Penyelenggaraan Bidang Penerbangan

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat Menetapkan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2O2I TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 58 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 1I Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan;

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO9 tentang Penerbangan (lrmbaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor a956);

  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (L,embaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573; MEMUTUSKAN: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PENERBANGAN. BAB I BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat ^yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk Penerbangan. Pesawat Terbang adalah Pesawat Udara yang ^lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat ^terbang dengan tenaga sendiri. Helikopter adalah Pesawat Udara yang lebih ^berat ^dari udara, bersayap putar yang rotornya digerakkan ^oleh mesin. Pesawat Udara Indonesia adalah Pesawat Udara ^yang mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan ^tanda kebangsaan Indonesia. Pesawat Udara Sipil adalah Pesawat Udara ^yang digunakan untuk kepentingan ^Angkutan ^Udara ^Niaga dan bukan niaga. Pesawat Udara Sipil A ing adalah ^Pesawat ^Udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan ^udara ^niaga dan bukan niaga yang mempunyai ^tanda ^pendaftaran dan tanda kebangsaan negara ^asing. Kelaikudaraan adalah terpenuhinya ^persyaratan desain tipe Pesawat Udara dan dalam kondisi ^aman untuk beroperasi. 9.Angkutan... 1 2 3 4 5 6 7 8 9. Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan Pesawat Udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau iebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. 10. Angkutan Udara Niaga adalah Angkutan Udara untuk umum dengan memungut pembayaran. 11. Angkutan Udara Bukan Niaga adalah Angkutan Udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang Angkutan Udara. 12. Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan Angkutan Udara Niaga untuk melayani Angkutan Udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 13. Angkutan Udara Luar Negeri adalah ^kegiatan Angkutan Udara Niaga untuk melayani ^Angkutan Udara dari satu bandar udara di da-larn ^negeri ^ke bandar udara lain di luar wilayah Negara ^Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya. 14. Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan ^Angkutan Udara Niaga dalam negeri ^yang melayani ^jaringan ^dan Rute Penerbangan untuk menghubungkan ^daerah terpencil dan tertinggal atau daerah ^yang ^belum terlayani oieh moda transportasi lain dan ^secara komersial belum menguntungkan. 15. Rute Penerbangan adalah lintasan ^Pesawat ^Udara ^dari bandar udara asal ke bandar udara ^tujuan ^melalui jalur Penerbangan yang telah ditetapkan. 16. Badan Usaha Angkutan Udara ^adalah badan ^usaha milik negara, badan usaha milik ^daerah, ^atau -badan hukum Indonesia berbentuk ^perseroan ^terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya ^mengoperasikan Pesawat Udara untuk digunakan ^mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran. SK itlo 093232 A 17. Tanggung -+ 77. Tanggung Jaw b Pengangkut adalah kewajiban perusahaan Angkutan Udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. 18. Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh Pesawat Udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama Penerbangan, barang bawaan, atau barang yang tidak bertuan. 19. Pengangkut adalah Badan Usaha Angkutan Udara Niaga, pemegangizin kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga yang melakukan kegiatan Angkutan Udara Niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini, dan/atau badan usaha selain Badan Usaha Angkutan Udara Niaga yang membuat kontrak ^perjanjian Angkutan Udara Niaga. 20. Tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui ^proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya ^perjanjian ^Angkutan Udara antara penumpang dan Pengangkut, ^dan ^hak penumpang untuk menggurtakan Pesawat Udara atau diangkut dengan Pesawat Udara. 21. Keterlambatan adalah terjadinya ^perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan ^yang dijadwalkan dengan realisasi waktu ^keberangkatan atau kedatangan. 22. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu ^yang berkaitan dengan penyelenggaraan ^bandar udara ^dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan ^fungsi keselamatan, keamanan, kelancaran, ^dan ^ketertiban arus lalu lintas Pesawat Udara, ^penumpang, ^Kargo dan/atau pos, tempat ^perpindahan intra ^dan/atau antarmoda serta meningkatkan ^pertumbuhan ekonomi nasiona] dan daerah.


  4. Tatanan 23. Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah sistem Kebandarudaraan secara nasional yang menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antarmoda tran sportasi, kelestarian lin gkun gan, ke s elamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya. 24. Bandar Udara ada-lah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat Pesawat Udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya. 25. Bandar Udara Khusus adalah Bandar Udara ^yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya. 26. Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan ada-lah wilayah daratan danf atau perairan serta ruang udara di sekitar Bandar Udara yang digunakan untuk kegiatan operasi Penerbangan dalam rangka menj amin keselamatan penerbangan. 27 . Badan Usaha Bandar Udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan Bandar Udara untuk pelayanan umum. 28. Unit Penyelenggara Bandar Udara adalah lembaga pemerintah di Bandar Udara yang bertindak sebagai penyelenggara Bandar Udara yang memberikan ^jasa pelayanan Kebandarudaraan untuk Bandar I-ldara yang belum diusahakan secara komersial. BAB II PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP BANDAR UDARA Pasa-l 2 Pembangunan Bandar Udara dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Menteri yang mengacu pada pedoman teknis yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung.

    Pasal 3

    Pembangunan Bandar Udara yang diprakarsai oleh Pemerintah Pusat, anggaran pembangunan Bandar Udara ditetapkan sesuai dengan rnekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. Pasa-l 4 Dalam Pembangunan Bandar Udara wajib memenuhi ketentuan:

    1. melaksanakan pekerjaan pembangunan Bandar Udara sesuai dengan rencana induk Bandar Udara;

    2. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan Bandar Udara yang bersangkutan;

    3. menaati peraturan perundang-undangan di bidang Keselamatan dan Keamanan Penerbangan serta pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

    4. memberikan akses terhadap pelaksanaan pengawasan dalam pembangunan Bandar Udara;

    5. melaporkan e BAB III KELAIKUDARAAN DAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA


    Pasal 5

    f melaporkan pelaksanaan kegiatan pembangunan Bandar Udara secara berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri, gubernur, danf atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya; dan melaporkan hasil pembangunan Bandar Udara kepada Menteri setelah selesainya pembangunan Bandar Udara.

    (1)

    Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, dan baling- baling Pesawat Terbang yang akan dibuat untuk digunakan secar sah harus memiliki rancang bangun. (21 Rancang bangun Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, dan baling-baling. Pesawat .Terbang sebagaimana di aksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Menteri. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian sesuai dengan standar Kelaikudaraan. Pasal 6 (1) Setiap Orang yang melakukan kegiatan rancang bangun Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, dan baling-baling Pesawat Terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus mengacu pada standar rancang bangun yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Dalam hal rancang bangun Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, dan baling-baling Pesawat Terbang yang akan diproduksi, harus dilakukan oleh badan hukum yang telah mendapat sertifikat organisasi ranca.ng baqgun dari Menteri.

    (3)

    Sertifikat organisasi rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diberikan setelah memenuhi persyaratan paling sedikit:

    1. menyerahkan aplikasi sertifikasi organisasi rancang bangun;

    2. memiliki surat izin usaha untuk pemohon dalam negeri;

    3. memiliki sertifikat organisasi rancang bangun dari otoritas nega_ra asal untuk aplikan luar negeri;

    4. memiliki organisasi, prosedur kerja dan sumber daya manusia yarlg memadai; dan

    5. menyelesaikan 5 (lima) fase sertifikasi. Pasal 7 (1) Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, atau baling- baling Pesawat Terbang yang dibuat berdasarkan rancang bangu4 untuk diproduksi, harus memiliki sertifikat tipe yang diterbitkan oleh Menteri. (2) Sertifikat tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pemeriksaan kesesuaian terhadap standar Kelaikudaraan rancang bangun dan telah memenuhi uji tipe. (3) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:

    6. pengujian rangka;

    7. pengujian mesin;

    8. pengujian fungsi sistem di darat;

    9. pengujian fungsi sistem di udara; dan

    10. pengujian kemampuan terbang. Pasal 8 (1) Setiap Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, dan baling-baling Pesawat Terbang yang dirancang dan diproduksi di luar negeri dan diimpor ke Indonesia harus mendapat sertifikat validasi tipe yang diterbitkan oleh Menteri. (21 Sertifikat validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedanjian antarnegara di bidang Kelaikudaraan. (3) Sertifikat validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah lulus pemeriksaan untuk memastikan kesesuaian persyaratan terhadap standar Kelaikudaraan rancang bangun di Indonesia dan telah memenuhi uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). (41 Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi:

    11. surat rek endasi dari otoritas negara asal;

    12. sertifikat tipe dan lembar data sertifikat tipe yang dikeluarkan oleh otoritas negara asal; dan

    13. dokumen lain yang dibutuhkan daiam proses sertifikasi tipe dan dokumen yang dikeluarkan untuk menjaga keberlangsungan Kelaikudaraan. Pasal 9 (1) Setiap perubahan terhadap rancang bangun Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, atau baling-baling Pesawat Terbang yang telah mendapat sertifika! tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal T harrs mendapat persetujuan dari Menteri. (2) Persetujuan perubahan rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah diiakukan pemeriksaan kesesuaian rancang bangun dan uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).

