Penyelenggaraan Bidang Pelayaran

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat Menetapkan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2O2L TENTANG PE}.IYELENGGARAAN BI DANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, batrwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5T dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 1l Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintatr tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran; Pasal 5 ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19a5; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan l,embaran Negara Republik Indonesia Nomor a8a9l; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); MEMUTUSI(AN: PERATURAI{ PEMERINTAH TENTANG PEI{YELENGGAI?.IqI{V BIDAI.IG PEI.AYARAI,I. 1 2 3 BAB I BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta pelindungan lingkungan maritim. 2. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya. 3. Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan I atau barang dengan menggunakan kapal. 4. Angkutan Laut Khusus adalah kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya. 5. Trayek adalah rute atau lintasan pelayanan angkutan dari satu Pelabuhan ke Pelabuhan lainnya. 6. Usaha Jasa Terkait adalah kegiatan usaha yang bersifat memperlancar proses kegiatan di bidang Pelayaran. 7. Usaha Pokok adalah jenis usaha yang disebutkan di dalam surat izin usaha suatu perusahaan. 8. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang danlatau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan latau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.

  2. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan Pelayaran dan kegiatan penunjang Pelabuhan serta sebagai tempat pe rpin dahan intra - dan I atau antarmoda transportasi. 10. Pelabuhan Utama adalah Pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam ^jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan j angkauan pelayanan antarprovinsi. 1 1. Pelabuhan Pengumpul adalah Pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi. 12. Pelabuhan Pengumpan adalah Pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi. 13. Terminal adalah Fasilitas Pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat Kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang.

  3. Terminal 14. Terminal Khusus adalah Terminal ^yang terletak ^di ^luar daerah lingkungan kerja dan daerah ^lingkungan kepentingan Pelabuhan yang merupakan bagian ^dari Pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan Usaha Pokoknya. 15. Terminal untuk Kepentingan Sendiri adalah Terminal yang terletak di dalam daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan Pelabuhan ^yang merupakan bagian dari Pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri sesuai Cengan Usaha Pokoknya. 16. Daerah Lingkungan Kerja yang selanjutnya ^disebut DLKr adalah wilayah perairan dan daratan ^pada Pelabuhan atau lerminal Khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan Pelabuhan. 17. Daerah Lingkungan Kepentingan yang selanjutnya disebut DLKp adalah perairan di sekeliling ^DLKr perairan Pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan Pelayaran. 18. Rencana Induk Pelabuhan adalah ^pengaturan ruang Pelabuhan berupa perunttlkan rencana tata ^guna tanah dan perairan di DLKr dan DLKp Pelabuhan. 19. Otoritas Pelabuhan adalah lembaga ^pemerintah ^di Pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, petlgendalian, dan pengawasan kegiatan Kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial. 20. Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah lembaga pemerintah di Pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan Kepelabuhanan, dan pemberian pelayanan jasa Kepelabuhanan untuk Pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. 2L. Konsesi adalah pemberian hak oleh ^penyelenggara Pelabuhan kepada badan usaha ^pelabuhan untuk melakuka.n kegiatan ^penyediaan dan/atau ^pelayanan jasa Kepelabuhanan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan kompensasi tertentu.

  4. Badan Usaha Pelabuhan adalah badan usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan Terminal dan Fasilitas Pelabuhan lainnya. 23. Kolam Pelabuhan adalah perairan di depan dermaga yang digunakan untuk kepentingan operasional sandar dan olah gerak kapal. 24. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola rLrang. 25. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut Angkutan di Perairan, Kepelabuhanan, dan lingkungan maritim. 26. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu. 27. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang ciibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian. 28. Badan Klasifikasi adalah lembaga klasifikasi kapal yang melakukan pengaturan kekuatan konstruksi dan permesinan kapal, jaminan rrrutu mateial marine, pengawasan pembangunan, pemeliharaan, dan perombakan kapal sesuai dengan peraturan klasifikasi. 29. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan terraga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau dittrnda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dern bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

  5. Kapal 30. Kapal Negara adalah Kapal milik negara digunakan oleh instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan hukum serta tugas-tugas pemerintah lainnya. 31. Kapal Asing adalah Kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan tidak dicatat dalam daftar Kapal Indonesia. 32. Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas Kapal oleh pemilik atau operator Kapal untuk melakukan tugas di atas Kapal sesuai dengan ^jabatannya yang tercantum dalam buku sijil. 33. Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di Kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung ^jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 34. Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan Pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari. 35. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran adalah peralatan atau sistem yang berada di luar Kapal yang didesain dan dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi bernavigasi Kapal dan/atau lalu lintas Kapal. 36. Telekomunikasi Pelayaran adalah telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas Pelayaran yang merupakan setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis tanda, gambar, suara dan informasi dalam bentuk apapun melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya dalam dinas bergerak Pelayaran yang merupakan bagian dari keselamatan Pelayaran. 37. Pekerjaan Bawah Air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau Kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus, yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air.

  6. Pengerukan 38. Pengerukan adalah pekerjaan mengubah bentuk dasar perairan untuk mencapai kedalaman dan lebar yang dikehendaki atau untuk mengambil material dasar perairan yang dipergunakan untuk keperluan tertentu. 39. Reklarnasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan/atau kontur keda.laman perairan.

  7. Kerangka Kapal adalah setiap Kapal yang tenggelam atau kandas atau terdampar dan telah ditinggalkan. 4I. Saluage adalah pekedaan untuk memberikan pertolongan terhadap Kapal dan/a-tau muatannya yang mengalami kecelakaan Kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan termasuk mengangkat Kerangka Kapal atau rintangan bawah air atau benda lainnya.

  8. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di Pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk rrrenjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perunclang-undangan untuk menjamin Keselamatan dan Keamanan Pelayaran.

  9. Koda Internasional Kearnanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan (Intemational Ship and Port Facility Seatitg Codel yang selanjutnya disebut Kcrda adalah peraturan internasional yang merupakan amendemen Konvensi Safety of LW at Sea 1974 untuk keamanan Kapal dan Fasilitas Pela.buhan yang terdiri dari bagian A sebagai perintah dan bagian B sebagai anjuran. 44. Komite Keamanan Pelabuhan (Port Seanritg Committeel yang selanjutnya disebut PSC adalah wadah yang terdiri dari seluruh pihak terkait di Pelabuhan yang terlibat dalam penanganan keamanatr Pelabuhan.

  10. Perwira Keamanan Pelabuhan (Port, Seanritg Officer) yang selanjutnya disebut PSO adalah pejabat struktural atau tingkat di bawah kepala kantor ^pada Kantor Kesyahbandaran Utama atau Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan atau Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Khusus Batam atau Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan yang biclang tugas dan fungsinya terkait clengan penerapan Koda.

  11. Koordinator Kon: ite Keamanan Pelabuhan ^(Port Seanritg Committeel yang selanjutnya disebut Koordinator PSC adalah Kepala Kantor Kesyahbandaran Utama, Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan, Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otcritas Pelabuhan Khusus Batam, atau Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan yang berada di wilayah kerja Pelabuhan yang tugas operasionalnya dibantu oleh PSO.

  12. Auditor Koda Internasional Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan llntemational Ship and Port Facilitg Seanritg Codel yang selanjutnya disebut Auditor ISPS Code adalah pejabat pemerintah di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pelayaran yang diberi kewenangan untuk melaksanakan verifikasi terhadap kesesuaian persyaratan manajemen keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan yang memiliki kompetensi dan telah dikukuhkan. 48. Verifikasi Manajemen Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan adalah proses pemeriksaan secara sistematis, independen, dan terdokumeutasi untuk menilai keefektifan penerapan manajemen keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan terhadap Koda. 49. Fasilitas Pelabuhan adalah lokasi yang meliputi area labuh jangkar, dermaga, atau tempat kegiatan operasional Kapal dan Pelabuiran yang telah mendapatl<an izin operasional dari pemerintah.

  13. Organisasi 50. Organisasi Keamanan yang Diakui ^(Recogniz'ed Seanritg Organization) ^yang selanjutnya ^disebut ^RSO adalah suatu organisasi ^yang berbadan ^hukum ^yang ncempunyai tenaga ahli di bidang ^keamanan, manajemen risiko, intelijen, ^perkapalan, ^dan Kepelabuhanan. 51. Perwira Keamanan Perusahaan ^(Compang Seanitg Olficei yang selanjutnya disebut CSO adalah ^orang yang ditunjr* oleh perusahan untuk memastikan penilaian keainanan Kapal dilaksanakan, rencana keamanan Kapal dikembangkan, diterapkan ^dan dipelihara, serta berkoordinasi dengan ^para ^Perwira Keamanan Fasilitas Pelabuhan dan Perwira ^Keamanan Kapal. 52. Perwira Keamanan Kapal ^(Ship Seanritg ^Offtcer) yang selanjutnya disebut SSO adalah ^perwira ^Kapal ^yang bertanggung ^jarvab kepada Nakhoda, dan ^ditunjuk oleh perusahaan sebagai ^penanggung ^jawab ^terhadap keamanan Kapal, penerapan, ^pemeliharaarr, dan revisi dari rencaRa keamanan Kapal dan ^untuk berkoordinasi'dengan CSO dan ^perwira ^keamanan Fasilitas Pelabuhan. 53. Perwira Keamanan Fasilitas Pelabuhan ^(Port ^Facilitg Seanritg OIfiei yang selanjutnya disebut ^PFSO ^adalah petugas yang ditunjuk oleh manajemen perusahaan Fasilitas Pelabuhan yang bertanggung ^jawab ^terhadap pengembangan, implementasi, revisi dari pemeliharaan rencana keamanan Fasilit"as Pelabuhan serta untuk bekerja sama dengan ^para ^SSO, CSO, ^dan pengelola Fasilitas Pelabuhan.

  14. Penilaian Keamanan Kapal ^(Shrp Seanritg Assessment) yang selanjutnya disebut SSA adalah bagian ^yang penting dan integral dari proses pengembangan dan pembaharuan rencana keamanan Kapal.

  15. Penilaian Keamanan Fasilitas ^Pelabuhan ^(Port ^Facility Searitg Assessmentl yang selanjutnya disebut ^PFSA adalah suatu pengembangan dan ^pembaharuan rencana keamanan Fasilitas Pelabuhan.

  16. Rencana 56. Rencana Keamanan Kapal ^(Ship Seanitg ^Planl ^yang selanjutnya disebut SSP adalah suatu ^rencana ^yang dikembangkan untuk memastikan bahwa ^penerapan dari langkah-langkah di atas Kapal ^dirancang ^untuk melindungi orang, muatan, ^peralatan angkut ^muatan, gudang perbekalan Kapal, atau Kapal terhadap risiko suatu gangguan keamanan.

  17. Rencana Keamanan Fasilitas Pelabuhan ^(Po# ^Facilitg Seanritg Planl ),ang selanjutnya disebut PFSP adalah suatu perencanaan yang dikenrbangkan untuk memastikan penerapan tindakan yang dirancang untuk ^'melindungi Kapal darr Fasilitas Pelabuhan, ora.ng, muatan, peralatan angkut muatan, ^gudang perbekalan di dalam Fasilitas Pelabuhan dari risiko suatu gangguan keamanan.

  18. Kaji Ulang adalah penerapan ^prinsip ^perbaikan berkelanjutan (continual improuement) dari waktu ^ke waktu, melalui proses pengkajian secara menyeluruh untuk mernastikan keberlanjutan, kesesuaian, efektifitas pelaksanaan manajemen keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan.

  19. Internal Audit adalah suat'u kegiatan audit independen yang dilaksanakan oleh internal organisasi dengan tujuan menguji dan mengevaluasi implementasi manajemen keamanan kalral dan Fasilitas Pelabuhan. 60. Deklarasi Keamanan (Declaration of Seanritgl ^yang selanjutnya disebut DoS adalah suatu ^persetujuan tertulis yang disepakati dalam menetapkan langkah keamanan antara suatu Kapal dengan Fasilitas Pelabuhan atau Kapal dengan Kapal yang sedang berinteraksi, dalam menetapkan tindakan keamanan yang diterapkan masing-masing pihak. 61. ksiden Keamanan adalah tin,lakan mencurigakan, pelanggaran keamanan atau keadaan yang mengancam keamanan Kapal atau Fasilitas Pelabuhan atau interaksi Kapal atau Fasilitas Pelabuhan atau kegiatan alih muat Kapal ke Kapal.

  20. Pernyataan Pemenuhan Fasilitas Pelabuhan (Statement of Compliance of a Port Facilitg) yang selanjutnya disebut SoCPF adalah suatu ^pernyataan tertulis dari Menteri bahwa Fasilitas Pelabuhan memenuhi persyaratan standar yang dipersyaratkan dalam Koda. 63. Tingkat Keamanan adalah klasifikasi dari risiko Kapal dan Fasilitas Pelabuhan menurut intensitas atau kecenderungan Insiden Keamanan yang dapat terjadi setelah melalui proses pengamatan dan pengumpulan data. 64. Tingkat Keamanan 1 (securitg leuel 1) adalah tingkat dimana tindakan minimum untuk perlindungan keamanan harus dilaksanakan terus menerus. 65. Tingkat Keamanan 2 (seanritg leuel2) adalah tingkat dimana tindakan tambahan untuk perlindungan keamanan diberlakukan dengan ^jangka waktu tertentu sebagai akibat peningkatan risiko ancaman keamanan. 66. Tingkat Keamanan 3 (secuitg leuel3) adalah tingkat perlindungan keamanan secara khusus yang ditetapkan dalam ^jangka waktu terbatas saat terjadi ancaman keamanan. 67. International Ship Security Certificate selanjutnya disingkat ISSC adalah sertifikat keamanan Kapal internasional. 68. International Maritime Organization selanjutnya disingkat IMO adalah organisasi maritim internasional. 69. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usah a dan/atau kegiatannya. 70. Badan Usaha adalah Badan Usaha milik negara, Badan Usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk Pelayaran. 71. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  21. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah ^sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah ^yang memimpin pelaksanaan urusan ^pemerintahan ^yang menjadi kewenangan daerah otonom. 73. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pelayaran. 74. Setiap Orang adalah orang ^perseorangan atau korporasi. BAB II PEMBINAAN PELAYARAN Pasal 2 (1) Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Menteri. (21 Pembinaan Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. pengaturan;

    2. pengendalian; dan

    3. penga\ ^rasan. (3) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis, paling sedikit memuat:

    4. norma;

    5. standar;

    6. pedoman;

    7. kriteria;

    8. perencanaan;

    9. prosedur;

    10. persyaratan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran; dan

    11. Perizinan Berusaha.

      (4)

      Pengendalian sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(21 huruf b meliputi pemberian arahan, ^bimbingan, pelatihan, Perizinan Berusaha, sertifikasi, ^serta bantuan teknis di bidang ^pembangunan ^dan pengoperasian. (5) Pengawasan sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(2) huruf c meliputi kegiatan ^pengawasan pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan ^ke+-entuan peraturan perundang-undangan termasuk melakukan audit, inspeksi, pengamatan ^(suru eillance), ^pemantauan (monitoringl, dan uji petik (ramp cleckl, serta ^penegakan hukum.

      Pasal 3

      Pembinaan Pelayaran sebagaimana dimaksud ^dalam Pasal 2 bertujuan untuk:


    12. memperlancar arus perpindahan orang ^dan/atau barang secara massal melalui ^perairan ^dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan ^teratur, nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya ^yang terjangkau oleh daya beli masyarakat;

    13. meningkatkan penyelenggaraan ^kegiatan ^Angkutan di Perairan, Kepelabuhanan, Keselamatan ^dan Keamanan Pelayaran, serta ^pelindungan ^lingkungan maritim sebagai bagian dari keseluruhan ^moda transportasi secara terpadu dengan ^memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

    14. mengembangkan kemampuan armada ^angkutan nasional yang tangguh di ^perairan serta ^didukung industri perkapalan yang andal sehingga ^mampu memenuhi kebutuhan angkutan, baik ^di ^dalam ^negeri maupun dari dan ke luar negeri;

    15. mengembangkan usaha ^jasa Angkutan di ^Perairan nasional yang andal dan berdaya saing serta ^didukung kemudahan memperoleh pendanaan, ^keringanan perpajakan, dan industri perkapalan yang tangguh sehingga mampu mandiri dan bersaing; e menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja ^pada jasa terkait dengan Angkutan di Perairan dan jasa terkait dengan Kepelabuhanan dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah, dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antar daerah dalam kesatuan ekonomi; meningkatkan kemampuan dan peranan Kepelabuhanan serta Keselamatan dan Keamanan Pelayaran dengan menjamin tersedianya Alur- Pelayaran, Kolam Pelabuhan, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang memadai dalam rangka menunjang Angkutan di Perairan; mewujudkan sumber daya manusia yang berjiwa bahari, profesional, dan mampu mengikuti perkembangan kebutuhan penyelenggaraan Pelayaran; dan memenuhi pelindungan lingkungan maritim dengan upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang bersumber dari kegiatan Angkutan di Perairan, Kepelabuhanan, serta Keselamatan dan Keamanan Pelayaran. BAB III ANGKUTAN DI PERAIRAN Pasal 4 (1) Pen5rusunan jaringan Trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan dilakukan bersama oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dengan memperhatikan masukan asosiasi pengguna jasa angkutan laut. f o b h (21 Pen5rusunan ^jaringan Trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dikoordinasikan oleh Menteri. (3) Jaringan Trayek tetap dan teratur disusun berdasarkan rencana Trayek tetap dan teratur ^yang disampaikan oleh perusahaan angkutan laut ^nasional kepada Menteri dan usulan Trayek dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan asosiasi ^perusahaan angkutan laut nasional. (41 Jaringan Trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 ditetapkan oleh Menteri. (5) Jaringan Trayek yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digdmbarkan dalam ^peta jaringan Trayek dan diumumkan oleh Menteri pada forum koordinasi informasi muatan dan ruang Kapal.

      (6)

      Peta Jaringan Trayek yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(5) disebarluaskan melalui media cetak dan/atau media elektronik. Pasal 5 (1) Jaringan Trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat ^(41 dapat dilakukan perubahan berdasarkan usulan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dengan menambah 1 (satu) atau lebih Trayek baru. (21 Penambahan Trayek tetap dan teratur baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: adanya potensi kebutuhan ^jasa angkutan laut dengan perkiraan faktor muatan ^yang layak dan berkesinambungan; dan a.

    16. tersedianya tersedianya Fasilitas Pelabuhan yang memadai atau lokasi lain yang ditunjuk untuk kegiatan bongkar muat barang dan naik/turun penumpang yang dapat menjamin keselamatan Pelayaran. Pasal 6 (1) Kegiatan Angkutan Laut Khusus dilakukan oleh Badan Usaha untuk menunjang TJsaha Pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan Kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Kelaiklautan Kapal dan diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indone sia. (21 Kegiatan Angkutan Laut Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizrnan Berusaha. (3) Kegiatan Angkutan Laut Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan menggunakan Kapal berbendera Indclnesia yang laik laut dengan kondisi dan persyaratan Kapal sesuai dengan ^jenis kegiatan Usaha Pokoknya. ' (4) Kegiatan Angkutan Laut Khusus sebagairnana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengangkut rnuatan atau barang milik pihak lain dan/atau mengangkut muatan atau bara.ng umum. (5) Pelaksana kegiatan angkutan laut asing yang melakukarr kegiatan Angkutan Laut Khusus ke Pelabuhan Indonesia atau Terminal Khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri wajib menunjuk keagenan Kapal. (6) Pelaksana kegiatan Angkutan Laut Khusus sebagaimana ctimaksud pada ayat (5) hanya dapat menjadi agen bagi Kapal miliknya sendiri. (71 Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan Usaha Pokok di bidang: b a. industri;

    17. industri;

    18. kehutanan;

    19. pariwisata;

    20. pertambangan;

    21. pertanian;

    22. perikanan;

    23. jasa konstruksi; dan

    24. kegiatan penelitian, penclidikan, dan pelatihan. (8) Ketentuan lebih lanjut mengerlai keagenan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 7 (l) Pelaksana kegiatan Angkutan Laut Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib melaporkan pengoperasian Kapalnya kepada Menteri. (21 Pelaksana kegiatan Angkutan Laut Khusus yang tidak nrenyarrrpaikan laporan pengoperasian Kapalnya sebagaimana dimaksud paCa ayac (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak diberikan pelayanarr di Pelabuhan atau Terminal Khusus. Pasal 8 (1) Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) merupakan Kapal yang mengangkut bahan baku, peralatan produksi, danf atau hasil produksi untuk kepentingan sendiri dalam r,renunjang Usaha Pokoknya. (2) Dalam' hal pelaksana kegiatan angkutan laut asing tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 6 ayat (5), Kapal yang dioperasikan dikenai sanksi administratif beruprr tidak diberikan pclayanan cli Pelabuhan atau Terminal Khusus. Pasal 9 (1) Untuk kelancaran kegiatan Angkutan di Perairan, dapat diselenggarakan Usaha Jasa Terkait. 1,2) Usaha Jasa Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    25. bongkar muat barang;

    26. ^jasa pengurusan transportasi;

    27. angkutan perairan Pelabuhan;

    28. penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan lau| e. tallg mandiri;

    29. depo peti kemas;

    30. pengelola'an Kapal:

    31. perantara ^jual beli dan/atau sewa Kapal;

    32. keagenan Awak Kapal;

    33. keagenan Kapal; dan

    34. perawatan dan perbaikan Kapal. Pasal 10 (1) Kegiatan usaha bcngkar muat barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a merupakan kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar dan muat barang dari dan ke Kapal di Pelabuhan. (2) Kegiatan usaha Longkar muat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk bongkar muat barang di Pelabrthan. (3) Baclan Usaha yarlg didirikan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan kegiatan bongkar muat barang di Ternrinal multipurpose dan l<onvensional.

      (4)

      Badan (4) Badan Usaha sebagaimana dimaksurl pada ayat (3) wajib bekerja sama dengan:

    35. penyelenggara Pelabuhan; atau

    36. Badan Usaha Pelabuhan yang telah mendapatkan Konsesi. Pasal 1 1 (1) Perusahaan angkutan laut nasional dapat melakukan kegiatan bongkar muat barang tertentu untuk Kapal yang dioperasikannya. (21 Kegiatan bongkar muat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)yangdilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, izin usahanya melekat pada izin Usaha Pokoknya. (3) Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi barang:

    37. milik penumpang;

    38. curah cair yang dibongkar atau dimtrat melalui pipa;

    39. curah kering yang dibongkar atatr dimuat melalui conueAor atau sejenisnya; dan

    40. yang diangkut di atas kendaraan melalui Kapa1 ro-ro. (4) Perusahaan angkutan laut nasional dapat melakukan bongkar niuat semua ^jenis barang apabila di Pelabuhan tersebut tidak terdapat perusahaan bongkar muat bara.ng. (5) Perusahaan angkutan laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memiliki Kapal yang dilengkapi dengan peralatari bongkar muat barang dan tenaga ahli. Pa-sal 12 PRES ]DEN REPUBLIK INDONESIA. Pasal 12 (1) Kegiatan usaha jasa pengurLtsan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b meliputi: penerlmaan; pengelolaan penyimpanan; sortasi; pengepakan; penandaan; pengukuran; penimbangan; pengelolaan transportasi; penerbitan dokumen angkutan barang melalui moda transportasi darat, laut, dan/atau udara; pengurusan penyelesaian dokumen; pemesanan ruallgan pengangkut; pengiriman; pengelolaan pendistribusian; perhitungan biaya angkutan dan logistik; klaim; asuransi atas pengiriman barang; penyelesaian tagihan dan biaya lainnya yang diperlukan; penyediaan sistem informasi dan komunikasi; layanan logistik penyediaan layanan logistik di pasar nasional dan internasional secara konvensional dan/atatr elektronik; a. b. c. d. e. f. g. h.

    41. j k.

      1. m. n. o. p.
    42. r, S t. penyediaarl e-cornmerce, teknologi internet yang menggunakan sistem satelit yang memungkinkan pelacakan real-time barang;

    43. pengangkut kontraktual atau non uessel operator common canrier (NVOCC); dan

    44. barang khusus bawaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. l2l ^Kegiatan ^usaha ^jasa ^pengurusan ^transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha ^jasa pengurusan transportasi. (3) Dalam hal pelaksanaan pengiriman dan penerimaan barang melaltri transportasi darat, perkeretaapian, laut, dan udara, pemilik barang harus menunjuk perusahaan jasa pengurusan' transportasi setempat dimana kegiatan telsebut dilakukan. Pasal 13 (1) Usaha jasa pengurusan transportasi yang dilakukan oleh usaha patungan dan penanaman modal asing wajib memiliki Perizinan Berusaha. (21 Perusaha.an jasa pengurlrsan transportasi yang berstatus penanaman modal asing vrajib melaporkan Perizinan Berusaha sebagaimarra dimaksud pada ayat (1) kepada l{enteri. Pasal 14 (1) Pembukaan kantor cabang pegusahaan jasa pengurusan transportasi dilakukan dengan mempertimbangkan adanya barang yang akan dikirim danlatau diterima dari dan/ar.tau ke vrilayah setempat secara berkesinambungan. (21 Pembukaan kantor cabang perusahaan jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha. Pasal 15 Untuk mengurangi risiko tanggung jawab serta menjamin pihak yang dirugikan, perusahaan jasa pengurLlsan transportasi wajib mengasuransikan barangnya dan/atau tanggung jawabnya. Pasal 15 (1) Perusahaan nasional jasa pengurusan transportasi yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha harrs memiliki sumber daya manusia yang terampil dan/atau kompeten di bidang jasa pengurLlsan transportasi. (2) Peningkatan keterampilan dan/atiu kompetensi sumber daya manusia di bidang jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat serta dapat bekerja sama dengan asosiasi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 17 (1) Kegiatan usaha angkutan perairan Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalarn Pa.sal 9 ayat (2) huruf c merupakan kegiatan usaha untrrk memindahkan penumpang dan/atau barang dari dermaga ke Kapal atau sebaliknya, dan dari Kapal ke Kapal di perairan Pelabuhan. (2) Kegiatan usaha angkutan perairan Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha angkutan perairan Pelabuhan.

