Penyelenggaraan Informasi Geospasial

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2021

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat Menetapkan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Informasi Geospasial;

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 52la\ 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); MEMUTUSKAN: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN INFORMASI GEOSPASIAL. BABI. 1 2 PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud ^dengan: Geospasial atau ruang kebumian adalah ^aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan ^posisi suatu objek atau kejadian yang berada di ^bawah, ^pada, atau di atas permukaan bumi ^yang dinyatakan ^dalam sistem koordinat tertentu. Data Geospasial yang selztnjutnya disingkat ^DG ^adalah data tentang lokasi geografis, dimensi atau ^ukuran, dan/atau karakteristik objek alam cian/atau ^buatan manusia yang berada di bawah, ^pada, atau di ^atas permukaan bumi. Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat ^IG adalah DG yang sudah diolah sehingga ^dapat digunakan sebagai alat bantu dalam ^perumusan kebijakan, perlgambilan keputusan, ^dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan rLlang kebumian. Informasi Geospasial Dasar yang selanjutnya ^disingkat IGD adalah IG yang berisi tentang objek ^yang ^dapat diiihat secara langsung atau diukur dari ^kenampakan fisik di muka bumi dan ^yang tidak ^berubah ^dalam waktu yang relatif lama. Informasi Geospasial Tematik yang ^selanjutnya disingkat IGT adalah IG ],ang menggambarkan ^satu atau lebih tema tertentu yartg dibuat ^mengacu ^pada IGD. 3 4 5 6. Infrastruktur Informasi Geospasial ^yang selanjutnya disingkat Infrastruktur IG adalah sarana dan prasarana yang digunakan untuk memperlancar penyelenggaraan IG. 7. Pemutakhiran adalah pembaharuan data dan informasi. 8. Jaring Kontrol Geodesi adaiah sebaran titik kontrol ge<ldesi yang terintegrasi dalam satu kerangka referensi. 9. Jaring Kontrol Horizontal Nasional yang seianjutnya disingkat JKHN adalah sebaran titik kontrol geodesi horizontal yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi. 10. Jaring Kontrol Vertikal Nasional yang selanjutnya disingkat JKVN adalah sebaran titik kontrol ^geodesi vertikal yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi. 1 1. Jaring Kontrol Gayaberat Nasion'al yang selanjutnya disingkat JKGN adalah sebaran titik kontrol ^geodesi gayaberat yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi. 12. Sistem Referensi Geospasial Indonesia yang selanjutnya disingkat SRGI adalah sistem referensi koordinat yang digunakan secara nasional dan konsisten untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kompatibel dengan sistem referensi geospasial global. 13. Peta Rupabumi Indonesia adalah peta dasar yang memberikan informasi yang mencakup wilayah darat, pantai, dan laut. 14. Skala adalah angka perbandingan antara ^jarak dalam suatu IG dengan ^jarak sebenarnya di muka bumi.


  3. Rencana 15. Rencana Induk Penyelenggaraan IG adalah ^daftar program dan kegiatan penyelenggaraan IG ^yang akan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah ^dan Pemerintah Daerah secara menyeluruh Can ^sinkron dalam kurun waktu dan wilayah tertentu ^sesuai dengan prioritas kebutuhan pembangunan ^nasional. 16. Bahaya adalah kondisi yang dapat ^menimbulkan ancaman keselamatan atau mendatangkan kecelakaan atau kerugian pada manusia atau barang. 17. Wahana adalah sarana angkut ^yang dilengkapi ^dengan peralatan pengumpulan DG. 18. Perangkat Lunak adalah kode ^pemrograman ^yang digunakan untuk menjalankan suatu sistem atau aplikasi pada sebuah perangkat keras. 19. Perangkat Lunak Pengolah DG dan ^IG ^yang ^Bersifat Bebas dan Terbuka adalah Perangkat Lunak Pengolah DG dan IG yang didapatkan tanpa mengeluarkan biaya serta dapat diakses oleh Setiap Orang untuk digunakan, dimodifikasi, dan disebarluaskan ^kembali. 20. Format adalah standar satuan/ukuran ^yang digunakan secara umum oleh masyarakat luas. 21. Duplikat IGT adalah salinan IGT baik berupa ^Format cetak atau digital. 22. Penyelenggara IG adalah Instansi ^Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Setiap Orang. 23. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan ^yang membidangi urusan tertentu dalam hal ini bidang penyelenggaraan IGD. 24. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik ^Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia ^Tahun t945. 25. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan ^lembaga pemerintah nonkementerian.

  4. Pernerintah 26. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah ^sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah ^yang mcmimpin pelaksanaan urusan ^pemerintahan ^yang menjadi kewenangan daerah otonom. 27. Perangkat Daerah adalah unsur ^pembantu ^kepala daerah dan Dewan Perwakilan Ralryat ^Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 28. Lembaga Pemberi adalah lnstansi Pemerintah ^atau Pemerintah Daerah yang menyelenggarakan ^IGT. 29. Lembaga Penerima adalah Instansi Pemerintah ^atau Perangkat Daerah yang bertanggung ^jawab di bidang perpustakaan dan/atau di bidang kearsipan. 30. Setiap Orang adalah orang ^perseorangan, kelompok orang, atau Badan Usaha. 31. Pembangun Perangkat Lunak adalah Setiap ^Orang yang membuat suatu Perangkat Lunak pengolah DG dan IG yang Bersifat Bebas dan Terbuka. 32. Pengembang Perangkat Lunak adalah Setiap Orang yang mengembangkan suatu Perangkat Lunak yang sudah ada untuk mengolah DG dan IG ^yang bersifat bebas dan terbuka. 33. Pengguna Perangkat Lunak adalah Setiap Orang ^yang menggunakan Perangkat Lunak ^pengolah DG dan ^IG yang Bersifat Bebas dan Terbuka. 34. Pengguna IG adalah Instansi Pcmertntah, Pemerintah Daerah, dan Setiap Orang yang menggunakan IG. 35. Tim Verifikasi adalah tim penilai yang melakukan pengecekan dan penyaringan usulan pemberian insentif. 36. Wahana Milik Asing adalah sarana angkut berbendera atau teregistrasi selain Indonesia yang dilengkapi dengan peralatan pengumpulan DG.

  5. Badan PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA 37. Badan Usaha adalah badan usatra ^milik ^negara, badan usaha milik daerah, atau badan ^trsaha ^yang berbadan hukum. 38. Tenaga Profesional yang Tersertifikasi di ^Bidang ^IG adalah profesi, tenaga ahli, atau tenaga terampil ^yang memenuhi kualilikasi akademik tertentu ^dan kompetensi tertentu di bidang IG. 39. Hari adalah hari kerja sesuai dengan ^yang ^ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

    Pasal 2

    Ruang lirrgkup Peraturan Pemerintah ini meliputi a. ^jenis IG;

    1. Penyelenggara IG;

    2. penyelenggaraan IG;

    3. pelaksana di bidang IG;

    4. penyele garaan dan Pemut.akhiran IGD;

    5. pembinaan IG; dan

    6. sanksi administratif. BAB II JENIS INFORMASI GEOSPASIAL Bagian Kesatu Umum


    Pasal 3

    Jenis IG terdiri atas:

    1. IGD; dan

    2. IGT. Bagian Bagian Kedua Informasi Geospasial Dasar


    Pasal 4

    IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf ^a terdiri atas:

    1. Jaring Kontrol Geodesi; dan

    2. peta dasar. Pasal 5 (1) Jaring Kontrol Geodesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi: a, JKHN;

    3. JKVN; dan

    4. JKGN. (2) Jaring Kontrol Geodesi sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) merupakan realisasi SRGI. (3) SRGI sebagaimana dimaksud pada ayat (21terdiri atas:

    5. SRGI horizontal; dan

    6. SRGI vertikal. (4) SRGI horizontal sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(3) huruf a meliputi:

    7. sistem referensi koordinat;

    8. kerangka referensi koordinat;

    9. datum geodetik; dan

    10. perubahan nilai koordinat sebagai fungsi ^waktu. (5) SRGI vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) huruf b berupa geoid.

      (6)

      Ketentuan (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai SRGI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Pasal 6 (1) Peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b terdiri atas unsur:

    11. garis pantai;

    12. hipsografi;

    13. perairan;

    14. nama rupabumi;

    15. batas wilayah;

    16. transportasi dan utilitas;

    17. bangunan dan fasilitas umum; dan

    18. penutup lahan. (2\ Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) berupa Peta Rupabumi Indonesia. (3) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (21 mengintegrasikan seluruh unsur peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ^yang terletak di wilayah darat, pantai, dan laut. Pasal 7 (1) Garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a merupakan garis pertemuan antara daratan dengan lautan yang dipengaruhi oleh ^pasang surut air laut. (2) Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) terdiri atas:

    19. garis pantai pasang tertinggi;

    20. garis pantai muka air laut rata-rata; dan

    21. garis pantai surut terendah.

      (3)

      Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 digambarkan secara terintegrasi dalam Peta Rupabumi Indonesia. (4) Penentuan garis pantai sebagaimana dimaksud ^pada ayat (3) mengacu pada JKVN. (5) Dalam hal tidak tersedia JKVN sebagaimana dimaksud pada ayat (4), garis pantai mengacu pada geoid. Pasal 8 (1) Hipsografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b merupakan garis khayal untuk menggambarkan semua titik yang mempunyai ketinggian yang sama di permukaan bumi atau kedalaman yang sama di dasar laut. (21 Hipsografi sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) digambarkan secara terintegrasi pada Peta Rupabumi Indonesia. (3) Hipsografi sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 mengacu pada geoid. Pasal 9 (1) Nama rupabumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d merupakan nama yang diberikan pada unsur rupabumi. (21 Nama rupabumi digambarkan secara terintegrasi pada Peta Rupabumi Indonesia. (3) Nama rupabumi mencakup nama rupabumi dari unsur rupabumi yang berada di wilayah darat, ^pantai, dan laut. (4) Nama rupabumi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 10

    Pasal 10 (1) Batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^6 ayat (1) huruf e terdiri atas:

    1. batas negara; dan

    2. batas wilayah administrasi. (2) Batas negara sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) huruf a terdiri atas:

    3. batas darat; dan

    4. batas maritim. (3) Batas wilayah administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

    5. batas provinsi;

    6. bataskabupaten/kota;

    7. batas kecamatan; dan

    8. batasdesa/kelurahan. (4) Batas negara sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(2) dan batas wilayah administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digambarkan pada Peta Rupabunri Indonesia berdasarkan dokumen yang mengikat secara hukum yang diterbitkan oleh Instansi Pemerintah ^yang berwenang. (5) Dalam hal belum tcrdapat dokumen yang mengikat secara hukum sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(4), digunakan batas wilayah sementara ^yang penggambarannya dibedakan dengan menggunakan simbol dan/atau warna khusus. Pasal 1 1 (1) Peta Rupabumi Indonesia diselenggarakan pada Skala 1: 1.OOO, 1: 5.OOO, 1: 25.000, 1: 50.OO0, 1: 250.O0O, 1: 1.000.000.