    (3)

    Perubahan (3) Perubahan rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. persetujuan perubahan;

    2. sertifikat tipe tambahan; atau

    3. amendemen sertifikat tipe. Pasal 1O Ketentuan lebih lanjut mengenai standar Kelaikudaraan, tata cara dan prosedur mendapatkan persetujuan rancang bangun, sertifikat organisasi rancang bangun, sertifikat tipe, sertifikat validasi tipe dan persetujuan perubahan terhadap rancang bangun Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, atau baling-baling Pesawat Terbang diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 1 (1) Setiap badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, dan/atau bating-baling Pesawat Terbang wajib memiliki sertifikat produksi yang diterbitkan oleh Menteri. (2) Untuk memperoleh sertifikat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum Indonesia paling sedikit harus memenuhi persyaratan:

    4. memiliki sertifikat tipe atau rnemiliki lisensi produksi atau memiliki kerja sarna dengan organisasi rancang bangun pembuatan berdasarkan perjanjian dengan pihak lain;

    5. fasilitas dan peralatan produksi;

    6. struktur .

    7. struktur organisasi paling sedikit memiliki unit bidang produksi dan unit kendali mutu;

    8. personel produksi dan kendali mutu yang kompeten;

    9. sistem pemeriksaan produk dan pengujian produksi;

    10. memiliki pedoman sistem manajemen mutu untuk mempertahankan kinerja produksi secara terus menerus; dan

    11. memiliki pedoman sistem manajemen keselamatan. (3) Sertifikat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian yang hasilnya memenuhi standar Kelaikudaraan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata ca_ra dan prosedur untuk memiliki sertifikat produksi diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 12

    Setiap Pesawat Udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran.


    Pasal 13

    Pesawat Udara Sipil yang wajib didaftarkan di Indonesia harus memenuhi ketentuan tidak terdaftar di negara lain dan:

    1. dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia;

    2. dimiliki b dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing dan dioperasikan oieh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya minimal 2 (dua) tahun secara terus- menerus berdasarkan perjanjian ; dimiliki oleh instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, dan Pesawat Udara tersebut tidak dipergunakan untuk misi penegakan hukum; atau dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing yang Pesawat Udaranya dikuasai oleh badan hukum Indonesia berdasarkan suatu perjanjian yang tunduk pada hukum yang disepakati para pihak untuk kegiatan penyimpanan, penyewaan, dan/atau perdagangan Pesawat Udara. Pasal 14 (1) Pendaftaran Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 diajukan oleh pemilik atau yang diberi kuasa dengan persyaratan:

    3. menunjukkan bukti kepemilikan atau penguasaan Pesawat Udara;

    4. menunjukkan bukti penghapusan pendaftaran atau tidak didaftarkan di negara lain;

    5. memenuhi ketentuan persyaratan batas usia Pesawat Udara yang ditetapkan oleh Menteri;

    6. bukti asuransi Pesawat Udara; dan

    7. bukti terpenuhinya persyaratan pengadaan Pesawat Udara. (2) Pesawat Udara yang telah memenrrhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat pendaftaran yang diterbitkan oleh Menteri. (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf e dikecuaLikan untuk pendaftaran Pesawat Udara tanpa awak. C d Pasai 15 PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA


    Pasal 15

    Pesawat Udara yang telah memiliki tanda pendaftaran dapat dihapus tanda pendaftarannya ^jika:

    1. permintaan dari pemilik atau orang perseorangan yang diberi kuasa dengan ketentuan:


  5. telah berakhirnya perjanjian sewa guna usaha;

  6. diakhirinya perjanjian yang disepakati para pihak;

  7. akan dipindahkan pendaftarannya ke negara iain;

  8. rusak totalnya Pesawat Udara akibat kecelakaan;

  9. tidak digunakannya lagi Pesawat Udara;

  10. Pesawat Udara dengan sengaja dirusak atau dihancurkan;

  11. terjadi cedera janji atau wanprestasi oleh penyewa Pesawat Udara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; atau

  12. adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. b. tidak dapat mempertahankan sertifikat Kelaikudaraan secara terus-menerus selama 3 ^(tiga) tahun.

    Pasal 16

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan ^prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 15 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 17 (1) Setiap Pesawat Udara yang dioperasikan wajib memenuhi standar Kelaikud ar aar,. (2) Pesawat Udara yang telah memenuhi standar Kelaikudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) diberi sertifikat Kelaikudaraan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian Kelaikudaraan.


    Pasal 18

    Pasal 18 Sertifikat Kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) terdiri atas:

    1. sertifikat Kelaikudaraarl standar; dan

    2. sertifikat Kelaikudaraan khusus.


    Pasal 19

    Sertifikat Kelaikudaraan standar diberikan untuk Pesawat Terbang kategori transpor, normal, kegunaan, aerobatik, komuter, Helikopter kategori normal dan transpor, kapal udara, balon berpenumpang, dan Pesawat Udara tanpa awak. Pasal 20 (1) Sertifikat Kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 terdiri atas:

    1. sertifikat Kelaikudaraan standar pertama yang diberikan untuk Pesawat Udara pertama kali dioperasikan oleh Setiap Orang; dan

    2. sertifikat Kelaikudaraan standar lanjutan yang diberikan untuk Pesawat Udara setelah sertifikat Kelaikudaraan standar pertama dan akan dioperasikan secara terus menerus. (2) Untuk memperoleh sertifikat Kelaikudaraan standar pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pesawat Udara harus:

    3. memiliki sertifikat pendaftaran yang berlaku;

    4. melaksanakan proses produksi dari rancang bangun, pembuatan komponen, pengetesan komponen, perakitan, pemeriksaan kualitas, dan pengujian terbang yang memenuhi standar dan sesuai dengan kategori tipe Pesawat Udara;

    5. telah diperiksa dan dinyatakan sesuai dengan sertif,rkat tipe atau sertifikat validasi tipe atau sertifikat tambahan validasi Indonesia; dan

    6. memenuhi persyaratan standar kebisingan dan standar emisi gas buang. (3) Untuk memperoleh sertifikat Kelaikudaraan standar lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pesawat Udara harus:

    7. memiliki sertifikat pendaftaran yang masih berlaku;

    8. memiliki sertifikat Kelaikudaraan;

    9. melaksanakan perawatan sesuai dengan standar perawatan yang telah ditetapkan;

    10. telah memenuhi instruksi Kelaikudaraan yang diwajibkan;

    11. memiliki sertifikat tipe tambahan jika terdapat penambahan kem'ampuqn Pesawat Udara;

    12. memenuhi ketentuan pengoperasian; dan

    13. memenuhi ketentuan standar kebisingan dan standar emisi gas buang.


    Pasal 21

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat Kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 22 (1) Setiap Orang yang mengoperasikan Pesawat Udara untuk kegiatan Angkutan Udara wajib memiliki sertifikat yang diterbitkan oleh Menteri.

    (2)

    Sertifikat (2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. sertifikat operator Pesawat Udara, yang diberikan kepada badan hukum Indonesia yang mengoperasikan Pesawat Udara Sipil untuk Angkutan Udara Niaga; atau

    2. sertifikat pengoperasian Pesawat Udara, yang diberikan kepada orang atau badan hukum Indonesia yang mengoperasikan Pesawat Udara Sipil untuk Angkutan Udara Bukan Niaga. Pasal 23 (1) Setiap orang yang mengoperasikan Pesawat Udara tanpa awak untuk kegiatan Angkutan Udara Niaga atau nonniaga wajib memiliki sertifikat pengoperasian Pesawat Udara tanpa awak. (2) Sertifikat pengoperasian Pesawat Udara tanpa awak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat menjadi bagian dari sertifikat operator Pesawat Udara atau sertifikat pengoperasian Pesawat Udara yang telah dimiliki. Pasal 24 Untuk mendapatkan sertifikat operator Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a, harus memenuhi persyaratan:

    3. memiliki Perizinan Berusaha Angkutan Udara Niaga;

    4. memiliki dan menguasai Pesawat Udara dengan jumlah tertentu sesuai dengan Perizinan Berusaha Angkutan Udara Niaga yang dimiliki;

    5. memiliki dan/atau menguasai personel Pesawat Udara yang kompeten dalam jumlah rasio yang memadai untuk mengoperasikan dan melakukan perawatan Pesawat Udara;

    6. memiliki struktur organisasi paling sedikit di bidang operasi, perawatan, keselamatan, dan jaminan kendali mutu;

    7. memiliki personel manajemen yang kompeten yang bertanggung jawab terhadap kegiatan keselamatan, operasi dan perawatan Pesawat Udara serta telah dinyatakan lulus uji kepatutan dan uji kelayakan:

    8. memiliki pedoman organisasi pengoperasian dan pedoman organisasi perawatan;

    9. memiliki program perawatan Pesawat Udara;

    10. memiliki pedoman sistem manajemen mutu untuk mempertahankan kinerja operasi dan teknik secara terus menerus;

    11. memiliki pedoman sistem manajemen keselamatan; dan

    12. memiliki prograrn keamanan Angkutan Udara yang telah mendapat pengesahan.


