Kemudahan Proyek Strategis Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat Menetapkan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2O2L TENTANG KEMUDAHAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan Pasal 3 huruf d, Pasal 26, Pasal 31, Pasal 36, Pasal 124, Pasal 173, dan Pasal 18S huruf b Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional;

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); MEMUTUSKAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEMUDAHAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL. 2 BAB I i BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 2 3 4 5 6. Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha yang selanjutnya disingkat KPBU adalah kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh menteri/kepala lembaga/kepala daerah/BUMN/badan usaha milik daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. 7. Pemerintah Pusat adaiah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945. 8. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 9. Penanggung Jawab Proyek Kerja sama yang selanjutnya disingkat PJPK adalah menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, atau BUMN/badan usaha milik daerah sebagai penyedia dan/atau penyelenggara infrastruktur berdasarkan peraturan perundang-undangan. 10. Menteri adalah menteri yang mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian di bidang perekonomian selaku ketua komite yang dibentuk untuk mempercepat penyediaan infrastruktur prioritas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


  2. Badan.

  1. Project Deuelopment Facilities yang selanjutnya disingkat PDF adalah fasilitas fiskal yang disediakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan penyiapan dan pelaksanaan transaksi proyek. Pasal 2 (1) Proyek Strategis Nasional dilaksanakan dengan memprioritaskan integrasi konektivitas antar infrastruktur dan latau pusat kegiatan ekonomi untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi berbasis kewilayahan dengan memperhatikan arah pembangunan kewilayahan yang dimuat dalam perencanaan pembangunan nasional. (2) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Badan Usaha mendapatkan fasilitas Kemudahan Proyek Strategis Nasional. (3) Fasilitas Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan pada tahapan:
    1. perencanaan;

    2. penyiapan;

    3. transaksi;

    4. konstruksi; dan

    5. operasi dan pemeliharaan (4) Selain fasilitas Kemudahan pada tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional mendapatkan kemudahan pengadaan. (5) Menteri mengoordinasikan fasilitas Kemudahan pada tahapan Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

      (6)

      Ketentuan mengenai percepatan penerbitan Perizinan Berusaha dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 (1) Daftar Proyek Strategis Nasional untuk pertama kali ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. (2) Menteri/kepala lembaga/kepala daerah dan Badan Usaha mengajukan usulan Proyek Strategis Nasional kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Menteri melakukan evaluasi atas daftar Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau usulan Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menetapkan perubahan daftar Proyek Strategis Nasional setelah mendapatkan persetujuan Presiden.

      Pasal 4

      Kemudahan dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Menteri melakukan:


    6. koordinasi perencanaan dan penganggaran antar kementerian, lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha, dan/atau pihak lainnya dengan lingkup tugas dan fungsi berkaitan dengan upaya percepatan penyediaan Proyek Strategis Nasional;

    7. penetapan strategi dan kebijakan dalam rangka percepatan Proyek Strategis Nasional;

    8. penJrusunan prioritas Proyek Strategis Nasional;

    9. fasilitasi penyiapan Proyek Strategis Nasional; e f o b h 1 pemantauan dan pengendalian pelaksanaan strategi dan kebijakan dalam rangka percepatan penyediaan Proyek Strategis Nasional; fasilitasi peningkatan kapasitas aparatur dan kelembagaan terkait dengan penyediaan proyek Strategis Nasional; fasilitasi penyelesaian permasalahan dalam perizinan Berusaha dan pengadaan tanah bagi Proyek Strategis Nasional; koordinasi Nasional; optimasi pemanfaatan Proyek Strategis koordinasi penetapan strategi kebijakan dan persetujuan atas penanganan dampak sosial yang diajukan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota; evaluasi dan pembinaan pelaksanaan Panel Konsultan dan Panel Badan Usaha yang dibentuk oleh kementerian/lembaga; koordinasi perencanaan, pengembangan, dan penetapan skema aiternatif pembiayaan untuk proyek Strategis Nasional; dan/atau pelaporan perkembangan pelaksanaan proyek Strategis Nasional kepada Presiden. BAB II J k I BAB II KEMUDAHAN PERENCANAAN Bagian Kesatu Identifikasi Perizinan dan Non-Perizinan Pasal 5 (1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota mengidentifikasi ^perizinan Berusaha dan non- perizinan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Proyek Strategis Nasional sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing memberikan percepatan perizinan Berusaha bagi kegiatan usaha yang termasuk dalam risiko tinggi pada Proyek Strategis Nasional. (3) Menteri/kepala lembaga, gubernur atau bupati/wali kota selaku penanggung jawab proyek Strategis Nasional mengajukan penyelesaian perizinan Berusaha dan non-perizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan proyek Strategis Nasional berdasarkan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing. (4) Gubernur atau bupati/wali kota selaku penanggung jawab Proyek Strategis Nasional di daerah memberikan Perizinan Berusaha dan non-perizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan proyek Strategis Nasional sesuai dengan kewenangan masing- masing berdasarkan hasil identifikasi sebagaimanl dimaksud pada ayat (1) kepada menteri/kepala lembaga terkait sesuai dengan kewenangan maslng_ masing.

      (5)

      Ketentuan mengenai penerbitan perrzinan Berusaha dan non-perizinan dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 (1) BUMN yang mendapatkan penugasan dari pemerintah, mengidentifikasi Perizinan Berusaha dan non- perizinan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. (2) Terhadap hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUMN mengajukan penyelesaian Pertzinan Berusaha dan non-perizinan ^,yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan proyek Strategis Nasional kepada menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing. (3) BUMN yang mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) metaporkan hasil identif,rkasi Pertzinan Berusaha dan non-perizinan kepada menteri yang memberikan penugasan.