      (2)

      Peta PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA (21 Peta Rupabumi Indonesia pada Skala ^1: ^1.000 sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) ^diselenggarakan di wilayah tertentu sesuai dengan ^kebutuhan. (3) Peta Rupabumi Indonesia selain ^pada sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) diselenggarakan pada Skala lain ^sesuai kebutuhan. Skala dapat dengan Bagian Ketiga Informasi Geospasial Tematik Pasal 12 (1) IGT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf ^b wajib mengacu pada IGD. (21 Dalam hal terdapat IGD yang paling mutakhir, penyelenggara IGT wajib menyelaraskan IGT ^yang menjadi tanggung ^jawabnya dengan IGD ^yang ^paling mutakhir. (3) Dalam hal IGD belum tersedia, ^penyelenggara ^IGT dapat:

    9. menggunakan IGD yang paling sesuai ^yang pernah dibuat untuk kepentingan sendiri; atau

    10. bekerja sama dengan Badan dalam ^membuat ^IGD untuk kepentingan sendiri, dengan ^mengikuti standar dan spesifikasi teknis ^yang ditetapkan oleh Badan. (4) Penggunaan IGD dan pembuatan IGD oleh penyelenggara IGT sebagaimana dimaksud ^pada ayat (3) harus mendapat persetujuan Badan. (5) Permohonan persetujuan penggunaan ^IGD sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) huruf a ^harus dilengkapi dengan paling sedikit:

    11. surat permohonan;

    12. spesifikasi teknis IGT yang akan dibuat; c cakupan c. cakupan area pembuatan IGT; dan

    13. IGD yang akan digunakan disertai dengan metadata yang paling sedikit memuat informasi tentang tahun pembuatan, sumber data, metode pembuatan, dan informasi kualitas. (6) Permohonan persetujuan pembuatan IGD sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) huruf b ^harus dilengkapi dengan paling sedikit:

    14. surat permohonan;

    15. spesifikasi teknis IGT yang akan dibuat; dan

    16. cakupan area pembuatan IGT. (71 Pemberian persetujuan penggunaan IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan ^paling lama ^10 (sepuluh) Hari terhitung sejak permohonan persetujuan dinyatakan lengkap oleh Badan. (8) Pemberian persetujuan pembuatan IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan ^paling lama ^5 (lima) Hari terhitung sejak permohonan persetujuan dinyatakan lengkap oleh Badan. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai ^pemberian persetujuan Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Pasal 13 (1) Salinan IGD yang dibuat oleh penyelenggara IGT wajib diserahkan ke Badan. (21 Badan dapat menyebarluaskan salinan ^IGD sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) ^yang dibuat oleh penyelenggara IGT. BAB III PENYELENGGARA INFORMASI GEOSPASIAL (1) (2)


    Pasal 14

    IGD diselenggarakan oleh Badan. IGT diselenggarakan oleh:

    1. Instansi Pemerintah;

    2. Pemerintah Daerah; atau

    3. Setiap Orang. Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan IGT berdasarkan tugas, fungsi, dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Instansi Pemerintah yang bertanggung ^jawab terhadap penyelenggaraan IGT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh kepala Badan. Badan dapat menyelenggarakan IGT berdasarkan penugasan dari Pemerintah Pusat.

      (3)
      (4)

      (s) BAB IV PENYELENGGARAAN INFORMASI GEOSPASIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 15 (1) Penyelenggaraan IG mengacu pada Rencana Induk Penyelenggaraan IG. (21 Rencana Induk Penyelenggaraan IG sebagaimana dimaksrrd pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan paling sedikit:

    4. ketersediaan IG yang mutakhir;

    5. kebutuhan b. kebutuhanpembangunannasional;

    6. kebijakan prioritas nasional; dan

    7. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Pen5rusunan Rencana Induk Penlrslsrggaraan IG sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dikoordinasikan bersama oleh Badan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dengan melibatkan Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Setiap Orang. (4) Rencana Induk Penyelenggaraan IG disusun untuk jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dan ditinjau ulang setiap 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu sesuai dengan perkembangan kebutuhan pembangunan nasional. (5) Rencana Induk Penyelenggaraan IG ditetapkan oleh kepala Badan.


    Pasal 16

    Penyelenggaraan IG dilakukan melalui kegiatan:

    1. pengumpulan DG;

    2. pengolahan DG dan IG;

    3. penyimpanan dan pengamanan DG dan IG;

    4. penyebarluasan DG dan IG; dan

    5. penggunaan IG. Bagian Kedua Pengumpulan Data Geospasial Pasal 17 (1) Pengumpulan DG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a dilakukan pada seluruh ruang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya. PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA (2\ Pengumpulan DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    6. DG Dasar; dan

    7. DG Tematik. (3) Pengumpulan DG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sesuai dengan standar pengumpulan DG. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pengumpulan DG diatur dengan Peraturan Kepala Badan.


    Pasal 18

    Pengumpul DG wajib melaporkan kegiatan pengumpulan DG yang dilaksanakan kepada Pemerintah Pusat melalui Badan. Pasal 19 (1) Pengumpul DG wajib menyerahkan salinan DG kepada Pemerintah Pusat. (21 Penyerahan salinan DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan. Pasal 20 (1) Pengumpulan DG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan dengan:

    1. survei dengan menggunakan instrumentasi ukur dan/atau rekam, yang dilakukan di darat, ^pada Wahana air, pada Wahana udara, dan/atau ^pada Wahana angkasa;

    2. pencacahan; dan f atau c. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (21 Dalam melakukan pengumpulan DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), posisi DG harus mengacu pada SRGI.


    Pasal 21

    Pengumpulan DG dapat dilakukan melalui kerja sama antar Penyelenggara IG.


    Pasal 22

    Kerja sama pengurnpulan DG yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus dilakukan secara efektif dan efisien. Pasal 23 Pengumpulan DG harus memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat apabila:

    1. dilakukan di daerah terlarang;

    2. berpotensi menimbulkan Bahaya;

    3. menggunakan Wahana Milik Asing selain satelit; atau

    4. menggunakan tenaga asing. Pasal 24 Pengumpulan DG yang dilakukan di daerah terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a dapat berupa pengumpulan DG yang dilaksanakan di:

    5. kawasan keamanan; atau

    6. wilayah pertahanan. Pasal 25 Pengumpulan DG yang berpotensi menimbulkan Bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b meliputi pengumpulan DG yang dilaksanakan di wilayah yang berpotensi mengakibatkan Bahaya untuk:

    7. pengumpul DG;

    8. objek pengumpulan DG; dan/atau

    9. lingkungan di sekitar objek pengumpulan DG.


    Pasal 26

    Pengumpulan DG yang menggunakan Wahana Milik Asing selain satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c meliputi kegiatan pengumpulan DG yang menggunakan:

    1. Wahana darat milik asing;

    2. Wahana air milik asing; dan/atau

    3. Wahana udara rnilil, asing. Pasal 27 (1) Pengumpulan DG yang menggunakan tenaga asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d meliputi kegiatan pengumpulan DG yang dilaksanakan oleh warga negara selain warga negara Indonesia, lembaga asing, atau Badan Usaha asing. (21 Penggunaan tenaga asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalanr rangka alih pengetahuan/teknologi atau dalam hal kualifikasi yang dibutuhkan belum dapat dipenuhi oleh warga negara Indonesia, lernbaga nasional, dan Badan Usaha nasional. Pasal 28 (1) Pengumpul DG dapat melaksanakan pengumpulan DG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 setelah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat. (21 Badan mengoordinasikan perolehan persetujuan dari Instansi Pemerintah di lingkungan Pemerintah Pusat yang terkait dengan pengumpulan DG. Pasal 29 (1) Untuk memperoleh persetujuan pengumpulan DG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, pengumpul DG harus mengajukan permohonan persetujuan.

      (2)

      Untuk (2) Untuk pengumpulan DG yang dilakukan di daerah terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 atau menimbulkan Bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, permohonan persetujuan paling sedikit memuat:

    4. identitas pemohon;

    5. maksud dan tujuan;

    6. rencana daerah yang akan dilakukan pengumpulan DG;

    7. rencana waktu kegiatan pengumpulan DG;

    8. rencana aktivitas yang akan dilakukan dalam kegiatan pengumpulan DG;

    9. potensi Bahaya;

    10. daftar personil pengumpulan DG; dan

    11. spesifikasi alat dan Wahana yang akan digunakan dalam pengumpulan DG. (3) Untuk pengumpulan DG yang menggunakan Wahana Milik Asing selain satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, permohonan persetujuan paling sedikit memuat:

    12. identitas pemohon;

    13. maksud dan tujuan;

    14. rencana daerah yang akan dilakukan pengumpulan;

    15. rencana waktu kegiatan pengumpulan;

    16. rencana aktivitas yang akan dilakukan dalam kegiatan pengumpulan DG;

    17. alasan penggunaan Wahana Milik Asing;

    18. spesifikasi Wahana Milik Asing yang digunakan; dan

    19. jangka waktu penggunaan Wahana Milik Asing. (41 Untuk pengumpulan DG yang menggunakan tenaga asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, permohonan persetujuan paling sedikit memuat:

    20. identitas pemohon;

    21. maksud dan tujuan;

    22. rencana daerah yang akan dilakukan pengumpulan;

    23. rencana waktu kegiatan pengumpulan;

    24. aktivitas yang akan dilakukan dalam kegiatan pengumpulan;

    25. alasan penggunaan tenaga asing;

    26. jabatan dan/atau kedudukan tenaga asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;

    27. jangka waktu penggunaan tenaga asing; dan

    28. penunjukan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping tenaga asing yang dipekerjakan. Pasal 30 (1) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diajukan melalui sistem perolehan persetujuan secara elektronik. (21 Sistem perolehan persetujuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dibangun dan dikelola oleh Badan. Pasal 31 Badan mengeluarkan tanda penerimaan permohonan terhadap permohonan persetujuan yang diterima secara lengkap dan benar. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 32 (1) Keputusan berupa menyetujui atau menolak permohonan yang telah mendapat tanda penerimaan permohonan dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah yang terkait dengan pengumpulan DG palinglama 20 (dua puluh) Hari sejak diterbitkannya tanda penerimaan permohonan. (2) Dalam hal semua Instansi Pemerintah yang terkait dengan pengumpulan DG mcnyetujui permohonan persetujuan, Badan menerbitkan persetujuan pengumpulan DG. (3) Dalam hal Instansi Pemerintah yang terkait dengan pengumpulan DG tidak menerbitkan persetujuan atau penolakan permohonan selama jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka permohonan dianggap disetujui. (41 Dalam hal terdapat Instansi Pemerintah yang terkait dengan pengumpulan DG yang menolak permohonan persetujuan, keterangan penolakan harus disertai dengan alasan penolakan. (5) Badan meneruskan keterangan penolakan dan alasan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (41 kepada pemohon persetujuan. Pasal 33 (1) Pengumpulan DG wajib dilaksanakan sesuai dengan persetujuan pengumpulan DG yang telah diterbitkan. (2) Badan menunjuk petugas untuk mengawasi pelaksanaan pengumpulan DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dapat berasal dari Badan atau Instansi Pemerintah yang terkait dengan pengumpulan DG.