    Pasal 25

    Untuk memperoleh sertifikat pengoperasian Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf b, harus memenuhi persyaratan :

    1. memiliki perizinan kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga;

    2. memiliki atau menguasai Pesawat Udara;

    3. memiliki darrrlatau menguasai personel operasi Pesawat Udara dan personel ahli perawatan Pesawat Udara;

    4. memiliki standar pengoperasian Pesawat Udara;

    5. memiliki prograrn perawatan Pesawat Udara; dan Pasal 26 (1) Pesawat Udara tanpa a sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 yang wajib memiliki sertifikat pengoperasian Pesawat Udara tanpa awak hanya untuk Pesawat Udara tanpa awak yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Untuk memperoleh sertifikat pengoperasian Pesawat Udara tanpa awak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan:

    6. memiliki Perizinart Berusaha Angkutan Udara Niaga atau perizinart kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga;

    7. memiliki dan/atau menguasai Pesawat Udara tanpa awak dengan jumlah tertentu sesuai dengan yang tertulis di dalam lampiran Perizinan Berusaha atau perizinan kegiatan Angkutan Udara;

    8. memiliki dan/atau menguasai personel operasi Pesawat Udara tanpa awak dan/atau personel ahli perawatan Pesawat Udara tanpa awak;

    9. memiliki standar pengoperasian Pesawat Udara tanpa awak;

    10. memiliki standar perawatan Pesawat Udara tanpa awak; dan

    11. memiliki program keamanan Angkutan Udara mengacu kepada ketentuan prograrn Keamana-n Penerbangan nasional. Pasal 27 (1) Kepemilikan Pesawat Udara dala rangka proses perizinan Angkutan Udara berupa:

    12. pembelian tunai;

    13. pembelian angsuran yang berupa perjaniian jual beli dengan garansi kepemilikan yang disahkan oleh notaris atau pejabat yang berwenang untuk penge sahan perj anj ian ;

    14. sewa c sewa menyewa Pesawat Udara dengan hak opsi untuk membeli yang dibuktikan dengan jaminan dari pemilik bahwa penyewa wajib memiliki pesawat tersebut pada masa akhir sewa yang disahkan oleh notaris;

    15. hibah atau hadiah yang dibuktikan dengan dokumen yang sah; atau

    16. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Penguasaan Pesawat Udara dalam rangka proses perizinan Angkutan Udara berupa:

    17. sewa Pesawat Udara dari pemberi sewa guna usaha luar negeri yang bukan merupakan perusahaan Angkutan Udara atau operator Penerbangan, dalam bentuk perjanjian dry lease dan diregistrasikan;

    18. sewa Pesawat Udara dari perusahaan Angkutan Udara asing dalam bentuk perjanjian dry lease dan diregistrasikan;

    19. sewa Pesawat Udara dari pemberi sewa guna usaha dalam negeri yang bukan merupakan perusahaan Angkutan Udara atau operator Penerbangan dalam bentuk perjanjian dry atau wet lease;

    20. sewa Pesawat Udara dari Badan Usaha Angkutan Udara Niaga nasional lain dalam bentuk perjanjian dry lease; atau

    21. sewa Pesawat Udara dari Badan Usaha Angkutan Udara Niaga nasional lain dalam bentuk perjanjian wet lease, untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan tidak dapat diperpanjang serta wajib mempertahankan jumlah minimal penguasaan Pesawat Udara.


    Pasal 28
    Pasal 28

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator Pesawat Udara, sertifikat pengoperasian Pesawat Udara, dan sertifikat pengoperasian Pesawat Udara tanpa awak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 29 (1) Setiap Orang yang mengoperasikan Pesawat Udara wajib merawat Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, dan komponennya untuk mempertahankan keandalan dan Kelaikud araan secara berkelanjutan. (2) Dalam perawatan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, dan komponennya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang harus membuat program perawatan Pesawat Udara yang disahkan oleh Menteri. Pasal 30 (1) Perawatan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, dan komponennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 hanya dapat dilakukan oleh:

    1. Badan Usaha Angkutan Udara yang telah memiliki sertifikat operator Pesawat Udara;

    2. badan hukum organisasi perawatan Pesawat Udara, yang telah memiliki sertifikat organisasi perawatan Pesawat Udara; atau

    3. personel ahli perawatan Pesawat Udara yang telah memiliki Lisensi ahli perawatan Pesawat Udara.

      (2)

      Sertifikat organisasi perawatan Pesawat Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan Lisensi ahli perawatan Pesawat Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian. Pasal 31 Selain perusahaan Angkutan Udara, badan hukum organisasi perawatan Pesawat Udara, dan personel ahli perawatan Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), perawatan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang; , dan komponennya juga dapat dilakukan oleh pabrik pembuat Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, dan komponen. Pasal 32 Untuk mendapatkan sertifikat organisasi perawatan Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3O ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan:

    4. memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB);

    5. memiliki manajemen yang bertanggung jawab terhadap kegiatan perawatan Pesawat Udara, mesin Pesawat lJdara, baling-baling Pesawat Terbang dan/atau komponennya serta telah dinyatakan lulus uji kepatutan dan uji kelayakan;

    6. memiliki pedoman organisasi perawatan Pesawat Udara, fnesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang dan I atau komponen;

    7. memiliki atau menguasai fasilitas pendukung perawatan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, danl atau komponen secara berkelanjutan;

    8. memiliki e memiliki peralatan pendukung perawatarl Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, dan/atau komponen secara berkelanjutan; memiliki atau menguasai personel yang telah mempunyai Lisensi, dan/atau sertifikat ahli perarvatan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, danl atau komponen sesuai dengan lingkup pekerjaannya; memiliki pedoman perawatan dan pemeriksaan terkini yang dikeluarkan oleh pabrikan sesuai dengan jenis kemampuan organisasi perawatan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, dan/atau komponen; memiliki pedoman sistem manajemen mutu untuk menjamin dan mempertahankan kinerja perawatan Pesawat Udara, mesin, baling-baling, dan komponen seca-ra berkelanj utan ; memiliki atau menguasai suku cadang untuk mempertahankan keandalan dan Kelaikud araaJ: r berkelanjutan; dan memiliki pedoman sistem manajemen keselamatan. f o b' h j



    Pasal 33

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengesahan prograrn perawatan Pesawat Ud-ara, pemberian sertifikat organisasi perawatan Pesawat Udara, dap Lisensi ahli perawatan Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 34 (1) Personel Pesawat Udara wajib memitiki Lisensi atau Sertifikat Kompetensi.

    (2)

    Personel 1 PRES tDEN REPUBLIK INDONESIA (2) Personel Pesawat Udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian Pesawat Udara wajib memiliki Lisensi yang sah dan masih berlaku. Pasal 35 (1) Lisensi atau Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:

    1. administratif;

    2. sehat jasmani dan rohani;

    3. keahlian di bidangnya; dan

    4. lulus ujian. {2) ^Sehat ^jasmani ^dan ^rohani ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa keterangan hasil pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan oleh unit kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri. (3) Lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui kemampuan keahliannya guna mendapatkan Lisensi atau Sertifikat Kompetensi.

    (1)

    Personel Pesawat Udara yang telah memiliki Lisensi wajib:

    1. melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya;

    2. mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan

    3. melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala. (2) Kewajiban mempertahankan kemampuan yang dimiliki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa kewajiban minimal personel dalam melakukan pekerjaan dan mengikuti pelatihan ulang. S[( No 093253 A


    Pasal 37

    Pasal 37 (1) Lisensi personel Pesawat Udara yang diberikan oleh negara lain dapat diterbitkan melalui proses va-lidasi atau konversi oleh Menteri. (2) Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk personel Pesawat Udara setelah memenuhi persyaratan:

    1. mendapatkan surat autentifikasi Lisensi asing dari otoritas asing yang menerbitkan Lisensi asing dimaksud;

    2. sehat jasmani dan rohani; dan

    3. kompetensi di bidangnya. (3) Sehat jasmani dan rohani sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa keterangan hasil pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan oleh unit kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri. {4) ^Kompetensi ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat ^(2) huruf c merupakan suatu kegiatan ujian tertulis dan praktik yang ditetapkan oleh Menteri. (5) Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk personel Pesawat Udara yang berasal dari Negara yang telah memiliki perjanjian Lisensi personel Pesawat Udara dengan Indonesia, dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian.


    Pasal 38

    Pengujian keahlian dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c dan Pasal 37 ayat (2) huruf c meliputi:

    1. pengujian Lisensi dan sertifikat;

    2. pengujian rating; dan

    3. pengujian kecakapan bahasa Inggris. Pasal 39 (1) Kompetensi bagr pemegang Lisensi atau Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 diperoleh melalui program pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga pendidikan d,anlatau pelatihan untuk personel Pesawat Udara yang telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri. (21 Dalam memenuhi standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan verifikasi sesuai dengan standar yang ditetapkan. (3) Lembaga pendidikan dan/atau pelatihan untuk personel Pesawat Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    4. sekolah penerbang;

    5. pendidikan teknisi Pesawat Udara; atau

    6. lembaga pendidikan dan pelatihan personel Pesawat Udara.


    Pasal 40

    Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh Lisensi, atau Sertifikat Kompetensi, dan lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, va-lidasi, atau konversi Lisensi personel Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 41 (1) Pesawat Udara yang dapat diope ikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya Pesawat Udara Indonesia. (21 Dalam keadaan tertentu dan dalam waktu terbatas Pesawat Udara asing dapat dioperasikan setelah mendapat izin dari Menteri.