      (1)
      (2)

      Pasal 7 Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota melaporkan kepada Menteri hasit identifikasi Perizinan Berusaha dan non-perizinan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan prtyek Strategis Nasional. Menteri melakukan pengendalian atas percepatan penyelesaian Perrzinan Berusaha dan non -perizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan proyek Strategis Nasional. Bagian Bagian Kedua Rencana Tata Ruang Pasal 8 (1) Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau perencanaan ruang laut. (2) Dalam hal lokasi Proyek Strategis Nasional belum sesuai dengan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang tetap dapat dilaksanakan setelah mendapat rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang. (3) Dalam hal lokasi Proyek Strategis Nasional belum sesuai dengan perencanaan ruang laut, pemanfaatan ruang laut tetap dapat dilaksanakan setelah mendapat rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang iaut dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. (4) Ketentuan mengenai penetapan rencana tata ruang dan/atau perencanaan ruang laut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Bagian Ketiga Pengadaan Tanah Pasal 9 (1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan mengidentifikasi kebutuhan tanah yang diperlukan untuk mempercepat pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

      (2)

      PJPK mengajukan rencana alokasi pembebasan lahan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara setelah dilakukan penetapan lokasi atas proyek Strategis Nasional. (3) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengalokasikan anggaran untuk pembebasan lahan berdasarkan usulan daftar Proyek Strategis Nasional yang disampaikan oleh Menteri. (4) Dalam hal anggaran pembebasan lahan tidak dialokasikan di satuan kerja yang menyelenggarakan tugas dan fungsi manajemen aset negara pada lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, anggaran pembebasan lahan dialokasikan pada kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah. (5) Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk Strategis Nasional dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (1)

      Proyek dengan Bagian Keempat Studi Lingkungan Hidup Pasal 10 Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan mengidentifikasi kebutuhan studi lingkungan hidup yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan proyek Strategis Nasional. (2) Ketentuan mengenai studi dilaksanakan sesuai dengan perundang-undangan. lingkungan hidup ketentuan peraturan Bagian Bagian Kelima Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 1 1 (1) Menteri yang menyelenggarakan Ltrusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan mengidentifikasi kebutuhan penggunaan kawasan hutan yang diperlukan untuk pelaksanaan proyek Strategis Nasional. (2) Ketentuan mengenai penggunaan kawasan hutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keenam Rencana Induk Sektor Pasal 12 (1) Menteri/kepala lembaga wajib menetapkan proyek Strategis Nasional dalam rencana induk sektor kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Dalam hal Proyek Strategis Nasional belum termuat dalam rencana induk sektor, menteri/kepala lembaga wajib menerbitkan rekomendasi kesesuaian proyek Strategis Nasional dengan rencana induk sektor kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangan masing-masing. Bagian Ketujuh Perencanaan Pembiayaan Pasal 13 (1) Pembiayaan Proyek Strategis bersumber dari:

    10. APBN; Nasional dapat b. APBD; _ 13_ b. APBD; dan/atau

    11. pembiayaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perencanaan pembiayaan Proyek Strategis Nasional yang bersumber dari APBN dan/atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem perencanaan pembangunan nasional. (3) Perencanaan pembiayaan Proyek Strategis Nasional yang bersumber dari pembiayaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikan:

    12. integrasi secara teknis dengan rencana induk pada sektor yang bersangkutan;

    13. kelayakan secara ekonomi dan finansial; dan

    14. kemampuan keuangan Badan Usaha untuk membiayai pelaksanaan penyediaan ^proyek Strategis Nasional, dalam hal Badan Usaha bertindak seiaku pemrakarsa dan/atau mendapat penugasan dari Pemerintah. (41 Perencanaan pembiayaan Proyek Strategis Nasional yang bersumber dari gabungan antara APBN/APBD dan pembiayaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengutamakan integrasi perencanaan, pengalokasian anggaran serta rencana penyelesaian dan pengoperasian proyek. (5) Koordinasi perencanaan, pengembangan, dan penetapan skema pembiayaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk Proyek Strategis Nasional dilakukan oleh Menteri.

      Pasal 14

      Pasal 14 (1) Pembiayaan Proyek Strategis Nasional yang bersumber dari pembiayaan lain yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c dapat dilakukan melalui KPBU dan/atau bentuk pembiayaan lainnya melalui kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) KPBU dilakukan berdasarkan prakarsa pemerintah atau prakarsa Badan Usaha. (3) Dalam hal KPBU dilakukan berdasarkan prakarsa Badan Usaha, Badan Usaha pemrakarsa wajib men5rusun studi kelayakan atas proyek Strategis Nasional yang diusulkan. (4) Terhadap hasil studi kelayakan dan dokumen pendukungnya yang diusulkan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota dapat mengubah atau melakukan penambahan terhadap lingkup studi kelayakan dan dokumen pendukungnya tanpa memerlukan persetujuan dari Badan Usaha pemrakarsa. Pasal 15 Kategori Proyek Strategis Nasional yang penyediaannya dapat dilakukan melalui prakarsa Badan Usaha, meliputi:


    15. penyediaaninfrastrukturpelayananpublik;

    16. optimasi barang milik negaraf barang milik daerah;