      (4)

      Ketentuan (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukan, tugas, wewenang, dan pengawasan kinerja petugas diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Pasal 34 (1) Pengumpul DG yang telah memperoleh persetujuan wajib melakukan pelaporan kepada ^pemberi persetujuan. (21 Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dapat dilakukan secara berkala dan/atau setelah kegiatan pengumpulan DG selesai dilakukan. Pasal 35 (1) Pengumpul DG wajib menyerahkan salinan DG ^yang telah dikumpulkan beserta metadata kepada ^Badan. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan salinan DG dan metadata sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Pasa1 36 (1) Pengumpul DG yang tidak melaksanakan ketentuan dalam persetujuan pengumpulan DG atau ^tidak menyerahkan salinan DG yang dikumpulkan ^beserta metadatanya sebagaimana dimaksud ^dalam ^Pasal ^35 ayat (1), dikenakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) berupa:

    29. penghentian kegiatan;

    30. pencabutanpersetujuankegiatan;

    31. pencantuman dalam daftar hitam ^pemberian persetujuan; dan f atau d. denda administratif.

      (3)

      Ketentuan .

      (3)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Bagian Ketiga Pengolahan Data Geospasial dan Informasi Geospasiai


    Pasal 37

    Pengolahan DG dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b merupakan proses atau cara mengolah ^DG ^dan IG.


    Pasal 38

    Pengolahan DG dan IG sebagaimana dimaksud ^dalam ^Pasal 37 harus dilakukan di dalam negeri. Pasal 39 (1) Dalam hal tertentu, pengolahan DG dan IG dapat dilakukan di luar negeri. (21 Pengolahan DG dan IG di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila sumber daya manusia dan/atau peralatan yang dibutuhkan belum tersedia di dalam negeri.


    Pasal 40

    Dalam hal pengolahan DG dan IG dilakukan di luar ^negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, ^harus mempertimbangkan aspek paling sedikit:

    1. alih teknologi;

    2. peningkatan sumber daya manusia; dan

    3. keamanan. Pasal 41 . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA


    Pasal 41

    Pengolahan DG dan IG yang dilakukan di luar negeri ^har-us mendapat persetujuan dari Badan. Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara ^pemberian persetujuan pengolahan DG dan IG di luar negeri diatur dengan Peraturan Kepala Badan.


    Pasal 43

    Pengolahan DG dan IG dilakukan dengan menggunakan Perangkat Lunak yang berlisensi danlatau Bersifat ^Bebas dan Terbuka. Pasal 44 (1) Pemerintah Pusat memberikan insentif kepada Setiap Orang yang membangun, mengembangkan, dan latau menggunakan Perangkat Lunak pengolah DG dan IG yang Bersifat Bebas dan Terbuka. 12) ^Pemerintah ^Daerah ^dapat memberikan ^insentif ^kepada Setiap Orang yang membangun, mengembangkan, danf atau menggunakan Perangkat Lunak ^Pengolah DG dan IG yang Bersifat Bebas dan Terbuka ^yang memberikan kontribusi kepada Pemerintah ^Daerah yang bersangkutan. Pasal 45 Bentuk insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal' 44 berupa:

    1. penghargaan;

    2. penilaian khusus dalam proses ^pengadaan barang/jasa;

    3. pemberian kegiatan peningkatan sumber ^daya manusia di bidang Perangkat Lunak;

    4. penyediaan d. penyediaan sarana pengolahan DG dan IG; dan/atau

    5. penghargaan lain yang ditetapkan oleh kepala Badan' (1)


    Pasal 46

    Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a berupa piagam atau sertifikat. Penilaian khusus dalam proses pengadaan barangljasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b berupa penambahan nilai dalam evaluasi teknis dalam proses pengadaan barang/jasa. Pemberian kegiatan peningkatan sumber daya manusia di bidang Perangkat Lunak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c berupa pelatihan dan/atau lokakarya. Penyediaan sarana pengolahan DG dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf d berupa penyediaan penyimpanan Perangkat Lunak pengolah DG dan IG dan penyediaan server. Pasal 4T Pemberian insentif dilakukan melalui proses pengusulan. Pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Setiap Orang. Usulan calon penerima insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (21 disampaikan secara tertulis kepada menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian, gubernur, atau bupati/wali kota calon pemberi insentif untuk dilakukan penilaian. Pasal 48 Dalam proses penilaian pemberian insentif, menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian, gubernur, atau bupati/wali kota membentuk Tim Verifikasi. (2t (3) (4) (1) (21 (3) (1) (2) Tim (2) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas perwakilan instansi calon pemberi insentif, akademisi, dunia usaha, dan masyarakat. Pasal 49 (1) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugas:

    1. melakukan verifikasi terhadap usulan calon penerima insentif;

    2. menentukan hasil verifikasi calon penerima insentif dan rekomendasi jenis insentif; dan

    3. memberikan hasil verifikasi calon penerima Insentif dan rekomendasi jenis insentif kepada menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian, gubernur, atau bupati/wali kota. (21 Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah ganjil. Pasal 50 Menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian, gubernur, atau bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c, dalam memberikan persetujuan atau penolakan harus berdasarkan pada hasil verifikasi calon penerima insentif dan rekomendasi jenis insentif yang disampaikan Tim Verifikasi.


    Pasal 51

    Pemberian insentif berupa penilaian khusus dalam proses pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (21 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan . Pasal 52 pemberian insentif berupa kegiatan peningkatan sumber daya manusia di bidang ^Perangkat ^Lunak ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ^ayat ^(3) ^dilakukan ^untuk ^tingkat Pembangun Perangkat ^Lunak, ^Pengembang ^Perangkat Lunak, dan Pengglrna ^Perangkat ^Lunak'


    Pasal 53

    Pemberian insentif berupa ^penyediaan ^sarana ^pengolahan DG dair IG sebagaimana ^dimaksud dalam ^Pasal ^46 ^ayat ^(4) dilakukan dengan:

    1. penyediaan sarana untuk ^menyimpan ^Perangkat Lunak pengolah DG dan ^IG ^yang ^bebas ^dan ^terbuka; darn b. penyediaan server ^yang ^dapat ^diakses dengan mudah oleh Pengguna Perangkat ^Lunak.


    Pasal 54

    Dalam hal insentif diberikan ^oleh selain Badan, pemberian insentif diinformasikan ^kepada Badan. Pasal 55 Kriteria penerima ^penghargaan ^seba.gaimana ^dimaksud dalam Pasal 45 huruf a ^kepada ^Pembangun ^Perangkat Lunak meliputi:

    1. membuat Perangkat ^Lunak baru ^yang belum ^pernah dibuat sebelumnya;

    2. Perangkat Lunak telah ^digunakan oleh ^paling ^sedikit 50 (lima puluh) Pengguna ^Perangkat ^Lunak ^yang dibuktikan dengan tanda bukti ^perolehan ^secara ^sah;

    3. Perangkat Lunak dirasakan ^manfaatnya ^oleh Pengguna Perangkat Lunak ^yal)g dibuktikan ^dengan tanda bukti kemanfaatan secara ^sah; ^dan d. kriteria lain yang ditentukan ^oleh ^Tim ^Verifikasi.


    Pasal 56

    Pasal 56 Kriteria penerima ^penghargaan sehagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a ^kepada ^Pengembang ^Perangkat Lunak meliputi:

    1. Pengembang Perangkat Lunak ^mengembangkan Perangkat Lunak yang telah ^ada ^sehingga ^lebih bermanfaat dan mudah untuk ^digunakan;

    2. Perangkat Lunak dirasakan ^manfaatnya ^oleh ^paling sedikit 50 (lima puluh) Pengguna ^Perangkat Lunak yang dibuktikan dengan tanda brrkti ^kemanfaatan secara sah; dan

    3. kriteria lain yang ditentukan ^oleh ^Tim ^Verifikasi' Pasal 57 Kriteria penerima penghargaan ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a kepada ^Pengguna ^Perangkat ^Lunak meliputi:

    4. Pengguna Perangkat Lunak ^menggunakan ^Perangkat Lunak pengolah DG dan IG ^yang Bersifat ^Bebas ^dan Terbuka dalam ^jangka waktu ^paling singkat 1 ^(satu) tahun;

    5. Pengguna Perangkat Lunak ^menunjukkan ^DG dan/atau IG yang dihasilkan dengan ^menggunakan Perangkat Lunak sebagaimana dimaksud ^pada ^huruf a; dan

    6. kriteria lain yang ditentukan ^oleh ^Tim ^Verifikasi. Pasal 58 Kriteria penerima penilaian khusus. dalam ^proses pengaCaan barang/jasa sebagaimana dimaksud ^dalam Pasal 45 huruf b kepada Pembangun ^Perangkat Lunak meliputi:

    7. Pembangun Perangkat Lunak membuat ^Perangkat Lunak baru yang belum pernah dibuat ^sebelumnya dan akan memiliki nama yang baru;

    8. Perangkat b c Perangkat Lunak akarr bermanfaat ^bagi ^paling sedikit 100 (seratus) Pengguna ^Perangkat ^Lunak ^yang dibuktikan dengan tanda ^bukti ^kemanfaatan ^secara sah; dan kriteria lain yang ditentukan ^oleh ^Tim ^Verifikasi Pasal 59 Kriteria penerima penilaian khusus ^dalam ^proses pengadaan barang/jasa sebagaimana ^dimaksud ^dalam Pasal 45 huruf b kepada Pengembang ^Perangkat Lunak meliputi:

    9. Pengembang Perangkat ^Lunak ^mengembangkan Perangkat Lunak yang telah ^ada ^sehingga ^lebih bermanfaat dan mudah untuk ^digunakan;

    10. Perangkat Lunak digunakan ^oleh paling ^sedikit ^100 (seratus) Pengguna Perangkat Lunak ^yang ^dibuktikan dengan tanda bukti ^perolehan ^secara ^sah; dan

    11. kriteria lain yang ditentukan ^oleh ^Tim Verifikasi.