    (3)

    Keadaan (3) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:

    1. tidak tersedianya kapasitas Pesawat Udara di Indonesia;

    2. tidak tersedialya jenis atau kemampuan Pesawat Udara Indonesia untuk melakukan kegiatan Angkutan Udara;

    3. bencana aJam; dan/atau

    4. bantuan kemanusiaan. (4) Dalam waktu terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan waktu pengoperasian Pesawat Udara asing dibatasi sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu oleh Pesawat Udara Indonesia. Pasal 42 Izin yaag diberikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4L ayat (2) kepada badan hukum Indonesia setelah memenuhi persyaratan:

    5. sertifikat Kelaikudaraan yang masih berlaku;

    6. sertifikat pendaftaran yang masih berlaku;

    7. radio permit;

    8. masa berlaku sertifikat operator Pesawat Udara atau sertifikat pengoperasian Pesawat Udara dari negara tempat pendaftaran Pesawat Udara tersebut;

    9. masa berlaku sertifikat operator Pesawat Udara atau sertifikat pengoperasian Pesawat Udara badan hukum Indonesia yang -mengajukan izin;

    10. operation specification, sertifikat operator Pesawat Udara, atau sertifikat pengoperasian Pesawat Udara dimana Pesawat Udara tersebut terdaftar didalamnya;

    11. bukti asuransi Pesawat Udara; h i J kesesuaian dan masa berlaku Lisensi dari personel Pesawat Udara yang melakukan pengoperasian dan perawatan Pesawat Udara; perjanjian antar pemegang sertifikat operator Pesawat Udara atau sertifikat pengoperasian Pesawat Udara, yang mengatur mengenai pelimpahan pengawasan teknis; dan surat rekomendasi/permohonan dari instansi terkait yang membutuhkan. Pasal 43 (1) Pesawat Udara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4l ayat (2) dilakukan pengawasan oleh negara dimana pesawat itu terdaftar kecuali dilakukan pelimpahan tanggung jawab dan fungsi yang dituangkan melalui perjanjian antarnegara. (21 Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

    12. pelimpahan tanggung jawab dan fungsi pengawasan;

    13. pengakuan terhadap Lisensi dan sertifikat yang diterbitkan oleh negara pendaftaran yarrg meliputi:

      1. sertifikat Kelaikudaraan pesawat;

      2. sertifikat stasiun Penerbangan di Pesawat Udara; dan

      3. Lisensi personel Pesawat Udara. Pasa] 44 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan izin pengoperasian Pesawat Udara asing dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 45

    Pasal 45 (1) Dalam hal Pesawat Udara Indonesia dioperasikan di negara lain, tanggung jawab, dan fungsi pengawasan Pesawat Udara tersebut dapat dilimpahkan kepada otoritas Penerbangan sipil asing melalui perjanjian antarnegara. (21 Perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksttd pada ayat (1) paling sedikit memuat:

    1. pelimpahan tanggung jawab dan fungsi pengawasan;

    2. pengakuan terhadap Lisensi dan sertifikat yang diterbitkan oleh negara pendaftaran yang meliputi:

      1. sertifikatKelaikudaraanpesawat;

      2. sertifikat stasiun Penerbangan di Pesawat Udara; dan

      3. Lisensi kru Pesawat Udara.


    Pasal 46

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan tanggung jawab dan fungsi pengawasan operasi Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV ANGKUTAN UDARA Pasal 47 (1) Kegiatan Angkutan Udara terdiri atas:

    1. Angkutan Udara Niaga; dan

    2. Angkutan Udara Bukan Niaga.

      (2)

      Angkutan Udara Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri. atas:

    3. Angkutan Udara Niaga dalam negeri; dan

    4. Angkutan Udara Niaga luar negeri. (3) Kegiatan Angkutan Udara Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan secara berjadwal dan/atau tidak berjadwal oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut penumpang dan Kargo atau khusus mengangkut Kargo.


    Pasal 48

    Angkutan Udara Niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha Angkutan Udara nasional yang telah mendapatkan P erizinan Beru saha. Pasal 49 (1) Angkutan Udara Niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha Angkutan Udara nasional yang telah mendapat Perizinan Berusaha Angkutan Udara Niaga berjadwal. (2) Badan Usaha Angkutan Udara Niaga bedadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Menteri. (3) Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah Pusat dan/atau atas permintaan Badan Usaha Angkutan Udara Niaga nasional.

    (4)

    Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyebabkan terganggunya pelayaran pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal lainnya. Pasal 50 (1) Kegiatan Angkutan Udara Niaga berjadwal hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga dan perusahaan Angkutan Udara asing yang telah mendapat persetujuan Rute Penerbangan dari Menteri. (2) Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal nasional dan perusahaan Angkutan Udara asing dilarang melakukan penjualan Tiket Penerbangan sebelum persetujuan Rute Penerbangan diterbitkan.


    Pasal 51
    (1)

    (21 (3) Pasal 52 (1) Dalam hal Indonesia melakukan perjanjian plurilateral mengenai Angkutan Udara dengan suatu organisasi komunitas negara asing, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral dengan masing-masing negara anggota komunitas tersebut. (21 Perjanjian plurilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perjanjian yang dilakukan antara 1 (satu) negara dan organisasi komunitas negara atau antarorganisasi komunitas negara, yang keanggotaannya bersifat terbuka. (3) Dalam hal Indonesia sebagai anggota dari suatu organisasi komunitas negara yang melakukan perjanjian plurilateral mengenai Angkutan Udara dengan suatu organisasi komunitas negara lain, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati da-lam perjanjian tersebut. Pasal 53 (1) Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal nasiona-l dapat melakukan kerja sarna Angkutan Udara dengan Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal nasional lainnya untuk melayani angkutan dalam negeri dan/atau luar negeri. (2) Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerja sarna dengan perusahaan Angkutan Udara asing untuk melayani Angkutan Udara Luar Negeri. (3) Kerja salna Angkutan Udara untuk melayani Angkutan Udara Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan . sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian hubungan udara b.ilateral atau multilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasa] 51.

    (4)

    Kerja sarna Angkutan Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaporkan kepada Menteri. Pasal 54 (1) Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha Angkutan Udara nasional yang telah mendapat Perizinan Berusaha Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal. (2) Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan persetujuan terbang dari Menteri. (3) Badan Usaha Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal dalam negeri dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan Angkutan Udara Niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan Menteri. (41 Kegiatan Angkutan Udara Niaga berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada alrat (3) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau Badan Usaha Angkutan Udara Niaga nasional. (5) Kegiatan Angkutan Udara Niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan Angkutan Udara pada rute yang masih dilayani oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal lainnya. Pasa-l 55 (1) Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga nasional wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Menteri.

    (2)

    Kegiatan .

    (2)

    Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal dan kegiatan Angkutan Lldara Bukan Niaga luar negeri yang dilakukan oleh Pesawat Udara Sipil Asing wajib mendapatkan izin terbang, yang terdiri atas:

    1. diplomatic clearance, dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang luar negeri;

    2. securitg clearance, dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pertahanan; dan

    3. persetujuan terbang, dari Menteri.


    Pasal 56

    Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal oleh perusahaan Angkutan Udara asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumparlgnya sendiri yang diturunkan pada Penerbangan sebelumnya. Pasal 57 (1) Perusahaan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut Kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut Kargo dari wilayah Indonesia, kecuali dengan persetujuan Menteri. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan jika:

    1. tidak tersedianya jenis atau kemampuan Pesawat Udara Indonesia untuk melakukan kegiatan Angkutan Udara;

    2. bencana alam; dan/atau

    3. bantuan kemanusiaan. SK l'{o 093263 A


    Pasal 58

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan Angkutan Udara dan kerja sarna Angkutan Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 59 (1) Setiap Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal yang melayani rute Angkutan Udara Dalam Negeri harus menetapkan kelompok pelayanan sebelum melaksanakan kegiatan Angkutan Udara Niaga berjadwal. (2) Pelayanan yang disediakan Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikelompokkan sebagai berikut:

    1. pelayanan dengan standar maksimum;

    2. pelayanan dengan standar menengah; atau

    3. pelayanan dengan standar minimum. (3) Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal dalam menyediakan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memberitahukan kepada pengguna jasa tentang kondisi dan spesifikasi pelayanan yang disediakan. Pasal 60 (1) Dalam melaksanakan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal harus memiliki standar pelayanan yang memenuhi asas pelindungan konsumen, yang meliputi:

    4. standar pelayanan penumpang kelas ekonomi; dan

    5. standar pelayanan bagi penumpang berkebutuhan khusus.

      (2)

      Standar (21 Standar pelayanan sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1), dilaporkan kepada Menteri. Pasal 61 (1) Standar pelayanan penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat ^(1), merupakan standar pelayanan minimal, yang memuat paling sedikit:

    6. informasi yang ^jelas terhadap ^jenis dan spesifikasi yang ditawarkan oleh Badan Usaha Angkutan Udara;

    7. akses informasi yang ^jelas dan transparan terhadap pemberlakuan tarif;

    8. syarat dan ketentuan pengangkutan ^yang tidak bertentangan dengan asas ^pelindungan konsumen;

    9. informasi kepastian operasional Penerbangan;

    10. penumpang memperoleh hak dan ^pelindungan ketika Penerbangannya mengalami gangguan operasional termasuk gangguan Penerbangan pada skala besar;

    11. penumpang berkebutuhan khusus memperoleh akses terhadap pelayanan Angkutan Udara tanpa ada diskriminasi dan memiliki hak untuk menyampaikan kebutuhannya selama Penerbangan; .dan g. penumpang memiliki a untuk menyampaikan keluhan dan setiap keluhan wajib ditindaklanjuti oleh Badan Usaha Angkutan Udara. (2) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

    12. standar pelayanan sebelum Penerbangan;

    13. standar pelayanan selama Penerbangan; dan

    14. standar pelayanan setelah Penerbangan.

      (3)

      Standar PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA (3) Standar pelayanan minimal ^penumpang ^Angkutan Udara ditetapkan oleh Menteri. Pasal 62 (1) Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal ^yang telah menetapkan standar ^pelayanan ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat ^(1), ^wajib mempublikasikan maklumat ^pelayanan. (2) Maklumat pelayanan sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) merupakan komitmen dan kesanggupan Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal untuk melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan yang dimiliki. Pasa] 63 Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwa-l ^wajib memberikan pelayanan kepada penumpang Angkutan Udara berdasarkan standar pelayanan yang dimiliki.