    17. optimasi aset BUMN; dan/atau

    18. meningkatkan pendapatan negara d.anlata.u daerah. Pasal 16. Pasal 16 (1) Dalam hal KPBU dilakukan berdasarkan prakarsa Badan Usaha, Badan Usaha pemrakarsa wajib men5rusun studi pendahuluan atas proyek Strategis Nasional yang diusulkan. (21 Terhadap hasil studi pendahuluan yang diusulkan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota dapat mengubah atau melakukan penambahan terhadap studi pendahuluan tanpa memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari Badan Usaha pemrakarsa. Pasal 17 (1) Badan Usaha pemrakarsa yang telah ditetapkan oleh PJPK men),Llsun studi kelayakan dan dokumen pendukung atas Proyek Strategis Nasional yang diusulkan. (2) Badan Usaha pemrakarsa wajib menJrusun studi kelayakan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (t) paling lama 3 (tiga) bulan sejak Badan Usaha pemrakarsa ditetapkan. (3) Terhadap hasil studi kelayakan dan dokumen pendukung yang disampaikan Badan Usaha pemrakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PJPK dapat mengubah atau melakukan penambahan terhadap studi kelayakan dan dokumen pendukungnya. (4) Badan Usaha pemrakarsa meiakukan penyesuaian terhadap perubahan atau penambahan atas studi kelayakan yang disampaikan pJpK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pating lama 3 (tiga) bulan. Pasal 18 (1) Pemerintah dapat memberikan Jaminan pemerintah terhadap Proyek Strategis Nasionai yang pembiayaannya bersumber dari pembiayaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan terhadap:

    19. kredit atau pembiayaan syariah;

    20. kelayakan usaha;

    21. KPBU; dan/atau

    22. risiko politik. (3) Jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan negara dengan mempertimbangkan prin sip-prinsip :

    23. kemampuan keuangan negara;

    24. kesinambungan fiskal; dan

    25. pengelolaan risiko fiskat APBN. (41 Dalam mempertimbangkan Jaminan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan negara:

    26. menetapkan batas maksimal penjaminan secara berkala sebagai patokan dalam pemberian Jaminan Pemerintah; dan/atau

    27. mengalokasikan anggaran kewajiban pemerintah atas Jaminan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan terhadap proyek Strategis Nasional yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

    28. layak secara teknis dan finansial; dan

    29. PJPK memiliki dokumen identifikasi dan rencana mitigasi risiko yang memadai. (6) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dapat memberikan penugasan khusus kepada badan usaha penjaminan infrastruktur untuk memberikan Jaminan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (71 Ketentuan lebih lanjut mengenai Jaminan pemerintah untuk Proyek Strategis Nasional diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. BAB III KEMUDAHAN PENYIAPAN Bagian Kesatu Fasilitas Penyiapan Proyek Pasal 19 (1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota melakukan penyiapan proyek Strategis Nasional yang menghasilkan paling sedikit:

    30. studi kelayakan;

    31. kesesuaian rencana tata ruang, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, danf atau rencana zonasi kawasan antarwilayah;

    32. penetapan lokasi pengadaan tanah;

    33. dokumen lingkungan hidup; dan

    34. sumber pembiayaan.

      (2)

      Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk pembiayaan Proyek Strategis Nasional yang bersumber dari pembiayaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wati kota juga melakukan penyiapan proyek Strategis Nasional atas:

    35. rencana dukungan Pemerintah dan Jaminan Pemerintah; dan

    36. penetapan tata cara pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana. Pasal 20 (1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dapat memberikan pDF kepada Proyek Strategis Nasional. (2) PDF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    37. fasilitas untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan penyiapan;

    38. fasilitas untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan transaksi. (3) Menteri menetapkan prioritas pada daftar proyek Strategis Nasional yang mendapatkan pDF setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. (4) Dalam hal pemberian pDF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan tujuan pemberian PDF atau mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya yang disebabkan oleh kelalaian pJpK, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara berwenang mengambil tindakan sesuai dengan yang diperjanjikan. Pasal 21 (1) Penyiapan Proyek Strategis Nasional dapat dilakukan bersama dengan Badan Usaha atau lembaga/ institusi/organisasi internasional berdasarkan kesepakatan dengan menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota. (2) Pemilihan Badan Usaha untuk penyiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Panel Konsultan atau penunjukan langsung. (3) Biaya penyiapan Proyek Strategis Nasional dan pengadaan Badan Usaha mitra penyiapan yang dilakukan menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota dengan bantuan Badan Usaha/ lembaga/institusi/organisasi internasional, dapat dibebankan kepada Badan Usaha pemenang pemilihan baik sebagian atau seluruhnya. (4) Pembebanan biaya penyiapan proyek Strategis Nasional dengan bantuan Badan Usaha atau lembaga/ institusi/organisasi internasional dibayarkan dengan tata cara:

    39. pembayaran secara berkala (retainer fee);

    40. pembayaran secara penuh (lump sum);

    41. gabungan pembayaran secara berkala dan secara penuh; dan/atau

    42. tata cara lain yang disepakati antara menteri/ kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota dengan Badan Usaha/lembaga/institusi/ organisasi internasional. Pasal 22 (1) PJPK men5rusun prastudi kelayakan dan studi kelayakan atas penyediaan proyek Strategis Nasional yang akan dibangun. (21 Dalam hal pembiayaan Proyek Strategis Nasional bersumber dari APBN dan/atau APBD, pen)rusunan prastudi kelayakan dan studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal pembiayaan Proyek Strategis Nasional bersumber dari pembiayaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, prastudi kelayakan dan studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menghasilkan kesimpulan paling sedikit meliputi:

    43. sumber pembiayaan;

    44. identifikasi kerangka kontraktual, pengaturan, dan kelembagaan;

    45. kelayakan finansial dan ekonomi;

    46. rancangan kerja sama dari aspek teknis;

    47. usulan dukungan pemerintah dan Jaminan Pemerintah yang diperlukan ;

    48. identifikasi risiko dan rekomendasi mitigasi, serta pengalokasian risiko tersebut; t g. bentuk pengembalian investasi Badan Usaha Pelaksana; dan