    Pasal 60

    Kriteria penerima pemberian kegiatan ^peningkatan ^sumber daya manusia di bidang ^Perangkat ^Lunak ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c ^meliputi:

    1. Instansi Pemerintah atau ^Pemerintah Daerah ^yang menggunakan Perangkat Lunak IG ^yang ^bebas ^dan terbuka; dan

    2. Pengembang Perangkat Lunak ^yang ^mengembangkan Perangkat Lunak IG yang bebas dan terbuka. Pasal 61 Kriteria penerima penyediaan sarana ^pengolahan ^DG ^dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf ^d ^meliputi:

    3. Pcnyelenggara a. Penyelen ggara IG yang memiliki ^komitmen pembangunan, pengembangan, dan ^penggunaan Perangkat Lunak pengolah DG dan ^IG ^yang ^bebas dan terbuka; dan Pembangun Perangkat Lunak dan ^Pengembang Perangkat Lunak pengolah DG dan IG ^yang ^bebas dan terbuka. Pasal 62 (1) Selain Setiap Orang yang membangun, mengembangkan, dan/atau menggunakan ^Perangkat Lunak pengolah DG dan IG yang Bersifat ^Bebas ^dan Terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^44, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ^dapat memberikan insentif kepada Setiap Orang ^yang menemukan inovasi dalam ^penyelenggaraan ^IG. (21 Ketentuan dalam Pasal 45 sampai dengan ^Pasal ^54 berlaku mutatis mutandis terhadap ^pemberian ^insentif kepada Setiap Orang yang menemukan inovasi ^dalam penyelenggaraan IG sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1). Bagian Keempat Penyimpanan dan Pengamanan Data Geospasial dan Informasi Geospasial Pasal 63 (1) Penyimpanan dan pengamanan DG dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c merupakan cara menempatkan DG dan IG pada tempat yang aman dan tidak rusak atau hilang untuk menjamin ketersediaan IG. (2) Penyimpanan dan pengamanan DG dan IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh Penyelenggara IG. (3) Selain oleh Penyelenggara IG, penyimpanan dan pengamanan DG dan IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh Lembaga Penerima. b


    Pasal 64

    PRES IDEI..I REPUBLIK INDONESIA Pasal 64 (1) Untuk menjamin ketersediaan IGT nasional, ^Lembaga Pemberi wajib membuat Duplikat IGT ^yang diselenggarakannya. (2) Duplikat IGT sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) wajib diserahkan kepada Lembaga Penerima. (3) Duplikat IGT yang telah diserahkan kepada ^Lembaga Penerima sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(21 ^harus dapat diakses kembali oleh Lembaga Pemberi. Duplikat meliputi: Pasal 65 IGT sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^64 a. Duplikat IGT sebagai bahan ^perpustakaan; ^dan b. Duplikat IGT sebagai arsip. Pasal 66 (1) Duplikat IGT sebagai bahan perpustakaan ^yang diselenggarakan oleh Insta.nsi Pemerintah diserahkan kepada Instansi Pemerintah yang bertanggung ^jawab di bidang perpustakaan. (21 Duplikat IGT sebagai bahan perpustakaan ^yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah diserahkan kepada Perangkat Daerah yang bertanggung ^jawab di bidang perpustakaan. Pasal 67 (1) Duplikat IGT sebagai arsip yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah diserahkan kepada Instansi Pemerintah yang bertanggung ^jawab di bidang kearsipan.

    (2)

    Duplikat (21 Duplikat IGT sebagai arsip yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah diserahkan kepada ^Ferangkat Daerah yang bcrtanggung ^jawab di bidang kearsipan. Pasal 68 (1) Penyerahan Duplikat IGT dari Lembaga Pemberi kepada Lembaga Penerinta clicatat dalam berita acara serah terima. (2) Berita acara serah terima sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) disepakati oleh Lembaga Pemberi dan Lembaga Penerima. (3) Dalam hal Duplikat IGT sebagai arsip, Duplikat IGT yang diserahkan kepada Lembaga Penerima disertai dokumen autentikasi dari penyelenggara IGT. Pasal 69 (1) Duplikat IGT sebagai bahan perpustakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf a diserahkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak hasil penyelenggaraan IGT diterbitka-n. (2) Duplikat IGT sebagai arsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf b diserahkan paling lambat ^2 (dua) tahun sejak penyelenggaraan IGT selesai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang"undangan.


    Pasal 70

    Lembaga Penerima wajib melaksanakan:

    1. penyimpanan dan pengamanan Duplikat IGT;

    2. penyediaan akses terhadap Duplikat IGT bagi Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Setiap Orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

    3. pembuatan sarana bantu penemuan kembali Duplikat IGT.


    Pasal 71

    Pasal 71 Duplikat IGT sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^65 memiliki bentuk penyajian berupa:

    1. tabel informasi berkoordinat;

    2. peta cetak dalam bentuk lembaran atau ^buku ^atlas;

    3. peta digital;

    4. peta interaktif; dan/atau

    5. peta multimedia.


    Pasal 72

    Tabel informasi berkoordinat sebagaimana dimaksud ^dalam Pasal 71 huruf a dan peta cetak dalam bentuk ^lembaran atau buku atlas sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^71 huruf b diserahkan dalam bentuk:

    1. cetak; dan

    2. digital. Pasal 73 (1) Tabel informasi berkoordinat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a dalam bentuk digital dibuat dengan Format saji. (2) Peta cetak dalam bentuk lembaran atau buku atlas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b dalam bentuk digital dibuat dengan Format asli dan Format saji.


    Pasal 74

    Peta digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c dibuat dengan Format asli dan Format saji.


    Pasal 75

    Pasal 75 (1) Peta interaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf d dan peta multimedia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e dibuat dengan Format asli dan Format saji. (2\ Peta interaktif dan peta multimedia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan beserta Perangkat Lunaknya. Pasal 76 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan dan pengamanan DG dan IG diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Bagian Kelima Penyebarluasan Data Geospasial dan Informasi Geospasial Pasal 77 (1) Penyebarluasan DG dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d merupakan kegiatan pemberian akses, pendistribusian, dan pertukaran DG dan IG yang dapat dilakukan melalui media elektronik dan media cetak. (2\ Penyebarluasan DG dan IG yang dilakukan melalui media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa jaringan IG nasional. (3) Penyebarluasan DG dan IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 78 Penyelenggara IG wajib menyebarluaskan IG yang diselenggarakannya melalui ^jaringan IG nasional. Bagian Bagian Keenam Penggunaan Informasi Geospasial Pasal 79 (1) Penggunaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e merupakan kegiatan untuk memperoleh manfaat baik langsung maupun tidak langsung. (2) Penggunaan IG sebagaimana dimaksud pada alat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketujuh Pembangun an I nfrastruktur I nformas i Geo spasial Paragraf 1 Umum Pasal 80 (1) Pemerintah Pusat wajib memfasilitasi pembangunan Infrastruktur IG untuk memperlancar PenYelenggaraan ^IG. (2) Infrastruktur IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. kebijakan;

    2. kelembagaan;

    3. teknologi;

    4. standar; dan

    5. surnber daya manusia. (3) Pembangunan Infrastruktur IG dilaksanakan oleh Penyelenggara IG.

      (4)

      Fasilitasi (4) Fasilitasi pembangunan Infrastruktur IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan. (5) Dalam melakukan fasilitasi pembangunan Infrastruktur IG sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Badan dapat melibatkan Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga pendidikan, dan/atau Setiap Orang. Paragraf 2 Kebijakan Pasal 81 Kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a terdiri atas:

    6. kebijakan IG nasional; dan

    7. kebijakan IG Instansi Pemerintah.


    Pasal 82

    Kebijakan IG nasional sebagainrana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional dan Rencana Induk Penyelenggaraan IG. Pasal 83 (1) Kebijakan IG nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 menjadi acuan dalam penyusunan rencana aksi penyelenggaraan IG nasional. (2) Rencana aksi penyelenggaraan IG nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh seluruh pemangku kepentingan di bidang IG melalui rapat koordinasi nasional IG.

    (3)

    Penyelenggaraan .

    (3)

    Penyelenggaraar, rapat koordinasi nasional IG sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dikoordinasikan oleh Badan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. (4) Rencana aksi penyelenggaraan IG nasional sebagaimana dimaksud pada ayat l2l ditetapkan oleh kepala Badan. (5) Rencana aksi penyelenggaraan IG nasional digunakan sebagai acuan dalam penJrusunan rencana kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (6) Rencana aksi penyelenggaraan IG nasional dievaluasi setiap tahun melalui rapat koordinasi nasional IG. Pasal 84 (1) Kebijakan IG Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf b harus disusun berdasarkan kebijakan IG nasional dan rencana aksi penyelenggaraan IG nasional. (21 Kebijakan IG Instansi Pemerintah ditetapkan oleh masing-masing menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian. Pasal 85 (1) Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengusulkan penyelenggaraan IG di luar rencana aksi penyelenggaraan IG nasional kepada kepala Badan. (2) Ketentuan mengenai pengusulan penyelenggaraan IG di luar rencana aksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Paragraf 3 Kelembagaan Pasal 86 (1) Kelembagaan sebagaimana dimaksud. dalam Pasal 80 ayat (21 huruf b merupakan wadah dalam penyelenggaraan IG. (21 Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi melalui forum pertemuan antar pemangku kepentingan yang terdiri atas unsur:

    1. Instansi Pemerintah;

    2. Pemerintah Daerah; dan

    3. Setiap Orang. (3) Forum pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan secara berkala oleh Badan. Paragraf 4 Teknologi


    Pasal 87

    Teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf c merupakan sarana untuk mendukung penyelenggaraan IG. Pasal 88 (1) Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pembangunan dan/atau pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 harus sesuai dengan kriteria teknis. (21 Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala Badan.


    Pasal 89
    Pasal 89
    (1)

    Dalam melakukan pembangunan ^dan/atau pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, Instansi Pemerintah dan ^Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama dengan ^pihak lain. (21 Kerja sama sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) ^wajib memuat ketentuan mengenai ^peningkatan ^kapasitas sumber daya manusia dan alih teknologi. Paragraf 5 Standar Pasal 90 (1) Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (21 huruf d digunakan sebagai acuan baku dalam kegiatan penyelenggaraan IG. (21 Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. standar nasional indonesia; dan/atau

    2. spesifikasi teknis lainnya.



    Pasal 91

    Standar nasional indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf a dapat diberlakukan secara wajib oleh Penyelenggara IG.


    Pasal 92

    Penyelenggara IG melakukan sosialisasi dan evaluasi berkala terhadap standar nasional indonesia dan/atau spesifikasi teknis lainnya sesuai dengan kewenangannya. Paragraf 6 Paragraf 6 Sumber Daya Manusia Pasal 93 (1) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud ^dalam Pasal 80 ayat (2) huruf e wajib ^ditingkatkan kapasitasnya dalam penyelenggaraan ^IG. (2) Peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

    1. pendidikan b. pelatihan; dan/atau

    2. penelitian. (3) Pendidikan sebagaimana dimaksud ^pada ayat(2) huruf a dilakukan oleh lembaga pendidikan formal di ^bidang IG. (41 Pen5rusunan kurikulum lembaga pendidikan formal di bidang IG sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ^pendidikan setelah mendapat masukan dari Badan. (5) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 huruf b dilakukan oleh lembaga pelatihan yang telah mendapat akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2llhuruf c dilakukan oleh Penyelenggara IG sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 94 (1) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 yang merupakan tenaga profesional di bidang IG harus tersertifikasi.