      (3)

      Selain (3) Selain Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2),, kegiatan usaha angkutan perairan Pelabuhan dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional. (4) Kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, izin usahanya melekat pada izin Usaha Pokoknya. Pasal 18 (1) Kegiatan usaha angkutan perairan Pelabuhan dilakukan di dalam DLKr dan/atau DLKp Pelabuhan. l2l ^Bagi ^Pelabuhan ^yang beium ^memiliki ^Rencana ^Induk Pelabuhan dan DLKr dan/atau DLKp Pelabuhan, penyelenggara Pelabuhan dapat menetapkan area kegiatan angkutan perairan Pelabuhan dengan mernperha.tikan aspek Keselamatan dan Keamanan Pelayaran. (3) Kegiatan angkutan perairan Pelabuhair sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengarr menggunakan Ihpar yang memenuhi persyaratan kelaiklautan sesuai dengan ketentuan . peraturan pemndang-undangan. Pasal 19 Perusahaan angkutan laut nasional atau pemilik barang/kuasanva dapat menunjuk perusahaan angkutan perairan Pelabuhan di Pelabuhan setenrpat untuk melakukan pelaksanaan kegiatan ^'memindahkan penumpang danlatau barang dari dermaga ke Kapal atau sebaliknya, dan dari Kapal ke Kapal di perairan Pelabuhan. Pasal 2O (1) Untuk menunjang usaha angkutan perairan Pelabuhan, perusahaan angkutan perairan di Pelabuhan dapat membuka kantor cabang perusahaan. (2) Kantor cabang pe.rusahaan angkutan perairan di Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian organikyarrg tidak terpisahkan dari kantor pusat. Pasal 21 Tarif angkutan perairan Pelabuhan terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan barang. Pasal 22 (1) Tarif angkutan penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 terdiri atas j--nis tarif untuk:

    45. kelas ekonomi; dan

    46. kelas non-ekonomi. (21 Besaran tarif pelayanan jasa angkutan perairan Pelabuhan ciitetapkan atas dasar kesepakatan bersama antara penyedia jasa dan pengguna jasa berdasarkan jenis, struktur, dan golongan tarif dengan menggunakan pedoman perhitungan yang ditetapkan oleh Menteri. (3) Struktur tarif angkutan penumpang kelas ekonomi sebaga-inra.na dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas tarif dasar dan tarif jarak. PFIES lDEN REPUBLIK INDONESIA (41 Struktur tarif pelayanan kelas non-ekonomi sebagairnana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas tarif dasar, tarif ^jarak, dan tarif pelayanan tambahan. (5) Besaran tarif angkutan penumpang kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri. (6) Besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tarif batas atas. (71 Besaran tarif angkutan penumpang non-ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh penyelenggara angkutan berdasarkan tingkat pelayanan tambahan yang diberikan. Pasal 23 (1) Besaran tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2L ditetapkan oleh penyedia ^jasa angkutan perairan Pelabuhan berdasarkan kesepakatan airtara pengguna dan penyedia ^jasa angkutan sesuai dengan ^jenis, struktur, dan ^golongan tarif yang ditetapkan oleh Menteri. (21 Jenis tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    47. barang yang sesuai bentuk dan sifatnya memerlukan penanganan secara umum;

    48. barang khusus yang karena sifat dan ukurannya memerlukan penanganan khusus antara lain It"y., gelondongan, barang curah, rel, dan ternak;

    49. barang berbahaya yang karena sifat, ciri khas, dan keadaannya dapat membahayakan ^jiwa manusia dan lingkungant, yang dapat berbentuk bahan cair, bahan padat, dan bahan gas; dan

    50. kendaraan beserta muatannya yang diangkut Kapal ro-ro.

      (3)

      Struktur (3) Struktur tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rn€rupakan kerangka tarif yang dikaitkan dengan:

    51. kekhususan ^jenis barang;

    52. bentuk kemasan;

    53. volume atau berat barang; dan

    54. jarak atau rvaktu tempuh. (4) Golongan tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penggolongan tarif yang ditetapkan berdasarkan: jenis barang yang diangkut nrencakup barang umum, peti kemas, curah kering, curah cair, gas, dan ternak; jenis pelayanan mencakup pelayanan biasa dan pelayanan khusus rnisalnya menggunakan reefer container; fasilitas arrgkutan mencakup fasilitas angkutan unimoda dan rnultimoda; dan

    55. klasifikasi mencakup:

    56. berdasarkan sifat barang misalnya barang mengganggu dan barang berbahaya;

  22. berdasarkan ukurannya misalnya ouer dinrcnsion'atau 3. berdasarksln sifat penanganannya misalnya project cargo dengan ukuran Can bentuk khusus. Pasal 24 (1) Perusahaan nasional angkr: tan perairan Pelabuhan yang telah mendapatkan Pcrizitran Berusaha harus rnemiliki sumber daya manusia yang terampil dan/atau kompeten di bidang angkutan perairan Pelabuhan.

    1. b c (2) Peningkatan (2t Peningkatan keterampilan dan/atau ^kompetensi sumber daya manusia di bidang ^angkutan ^perairan Pelabuhan sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) diselenggarakan oleh ^pemerintah dan/atau ^asosiasi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai ^dengan ketentuan peraturarn perundang-undangan. Pasal 25 (1) Kegiatan usaha penyewaan ^peralatan angkutan ^laut atau peralatan ^jasa terkait ^dengan ^angkutan ^laut merupakan kegiatan usaha ^yang bergerak ^dalam bidang yang diperlukan bagi terlaksananya ^penyewaan peralatan angkutan laut atau penyewaan ^peralatan jasa terkait dengan angkutan laut yang dapat mencakup kegiatan:

    2. penyewaan peralatan angkutan ^laut;

    3. pen)rewaan peralatan bongkar muat;

    4. penyewaan peralatan ^jasa pengurusan transportasi;

    5. penyewaan peralatan tallg mandiri;

    6. penyewaan peralatan depo ^peti ^kemas; ^dan/atau f. penye-ffaan peralatan perbaikan dan pemeliharaan Kapal. (2) Kegiatan usafia penJ/ewaan peralatan artgkutan ^laut atau peralatan -tasa terkait dengan angkutan ^laut seoagaimana dimaksud pada ?yat ^(1) ^dilakukan ^oleh Badan Usaha yang didirikan khusrts untuk ^usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau ^peralatan iasa ^terkait ^dengan ^angkutan laut.

      (3)

      Dalam hal pelaksanaan irenyewaan ^peralatan angkutan .latrt atau peralatan ^jasa terkait ^dengan angkutan laut, perusahaan angkutan laut ^nasional atau perusahaan Usaha Jasa Terkait angkutan ^laut nasional dapat menunjuk perusahaan ^penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan ^jasa terkait dengan angkutan laut setempat dimana ^kegiatan tersebut dilakukan. Pasal 26 (1) Kegiatan usaha tallg mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf e rnerLlpakan kegiatan jasa menghitung, mengukur, merrimbang, dan membuat catatan merrgenai muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan/atau pengangkut. (2) Kegiatan usaha tallg mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha tallg mandi/r. (3) Kegiatan usaha tallg mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapar dilakukan di Kapal pada kegiatan steuedoring terhadap sedap' Kapal berbendera Indonesia maupun Kapal Asing yang melakukan kegiatan bongkar muat barang Cari dan ke Kapal di wilayah kerja Pelabuhan, atas perrnintaan pengguna jasa tallg mandiri. (4) Kegiatan tallg mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat. dilakukan pada kegiatan aargodoing, receiuing, deliuery, stuffirq, dan stripping di ^pelabuhan, Terminal, depo peti kemas atau gudang atas permintaan pengrldna jasa tallg mandiri. (5) Selain Badan Usaha sebagaimana climaksud pada ayat (2)', kegiatan tally mandiri dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan bongLar muat atau perusahaan jasa pengurusan transportasi rrntuk kegiatan steuedoring, cargodoring, receiuing, deiiuery, stufftng, dan stipping peti kernas bagi kepentingann5'a sendiri. (6) Kegiatan tallg mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5)yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan bongkar muat, atau perusahaan jasa pengurLrsan transportasi, izin usahanya melekat pada i2in' IJsaha Pokoknya.

      Pasal 27

      Pasal 27 (1) Pelaksanaan kegiatan tallg mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dilaksanakan dengan menggunakan peralatan dan tenaga kerja yang rnemiliki keahlian dan kompetensi di bidang tallg mandiri. (2) Peralatan tallg mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan laik operasi dan menjamin keselamatan kerja. (3) Tenaga kerja tally mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki keterampilan dan/atau kompetensi ahli di oidang tally mandiri yang dibuktikan dengan sertifikat. (4) Tenaga kerja tallg mandiri sebagairnana dimaksud pada ayat (3) wajib mengikuti kegiatan pelatihan tallg mandiri yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau asosiasi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 28 (1) Penrsahaan angkutan laut atau pemilik bararrg atau kuasanya dapat menunjuk perusahaan'tallg mandiri di Pelabuhan'atau Terminal seternpat untuk melakukan kegiatan tallg mandiri. (21 Perusahaan tally mandiri yang ditunjuk sebagaimana dimaksud paCa ayat (1) wajib melaporkan kepada penyelenggara Pelabuhan sebelum melakulcan kegiatannya.


      Pasal 29

      Pasal 29 (1) Untuk menun-iang pelayanan kegiatan tallg mandiri di Pelabuhan, perusahaa.n tallg mandiri hauya dapat membuka kantor cabang pada provinsi ternpat kantor pusatnya berdomisili. (2) Kantor cabang perusahaan tallg mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian organik yang tidak terpisahkan dari kantor pusatnya. Pasal 30 (1) Kegiatan usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf f meliputi:


    7. penyimpanan dan/atau penumpukan peti kemas;

    8. pembersihan atau pencucian, perawatan, clan perbaikan peti kemas;

    9. I: egiatan konsolidasi bongkar atau muat barang dari dan ke dalarn peti kemas yang dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) pemilik barang (less than container load cargo); atau

    10. kegiatan lain terdiri atas:

  23. pemindahan;

  24. pengaturan atau angsur;

  25. penataan;

  26. lift on lift off secara mekanik;

  27. pelaksanaan suruei;

  28. pengemasan;

  29. pelabelan;

  30. pengikatan/pelepasan;

  31. pemeriksaan 9. pemeriksaan fisik barang;

  32. penerimaan; 1 1. penyampaian; dan

  33. tempat penimbunan yang ^peruntukannya untuk kegiatan depo peti kemas dalam pengawasan kepabeanan. (21 Kegiatan usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh ^Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha depo ^peti kemas. (3) Kegiatan usaha depo peti kemas yang dilaksanakan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud ^pada ayat (2) dilakukan di luar DLKr Pelabuhan.

    Pasal 31

    Untuk kegiatan usaha depo peti kemas ^yang dilakukan ^di dalam DLKr Pelabuhan dilaksanakan oleh ^Badan ^Usaha melalui mekanisme kerja sama dengan Badan Usaha Pelabuhan dan/atau penyelenggara Pelabuhan. Pasal 32 (1) Untuk menunjang pelayanan kegiatan usaha depo ^peti kemas, perusahaan depo peti kemas dapat membuka kantor cabang. (2) Perusahaan depo peti kemas yang membuka kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Kantor cabang perusahaan depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian organik yang tidak terpisahkan dari kantor pusatnya.


    Pasal 33

    Pasal 33 (1) Perusahaan depo peti kemas yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha harus memiliki sumber daya manusia yang terampil dan/atau kompeten di bidang depo peti kemas. (21 Peningkatan keterampilan dan/atau kompetensi sumber daya manusia di bidang depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau asosiasi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 34 (1) Kegiatan usaha pengelolaan Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf g merupakan kegiatan pengelolaan Kapal di bidang teknis Kapal meliputi perawatan, persiapan pengedokan, penyediaan suku cadang, perbekalan, pengawakan, asuransi, dan sertifikasi Kelaiklautan Kapal. (2) Kegiatan usaha pengelolaan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha pengelolaan Kapal. (3) Selain Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kegiatan usaha pengelolaan Kapal dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional.

    (4)

    Kegiatan usaha pengelolaan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, izin usahanya melekat pada izin Usaha Pokoknya. Pasal 35 .


    Pasal 35

    Kegiatan usaha pengelolaan Kapal mer'upo.kdn kegiatan pengelolaan Kapal di bidang teknis Kapal. Pasal 36 (1) Untuk memenuhi persyaratan Kelaiklautan Kapal, perusahaan pengelolaan Kapal wajib memashkan Kapal yang dikelola memenuhi persyaratan sesuai dengan ketdntuan peraturan perLi irdar: g ^.undangan. (21 Untuk rnemastikan Kapal : lang dikelola memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan pengelolaan Kapal harus menetapkan standar dan prosedur operasional sistem perawatan Kapal terencana. (3) Penetapan stanclar dan prosedur operasional sistem perawatan Kapal terencana sebagaimana dimaksud pacia ayat l2l paling sedikit memuat data: identifikasi seluruh konstruksi lambung, permesinan, peralatan dan perlengkapan Kapal; jadwal pelaksanaan pemeliharaan dan pengujian terhadap konstruksi lambung, permesinan, pera.latan dan perlengkapan Kapal sesuai persyaratan manajemen Keselamatan Ka pal; pelaksanaan pemeliharaan, pemeriksaan, dan pengujian rutin; pengelolaan yang berhubungan <iengan pihak kctiga terkait pemeliharaan Kapal; dan Iaporan hasil evaluasi pemeliharaan Kapal secara berkala, dan disampaikan kepada pemilik Kapal. a b c d e


    Pasal 37

    Pasal 37 (1) Penyeierrggaraan kegiatan persiapa-n pengedokan Kapal dilakukan untuk memastikan ^jadwal pengedokan Kapal yang dikelola ciilaksanakan sesuai dengan waktu dan tempat yang ditetapkan. {21 ^Kegiatan persiapan ^pengedokan ^Kapal paling ^sedikit meliputi:

    1. pembuatan ^jadwal pelaksanaan pengedokan;

    2. pembuatan daftar perbaikan Kapal sesuai pekerjaan perbaikan yang akan dilakukan termasuk daftar perbaikan pekerjaan dan catatan pada laporan pemeriksaan dari aspek stafifiory dan klasifikasi pada saat pengedokan sebeiumnya;

    3. pemeriksaan rencana pemeliharaan dan perbaikan Kapal;

    4. koordinasi dengan pihak galangan Kapal dan/atau kontraktor untuk rrlenetapkan pembagian jenis pekerjaan dan daftar perbaikan Kapal;

    5. pemeriksaan gambar rencaila pengedokan Kapal;

    6. penyiapan rencana kebutuhan operasional Kapal sebelum pelaksanaan pengedokan Kapal selesai paling sedikit meliputi:


  34. rencana pengisian bahan bakar minyak dan air tawar;

  35. mengumpulkan semua dokumen'dari pihak galangan termasuk laporan pen$edokan untuk hepentingan pengtlrusan ser*.ifikasi; dan

  36. rencana pembayaran pada pihak galangan Kapal dan/ atatr kontraktor;

    1. inventarisasi inventarisasi laporan pengedokan paling sedikit meliputi:

  37. laporan hasil pengukuran clearance as kemudi dan propeller;

  38. laporan pengukuran ^jangkar dan rantai jangkar;

  39. laporan aktivitas kerja pengedokan;

  40. laporan penggantian spare pad mesin dan listrik;

  41. laporan penggunaan bahan konstruksi;

  42. laporan pengukuran clearance perffLesinan;

  43. Iaporan hasil megger test;

  44. iaporan inventaris Kapal;

  45. laporan hasil evaluasi penyelesaian pekerjaan; dan

  46. laporan pemeriksaan aspek statutory datr klasifikasi, serta sertifikasi Kapal. Pasal 38 (1) Penyelenggo.r?.arr kegiatan penyediaan suku cadang Ihpal dilakukan untuk mernastikan ketersediaan suku cadang yang diperlukan untuk Kapal yang dikelola sesuai ciengan spesifikasi dan kebutuhan. (21 Kegiatan penyediaan suku cadang Ihpal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit: inventarisasi suku cadang yang dibrrtuhkan; pembuatan daltar suku cadang yang ^,Jiperlukan secara berkala; dan koordinasi dengan pabrik pembuat/distributor dan penyedia suku cadang. o b a.

    1. c Pasal 39 (1) Penyelenggaraan kegiatan penyediaan perbekalan di Kapal dilakukan untuk memastikan kebutuhan operasional perbekalan Kapal yang dikelola terpenuhi. (21 Kegiatan penyediaan perbekalan di Kapal sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) paling sedikit:

    2. bahan bakar minyak;

    3. minyak pelumas;

    4. air tawar;

    5. bahan makanan dan obat-obatan;

    6. peralatan kebersihan;

    7. barang habis pakai; dan

    8. perbelalan Awak Kapal. (3) Kegiatan penyediaan perbekalan di l(apal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan keterrtuan peraturan perundang-urrdangan. Pasal 40 (1) Kegiatan pengelolaan pengawakan dilakuktin untuk memastikan kepada pemilik Kapal bahwa setiap Awak Kapal yang bekerja di Kapal yang dikelola, mempunyai kualifikasi keahlian atau keterampilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kegiatan pengelolaan penghwakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:

    9. penerimaan Arvak Kapal;

    10. pemeriksaan kesehatan Arvak Kapal;

    11. administrasi /r.wak Kapal;

    12. penempatan Arvak Kapal;

    13. penilaian Awak Kapal; dan , f. pemberhentian Arvak Kapal. Pasal 41 (l) Pemenuhan asuransi pada kegiatan pengelolaan Kapal dilakukan untuk memastikan Kapal yang dikeloia memiliki asuransi sesuai dengan masa berlakunya. (21 Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: t^. asuransi yang bersifat'.vajib; drrn b. asuransi yang bersifat pilihan. (3) Asuransi yang bersifat wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (21huruf a berupa:

    14. asuransi terhadap . keselamatan dan keamanarl penumpang dan/atau barang yang diangkutrrya;

    15. asuransi pengangkatan Kerangka Kapal (wreck remouall; dan

    16. asuransi ganti rugi pencemaran dari Kapal. (41 dsuransi yang bersifat pilihan sebagainrana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa: . . a. asuransi lambung Kapal; dar: /atau b. asuransi permesinan. (5) Perusahaan pengelolaarr Kapal dapat mewakili pemilik Kapal dalam ^.pengurusan pembukaan, negosiasi besaran premi asuransi, dan penutupan serta klaim asuransi. . Pasal 42 Perusahaan pengelolaan Kapal dapat meu'akili pemilik Kapal dalam memelihara Kapal dan mgmastikan dokumen atau sertifikat Kapal masih berlaxu sesuai dengan persyaratan Kelaiklautren Kapal. Pasal 43 (1) Perusahaan nasional pengelolaan Kapal yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha harus menriliki sumber daya manusia yang terampil dan/atau kompeten di bidang pengelolaan Kapal. (2) Peningkatan keterampilan dan/atau kompetensi sumber daya manusia di bidang pengelolaan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau asosiasi melalui pendidikan dan pelacihan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangat,. Pasal 44 (1) Kegiatan usaha pera.ntara jual beli dan/atau sewa Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat ^(2) hurrrf h merupakan kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang yang diperlurkarr bagi terlaksananya perarrtaraan jual beli Kapal bai'u, Kapal bekas atau Kapal rongsokan antara pihak penjual dan pembeli dan/atau sewa menyewa Kapal antara pihak pemilik Kapal dan penyewa Kapal yang paling sedikit memuat kegiatan:

    17. perantaraan ^jual beli Kapal baru;

    18. perantaraan ^jual beli Kapal bekas;

    19. perantaraan ^jual beli Kapal rongsokan;

    20. perairtaraan penyewaafl Kapal untuk kegiatan Pelayaran dari dan ke lu.ar negeri; dan

    21. dukungan ^jasa perantaraan ^jual beli dan/atau sewa Kapal meliputi konsultasi tentang keagenan Kapal, aspek legaI, asuransi, keuangan, arbitrase, riset, nlcrketing, dan administrasi.

      (2)

      Kegiatan.

      (2)

      Kegiatan usaha perantara jual beli dan/atau sewa Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha perantara jual beli dan/atau sewa Kapal. (3) Dalam pelaksanaan perantara jual beli dan/atau sewa Kapal perusahaan angkutan laut nasional dapat menunjuk perusahaan perantara jual beli dan/atau sewa Kapal seternpat dimana kegiatan tersebut dilakukan. Pasal 45 (1) Perusahaan perantara jual beli dan/atau sewa Kapal dapat mendirikan kantor cabang di dalam negeri serta menunjuk atau bekerja sama dengan perusahaan sejenis di luar negeri. (2) Pendirian kantor cabang perusahaan perantara jual beli dan/atau sewa Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 46 (1) Perusahaan asing yang akan melaksanakan kegiatan perantara jual beli dan/atau sewa Kapal wajib mendirikan ^,rsaha patungan dengan perusahaan dalam negeri. (21 Usaha perantarar jual beli dan/atau sewa Kapal yang dilakukan oleh usaha patungan dan perianaman modal asing wajib rnemiliki Perizinan Berusaha.

      Pasal 47

      Besaran tarif pelayanan ^jasa perantara jual beli dan/atau sewa Kapal, ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pihak pengguna dan perusahaan perantara jqal beli dan/atau sewa Kapai. Pasal 48 (1) Perusahaan nasional perantara ^jual beli dan/atau sewa Kapal yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha harus memiliki sumber daya manusia ^yang terampil dan/atau kompeten di bidang ^perantara ^jual beli dan/atau sewa Kapal. (2) Peningkatan keterampilan dan/atau kompetensi sumber daya manusia di bidang ^perantara ^jual beli dan/atau sewa Kapal sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau asosiasi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 49 (1) Kegiatan keagena.n Awak Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf i meliputi:


    22. perekrutan dan penempatan Awak Kapal berbendera Indonesia dan Kapal Asing di dalam negeri; atau

    23. perekrutan dan penempatatr Awak Kapal berbendera Indonesia dan Kapal Asing di luar negeri. (21 Kegiatan usaha keagenan Awak Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikau khrrsus untuk usaha keagenan Awak Kapal. (3) Selain Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha keagenan Awak Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (21, perusahaan angkutan laut nasional dan perusahaa.n pengelolaan Kapal dapat melaksanakan kegiatan perekrutan dan penempatan Awak Kapal hanya untuk kebutuhan sendiri. Pasal 50 (1) Perusahaan nasional keagenan Awak Kapal yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha keagenan Awak Kapal harus memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang keagenan Awak Kapal. (2) Peningkatan keterarrrpilan dan/atau kompetensi sumber daya manusia di bidang keagenan Au'ak Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau asosiasi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 51 (1) Untuk menunjang peningkatan pelayanan terhadap keagenan Awak Kapal yang diageninya, perusahaan nasional keagenan Awak Kapal yang telah memiliki Perizinan Berusaha dapat membuka kantor cabang. (2) Pendirian kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan persetujuan dari Menteri.

      Pasal 52

      Pemilik perusahaan keagenan Awak Kapal bertanggung jawab terLadap pelaut yang telah ditempatkan atau dipekerjakan pada perusahaan Pelayaran sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja laut dan pemulangan ke tempat awal direkrut. Pasal 53 (1) Kegiatan usaha keagenan Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) hunrf j merupakan kegiatan mengurus kepentingan:


    24. operasional Kapal; dan

    25. komersial Kapal. (21 Kepentingan operasional Kapal dan kepentingan komersial Kapal sebagaimana dimaksrrd pada ayat (1) dilakukan terhadap Kapal perusahaan angkutan laut asing dar'/atau Kapal per.rsahaan angkutan laut nasional selama berada di Indonesia. (3) Kegiatan usaha keagenan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh perusahaan nasional keagenan Kapal atau perusahaan angkutan laut nasional. (4) Kegiatan usaha keagenan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional keagenan Kapal yahg rnelakukan kemitraan dengan perusahaan angkutan laut nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah. (5) Ketentuan lehih lanjut mengenai usaha keagenan Kapal diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 54 (1) Penyelenggaraan l<egiatan usaha perawatan dan perbaikan Kapal sebagaimana dirnakscrd dalam pasal 9 ayat (2i huruf k dilakukan oleh orang perseorangan atau Badan Usaha yang didirikan khusus untuk kegiatan usaha perawatan dan perbaikan Kapal. (2) Penyelenggaraan kegiatan usaha perawatan dan perbaikan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa penreliharaan untuk konstruksi lambung, perrnesinan, peralatan dan perlengkaoan Kapal guna mernenuhi persyaratan Kelaiklautan Kapal.