    49. kelembagaan dan hukum. Pasal 23 (1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wati kota menyiapkan perjanjian kerja sama untuk Proyek Strategis Nasional. (2) Bentuk dan isi perjanjian kerja sama untuk proyek Strategis Nasional yang pembiayaannya berasal dari APBN/APBD dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (3)

      Bentuk dan isi perjanjian kerja sama untuk proyek Strategis Nasional yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling sedikit memuat:

    50. lingkup pekerjaan;

    51. jangka waktu;

    52. jaminan pelaksanaan;

    53. tarif dan mekanisme penyesuaiannya;

    54. hak dan kewajiban termasuk alokasi risiko;

    55. standar kinerja pelayanan;

    56. pengalihan saham sebelum infrastruktur beroperasi secara komersial;

    57. sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi ketentuan perjanjian;

    58. pemutusan atau pengakhiran perjanjian kerja sama;

    59. status kepemilikan aset;

    60. mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur secara berjenjang, meliputi musyawarah mufakat, mediasi, dan arbitrase;

    61. mekanisme pengawasan kinerja Badan Usaha Pelaksana dalam melaksanakan pengadaan;

    62. mekanisme perubahan pekerjaan dan/atau layanan;

    63. mekanisme hak pengambilalihan oleh pemerintah dan pemberi pinjaman; o' penggunaan dan kepemilikan aset infrastruktur dan/atau pengelolaannya kepada pJpK;

    64. pengembalian aset infrastruktur dan/atau pengelolaannya kepada pJpK; ' q. keadaan memaksa;

    65. pernyataan dan jaminan para pihak bahwa perjanjian kerja sama sah dan mengikat para pihak dan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;

    66. penggunaan bahasa dalam perjanjian kerja sama, yaitu Bahasa Indonesia atau apabila diperiukan dapat dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (sebagai terjemahan resmi/ olfi.cial translation), serta menggunakan Bahasa Indonesia dalam penyelesaian perselisihan di wilayah hukum Indonesia;

    67. hukum yang berlaku, yaitu hukum Indonesia; dan

    68. jaminan untuk tidak melakukan nasionalisasi. Bagian Kedua Pemanfaatan Bersama Aset BUMN Pasal 24 (1) PJPK mengidentifikasi potensi persinggungan pembangunan Proyek Strategis Nasional dengan aset BUMN. (21 Dalam hal pembangunan Proyek Strategis Nasional terdapat persinggungan dengan aset BUMN, pJpK menyiapkan pembiayaan yang terbatas hanya untuk:

    69. pembayaran sewa;

    70. pembongkaran dan pemindahan sebagian fasilitas aset BUMN; dan

    71. rehabilitasi aset BUMN. (3) Penilaian atas kelayakan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh penilai sebagai dasar pembayaran oleh PJPK.

      (4)

      Dalam hal pembangunan proyek Strategis Nasional terdapat persinggungan dengan aset BUMN, pJpK bersama dengan BUMN menetapkan standar pelayanan (seruice leuel agreement) mengenai pemeliharaan dan operasional atas pemanfaatan bersama aset BUMN. (5) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara melakukan pembinaan dan pengawasan atas peraturan direksi BUMN mengenai pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pelaksanaan standar pelayanan (seruice leuel agreemenf,) pemanfaatan bersama aset BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Dalam hal penetapan nilai harga dan standar pelayanan (seruice leuel agreement) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, Menteri melakukan koordinasi untuk menetapkan standar pelayanan (seruice leuel agreement). BAB IV KEMUDAHAN TRANSAKSI Bagian Kesatu Umum Pasal 25 Transaksi penyediaan infrastruktur pada proyek Strategis Nasional yang pembiayaannya bersumber dari APBN dan/atau APBD ditakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 26 Transaksi penyediaan infrastruktur pada proyek Strategis Nasionai yang pembiayaannya bersumber dari pembiayaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terdiri atas kegiatan:

    72. pengadaan .

    73. pengadaan Badan Usaha Pelaksana;

    74. penandatangananperjanjian; dan

    75. pemenuhan pembiayaan. Bagian Kedua Pengadaan Badan Usaha Pelaksana Pasal 27 (1) Pengadaan Badan Usaha Pelaksana dalam rangka Proyek Strategis Nasional dilaksanakan setelah diperoleh penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. (2) Pengadaan Badan Usaha Pelaksana dilakukan setelah menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota selaku PJPK menyelesaikan penyiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. Pasal 28 (1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota selaku PJPK membentuk panitia pengadaan Badan Usaha Pelaksana. (21 Menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota selaku PJPK dapat membentuk tim teknis (probity aduisor) dalam pelaksanaan pengadaan Badan Usaha Pelaksana. Bagian Ketiga Proyek Atas Prakarsa Pemerintah Pasal 29 (1) Pengadaan Badan Usaha Pelaksana pada proyek yang diprakarsai oleh Pemerintah dapat dilakukan melalui pemilihan Panel Badan Usaha. (21 Pengadaan Badan Usaha Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kemampuan teknis, pengalaman, dan keuangan calon Badan Usaha Pelaksana. (3) Pemilihan Badan Usaha Pelaksana dalam Panel Badan Usaha dilakukan berdasarkan penilaian teknis melalui seleksi dalam Panel Badan Usaha oleh kelompok kerja. (4) Dalam hal terdapat 1 (satu) calon Badan Usaha Pelaksana yang menyampaikan penawaran, menteri/ kepala lembaga menetapkan calon Badan Usaha Pelaksana sebagai pemenang setelah dilakukan penilaian teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Badan Usaha Pelaksana diatur dengan peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebijakan pengadaan barang I ^jasa ^pemerintah. Bagian Keempat Proyek Atas Prakarsa Badan Usaha Pasal 30 (1) Pengadaan Badan Usaha Peiaksana pada proyek yang diprakarsai oleh Badan Usaha dilakukan dengan memberikan right to match kepada Badan Usaha pemrakarsa. (21 Pemberian right to match sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memberikan kesempatan kepada Badan Usaha pemrakarsa untuk meningkatkan atau memperbaharui proposal awal atas proyek prakarsa Badan Usaha.