    Pasal 64

    Orang perseorangan dapat diangkat menjadi direksi dan personel manajemen Badan Usaha Angkutan Udara Niaga, dengan ketentuan:

    1. memiliki kemampuan operasi dan manajerial pengelolaan usaha Angkutan Udara Niaga;

    2. direksi dan personel manajemen yang bertanggung jawab di bidang keselamatan, operasi dan perawat'an Pesawat Udara telah dinyatakan lulus uji kepatutan dan uji kelayakan oleh Menteri;

    3. tidak pernah terlibat tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang terkait dengan penyelenggaraan Angkutan Udara;

    4. pada d e. pada saat memimpin Badan Usaha Angkutan Udara Niaga, badan usahanya tidak ^pernah ^dinyatakan ^pailit sesuai dengan ketentuan ^peraturan ^perundang- undangan; dan seorang direksi dan personel manajemen ^yang bertanggung ^jawab di bidang keselamatan, ^operasi ^dan perawatan Pesawat Udara pada waktu ^yang bersamaan dilarang merangkap ^pada Badan tlsaha Angkutan Udara lainnya. Pasal 65 (1) Pemegangizin usaha Angkutan Udara Niaga wajib:

    5. melakukan kegiatan Angkutan Udara ^secara nyata paling lambat 12 (dua belas) bulan ^sejak izin usaha diterbitkan dengan mengoperasikan minima-l jumlah Pesawat Udara ^yang dimiliki dan dikuasai sesuai dengan lingkrrp usaha atau kegiatannya; memitiki dan menguasai Pesawat Udara dengan jumlah tertentu;

    6. mematuhi ketentuan wajib angkut, Penerbangan sipil, dan ketentuan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undan an ;

    7. menutup asuransi Tanggung Jawab Pengangkut an nilai pertanggungan sebesar santunan penumpang Angkutan Udara Niaga yang dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi;

    8. melayani calon penumpang secara adil ^'tanpa diskriminasi atas dasar suku, agarna, ras, antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial;

    9. menyerahkan laporan kegiatan Angkutan Udara, termasuk Keterlambatan dan pembatalan Penerbangan, setiap jangka waktu tertentu kepada Menteri;

    10. menyerahkan (2) g. menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar yang paling sedikit memuat neraca, laporan rugi laba, arus kas, dan rincian biaya, setiap tahun paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya kepada Menteri;

    11. melaporkan jika terjadi perubahan penallggung jawab atau pemilik Badan Usaha Angkutan Udara Niaga, domisili Badan Usaha Angkutan Udara Niaga dan pemilikan Pesawat Udara kepada Menteri; dan

    12. memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan' Memiliki dan menguasai Pesawat Udara dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dengan ketentuan:

    13. Angkutan Udara Niaga berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit Pesawat Udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit Pesawat Udara dengan jenis Yang mendukung kelangsungan operasional Penerbangan sesuai dengan rute Yang dilaYani;

    14. Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit Pesawat Udara dan Pesawat Udara yang lainnya dalam bentuk menguasai dengan jenis yang mendukung kelangsungan operasional Penerbangan sesuai dengan rute Yang dilaYani; dan

    15. Angkutan Udara Niaga khusus mengangkut Kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit Pesawat Udara dan Pesawat Udara yang lainnya dalam bentuk menguasai dengan jenis yang mendukung kelangsungan operasional Penerbangan sesuai dengan rute yang dilaYani. Dalam hal Badan Usaha Angkutan Udara memiliki lebih dari 1 (satu) izin usaha, jumlah kepemilikan, dan penguasaan Pesawat Udara wajib menyesuaikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)- Sl( No 09?264 A (3) Pasal 66 (1) Tarif penumpang pelayanan ^kelas ^ekonomi ^Angkutan Udara Niaga berjadwal ^dalam negeri ^dihitung berdasarkan komponen:

    16. tarif ^jarak;

    17. pajak;

    18. iuran wajib asuransi; ^dan d. biayatuslah/tambahan. (2) Tarif jarak sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) ^huruf a terdiri atas biaya ^pokok ^rata-rata ^ditambah ^dengan keuntungan wajar. (3) Komponen pajak dan komponen ^iuran wajib ^asuransi sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) ^huruf ^b ^dan huruf c berdasarkan ketentuan ^peraturan ^perundang- undangan mengenai perpajakan dan ^iuran ^wajib asuransi. (41 Komponen biaya tuslah/tambahan ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ^merupakan ^biaya tambahan yang dikeluarkan oleh ^Badan ^Usaha Angkutan Udara diluar ^perhitungan ^penetapan ^tarif jarak. (5) Komponen biaya tuslah/tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(4) ditetapkan ^oleh Menteri.


    Pasal 67

    Dalam ha1 Badan Usaha Angkutan Udara ^memberikan pelayanan tambahan yang bersifat pilihan, Badan Usaha Angkutan Udara dapat mengenakan biaya tambahan ^yang dikenakan kepada penumpang. Pasal 68 (1) Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) merupakan batas atas tarif ^penumpang pelayanan kelas ekonomi Angkutan Udara Niaga berjadwal dalam negeri yang ditetapkan oleh Menteri. (21 Penetapan sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1), dilakukan setelah berkoordinasi ^dengan ^asosiasi Penerbangan nasiona-l dengan ^mempertimbangkan masukan dari asosiasi ^pengguna ^jasa ^Penerbangan.


    Pasal 69

    Badan Usaha Angkutan Udara ^Dalam ^Negeri ^wajib menerapkan tarif Angkutan Udara sesuai ^dengan ^ketentuan batas atas tarif.


    Pasal 70

    Ketentuan lebih ianjut mengenai tata ^cara penetapan ^tarif Angkutan Udara Niaga berjadwal dalam ^negeri ^kelas ekonomi sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^66 ^diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 71

    Dalam pelaksanaan Angkutan Udara Perintis, ^Menteri memberikan kompensasi dalam bentuk:

    1. pemberian rute lain di luar rute ^perintis ^bagi ^Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal untuk mendukung kegiatan Angkutan Udara Perintis;

    2. bantuan biaya operasi Angkutan Udara; dan/atau

    3. bantuan biaya angkutan bahan bakar ^minyak.


    Pasal 72

    Tarif Angkutan Udara Perintis ditetapkan oleh Menteri


    Pasal 73

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kompensasi Angkutan Udara Perintis dan tarif Angkutan Udara Perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l dan Pasal 72 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 74 (1) Pengangkutan barang khusus dan berbahaya ^wajib memenuhi persyaratan Keselamatan dan Keamanan Penerbangan. (2) Barang khusus sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) berupa barang yang karena sifat, ^jenis, dan ukurannya memerlukan penanganan khusus. (3) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dapat berbentuk bahan cair, bahan padat, atau bahan gas yang dapat membahayakan ^kesehatan, keselamatan ^jiwa, dan harta benda, serta Keselamatan dan Keamanan Penerbangan.


    Pasal 75

    Pengangkutan barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7+ ayat (3), dapat diangkut ^jika barang berbahaya tersebut sesuai dengan petunjuk teknis keselamatan pengangkutan barang berbahaya dengan Pesawat Udara. Pasal 76 (1) Pemilik, agen ekspedisi muatan Pesawat Udara, atau pengirim yang menyerahkan trarang khusus dan/atau berbahaya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada pengelola pergudangan dan/atau Badan Usaha Angkutan Udara sebelum dimuat ke dalam Pesawat Udara. (2) Badan Usaha Bandar Udara, Unit Penyelenggara Bandar Udara, badan usaha pergudangan, atau Badan Usaha Angkutan Udara Niaga yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus dan/atau barang berbahaya wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap penJrusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selarna barang tersebut belum dimuat ke dalam Pesawat Udara. Pasa-l 77... SK No 093267 A Pasal TT Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 76 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V BANDAR UDARA Pasa-l 78 Pemanfaatan daerah lingkungan kepentingan Bandar Udara harus menjamin Keselamatan dan Keamanan Penerbangan, sesuai dengan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan dan batas kawasan kebisingan. Pasal 79 (1) Pengoperasian Bandar Udara wajib memenuhi ketentuan Keselamatan Penerbangan, Keamanan Penerbangan, dan pelayanan ^j asa Kebandarudaraan. (2) Bandar Udara yang telah memenuhi ketentuan Keselamatan Penerbangan, Keamanan Penerbangan, dan pelayanan ^jasa Kebandarudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberikan:

    1. sertifikat Bandar Udara; atau

    2. register Bandar Udara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Keselamatan Penerbangan, Keamanan Penerbangan, pelayanan ^j asa Kebandarudaraan, dan tata cara pemberian sertifikat atau register Bandar Udara diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 80 (1) Pengoperasian fasilitas Bandar Udara wajib memenuhi:

    3. standar kebutuhan; dan

    4. standar teknis. 2l Standar kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kebutuhan minimal fasilitas Bandar Udara yang harus dipenuhi untuk menunjang pelayanan dan Keselamatan Penerbangan. (3) Standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf b merupakan parameter fasilitas yang harus dipenuhi oleh fasilitas Bandar Udara untuk dapat dioperasikan. Pasal 81 (1) Setiap Badan Usaha Bandar Udara atau Unit Penyelenggara Bandar Udara wajib menyediakan fasilitas Bandar Udara yang memenuhi persyaratan Keselamatan dan Keamanan Penerbangan, serta pelayanan jasa Kebandarudaraan sesuai dengan standar yang ditetapkan. (2) Badan Usaha Bandar Udara atau Unit Penyelenggara Bandar Udara wajib mempertahankan kesiapan fasilitas Bandar Udara sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dalam bentuk:

    5. melakukan perawatan dalam ^jangka waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, verifikasi, dan f atan kalibrasi; dan

    6. melakukan pelatihan penanggulangan keadaan darurat secara berkala.