      (3)

      Penyelenggaraan kegiatan usaha perawatan dan perbaikan Kapal sebagaimana dimaksud pacla ayat ^(21 dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemilik Kapal dan perusahaan perawatan dan perbaikan Kapal yang dituangkan dalam perjanjian.

      (4)

      Dalam pelaksanaan perawatan dan perbaikan Kapal, perusahaan angkutan laut nasional dapat menunjuk perusahaan perawatan dan perbaikan Kapal setempat dimana kegiatan tersebut dilakukan. Pasal 55 (1) Pbnyelenggaraan perawatan Kapal yang dilakukan oleh orang perseorangan atau Ba-da.n Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat- (1) diiaksanakan ^pada kondisi Kapal terapung di atas permukaan air ^(floating repail.

      (2)

      Perawatan Kapal sebagaimana dirnaksud pada ayat ^(1) dilakukan di atas garis air dan/atau di bau'ah ^garis air tanpa membahayakan keselamatan. (3) Perawatan Kapal di bau'ah garis air sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dapat dilakukan dengan nretode uttder water surueA.

      Pasal 56

      Jenis kegiatan usaha perbaikan dan perawatan Kapal ^yang dilaksanakan oleh orang perseorangan atau Badan Usaha sebagaimana dimaksttd dalam Pasal 54 ayat (1) ^paling sedikit:


    26. perl'raikan dan perlengkaparn Kapal;

    27. perbaikan bangunan atas Kapal;

    28. perbaikan atau perawatan permesinan di atas Kapal;

    29. perbaikan atau perawatan peralatan navigasi Kapal;

    30. perbaikan atau perawatan peralatan radio Kapal; dan

    31. perbaikan atau perawatan peralatan Keselanaatan Kapal saat terapung (floatingl. Pasal 57 Besaran tarif pelayanan jasa usaha perawatan dan perbaikan Kapal ditetapkan atas kesepakatan bersama antara pemilik Kapal dan penyedia jasa usaha perawatan dan perbaikan Kapal berdasarkan jenis, struktur, dan golongan tarif dengan menglgunakan pedoman perhitungan yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 58 (1) Orang perseorangan atau Badan Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha perawatan dan perbaikan Kapal yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha harus nremiliki sumber daya manusia yang terampil dan/atau komireten di bidang perawatan dan perbaikan Kapal. (21 Peningkatan keterampilan dan/atau kompetensi sumber daya manusia di bidang perawatan dan perbaikan Ikpal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah daniatau asosiasi melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undairgan. BAB IV. BAB TV KEPELABUHANAN Pasal 59 (1) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang I(epelabuhanan sebagaimana telah diubah dengan Peratui'an Peme: intah Nomor 64 Tahun 2Ol5 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan dibentuk pada Pelabuhan yang diusahakan secara komersial. (21 Otoritas Pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab:

    32. menyediakan lahan di daratan dan di peraira.n Pelabuhan;

    33. menyediakan dari memelihara penahan gelombang, Kolam Pelabuhan,'Alur-Pelayaran, dan ^jaringan jalan;

    34. merryediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;

    35. menjamin keamanan dan ketertiban di Pelabuhan; ' i e. menjamin darr memelihara kelestanan lingkungan di Pelabuhan;

    36. menJrusun Rencana Induk Pelabuhan sert-a DLKr dan DLKp Pelabuhan;

    37. mengusulkan tarif untuk ditetapkan Menteri, atas penggunaan perairan dan/atau daratan, dan FaSilitas Pelabuhan yang disediakan oleh pemerintah serta jasa Kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan sesuai dengan ketenturrn peraturan pemndang- undangan; dan

    38. menjamin keiancrrran arus barang.

      (3)

      Selain.

      (3)

      Selain tugas dan tanggung jarvab sebagaimana dimaksud pada ayat (2),, Otoritas Pelabuhan melalsanakan kegiatan penyediaan dan/atau peiayanan jasa Kepelabuhanan yang diperlukan oleh pengguna jasa yang belum disediakan oleh Badan Usaha Pelabrihan. (4) Dalam keadaan tertentu untuk pelaksanaan pemeliharaan penahan gelombang, Kolam Pelabuhan, Alur-Pelayaran, .lan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b dapat dilaksanakan olch Badari Usaha Pelabuhan yang'telAh mendapatkan Konsesi atau pengelola Terminarl untuk I(epentingan Sendiri yang dituangkan dalam perjanjian Konsesi atau kerja sama bentuk lainnya.

      (5)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kerja sama bentuk lainnya sebagaimarra dimaksud pada ayat (4) diatur dengan- Peraturan Menteri. Pasal 60 (1) tlnit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2O15 tentang Perubaha; r atas Peraturan Pemerintah l'lomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan dibentuk pada Pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. (2) Urrit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada:

    39. Menteri a. Menteri untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Pusafi dan b. gubernur atau bupati/wali kota untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Daerah. (3) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan Kepelabuhanan, mempunyai tugas dan tanggung jawab:

    40. menyediakan dan memelihara penahan gelombang, Kolam Pelabuhan, dan Alur- Pelayaran;

    41. menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;

    42. menjamin keamanan dan ketertiban di Pelabuhan, d. menjamir, dan memelihara kelestarian lingkungan di Pelabuhan;

    43. menJrusun Rencana Induk Pelabuhan serta DLKr dan DLKp Pelabuhan;

    44. menjamin kelancaran arus barang; dan

    45. menyediakanFasilitasPelatruhan. (4) Daiam kondisi tertentu pemeliharaan penahan gelombang, Ko[a.n Pelabuhan, dan Alur'-Pelayaran, sebagaimana dimal; sud pada ayat (3) hu,rrf a dapat dilaksanakan oleir pengelola Terminal untuk Kepentingan Serrdiri yang dituangkan dalam perjanjian kerja sama bentuk le.i.nnya.

      (5)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kerja sama bentuk lainnya sebagaimana dimerksuC pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

      Pasal 61

      Pasal 61 (1) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa Kapal, penumpang, dan barang terdiri ata.s:


    46. penyediaan dan/atau pelayana^r ^jasa dermaga untuk bertambat;

    47. penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih;

    48. penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun pelumpang dan/atau kendaraan;

    49. penyediaan dan/atau pelayanan ^jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas;

    50. penyediaan danlatau pelayanan ^jasa gudang dan tempat penimbunan ba.rang, alat bongkar muat, serta peralatan Pelabuhan;

    51. perryediaan dan/atau pelayanan jasa Terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan ro-ro;

    52. penyediaan dan/atau pelayarran jasa bongkar muat barang;

    53. penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau

    54. penyediaan danlatau pelayanan ^jasa penunCaan Kapal. (21 Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan. (3) Kegiatar.r penyediaan dan/atau peiayanan ^jasa bongka,: muat barang sebagctimana dimaksud pada ayar (1) huruf g yang d: lakukan di Terminal muttipurpose dan konvensiorral dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha yang didirikan khustts untuk bongkar muat barang di Pelabuhan melalui keda. sama dengan Badan Usaher Pelabuhan. (4) Badan Usaha Pelabuhan yang melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar rrruat barang pada terminal multipurpose dan konvensional melakukan kemitraan dengan Badan Usaha yang didirikan khusus untuk bongkar muat barang di Pelabuhan dalam rangka pemberda.yaan usaha mikro, kecil, dan menengah dengan memperhatikan prinsip ker; ecaraan dan keadilan dalam berusaha.

      (5)

      Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan ^jasa bongkar muat barang sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf g d.ilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan pada Terminal:

    55. peti kemas;

    56. curah cair yang dibongkar atau dimuat melalui pipanisasi;

    57. curah kering yang dibongkat'atau dimuat melalui conueAor atau sejenisnya; dan

    58. kendaraan yang mengangkut kendaraan melalui Kapal ro-ro. Pasal 62 (1) Badan Usaha Pelabuhan dalam perryediaan dan/atau pelayanan jasa Kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat ^(2) dapat melakukan kegiatan pengusahaan untuk lebih dari ^1 (satu) Terminal. (2) Badan Usaha Peiabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan kegiatan usahanya wajib memiliki Perizinan Berusaha Badan Usaha Pelabuhan dari:

    59. bupati/wali kota untuk Badan Usaha Pelabuhan di Pelabuhan Pengumpan lokal;

    60. gubei'nur untuk BaCan Usaha Pelabuhan di Pelabuhan Pengumpan regional; dan

    61. Menteri untuk Badan Usaha Pelabuhan di Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul. Pasal 63 (1) Pembangtrnan Pelabuhan laut dilaksanakan oleh:

    62. Badan Usaha Pelabuhan;

    63. instansi Pemerintah Pusat; atau

    64. instansi Pemerintah Daerah. (21 Instansi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

    65. Otoritas Pelabuhan; dan

    66. Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah h.rsat. (3) Instansi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Daerah. (4) Pembangunan Pelabuhan laut yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memperoleh Perizinan Berusaha dari:

    67. bupati/urali kota untuk Pelabuhan Pengumpa.n lokal;

    68. gubernur untuk Pelabuhan Pengumpan regional; atau

    69. Menteri untuk Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul. (5) Pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan laut yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c harus mendapatkan persetujuan dari Menteri. Pasal 64 (1) Pembangunan Pelabuhan sungai dan danau dilaksanakan oleh:

    70. Badan Usaha Pelabuhan;

    71. instansi Pemerintah Pusat; atau

    72. instansi Pemerintah Daerah. (2) Pembangunan Pelabuhan sungai dan danau yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota.

      (3)

      Pembangunan (3) Pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan sungai dan danau yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah Pusat atau instansi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, harus mendapatkan persetujuan dari Menteri. Pasal 65 (1) Pembangunan Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan Konsesi atau kerja sama bentuk lainnya dari Menteri. (21 Badan Usaha Pelabuhan, instansi Pemerintah Pusat atau instansi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), dalam membangun Pelabuhan wajib:

    73. melaksanakan pekerjaan pembangunan Pelabuhan paling lama 2 (Cua) tahun sejak tanggal berlakunya Perizinan Berusaha pembangunan Pelabuhan;

    74. melaksanakan pekerjaan pembangunan Pelabuhan sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan yang telah ditetapkan;

    75. melaporkan pelaksanaan kegiatan pembangunan Pelabuhan secara berkala kepada Menteri, . gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya; dan

    76. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan Pelabuhan yang bersangkutarr.

      Pasal 56

      Pengembangan Pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya Perizinan Berusaha dari:


    77. bupati/wali kota untuk Pelabuhan Pengumpan lokal serta Pelabuhan sungai dan danau;

    78. gubernur untuk Pelabuhan Pengumpan regional,'dan c. Menteri untuk Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul. Pasal 67 (1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksucl dalarn Pasal 66 diberika.n berdasarkan permohonan dari:

    79. Badan Usaha Pelabuhan;

    80. instansi Pemerintah Pusat; atau

    81. instansi Pemerintah Daerah. (2) Instansi Pemerintah Pusat sebagairnana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

    82. Otoritas Pelabuhan; dan

    83. Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Pusat. (3) Instansi Pemerintah, Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Daerah. (4) Pengembangan Pelabuhan laut yang dilaksanakan oleh instarrsi Pemerintah Pusat atau inslansi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan^huruf c harus mendapatkan peisetujuan dari Menteri. Pasal 68 (1) Pengoperasian Pelabuhan dilaksanakan oleh:

    84. Badan Usaha.Pelabuhan;

    85. instansi Pemerintah Pusa! atau c. instansi Pemerintah Daerah. (21 Pengoperasian Pelabuhan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurui' a dilaksanakan setelah memperoleh Perizinan Berusaha dari:

    86. bupati/wali kota trntuk Pelabuhan Pengumpan lokal dan Pelabrrhan sungai dan danau;

    87. gubernur untuk Pelabuhan Pengumpan regional; dan

    88. Menteri unt-uk Pelabuhan Utama Can Pelabuhan Pengurnpul. trRES IDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 69 (1) Instansi Pernerirrtah Pusat sebagaimana dimaksuC dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b terdiri atas:

    89. Otoritas Pelabuhan; dan

    90. Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Pusat. (21 Instansi Pemerintah Daerah sebagairnana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c berupa Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Daerah. Pasal 70 (1) Pengoperasian Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepela-buhanan dilakukan setelah inendapat Perizinan Berusaha. (21 Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara Pelabuhan kepada:

    91. Menteri untuk Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul;

    92. gubernur untulk Pelabuhan Pengumpan regional; dan c bupati/wali kota unhrk Pelabuhan Pengumpan lokal dan Pelabuhan sungai dan danau. Pasal 71 (1) Perizinan Berusaha pernhangunan dan pengopera'sian Pelabuhan dapat dicabut apabila pemegang Pbrizina,r Berusaha melanggar kewajiban dalam Pc-rizinan Berusaha pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan.

      (2)

      Pencabutan Perizinan Berusaha ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan ^melalui ^proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut- turut dengan tenggang waktu masing-masing ^1 ^(satu) bulan. (3) Apabila telah diiakukan peringatan sebagaitnana dimaksud pada ayat ^(21, ^pemegangPerizinan Berusaha tidak melakukan usaha perbaikan atas ^peringatan yang telah diberikan, Perizinan Berusaha pembanggunan dan pengoperasian Pelabuhan dicabut.

      Pasal 72

      Ketentuan lebih lanjut mengenai ^pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian Pela-buhan sebagaimana dimaksuC dalam Pasal 63 ^sampai ^dengan Pasal 71 diatur dengan Peraturan Menteri.


      Pasal 73

      Terminal Khusus hanya dapat dibangun dan ^dioperasikan dalam hal:


    93. Pelabuhan terdekat tidall dapat ^menampung ^l<egiatan pokoknya; atau

    94. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan ^teknis operasional akan lebih efektif dan efisien serta ^lebih menjamin Keselamatan dan Keamatran ^Pelayaran apabila membangun dan lrr,engoperasikan ^Terminal Khusus.

      Pasal 74

      Pembangunan Terminal Khusus dilakukan oleh ^pengelola Terminal Khtrsus be: dasarkan Perizinan Berusaha.


      Pasal 75

      Pengoperasian Terminal Khusus dilakukan setelah diperoleh ny a P erizinan Reru saha.


      Pasal 76

      Terminal Khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan Perizinan Berusaha yang telah diberikan:


    95. dapat diserahkan kepada Pemerintah Pr.rsat atau Pemerintah Daerah;

    96. dikembalikan seperti keadaan sernrrler;

    97. diusulkan untuk perubahan status menjadi Terminal Khusus untuk menunjang Usaha Pokok yang lain; atau

    98. dijadikan Pelabuhan. Pasal 77 (1) Perizinan Berusaha pengoperasian Terminal Khusus hanya dapat dialihkan apabila Usaha Pokoknya dialihkan kepada pihak lain. (2) Pengalihan Usaha Pokok Terminal Khusus sebagaimana dirrraksud pada ayat (1) wa.iib dilaporkan. kepada Menteri paling lama 3 (tiga) bulan setelah dilakukan pengalihan. (3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat. (2) wajib dilakukan penyesuaian Perizinan Berusaha pengoperasian Terminal Khusus sesuir-i ciengan norma, standar, irrosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan sebagaimana dimakstrd pada ayat (3) berlaku ^juga pada penrbahan data Perizinan Berusaha pengoperasiair Terminal Khusus.

      Pasal 78

      Pasal 78 (1) Perizinan Berusaha pengoperasian Terminal Khusus dapat dicabut apabila pemegan g Perizinan Berusaha:


    99. melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangarl mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko; atau menggunakan Terminal Khusus untuk melayani kepentingan umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasai 124 ayat (1) Peraturan Pennerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6I Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhaaan. (21 Pencabutan Perizinan Berusaha pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (i) dilakukan melah-ri proses pcrirrgatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali herturut-turut dengan teng,gang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. (3) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dirnaksud pada ayat (21, pemegang Perizinan Berusaha Terminal Khusus tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, Perizinan Berusaha F'eilgoperasian Terminal Khusr rs dicabut. Pasal 79 Perizinan liierusaha pengoperasian Terminal Khusus dicabut tanpa melalui proses peringatan apabila pengelola Terminal Khusus yang bersangkutan:

    100. melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara; atau b b memperoleh Perizinan Berusaha pengoperasian Terrainal Khusus dengan cara tidak sah.

      Pasal 80

      Pengelolaan Terminal untnk Kepentingan Sendiri hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Perizinan Berusaha dari: Menteri bagi Terminal untuk Kepentingan Sendiri yang berlokasi di dalam DLKr dan DLKp Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul; gubernur bagi Terminal ur,tuk Kepentingan Sendiri yang berlokasi di dalam DLKr dan DLKp Pelabuhan Pengumpan regional; dan bupati/wali kota bagi Terminal untuk Kepentingan Sendiri yang berlokasi di dalam DLKr dan DLKp Pelabuhan Pengumpan lokal. Pasal 81 (1) Penggunttan Terminal untuk Kepentingan Sendiri selain untuk melayani kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Perrrerintah Nomor 64 Tahun 2OLS tentang Perubahan atd.s Peraturan Pemerintah ltlomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan dapat dilakukan untuk sementara melayani kepentingan umum setelah mendapat penetapan dari Menteri. (21 Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan:


    101. pernyataan dari penSrelenggara Pelabuhan bahwa Pelabuhan yang ada tidak dapat melayani jasa Kepelabu-hanan ka re na keterbatasan kernarzrpuarr fasilitas yang tersedia; a b c kemampua.n dermaga dan fasilitas lain ^yang dimiliki oleh Terminal untuk ^Kepentingan Sendiri dapat memenuhi Permintaan ^jasa Kepelabuhanan; pernyataan mengenai rencana kegiatan ^yang dinilai dari aspek keamanan, ^ketertiban ^dan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran ^dari Syahbandar pada Pelabuhan setempat; upaya peningkatan ^pelayanan kepacia ^pengguna jasa Kepelabuhanan; pungutan tarif ^jasa Kepelabuhanan dilakukan oleh penyelenggara Pelabuhan ^yang bersangkutan; dan memberlakukan ketentuan sistem dan ^prosedur pelayanan jasa Kepelabuhanan pada Pelabuhan yang bersangkutan. Pasal 82 (1) Perizinan Berusaha pengoperasian Terminal untuk Kepentingan Sendiri dicabut apabila ^petllegang Perizinan Berusaha:

    102. melanggar kewajiban sebagaimana ^dimaksud Calam ketentuan peraturan ^perundan g-unda.ngan mengenai penyelenggaraan Perizinan ^Berusaha berbasis risiko;

    103. menggunakan Tcrminal untuk ^Kepentingan Sendiri untuk melayani kepentingan ^ur,'1um ^tanpa Konsesi sebagaimana dimaksud dalan, ^Pasal ^14O ayat (1) Feraturan Pemerintah ^Nomor ^61- ^Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan sebagaimana ^telah diubah dengan Pera*-uran Pemeiintah ^Nomor ^64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas ^Peraturan Pemerintah Nomor 5i Tahun ^2OO9 ^tentang Kepelabuhanan; atau b c d e f.

    104. menggulrakan Terminal untuk Kepentingan Sendiri untuk sementara melayani kepentingan umum tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1). (21 Pencabtrtan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksuci pada ayat (1) dilakukan melalui ^proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut- turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 ^(satu) bulan. (3) Apabila telah tlilakukan peringatan sebagaimarra dimaksud pada ayat (21, pengelola Terminal untuk Kepentingan Sendiri tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, Perizinan Berusaha atau penetapan Terminal untuk Kepentingan Sendiri dicabut.

      Pasal 83

      Ketentuan lebih lanjtrt rnengenai Terminal Khusus Can Terminal untuk Kepentingan Sendiri sebagairnana dimaksud dalam Pasai 73 sampai dengan Pasal 82 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V PERi{APALAN Pasal 84 (1) Setiap pengadaz: li, pembangunan, pengedaan, perlengkapan, dan pengoperasian Kapal di Perairan Indonesia harus memenuhi persyaratiln Keselamatan Kapal l/ang sesuai dengan ketentuan standar internasional.

      (2)

      Ketentuan standar internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi referensi persyaratan Keselamatan Kapal yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan budaya dalam pembuatan standar nasional bagi Kapal nonkenvensi berberrdera Indonesia. (3) Persyaratan Keselamatan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21meliputi:


    105. material;

    106. konstmksi;

    107. bangunan;

    108. permesinan dan perlistrikan; a ,j,l'' -r"unan perlengkapan dan peralatan keselamatan, dan pemadarrr kebakaran; dan

    109. elektronika Kapal. (4) Selain persyaratan Keselamatan Kapal sebagaimana dimaksud pe,da ayat (3), pengadaan lkpal dapat dilakukan jika Kapal memiliki dokumerr dan surat Kapal yang lengl: ap darr sah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengadaan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 85 (1) Rancang banSrn l(apetl rvajib memenuhr persyaratan keselamatan sesuai -dengan ketentuan peraturan nasional atau internasional dan dituangkan dalam gambar rancang bangun Kapal.

      (2)

      Setiap Kapal yang akan didaftarkan dan beroperasi sebagai Kapal berbendera Indonesia, wajib memiliki gambar rancang bangun Kapal cian perhitungan serta data kelcngkapannya.

      (3)

      Sebelum pembangunan atau pengerjaan Kapal termasuk perlengkapannya, pemilik Kapal atau galangan Kapal wajib membuat gambar rancang bangun Kapal dan perhitungan serta data kelengkapannya. (41 Gambar rancang bangun Kapal dan perhitungan serta data kelengkapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib mendapat pengesahan dari Menteri. (5) Pengesahan gambar rancang bangun Kapal dan perhitungan serta data kelengkapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan melalui penelitian dan pemeriksaan gambar rancang bangun Kapal. (6) Penelitian dan pemeriksaan gambar rancang bangun Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal. (71 Penelitian dan pemeriksaan rancang bangun Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi pemenuhan Keselamatan Kapal juga kesesuaian dengan:

    110. tata letak dan susunan;

    111. peruntukan;

    112. standardisasi;

    113. kemudahan pengoperasian dan perawatan Kapal; dan

    114. perkembangan teknologi. (8) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan melalui surat pengesahan gambar disertai gambar dan perhitungan Kapal yang ditandatangani menjadi satu kesatuan sebagai dokumen pengesahan gambar rancang bangun Kapal yang harus berada di atas Kapal. (9) Dokumen pengesahan gambar rancang bangun Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berisi informasi nama Kapal atau nomor lambung, jenis dan bahan Kapal, ukuran utama, tahun pembangunan, nama dan lokasi galangan Kapal, pemilik Kapal, dan nomor pengesahan.

      (10)

      (1 1) Galangan Kapal atau pemilik Kapal harls melaporkan kepada pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal apabila terdapat perubahan data gambar yang telah mendapat pengesahan. Dokumen pengesahan gambar rancang bangun Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku apabila:

    115. Kapal ditutuh;

    116. Kapal ganti bendera;

    117. Kapal ganti nama;

    118. Kapal tenggelam atau hilang;

    119. Kapal mengalami perombakan Kapal yang mengakibatkan perubahan konstruksi Kapal, ukuran utama Kapal, fungsi, atau jenis Kapal;

    120. gambar Kapal tidak sesuai dengan kondisi iisik Kapal; dan/atau

    121. Kapal dilelang atau dihibah. Pasal 86 (1) Sebelum pembangunan atau pengerjaan perombakan Kapal, pemilik Kapal atau galangan Kapal harrrs melaporkan kepada }len teri. (21 Pembangunan atau pengerjaan Kapal harus nrengikuti gambar rancang bangun Kapal dan perhitungan serta data kelengkaprrrrnla. yang telah menclapatkan pengesahan dan dilaksanakan pada galangan Kapal yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Selama pembangunan atau pengerjaan perombakan Kapal sebagaimana dimaksuci paria ayat (2) harus dilakukan pe ngarvvasan. i4) ^Pengawasan ^terhadair pcmbangunan atau ^peng,: daan perombakan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Menteri.