      (2)

      Sertifikasi sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. BAB V PELAKSANA DI BIDANG INFORMASI GEOSPASIAL Pasal 95 (1) Kegiatan penyelenggaraan IG oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dilaksanakan ^oleh Setiap Orang. (21 Setiap Orang sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) terdiri atas: a orang perseorangan; kelompok orang; atau Badan Usaha. Pasal 96 (1) Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (21 huruf a wajib memenuhi kualifikasi sebagai Tenaga Profesional yang Tersertifikasi di Bidang IG. (21 Tenaga Profesional yang Tersertifikasi di Bidang IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    3. profesi bidang IG;

    4. tenaga ahli bidang IG; dan

    5. tenaga terampil bidang IG. Pasal 97 (1) Profesi bidang IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf a harus dilakukan seseorang yang memiliki:

    6. kualilikasi akademik di bidang IG; dan

    7. c 4t kompetensi tertentu di bidang IG. (21 Profesi bidang IG sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) berwenang melakukan praktik keprofesian di ^bidang IG tertentu. (3) Profesi bidang IG sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) harus teregistrasi. (4) Profesi bidang IG sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(21 terdiri atas:

    8. geografer; dan

    9. surveyor. (5) Geografer sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan profesi bidang IG dengan kualifikasi akademik dan keahlian teknis tertentu untuk melakukan satu atau lebih dari pekerjaan yang berupa:

    10. mengumpulkan DG, yang meliputi atmosfer, biosfer, litosfer, pedosfer, hidrosfer, dan antroposfer yang memenuhi spesifikasi dan ketelitian sesuai standar pemetaan yang berlaku;

    11. menganalisis DG dengan menggunakan ^prinsip interaksi, interelasi, dan interdependensi melalui pendekatan keruangan (spatial approach), ekologis (ecological approach), dan kompleks kewilayah an (regional complex approach) ;

    12. mengintegrasikan DG dengan data tertentu; dan

    13. melakukan penelitian dan ^pengembangan pemodelan dan teknik analisis DG untuk menjawab tantangan di masa yang akan datang. (6) Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat ^(4) huruf b merupakan profesi bidang IG dengan kualifikasi akademik dan keahlian teknis tertentu untuk melakukan satu atau lebih dari pekerjaan ^yang berupa: b a. menentukan, mengukur, dan' ^menggambarkan DG berupa permukaan bumi, objek tiga ^dimensi, titik di lapangan, dan ^jalur tertentu;

    14. mengumpulkan, mengolah, ^menganalisis, ^dan menginterpretasikan DG berupa ^permukaan ^bumi beserta objek yang berada diatasnya ^dan ^IG lainnya yang terkait;

    15. menggunakan DG dan IG ^yang dihasilkan untuk keperluan pembangunan nasional, penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif, serta mendukung berbagai ^aspek kehidupan masyarakat, baik di darat maupun ^di laut; dan

    16. melakukan penelitian dan ^pengembangan ^terkait praktik profesi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c. Pasal 98 (1) Registrasi sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^97 ^ayat (3) dilaksanakan oleh Badan berdasarkan rekomendasi dari organisasi profesi bidang ^IG. (2) Untuk dapat dilakukan registrasi, ^profesi ^bidang ^IG harus memenuhi persyaratan yang meliputi:

    17. memiliki kualifikasi akademik ^setingkat ^sarjana ^di bidang IG tertentu;

    18. memiliki bukti telah lulus ^pendidikan ^profesi;

    19. memiliki sertifikat kompetensi ^tingkat ^ahli ^di bidang IG;

    20. memiliki pengalaman kerja di ^bidang ^IG ^terkait paling singkat 2 (dua) tahun; dan

    21. mendapat rekomendasi dari ^organisasi ^profesi bidang IG terkait.

      (3)

      Profesi (3) Profesi bidang IG yang telah diregistrasi mendapatkan surat tanda registrasi. (4) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud ^pada ayat (3) merupakan bukti tertulis ^yang ^diterbitkan ^oleh Badan kepada profesi bidang IG tertentu ^yang ^telah memenuhi persyaratan registrasi ^sebagaimana dimaksud pada ayat (2\ dan diakui ^secara ^hukum sebagai pemberian kewenangan untuk ^melakukan praktik keprofesian. (5) Jika terjadi kesalahan praktik keprofesian ^dan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ^profesi bidang IG yang bersangkutan, surat tanda ^registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) dapat ^dicabut. Pasal 99 (1) Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud ^dalam Pasal 98 ayat (21 huruf b diselenggarakan ^oleh perguruan tinggi yang menyelengarakan ^pendidikan tinggi di bidang geograf,r untuk ^profesi ^geografer ^dan pendidikan tinggi di bidang teknik geodesi dan/atau geomatika untuk profesi surveyor. (21 Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat (1) dapat berupa program rekognisi pembelajaran lampau bagi calon profesi bidang IG ^yang ^sudah memiliki pengalaman dan kompetensi ^yang ^memadai.

      (3)

      Pendidikan profesi sebagaimana ^dimaksud ^pada ^ayat (1) dan program rekognisi ^pembelajaran ^lampau sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(2) ^dilakukan ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan. Pasal 100 (1) Organisasi profesi bidang IG ^sebagaimana ^dimaksud dalam Pasal 98 ayat ^(2) huruf e ^bertanggung jawab melakukan pembinaan keprofesian ^serta menetapkan, menerapkan, dan menegakkan ^kode ^etik ^profesi ^bagi para anggotanYa.

      (2)

      Organisasi (21 Organisasi profesi bidang IG sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1) hanya 1 (satu) organisasi ^profesi untuk setiap profesi bidang IG. (3) Organisasi profesi bidang IG sebagaimana ^dimaksud pada ayat (21harus terdaftar di Badan. Pasal 101 (1) Tenaga ahli bidang IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf b merupakan tenaga ^profesional yang memiliki kualifikasi akademik setingkat sarjana dan memiliki kompetensi ahli tertentu di bidang ^IG selain profesi bidang IG. (2) Tenaga ahli bidang IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan ^yang meliputi:

    22. memiliki sertifikat kompetensi tingkat ahli bidang IG; dan

    23. memiliki pengalaman kerja di bidang IG ^terkait paling singkat 2 (dua) tahun. (3) Kompetensi ahli tertentu di bidang IG sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a dibuktikan ^dengan sertifikat kompetensi. Pasal 102 (1) Tenaga terampil bidang IG sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf c merupakan seseorang yang memiliki kualifikasi akademik paling rendah setingkat sekolah menengah atas dan ^memiliki kemampuan kerja meliputi aspek ^pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja di bidang IG. (2) Kemampuan kerja sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat kompetensi tingkat terampil bidang IG.


    Pasal 103

    Ketentuan lebih lanjut mengenai Tenaga Profesional yang Tersertifikasi di Bidang IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Pasal 104 (1) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) huruf c, Pasal 101 ayat (2) huruf a, dan Pasal IO2 ayat (21 merupakan bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga profesional di bidang IG dan telah lulus uji kompetensi. (21 Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sertifikasi kompetensi diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Pasal 105 (1) Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh kelompok orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf b wajib:

    1. memenuhi klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG; dan

    2. memiliki Tenaga Profesional yang Tersertifikasi di Bidang IG. (21 Pemenuhan klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuktikan dengan surat keterangan sebagai penyedia ^jasa di bidang IG.

      (3)

      Tenaga (3) Tenaga Profesional yang Tersertifikasi di Bidang IG sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf b ^wajib memenuhi ketentuan pelaksanaan IG ^yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal ^103. Pasal 106 (1) Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat ^(2) huruf c wajib memenuhi:

    3. persyaratan administratif; dan

    4. persyaratan teknis. (21 Persyaratan administratif sebagainlana dimaksud pada ayat (1) huruf a mehputi' a. akta pendirian badan huktrm Indonesia; dan

    5. izin usaha sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. (3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf b meliputi:

    6. memenuhi klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG; dan

    7. memiliki Tenaga Profesional I'ang Tersertifikasi ^cli Bidang IG. (4) Pernenuhan klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibuktixan dengan sertifikat penyedia jasa di bidang IG.

      (5)

      Tenaga (5) Tenaga Profesional yang Tersertifikasi di Bidang IG sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib memenuhi ketentuan pelaksanaan IG ^yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 1O3. Pasal 107 (1) Surat keterangan sebagai penyedia ^jasa di bidang IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^1O5 ayat ^(2) ^dan sertifikat penyedia ^jasa di bidang IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat ^(a) diterbitkan ^oleh lembaga sertifikasi yang telah mendapatkan akreditasi dari lembaga yang berwenang sesuai ^dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Dalam melaksanakan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga ^yang ^berwenang harus melibatkan Badan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara ^sertifikasi penyedia jasa di bidang IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan' BAB VI PENYELENGGARAAN DAN PEMUTAKHIRAN INFORMASI GEOSPASIAL DASAR Bagian Kesatu Penyelenggaraan Informasi Geospasial ^Dasar Pasal 108 (1) Penyelenggaraan IGD dilaksanakan ^dengan menggunakan metode dan tata cara ^tertentu. (2) Metode dan tata cara sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:

    8. perkembangan ilmu ^pengetahuan ^dan ^teknologi; dan

    9. standar dan/atau spesifikasi teknis ^yang ^berlaku secara nasional dan/atau internasional.

      (3)

      Ketentuan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode dan tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Pasal 109 (1) Untuk mendukung penyelenggaraan IGD, Badan menyelenggarakan sistem informasi IGD. (21 Sistem informasi IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat tingkat kemutakhiran IGD di setiap wilayah. Pasal 1 iO (1) Dalam penyelenggaraan IGD, Badan dapat melibatkan Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Setiap Orang. (2) Badan melakukan koordinasi, supervisi, verifikasi, dan validasi terhadap penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Pasal 1 1 1 (1) (2t IGD ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Penetapan IGD sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) dilakukan oleh kepala Badan. Bagian Bagian Kedua Pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar Pasal 1 12 Ketentuan mengenai penyelenggaraan IGD ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 sampai dengan ^Pasal ^111 berlaku secara nlutatis murandis terhadap Pemutakhiran IGD. Pasal 1 13 (1) Pemutakhiran IGD dilakukan dalam ^jangka waktu tertentu. (2) Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) meliputi:

    10. Pemutakhiran dal: m ^jangka waktu tertentu; ^dan b. Pemutakhiransewaktu-waktu. (3) Pemutakhiran IGD dilaksanakan terhadap:

    11. Jaring Kontrol Geodesi; dan

    12. peta dasar. (41 Pemutakhiran Jaring Kontrol Geodesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan terhadap:

    13. nilai unsur Jaring Kontrol Geodesi;

    14. sarana fisik Jaring Kontrol Geodesi; dan/atau

    15. SRGI. (5) Pemutakhiran peta dasar sebagaimana dimaksud ^pada ayat (3) huruf b dilakukan terhadap:

    16. nilai koordinat; dan/atau

    17. unsur peta dasar. Pasal Il4 . Pasal 1 14 Pemutakhiran dalam ^jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf a terhadap IGD dilaksanakan paling cepat setiap 1 ^(satu) tahun dan ^paling lambat setiap 5 (lima) tahun. Pasal 1 15 (1) Pemuktahiran sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (2) huruf b terhadap IGD dilaksanakan dalam hal:

    18. terjadi peristiwa tertentu yang berakibat berubahnya IGD dalam suatu wilayah dan mempengaruhi pola dan struktur kehidupan masyarakat; atau

    19. tersedianya IGD di wilayah yang sama ^dengan Skala yang lebih besar atau ketelitian ^yang lebih tinggi. (2) Pemutakhiran sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara menyeluruh ^pada wilayah terdampak yang mengalami ^perubahan ^IGD. Pasal 1 16 (1) Kepala Badan menetapkan IGD yang telah dilakukan Pemutakhiran dalam ^jangka waktu ^tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^L14 ^dan Pemutakhiran sewaktu-waktu sebagaimana ^dimaksud dalam Pasal 115. (2) Untuk hasil Pemutakhiran sewaktu-waktu terhadap IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^115, penetapan IGD dapat dilaksanakan kurang dari ^5 (lima) tahun. Pasal 1 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemutakhiran ^IGD ^diatur dengan Peraturan Kepala Badan. BAB VII BAB VII PEMBINAAN INFORMASI GEOSPASIAL Pasal 1 18 (1) Pembinaan terhadap penyelenggaraan IG dilakukan oleh Badan. (2) Pembinaan sebagaimana diniaksud pada ayat (1) dilakukan kepada:

    20. penyelenggara IGT; dan

    21. Pengguna IG. (3) Penyelenggara IGT dan Pengguna IG sebagaimana dimaksud pada ayat (21meliputi:

    22. Instansi Pemerintah;

    23. Pemerintah Daerah; dan/atau

    24. Setiap Orang. Pasal 1 19 (1) Pembinaan kepada penyelenggara IGT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a dilakukan melalui:

    25. pengaturan dalam bentuk penerbitan peraturan perundang-undangan, pedoman, standar', dan spesifikasi teknis serta sosialisasinya;

    26. pemberian bimbingan, supervisi, pendidikan, dan pelatihan;

    27. perencanaan, penelitian, peflgembangan, pemantauan, dan evaluasi; dan/atau

    28. penyelenggaraan ^jabatan fungsional secara nasional untuk sumber daya manusia di Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

      (2)

      Dalam (21 Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan berkoordinasi dengan penyelenggara IGT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 120 Pembinaan kepada Pengguna IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:

    29. sosialisasi keberadaan IG beserta kemungkinan pemanfaatannya; dan/atau

    30. pendidikan dan pelatihan teknis penggunaan IG. Pasal 121 (1) Pengaturan dalam bentuk penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk media cetak dan/atau elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2\ Sosialisasi sebagaimana dimaksud clalam Pasal 72O huruf a dapat dilakukan dengan media cetak, elektronik, dan/atau tatap muka.


    Pasal 122

    Pemberian bimbingan, supervisi, pendidikan, Can pelatihan kepada penyelenggara IGT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) huruf b dilakukan oleh Badan dalam bentuk:

    1. menyelenggarakan bimbingan teknis, seminar, dan/atau lokakarya;

    2. melakukan pendampingan dan pengawasan penyelenggaraan IGT;

    3. mengambil keputusan apabila terjadi permasalahan terkait penyelenggaraan IGT; dan/atau d memberikan masukan kurikulum, menyediakan fasilitas pendidikan dan pelatihan, ^pemberian beasis'ur,a, penyediaan fasilitas magang, dan pembelajaran ^jarak ^jauh.


    Pasal 123

    Perencanaan, penelitian, pengembangan, ^pemantauan, dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat ^(1) huruf c dilakukan oleh Badan dengan melibatkan penyelenggara IGT. ^Pasal ^124 (1) Penyelenggaraan jabatan fungsional secara nasional untuk sumber daya manusia di Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) huruf d dilakukan oleh Badan sebagai instansi pembina ^jabatan fungsional di bidang IG. (2) Penyelenggaraan jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 125 Sosialisasi keberadaan IG beserta kemungkinan pemanfaatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf a dilakukan oleh Badan melalui:

    1. publikasi di media cetak dan elektronik;

    2. pameran;

    3. lokakarya; dan/atau

    4. sosialisasi lainnya.


    Pasal 126

    Pasal 126 Pendidikan dan pelatihan teknis penggunaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf b dilakukan oleh Badan paling sedikit melalui pemberian asistensi, konsultasi, dan/atau pendampingan.


    Pasal 127

    Pembinaan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan kepada Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan secara berkala. Pasal 128 Badan dapat bekerja sama dengan pihak lain dalam melakukan pembinaan. BAB VIII TATA CARA PELAKSANAAN SANKSI ADMINISTRATIF


    Pasal 129

    Setiap Orang yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 36, Pasal 46, Pasal 49 ayat (2), Pasal 50, atau Pasal 55 Undang- Undarrg Nomor 4 Tahun 2oll tentang Informasi Geospasial sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja dikenai sanksi administratif. Pasai 130 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. penglrentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan;

    3. denda administratif; dan/atau

    4. pencabutan rzin.


    Pasal 131

    PRE S IDEN REPUBLIK INDONESIA


    Pasal 131

    Sanksi administratif sebagaimana ^dimaksud dalam ^Pasal 130 diberikan oleh:

    1. Kepala Badan sesuai dengan ^kewenangannya ^untuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 20, ^Pasal ^36, Pasal 46, Pasal 49 ayat (2), Pasal 50, atau ^Pasal ^55 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OIl ^tentang Informasi Geospasial sebagaimana telah ^diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun ^2O2O tentang Cipta Kerja; atau

    2. Menteri, pimpinan lembaga ^pemerintah nonkementerian selain kepala Badan, ^gubernur, ^atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya untuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal ^50 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2Oll ^tentang Informasi Geospasial sebagaimana telah ^diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun ^2O2O tentang Cipta Kerja. Pasal 132 (1) Sanksi administratif berupa ^peringatan ^tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^130 ^huruf ^a dikenakan kepada Setiap Orang ^yang ^melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 36, Pasal ^46, ^Pasal ^49 ^ayat (2), Pasal 50, atau Pasal 55 Undang-Undang ^Nomor ^4 Tahun 2Oll tentang Informasi ^Geospasial sebagaimana telah diubah dengan ^Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta ^Kerja. (21 Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud ^pacia ^ayat (1) diberikan dalam bentuk surat ^yang memuat: a rincian pelanggaran;

    3. kewajiban untuk menyesuaikan ^dengan ^standar dan/atau ketentuan teknis; dan

    4. tindakan pengenaan sanksi ^berikutnya ^yang ^akan diberikan (3) Peringatan tertt lis sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat (2) diberikan paling banyak 2 (dua) kali dengan ^tenggat waktu masing-rnasing 5 (lima) Hari terhitung ^sejak diterimanya peringatan tertulis. Pasal 133 (1) Sanksi administratif berupa ^penghentian ^sementara sebagian atau selrrruh kegiatan ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 huruf ^b ^dikenakan ^kepada Setiap Orang yang tidak mengindahkan ^surat peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3). (21 Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) dilakukan dengan nrenerbitkan ^keputusan penghentian sementara kegiatan. (3) Dalam hal keputusan penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ^tidak dilaksanakan, dapat dilakukan upaya ^paksa ^berupa penyegelan dan/atau penghentian kegiatan. (4) Setelah kegiatan dihentikan, dilakukan ^pengawasan agar kegiatan yang dihentikan ticlak ^beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya ^kewajiban sebagaimana dimaksud dalam keputusan ^penghentian sementara kegiatan. Pasal 134 (1) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ^huruf ^c dikenakan kepada Setiap Orang ^yang ^melanggar ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor ^4 ^Tahun 2OtI tentang Informasi Geospasial sebagaimana ^telah diubah dengan Undang-Undang Nomor ^11 ^Tahun ^2O2O tentang Cipta Kerja dan tidak ^mengindahkan peringatan t-ertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat ^(3). (21 Denda administratif sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dikenakan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasa! 135 (1) Sanksi administratif berupa ^pencabutan - ^tzin sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^13O ^huruf ^d dikenakan kepada Setiap Orang ^yang melanggar ^tidak mengindahkan peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat ^(3). (21 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menerbitkan keputusan pencabutan izin. (3) Keputusan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran. (4) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) r; r,ajib menghentikan kegiatan yang telah dicabut izinnya. (5) Apabila Setiap Orang yang melakukan pelanggaran tidak menghentikan kegiatan yang telah dicabut izinnya, pejabat yang memberikan sanksi n,elakukan tindakan sesuai dengan ketentuan peratrtran perundang-undangan. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 136 (1) lzin pengumpulan DG yang sudah ter ebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku izin pengumpulan DG. (2) Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang menerbitkan izin pengumpulan DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan salinan izin pengumpulan DG ke Badan. Pasal 137 (1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, izin pengumpulan DG . yang sedang dalam proses permohonan disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

      (2)

      Instansi (21 Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang akan menerbitkan izin pengumpulan DG terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan perkembangan proses permohonan rzin pengumpulan DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Badan. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 138 IGD yang tersedia harus ditetapkan oleh kepala Badan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.


    Pasal 139

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2Ol4 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2}ll tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OI4 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5502), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 140 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2Ol4 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2}ll tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol4 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5502), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 141 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2l ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2l MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 55 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2O2I TENTANG PENYELENGGARAAN INFORMASI GEOSPASIAL I. UMUM Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2}ll tentang Informasi ^Geospasial sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang ^Nomor ^11 ^Tahun ^2O2O tentang Cipta Kerja mengamanatkan adanya ^beberapa ^pengaturan ^lebih lanjut yang menjelaskan mengenai beberapa ketentuan. ^Di antaranya ^adalah jangka waktu Pemutakhiran IGD; tata cara memperoleh izin pengumpulan DG; bentuk dan tata cara pemberian insentif bagi ^Setiap Orang yang dapat membangun, mengembangkan, danf atau menggunakan ^Perangkat Lunak pengolah DG dan IG yang Bersifat Bebas dan Terbuka; tata cara ^penyerahan IGT; kebijakan, kelembagaan, teknologi, standar, ^dan sumber ^daya ^manusia Infrastruktur IG; pembinaan ^penyelenggaraan IGT; dan ^tata ^cara pelaksanaan sanksi administratif. Seiring dengan perkembangan ilmu ^pengetahtlan, ^teknologi, ^dan kebijakan nasional, informasi ^geospasial ^semakin ^dibutuhkan ^oleh seluruh pemangku kepentingan pembangunan di Indonesia. ^Oleh ^sebab ^itu, ^maka informasi geospasial beserta kegiatan ^penyelenggaraannya ^dari ^hulu ^sampai dengan ke hilir, di dalamnya termasuk ^kegiatan ^survei ^dan ^pemetaan, semakin memegang ^peranan ^penting. ^Perumusan ^kebijakan, ^pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan ^yang ^berhubungan ^dengan ruang kebumian adalah beberapa diantaranya' IG sangat berguna sebagai salah satu ^pendukung utama ^pengambilan kebijakan dalam rangka mengoptimalkan ^pembangunan ^di ^bidang ekonomi, sosial, budaya, dan ketahanan nasional, ^khususnya ^dalam ^pengelolaan sumber daya alam, pen5rusunan ^rencana ^tata ^ruang, ^perencanaan lokasi investasi, penentuan garis batas wilayah. ^Selain ^itu, ^mengingat ^negara Indonesia berada di dalam wilayah ^yang ^memiliki kondisi ^geografis, ^geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap ^terjadinya ^bencana ^dengan frekuensi yang cukup tinggi, kebutuhan terhadap ^IG ^terkait ^penanggulangan bencana ^juga menjadi suatu kebutuhan ^yang ^primer. Dengan Dengan menyadari pentingnya IG di semua sektor ^kehidupan, ketersediaan IG yang mutakhir dan akurat menjadi sua*.u keharusan. ^Hal ^ini untuk menghindari adanya kekeliruan, kesalahan, dan tumpang ^tindih informasi yang berakibat pada ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran dan inefektifitas informasi. Namun, ketersediaan IG yang akurat dan mutakhir akan menjadi sia- sia jika tidak disampaikan kepada pihak yang membutuhkan untuk digunakan. Oleh sebab itu, Infrastruktur IG ^juga menjadi salah satu bagian yang tidak dapat diabaikan. Pemberian insentif adalah salah satu sarana yang digunakan untuk menumbuhkembangkan penyebarluasan dan penggunaan IG di Indonesia. Selain melalui insentif, pembangunan Infrastruktur IG juga menrbutuhkan kebijakan, kelembagaan, teknologi, standar, dan sumber daya manusia. Lima hal ini menjadi pondasi utama pembangunan Infrastruktur IG. Pengaturan lebih lanjut mengenai beberapa ketentuan di dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2OlL tentang Informasi Geospasial menjadi suatu kewajiban vang harus dipenuhi agar ketersediaan IG yang mutakhir dan akurat sebagaimana cita-cita Undang-Undang tersebut dapat terwujud. II. PASAL DEMI PASAL