    Pasal 82

    Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kebutuhan, standar teknis, dan pengoperasian fasilitas Bandar Udara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 83 SK lrlo 093269 A Pasal 83 (1) Personel Bandar Udara meliputi:

    1. personel teknik Bandar Udara;

    2. personel elektronika Bandar Udara;

    3. personel listrik Bandar Udara;

    4. personel mekanikal Bandar Udara;

    5. personel pelayanan pergerakan sisi udara;

    6. personel peralatan pelayanan darat Pesawat Udara;

    7. personel pemandu parkir Pesawat Udara;

    8. personel pelayanan garbarata;

    9. personel pengelola dan pemantau lingkungan;

    10. personel pertolongan kecelakaan penerbangan- pemadam kebakaran;

    11. personel saluage;


  1. personel pelayanan pendaratan Helikopter; dan/atau
    1. personel keamanan Bandar Udara. (2) Personel Bandar Udara sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf I wajib memiliki Sertifikat Kompetensi. Pasal 84 (1) Personel Keamanan Penerbangan terdiri atas:

    2. personel pengamanan Penerbangan;

    3. personel fasilitas Keamanan Penerbangan;

    4. instruktur Keamanan Penerbangan;

    5. inspektur Keamanan Penerbangan internal; dan

    6. manajer Keamanan Penerbangan.

      (2)

      Personel (21 Personel Keamanan Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas ^personel ^yang bekerja di:

    7. Bandar Udara;

    8. maskapai Penerbangan;

    9. penyelenggara pelayanan Navigasi Penerbangan; dan

    10. penunjangPenerbangan. Pasal 85 (1) Personel Keamanan Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat ^(1) huruf a dan huruf ^c harus memiliki Lisensi. (2) Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) diberikan setelah memiliki Sertifikat Kompetensi dan lulus uji kecakapan Lisensi.

      Pasal 86

      Personel Keamanan Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b, huruf d, dan huruf ^e ^harus memiliki Sertifikat Kompetensi. Pasal 87 (1) Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (21 dan Pasa-l 86 diperoleh melalui pendidikan danl atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan/atau pelatihan yang telah disertifikasi oleh Menteri. (2) Persyaratan sertifikasi lembaga pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:


    11. persya-ratan administrasi; dan

    12. persyaratan substansi.

      (3)

      Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:

    13. surat permohonan;

    14. surat izin usaha bidang pendidikan dan/atau pelatihan atau bidang Penerbangan yang mempunyai divisi pelatihan dalam struktur organisasinya; dan

    15. struktur organisasi dan daftar susunan pengurLrs lembaga pendidikan dan I atau pelatihan. (4) Persyaratan substansi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:

    16. kurikulum dan silabus pendidikan dan/atau pelatihan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

    17. jumlah dan kualifikasi dan/atau kompetensi tenaga pengajar (instruktur) sesuai bidang pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan;

    18. memiliki fasilitas pendidikan dan/atau pelatihan teori dan praktik sesuai dengan bidang pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan;

    19. dokumen pedoman penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan;

    20. buku kerja pendukung dan peraturan; dan

    21. verifikasi lapangan.

      Pasal 88

      Ketentuan lebih lanjut mengenai personel Bandar Udara, Lisensi, Sertifikat Kompetensi, penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 87 diatur dengan Peraturan Menteri.


      Pasal 89

      Kegiatan pengusahaan di Bandar Udara terdiri atas a. pelayanan jasa Kebandarudaraan; dan


    22. pelayanan jasa terkait Bandar Udara. Pasal 90 (1) Pelayanan jasa Kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 huruf a meliputi ^jasa pelayanan Pesawat Udara, penumpang, barang, dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan:

    23. fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manuver, parkir, dan penyimpanan Pesawat Udara;

    24. fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, Kargo, dan pos;

    25. fasilitas elektronika, listrik, air, dan instalasi limbah buangan; dan

    26. lahan untuk bangunan, iapangan, dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran Angkutan Udara. (21 Pelayanan jasa terkait Bandar Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 huruf b meliputi:

    27. jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan operasi Pesawat Udara di Bandar Udara;

    28. jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang; dan

    29. jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan Bandar Udara.

      Pasal 91

      Pelayanan jasa Kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dapat diselenggarakan oleh:


    30. Badan Usaha Bandar Udara untuk Band.ar Udara yang diusahakan secara komersial setelah memenuhi Perizinan Berusaha; atau

    31. Unit Penyelenggara Bandar Udara untuk Bandar Udara yang belum diusahakzrn secara komersial yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Pasal 92... SK No 093274 A

      Pasal 92

      Pelayanan jasa Kebandarudaraan yang dilaksanakan oleh badan usaha diselenggarakan berdasarkan perjanjian konsesi atau kerja sama bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 93 (1) Perjanjian konsesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 berakhir sesuai dengan batas jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian konsesi dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Jangka waktu konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan paling lama 80 (delapan puluh) tahun, dalam hal lahan yang digunakan sebagai Bandar Udara diberikan hak atas tanah berupa hak guna bangunan. (3) Dalam hal jangka waktu perjanjian konsesi berakhir dan tidak diperpanjang, lahan dan aset Bandar Udara menjadi milik Pemerintah Pusat. (4) Pengaturan kembali penggunaan dan pemanfaatan lahan dan aset Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan melalui lelang konsesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian konsesi diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 94 (1) Perizinan Berusaha Badan Usaha Bandar Udara untuk Bandar Udara yang diusahakan secara komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9l huruf a, diberikan setelah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Dalam memenuhi standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan verifikasi sesuai dengan standar yang ditetapkan.


      Pasal 95

      Pasal 95 (1) Pelayanan jasa terkait Bandar Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (21 huruf a dapat diselenggarakan oleh badan hukum Indonesia setelah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Pelayanan jasa terkait Bandar Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf b dan huruf c dapat diselenggarakan oleh Setiap Orang. (3) Pelayanan jasa terkait Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat(2) wajib melibatkan paling sedikit 3oo/o (tiga puluh persen) usaha mikro, kecil, dan menengah. Pasal 96 Penyelenggara Bandar Udara melaporkan kegiatan pelayanan jasa terkait Bandar Udara setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Menteri dan dilakukan evaluasi terhadap pemenuhan standarnya.


      Pasal 97

      Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di Bandar Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 96 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 98 (1) Badan Usaha Bandar Udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa Bandar Udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian Bandar Udara. (21 Tanggung jawab terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


    32. kematian atau luka fisik orang;

    33. musnah, hilang, atau rusak peralatan dari pengguna jasa Bandar Udara dan/atau pihak ketiga; dan/atau

    34. dampak lingkungan di sekitar Bandar Udara akibat pengoperasian Bandar Udara. (3) Risiko atas tanggung jawab terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diasuransikan. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 99 Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan hukum Indonesia dapat membangun Bandar Udara Khusus sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri yang mengacu pada pedoman teknis yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung.

      Pasal 100

      Pengoperasian Bandar Udara Khusus wajib memenuhi ketentuan Keselamatan dan Keamanan Penerbangan sebagaimana dimaksud da-lam Pasal 79. Pasal 101 (1) Bandar Udara Khusus dilarang melayani Penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah memperoleh persetujuan dari Menteri. (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tujuan medical euacuation dan/atau penanganan bencana.


      Pasal 102

      Pasal 102 (1) Bandar Udara Khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri. (21 Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:


    35. terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya Bandar Udara umum; dan/atau

    36. pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat Bandar Udara umum dan belum ada moda transportasi yang memadai. Pasal 103 Perubahan status Bandar Udara Khusus untuk melayani kepentingan umum harus memenuhi:

    37. kriteria cakupan, peran, hierarki dan klasifikasi Bandar Udara di dalam Tatanan Kebandarudaraan Nasional; dan

    38. ketentuan keselamatan, keamanan, pelayanan, dan kelayakan sebagai Bandar Udara umum. Pasal 1O4 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan dan pengoperasian Bandar Udara Khusus, serta perubahan status menjadi Bandar Udara yang dapat melayani kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasa-l 99 sampai dengan Pasal 103 diatur dengan Peraturan Menteri.

      Pasal 105

      Pembangunan tempat pendaratan dan lepas landas Helikopter dilaksanakan sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Menteri.


      Pasal 106

      Pasal 106 (1) Pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas Helikopter wajib memenuhi ketentuan Keselamatan dan Keamanan Penerbangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat pendaratan dan lepas landas Helikopter diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VI NAVIGASI PENERBANGAN Pasal 107 (1) Penyelenggaraan pelayanan Navigasi Penerbangan di Indonesia dilaksanakan oleh lembaga yang dibentuk Pemerintah Pusat. (21 Lembaga penyelenggara pelayanan Navigasi Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan pelayanan dengan ketentuan:


    39. mengutamakan Keselamatan Penerbangan;

    40. tidak berorientasi kepada keuntungan;

    41. secara f,rnansial dapat mandiri; dan

    42. biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk biaya investasi, biaya operasional, dan peningkatan kualitas pelayanan.

      Pasal 108

      Lembaga penyelenggara pelayanan Navigasi Penerbangan wajib memiliki sertifikat penyelenggara pelayanan Navigasi Penerbangan yang ditetapkan oleh Menteri.