      (5)

      Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat menunjuk pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal untuk melakukan pengawasan. (6) Kegiatan pengawasan terhadap pembangunan Kapal sebagaimana dinraksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi:

    122. peletakan lunas;

    123. pembangunan konstruksi bangunan Kapal;

    124. kesesuaian garnbar dengan lcondisi fisik Kapal;

    125. pemasangan dan uji coba perlengkapan tfupal;

    126. peluncuran Kapal;

    127. uji stabilitas Kapal; dan

    128. uji coba berlayar. l7l ^Kegiatan ^pengawasan terhadap ^pengerjaan perombakan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi:

    129. pelaksanaanpcmbdngunorrkonstniksiKapal;

    130. verifiltasi kesesuaian garnbar derrgan kondisi fisik Kapail;

    131. pemasangan dan uji coba perlengkapan Kapal;

    132. uji stabilitas Kapal perubahan berat Kapal lebih dari 2o/o (dua persen) dari berat Kapal kosong dan/atau adanya pergeseran titik berar memanja'rg l(apal lebih dari loh (satu persen); dan

    133. uji coba berlayar. (8) Galangan thpal sebagaimana dimaksud pada ayar'(l) wajib membantu dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan untuk kegiatan pengawa.sau. (9) Setelah penrbangunan atau pengerjaan perombakan Kapal selesai, Kapal dengan jenis dan ukuran panjang tertentu'x,ajib dilakukan:

    134. uji stabilitas Kapal; dan

    135. uji coba ber{ayar. (10) Ketentuan lebil-r lanjut mengenai pengesahan gambar rancang bangu5r I(apal, pelaksanaan pernbangunan dan pengerjaan Kapal, perombakan serta kegiatan pengawasan diatu: r dengan Peraturan IMenteri:

      Pasal 87

      Pasal 87 (1) Setiap Kapal wajib memenuhi persyaratan Kelaiklautan Kapal yang meliputi:


    136. Keselamatan Kapal;

    137. pencegahan pencemaran dari Kapal;

    138. pengawakan Kapal;

    139. garis muat Kapal dan pemuatan;

    140. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan pent'.mpang;

    141. statrrg hukum Kapal;

    142. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari Kapal; darr h. manajemen keamanan Kapal. (2) Pemenuhan setiap pet'syaratan Kelaiklarrta: r Kapal sebagaimana. dimaksuci pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat, surat, dan/atau dokumen Kelaiklautan Kapal terdiri atas:

    143. sertifikat Keselamatan Kapal penumpang;

    144. sertifikat Keselamatan Kapal barang;

    145. sertifikat kelaikan d+t pengawakan Kapal penangkap ikan;

    146. sertifikat pencegahan pencefitalan;

    147. sertifikat Maritime Labour Conuentiott (MLC);

    148. dokunren keselamatan pengawakan minimum;

    149. sertifikat garis muat;

    150. surat ukur dan surat tanda kebangsaan Kapal;

    151. sertifikat manajemen Keselamatan Kapal dan pencegahan pencemaran C,ari Kapal; dan

    152. sertilikat manajemen keatmanan Kapal. (3) Khusus Kapal penrrmpang yang berlayar di Perairan Indonesia, wajib dilengkapi dcngan sertifikat l(eselamatan Kapal penurrlpang sebagaimana dimaksud pacta ayat (21huruf a. (4) Ketentuan lebih i.,gr. nlengenai pengawakan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.

      (5)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi Maritime Labour Conuention (MLC) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur dengan Peraturan Menteri.

      Pasal 88

      Berdasarkan kondisi geografi dan meteorologi ditetapkan daerah Pelayaran dengan urutan sebagai berikut:


    153. daerah Pelayaran semua lautan;

    154. daerah Pelayaran Perairan Indonesia,' c. daerah Pelayaran lokal;

    155. daerah Pelayaran terbatas;

    156. daerah Pelayaran Pelabuhan; dan

    157. daerah Pelayaran perairan sungai dan danau. Pasal 89 (1) Setiap Kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan pengukuran oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh Menteri. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Kapal Negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan. (3) Atas permintaan pemilik Kapal, Kapal yang tidak digunakan untuk berlayar dan Kapal Negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan dapat diukur. Pasal 90 (1) Pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) merr.rpakan pejabat yang telah memenuhi kualifikasi sebagai ahli ukur Kapal. (21 Pelaksanaan pengukuran Kapal oleh ahli ukur Kapal harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan. Pasal 9 1 Pasal 9 1 (1) Pemilik Kapal, operator Kapal, atau Nakhoda harus segera melaporkan secara i: ertulis llepada Menteri apabila terjadi perombakar, Kapal ^yang menyebabkan p: rubahan data yang ada dalam surat ukur. (2) Pelaporan sebagaimana dimaksrrd pada ayat (1) dapat clilakukan secara elektronik. (3) Dalam hal t-er-iadi perubahan data scbagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilakukan pengukuran ulang. (4) Pemilik Kapal, opeiiator Kapal, Nakhoda dan galangan Kapal w4jib membantu pelaksanaan pengukuran Kapal. 'r Pasal 92 Pelaksanaan pengukuran Kapal penangkap ikan dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan berdasarkan kompetensi, standar, dan ^.prosedur pengukuran ^yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 93 (1) Kapal yang telah diukur dan mendapat surat ukur dapat diCaftarkan di Indonesia oleh pemilik Kapal kepada ^pejabat pendaftar dan ^p: ncalat balik ^nama Kapal yang ditetapkan oleh lvlenter'i.. (21 Kapal yang dapat didaftarkan keperrilikannya di . ^Indonesia ^yaitu:

    158. Kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang- kurangnya GT 7 (tujuh gross tonnage);

    159. Kapal milik warga negara Indonesia atau badan hulrum yang didirikan berdasarkan hukum lrrrlor.resia dan berkedudukan d: Irrdonesia; dan

    160. I.^apal milik badan llukurn Irrdonesia yang rrrerupakan usaha patungan yang mayoritas sahamrrya climiliki oleh warga negara Inclonesia.

      (3)

      Pendaftaran terhadap hak milik atas Kapal dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran Kapal dan dicatat serta didokumentasikan dalam daftar Kapal Indonesia. (41 Sebagai bukti hak milik atas Kapal telah terdaftar, kepada pemilik Kapal diberikan grosse akta pendaftaran Kapal yang berfungsi sebagai bukti hak milik atas Kapal yang telah didaftar. (5) Kapal yang telah didaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dipasang tanda pendaftaran oleh pemilik Kapal. Pasal 94 (1) Pendaftaran Kapal meliputi perrdaftaran hak milik dan pembebanan hipotek. (21 Pendaftaran Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dicatat dalam buku daftar Kapal berbendera lndonesia yang terdiri atas:

    161. daftar harian;

    162. daftar induk; darr c. daftar pusat. (3) Buku daftar Kapal berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diselenggarakan sebagai berikut:

    163. daitar harian dan daftar induk diselenggarakan di setiap tempat pendaftaran Kapal; dan

    164. daftar pusat diselenggarakan secara terpusat di tempat ya-ng diretapkan oleh Menteri (4) Buku daftar Kapai berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbuka untuk urrrum. (5) Ketentuarr lebih lanjut mengenai penyelenggaraan buku daftar Kapal berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (21 Ciatur derrgan Peraturan Menteri.

      Pasal 95

      Pasal 95 (1) Pendaftaran Kapal dilakukan di tempat yang ditetapkan oleh Menteri. (21 Pemilik Kapal bebas memilih salah satu dari tempat pendaftaran Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendaftarkan Kapalnya. Pasal 96 (1) Grosse akta pendaftaran Kapal sebagaimaria dirnaksud dalam Pasal 93 ayat (4) merupakan salinan resmi dari minuta akta. (2) Grosse akta pendaftaran Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus rremuat hal sebagai berikut:


    165. nornor dan tanggal akta;

    166. nomor, tanggal, dan tempat penerbitan surat ukur;

    167. data Kapal;

    168. kategori pendaftaran Kapal;

    169. nama dan ten: pat kedudukan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama Kapal;

    170. nama dan domisili pemilik Kapal; dan

    171. uraian singkat kepemilikan Kapal. (3) Dalam hal grosse akta pendaftaran Kapal hilang, dapat diterbitkar, grosse akta pengganti berdasarkan penetapan pengadilan. Pasal 97 (1) Pendaftaran hak' milik atas Kapal srbagaimana dimaksud daiam Pasal 93 ayat (3) harrrs dilengkapi dengan dokumen,terdiri atas:

    172. bukti hak milik atas Kapal;

    173. identitas pemilik Kapal; dan

    174. surat ukur.

      (2)

      Kapal . PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA (2) Kapal yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal, selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi surat keterangan penghapusan dari daftar Kapal yang diterbitkan oleh negara bendera asal Kapal.

      Pasal 98

      Tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 93 ayat (5) berupa rangkaian angka dan huruf yang terdiri atas angka tahun pendaftaran, kode pengukuran dari tempat Kapal didaftar, nomor urut akta pendaftaran, dan kode kategori pendaftaran Kapal.


      Pasal 99

      Setiap peralihan hak milik atas Kapal yang telah didaftar, pemegang hak yang baru harus mengajukan permohonan pembuatan akta dan pencatatan balik nama Kapal kepada pejabat pendaftar dan pencatat balik nama Kapal di tempat Kapal ciidaftar. Pasal 1O0 (1) Roya hipotek dilakrrkan oleh pejabat pendaftar dan pencatat balik rrc.rrla Kapal atas permintaan tertulis dari penerima hipotek. (2) Dalam hal permintaan sebagairnaha dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemberi hipotek harus melampirkan surat persetujuan roya dari penerima hipotek. (3) Selain atas permintaan sebagaimana dimaksucl pacla ayat (1) dan ayat (2) roya hipotek dapat dilakukan berdasarkan putusar: pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 101 (1) Kapal yang didaftar di Indonesia dan berlayar di laut diberi surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia oleh Menteri. (21 Surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:


    175. surat. laut untuk Kapal berukuran GT 175 (seratus tujuh puluh lima gross tonnage) atau lebih;

    176. pas besar untuk Kapal berukuran GT 7 (tujuh gross tonnage)sampai dengan ukuran kurang dari GT 175 (seratus tujuh puluh lima gross tonnage); atau

    177. pas kecil untuk Kapal berukuran kurang dari GT 7 (tujuh gross tonnage). (3) Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan danau diberi pas sungai dan danau. (4) Surat tanda kebangsaan Kapal sebagainrana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b diberikan jika dilengkapi persyaratan:

    178. fotokopi grosse akta pendaftaran/balik nama Kapal;

    179. fotokopi surat ukur; dan

    180. surat pernyataan ciari pemilik mengenai data dan peruntukan Kapal. (5) Surat tanda kebangsaan Kapal sebagainrana dinraksud pada ayat (21 huruf c diberikan jika dilengkapi persyaratan:

    181. bukti kepernilikan Kapal; dan

    182. surat pernyataan dari pemilik mengenai data dan peruntukan Kapal. Pasal 102 (1) Surat tanda kebangsaan Kapal yang bersifat sementara diberikan kepada Kapal yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (4) huruf a tetapi telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalan Pasal 101 ayat (4) huruf b darr huruf c dan Kapal Negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan. (2) Surat tanda kebangsaan Kapal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberilan dalam bentuk surat laut sementara atau pas besar sementara yang berlaku untuk ^jangka waktu 3 (tiga) bulan. (3) Surat tanda kebangsaan Kapal yang bersifat sementara yang diberikan kepada Kapal Nega-ra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang dengan masa berlaku yang sarra. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan surat tanda kebangsaan Kapal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1i, ayat (2), dan ayat (3) eliatur dengan Peraturan Menteri. Pastrl 103 (1) Dalam rangka percepatan kemudahan berusah.a, proses pen5lrkurarr, pendaftaran, dan penetapan kebangsaan Ihpal pada Kapal penangkap ikan dilakukan secara terintegrasi melalui pelayanan 1 (satu) ata.p. (21 Sarana dan prasarana penyelenggaraen sistem 1 (satu) atap sebagairnana dimaksuC paCa ayat (1) disediakan oleh Pemerintah Pusat. I'asal 104 Fasal 104 (1) Kelaiklautan Kapal sebagairnana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) ditentukan melalui ^pemeriksaan dan pengujian yang dibuktikan dengan sertifikat. (21 Terhadap Kapal yang telah memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) rvajib dilakukan penilikan secara terus menerus sampai Kapal tidak digunakan lagi. (3) Pemeriksaan dan pengujian serta ^penilikan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dan ayat ^(2) ^wajib dilakukan oleh pejabat pen: eriksa Keselamatan Kapal. (41 Dalam kondisi tertentu, peme,: iksaan dan ^pengujian serta penilikan sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(3) dapat dilakukan melalui aplikasi dalam ^jaringan. Pasal 105 (1) Jenis pemeriksaan Keselamatan Kapal sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OQ2 tentang. Perkapalan berdasarkan waktu pelaksanaan, terdiri atas: pemeriksaan pertama;

    183. pemeriksaan tahunan;

    184. pemeriksaan pembaharuan;

    185. pemeriksaan antara;

    186. pemeriksaan di luar ^jadrval atau tambahan; dan

    187. pemeriksaan l'.arena kerusakan dan perbaikan. (2) Jenis pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti tata car^ dan ^petunjuk pemeriksaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan petunjuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (21diatur dengan Peraturan Menteri.

      Pasal 106

      Pasal 106 (1) Setiap Kapal yang berdasarkirn hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksucl dalam Pasal 105 yang telah memenuhi persyaratan Kelaiklautan Kapal, diberikan sertifikat Kelaiklautan Kapal. (21 Kapal harus rnemiiiki sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai derrgan daerah Pela5'arannya. (3) Kapal untuk daerah Pelayaran semua lautan atau Pelayaran internasional harus memiliki sertifikat sesuai dengan ketentuan standar internasional. (41 Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atad:


    188. sertifikat sementara;

    189. sertilikat pertama; dan

    190. sertifikat pembaharuan. (5) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan oleh Menreri. ^- Pasal 107 (1) Sei'tifikat Kapal yang dikeluarkarr oleh pejabat yang berwenang dari negara astng, dapat diakui oleh pemerintah jika persyaratan untuk mendapatkannya dinilai paling sedikit sepadan dengan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. (2) Selain sertifikat sebagairnana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga untuk sertifikat pengujian yang dilakukan terhadap:

    191. perlengkapan l(apal; dan

    192. I<omponen Kapal. (3) Sert'ifikat sebagaimana dirnaksud pada ayat (21 diberikan oleh Menteri. (4) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mendelegasikan pengujian kepada Badan Klasifikasi yang diakui dan ditrmjuk.

      Pasal 108

      Pasal 108 (1) Perlengkapan Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal LO7 ayat (2) huruf a paiing sedikit terdiri atas:


    193. perlengkapan navigasi;

    194. pencegahan pencemaran;

    195. alat perrolong;

    196. pendeteksi asap dan pemadam kebakaran;

    197. radio dan elektronika Kapal; dan

    198. peta dan publikasi nautika, perlerrgkapa.n pengamatan meteorologi untuk Kapal dengan ukuran dan daerah Pelayaran tertentu. (21 Komponen Kapal sebagaimana dinraksud dalam Pasal IOT ayat (2) huruf b paling sedil<it terdiri atas:

    199. bahan;

    200. peralatan;

    201. permesinan;

    202. propulsi;

    203. sistem akomodasi;

    204. peralatan geladak;

    205. peralatan bongkar muat; dan

    206. peralatan keselamatan.

      (3)

      Pengujian terhadap komponen Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (21dilakukan terhadap komponen Kapal yang akan diproduksi dan digunakan di atas Kapal. (4) Pengujian terhadap perLengkapan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan komponen Kapa1 sebagaimana dimaksud pada. ayat (2) diiakukan berdasarkan ketentuan standrtr internasional dan nasional, sesuai dengan daerah Pelayarannya. (5) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh pejabat perneriksa Keselamatan Kapal atau pejabat fungsional lainhya yang ditunjuk atau diangkat sesuai dengan ketentuarr pe,raturan perundang-unda.ngan.

      (6)

      Pengujian... SK No 092565 A (6) Pengujian sebagaimana dimaksud meliputi:

    207. pengujian pertama;

    208. pengujian berkala; dan

    209. pemeriksaan tahunan. pada ayat (41 Pasal 109 (1) Sertifikat Kapal tidak berlaku apabila:

    210. masa berlaku sudah berakhir;

    211. tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat (endorsement);

    212. Kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan Keselamatan Kapal;

    213. Kapal berubah nama;

    214. Kapal berganti bendera;

    215. Kapal tidak sesuai lagi dengan data-data teknis dalam sertifikat Keselamatan Kapal;

    216. Kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan konstruksi Kapal, perubahan ukuran utama Kapal, dan perubahan fungsi atau jenis Kapal;

    217. Kapal tenggelam atau hilang; atau

    218. Kapal ditutuh (scrapping). (21 Sertifikat Kapal dibatalkan jika:

    219. keterangan dalam dokumen Kapal yang digunakan untuk penerbitan sertifikat ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;

    220. Kapal sudah tidak memenuhi persyaratan Keselamatan Kapal; atau

    221. sertifikat diperoleh secara tidak sah. (3) Tidak berlakunya sertifikat Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pembatalan sertifikat Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dapat disesuaikan berdasarkan ketentuan standar internasional. Pasal I 1O (1) Pembatalan sertifikat Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) dilakukan melalui ^proses sebagai berikut:

    222. pemanggilan secara patut dan wajar;

    223. penelitian sertifikat dan dokumerr Kapal;

    224. pemeriksaan; dan

    225. pembatalan sertifikat. (21 Pembatalan sertifikat Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. (3) Pembatalan sertifikat Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah melalui proses pemeriksaan oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal. (4) Dalarn hal pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal menemukan bukti adanya pemalstrarr sertifikat Kapal, sertifikat Kapal dibatalkan oleh Menteri tanpa melalui proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 111 (1) Pemilik Kapal, operator Kapal, dan Nakhoda wajib memelihara dan merawat Kapalnya sehingga Kapal selama dioperasikan tetap memenutri persyaratan Keselamatan Kapal dan sesuai dengan data yang terdapat pada sertifikat Kapal. (2) Dalam keadaan tertentu Menteri dapat memberikan pernbebasan sebagian persyaratan yang ditetapkan dengan tetap memperhatikan Keselamatan Kapal. (3) Pemeliharaan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bcrkala dan sewaktu-waktu.

      (4)

      Setiap Kapal dengan ukuran tertentu wajib drlinrbungkan sesuai dengan ^jadwal yang ditentukan untuk pelaksanaan perneliharaaLl sebagaimana dimaksr: d pada ayat (1). Pasal 112 (1) Untuk keperluan persyaratan Keselamatan Kapal, Kapal berdasarkan jenis dan ukuran teruentu wajib diklasifikasikan pada Badan Klasifikasi. (2) Badan Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Badan Klasifikasi nasional atau Badan Klasifikasi asing yang diakui dapat Citunjuk untuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian yang berkenaan dengan pemenuhan persyaratan Keselamatar. Kapal.

      (3)

      Pengakuan dan Penunjukan Badan Klasilikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan oleh Menteri.

      (4)

      Menteri dapat menggunakan hasil penreriksaan dan pengujiarr sebagaimana dirnaksud pada ayat (2) sebagai pendukung dari laptlran penreriksaan yang dilakukan oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal dalam proses penerbitan sertifikat Keselamatan Kapal. (5) Badan Klasif,rkasi yang diakui dan ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melaporkan kegiatannya kepada Menteri. Pasal 1 13 (1) Pembangunan atau perombal: arr Kapal harus rr,emperhatikan: materia.l dari bahan yang rrerl€rruhi persyaratan dan mempurryai legalitas pengujian bahan yang dikukuhkan dalarn bentuk sertifikat yang didapat melalui proses pemeriksaan dan pengujian; dan a PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA konstruksi dan bangurran Kapal yang memenuhi persyaratan tata letak, susunan, dan dikonstnrksikan sesuai dengan ketentuan Keselar,atan Kapal. (21 Kekuatan konstruksi dan bangunan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi ketentua.n Badan Klasifikasi. (3) Kapai dengan jenis dan/atau panjang tertentu harus dibangun dengan konstruksi dasar ganda dan/atau lambung ganda pada seluruh luas lentai kamar mesin sampai ke sekat ceruk haluan atau pada rLlang muat. (4) Setiap Kapal paling sedikit harus mempunydi sekat tubrukan, sekat buritan, dau sekat kedap air yang membatasi sebelah depan dan belakang kamar mesin. (5) Sekat tubrukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dikonstruksikan sedemikian kokoh serta membentang sampai dengan geladak sekat atau geladak lambung timbul, dan harus ditempatkan pada jarak tertentu dari garis tegak clepan Kapal. (6) Setiap Kapal harus mempunyai peralatan tambat yang tepat guna, digerakkan dengan sumber tenaga yang . sesuai, dan dapat dilayani dengan cepat dan tepat dalam situasi apaplrn yang terjadi terhadap Kapal, (7) Setiap Kapal harus mempunyai daya apung dan stabilitas yang drt r /r1, dibangun dengan koir,pa.rtemen, pintu, bukaan, dan jendela kedap air serta memenuhi kriteria stabilitas sesuai dengan f-,ersyaratan bagi pemntukannya yang ditunjukka,r cialam informasi staoilitas Kapal. (8) Ketentrlan lebih lanjut rnengenai pembangunan dan perombakan, serta kriteria dan i.nformasi stabilitas Kapal diatur dengan Peraturan Menteri. b (1) (2) (3) Pasal 1 14 Perlengkapan Kapal sebagaimana ^dimaksud ^dalam Pasal 108 ayat (1) dan komponerr ^Kapal ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat ^(2) ^harus ^dipelihara, dirawat, dan diperbaiki sesuai ^dengan ^persyaratan Keselamatan Kapal. Pemeliharaan Kapal dan ^perawatan ^perlelrgkapan Kapal sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(l ) ^yang mernerlukan pemeliharaan dan ^perav'atan di ^darat, harus clilakukan pada bengkel ^pemeliharaan ^dan perawatan Kapal. Perbaikan komponen Kapal sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1) ctilakukan oleh pabrikan, Badan ^Usaha yang bergerak di bidang pemeliharaan, ^perawatan, dan perbaikan komponen Kapal, atau ahli ^yang bersertifikat. Pasal 1 15 Se'-iap perangkat komunikasi ^radio ^Kapal ^harus ^memiliki izin sesuai dengan ketentua.n ^peraturan ^perundang- undangan di bidang telekomunikasi dan ^informatika komunikasi. Pasal 1 16 (1) Setiap Kapal yang berlayar harus ditetapkaa ^lambung timbulnya darr dipasang marka ^garis ^muat ^secara ^tetap sesuai dengan persyaratan. (2) Pcrhitungan lanrbung timbul untuk setiap Kapal ^harus mendapat pengesahan dari Menteri.

      (3)

      Penetapan besarnya lamburtg timbul ^Kapal berdasarkan atas perhitungan dan ^pemeriksaan pemenuhan persyal'at'ln larnbung timbul Kapal olch pejabat pem.eril: sra Keselamatan Kapal. Lambung timbui I(apa.I ditetapkan: S1( No 092570 A (4) a. untuk pelayaran internasional berdasarkan ketentuan internasional mengenai garis muat internasional; dan

    226. untuk pelayaran di wilayah Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan nasional mengenai lambung timbul Kapal. (5) Besarnya lambung timbul Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan dalam sertifikat garis muat. (6) Sertifikat garis muat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh Menteri. (7) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat mendelegasikan penerbitan sertifikat garis muat kepada Badan Klasifikasi yang diakui dan ditunjuk. (8) Marka garis muat Kapal yang telah ditetapkan dalam sertifikat garis muat tidak diperkenankan diubah tanpa persetujuan Menteri. Pasal 1 17 (1) Setiap peti kemas yang dibangun dan digunakan sebagai bagian dari alat angkut harus memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kelaikan peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap:

    227. peti kemas baru; dan

    228. peti kemas lama. (3) Peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah negara lain anggota konvensi atau organisasi yang ditunjuk oleh pemerintah negara lain anggota konvensi, diakui sebagai peti kemas yang telah mendapat persetujuan dan tidak perlu diberikan persetujuan kelaikan peti kemas ulang.

      (4)

      Persetujuan .

