^jelas. Pasal 1O7 Cukup ^jelas. Pasal lO8 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup ^jelas. 29 Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 1 1 I Cukup jelas. Pasal 112 Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup ^jelas. Pasal 114 Cukup ^jelas. Pasal 115 Cukup ^jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup ^jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 12O Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Hurufa Cukup jelas. Huruf b Yang termasuk "BMN yang bersifat khusus" adalah barang-barang yang diatur secara khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup ^jelas. Pasal 121 Ayat (i) Cukup jelas. Ayat (21 Huruf a Yang dimalsud dengan ^onilai limit" adalah harga minimal barang yang akan dilelang. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal L22 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup ^jelas. Pasal 124 Cukup ^jelas. Pasal 125 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "rumah negara" adalah BMN yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau hunian dan saiana pembinaan serta menunjang pelalsanaan tugas pejabat negara dan/atau aparatur sipil negara. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Hurufa Dalam hal Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan masih membutuhkan rumah negara, BMN berupa rumah negara tidak dialihkan status penggunaa.nnya kepada Kementerian/ Lembaga lain. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal 126 Cukup ^jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup ^jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Ayat (1) Pengalihan BMD kepada ^pemerintah pusat dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada Otorita lbu Kota Nusantara dan/atau Kementerian/lembaga selaku pengguna Anggaran / ^pengguna Barang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 131 Cukup ^jelas. Pasal 132 Cukup ^jelas. Pasal 133 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Tunjangan atau kompensasi merupakan tunjangan atau kompensasi yang terkait dengan penggantian pemberian fasilitas rumah negara. Nomenklatur pejabat negara/pegawai negeri sipil/prajurit TNl/Anggota Polri mengikuti nomenklatur sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Induk dan ^perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Pemindahan pejabat negara/pegawai negeri sipil/prajurit TNl/Anggota Polri dilakukan dengan berpedoman pada Rencana Induk dan Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. 33 Pasal 134 Cukup ^jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Cukup ^jelas. Pasal 137 Cukup ^jelas. Pasal 138 Cukup ^jelas. Pasal 139 Bentuk Pemanfaatan BMN yang mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN berupa Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna, Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur, atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan di bidang pengelolaan BMN. Pasal l4O Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Cukup ^jelas. Pasal 146 Cukup ^jelas. Pasal 147 Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hurufa Yang dimaksud dengan "peruntukan tertentu" adalah peruntukan untuk mendukung kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Hurufb Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15O Cukup ^jelas. 35 Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Cukup ^jelas. Pasal 153 Cukup ^jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup ^jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup ^jelas. Pasal 159 Cukup ^jelas. Pasal 160 Cukup ^jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Cukup ^jelas. Pasal 163 Cukup ^jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Cukup ^jelas. Pasal 166 Cukup ^jelas. Pasal 167 Ayat ^(1) Cukup ^jelas. Ayat ^(2) Hurufa CukuP ^jelas. Huruf b CukuP ^jelas. Huruf c Pasal 168 Cukup ^jelas. Pasal 169 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pihak mana pun dilarang untuk ^melakukan pemblokiran dan/atau plnyitaan ^terhadap ^ADP ^dan/atau ^hak pengelolaan tanah atas ADP, baik ^secara ^parsial ^maupun keseluruhan. itEl rIIf: IIII STDEN INDONES Pasal 171 Cukup ^jelas. Pasal 172 Cukup ^jelas. Pasal 173 Cukup ^jelas. Pasal 174 Cukup ^jelas. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Cukup ^jelas. Pasal 177 Cukup ^jelas. Pasal 178 Cukup ^jelas. Pasal 179 Cukup ^jelas. Pasal 180 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat Ayat Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup ^jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Ayat (1) Cukup ^jelas. 38 (3) Yang dimaksud dengan ^okegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelumnya dilaksanakan oleh Kementerian/ Lembaga" adalah kegiatan persiapan dan/atau pembangunan Ibu Kota Negara yang sebelum tahun 2023 telah dilaksanakan oleh Kementerian/ Lembaga dengan bekerja sama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian tahun ^jamak. Kegiatan tersebut dapat tetap dilanjutkan oleh Kementerian/ kmbaga yang bersangkutan setelah tahun 2023 dengan pertimbangan antara lain agar terjadi kesinambungan pelaksanaan kegiatan dimaksud untuk mendukung pencapaian target yang ditetapkan.

    (4)

    Huruf a Ketentuan yang diatur antara lain mengenai pencatatan komitmen/perjanjian/kontrak, penyelesaian tagihan, revisi anggaran, pengalihan aset (BMN/konstruksi yang timbul dari pe{anjian) dan kewajibannya, serta pelaporan keuangan. Hurufb Cukup ^jelas. Ayat Ayat (21 Cukup ^jelas.

    (3)

    Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Menteri antara lain ketentuan mengenai tata cara pengawasan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah yang merupakan organ dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara antara lain ketentuan mengenai tata cara pengawasan oleh aparat pengawasan intern Pemerintah yang merupakan organ dari Otorita Ibu Kota Nusantara. Pasal 185 Cukup ^jelas. Pasal 186 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengelolaan anggaran" adalah perencanaan, pelaksanaan, penghapusan, dan pertanggungjawaban sesuai kebijakan akuntansi, pengadaan barang dan ^jasa, dan/atau pengelolaan aset terkait. Yang termasuk lembaga/badan antara lain Bank Indonesia. Ayat 12) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 187 Yang dimaksud dengan "badan usaha" antara lain Badan Usaha Milik Negara. Yang dimaksud dengan "badan layanan'antara lain Badan Layanan Umum- Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, perbendaharaan, dan/atau badan usaha milik negara. 40 Pasal 188 Yang dimaksud dengan "fasilitas/ insentif fiskal" termasuk:

    1. fasilitas perpajakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan Ibu Kota Negara, serta pengembangan Ibu Kota Nusantara dan/atau daerah mitra antara lain:

    2. pemberian fasilitas/insentif liskal tersebut yang dapat berupa pengurangan pajak penghasilan bagi Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru pada industri pionir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan/atau

  1. pembebasan bea masuk dan tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai terhadap impor barang tertentu untuk kepentingan umum oleh pemerintah; b. insentif atau fasilitas Pajak Khusus IKN yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah kJrususnya dalam rangka Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal l9O Cukup ^jelas.

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):