    Pasal 1

    Cukup ^jelas.


    Pasal 2

    Cukup ^jelas.


    Pasal 3

    Cukup ^jelas.


    Pasal 4

    Cukup ^jelas.


    Pasal 5

    Ayat (1) Cukup ^jelas Ayat (2) Cukup ^jelas Ayat (3) Huruf a SRGI horizontal digunakan sebagai acuan dalam penentuan posisi horizontal suatu IG. Huruf b SRGI vertikal digunakan sebagai acuan dalam ^penentuan posisi vertikal atau tinggi suatu IG. Ayat (a) Huruf a Yang dimaksud dengan "sistem referensi koordinat" merupakan sistem koordinat geoscntrik 3 (tiga) dimensi dengan ketentuan:

    1. titik pusat sistem koordinat berimpit dengan ^pusat massa bumi sebagaimana digunakan dalam International Terrestrial Reference Sy stem [l|: Rfl ;

    2. satuan dari sistem koordinat berdasarkan sistem Satuan Internasional (SI); dan

    3. orientasi sistem koordinat bersifat equatoial, dimana sumbu Z searah dengan sumbu rotasi bumi, sumbu X adalah perpotongan bidang ^(equator) dengan garis bujur yang melalui ^(greeruaich) (greenwich meridianl, dan sumbu Y berpotongan tegak lurus terhadap sumbu X dan Z ^pada bidang (equator) sesuai dengan kaidah sistem koordinat tangan kanan, sebagaimana digunakan dalam International Terre strial Reference ^Sy stem ^(I'TRS/. Huruf b Yang dimaksud dengan "kerangka referensi koordinat" menrpakan realisasi dari sistem referensi ^koordinat, yaitu berupa Jaring Kontrol Geodesi di mana nilai ^koordinat awal didefinisikan pada epochtertentu dan ^Jaring ^Kontrol Geodesi terikat kepada kerangka referensi ^global International Terrestial Refereruce Franne I?RD. f c Huruf c Datum geodetik mendefinisikan hubungan secara geometris antara sisrem referensi koordinat- dengan permukaan bumi yang dimodelkan oleh elipsoida referensi yaitu elipsoida referensi World Geodetic System 1984 (WGS84), di mana titik pusat elipsoida referensi berimpit dengan titik pusat massa bumi yang digunakan dalam International Terre strial Reference Sy stem ffRS/. Huruf d Perubahan nilai koordinat sebagai fungsi waktu merupakan vektor perubahan nilai koordinat dalam kurun waktu tertentu dari suatu titik kontrol geodesi yang diakibatkan oleh pengaruh pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "geoid' adalah bidang ekuipotensial medan gayaberat bumi yang berimpit dengan muka laut rata- rata global, yang digunakan sebagai bidang acuan untuk penentuan posisi vertikal atau tinggi suatu titik di permukaan bumi. Geoid yang berlaku di Indonesia disebut Geoid Indonesia atau Indone sian Geoid disin gkat I naGeoid. Ayat (6) Cukup ^jelas.


    Pasal 6

    Ayat (1) Penyajian peta dasar dapat berupa peta cetak atau digital, baik dua dimensi maupun tiga dimensi dengan Skala dan kaidah tertentu. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas.


    Pasal 7

    Cukup ^jelas.


    Pasal 8
    Pasal 8

    Ayat (1) Hipsografi menampilkan relief atau perbedaan ketinggian permukaan bumi baik di darat maupun di laut, yang digambarkan dengan:

    1. titik ketinggian dan/atau garis kontur ketinggian untuk wilayah darat; dan

    2. titik kedalaman, batimetri danlatau garis kontur kedalaman untuk wilayah laut. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas.



    Pasal 9

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan "unsur rupabumi" adalah bagian dari permukaan bumi beserta objek yang berada di atasnya, pada, atau di bawahnya yang dapat dikenali identitasnya berupa unsur alami maupun unsur buatan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas.


    Pasal 10

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "batas darat" adalah batas antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara tetangga yang bersebelahan di darat. Huruf b Yang dimaksud dengan "batas maritim" adalah batas antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara tetangga yang bersebelahan dan berseberangan di laut untuk zona maritim laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "dokumen yang mengikat secara hukum" antara lain:

    1. batas negara di darat dan maritim dalam bentuk perjanjian internasional, baik bilateral/trila.teral, dengan negara tetangga;

    2. batas maritim yang bersifat unilateral mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan hukum internasional;

    3. batas wilayah provinsi dan kabupaten/kota dalam bentuk peraturan menteri dalam negeri; dan

    4. batas wilayah kecamatan, desa/kelurahan dalam bentuk perattrran bupati/wali kota. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 1 1 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "wilayah tertentu sesuai dengan kebutuhan" antara lain: PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA a. kota besar dan/atau kota metropolitan ^beserta ^wilayah pengembangannya;

    5. wilayah dengan pertumbuhan ekonomi ^tinggi;

    6. wilayah rawan bencana terutama ^wilayah rawan ^banjir dan/atau tsunami; dan

    7. wilayah lain sesuai kebutuhan ^prioritas ^pembangunan nasional atau kebijakan nasional yang bersifat strategis. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "sesuai dengan kebutuhan" antara ^lain kebutuhan prioritas pembangunan nasional, kebijakan ^nasional yang bersifat strategis, atau penanggulangan bencana.


    Pasal 12

    Ayat (1) Salah satu bentuk penyajian IGT adalah dalam ^bentuk ^peta cetak atau digital, baik dua dimensi maupun tiga ^dimensi ^dengan Skala dan kaidah tertentu, yang selanjutnya disebut ^peta tematik. Yang dimaksud dengan "mengacu pada IGD" adalah ^IGD dijadikan sebagai ref'erensi posisi dan/atau ^geometris ^untuk pembuatan IGT. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Ayat (e) Cukup ^jelas 13 Cukup ^jelas. 74 Cukup ^jelas. 15 Cukup ^jelas. 16 Cukup ^jelas. T7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia" adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah dibawahnya serta ruang udara diatasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Yang dimaksud dengan "wilayah yurisdiksi" adalah wilayah di luar wilayah negara yang terdiri atas zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, dan zona tambahan dimana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "DG Dasar" adalah DG yang digunakan sebagai dasar dalam pembuatan peta dasar. DG Dasar antara lain berupa foto udara/citra tegak resolusi tinggi (Orthorectified Imagery) dan Digital Eleuation Model (DEM). Foto udaraf citra tegak resolusi tinggi dapat dihasilkan melalui survei udara dan/atau penginderaan jauh menggunakan sensor optis, radar. dan/atau lidar. Sedangkan Digital Eleuation Mode'|. (DEM)terdiri atas model permukaan bumi berikut objek yang berada di atasnya,/ Digital Surface Model (DSM) dan model permukaan bumi tanpa objek yang berada di atasnya/ Digital Terrain Model ^pf@. Huruf b _() _ Huruf b Yang dimaksud dengan "DG tentatik" adalah DG dengan tema tertentu yang digunakan dalam pembuatan ^peta tematik. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas.


    Pasal 18

    Cukup ^jelas.


    Pasal 19

    Cukup ^jelas.


    Pasal 20

    Cukup ^jelas.


    Pasal 21

    Cukup ^jelas. Pasal 22 Yang dimaksud dengan "efektif dan efisien" adalah kerja sama pengumpulan DG, termasuk di dalamnya kegiatan dalam rangka Pemutakhiran IG, dilakukan dengan tidak tumpang tindih, baik dari sisi biaya maupun ketersediaan DG yang akan dikumpulkan.


    Pasal 23

    Cukup ^jelas.


    Pasal 24

    Cukup ^jelas. Pasal 25 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Huruf b Yang dimaksud dengan "Bahaya untuk objek pengumpulan DG" adalah kegiatan pengumpulan DG yang memungkinkan terjadinya efek yang bersifat negatif terhadap objek pengumpulan DG, misalnya alat pengumpulan DG yang digunakan merusak lokasi dimana alat tersebut digunakan atau DG yang dikumpulkan terkait dengan lokasi rahasia pertahanan dan keamanan negara. Huruf c Cukup ^jelas. Pasal 26 Huruf a Yang dimaksud dengan "Wahana darat milik asing" antara lain kendaraan roda dua, tiga, empat, dan enam, serta kereta api. Huruf b Yang dimaksud dengan "Wahana air milik asing" antara lain kapal layar, kapal motor, dan kapal selam. Huruf c Yang dimaksud dengan "Wahana udara milik asing" antara lain pesawat terbang, balon udara, dan UAV ^(Unmanned Aerial Vehicle).


    Pasal 27

    Cukup ^jelas.


    Pasal 28

    Cukup ^jelas.


    Pasal 29

    Cukup ^jelas. Pasal 3O Cukup jelas.


    Pasal 31

    Cukup ^jelas.


    Pasal 32
    Pasal 32

    Cukup ^jelas.



    Pasal 33

    Cukup ^jelas.


    Pasal 34

    Cukup ^jelas.


    Pasal 35

    Cukup ^jelas.


    Pasal 36

    Cukup ^jelas.