      (4)

      Persetujuan dari pemerintah negara lain anggota konvensi atau organisasi yang ditunjuk oleh pemerintah negara lain anggota konvensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa pemasangan ^pelat persetujuan kelaikan peti kemas (CSC safety approual plates) pada peti kemas yang digunakan sebagai alat angkut di atas Kapal. (5) Pemenuhan kelaikan peti kemas baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang dibangun dan/atau diproduksi di dalam negeri wajib mendapat persetujuan kelaikan peti kemas (CSC safetg approual plates)oleh Menteri. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persetujuan kelaikan peti kemas (CSC safetg approual plates)diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 18 (1) Peti kemas baru dan peti kemas lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal ll7 ayat (21 yang telah memenuhi persyaratan pemeriksaan dan pengujian diberikan persetujuan berupa dilekatkan pelat persetujuan kelaikan peti kemas (CSC safety approual platesl. (2) Dalam hal peti kemas diproduksi secara seri, pada setiap ^jumlah tertentu diadakan pengujian terhadap produksi yang dihasilkan dan jika ternyata tidak memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas, produksi harus dihentikan. Pasal 1 19 (1) Peti kemas yang akan diangkut ke Kapal wajib memiliki berat kotor peti kemas terverifikasi (ueified gross masslVGMi. (21 Peti kemas beserta kemasan dan muatannya dilarang diangkut ke Kapal apabila Nakhoda, Badan Usaha Pelabuhan, pengelola Terminal Khusus, dan/atau pengelola Terminal untuk Kepentingan Sendiri belum mendapatkan informasi berat kotor peti kemas terverifikasi (uertfied gross masslVGM). (3) Metode penentuan berat kotor peti kemas terverifikasi (uerified gross mass/YGM) terdiri atas:

    229. metode kesatu yaitu penentuan berat kotor peti kemas terverifikasi (uerified gross masslVGM) dengan cara menimbang peti kemas beserta isinya secara bersamaan setelah proses pengemasan dan/atau penyegelan; atau

    230. metode kedua yaitu penentuan berat kotor peti kemas terverifikasi (ueified gross mass/VGM dengan cara menimbang isi peti kemas keseluruhan secara terpisah dan ditambah berat peti kemas kosong. (4) Metode kesatu dan metode kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menggunakan peralatan penimbangan yang telah terkalibrasi dan memperoleh sertifikat dari instansi yang berwenang di bidang kemetrologian. (5) Penentuan berat kotor peti kemas terverifikasi (uerified gross mass/YGMi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilakukan oleh shipper dan sebelum masuk Terminal peti kemas di Pelabuhan wajib dilakukan verifikasi akhir melalui fasilitas penimbangan peti kemas di Pelabuhan. (61 Shipper (6) Shipper sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan penentuan berat kotor peti kemas terverifikasi (ueified gross masslVGM). (71 Sltipper sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat melakukan penentuan berat kotor peti kemas terverifikasi (ueified gross mass/VGM/ di tempat yang ditentukan oleh shipper. (8) Metode penentuan berat kotor peti kemas terverifikasi (ueified gross mass/YGM/yang dilakukan oleh shipper dan pihak ketiga harus mendapatkan persetujuan Menteri. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai berat kotor peti kemas terverilikasi (ueified gross mass/YGM/ diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 120 (1) Pemilik peti kemas wajib melakukan pemeliharaan agar tetap memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan peti kemas diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 121 (1) Dalam hal ditemukan kerusakan, peti kemas harus dilakukan perbaikan untuk tetap memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas. (2) Perbaikan peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:

    231. perusahaan depo peti kemas; atau

    232. bengkel usaha perbaikan peti kemas. Pasal 122 (1) Pemilik peti kemas bertanggung jawab dan menjamin bahwa peti kemasnya dalam keadaan laik peti kemas, baik pada saat penyimpanan maupun penggunaan. (21 Shipper (2) Shipper bertanggung jawab menentukan mendokumentasikan ^lrerat kotor peti terverifik asi (ueifted gross mass/YGM). dan kemas Pasal 123 (1) Pengawasan pemasangan pelat persetujuan kelaikan peti kemas (CSC safetg approuel platesl dilaksanakan oleh petugas pengawas dari Syahbanda-r di Pelabuhan setempat. (2) Pengawasan pemenuhan berat kotor peti kemas terverifikasi {ueifted gross masslVGM) dila.ksanaka^r oleh penyelenggara Pelabuhan di Pelabuhan setempat. (3) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan uji petik oleh Menteri. Pasal 124 (1) Peti kemas dilarang atau dihentikan sementara untuk digunakan dalam hal:

    233. belum dipasang pelat persetujuan kelaikan peti kemas ((lSC safetg approualplates); dan/atau

    234. terdapat kerusakan struktur pada F''eti kemas yang dapat membahayakan bagi keseiarnatap.' (2) Pelarangan atau penghentiau sementara penggunaan pet-i kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberitahukan kepada pemilik peti kemas atau l<uasanya oleh petugas pengawas dari Syahbandar di Pelabuhan setempat. (3) Pelaksanaan pengawasan pemenuhan kelaikan peti kemas dan berat kotor peti kemas terverifikasi (uerifted gross mass,/VGIvI/ harus dilaporkan kepada lylenteri. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan secara elcktronik.

      (5)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan, uji petik, dan penunjukan petugas pengawas diatur dengan Peraturan Menteri.

      Pasal 125

      Pemilik peti kemas, Nakhoda, atau operator Terminal peti kemas wajib membantu pelaksanaan tugas pengawasan yang dilakukan oleh petugas pengawas dengan menyediakan peralatan pendukung yang diperlukan oleh petugas pengawas.


      Pasal 126

      Setiap pemilik Kapal, operator Kapal, Nakhoda, dan anak buah Kapal wajib mencegah timbulnya pencemaran lingkungan oleh minyak, kotoran, sampah, emisi gas buang, dan bahan berbahaya dan beracun, serta persebaran biota air yang dapat merugikan lingkungan perairan lain dari Kapalnya. Pasal 127 (1) Kapal Asing yang beroperasi di Perairan Indonesia wajib memenuhi persyaratan pencegahan pencemaran sesuai ketentuan internasional di bidang pencegahan pencemaran yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Pusat. (21 Pejabat pemeriksa kelaiklautan dan keamanan Kapal Asing dapat melakukan pengujian peralatan, bahan atau baku mutu sesuai persyaratan pencegahan pencemaran untuk Kapal Asing di seluruh Pelabuhan di Indonesia. Pasal 128 (1) Kapal yang telah dilengkapi dengan peralatan dan perencanaan prosedur untuk pencegahan pencemaran yang memenuhi persyaratan dan telah diperiksa, diberikan sertihkat pencegahan pencemaran dengan masa berlaku tidak melebihi 5 (lima) tahun.


      (2)

      Sertilikat yang dikeluarkan sesuai dengan ketentuan internasional mengenai pencegahan pencemaran laut dari Kapal pada Kapal Asing oleh pejabat asing yang berwenang, diakui sama dengan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Sertifikat pencegahan pencemaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri. Pasal 129 (1) Kapal dengan jenis dan ukuran tertentu dapat diberikan pembebasan pemenuhan manajemen air balas bagi Kapal yang hanya berlayar di Perairan Indonesia, ^jika:

    235. Kapal dalam Pelayaran antar Pelabuhan atau wilayah/lokasi rute Pelayaran yang sama dan terus menerus yang telah ditetapkan oleh Menteri dengan waktu tempuh paling lama 3 (tiga)jam;

    236. Kapal yang beroperasi secara tetap dan teratur dalam DLKr dan DLKp Pelabuhan secara terus menerus; dan/atau

    237. Kapal beroperasi dalam Pelayaran antar Pelabuhan atau wilayah/lokasi dengan waktu tempuh lebih dari 3 (tiga) jam namun memiliki karakteristik perairan Pelabuhan sama berdasarkan hasil penilaian risiko. (2) Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disetujui dengan ketentuan sebagai berikut:

    238. sesual a. sesuai dengan hasil penilaian risiko yang berpedoman pada konvensi manajemen air balas (ballast water management conuention) oleh Pemerintah Pusat; efektif untuk masa berlaku tidak lebih dari 5 (lima) tahun dengan survei antara; dan diberikan kepada Kapal yang kapasitas air balas tidak tercampur dengan air balas dan sedimen yang berasal dari wilayah/lokasi lain di luar Perairan Indonesia. (3) Pembebasan yang disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicatat di buku catatan air balas (ballast utater record book) dan ditandatangani oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal. (4) Setiap Kapal berbendera Indonesia yang melakukan Pelayaran internasional atau Kapal Asing harus menyampaikan laporan kepada Syahbandar apabila peralatan pada sistem manajemen air balas di Kapal tidak dapat berfungsi dengan baik dan Syahbandar dapat menentukan lokasi pertukaran air balas bagi Kapal tersebut. Pasal 130 (1) Setiap peralatan, bahan, dan perencanaan prosedur pencegahan pencemaran yang digunakan di Kapal harus mendapatkan persetujuan Menteri. (2) Pemeriksaan kelengkapan dan pengujian peralatan pencegahan pencemaran dalam rangka penerbitan sertifikat pencegahan pencemaran dilakukan oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal atau dilakukan oleh Badan Klasifikasi yang diakui dan ditunjuk. Pasal 131 (1) Setiap Kapal wajib memiliki buku catatan untuk mencatat kegiatan operasional mengenai penanganan muatan, bahan bakar, dan/atau penanganan limbah, serta bahan lain yang merugikan. b c (21 Buku catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa buku catatan manual atau elektronik. (3) Buku catatan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan Menteri. (4) Buku catatan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tersimpan di atas Kapal paling singkat untuk catatan 3 (tiga) tahun terakhir. Pasal 132 (1) Setiap Kapal wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur maksimal O,5o/o m I m (nol koma lima persen mass bg massl. (21 Kapal Asing yang masih menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur lebih dari 0,57o m/m (nol koma lima persen mass bg massl wajib dilengkapi sistem pembersihan gas buang (scrubber) yang disetujui pemerintah negara Kapal. (3) Kapal berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu wajib melaporkan konsumsi pemakaian bahan bakarnya setiap tahun kepada Menteri. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan secara elektronik. (5) Kapal yang telah melaporkan konsumsi pemakaian bahan bakarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan pernyataan kesesuaian (statement of compliance) oleh Menteri. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan dan pelaporan konsumsi pemakaian bahan bakar diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 133 (1) Dalam hal terjadi pencemaran yang bersumber dari Kapal, pemilik Kapal atau operator Kapal bertanggung jawab terhadap penanggulangan pencemaran dan kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran yang bersumber dari Kapalnya.

      (2)

      Untuk (2) Untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik Kapal dan/atau operator Kapal wajib mengasuransikan kewajibannya ke perusahaan asuransi atau lembaga ^jaminan keuangan lain yang diakui oleh Menteri. (3) Perusahaan asuransi atau lembaga jaminan keuangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (21 yang memberikan jaminan ganti rugi pencemaran atau jaminan ganti rugi penyingkiran Kerangka Kapal wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    239. bagi perusahaan asuransi asing atau lembaga jaminan keuangan nasional asing lainnya merupakan anggota dari protection and indemnity club international;

    240. bagi perusahaan asuransi nasional atau lembaga jaminan keuangan nasional lainnya wajib terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan Indonesia sebagai badan asuransi di bidang Perkapalan;

    241. memiliki layanan laman yang dapat diakses untuk pengecekan keabsahan dokumen pertanggungan atau polis asuransi yang diterbitkan;

    242. melaporkan kepada Menteri apabila terjadi perubahan atau pembatalan jaminan pertanggungan asuransi; dan

    243. menyampaikan laporan kepada Menteri apabila menggunakan jasa pihak ketiga dalam penerbitan dokumen jaminan pertanggungan asuransi atau blue card. (41 Pemilik Kapal wajib menyampaikan dokumen jaminan pertanggungan asuransi yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi atau lembaga jaminan keuangan lain terhadap Kapalnya dan wajib menyampaikan laporan jika terjadi perubahan atau pembatalan jaminan pertanggungan asuransi kepada Menteri.

      (5)

      Dalam (5) Dalam hal nilai atau besaran pertanggungjawaban yang disediakan oleh asuransi yang digunakan oleh pemilik Kapal lebih kecil dari total biaya pertanggungjawaban kerusakan akibat pencemaran yang ditimbulkan dari Kapalnya, pemilik Kapal wajib menanggung semua biaya yang ditimbulkan untuk penanggulangan pencemaran dan pemulihan lingkungan yang disebabkan karena pencemaran di perairan yang berasal dari Kapalnya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan dan pemulihan lingkungan akibat pencemaran dari Kapal diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 134 (1) Untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133, pemilik Kapal atau operator Kapal dengan jenis dan ukuran tertentu wajib mengasuransikan tanggung jawabnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab untuk jenis dan ukuran Kapal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

      Pasal 135

      Pemilik Kapal atau operator Kapal yang telah memiliki bukti adanya jaminan pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 dan Pasal 134 ayat (1) diberikan sertifikat penyingkiran Kerangka Kapal oleh Menteri.


      Pasal 136

      (1)

      Untuk melakukan dumping di perairan dan pencucian tangki Kapal wajib memenuhiPerizinan Berusaha dari pejabat yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup serta pejabat yang bertanggung jawab di bidang Keselamatan dan Keamanan Pelayaran. ('2) Lokasi dumping di perairan dan pencucian tangki Kapal sebagai.nana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara terkoordinasi artara pejabat yang bertanggung jawab di bidang Keselamatan dan Keamanan Pelayaran, dampak lingkungan dan pertahanan keamanan, dan Pemerintah Daerah. (3) Limbah hasil pencucian tangki Kapal dilarang dibuang ke perairan melainkan harus ditampung di fasiiitas penampungan limbah di Pelabuhan atau Terminal Khusus.

      (4)

      Setiap perusahaAn atau Kapal yang akan nrela.kukan kegiatan pencucian tangki Kapal harus melapor kepada Syahbandar untuk dilakukan pengawasan selama kegiatan pencucian tangki Kapal. (5) Syahbandar sebagaimana dimaksud pada ayat (41 harus memastikan perulsahaan atau Kapal yang akan melakukan kegiatan pencucian tangki Kapal memiliki peralatan dan tenaga ahli yang memadai termasuk memiiiki atau bekerja sama. dengan fasilitas penampungan lirnbah untuk menampung hasil pencucian tangki Kapal. Pasal 137 (1) Kapal dengan jenis dan ukuran tertcntu.yang berlayar di Perairan Indonesia wajib memenuhi persyaratan kesiapan penutuhan Kapal sebelurn dilakukan penuturhan Kapal. {2) ^Kapal ^berbendera ^Indonesia dapat diterbitkan sertifikat atau persetujuan persiapan penutuhan l(apai setelah memenuhi persyaratan berdasarkan hasil pemeriksaan oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal sebelum dilakukan penghapusan dari Kapal ter daftar cli Indonesia.

      (3)

      Kapal Asing yang akan ditutuh di Indonesia ^wajib dilengkapi dengan sertifikat ^persiapan ^penutuhan Kapal yang diterbitkan oleh negara bendera ^Kapalnya dan selanjutnya dapat mengajukan ^penghapusan Kapalnya dari Kapal terdaftar. (4) Penutuhan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 dan ayat (3) harus dilakukan di fasilitas ^penutuhan Kapal (shrp recgcling facilitiesl yang mendapatkan pengakuan dari Menteri. (5) Sertilikat atau persetujuan persiapan ^penutuhan Kapal diterbitkan untuk Kapal yang direncanakan untuk dilakukan penutuhan dan tidak diperuntukkan bagi Kapal yang mengalami musibah di ^perairan. (6) Pemilik Kapal harus melapor kepada Syahbandar sebelum melaksanakan penutuhan Kapalnya. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penutuhan Kapal diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 138 Penutuhan terhadap Kapal yang mengalami ^kecelakaan harus memiliki Perizinan Berusaha. Pasal 139 (1) Setiap Pelabuhan, Terminal Khusus, dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri termasuk ^galangan ^Kapal wajib menampung atau menangani limbah atau residu yang dihasilkan dari hasil kegiatannya maupun limbah atau residu yang dihasilkan dari Kapal ^yang beroperasi di Pelabuhan, Terminal Khusus, dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri. (2) Pengelola fasilitas penampungan limbah wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    244. memastikan fasilitas ^penampungan limbah ^dalam kondisi layak untuk digunakan tanpa mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan dan memiliki kecukupan kapasitas sesuai ^jenis limbah yang diterima dari Kapal tanpa menyebabkan penundaan operasional Kapal;

    245. memberikan .

    246. memberikan tanda bukti ^penerima.an ^limbah ^atau residu (waste deliuery receipt/WDR\ ^kepada Nakhoda atau Kapal;

    247. membuat laporan kegiatan ^penampungan ^atau penerimaan limbah atau residu kepada I{enteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; dan

    248. membuat laporan kepada Menteri apabila ^tasilitas penampungan limbah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. (3) Urrtt-k rnenjamin kelancaran penyampaian limbah atau residu dari Kapal ke fasilies ^penampungan limbah di Pelabuhan, Terminal Khusus, dan ^Terminal untuk Kepentingan Sendiri termasuk ^galangan ^Kapal maka Menteri membuat basis data fasilitas penampungan limbah di seluruh Pelabuhan Indonesia yang dapat diakses secara umum dan diinformasikan juga kepada IMO. Pasal 140 (1) Setiap pemasok bahan bakar Kapal l'arus menjamin bahan bakar yang digunakan Kapal telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di biclang energi sumber daya nrineral. (2) Setiap pemasok bahan bakar Kapal seba.gaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan t'atatan pengiriman bahan bakar kepada Kapal yang tnenerima pasokan bahan bakarnya yang mertuat informasi paling sedikit:

    249. nama dan nomor IMO Kapal ^penerima bahan . bakar;

    250. Pelabuhan dimana Kapai nrelakukan ^pengisian bahan ltakar;

    251. nama, a.latnat., dart nomor telepon penrasok baha.r bakar;

    252. nama produk bahan bakar;

    253. ^jumlah bahan bakar yang diisi/diterima Kapal; Sr( No 092584 A f. masa f. masa jenis bahan bakar pada suhu 15" C (lima belas derajat celsfus) ;

    254. kandungan sulfur pada bahan bakar; dan

    255. titik nyala (flash point) bahan bakar. (3) Setiap pemasok bahan bakar Kapal sebagairrrana dimaksud pada ayat (1)juga wajib memberikan sampel bahan bakar kepada Kapal yang menerima pasokan bahan bakarnya dengan dilengkapi label yang memuat informasi paling sedikit:

    256. lokasi, dan metode yang digurrakan pada saat pengambilan sampel;

    257. tanggal dimulainya pengiriman;

    258. ^jenis bahan bakar;

    259. nama dan nomor IMO dari Kapal penqrima;

    260. tanda tangan dan nama perwakilan pemasok dan perwakilan Kapal;

    261. rincian identifikasi meteran (flow meter); dan

    262. tingkat bahan bakar. (41 Tambahan di luar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dimasukkan pada catatan pengiriman bahan bakar Kapal sesuai dengan persvaratan lokal dan persyararan komersial pemasok.

      (5)

      Catatan pengiriman bahan bakar Kapal sebagaimar,-a dimaksud pada ayat (4) harus ditandatangani oleh penvakilan pe.nasok bahan bakar Kapal dan perwakilan Kapal penerima dan disimpan di Kapal selama paling singkat 3 (tiga) tahun.

      (6)

      Pemasok bahan bakar Kapal harus memiliki izin sebagai pemasok bahan bakar yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi sumber daya rrrineral. (71 Pemasok bahan bakar Ikpal sebagaimana dimaksrtd pada ayat (6)'dalam melaksanakan pemasokan harus diawasi oleh S; rahbandar.

      (8)

      Pemasok bahan bakar Kapal harus memiliki sistem manajemen mutu (quatity management supplier system,/QMS) dan dapat memberikan bukti atau ditunjukkan kepada pembeli bahan bakar Kapal ^jika diperlukan. (9) Pencampuran bahan bakar Kapal oleh produsen atau pemasok bahan bakar Kapal hanya dapat dilakukan di tangki atau fasilitas darat untuk memastikan produk akhir homogen dan kualitas hasil pencampuran harus diuji di laboratorium yang memenuhi persyaratan serta sampel yang dikirim untuk pengujian harus diambil sesuai dengan pedoman untuk mendapatkan sampel yang representatif (posisi bawah, tengah, dan atas tangki). Pasal 141 (1) Perusahaan yang mengoperasikan Kapal untuk jenis dan ukuran tertentu harus menerapkan persyaratan manajemen keselamatan pengoperasian Kapal dan pencegahan pencemaran dari Kapal. (2) Perusahaan yang menerapkan sistem manajemen keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjuk seorang petugas darat (designated personl dari internal perusahaan yang memenuhi kualifikasi guna memastikan pelaksanaan sistem manajemen keselamatan di perusahaan dan Kapal yang dioperasikan. (3) Perusahaan dan Kapal yang telah menerapkan persyaratan manajemen keselamatan pengoperasian Kapal dan pencegahan pencemaran dari Kapal diberikan sertifikat manajemen keselamatan pengoperasian Kapal dan pencegahan pencemaran dari Kapal berdasarkan hasil verifikasi oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal. (4) Sertifikat manajemen keselamatan pengoperasian Kapal dan pencegahan pencemaran dari Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa dokumen penyesuaian manajemen keselamatan untuk perusahaan dan sertifikat manajemen keselamatan untuk Kapal.

      (5)

      Sertifikat (5) Sertifikat manajemen keselamatan pengoperasian Kapal dan pencegahan pencemaran dari Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (41 diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemeriksa Keselamatan Kapal atau Badan Klasifikasi yang diakui dan ditunjuk. (6) Sertifikat manajemen keselamatan pengoperasian Kapal dan pencegahan pencemaran dari Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh Menteri. BAB VI KENAVIGASIAN Pasal 142 (1) Penyelenggaraan Alur-Pelayaran dilaksanakan oleh Menteri. (21 Penyelenggaraan Alur-Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan, pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, dan pengawasan. (3) Badan Usaha dapat diikutsertakan dalam pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan Alur-Pelayaran yang menuju ke Terminal Khusus atau Terminal untuk Kepentingan Sendiri yang dikelola oleh Badan Usaha. (4) Penyelenggaraan Alur-Pelayaran oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri.

      Pasal 143

      Pasal 143 (1) Pekerjaan Pengerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 20lO tentang Kenavigasian dilakukan oleh perusahaan yang khusus didirikan untuk melakukan pekerjaan Pengerukan dan Reklamasi. (2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai kemampuan dan kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat. (3) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diterbitkan oleh instansi yang berwenang. (4) Pelaksanaan pekerjaan Pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan teknis. (5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:


    263. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran;

    264. kelestarian lingkungan;

    265. Tata Ruang perairan; dan

    266. tata pengairan khusus untuk pekerjaan di sungai dan danau. (6) Persyaratan teknis Keselamatan dan Keamanan Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a meliputi:

    267. desain, lebar alur, luas kolam, dan kedalaman sesuai dengan ukuran Kapal yang akan melewati alur;

    268. lokasi pembuangan hasil pengerukan; dan

    269. memperhatikan daerah kabel laut, pipa instalasi bawah air, bangunan lepas pantai, pengangkatan Kerangka Kapal, dan daerah lainnya yang diatur oleh ketentuan internasional atau instansi terkait.

      (7)

      Persyaratan (7) Persyaratan teknis kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b berupa persetujuan lingkungan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. (8) Persyaratan teknis Tata Ruang perairan sebagaimana dimal<sud pada ayat (5) huruf c dilakukan sesuai dengan renca.na Tata Ruang clan/atau rencarra zonasi.

      Pasal 144

      Pekerjaan Pengerukan sebagaimana dimaksud dalanr Pasa-l 98 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2OtO tentang Kenavigasian wajib memenuhi Perizinan Rerusaha dari:


    270. bupati/wali kota untuk pekerjaan Pengerukan di rvilayah perairan Pelabuhan Pengumpan lokal dan Pelabuhan sungai dan danau;

    271. gubernur untuk pekerjaan Pengerukan di wilayah perairan Pelabuhan Peng.rmpan regional; dan

    272. Menteri untuk pekerjaan Pengerukan di Alur- Pelayaran dan wilayah perairan Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengurrpul serta di wilayah perairan Terminal Khusus. ^- Pasal 145 (1) Dalam hal pekerjaan Pengerul; an sebagaimana dimaksud dalam, Pasa.l' 98 Peraturan Pen: erintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian, yat..g pelaksanaannya me.nggunakan penda,raan V""E berasal dari Anggararr Pendapatan dan BelarrjaNegara, material hasil pekerjaan pengerukann5,a dapat dioptimalkan setelah penyelenggara pelabuhan menyatakan adanya potensi manfaat ekonomi masa depan.

      (2)

      Material (21 Material hasil pekerjaan Pengerukan yang dapat dioptimalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penilaian oleh penilai Pemerintah Pusat atau penilai publik untuk mendapatkan nilai wajar. (3) Optimalisasi material hasil pekerjaan Pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pelaporan. (4) Bentuk optimalisasi material hasil pekedaan Pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:

    273. digunakan; dan/atau

    274. dipindahtangankan. (5) Optimalisasi material hasil pekerjaan Pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan barang milik negara. Pasal 146 (1) Dalam hal pekerjaan Pengerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2OlO tentang Kenavigasian, yang pelaksanaannya menggunakan pendanaan yang berasal dari non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau pekerjaan Pengerukan di wilayah Terminal Khusus, Badan Usaha dapat mengoptimalkan material hasil pekerjaan Pengerukan yang diperoleh. (21 Material hasil pekerjaan Pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penilaian oleh penilai Pemerintah Pusat atau penilai publik untuk mendapatkan nilai wajar. (3) Optimalisasi material hasil pekerjaan Pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai kontribusi sebagai sumber penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, kecuali pekerjaan Pengerukan di bidang penambangan. (41 Bentuk optimalisasi material hasil pekerjaan Pengerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:

    275. digunakan; dan/atau

    276. dipindahtangankan. Pasal 147 (1) Untuk membangun Pelabuhan dan Terminal Khusus yang berada di perairan dapat dilaksanakan pekerjaan Reklamasi. (2) Pekerjaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh perusahaan yang khusus didirikan untuk melakukan pekerjaan Pengerukan dan Reklamasi. (3) Pelaksanaan pekerjaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis. (41 Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

    277. kesesuaian dengan Rencana Induk Pelabuhan bagi kegiatan Reklamasi yang lokasinya berada di dalam DLKr dan DLKp Pelabuhan atau rencana umum Tata Ruang wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan bagi kegiatan pembangunan Terminal Khusus;

    278. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran;

    279. kelestarian lingkungan; dan

    280. desain teknis. (5) Pekerjaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhrPerizinan Berusaha dari: bupati/wali kota untuk pekerjaan Reklamasi di wilayah perairan Pelabuhan Pengumpan lokal dan Pelabuhan sungai dan danau; gubernur untuk pekerjaan Reklamasi di wilayah perairan Pelabuhan Pengumpan regional; dan a b Menteri untuk pekerjaan Reklamasi di wilayah perairan Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul serta di wilayah perairan Terminal Khusus. Pasal 148 Dalam hal pelaksanaan pekerjaan Reklamasi dilakukan di dalam DLKr dan DLKp Pelabuhan di wilayah perairan Terminal Khusus maka Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 diajukan oleh perusahaan berbentuk Badan Usaha Pengerukan dan Reklamasi kepada:

    281. bupati/wali kota, pada Pelabuhan Pengumpan lokal, dan Pelabuhan sungai dan danau;

    282. gubernur, pada Pelabuhan Pengumpan regional; dan

    283. Menteri, pada Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul serta di wilayah perairan Terminal Khusus. Pasal 149 (1) Lahan hasil pekerjaan Reklamasi di dalam DLKr dan DLKp Pelabuhan dapat dimohonkan hak atas tanahnya oleh Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Lahan hasil pekerjaan Reklamasi di wilayah perairan Terminal Khusus dapat dimohonkan hak pengelolaan atas tanahnya oleh pengelola Terminal Khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Badan Usaha Pelabuhan, pengelola Terminal untuk Kepentingan Sendiri, dan pengelola Terminal Khusus wajib menyerahkan lahan seluas 5% (lima persen) dari total lahan hasil pekerjaan Reklamasi kepada penyelenggara Pelabuhan untuk kepentingan Pemerintah Pusat. (4) Pemanfaatan lahan hasil pekerjaan Reklamasi yang dilakukan Badan Usaha Pelabuhan yang belum mendapatkan Konsesi dikenakan tarif sewa tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. C (5) Pemanfaatan -to2- (5) Pemanfaatan lahan hasil pekerjaan Reklamasi yang dilakukan oleh pengelola Terminal untuk Kepentingan Sendiri atau Terminal Khusus dikenakan tarif sewa tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

      Pasal 150
      (1)

      (21 Pemilik Kapal wajib mengasuransikan Kapal. Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban mengangkat atau menyingkirkan Kerangka Kapal dan/atau muatannya. (3) Kewajiban mengasuransikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi:


    284. Kapal perang;

    285. Kapal Negara yang digunakan untuk melakukan tugas pemerintahan;

    286. Kapal layar dan Kapal layar motor; atau

    287. Kapal motor dengan tonase kotor kurang dari GT 35 (tiga puluh lima gross tonnage). (4) Kewajiban mengasuransikan mengangkat atau menyingkirkan Kerangka Kapal dan/atau muatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan pemilikan polis asuransi atau sertifikat penyingkiran Kerangka Kapal. Pasal 151 (1) Pemilik Kapal dan/atau Nakhoda wajib melaporkan segera Kerangka Kapalnya yang berada di Perairan Indonesia kepada Syahbandar. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Syahbandar menyampaikan informasi berupa data Kapal dan posisi koordinat sementara kepada Menteri.