      Pasal 109

      Sertifikat penyelenggara pelayanan Navigasi Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 terdiri atas:


    43. sertifikat penyelenggara pelayanan manajemen lalu lintas dan telekomunikasi Penerbangan;

    44. sertifikat penyelenggara perancangan prosedur Penerbangan; dan

    45. sertifikat penyelenggara pelayanan informasi aeronautika. Pasal 1 10 (1) Sertifikat penyelenggara pelayanan manajemen lalu lintas dan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 huruf a diberikan kepada setiap unit penyelenggara pelayanan. (21 Unit penyelenggara pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    46. unit pelayanan Navigasi Penerbangan di Bandar Udara;

    47. unit pelayanan navigasi pendekatan; dan

    48. unit pelayanan Navigasi Penerbangan jetajah. Pasal 1 1 1 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur sertifikasi penyelenggara pelayanan Navigasi Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal IOT sampai dengan Pasal 110 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 12 Pesawat Udara yang melakukan Penerbangan di ruang udara yang dilayani Indonesia diberikan pelayanan Navigasi Penerbangan. Pasal 1 13 Pesawat Udara yang melalui ruang udara yang dilayani Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dikenai biaya pelayanan jasa Navigasi Penerbangan. Pasal I 14 (1) Biaya pelayanan jasa Navigasi Penerbangan ditetapkan berdasarkan formula biaya pelayanan jasa Navigasi Penerbangan dengan mempertimbangkan tingkat pelayanan navigasi yang diberikan. (2) Seluruh biaya pelayanan jasa Navigasi Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk biaya investasi dan peningkatan operasional. (3) Dalam kondisi tertentu Pesawat Udara yang terbang di ruang udara yang dilayani Indonesia diberikan pembebasan biaya pelayanan jasa Navigasi Penerbangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai formulasi dan mekanisme penetapan biaya pelayanan jasa Navigasi Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan Pasal 114 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 16 (1) Personel Navigasi Penerbangan wajib memiliki Lisensi atau Sertifikat Kompetensi. (2) Lisensi personel Navigasi Penerbangan diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:

    49. pemenuhanpersyaratanadministrasi;

    50. pemenuhan ketentuan kesehatan; C pemenuhan c. pemenuhan kemampuan berbahasa Inggris;

    51. pemenuhan persyaratan kompetensi teknis; dan

    52. lulus ujian. (3) Pemegang Lisensi personel Navigasi penerbangan wajib:

    53. mematuhi atau memenuhi peraturan Keselamatan Penerbangan ;

    54. melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya, atau Lisensi yang dimiliki;

    55. mempertahankan dan meningkatkan kecakapan scrta kompetensi yang dimiliki;

    56. mempertahankan kesehatan sesuai dengan ketentuan;

    57. mempertahankan validitas Lisensi yang dimiliki dan dapat menunjukan kepada petugas yang berwenang jika diminta; dan

    58. mengisi buku catatan pribadi sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 1 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan untuk memperoleh Lisensi personel Navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 18 (1) Kompetensi teknis personel Navigasi Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf d diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Dalam memenuhi standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan verifikasi sesuai standar yang ditetapkan. Pasal 1 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan lembaga penyelenggara pendidikan danlatau pelatihan di bidang Navigasi Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 120 (1) Lisensi personel Navigasi Penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri. (2) Pengesahan atau validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi:

    59. persyaratan administrasi; dan

    60. lulus ujian. (3) Proses pengesahan atau validasi Lisensi personel Navigasi Penerbangan yang diberikan oleh negara lain ditetapkan oleh Menteri. BAB VII BAB VII MANAJEMEN KESELAMATAN PENYEDIA JASA PENERBANGAN Pasal 121 (1) Setiap penyedia jasa Penerbangan wajib membuat, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakan secara berkelanjutan sistem manajemen keselamatan dengan berpedoman pada program Keselamatan Penerbangan nasional. (2) Penyedia jasa Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:

    61. Badan Usaha Angkutan Udara;

    62. Badan Usaha Bandar Udara dan Unit Penyelenggara Bandar Udara;

    63. penyelenggara pelayanan Navigasi Penerbangan;

    64. badan usaha pemeliharaan Pesawat Udara;

    65. penyelenggara pendidikan dan pelatihan Penerbangan; dan

    66. badan usaha rancang bangun dan pabrik Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, dan komponen Pesawat Udara. (3) Sistem manajemen keselamatan penyedia jasa Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri. (4) Pengesahan sistem manajemen keselamatan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi bagian dari proses penerbitan sertifrkat. Pasal 122 (1) Sistem manajemen keselamatan penyedia jasa Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) paling sedikit memuat:

    67. kebijakan a. kebijakan dan sasaran keselamatan;

    68. manajemen risiko keselamatan;

    69. ^jaminan keselamatan; dan

    70. promosi keselamatan. (21 Sistem manajemen keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ukuran, sifat dan kompleksitas dari pengoperasian yang dilaksanakan berdasarkan sertifikat operasinya serta gangguan dan risiko keselamatan yang terkait dengan risikonya. Pasal 123 (1) Kebijakan dan sasaran keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a paling sedikit memuat:

    71. komitmen pimpinan penyedia ^jasa Penerbangan;

    72. penunjukan penanggung jawab utama keselamatan;

    73. pembentukan unit manajemen keselamatan;

    74. penetapan target kinerja keselamatan;

    75. penetapan indikator kinerja keselamatan;

    76. pengukuranpencapaiankeselamatan;

    77. dokumentasi data keselamatan; dan

    78. koordinasi penanggulangan gawat darurat. (2) Penetapan target kinerja keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang akan dicapai harus minimal sarna atau lebih baik daripada target kinerja keselamatan nasional. (3) Target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan harus dipublikasikan kepada masyarakat.

      Pasal 124
      Pasal 124

      Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen keselamatan penyedia jasa Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 sampai dengan Pasa-l 123 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII SANKSI ADMINISTRATIF



      Pasal 125

      Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 17, Pasal 22, Pasal 26, Pasal 29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 50, Pasal 53, Pasa,l 54, Pasal 63, Pasal 65, Pasal 69, Pasal 74, Pasal 76, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 83, Pasal 100, Pasal 101, Pasal lO2, Pasal 106, Pasal 108, Pasal 1 16, atau Pasal 121 dikenai sanksi administratif. Pasal 126 (1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 didasarkan pada hasil analisis dan evaluasi terhadap laporan pengawasan. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:


    79. peringatan;

    80. pembekuan;