    Pasal 37

    Cukup ^jelas.


    Pasal 38

    Cukup ^jelas.


    Pasal 39

    Cukup ^jelas. Pasal 40 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "keamanan" adalah terkait dengan keamanan substansi dari data yang diolah, misalnya apabila data yang akan diolah menyangkut masalah ^pertahanan dan keamanan. Pasal 4 1 Cukup ^jelas.


    Pasal 42

    Cukup ^jelas.


    Pasal 43

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA


    Pasal 43

    Cukup ^jelas.


    Pasal 44

    Cukup ^jelas.


    Pasal 45

    Cukup ^jelas.


    Pasal 46

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "penambahan nilai dalam ^evaluasi teknis" antara lain pemberian bobot ^penilaian berdasarkan ^peran penggunaan Perangkat Lunak dalam menyelesaikan ^pekerjaan. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 4T Cukup ^jelas.


    Pasal 48

    Cukup ^jelas.


    Pasal 49

    Cukup ^jelas.


    Pasal 50

    Cukup ^jelas.


    Pasal 51

    Cukup ^jelas.


    Pasal 52

    Cukup ^jelas.


    Pasal 53

    Pasal 53 Huruf a Yang dimaksud dengan "sarana untuk menyimpan ^Perangkat Lunak pengolah DG dan IG" antara lain berupa storage, ^desktop, mobile deuices atau prasarana lain yang dibutuhkan, ^yang ^dapat pula berfungsi untuk pengembangan dar, pengoperasian Perangkat Lunak pengolah DG dan IG. Huruf b Cukup ^jelas. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "tanda bukti ^perolehan secara sah" antara lain dengan menunjukkan bukti ^pengunduhan Perangkat Lunak melalui media laman. Huruf c Yang dimaksud dengan "dirasakan manfaatnya oleh Pengguna Perangkat LunalC' antara lain dengan menunjukkan bukti rekomendasi Perangkat Lunak oleh Pengguna Perangkat Lunak. Huruf d Cukup ^jelas.


    Pasal 56

    Cukup ^jelas.


    Pasal 57

    Cukup ^jelas.


    Pasal 58

    Cukup jelas.


    Pasal 59

    Cukup ^jelas.


    Pasal 60

    Cukup ^jelas.


    Pasal 61

    Cukup ^jelas.


    Pasal 62

    Cukup ^jelas.


    Pasal 63

    Cukup ^jelas.


    Pasal 64

    Cukup ^jelas. Pasal 65 Huruf a Yang dimaksud dengan "Duplikat IGT sebagai bahan perpustakaan" adalah semua hasil karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam. Huruf b Yang dimaksud dengarr "Duplikat IGT sebagai arsip" adalah Duplikat IGT yang sudah drautentikasi sesuai dengan aslinya oleh penyelenggara IGT.


    Pasal 66

    Cukup ^jelas.


    Pasal 67

    Cukup ^jelas.


    Pasal 68

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan "berita acara serah terima" adalah dapat memuat di antaranya pihak yang menyerahkan, pihak yang menerima, daftar IGT yang diserahkan, sifat kerahasiaan, dan ketentuan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) penyelenggara IGT. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ayat (3) Yang dimaksud dengan "autentikasi" adalah Duplikat IGT yang telah melewati proses penentuan bahwa Duplikat IGT tersebut dinyatakan asli.


    Pasal 69

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" antara lain peraturan perundang-undangan di bidang kearsipan. Pasal 70 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah peraturan perundang-undangan di bidang keterbukaan informasi publik. Huruf c Pembuatan sarana bantu penemuan kembali Duplikat IGT dimaksudkan untuk memudahkan penelusuran kembali Duplikat IGT yang pernah diterima. Pasal 71 Huruf a Yang dimaksud dengan "tabel informasi berkoordinat" adalah kumpulan satu atau lebih koordinat beserta informasi yang melekat pada koordinat tersebut. Huruf b Yang dimaksud dengan "peta cetak" adalah IG yang disajikan pada sebuah lembaran kertas dengan ukuran dan Skala tertentu yang disajikan menurut kaidah kartografis. Huruf c . Huruf c Yang dimaksud dengan "peta digital" adalah ^peta dalam Format digital tertentu yang ciapat diakses dengan menggunakan perangkat keras dan Perangkat Lunak tertentu. Huruf d Yang dimaksud dengan "peta interaktif' adalah peta digital ^yang memberikan fasilitas interaksi antara Penggeina IG dan ^peta tersebut. Huruf e Yang dimaksud dengan "peta multimedia" adalah ^peta digital yang dilengkapi dengan fasilitas media audiovisual. Pasal 72 Huruf a Yang dimaksud dengan etak" antara lain buku atau dokumen tertulis lainnya. Huruf b Yang dimaksuci dengan "digital" antara lain CD, DVD, atau hard disk eksternal.


    Pasal 73

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Format saji" antara lain berupa Format html, gml, ^jpeg, gif, atau PDF serta dapat diakses nlenggunakan Perangkat Lunak penyajian yang sudah lazirn dikenal atau tersedia bebas biaya. Ayat (2) Yang dima.ksud dengan "Format asli" autara lain berupa Format sensor (tif, rinexl atau yang memerlukan software tersendiri untuk menggunakannya, seperti software geo-dbase, danf atau g eo -reference (auto cad, arc/ g is -format, freehand). Pasal 74 Cukup jelas


    Pasal 75
    Pasal 75

    Cukup ^jelas.



    Pasal 76

    Cukup ^jelas. Pasal TT Cukup ^jelas.


    Pasal 78

    Cukup ^jelas.


    Pasal 79

    Cukup ^jelas.


    Pasal 80

    Ayat (1) Cukup ^jelas Ayat (2) Huruf a PRES IDEN REPUBLIK INDONESIA -17- Kebijakan bertujuan untuk mewujudkan integrasi IG yang tersebar pada Penyelenggara IG dan kemudahan akses data dan informasi terkini yang akurat bagi Pengguna IG. Sasaran kebijakan IG adalah:


  6. terintegrasinya data yang dihasilkan antar Penyelenggara IG sehingga tidak terjadi tumpang tindih kegiatan dan anggaran penyelenggaraan IG; dan

  1. terpenuhinya kebutuhan Pengguna IG akan IG yang terkini, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan secara cepat dan efisien. Huruf b Cukup ^jelas Huruf c Cukup ^jelas Huruf d Cukup ^jeias Huruf e . Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.
    Pasal 81

    Cukup ^jelas.


    Pasal 82

    Cukup ^jelas.


    Pasal 83

    Cukup ^jelas.


    Pasal 84

    Cukup ^jelas.


    Pasal 85

    Cukup ^jelas.


    Pasal 86

    Cukup jelas.


    Pasal 87

    Cukup ^jelas.


    Pasal 88

    Cukup ^jelas.


    Pasal 89

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain swasta nasional, pemerintah negara asing, lembaga asing, atau swasta asing. Ayat (2) Cukup jelas.


    Pasal 90

    Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal 90 Cukup ^jelas. 91 Cukup ^jelas. 92 Cukup jelas. 93 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan formal di bidang IG" antara lain sekolah menengah kejuruan dan perguruan tinggi yang memiliki muatan kurikulum pendidikan terkait bidang IG. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 94 Cukup jelas. 95 Cukup jelas. 96 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud "profesi" adalah panggilan untuk melakukan pekerjaan terpelajar yang diakui, dengan kompetensi dan kepakaran dari pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Huruf b Cukup jelas. .Huruf c Cukup jelas.


    Pasal 97

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jenis surveyor antara lain surveyor kadaster, surveyor terestris, surveyor fotogrametris, surveyor hidrografi, surveyor pemetaan, dan lainnya yang memenuhi persyaratan sebagai surveyor. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Huruf c Huruf d Ayat (6) Cukup ^jelas


    Pasal 98

    Cukup ^jelas.


    Pasal 99

    Ayat (1) Cukup ^jelas Ayat (21 Ayat


    Pasal 100

    Cukup jelas


    Pasal 101

    Cukup jelas PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA -2t- Yang dimaksud dengan "data tertentu" antara lain berupa data kependudukan dan sosial budaya, ekonomi dan infrastruktur, kehutanan dan penutup/penggunaan lahan, geomorfologi dan sumber daya lahan, sumber daya air dan atmosfer, geopolitik dan geostrategis, kebencanaan, kemaritiman dan wilayah kepulauan, dan/atau pengembangan wilayah. Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "rekognisi pembelajaran lampau" adalah pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang yang diperoleh dari pendidikan formal atau nonformal atau informal, dan/atau pengalaman kerja ke dalam pendidikan iormal. Capaian pembelajaran sebagaimana dimaksud di atas adalah kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi pengetahuan, sikap, keterampilan, kompetensi, dan/atau akumulasi pengalaman kerja.

    (3)

    Cukup ^jelas.


    Pasal 102

    Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal 1 10 Cukup jelas. Pasal 1 1 I Cukup jelas. Pasal 1 12 Cukup ^jelas. r02 Cukup ^jelas. 103 Cukup ^jelas. 104 Cukup ^jelas. 105 Cukup ^jelas. 106 Cukup ^jelas. t07 Cukup ^jelas. 108 Cukup ^jelas. 109 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "wilayah" adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau fungsional. Pasal 1 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Huruf a Yang dimaksud dengan "nilai unsur Jaring Kontrol Geodesi" terdiri atas:

    1. nilai koordinat horizontal;

    2. nilai koordinat vertikal; dan/atau

    3. nilai gayaberat. Huruf b Yang dimaksud dengan "sarana fisik Jaring Kontrol Geodesi" antara lain berupa pilar, bangunarr, alat pengamatan/pengukuran, peralatan pendukung, komunikasi data, dan sarana fisik lainnya yang dibutuhkan untuk menjaga xesLabilan nilai unsur serta keberlangsungan pengamatan/pengukuran pada Jaring Kontrol Geodesi. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal I 14 Cukup jelas. Pasal 1 15 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "peristiwa tertentu" antara 1ain a. bencana a. b. c.

    4. bencana alam; perang; pemekaran atau perubahan wilayah administratif; atau kejadian lainnya yang berakibat berubahnya unsur IGD. Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. 116 Cukup jelas. 1t7 Cukup jelas. 118 Cukup jelas. 119 Cukup jelas. r20 Cukup jelas. t2t Cukup jelas. 122 Cukup jelas. t23 Cukup jelas. t24 Cukup jelas. r25 Cukup jelas. Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal PasaI Pasal Pasal Pasal Pasal r26 Cukup ^jelas. t27 Cukup ^jelas. t28 Cukup ^jelas. r29 Cukup ^jelas. 130 Cukup ^jelas. 131 Cukup ^jelas. r32 Cukup jelas. 133 Cukup ^jelas. r34 Cukup ^jelas. 135 Cukup jelas. 136 Cukup ^jelas. r37 Cukup jelas. 138 Cukup jelas. 139 Cukup jelas.


    Pasal 140
    Pasal 140

    Cukup ^jelas



    Pasal 141 Cukup ^jelas

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):