      (3)

      Pemilik Kapal atau operator Kapal rvajib melakukan survei keberadaan Kerangka Kapal dan/atau muatannya bersama Syahbandar untuk memperoleh data yang meliputi:

    288. posisifx Kerangka Kapal dalam bentuk koordinat geografis (lintang dan bujur); dan

    289. kondisi perairan dalam bentuk peta bathgmetnc. (4) Dalam hal Kerangka Kapal dan/atau muatannya mengganggu keselamatan berlayar berdasarkan hasil survei sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Syahbandar menetapkan tingkat gangguan keselamatan berlayar.

      Pasal 152

      Tingkat gangguan keselamatan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasai 151 ayat (4) ditetapkan berdasarkan lokasi Kerangka Kapal dan/atau muatannya. jenis dan ukuran Kerangka Kapal, daerah sensitif di sekitar Kerangka Kapal, kepadatan lalu l; ntas Pelayaran, jenis, dan ^jumlah rnuatan/bahan bakar minyak sebagai berikut:


    290. tingkat gangguan I apabila Kerangka Kapal dan/atau muatannya berada di perairan pada DLKr dan DLKp Peiabuhan; dan tingkat gangguan II apabila Kerangka Kapal dan/atau muatannya berada di perairan di luar DLKr dan DLKp Pelabuhan berdasarkan hasil penilaian risiko. Pasal 153' (f ) Dalam hal berdasarkarr trasil penilaian risiko sr: bagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf b tidak mengganggu keanranan, keselamatan Pelayaran, operasional Pelabuhan, dan lingkungan rrraritim, Syahbandar dapat memberikan pembebasan kewajiban penyingkiran Kerangka Kapal dan/atau muatannya. b (2) Pembebasan (21 Pembebasan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Syahbandar di Pelabuhan terdekat kepada pemilik Kapal danlatau operator Kapal dengan menerbitkan surat keterangan pembebasan kewajiban penyingkiran Kerangka Kapal dan/atau muatannya. Pasal 154 (1) Dalam hal Kerangka Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15i ayat (1) posisinya meilgganggu keselamatan berlayar, harus dipasang Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (21 Posisi Kerangka Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan melalui maklumat Pelayaran, stasiun radio pantai, dan berita pelaut Indonesia. (3) Pengadaan, p,emasangan, pemeliharaan, dan penyingkiran kembali Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran menjadi tanggung jawab pemilik Kapal dan/atau operator Kapal.

      Pasal 155

      Posisi Kerangka Kapal yang belunr dipasarrg Sarana Bantu Navigasi-Pciayaran, belum diumunrka.n melalui maklumat Pelayaran, stasiun radio pantai, dan berita pelaut Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 sehingga mengakibatkan tedadinya kecelakaan Kapal, pemilik Kapal atau operator Kallal wajib nrembayar ganti rugi kepetda pihak yang mengalami lcecelakaan dan kerugia: r pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-unda.ngan.


      Pasal 156
      (1)

      Pemilik Kerangka Kapal '; vajib merryingkirl<an Kerangka Kaoal dan/atau muatannya ke tempat lain yang ditentukan oleh Menteri.

      (2)

      Penyingkiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak Kapal tenggelam. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 pemilik Kapal belum melaksanakan penyingkiran Kerangka Kapalnya, penyingkiran Kerangka Kapal wajib dilakukan oleh Menteri atas biaya pemilik Kerangka Kapal. (41 Pemilik Kerangka Kapal yang lalai melaksanakan penyingkiran Kerangka Kapalnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan Kapal, wajib membayar ganti kerugian kepada pihak yang mengalami kecelakaan. Pasal 157 (1) Dalam hal posisi Kerangka Kapal dan/atau muatannya sangat membahayakan keamanan dan keselamatan berlayar, mengganggu kelancaran operasional Pelabuhan, dan/atau pencemaran lingkungan maritim, Syahbandar dapat memerintahkan kepada pemilik Kapal untuk segera mengangkat atau menyingkirkan Kerangka Kapal dan/atau muatannya. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan pengangkatan atau penyingkiran Kerangka Kapal dan/atau muatannya diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 158 (1) Kegiatan Saluage dilakukan terhadap Kerangka Kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam. (21 Pelaksanaan kegiatan Saluage sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi:


    291. metode kerja;

    292. kelengkapan peralatan; dan

    293. tenaga kerja. (3) Setiap pelaksanaan kegiatan SaluaEe sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapat Perizinan Berusaha dari Menteri. Pasal 159 (1) Kegiatan Saluage sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) dilakukan untuk:

    294. memberikan pertolongan terhadap Kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan Kapal atau dalam keadaan bahayh;

    295. ^- ^' mengangkat atau menyingkirkan I(erangka Kapal dan/atau muatannya; dan/atau

    296. mengangkat atau menyingkirkan rintangan bawah air atau benda lainnya. (21 Rintangan bawah air atau benda lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

    297. benda yang ticlak secara permanen dipasang di perairan; dan benda lain yang berasal clari selain kegiatan Pelayaran. (3) Kegiatan Saluage sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilal,: sanakan dengan cara: b a.

    298. c d e survei; pemindzrhan muatan dan/atau baharr (cargo aid fuel transferringl; penarikan (towingl; pengapun gan (refloating) ; darr / atau perrrotongan, penutuhan (scrappirtg), penghancuran. bakar atau -to7- Pasal 16O (1) Pelaksanaan kegiatan Saluaoe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1) terhadap Kapal berbendera Indonesia yang mengalami musibah kandas dapat dilakukan sendiri oleh pemilik Kapal atau operator Kapal berbendera Indonesia dan/atau Badan Usaha Saluage dan/atau Pekerjaan Bawah Air untuk menangarrinya. (21 Dalam hal kegiatan Saluage membutuhkan kecepatan bertindak yang disebabkan kecelakaan Kapal yang dapat mengganggu keselamatan Pelayaran dan operasional Pelabuhan, pemilik Kapal atau operator Kapal berberrdera Indonesia atau Badan Usaha Saluage dan/atau Pekerjaan Bawah Air clapar melakukan segera kegiatan Saluage dan '*,ajib melaporkan tindakan yang telah dilakukan kepada Menteri. (3) Dalam walrtu L x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak diiakukan kegiatan Saluagq pernilik Kapal atau operator Kapal berbendera Indonesia atau Badan Usaha Saluage dan/atau Pekerjaan Bawah Air mengajukan permohonan Perizinan Berusaha. Pasal 161 (1) Kegiatan Pekerjaan Bawah Air dapat dilakukan untuk bangtinarr .atau instalasi di pera.iran. (2) Bangunan sebagaimana dimaksucl- pada ayat (1) meliputi:

    299. bangunan lepas pantai (offshorel; dan/atau

    300. kabel saluran udara. (3) Instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    301. pipa barvah air; dan/atau

    302. kabel bawah air.

      (4)

      Pelaksanaan (4) Pelaksanaan kegiatan Pekeda-an Bawah Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi:

    303. metode kerja;

    304. kelengkapan peralatan; dan

    305. tenaga kerja. (5) Setiap pelaksanaan kegiatan Pekerjaan Bawah Air sebagain^ana dimaksud pada ayat (li urajib mendapat Perizinan Berusaha. Pasal 162 (1) Bangunan atau instalasi di perairan s.-bagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) pating sedikit harus memenuhi persyaratan:

    306. penempatan, pemendaman, dan penandaan;

    307. tidak menimbulkan kerusakan terhadap bangunan atau instalasi Sarana Berntu Navigasi- . Pelayaran dan fasilitas Telekomunikasi- Pelayaran;

    308. memperhatikan ruang bebas dalam pembangunan kabel saluran udara dan/atau jembatan; dan

    309. mernperhatikan koridor pemasangan kabel dan pipa bawah larrt. (21 Setiap pembanguri.o.rl dan/atau pemindahan dan/atau pembongl<aran bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ^.r'rajib' menr.lapat perizinan Berusaha Pasal 163 (1) Pemendarnan dilakukan terhadap instalasi di perairan sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a terdiri atas:

    310. pipa bawah air; dan

    311. kabel bawah air. (21 Pemendaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

    312. pipa bawah air:

  47. dari garis pantai menuju arah lepas pantai sampai dengan kedalaman perairan kurang dari 20 (dua puluh) meter, pipa bawah air harus dipendam 2 (dua) meter di bawah permukaan dasar perairan (nafiiral seabed);

  48. pada perairan mulai dari kedalaman 2O (dua puluh) meter atau lebih, pipa bawah air dapat digelar di atas permukaan dasar perairan (natural seabed) dan harus diusahakan tetap stabil pada posisinya; dan

  49. pemendaman harus duduk stabil pada posisinya. b. kabel bawah air: dari garis pantai menuju arah lepas pantai sampai dengan kedalaman perairan 10 (sepuluh) meter, kabel bawah air harus dipendam 2 (dua) meter di bawah permukaan dasar perairan (natural seabed); pada perairan mulai dari kedalaman 10 (sepuluh) meter sampai 15 (lima belas) meter, kabel bawah air harus dipendam 1 (satu) meter di bawah permukaan dasar perairan (natural seabed); pada perairan yang kedalamannya lebih dari 15 (lima belas) meter dan kurang dari 28 (dua puluh delapan) meter, kabel bawah air harus dipendam 0,5 (nol koma lima) meter sedangkan pada perairan yang kedalamannya lebih dari 28 (dua puluh delapan) meter kabel bawah air dapat digelar di atas permukaan dasar perairan (natural seabed) dan harus diusahakan tetap stabil pada posisinya; dan pemendaman harus duduk stabil pada tempatnya. 1 2 3 4 Pasal 164 (1) Pada lokasi tertentu, pembangunan instalasi di perairan dapat dilakukan tanpa harus dilakukan pemendaman setelah dilakukan kajian penilaian risiko. (2) Lokasi tertentu sebaga.imana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. dasar perairan yang keras (batu atau karang);

    2. persilangan dengan instalasi yang sudah ada;

    3. pengaruh terhadap daya hantar; dan

    4. daerah lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 165 (1) Pemberian Perizinan Berusaha membangun kabel saluran udara di atas perairan diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    5. administrasi; dan

    6. teknis. (21 Pembangrnan kabel saluran udara di atas perairan sebagaimana di,naksud pada ayat (1) wajib memperhatikan ruang bebas. (3) Pemilik kabel salrrran udara di atas perairan yang telah memperoleh Perizinan Benrsaha wajib melaksanakan kegiatan membangun kabel saluran udara dalam jangka waktu 12 (dua belas) bula.n sejak Perizinan Berusaha diterbitkan.

      Pasal 166

      Pasal 166 (1) Dalam hal pemilik bangunan atau instalasi di perairan tidak membangun dalam ^jangka waktu ^paling lama ^12 (dua belas) bulan sejak Perizinan Berusaha diterbitkan, pemilik bangunan dan/atau instalasi di perairan dapat mengajukan permohonan perpanj an gan P erizinan Berusaha. (21 Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) diberikan setelah rnendapat pertimbangan teknis. BAB VII SURAT DOKUMEN DAN WARTA KAPAL Pasal 167 (1) Dalam waktu paling lambat Lx24 (satu kali dua puiuh empat)jam sebelum Kapal tiba, pemilik Kapal, operator Kapal, atau Nakhoda rvajib mcnyampaikan ^l<epada Syahbandar pemberitahuau kedatangan Kapal dengan dilampiri dokumen berupa:


    7. surat Kapal;

    8. dokumen Kapal; dan

    9. warta Kapal. (21 Surat dan dokumen Kapal sebagaimanzt dimarsud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan oleh pemilik Kapal, operator Kapal, atau Nakhoda secarh manual atau elektronik sebelum Kapal tiba di Pelabuhan untuk clilakukan pemeriksaan. (3) Warta Ka.pal sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf c disampaikan dan ditandatangani oleh Nakhoda secara manual atau elektronik.

      Pasal 168

      -tt2- Pasal 168 (1) Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) melakukan pemeriksaan atas kelengkapan surat, dokumen, dan warta l(apal. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memverifikasi masa berlaku surat Kapal dan dckumen Kapal. (3) Syahbandar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bertanggung ^jawab atas keabsahan surat dan dokumen Kapai. (4) Dalam hal berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) surat, dokurnen, dan warta Kapal dinyatakan lengkap. Syahbandar memberikan persetujuan kegiatan Kapal di Pelabuhan. Pasal 169 (1) Setelah dilakr-rkan , pemeriksaan sebagaimana dimaksud daiam Pasal 168 ayat (1) surat, dokumen, dan warta Kapal disimpan oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali bersamaan derrgan diterbitkannya surat persetujuan, berlayar. (2) Penyerahan kembali surat dan dokumen Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk surat dan dokumen Kapal yang disampaikan secara manual. (3) Da.lam penyimpanan surat, dokumen, dan warta Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Syahbandar ' harus menyediakan sistem penyimpanan secara elektronik dan/atau te: npat penyimpanan (arsip). BAB VIII IUANAJEMEN KEAMANAN KAPAL Pasal 170 (1) Manajemen keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan diberlakukan untuk:


    10. Jerrls a. jenis Kapal berbendera Indonesia yang melakukan Pelayaran internasional meliputi:

  50. Kapal penumpang, termasuk Kapal penumpang yang berkecepatan tinggi;

  51. Kapal barang, termasuk Kapal barang yang berkecepatan tinggi dan memiliki gross tonnage lebih atau sama dengan GT 500 (lima ratus gross tonnage); dan

  52. unit pengeboran lepas pantai yang bergerak/berpindah (mobile offshore dilling unit). b. Fasilitas Pelabuhan yang melayani Kapal barang sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2 meliputi Terminal yang dikelola oleh Badan Usaha Pelabuhan, Terminal Khusus, dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri, fasilitas migas lepas pantai dan area alih muat Kapal ke Kapal. (2) Fasilitas Pelabuhan yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disebabkan Fasilitas Pelabuhan telah berinteraksi dengan Kapal yang telah memenuhi ketentuan Koda, dikenai penerapan manajemen keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan dengan mengajukan permohonan atau rekomendasi kepada Koordinator PSC. Pasal 171 (1) Otoritas yang ditunjuk untuk melaksanakan Koda memiliki tanggung jawab untuk:

    1. menetapkan Tingkat Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan secara nasional;

    2. menyetujui SSA dan PFSA termasuk perubahannya;

    3. menyetujui SSP dan PFSP termasuk perubahannya;

    4. menentukan Fasilitas Pelabuhan yang akan dipersyaratkan untuk menerapkan Koda;

    5. melakukan pengawasan dan mengambil langkah untuk implementasi Koda;

    6. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap RSO; dan

    7. menetapkan -tt4- g. menetapkan persyaratan DoS. (21 Selain tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), otoritas yang ditunjuk memiliki kewenangan:

    8. menerbitkan dan mencabut ISSC dan SoCPF; dan

    9. menetapkan dan mencabut surat penetapan sebagai RSO. (3) Otoritas yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 172 (1) Untuk melaksanakan keamanan dan ketertiban di Pelabuhan, Koordinator PSC membentuk PSC. (21 Pembentukan PSC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan seluruh unsur terkait di Pelabuhan dan dituangkan dalam Keputusan Kepala Unit Pelaksana Teknis tentang pembentukan PSC. (3) Unsur terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (21 meliputi wakil dari:

    10. Kantor Kesyahbandaran Utama, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Khusus Batam, atau Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah Pusat;

    11. Kantor Otoritas Pelabuhan Utama;

    12. distrik navigasi;

    13. bea cukai;

    14. imigrasi;

    15. Tentara Nasional Indonesia;

    16. Kepolisian Negara Republik Indonesia;

    17. karantina;

    18. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan;

    19. Badan Usaha Pelabuhan, pengelola Terminal Khusus, atau pengelola Terminal untuk Kepentingan Sendiri;

    20. Pemerintah Daerah; dan

  53. pihak lain yang terkait. Pasal 173... SK No 078462 A Pasal 173 (1) Koordinator PSC memiliki tanggung jawab:

    1. mengoordinasikan pelaksanaan keamanan dan ketertiban Pelabuhan sesuai ketentuan standar internasional;

    2. men)rusun Port Secuitg Assessment/PSA dan Port Secuity PlanlPSP;

    3. men5rusun jaring koordinasi, komunikasi, dan informasi di Pelabuhan;

    4. mengambil tindakan yang sesuai dengan ketentuan terhadap interaksi setiap Kapal yang telah/belum/tidak memiliki ISSC dengan Fasilitas Pelabuhan yang telah/belum/tidak menerapkan ketentuan Koda;

    5. melaksanakan pengawasan, monitoring, dan pembinaan program keamanan Fasilitas Pelabuhan; dan

    6. melakukan pemeriksaan atau inspeksi rutin dan sewaktu-waktu terkait implementasi Koda terhadap Fasilitas Pelabuhan yang berada di wilayah kerjanya. (21 Selain tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Koordinator PSC ^juga memiliki kewenangan:

    7. menentukan dan menetapkan Tingkat Keamanan di Pelabuhan dengan mempertimbangkan ancaman atau Insiden Keamanan yang terjadi;

    8. menentukan dan mengambil langkah keamanan yang sesuai dengan Tingkat Keamanan yang akan dan/atau sedang terjadi .di Pelabuhan;

    9. memasuki Fasilitas Pelabuhan untuk meminta informasi dan hal lain yang terkait dalam hal penerapan Koda;

    10. meminta bantuan kepada pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia pada Tingkat Keamanan 2 dan/atau Tingkat Keamanan 3, jika diperlukan; dan

    11. memberikan sanksi administratif atas ketidakpatuhan atau pelanggaran ketentuan keamanan Fasilitas Pelabuhan. Pasal I74 ... SK No 078463 A Pasal 174 (1) Koordinator PSC melaksanakan penilaian keamanan Pelabuhan (Port Secuitg Assessment/PSAl, yong disusun dengan mempertimbangkan jenis dan skenario ancaman, aset, dan infrastruktur penting serta kelemahan keamanan di wilayah Pelabuhan secara keseluruhan. (21 Setelah pelaksanaan penilaian keamanan Pelabuhan (porl seanrity assessment/PSA), Koordinator PSC menyusun Rencana Keamanan Pelabuhan (port seanitg planlPSP) yang meliputi rencana keamanan dari seluruh Fasilitas Pelabuhan yang berada di wilayah kerjanya. (3) Penyusunan rencana keamanan pelabuhan lport seanity planlPSPl harus mempertimbangkan risiko keamanan Pelabuhan secara keseluruhan yang diidentifikasi dalam penilaian keamanan Pelabuhan (port seanrity assessment/PSAI dan sumber daya manusia, peralatan, dan prosedur keamanan di seluruh Fasilitas Pelabuhan. (41 Penilaian keamanan Pelabuhan (port secuity assessment/PS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh RSO dan/atau tim yang dibentuk oleh PSC. (5) RSO dapat memberikan bantuan pada saat penyusunan rencana keamanan pelabuhan @ort secuitg planlPSPl. Pasal 175 (1) Otoritas yang ditunjuk dapat melimpahkan tugas tertentu terkait penerapan Koda kepada RSO. (21 Badan Usaha yang mendapatkan penetapan sebagai RSO harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    12. badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas yang bergerak di bidang konsultansi manajemen keamanan kapal dan Fasilitas Pelabuhan yang dibuktikan dengan akta pendirian yang mendapat pengesahan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;

    13. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; -tt7- c. memiliki paling sedikit 1 (satu) orang tenaga ahli yang dibuktikan dengan sertifikat dan memiliki pengetahuan tentang Koda untuk masing-masing bidang yang meliputi:

  54. keamanan;

  55. perkapalan;

  56. Kepelabuhanan;

  57. manajemen risiko; dan

  58. intelijen. (3) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang setelah memenuhi persyaratan secara administrasi dan teknis sebagai RSO. (41 Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2\ huruf c berkewarganegaraan Indonesia dan hanya dapat didaftarkan dalam 1 (satu) RSO. Pasal 176 (1) Tugas dan kewenangan RSO adalah:

    1. men1rusun SSA dan PFSA;

    2. membantu penyusunan SSP dan PFSP; dan melaksanakan training IMO model course yang diwajibkan terhadap personel Fasilitas Pelabuhan, perwira keamanan perusahaan, dan internal Auditor ISPS Code. (2) Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan terhadap pelaksanaan Koda, dapat dilaksanakan oleh RSO setelah mendapatkan surat penetapan RSO dari Menteri. C (3) Selain a. b (3) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), RSO dapat membantu pelaksanaan dill, exercise, dan kegiatan lain yang diwajibkan kepada pihak Kapal dan/atau Fasilitas Pelabuhan sesuai dengan persyaratan. RSO yang kewajiban: Pasal 177 telah mendapat penetapan mempunyai melaksanakan peraturan mengenai perjanjian kerja dan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; menyampaikan setiap rencana dan laporan kegiatan kepada Menteri paling lama 2 (dua) minggu sebelum dan setelah selesainya kegiatan; menyampaikan laporan berkala setiap 6 (enam) buian tentang kegiatan perusahaan kepada Menteri; dan melaporkan secara tertulis kepada Menteri setiap kali terjadi perubahan akta dan/atau alamat perusahaan dan/atau perubahan tenaga ahli. Pasal 178 (1) Pelaksanaan SSA dan penyusunan SSP dapat dilaksanakan oleh CSO dan/atau oleh pihak yang ditunjuk oleh manajemen perusahaan. (21 CSO harus memastikan bahwa pihak yang ditunjuk oleh manajemen perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kemampuan dan pengetahuan untuk mengevaluasi/menilai dan merencanakan keamanan Kapal. (3) RSO dapat melaksanakan SSA dan membantu menyusun SSP, namun tidak dapat melakukan pengkajian dan persetujuan terhadap hasil pelaksanaan SSA dan bantuan penJrusunan SSP yang dikerjakan oleh RSO. (41 SSA dan SSP harus clibuat dalam 2 (dua) versi bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. c d

      Pasal 179

      Pasal 179 (1) SSA harus memuat:


    3. identifikasi langkah pengamanan prosedur dan operasional yang ada;

    4. identifikasi dan evaluasi operasional Kapal yang penting untuk dilindungi;

    5. identifikasi ancaman dan kemungkinan terjadinya terhadap operasional penting Kapal untuk menetapkan dan memprioritaskan langkah pengamanan;

    6. identifikasi kelemahan pengamanan di Kapal termasuk faktor manusia, sarana dan prasataraa, serta kebijakan dan prosedur;

    7. identifikasi dampak yarrg dapat ditimbulkan oleh ancaman;

    8. penilaian risiko keamanan; dan

    9. identifikasi langkah mitigasi keamanan. (21 Elemen yang harus dinilai pada saat pelaksanaan SSA meliputi:

    10. pengamanan fisik Kapal;

    11. integritas struktural Kapal;

    12. sistem pelindungan bagi semua Awak Kapal;

    13. kebijakan dan prosedur pengamanan;

    14. radio dan sistem komunikasi, termasuk sistem komputer dan ^jaringarr; dan

    15. area lain yang apabila dirusak atau digunakan untuk hal terlarang akan menimbulkan risiko terhadap orang, barang, dan kegiatan operasional di Kapal atau F'asilitas Pelabuhan.