    81. denda administratif; dan/atau

    d. pencabutan. Pasal 127 Pasal 727 (1) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal L26 ayat (2) huruf a terdiri atas peringatan pertama sampai dengan peringatan ketiga dengan ^jangka waktu tertentu. (2) Sanksi pembekuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf b dikenakan dengan jangka waktu tertentu. (3) Sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (21 huruf c, besarannya ditetapkan dalam penaltg unit. (4) Sanksi pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf d, diberikan bagi pelanggaran berat atau pelanggaran yang dilakukan seca-ra berturut-turut dan tidak melakukan upaya perbaikan. Pasal 128 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan penetapan penaltg unit diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 129 (1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha dalam rangka percepatan cipta kerja. (2) Evaluasi (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. Pasal 130 Da-lam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak ^jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Penerbangan. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 131 Ketentuan pelaksanaan Perizinan Berusaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku bagi pelaku usaha/pihak yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, kecuali ketentuan tersebut lebih menguntungkan bagi pemegang P erizinan Berusaha dimaksud. Pasal 132 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Perizinan Berusaha yang sudah terbit masih tetap berlaku sampai dengan berakhirn y a P errzinan Beru s aha tersebut. BAB XI BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 133 Perizinan Berusaha di bidang Penerbangan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Pasal 134 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 135 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 1 1, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2Ol2 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol2 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5295), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 136 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2l ttd JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2O2L MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H LAOLY PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PENERBANGAN I. UMUM Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan wawasan nusantara serta memantapkan ketahanan nasional, diperlukan sistem transportasi nasional yang memiliki ^posisi penting dan strategis dalam pembangunan nasional yang bervrrawasan lingkungan. Penerbangan merupakan sarana dalam rangka memperlancar roda perekonomian, membuka akses ke daerah pedalaman atau terpencil, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, menegakkan kedaulatan negara, serta mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat. Pentingnya transportasi tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang di dalam negeri, dari dan ke luar negeri, serta berperan sebagai pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah dan pengembangan wilayah. Menyadari peran Penerbangan tersebut, penyelenggaraan transportasi harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan ^jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan, selamat, aman, efektif, dan efisien. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja merupakan upaya Pemerintah Pusat untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan ^jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional yang akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Pusat telah berupaya untuk perluasan program ^jaminan dan bantuan sosial yang merupakan komitmen dalam rangka meningkatkan daya saing dan penguatan kualitas sumber daya manusia, serta untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap ha-l tersebut perlu menJrusun dan menetapkan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi raIryat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja dan sebagai upaya untuk mendorong kemajuan penyelenggaraan Penerbangan, yaitu dilakukan dengan cara memberikan kemudahan berusaha untuk mendorong investasi di bidang penyelenggaraarl Penerbangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyederhanaan terhadap p ro se s p erizinart p enyele n ggaraan Penerb an gan . Selanjutnya dalam rangka menjamin keselamatan, kenyamanan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban operasional Penerbangan, penyediaan dan pembangunan Bandar Udara harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup ^jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasa-l 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ayat (2) Yang dimaksud dengan "sertifikat organisasi rancang bangun" dikenal dengan istilah design organization approual. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "standar Kelaikudaraan rancang bangun" dikenal dengan istilah initial airworthiness. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "perubahan" dikenal dengan istilah modification. Huruf b Yang dimaksud dengan "tambahan" dikenal dengan istilah supplement. Huruf c Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 1 1 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "pedoman sistem manajemen mutu" dikenal dengan istilah qualitg management system manual. Huruf g Yang dimaksud dengan "pedoman sistem manajemen keselamatan" dikenal dengan istilah safetg management sgstem manual. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Pasa-l 12 Tanda pendaftaran dapat berupa tanda pendaftaran Indonesia atau tanda pendaftaran asing. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "Pesawat Udara tanpa awak" dikenal dengan istilah Remotelg Piloted Aircrafi Sgstems/RPAS. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "sertifikat Ketaikudaraan standar pertama" dikenal dengan istilah initial airutorthiness certificate. Huruf b Yang dimaksud dengan "sertifikat Ketaikudaraan standar lanjutan" dikenal dengan i stilah continuous aina orthines s certificate. Ayat (2) Cukup jelas. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "instruksi Kelaikudaraan" dikenal dengan istilah ainuorthiness directiue. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 21 Cukup ^jelas. Pasal 22 Ayat ^(1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang . dimaksud dengan "sertifikat operator Pesawat Udara" dikenal dengan istilah air operator certificate. Huruf b Yang dimaksud dengan "sertifikat pengoperasian Pesawat LJdara" dikenal dengan istilah operating cerlificate. Pasa] 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "sertifikat pengoperasian Pesawat Udara tanpa awak" dikenal dengan istilah Remotely Piloted Aircrafi Sg stems / ^RPAS operator ^certificat ^e. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "sertifikat operator Pesawat Udara" dikenal dengan istilah air operator certificate. Pasal 24 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "uji kepatutan dan uji kelayakan" dikenal dengan istilah fit and proper test, Huruf f Yang dimaksud dengan "pedoman organisasi pengoperasian" dikenal dengan istilah operation manual. Yang dimaksud dengan "pedoman organisasi perawatan" dikenal dengan istilah companA maintenance manual. Huruf g Huruf i Yang dimaksud dengan "pedoman sistem manajemen keselamatan" dikenal dengan istilah safetg manegement sgstem manual. Huruf j Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas, Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "pemberi sewa guna usaha" dikenal dengan istilah lessor. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "pemberi sewa guna usaha" dikenal dengan istilah /essor. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "organisasi perawatan Pesawat Udara" dikenal dengan istilah approued maintenance organization. Huruf c Yang dimaksud dengan "Lisensi ahli perawatan Pesawat Udara" dikenal dengan istilah aircrafi maintenance engineer license. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Perseorangan pemegang sertifikat ahli perawatan Pesawat Udara yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat melakukan perawatan Pesawat Udara untuk perusahaan Angkutan Udara Bukan Niaga yang berkapasitas penumpang kurang dari 9 (sembilan) orang. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup ^jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasa-l 35 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan persyaratan administratif antara lain ketentuan batas usia minimal, ketentuan pendidikan minimal. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Huruf c Yang dimaksud dengan keahlian di bidangnya antara lain pengalaman praktek jam terbang, kr-ralifikasi penerbang atau pengujian kecakapan" Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup ^jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup ^jelas. Pasd 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Aya.t (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasa-l 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah adanya kebutuhan kapasitas Angkutan Udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas Angkutan Udara Niaga berjadwal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (meeting, insentiue trauel, conuention, and exhibition), angkutan udara haji, bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan, serta kegiatan yang bersifat nasional dan internasiona-I. Yang dimaksud dengan "bersifat sementara" adalah persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama 6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali pada rute yang salna. Pasal 54 PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Pasa] 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "persetujuan terbang" dikenal dengan flight ^approual. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa Angkutan Udara oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal pada rute tertentu. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Pasal Pasal PasaI Pasal Pasal Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "sebelum Penerbanga-n" dikenal dengan pre-flight. Huruf b Yang dimaksud dengan "selama Penerbangat'I" dikenal dengan in-Jlight. Huruf c Yang dimaksud dengan "setelah Penerbangan" dikenal dengan post-Jlight. Ayat (3) Cukup jelas. 62 Cukup jelas. 63 Cukup jelas. 64 Cukup jelas. 65 Cukup jelas. 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tarif jarak merupakan besaran tarif per Rute Penerbangan per satu kali Penerbangan, untuk setiap penumpang yang merupakan hasil perkalian antara tarif dasar dengan jarak serta dengan memperhatikan kemampuan daya beli. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "komponen biaya tuslah/tambahan" antara lain, biaya fluktuasi harga bahan bakar dan biaya yang ditanggung oleh Badan Usaha Angkutan Udara karena pada saat berangkat atau pulang Penerbangan tanpa penumpang. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^je1as. Pasal 7O Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 C kup ^jelas. Pasal 74 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "barang khusus", antara lain, berupa hewan, ikan, tanaman, buah-buahan, saJrur-maJrur, daging, peralatan olahraga, dan alat musik. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 75 Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal TT Cukup jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup ^jelas. Pasal 80 Yang dimaksud dengan "fasilitas" adalah: a. Pasal 81 Cukup jelas. b fasilitas pokok meliputi:

  1. fasilitas keselamatan dan keamanan, antara lain ^pertolongan kecelakaan penerbangan-pemadam kebakaran ^(PKP-PK), saluage, alat bantu pendaratan uisual (Airfield Lighting Sgstem), sistem catu daya kelistrikan, dan ^pagar. 2l fasilitas sisi udara (airside facilitg), antara lain: a) landas pacu (runwag); b) ntnLuaA strip, Runwag End Safetg Area (RESA/, stopwag, clearwag; c) landas hubung (taxiwafl; d) landas parkir (apron); e) marka dan rambu; dan f) taman meteo (fasilitas dan peralatan pengamatan cuaca). 3) fasilitas sisi darat (landside facilitg)antara lain: a) bangunan terminal penumpang; b) bangunan terminal Kargo; ^c) menara pengatur lalu lintas Penerbangan (control touter); d) bangunan operasional Penerbangan; e) ^jalan masuk ^(access road); f) parkir kendaraan bermotor; ^g) depo ^pengisian bahan bakar Pesawat Udara; h) bangunan hanggar; i) bangunan administrasi/perkantoran; j) marka dan rambu; dan ^k) fasilitas pengolahan limbah. fasilitas penunjang merupakan fasilitas yang secara langsung dan tidak langsung menunjang kegiatan Bandar Udara dan memberikan nilai tambah secara ekonomis pada penyelenggaraan Bandar Udara, antara lain fasilitas perbengkelan Pesawat Udara, fasilitas pergudangan, penginapan/hotel, toko, restoran, dan lapangan.
    Pasal 82

    Cukup ^jelas.


    Pasal 83 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup ^jelas. Huruf j Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Yang dimaksud dengan "personel ^pelayanan pendaratan Helikopter" adalah helicopter landing officer. Huruf m Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 84 Cukup ^jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 9O Cukup ^jelas. Pasal 9 1 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup ^jelas. Pasal 93 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Jangka waktu konsesi paling lama 80 (delapan puluh) tahun sesuai dengan ^jangka waktu hak guna bangunan ^pada lahan yang dipergunakan sebagai Bandar Udara sesuai dengan ketentuan peraturan perurndang-undangan mengenai hak atas tanah. Hak Guna Bangunan diberikan untuk ^jangka waktu 30 ^(tiga puluh) tahun, diperpanjang untuk ^jangka waktu 20 (dua ^puluh) tahun, dan diperbaharui untuk ^jangka waktu 30 ^(tiga ^puluh) tahun. Perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna ^Bangunan dapat diberikan apabila Bandar Lldara sudah beroperasi. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas Pasal 94 Cukup ^jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup ^jelas. Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 1OO Cukup ^jelas. Pasal 101 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "bersifat sementara' mempunyai ^jangka waktu terbatas sampai selesainya keadaan tertentu. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 102 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "bersifat sementara" mempunyai ^jangka waktu terbatas sampai selesainya keadaan tertentu. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup ^jelas. Pasal 1O4 Cukup ^jelas. Pasal 105 Yang dimaksud dengan "tempat pendaratan dan ^lepas ^landas Helikopter" dikenal dengan Heliport. Pasal 107 Cukup jelas Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas Pasal 1 10 Cukup ^jelas Pasal 1 1 1 Cukup ^jelas Pasal 1 12 Cukup jelas. Pasal 1 13 Cukup ^jelas Pasal 1 14 Cukup ^jelas. Pasal 1 15 Cr.rkup ^jelas Pasal 1 16 Ayat (1) Cukup ^jelas Ayat (2) Cukup ^jelas Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. PasaJ Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal PasaI Pasai Pasa-l Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "buku catatan pribadi" dikenal dengan personal log book. tt7 Cukup jelas. 118 Cukup jelas. 119 Cukup ^jelas. 120 Cukup ^jelas. t2t Cukup jelas. t22 Cukup jelas. r23 Cukup ^jelas. t24 Cukup jelas. 125 Cukup jelas. 726 Cukup jelas. t27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pasal PasaI Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal -2t- Ayat (3) Yang dimaksud dengan "penaltg unit" adalah besaran nilai rupiah per satu unit yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak pada Kementerian Perhubungan. Ayat (a) Cukup ^jelas. r28 Cukup ^jelas. L29 Cukup ^jelas. 130 Cukup ^jelas. 131 Cukup ^jelas. 132 Cukup ^jelas. 133 Cukup ^jelas. 134 Cukup ^jelas. 135 Cukup ^jelas. 136 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6644

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):