      (3)
      (4)
      (2)

      Dalam hal Badan Usaha pembanding menyampaikan penawaran kurang dari 8O%o (delapan puluh persen) dari nilai proposal penawaran yang disampaikan Badan Usaha pemrakarsa, Badan Usaha pembanding menyerahkan jaminan penawaran sebesar 3% (tiga persen) sampai dengan S% (tima persen) dari nilai proposal penawaran Badan Usaha pemrakarsa. Ketentuan mengenai tata cara pengadaan Badan Usaha meialui pemberian ight to match sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Pasal 31 PJPK dapat memberikan hak eksklusif kepada Badan Usaha pemenang pengadaan untuk mengembangkan studi kelayakan dan dokumen pendukung yang diajukan oleh pemrakarsa setelah penetapan sebagai Badan Usaha Pelaksana. Bagian Kelima Pemenuhan Pembiavaan (1) Pasal 32 Dalam jangka waktu paling lama 9 (sembilan) bulan setelah Badan Usaha pelaksana menandatangani perjanjian, Badan Usaha pelaksana harus tetah memperoleh pembiayaan untuk pelaksanaan proyek Strategis Nasionai. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh menteri/t<epala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota selaku pJpK apabila kegagaian memperoleh pembiayaan bukan disebabkan oleh kelalaian Badan Usaha pelaksana, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota.

      (3)

      Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    76. keadaan kahar;

    77. terjadi perubahan kebijakan pemerintah;

    78. perubahan desain;

    79. terhambatnya pembebasan lahan; dan/atau

    80. pertimbangan lain yang dianggap krusial. (+) Perpanjangan jangka waktu oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota selaku pJpK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan paling lama 3 (tiga) bulan. (5) Dalam hai perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk kedua kalinya, menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota selaku PJPK harus mendapatkan persetujuan Menteri. (6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dipenuhi oleh Badan Usaha Pelaksana, perjanjian berakhir dan jaminan pelaksanaan berhak dicairkan oleh menteri/ kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota. Pasal 33 (1) Pemenuhan pembiayaan yang bersumber dari pinjaman dinyatakan terlaksana apabila:

    81. ditandatangani perjanjian pinjaman untuk membiayai seluruh konstruksi pada proyek Strategis Nasional; dan

    82. pinjaman pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf a, sebagian dicairkan untuk memulai tahapan pekerjaan konstruksi.

      (2)

      Dalam hal pembiayaan proyek Strategis Nasional terbagi dalam beberapa tahapan, pemenuhan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan terlaksana apabila:

    83. ditandatangani perjanjian pinjaman untuk membiayai salah satu tahapan konstruksi pada Proyek Strategis Nasional; dan

    84. pinjaman pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sebagian dicairkan untuk memulai tahapan pekerjaan konstruksi. BAB V KEMUDAHAN KONSTRUKSI (1) Pasal 34 PJPK melakukan pengendalian atas pelaksanaan konstruksi Proyek strategis Nasional seiuai dengan ruang lingkup yang tertuang dalam perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 23. Pengendalian atas pelaksanaan konstruksi proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan dan memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan. Kementerian/lembaga men)rusun standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan untuk setiap konstruksi proyek strategii Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangan masing-masing.

      (2)
      (3)

      Pasal 35 Penyedia pekerjaan konstruksi wajib mengajukan permohonan uji kelaikan konstruksi kepada menteri/ ]<ep3la ^lembaga ^teknis paling lambat ^30 ^(tiga puluh) hari kalender sebelum dilakukannya ".r"h ierima tahap pertama (prouisional hand. orer).

      (1)
      (2)

      Kementerian/lembaga wajib mengeluarkan sertifikat kelaikan fungsi konstruksi yang mengajukan permohonan uji kelaikan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan sesuai dengan kewenangan masing- masing. (3) Sertifikat kelaikan fungsi konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai dasar pengoperasian dan pemeliharaan konstruksi sesuai dengan fungsi konstruksi. (4) Ketentuan mengenai penerbitan sertifikat kelaikan fungsi konstruksi dilakukan sesuai dengan kewenangan masing-masing. BAB VI OPERASI DAN PEMELIHARAAN Pasal 36 (1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota wajib men5rusun rencana pengoperasian dan pemeliharaan Proyek Strategis Nasional yang dananya bersumber dari APBN/APBD. (21 Rencana pengoperasian dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

    85. rencana bisnis atau rencana kerja; dan

    86. rencana anggaran. Pasal 37 (1) PJPK wajib menyelesaikan inventarisasi dan rencana pengelolaan aset paling lama 6 (enam) bulan sebelum perjanjian kerja sama berakhir. (2) Penilaian aset dan penyerahan aset hasil kerja sama dilakukan secara proporsional sesuai dengan perjanjian kerja sama. ' (3) Penyerahan aset hasil kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui percepatan peralihan menjadi aset barang milik negarafbarang milik daerah. (4) PJPK bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara melakukan percepatan peralihan aset hasil kerja sama ' untuk dicatatkan sebagai barang milik negaralbarang milik daerah setelah dilakukan penyerahan aset hasil kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 38 (1) Pengelolaan barang milik negaraf barang milik daerah yang telah selesai masa pemeliharaannya oleh penyedia dan/atau telah berakhirnya masa perjanjian kerja sama dengan Badan Usaha ^pelaksana dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota dapat melakukan kerja sama dengan Badan Usaha dalam pengoperasian dan/atau pemeliharaan infrastruktur setelah masa pemeliharaan oleh penyedia selesai atau perjanjian kerja sama berakhir dengan tetap memperhatikan:

    87. kapasitas keuangan negaraf keuangan daerah untuk pengoperasian dan/atau pemeliharaan barang milik negaraf barang milik daerah;

    88. peningkatan kapasitas, pengembangan, dan/atau optimasi barang milik negarafbarang milik daerah; dan/atau

    89. dukungan operasional dan/atau pemeliharaan barang milik negara/barang milik daerah. BAB VII KEMUDAHAN PENGADAAN DALAM RANGKA PROYEK STRATEGIS NASIONAL Bagian Kesatu Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah Pasal 39 (1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota melaksanakan percepatan pengadaan barangf jasa dalam rangka pelaksanaan proyek Strategis Nasional. (2) Percepatan pengadaan barang/jasa proyek Strategis Nasional dilakukan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota dengan ketentuan sebagai berikut:

    90. pengadaan langsung dapat dilakukan terhadap pengadaan jasa konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

    91. penunjukan langsung dapat dilakukan kepada lembaga keuangan internasional yang melakukan kerja sama dengan kementerian/lembaga, atau Pemerintah Daerah dalam rangka penyiapan Proyek Strategis Nasional;

    92. dapat dilakukan penunjukan 1angsung pating banyak 2 (dua) kali kepada penyedia , jasa konsultansi yang telah melaksanakan kontrak sejenis dengan kinerja baik pada kementerianf lembaga, atau Pemerintah Daerah bersangkutan untuk pengadaan jasa konsultansi yang rutin;

    93. dapat dilakukan penunjukan langsung paling banyak 2 (dua) kali kepada penyedia barang/jasa lainnya yang telah melaksanakan kontrak sejenis dengan kinerja baik pada kementerian/lembaga, atau Pemerintah Daerah bersangkutan;

      (3)

      Dalam hal pelaksanaan kontrak tidak selesai sampai dengan akhir tahun anggaran akibat kesalahan kementerian/lembaga atau pemerintah Daerah, kontrak dapat dilanjutkan dengan menyediakan anggaran kementerian/lembaga atau pemerintah Daerah untuk tahun anggaran berikutnya. Bagian Kedua Panel Konsultan Pasal 40 (1) Dalam rangka percepatan penyediaan jasa konsultansi dalam pelaksanaan proyek Strategis Nasional, menteri/kepala lembaga membentuk panel Konsultan. (2) Pen5rusunan daftar panel Konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui seleksi. (3) Panel Konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah paling sedikit 5 (lima) calon penyedia jasa konsultansi. (4) Pemilihan konsultan dalam daftar panel Konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui seleksi dalam ^panel Konsurian uniuk penilaian teknis berdasarkan kesesuaian bidang proyek. (5) calon penyedia jasa konsultansi sebagai bagian dari Panel Konsultan dipilih dan ditetapkan oleh menteri/ kepala lembaga. Pasal 4 1 (1) Menteri/kepala lembaga melaksanakan penandatanganan kontrak payung (Jramework contract) untuk pengikatan calon penyedia jasa konsultansi sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (5) selama jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.

      (2)

      Menteri/kepala lembaga dapat mendelegasikan kewenangan pemilihan dan penetapan daftar panel Konsultan kepada pejabat tinggi madya di lingkungan kementerian/ lembaga masing-masing. (3) Menteri/kepala lembaga melakukan evaluasi terhadap calon penyedia jasa konsultansi yang terdapat dalam kontrak payung fframework contract) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun selama masa kontrak payung fframework contract). (4) Menteri melakukan evaluasi dan pembinaan terhadap kebijakan dan pelaksanaan ^panel Konsultan. (5) Ketentuan tata cara seleksi dan penetapan panel Konsultan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Bagian Ketiga Panel Badan Usaha Pasal 43 Dalam hal Badan Usaha selaku pemrakarsa proyek Strategis Nasional tidak terdapat dalam Panel Badan Usaha, pemilihan Badan Usaha Pelaksana dilakukan melalui seleksi dalam Panel Badan Usaha untuk penilaian teknis dengan peserta yang terdapat dalam Panel Badan Usaha ditambah Badan Usaha pemrakarsa. Pasal 44 (1) Menteri/kepala lembaga melaksanakan penandatanganan kontrak payung fframeutork contract) untuk pengikatan calon Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 selama jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Menteri/kepala lembaga dapat mendelegasikan kewenangan pemilihan dan penetapan daftar panel Badan Usaha kepada pejabat tinggi madya di lingkun gan kemen terian I ^lembaga ^masing- masin ^g. (3) Menteri/kepala lembaga melakukan evaluasi terhadap calon Badan Usaha yang terdapat dalam kontrak payung (Jramework contracfl sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun selama masa kontrak payung (framew ork contract). (4) Menteri melakukan evaluasi dan pembinaan terhadap kebijakan dan pelaksanaan Panel Badan Usaha. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Panel Badan Usaha diatur dengan peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. BAB VIII PENANGANAN DAMPAK SOSIAL Pasal 45 Menteri/kepala lembaga, gubernur, d,anfatau bupati/wali kota menyiapkan program dan anggaran untuk penanganan dampak sosial bagi masyarakat terdampak langsung atas pelaksanaan proyek Strategis Nasional. (2) Program. (1) BAB IX PENYELESAIAN PERMASALAHAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL PRE S I DEN REPUBLIK INDONESIA (21 Program dan anggaran untuk penanganan dampak sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dan/atau keuangan daerah. (3) Dalam hal kemampuan keuangan negara dan/atau keuangan daerah tidak memadai, Badan Usaha dapat membantu penyediaan anggaran untuk penanganan dampak sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Menteri meiakukan koordinasi untuk menetapkan dan menyetujui program dalam rangka pelaksanaan penanganan dampak sosiai sebagaimana dimaksud pada ayat (21. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penanganan dampak sosial dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional.