      (3)

      Setiap pelaksanaan SSA dapat mengembangkan metodologi sendiri dengan tetap berpedoman pada metodologi umum SSA sebagai berikut:

    16. pra penilaian yaitu melalcukan pengumpulan data;

    17. survei lapangan (on-scene seatritg suruegl yaitu melakukan survei langsung ke objek;

    18. strategi mitigasi yaitu melakukan ^langkah perbaikan untuk mengurangi kemungkinan ancaman; dan

    19. kesimpulan dan rekomendasi. (4) Format hasil pelaksanaan SSA harus memuat:

    20. lembar persetujuan;

    21. metodologi yang digunakan;

    22. gambaran umum dan detail kondisi ^Kapal ^saat dilakukan SSA;

    23. hasil penilaian keamanan Kapal; dan

    24. kesimpulan dan rekomendasi.

      (1)

      ssP a. b. c. d. e.

    25. o b'

      Pasal 180

      harus memuat: langkah pengamanan untuk mencegah masuknya senjata, bahan, atau barang berbahaya, dan alat yang dapat digunakan untuk membahayakan orang, Kapal, atau Pelabuhan; identifikasi area terbatas dan langkah ^pencegahan masuknya orang yang tidak berkepentingan ke areet terbat.as tersebut; langkah untuk mencegah masuknya orang ^yang tidak berkepentingan ke Kapal; prosedur untuk merespons ancaman atau pelanggarair keanranan termasuk ketentuan untuk menjaga operasional penting di Kapal atau interaksi Kapal atau Fasilitas Pelabuhan; prosedur untuk merespons setiap instruksi keamanan dari otoritas yang ^'ditunjuk ^yang muqgkin diberikan pada Tingkat Keamanan 3; prosedur untuk evakuasi saat terjadi ancaman keamanan dan pelanggaran keamanan; tugas dari SSO yang ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap kearnanan dan tugas Arvak Kapal lainnya teriradap aspek keamanan Kapal; -t2t- h. prosedur untuk mengaudit kegiatan pengamanan;


    26. prosedur untuk training, dill, dan exercise yang merupakan satu kesatuan dengan SSP;

    27. prosedur interaksi dengan kegiatan pengamanan Fasilitas Pelabuhan;

    28. prosedur untuk Kaji Ulang secara berkala dan pemutakhiran SSP;

  59. prosedur pelaporan untuk setiap Insiden Keamanan;

    1. identifikasi SSO;

    2. identifikasi CSO meliputi nama, surat penunjukan dari manajemen, email, nomor telepon seluler, dan kantor yang dapat dihubungi 24 (dua puluh empat) jam;

    3. prosedur untuk memastikan pemeriksaan, pengujian, kalibrasi, dan pemeliharaan dari setiap peralatan keamanan yang terdapat di atas Kapal;

    4. frekuensi pengujian atau kalibrasi setiap peralatan keamanan yang ada di atas Kapal;

    5. identifikasi lokasi titik pengaktifan sistem siaga pengamanan Kapal (ship seanitg alert sgstem/SSAS); dan

    6. prosedur, instruksi, dan petunjuk dalam menggunakan sistem siaga pengamanan Kapal (ship seanritg alert sgstem/SSAS) termasuk pengujian, pengaktifan, dan penonaktifan serta pengaturan kembali dan untuk membatasi terjadinya peringatan palsu. (21 Selain memuat hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) SSP harus memuat keterangan sebagai berikut:

    7. struktur organisasi pengamanan Kapal;

    8. hubungan antara Kapal dengan perusahaan, Fasilitas Pelabuhan, Kapal lainnya, serta instansi terkait yang bertanggung jawab di bidang keamanan;

    9. prosedur DoS;

    10. sistem .

    11. sistem komunikasi yang berkelanjutan dan efektif di Kapal dan antara Kapal dengan Kapal lainnya termasuk dengan Fasilitas ^pelabuhan;

    12. langkah pengamanan untuk Tingkat Keamanan 1 meliputi kesiapan pengamanan operasional dan fisik;

    13. langkah pengamanan tambahan yang memungkinkan Kapal dapat segera bertindak ke Tingkat Keamanan 2 dan jika perlu ke Tingkat Keamanan 3;

    14. melaksanakan Kaji Ulang atau audit secara berkala terhadap .SSP maupun perubahannya sebagai akibat dari penrbahan keadaan; dan

    15. prosedur pelaporan kepada otoritas yang ditunjuk. (3) Format SSP harus memuat hal sebagai berikut:

    16. lembar persetujuan;

    17. Kaji Ulang dan perubahan;

    18. prosedur keamanan pada setiap Tingkat Keamanan dan prosedur meirghadapi keadaan darurat;

    19. data kontak pemilik Kapal dan operator Kapal;

    20. detail data clan garnbar Kapal dan penandaan area terbatas dan area umum;

    21. identifikasi personel, kontrol tamrr, dan rekrutmen Kapal;

    22. daftar inventaris dan pemeliharaan peralatan keamanan yang ada di atas Kapal dan peralatan komunikasi; dan

    23. laporan dan dokumen traintng, drill, exercise, DoS, pre-arriual notifi"cation securitg, lnsiden Keamanan, ser la hal terkait lainnya. (4) SSP harus secal'a periodik dikaji ulang paling sedikit.l (satu) kali dalarn 12 (dua belas) bulan. (5) Perubahan terhaoap SSA dan/atau SSp harus disahkan t-rleh otoritas yang ditunjuk. Pasal 181 . Pasal 181 (1) Pelaksanaan PFSA hanya dapat dilaksanakan oleh RSO yang telah mendapat penetapan dari Menteri. (2) Penyusunan PFSP dilaksanakan oleh PFSO serta dapat dibantu oleh RSO ^jika Ciperlukan. Pasal 182 (1) PFSA harus rnemuat:

    24. identifikasi dan evaluasi infrastruktur serta aset penting untuk dilindungi;

    25. identifikasi ancarqan yang mungkin terjadi terhadap aset dan infrastruktur serta kemungkinan terjadinya, untuk menentukern dan memprioritaskan langkah keamanan;

    26. identifikasi, pemilihan, dan prioritas tinciakan pencegahan serta penrbahan prosedttral serta ti.ngkat efektifitasnya dalam mengurangi kerentanan; dan

    27. identifikasi kelemahan termasuk faktor manusia di dalam infrastrul<tur, keotakan, dan prosedur. (21 Elemen yang harus cltnilai pada saat pelaksanaan PFSA sebagai berikut:

    28. pellgamanarr fisik;

    29. keutuhan strril<tur;

    30. sister pelindungan persont: l;

    31. kebijakan clan prosedrir p€rlgarriir: lan;

    32. radio dan sistem komunikasi termasuk sistem komputer dan ^jaringan;

    33. infrastruktur transportasi yang relevan;

    34. utilitas; dan

    35. area lain yang apabila dirusak atau digttnakarr untuk hal terlarairg akan menimbulkan rislko terhadap orang, barang, dan kegia.tan di Fasilitas Pelabuhan.

      (3)

      Setiap (3) Setiap pelaksanaan PFSA dapat mengembangkan metodologi sendiri, dengan tetap berpedoman pada metodologi umum PFSA sebagai berikut:

    36. pra penilaian yaitu melakukan pengumpulan data;

    37. survei lapangan yaitu melakukan survei langsung kepada objek;

    38. strategi mitigasi yaitu melakukan langkah perbaikan untuk mengurangi kemungkinan ancaman; dan

    39. kesimpulan dan rekomendasi. (4) Format hasil pelaksanaan PFSA secara umum harus memuat hal sebagai berikut:

    40. lembar persetujuan;

    41. metodologi yang digunakan;

    42. gambaran umum dan detail kondisi Fasilitas Pelabuhan saat dilakukan PFSA;

    43. hasil pelaksanaan PFSA; dan

    44. kesimpulan dan rekomendasi. Pasal 183 (1) PFSP harus memuat: a langkah yang dirancang untuk mencegah senjata, unsur, dan alat yang berbahaya yang dimaksudkan untuk digunakan terhadap orang, Kapal, atau Fasilitas Pelabuhan yang tidak diperbclehkan dibawa ke Fasilitas Pelabuhan atau ke atas Kapal; tindakan yang dirancang untuk mencegah akses tanpa izin ke Fasilitas Pelabuhan, ke Kapal yang ditambatkan di fasilitas, dan ke area rerbatas Fasilitas Pelabuhan; prosedur untuk merespons ancarnan keamanan atau pelanggaran keamanan, termasuk ketentuan untuk menjaga kegiatan penting Fasilitas Pelabuhan atau interaksi Kapal di Pelabuhan; b c.

    45. prosedur untuk merespons instruksi keamanan yang disampaikan oleh otoritas yang ditunjuk pada Tingkat Keamanan 3;

    46. prosedur untuk evakuasi dalam hal terdapat ancaman keamanarr atau pelanggaran keamanan;

    47. tugas pcrsonel Fasititas Pelabuhan yang ditunjuk bertanggung ^jawab masalah keamanan dan tugas personel fasilitas lainnya terkait aspek keamanan;

    48. prosedur untuk interaksi dengan kegiatan pengamanan Kapal;

    49. prosedur Kaji Ulang dan pemutakhiran PFSP secara berkala;

    50. prosedur untuk melaporkan Insiden Keamanan;

    51. identifikasi PFSO dan rincian korrtak 24 (dua puluh enrrpat)jam; " k. langkah intuk memastikan keamanan informasi yang terd.rpat dalarn PFSP;

  60. langkah yang dirancang untuk memastikan efektivitas keamanan rnuatan dan peralatan penanganan muatan di Fasilitas Pelabuhan;

    1. prosedur untuk mengauCit PFSP; o prosedur untuk merespons jika sistem siaga pengamanan Kapal (ship seatrity alert system/SsAs) suatu Kapal yang sedang berada. di Fasilitas Pelabuhan telah diaktifkan; dan prosedur untrrk memfasilitasi kunjungan ke darat bagi Awak Kapal atanr pergantian Awak Kapal, terrnasuk akses pe4gunjung ke Kapal yang mencakup perwakilan kesejahteraan pelaut dan organidasi buruh. n (2) Selain memuat sebagairnana dimaksud pada ayat (1) PFSP ^juga harus memttat: rincian organisasi keamanan Fasilitas Pelabuhan; a.

    2. hubungan organisasi keamanan Fasilitas Pelabuhan dengan instansi terkait lainnya dan sistern komunikasi yang diperlukan untuk memungkinkan komunikasi yang efektif dan berkesinambungan antara organisasi keamanan Pasilitas Pelabuhan dengan instansi lain termasuk dengan Kapal di Fasilitas Pelabuhan;

    3. rincian langkah dasar Tingkat Keamanan 1 baik operasional maupun fisik yang selalu diterapkan;

    4. rincian langkah keamanan tambahan ^yang memungkinkan Fasilitas Pelabuhan dapat segera bergerak ke Tingkat Keamartart 2, dan ^jika perlu ke Tingkat Keamanan 3;

    5. Kaji Ulang berkala atau audit PFSP atau perubahannya sebagai respons dari perubahan yang terjadi; dan

    6. rincian prosedur pelaporan aktifitas keamanan kepada Koordinator PSC. (3) Format PFSP harus metnuat hal sebagai berilut:

    7. lembar persetujuan PFSP;

    8. lembar Kaji Ulang dan perubahan;

    9. strukt-ur organisasi keamanan Fasilitas Pelabuhan dan PSC beserta rincian kontak;

    10. rincian gambar Fasilitas ^'Pelabuhan dan penandaan area terbatas dan area umum;

    11. prosedur pengawasan di titik akses untuk setiap Tingkat Keamanan;

    12. prosedur D€rrEr.ngs.fro.r1 muatan untuk setia.p Tingkat Keamanan;

    13. prosedur barang yang tidak didampingi pemilik untuk setiap Tingkat Keamanan;

    14. prosedur pengiriman perbekalan ke Kapal untuk setiap Tingkat Keamanan;

    15. prcsedur pengawasan keainanan di Fasilitas Pelabuhan untuk setiap ^; fingkat Keamanan;

    16. prosedur keamanan lainnya yang dianggap perlu di setiap Tingkat l(eamanan;

    17. prosedur menghadapi keadaan darurat;

    18. daftar inventaris dan pemeliharaan peralatan keamanan dan komunixasi;

    19. format dokumen dan laporan training, drill, exercise, DoS, pre-arciual notifrcation seq.titg, dan Insiden Keamanan serta hal terkait lainnya; dan

    20. format dokumen audit internal. (4) PFSA harus secara periodik dikaji ulang paling sedikit 1 (satu) kali dalam t2 (dua belas) bulan dengan mempertimbangkan perubahan ancaman keamanan dan/atau perubahan yang terjadi di Fasilitas Pelabuhan terkait aspek operasional. (5) PFSP harus secara periodik'dikaji ulang paling sedikit 1 (satu) kali dalam 12 (dua belas) bulan dan/atau sebagai tindak lanjut hal dibawah ini: . a. terdapat perubahan pada PFSA;

    21. dalam audit internal dan/atau verifikasi dan/atau inspeksi oleh otoritas yang ditunjuk ditemukan elemen dari PFSP yang sudah tidak relevan;

    22. terjadi Insiden Keamanan yang melibatkan Fasilitas Pelabuhan; dan

    23. pelaksanaan dnt atau exercise yang berskala besar. Pasal 184 (1) Personel yang bertanggung jawab terhadap keamanan Kapal terdiri atas:

    24. CSO; dan

    25. sso. (21 Personel yang bertanggung jarvab terhadap keam.anan Fasilitas Pelabuhan yaitu PFSO. Pasal 185 (1) Perusahaan angkutan laut nasional wajib menunjuk CSO. (21 CSO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertanggung jawab untuk 1 (satu) Kapal atau lebih berdasarkan ^jumlah Kapal dan kebijakan manajemen. (3) Perusahaan angkutan laut nasional dapat menunjuk lebih dari 1 (satu) CSO dan wajib menentukan Kapal yang menjadi tanggung jawab masing-masing CSO. (4) Untuk ditetapkan menjadi CSO harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    26. memiliki bukti penunjukan dari perusahaan angkutan laut nasional;

    27. memiliki keterampilan yang dibuktikan dengan sertifikat CSO; dan

    28. melaksanakan pemutakhiran terhadap sertifikat CSO setiap 3 (tiga) tahun.

      Pasal 186

      Tugas dan tanggung ^jawab CSO meliputi a. menginformasikan tingkat ancaman yang mungkin dihadapi oleh Kapal dengan menggunakan penilaian keamanan yang tepat dan informasi relevan lainnya;


    29. memastikan SSA telah dilaksanakan;

    30. memastikan pengembangan, penyampaian untuk persetujuan, serta penerapan dan pemeliharaan SSP;

    31. memastikan SSP dimodifikasi yang sesuai untuk mengoreksi kekurangan dan memenuhi persyaratan dari masing-masing jenis Kapal;

    32. mengatur pelaksanaan audit internal dan Kaji Ulang terhadap SSA dan SSP;

    33. mempersiapkan pelaksanaan verifikasi oleh otoritas yang ditunjuk;

    34. memastikan pemenuhan kekurangan dan ketidaksesuaian audit internal dan Kaji Ulang;

    35. meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan keamanan;

    36. menjamin l. menjamin pelatihan yang cukup dan sesuai untuk personel yang bertanggung jawab terhadap keamanan Kapal; menjamin keberhasilan komunikasi dan kerjasama 4ntara ^SSO ^dan ^PFSO terkait; memastikan kesesuaian antara persyaratan keamanan dan persyaratan keselamatan; dan memastikan bahwa pengaturan alternatif atau setara yang telah disetujui untuk sebuah atau sekumpulan Kapal tertentu telah diterapkan. Pasal 187 (1) Perusahaan angkutan laut nasional wajib menunjuk SSO untuk setiap Kapal yang menerapkan Koda. (21 Untuk ditetapkan menjadi SSO harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    37. memiliki bukti penunjukan dari perusahaan angkutan laut; dan

    38. memiliki bukti keterampilan SSO yang dapat diakses melalui laman resmi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pelayaran. Pasal 188 Tugas dan tanggung jawab SSO sebagai berikut a. melaksanakan pemeriksaan rutin pada setiap Kapal untuk memastikan terpeliharanya langkah keamanan;

    39. memelihara dan mengawasi penerapan SSP maupun perubahannya;

    40. melakukan koordinasi pengamanan penanganan muatan dan perbekalan Kapal dengan Awak Kapal lainnya dan dengan PFSO;

    41. mengajukan perubahan terhadap SSP, jika dianggap perlu;

    42. melaporkan kepada CSO kekurangan dan ketidaksesuaian yang diidentifikasi dalam audit internal, Kaji Ulang berkala, inspeksi dan verifikasi keamanan untuk selanjutnya menerapkan tindakan perbaikan; J k I f. meningkatkan kesadaran keamanan dan kewaspadaan di atas Kapal;

    43. memastikan telah dilaksanakannya training yang cukup untuk semua Awak Kapal sesuai ketentuan;

    44. melaporkan seluruh Insiden Keamanan;

    45. melakukan koordinasi dengan CSO dan PFSO terkait penerapan SSP; dan

    46. memastikan bahwa peralatan keamanan dioperasikan dengan baik, diuji, dan dipelihara. Pasal 189 (1) PFSO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 huruf c harus ditunjuk untuk masing-masing Fasilitas Pelabuhan. (2) PFSO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditunjuk sebagai petugas keamanan untuk 1 (satu) atau lebih Fasilitas Pelabuhan dalam 1 (satu) manajemen dan 1 (satu) wilayah Pelabuhan. (3) Untuk ditetapkan menjadi PFSO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    47. memiliki bukti penunjukan dari manajemen Fasilitas Pelabuhan;

    48. memiliki sertifikat pengetahuan dan keterampilan sebagai PFSO; dan

    49. melaksanakan pemutakhiran terhadap sertifikat PFSO setiap 3 (tiga) tahun. (4) Tugas dan tanggung jawab PFSO sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagai berikut:

    50. melaksanakan pemeriksaan awal yang komprehensif terhadap keamanan Fasilitas Pelabuhan, dengan mempertimbangkan PFSA;

    51. memastikan pengembangan dan pemeliharaan PFSP;

    52. menerapkan PFSP;

    53. melaksanakan inspeksi keamanan Fasilitas Pelabuhan secara berkala untuk memastikan keberlanjutan langkah keamanan yang sesuai;

    54. merekomendasikan dan menggabungkan secara tepat, modifikasi terhadap PFSP untuk memperbaiki kekurangan dan memperbaharui PFSP dengan mempertimbangkan perubahan terhadap Fasilitas Pelabuhan;

    55. meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan keamanan personel Fasilitas Pelabuhan;

    56. menjamin training yang cukup bagi petugas keamanan Fasilitas Pelabuhan;

    57. melaporkan kepada pihak yang berwenang dan mencatat kejadian yang mengancam keamanan Fasilitas Pelabuhan;

    58. berkoordinasi dengan CSO dan SSO untuk penerapan PFSP;

    59. berkoordinasi dengan instansi keamanan terkait;

    60. memastikan bahwa petugas keamanan Fasilitas Pelabuhan memenuhi standar;

    61. memastikan peralatan keamanan dioperasikan dengan baik, diuji, dikalibrasi, dan dipelihara; dan

    62. membantu SSO untuk memastikan bahwa orang yang akan naik ke atas Kapal telah teridentifikasi. Pasal 190 (1) SSA dan SSP yang telah dikaji dan dinyatakan memenuhi ketentuan, diberikan persetujuan Menteri. (21 PFSA dan PFSP yang telah dikaji dan dinyatakan memenuhi ketentllan, diberikan persetujuan oleh Koordinator PSC dan Menteri. (3) Untuk pelaksanaan pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengguna atau pemohon wajib mengajukan permohonan kepada Menteri. Pasal 191 (1) Pengkajian dan evaluasi hasil pelaksanaan PFSA dilakukan secara kolektif dengan melibatkan pihak terkait, terdiri atas:

    63. pejabat di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pelayaran;

    64. Koordinator PSC dan/atau PSO;

    65. RSO pelaksana PFSA;

    66. manajemen Fasilitas Pelabuhan; dan

    67. PFSO. (21 Dalam rapat pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) RSO pen5rusun PFSA diwajibkan menyampaikan hasil pelaksanaan PFSA kepada seluruh peserta rapat untuk dievaluasi, dibahas, dan disepakati secara bersama-sama. (3) Perubahan terhadap PFSA dan/atau PFSP disampaikan kepada Koordinator PSC untuk mendapatkan persetujuan. Pasal 192 (1) Audit internal terhadap Kapal dan/atau Fasilitas Pelabuhan wajib dilaksanakan sebelum dilakukan verifikasi oleh Auditor ISPS Code guna memastikan bahwa penerapan Koda telah sesuai dengan SSP atau PFSP yang telah disetujui oleh Menteri. (2) Pelaksanaan audit internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan rencana atau jadwal yang telah dicantumkan dalam SSP atau PFSP dengan tidak melebihi batas waktu 12 (dua belas) bulan untuk 1 (satu) kali audit internal.

      (3)

      Audit internal yang dilaksanakan oleh pihak luar perusahaan tidak diakui atau tidak sah. Pasal 194 Untuk memastikan penerapan manajemen keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan wajib dilakukan audit dalam bentuk kegiatan verifikasi. Pasal 195 (1) Jenis verilikasi terhadap Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 terdiri atas: a verifikasi awal (initial uerificationl merupakan verifikasi sebelum Kapal dioperasikan untuk pertama kali atau sebelum ISSC yang dipersyaratkan diterbitkan pertama kali; verifikasi antara (intermediate uerification) merupakan verifikasi antara tahun kedua dan tahun ketiga pada tanggal ulang tahun ISSC; verifikasi pembaharuan (renewal ueificationl merupakan verifikasi untuk memperpanjang masa berlaku ISSC, tetapi tidak melebihi masa 5 (lima) tahun; dan verifikasi tambahan (additional uerification) merupakan verifikasi yang ditentukan oleh Menteri. (2) Jenis verifikasi terhadap Fasilitas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 terdiri atas:

    68. verifikasi pertama (first uerification/ merupakan verifikasi sebelum SoCPF yang dipersyaratkan diterbitkan pertama kali;

    69. verifikasi kedua (second uerification) merupakan verifikasi antara tahun kedua dan tahun ketiga pada tanggal ulang tahun SoCPF; b c d verifikasi ketiga (third ueriftcationl merupakan verifikasi untuk memperpanjang masa berlaku SoCPF, tetapi tidak melebihi masa 5 (lima) tahun; dan verifikasi keempat (fourth uerification/ merupakan verifikasi yang ditentukan oleh Menteri. Pasal 196 (1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1) huruf a dan ayat (21huruf a dilakukan setelah mendapatkan persetujuan terhadap SSA/PFSA dan ssP/PFSP. (21 Otoritas yang ditunjuk memiliki kewenangan penuh untuk melakukan Verifikasi Manajemen Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan. (3) Verifikasi Manajemen Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan dilaksanakan oleh Auditor ISPS Code. Pasal 197 (1) Pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    70. pelaksanaan audit internal yang dibuktikan dengan dokumentasi hasil Internal Audit;

    71. melaksanakan paling sedikit 2 (dua)jenis aktifius meliputi training dan dill; dan

    72. melakukan reuiew atau revisi SSA/PFSA dan ssP/PFSP. (2) Terhadap verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1) huruf b dan huruf c serta ayat (21 huruf b dan huruf c selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: c d a. melaksanakan exercise;

    73. telah dilaksanakan verifikasi sebelumnya; dan

    74. pemenuhan temuan verifikasi sebelumnya. (3) Pada saat pelaksanaan verifikasi, pemilik Kapal dan Fasilitas Pelabuhan wajib menghadirkan semua ^pihak terkait. (4) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) meliputi:

    75. untuk verifikasi Kapal:

  61. Nakhoda;

  62. SSO;

  63. Awak Kapal; dan

  64. CSO. b. untuk verifikasi Fasilitas Pelabuhan:

  65. Koordinator PSC dan/atau pejabat setingkat dibawahnya selaku PSO;

  66. PFSO, deputi PFSO, dan petugas keamanan lainnya; dan

  67. Pihak lain yang dianggap perlu sesuai dengan kebutuhan. (5) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1) yang berlokasi di luar negeri hanya dilakukan oleh Auditor ISPS Code. (6) Biaya yang timbul dari pelaksanaarr Verifikasi Manajemen Keaman-an Kapal dan Fasilitas Pelabuhan dalam rangka. penerbitan atau pengesahan ISSC dan SoCPF dibebankan kepada pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 198 Dokumen dan peralatan yang pelaksanaan verifikasi meliputi:

    1. untuk verilikasi Kapal:

  68. SSA dan SSP;

  69. internal audit; diperlukan dalam 3. sistem identilikasi otomatis (automatic identification sy stem / AI S) ;

  70. sistem siaga pengamanan Kapal (ship seanity alert system/ SSASi;

  71. identifikasi IMO;

  72. identifikasi daerah terbatas;

  73. peralatan keamanan standar lain yang tercantum dalam SSP;

  74. catatan atau dokumentasi dari kegiatan training, drill, dan exercise; dan

  75. catatan lain yang dipersyaratkan seperti DoS, pre- arriual notification, ten last port, Insiden Keamanan, continous sAnopsis record. b. Untuk verifikasi Fasilitas Pelabuhan:

  76. PFSA dan PFSP;

  77. Internal Audit;

  78. peralatan keamanan standar yang tertulis di dalam PFSP;