      (2)

      Dalam hal laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia meneruskan/menyampaikan laporan masyarakat tersebut kepada menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota untuk dilakukan pemeriksaan dan tindak lanjut penyelesaian atas laporan masyarakat tersebut dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak laporan masyarakat diterima. (3) Menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota memeriksa laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik yang diterima oleh kementerian/lembaga bersangkutan ataupun laporan yang diteruskan Kejaksaan Repubiik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2t. (4) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang, menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota meminta Aparat pengawasan Intern Pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. (5) Hasil pemeriksaan Aparat pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayai (4) dapat berupa: a- kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara; kesalahan administrasi kerugian negara; atau yang menimbulkan tindak pidana yang bukan bersifat administratif. b c (6) Dalam (6) Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa kesalahan administrasi ^yang tidak menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, ^penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari keda sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan. (7) Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa kesalahan administrasi ^yang menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan pengembalian kerugian negara dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan. (8) Penyelesaian hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) disampaikan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja. (9) Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa tindak pidana yang bukan bersifat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja menyampaikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BABX. BAB X PELAPORAN Pasal 47 (1) PJPK dan pemangku kepentingan terkait lainnya wajib memberikan informasi secara langsung mengenai perkembangan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional kepada Menteri. (21 Penyampaian informasi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan dalam bentuk fisik dan/atau bentuk digital. (3) Penyampaian informasi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan setiap 3 ^(tiga) bulan dan/atau sewaktu-waktu diperlukan. Pasal 48 (1) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan Proyek Strategis Nasional berdasarkan informasi dari PJPK dan pemangku kepentingan terkait lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47. (2) Menteri melaporkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden paling sedikit 1 (satu) kali daiam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu diperlukan. BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 49 Dalam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak ^jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan terkait dengan pelaksanaan kemudahan Proyek Strategis Nasional. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN

      Pasal 50

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    94. Proyek Strategis Nasional yang dalam tahap perencanaan danf atau tahap penyiapan sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah ini;

    95. Proyek Strategis Nasional yang dalam penyelesaian tahap transaksi dan/atau telah menyelesaikan tahap transaksi sebelum diundangkannya peraturan Pemerintah ini; atau

    96. Proyek Strategis Nasional yang dalam penyelesaian tahap konstruksi dan/atau perjanjian sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, tetap dilanjutkan dengan menyesuaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 51 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20L6 Nomor 4) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 1O9 Tahun 2O2O tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor S Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2o2o Nomor 259), dan peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 52 Peraturan Pemerintah ini mulai diundangkan. berlaku pada tanggal Agar Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2l JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2O2l MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2O2I TENTANG KEMUDAHAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL I. UMUM Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional merupakan upaya dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan ^Pancasila ^dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun ^1945, ^dengan menitikberatkan pada pembangunan fisik dan nonfisik ^yang ^mempunyai peran penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pendekatan pembangunan infrastruktur kewilayahan. Selain berperan dalam mendukung berbagai bidang ^pembangunan, Proyek Strategis Nasional ^juga berperan dalam mendukung ^pertumbuhan dan perkembangan berbagai industri barang dan ^jasa serta menciptakan ruang pekerjaan bagi masyarakat luas ^guna mendukung ^peningkatan perekonomian dan kesejahteraan nasional. Dalam upaya tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan dan langkah- langkah strategis melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun ^2O2O tentang Cipta Kerja, yang dalam implementasinya memerlukan keterlibatan semua pihak terkait, untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas ^penghidupan yang layak, melalui percepatan Proyek Strategis Nasionai. Dalam penyelesaian Proyek Strategis Nasional, regulasi dan institusi masih menjadi hambatan paling utama disamping hambatan fiskal, infrastruktur, dan sumber daya manusia. Regulasi yang ada dianggap belum dapat mendukung penciptaan dan pengembangan usaha, bahkan cenderung membatasi pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Sehingga diperlukan regulasi yang memberikan fasilitas kemudahan dalam percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional pada tahapan perencanaan, penyiapan, transaksi, konstruksi, serta kemudahan dalam operasional dan pemeliharaan dari Proyek Strategis Nasionai dimaksud, termasuk di dalamnya kemudahan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah untuk mendukung Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Kemudahan . Kemudahan Proyek Strategis Nasional dimaksud akan memberikan kepastian dalam keberlanjutan penyelesaian Proyek Strategis Nasional, sehingga pelaku usaha memiliki kepastian penghitungan waktu dan biaya atas pengembalian investasi yang diberikan dalam pembangunan Proyek Strategis Nasional. Selain itu, kemudahan dalam tahapan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional memberikan kepastian pembagian risiko dan pembagian tugas dalam setiap tahapan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, termasuk jaminan tidak dilakukannya nasionalisasi atas Proyek Strategis Nasional yang sedang dalam masa konsesi dengan Badan Usaha Pelaksana. Daiam kaitannya dengan pengadaan Badan Usaha Pelaksana dalam Proyek Strategis Nasional, dilakukan pula relaksasi dalam pengadaannya melalui Panel Badan Usaha dan seleksi dalam Panel Badan Usaha. Kedua metode tersebut dilakukan tanpa mengurangi persaingan usaha yang sehat dan kompetisi antara Badan Usaha, guna mendapatkan Badan Usaha Pelaksana yang memiliki kemampuan teknis dan finansial yang layak untuk penyelesaian Proyek Strategis Nasional. Selain itu, pendekatan lain dalam Kemudahan Proyek Strategis Nasional dilakukan terhadap kemampuan Proyek Strategis Nasional berperan sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi kewilayahan melalui integrasi infrastruktur sebagai sebuah sistem kesinambungan rantai pasok dan ketersediaan sistem logistik bagi peningkatan ekonomi kewilayahan, dan pemberdayaan tenaga lokal melalui padat karya sebagai salah satu bentuk penanganan dampak sosial atas pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Terkait pengelolaan barang milik negara/barang milik daerah pasca penyelesaian masa konstruksi dan/atau masa konsesi juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan barang milik negaraf barang milik daerah guna menjaga keberlanjutan operasional dan pemeliharaan serta mempertahankan nilai barang milik negaralbarang milik daerah. II. PASAL DEMI PASAL

      Pasal 1

      Cukup jelas.


      Pasal 2

      Cukup jelas.


      Pasal 3

      Cukup ^jelas.


      Pasal 4
      Pasal 4

      Cukup ^jelas.



      Pasal 5

      Cukup ^jelas.


      Pasal 6

      Cukup ^jelas.


      Pasal 7

      Cukup ^jelas.


      Pasal 8

      Cukup ^jelas.


      Pasal 9

      Cukup jelas.


      Pasal 10

      Cukup ^jelas. Pasal i 1 Cukup ^jelas.


      Pasal 12

      Ayat (1) Yang dimaksud dengan "rencana induk sektor" contohnya antara lain Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik, Rencana Induk Perkeretaapian, Rencana Induk Kepelabuhanan, dan Rencana Induk/ Tatanan Kebandarudaraan. Ayat (2) Cukup jelas.


      Pasal 13

      Cukup ^jelas.


      Pasal 14

      Ayat (1) Bentuk pembiayaan lain yang sah melalui kerja sama namun tidak terbatas pada:


    97. kerja sama dalam penyediaan pelayanan publik, seperti Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI), Kerja Sama Daerah dengan Pihak Ketiga (KSDPK), dan Land Value Caphtre (LVC);

    98. kerja sama dalam optimasi barang milik negaralbarang milik daerah, serta aset BUMN dan bentuk lainnya Hak Pengelolaan Terbatas (HPT);

    99. kerja sama dalam meningkatkan pendapatan negara danl atau daerah, seperti sewa; dan

    100. kerja sama lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas.

      Pasal 15

      Cukup ^jelas.


      Pasal 16

      Cukup ^jelas.


      Pasal 17

      Ayat (1) Dokumen pendukung atas Proyek Strategis Nasional yang diusulkan terdiri atas:


    101. dokumen prastudi kelayakan;

    102. lembar ringkasan dari dokumen prastudi kelayakan;

    103. surat pernyataan persetujuan prinsip dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan Pemerintah, apabila diperlukan; dan

    104. dokumen . d dokumen perencanaan, dalam hal proyek belum diusulkan dalam daftar rencana KPBU. Pasal PasaI Pasal Ayat (2) Cukup ^jelas Ayat (3) Cukup ^jelas Ayat (a) Cukup jelas 18 Cukup ^jelas. 19 Cukup ^jelas. 20 Ayat (1) Cukup ^jelas Ayat (2) Cukup ^jelas Ayat (3) Koordinasi yang dimaksud dalam ketentuan ini meliputi:

    105. melakukan pembahasan untuk penyiapan dan pelaksanaan transaksi proyek kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur;

    106. menentukan prioritas proyek yang akan mendapatkan PDF dengan berpedoman pada tata cara, mekanisme, kriteria sebagaimana ketentuan yang beriaku; dan

    107. menyampaikan surat daftar prioritas proyek yang akan mendapatkan PDF. Ayat (a) Cukup jelas. Pasal 2 1 Cukup jelas.

      Pasal 22

      PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA


      Pasal 22

      Cukup ^jelas.


      Pasal 23

      Cukup jelas.


      Pasal 24

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pembayaran sewa sebagaimana dimaksud dikenakan selama masa pembangunan dan/atau selama masa konsesi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.


      Pasal 25

      Cukup jelas.


      Pasal 26

      Cukup jelas.


      Pasal 27

      Cukup jelas.


      Pasal 28

      Cukup jelas.


      Pasal 29

      Cukup jelas.


      Pasal 30

      Cukup jelas.


      Pasal 31

      Cukup jelas.


      Pasal 32

      Cukup jelas.


      Pasal 33

      Cukup jelas.


      Pasal 34

      Cukup ^jelas.


      Pasal 35

      Cukup jelas.


      Pasal 36

      Cukup jelas.


      Pasal 37

      Cukup jelas.


      Pasal 38

      Cukup jelas.


      Pasal 39

      Cukup jelas.


      Pasal 40

      Cukup jelas.


      Pasal 41

      Cukup jelas. Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal 42 Cukup jelas. 43 Cukup ^jelas. 44 Cukup ^jelas. 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "masyarakat terdampak langsung" antara lain:


    108. masyarakat yang menguasai tanah negara atau tanah yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, atau badan usaha milik daerah;

    109. masyarakat yang memiliki hak atas tanah; atau

    c. masyarakat yang mengalami kerugian secara langsung dan terukur. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. 46 Cukup ^jelas. 47 Cukup jelas. 48 Pasal 49 Cukup ^jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6654

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):