  79. catatan atau dokumentasi dari kegiatan training, dill, dan exercise; dan

  80. catatan lain yang dipersyaratkan seperti DoS, pre- arriual notification ship seanitg, dan Insiden Keamanan. Pasal 199 (1) Setiap pelaksanaan verifikasi, Auditor ISPS Code diharuskan untuk membuat laporan verifikasi dan ditandatangani oleh:

    1. Auditor ISPS Code bersangkutan;

    2. Nakhoda, RSO dan SSO untuk verifikasi Kapal; dan

    3. PFSO dan PSC atau PSO untuk verifikasi Fasilitas Pelabuhan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

      Pasal 200

      Pasal 200 Dalam kondisi tertentu verilikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 dapat dilaksanakan melalui aplikasi dalam jaringan. Pasal 201 (1) Fasilitas Pelabuhan yang telah dilakukan verifikasi dan telah mendapatkan SoCPF yang perrnanen harus didaftarkan dalam situs resmi IMO GISIS untuk mendapatkan nomor IMO. (21 PFSO wajib menyampaikan pemutakhiran data informasi IMO GISIS kepada Menteri. Pasal 2O2 (1) Auditor ISPS Code wajib memiliki kompetensi di bidang manajemen keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan dengan mengikuti pelatihan auditor sistem manajernen keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan yang dibuktikan dengan sertifikat dan telah dikukuhkan. (2) Pelatihan auditor sistem manajemen keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan pengembangan sumber daya manusia di kementerian yang menyelenggarakan urusan penrerintahan di bidang Pelayaran. Pasal 203 (1) Penilaian ulang terhadap Kapal dan/atau Fasilitas Pelabuhan yang menerapkan Koda, dilakukan apabila Kapal dan/atau Fasilitas Pelabuhan tersebut dalam kondisi:


    4. terjadi perubahan kepemilikan atau manajemen bagi Kapal atau Fasilitas Pelabuhan;

    5. terjadi perubahan konstruksi Kapal;

    6. terjadi c. terjadi perubahan yang signifikan berupa penambahan dan/atau pengurangan area atau aset Fasilitas Pelabuhan yang dikenakan Koda yang berdampak pada risiko keamanan;

    7. terjadi gangguan keamanan ^yang luar biasa ^yang disebabkan tidak dilaksanakannya SSP dan/atau PFSP sehingga operasional Kapal dan/atau Fasilitas Pelabuhan terganggu; dan/atau

    8. Dokumen SSA atau PFSA yang telah disetujui oleh otoritas yang ditunjuk tidak ada atau hilang. (21 Untuk pelaksanaan penilaian ulang terhadap Kapal, pemilik Kapal dapat meminta RSO darr latau tim yang dibentuk oleh manajemen perusahaan dengan beranggotakan CSO, SSO, dan pihak terkait ^yang dianggap mampu dan cakap. (3) Pelaksanaan penilaian ulang terhadap Fasilitas Pelabuhan dilaksanakan oleh RSO. (4) RSO yang melaksanakan penilaian awal tidak diperbolehkan untuk melaksanaan penilaian ulang terhadap Fasilitas Pelabuhan yang sama. (5) Terhadap penilaian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ISSC dan SoCPF yang dimiliki oleh Kapal atau Fasilitas Pelabuhan dinyatakan tidak berlaku dan akan diterbitkan kembali ISSC dan SoCPF sementara. PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 205 (1) ISSC dan SoCPF permanen diterbitkan oleh Menteri dan berlaku selama 5 (lima) tahun. (21 ISSC sementara (interim) diterbitkan oleh Menteri dan berlaku selama 6 (enam) bulan. (3) SoCPF sementara (interim) diterbitkan oleh Menteri dan berlaku selama 6 (enam) bulan. Pasal 206 (1) Kapal yang melakukan penggantian bendera dari bendera asing ke bendera lndonesia yang dilakukan di luar negeri dapat diberikan ISSC sementara untuk 1 (satu) kali Pelayaran. (2) ISSC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku hanya untuk 1 (satu) kali Pelayaran dari Pelabuhan negara asal sampai Kapal tiba di Pelabuhan Indonesia. (3) Setelah Kapal tiba di Pelabuhan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diberlakukan ketentuan dan persyaratan Koda. Pasal 207 (1) Dalam hal Kapal dalam suatu Pelayaran dan ISSC yang baru belum dapat diterbitkan, ISSC lama dinyatalcan masih berlaku tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan terhitung dari tanggal verifikasi. (2) Dalam hal SoCPF baru belum dapat diterbitkan, SoCPF yang lama dinyatakan masih berlaku tetapi tidak melebihi 1 (satu) bulan terhitung dari tanggal verifikasi. (3) Auditor ISPS Code harus memberikan pengesahan bahwa ISSC dan SoCPF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21berlaku sementara sebelum ISSC dan SoCPF baru diterbitkan.

      Pasal 208

      Dalam hal terjadi kerusakan dan/atau kehilangan ISSC dan SoCPF, perrrsahaan mengajukan permohonan penerbitan kembali ISSC dan SoCPF. Pasal 209 (1) Setiap Kapal dan/atau Fasilitas Pelabuhan yang telah menerapkan Koda wajib melaksanakan training, drill, dan exercise. (2) Drill dan exercise bertujuan untuk memastikan bahwa Awak Kapal dan personel Fasilitas Pelabuhan mahir dalam melaksanakan tugas keamanan sesuai dengan tanggung ^jawabnya, pada semua Tingkat Keamanan dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang perlu diperbaiki. (3) Drill dan exercise dilaksanakan dengan mempertimbangkan ancaman keamanan. Pasal 210 (1) CSO, SSO, dan PFSO harus mempunyai pengetahuan dan telah mendapatkan training keamanan sesuai dengan tugas dan tanggurlg ^jawabnya. (21 Awak Kapal dan personel Fasilitas Pelabuhan yang mempunyai tugas dan tanggung ^jawab khusus terkait keamanan harus memahami tanggung ^jawabnya terkait keamanan Kapal atau Fasilitas Pelabuhan sesuai yang tercantum dalam SSP atau PFSP dan harus mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk melaksanakan tugasnya. (3) Personel Fasilitas Pelabuhan atau Awak Kapal lainnya harus mempunyai pengetahuan dan telah menerima pelatihan kesadaran keamanan. -t4L- Pasal 21 1 (1) Pelaksanaan drill sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dilaksanakan paling singkat 1 (satu) kali setiap 3 (tiga) bulan. (21 Jika terjadi sekaligus pergantian Awak Kapal lebih dari 25o/o (dua puluh lima persen), dengan personel yang belum mengikuti dnl di Kapal tersebut dalam 3 (tiga) bulan terakhir, harus dilaksanakan drill dalam waktu 1 (satu) minggu dari pergantian Awak Kapal dimaksud. Pasal 2l2 (1) Pelaksanaan exercise sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dilaksanakan paling sedikit I (satu) kali dalam 12 (dua belas) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan untuk setiap exercise. (21 Pelaksanaarl exercfse, meliputi:


    9. skala penuh atau langsung;

    10. simulasi di atas meja atau seminar; atau

    11. kombinasi dengan pelaksanaar, exercise yang lain, berupa exercise respons keadaan darurat. (3) Dalam waktu 5 (lima) tahun masa berlaku SoCPF, Fasilitas Pelabuhan harus melaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali exercise skala penuh. (4) Exercise harus menguji komunikasi, koordinasi, ketersediaan sumber daya dan respons terhadap ancaman keamanan. (5) PFSO harus membuat laporan pelaksanaan exercise Fasilitas Pelabuhan dan mendapat pengesahan dari Koordinator PSC. Pasal 213 (1) Pelaksanaan exercise sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (1) dapat dilaksanakan oleh lebih dari 1 (satu) Fasilitas Pelabuhan. (21 Pelaksanaan exercise lebih dari 1 (satu) Fasilitas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan skenario yang disusun berdasarkan pertimbangan ancaman keamanan yang diidentifikasi dalam masing-masing PFSA.

      (3)

      Seluruh (3) Seluruh Fasilitas Pelabuhan yang terlibat dalam exercise lebih dari 1 (satu) Fasilitas Pelabuhan wajib melaksanakan langkah keamanan yang tercantum dalam PFSP masing-masing untuk merespons skenario ancaman keamanan. Pasal 214 (1) Setiap Kapal yang akan memasuki Pelabuhan, Terminal Khusus, atau Terminal untuk Kepentingan Sendiri di Indonesia harus memberitahukan kedatangan Kapai 24 (dua puluh empat)jam lebih awal kepada Koordinator PSC dan PFSO sebelum Kapal tiba di Pelabuhan, Terminal Khusus, atau Terminal untuk Kepentingan Sendiri. (21 Pernberitahuan kedatangan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh ^pemilik Kapal, keagenan Kapal, CSO, atau Nakhoda dengan ter leb ih dahulu me n giriml<an pre ^- arriu al notification. (3) Koordinator PSC segera memberitahukan dan melakukan koordinasi dengan PFSO terkait, guna menindaklanjuti atau mengadakan persiapan untuk kedatangan Kapal.

      (1)

      DoS a. Pasal 215 diberlakukan dalam kondisi sebagai berikut: Kapal sedang beroperasi pada Tingkat Keamanan yang lebih tinggi daripada Fasilitas Pelabuhan atau Kapal lain; terdapat suatu ancaman atau peristiwa keamanan yang melibatkan Kapal a+.au Fasilitas Pelabuhan; Kapal atau Fasiiitas Pelabuhan sedang beroperasi pada Tingkat Keamanan 3; terjadi perubahan Tingkat Keamanan bagi Kapal atau Fasilitas Pelabuhan yang sedang berinteraksi; h c, d e. terjadi interaksi antara Kapal dan Fasilitas Pelabuhan yang dapat membahayakan penduduk setempat;

    12. terjadi interaksi antara Kapal dan Fasilitas Pelabuhan yang dapat menimbulkan risiko pencemaran;

    13. terjadi interaksi antara Kapal dan Fasilitas Pelabuhan yang melibatkan embarkasi atau debarkasi penumpang atau penanganan barang berbahaya;

    14. Kapal sedang beraktifitas di Fasilitas Pelabuhan yang tidak diwajibkan mengimplementasikan Koda;

    15. Kapal sedang melakukan aktifitas dengan Kapal yang tidak diwajibkan mengimplementasikan Koda;

    16. melakukan transfer penumpang atau barang berbahaya di laut;

    17. aktifitas Kapal ke Kapal yang memiliki risiko pencemaran laut;

    18. kesepakatan antar pemerintah yang mensyaratkan DoS untuk Pelayaran internasional tertentu dan Kapal yang melakukan Pelayaran dimaksud atau kegiatan Kapal ke Kapal selama Pelayaran dimaksud;

    19. Kapal yang tidak diwajibkan mengimplementasikan Koda mengajukan untuk menggunakan Fasilitas Pelabuhan yang mengimplementasikan Koda;

    20. kebutuhan untuk pemberlakuan DoS yang dinyatakan oleh otoritas yang ditunjuk; dan/atau

    21. Kapal tidak mempunyai ISSC yang valid. (21 Pemberlakuan DoS harus dilaporkan oleh keagen Kapal Pelayaran atau pihak Fasilitas Pelabuhan kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis atau Koordinator PSC setempat.

      (3)

      Apabila pemberlakuan DoS melibatkan Fasilitas Pelabuhan yang tidak diwajibkan mengimplementasikan Koda, pihak Fasilitas Pelabuhan harus menunjuk personel untuk menandatangani DoS dan bertanggung ^jawab terhadap penerapan tindakan keamanan di Fasilitas Pelabuhan. Pasal 216 (1) Syahbandar diberikan kewenangan untuk tidak melayani Pelabuhan, Terminal Khusus, atau Terminal untuk Kepentingan Sendiri yang tidak menerapkan Koda tetapi melayani Kapal Asing cian/atau Kapal berbendera Indonesia yang telah menerapkan Koda. (21 Syahbandar dilarang menerbitkan surat persetujuan berlayar terhadap Kapal berbendera Indonesia yang akan melakukan Pelayaran ke luar negeri apabila Kapal tersebut tidak menerapkan Koda. Pasal 2lT (1) RSO yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 dikenai sanksi peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut. (21 Apabila telah dilakukan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) RSO tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, dikenai sanksi berupa pembekuan penetapan RSO untuk jangka waktu 1 (satu) bulan. (3) Dalam hal telah dilakukan pembekuan penetapan RSO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) RSO tidak melakukan usaha perbaikan atas sanksi yang telah diberikan, dikenakan sanksi berupa pencabutan penetapan RSO.

      (4)

      Pencabutan . (41 Pencabutan penetapan RSO tanpa peringatan tertulis dan pembekuan penetapan RSO ^jika:

    22. melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara;

    23. melakukan tindakan yang mengakibatkan terancamnya keselamatan ^jiwa manusia;

    24. mendapat penetapan sebagai RSO dengan cara tidak sah;

    25. menggunakan tenaga ahli yang tidak sesuai dalam daftar tenaga ahli yang disampaikan kepada Menteri dan/atau menggunakan tenaga ahli yang terdaftar pada RSO lain; atau

    26. badan hukum menyatakan membubarkan diri. Pasal 2 18 (1) Sanksi administratif bagi Fasilitas Pelabuhan yang tidak menerapkan Koda namun melayani Kapal Pelayaran internasional:

    27. peringatan; dan

    28. rekomendasi pencabutan SoCPF. (2) Sanksi administratif bagi Fasilitas Pelabuhan yang tidak melaksanakan tindakan perbaikan atas temuan inspeksi keamanan:

    29. peringatan; dan/atau

    30. rekomendasi pencabutan SoCPF. Pasal 2 19 Badan Klasifikasi nasional diberikan tugas dan kewenangan oleh Menteri berdasarkan nota kesepahaman untuk:

    31. melaksanakan pengkajian dan persetujuan SSA darr SSP;

    32. melaksanakan verifikasi terhadap Kapal; dan

    33. menerbitkan ISSC sementara. PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 22O (1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran kewajiban dan/atau larangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pelayaran yang menimbulkan kerugian terhadap barang, harta benda, kecelakaan Kapal dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, keamanan, dan/atau lingkungan namun tidak menimbulkan korban ^jiwa dan/atau cedera pada manusia dapat dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    34. peringatan tertulis;

    35. tidak diberikan pelayanan;

    36. pembekuan kegiatan usaha;

    37. pencabutan Perizinan Berusaha; dan latau e. denda administratif. (3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (21dilakukan berdasarkan tingkat kesalahan yang ditemukan pada kegiatan pengawasan. Pasal 22L Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22O dilaksanakan secara langsung atau bertahap. Pasal 222 (1) Pengenaan sanksi administratif secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 dilakukan jika pelanggaran tersebut dapat membahayakan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran. (21 Pengenaan sanksi administratif secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pembekuan dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha. Pasal 223 (1) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22O ayat (2) huruf a terdiri atas peringatan pertama sampai dengan peringatan ketiga dengan jangka waktu tertentu. (21 Sanksi pembekuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22O ayat (2) huruf c dikenai dengan jangka waktu tertentu. (3) Dalam hal setiap orang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai jangka waktu pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi pencabut an Perizinan Berusaha. Pasal 224 Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22O ayat (2) huruf e yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dinyatakan tetap berlaku. BAB IX KONSESI Pasal 225 Penyediaan danf atau pelayanan jasa Kepelabuhanan yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan diselenggarakan berdasarkan perjanjian Konsesi atau kerjasama bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 226 (1) Perjanjian Konsesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 berakhir sesuai dengan batas jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian Konsesi dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal masa Konsesi telah berakhir, lahan dan Fasilitas Pelabuhan hasil Konsesi beralih atau diserahkan kepada penyelenggara Pelabuhan.

      (3)

      Pengaturan (3) Pengaturan kembali penggunaan dan pemanfaatan lahan dan Fasilitas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian Konsesi diatur dengan Peraturan Menteri. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 227 (1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha dalam rangka percepatan cipta kerja. (21 Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidapg perekonomian.

      Pasal 228

      Dalam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak ^jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Pelayaran. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN


      Pasal 229

      Ketentuan pelaksanaan Perizinan Berusaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku bagi pelaku usaha/pihak yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, kecuali ketentuan tersebut lebih menguntungkan bagi pemegang Perizinan Berusaha. Pasal 230 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Perizinan Berusaha yang sudah terbit masih tetap berlaku sampai dengan berakhirny a Perizinan Berusaha tersebut. BAB XII KETENTUAN PENUTUP


      Pasal 231

      Perizinan Berusaha di bidang Pelayaran dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perurndang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko.


      Pasal 232

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 233 (1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    38. Pasal 7, Pasal 8, Pasal 39, Pasal 40 ayat ^(1), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 ayat (1) dan ayat ^(21, Pasal 79,Pasal 80, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 97, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, Pasal lO2, Pasal 103, Pasal tO4, Pasal 105, Pasal 106, Pasal tO7, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal II2, Pasal 113, Pasal Ll4, Pasal 116, Pasal ll7, Pasal 119, Pasal L2l, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal L25, Pasal 126, Pasal 127, Pasal 138, Pasal 129, Pasal 130, Pasal 131, Pasal 132, Pasal 133, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal L4l, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, Pasal L46, Pasal 147, Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151, Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 157, Pasal 158, Pasal 160, Pasal 161, Pasal L62, Pasal 163, Pasal 164, dan Pasal 165 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2OlO tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20 10 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5108) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2Ol1 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2OlO tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oll Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208);

    39. Pasal b. Pasal 42, Pasal 44, Pasal 69, Pasal 71, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 9O, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 98, Pasal 103, Pasal ^1 1 1, Pasal LL7, Pasai 118, Pasal 119, Pasal L2O, Pasal l2l, Pasal 122, Pasal L23, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 131, Pasal 132, Pasal 134, Pasal 136, Pasal 137, Pasal L4L, Pasal 142, Pasal 143, dan Pasal t44 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 151 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 573 1);

    40. Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal ^10, Pasal 12, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pa-sal 60, Pasal 7I, Pasal 75, Pasal 90, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 99, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 109, Pasal 1 10, Pasal 1 14, Pasal 1 15, Pasal 1 16, Pasal l2O, Pasal 121, Pasal 123, Ptisal 125, dan Pasal 126 Peraturan Pemerintah lYomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO2 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42271; dan

    41. Pasal 6, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 103, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 119, Pasal l2O, Pasal 127, Pasal 122, Pasal 126, dan Pasal 127 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2OlO tentang Kenavigasian (Lembaran Negara Repubhk Indonesia Tahun 2OlO Nomor 8, Tarnbahan Lembaran .Negara Republik Indonesia Nomor 5093); dicabrrt dan dinyatakan tidak berlaku.

      (2)

      Terhadap pasal yang dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menjadi acttan pada:

    42. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2OlO tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OLO Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5108) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahttrr 2OlI tentang Peruoahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2}ll Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208);

    43. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Incionesia Tahun 2015 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5731);

    44. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO2 Nomor 95, Tambahan Lembaran lJegara Republik Indonesia Nomor a227l.;

    45. Peraturan Pqmerintah Nomor 5 Tahun 2OlO tentang Kenavigasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OlO Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 50e3); pengacuannya lnenyesuaikan dengan pasal dan ayat dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 234 Peraturan Pemerirrtah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2l JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2l MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2O2I TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PELAYARAN I. UMUM Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan ^garis pantai terpanjang dan letak geografis yang sangat penting dari segi politis dan ekonomi memberikan tanggung ^jawab yang besar dalam hal ^pembinaan wilayah khususnya di bidang pelayaran. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja merupakan upaya Pemerintah Pusat untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan ^jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah dengan tujuan untuk meningkatkan ^perekonomian nasional yang akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan dan langkah-langkah strategis cipta kerja memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait terutama dari bidang Pelayaran dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja ^yang seluas-luasnya bagi ralryat lndonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas ^penghidupan ^yang layak. Untuk mendukung kebijakan cipta kerja tersebut perlu dilakukan penyesuaian karena telah terjadi berbagai perubahan paradigma dan lingkungan strategis, baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia seperti penerapan otonomi daerah atau adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengaturan mengenai Angkutan di Perairan, Kepelabuhanan, perkapalan, kenavigasian, tata cara pemberitahuan kedatangan kapal, pemeriksaan, penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan warta kapal, serta manajemen keamanan kapal yang merupakan beberapa unsur yang berperan penting dan strategis dalam penyelenggaraan pelayaran dan perekonomian nasional perlu ditata kembali untuk mempermudah perizinan berusaha dan membuka peluang berusaha bagi ^pengembangan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, dengan tetap ^memperhatikan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran. Berdasarkan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Peraturan ^Pemerintah tentang Penyelenggaraan bidang Pelayaran. II. PASAL DEMI PASAL

      Pasal 1

      Cukup ^jelas.


      Pasal 2

      Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh negara" adalah ^batrwa negara mempunyai hak penguasaan atas ^penyelenggaraan pelayaran yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


      Pasal 3

      Cukup ^jelas.


      Pasal 4
      Pasal 4

      Pasa.l .5 Pasal ini berasal dari Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2OlO tentang Angkutan di Perairan sebagairnana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tah: un 2O11 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2O1O tentang Angkutan di Perairan. Ayat (1) Penyusunan ^jaringan trayek tetap dan teratur dimaksuCkan untuk memberikan kepastian hukum dan usaha serta pelayanan kepada pengguna jasa dan penyedia jasa arrgkutan laut. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Pasal ini berasal dari Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2OlO tentang Angkutan di Perairan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 20ll tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2OlO tentang Angkutan di Perairan.



      Pasal 6

      Pasal ini berasal dari Pasal 39, Pasal 40 ayat (1), Pasal 41, dan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2olo tentang Angkutan di Perairan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2OLt tentang Perubahan atas Peratu.ran Pemerintah Nomor 20 Tahun 2OlO tentang Angkutan di Perairan. Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. ^. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Pelaksana kegiatan angkutan laut asing merupakan perusahaan angkutan laut asing yang mengangkut muatan impor bahan baku Can/atau peralatan produksi untuk menunjang usaha pokok tertentu dari pelaksana kegiatan angkutan laut khusus. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas.


      Pasal 7

      Ayat (2) . ^Cukup jelas,


      Pasal 8

      Cukup ^jelas.


      Pasal 9

      Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) -5- Pasal ini berasal dari Pasal 40 ayat (21 dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2oll tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan. Ayat (1) Kewajiban rnelaporkan kepada Menteri mencakup rencana dan realisasi kegiatan dan penggunaan Kapai Angkutan Laut Khusus. Usaha Jasa Terkait dilakukari oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk menyelenggarakan kegiatan Usaha Jasa Terkait dengan Arrgkutan di Perairan, yang rnayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia, kecuali untuk usaha bongkar muat barang dan ^jasa pengurusan transportas: . Selain Badan Usaha yang didirikan khusus untuk menyelenggarakan kegiatan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan, Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia, kecuali untuk usaha jasa pengurusan tra.nsportasi, serta usaha perawatan dan perbaikan Kapal. Penyelenggaraan kegiatan Usaha Jasa Terkait dengarr Angkutan di Perairan seperti:


    46. depo Pasal 10

    47. depo peti kemas;

    48. keagenan Kapal;

    49. pengelolaan Kapal (ship management);

    50. steuedoring; dan

    51. keagenan awak Kapal (sltip manning dilakukan oleh:

  81. perusahaan angkutan laut asing;

  82. badtrn hukum asing; atau

  83. warga negara asing agency) dapat yang bekedasama dengan perusahaan angkutan laut nasional dalam bentuk usaha patungan (joint uenfitre) dimana mayoritas sahamnya dimiliki oleh pemsahaan angkutan laut nasional. Pasal ini berasal dari Pasal 80 Peraturan Pemcrintah Nomor 20 Tahun 2OLO tentang Angkutan di Perairan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tah: un 20 11 tentarrg Perubahan atas Peraturan Pemerintah Norr.or 20 Tahun 2010 tentang Angkutan <li Perairan. Ayat (1) Kegiatan usaha bongkar muat meliputi kegiatan steuedoring, cargodoring, dar: receiuing / deliuery. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Penyelenggara Pelabuhan merupakan penyelenggara pada Pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. Yang dimaksud dengan "bekerja sama" adalah kerja sama yang dituangkan dalam perjanjian kerja sama dengan memuat antara lain standar kinerja pelayanan operasional pelabuhan, penyediaan sarana dan prasarana bongkar muat, dan kontribusi Badan Usaha terhadap Badan Usaha Pelabuhan. Badan Usaha Pelabuhan yang dapat melakukan kegiatan bongkar muat adalah Badan Usaha Pelabuhan yang telah mendapatkan Konsesi. Pasal 1 1 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Huruf c Kegiatan bongkar muat barang curah cair vang dibongkar atau dimuat melalui pipa yang Cilakukan dengan menggunakan pipa milik atau dikuasai oleh perusahaan angkutarr laut nasional. Kegiatan bongkar muat barang curah kering yang dibongkar atau dimuat melalui conueAor atau sejenisnya yang dilakukan derrgan menggunakan conueAot'milik atau dikuasai oleh perusahaan angkutan laut nasional. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas.

    Pasal 12

    Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas Hurr-f f Cukup jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "pengelolaan penyimpanan' adalah kegiatan penyirnpanan barang yang dilakukan di gudang tertutup maupun griCang terbuka (lapangan penumpukan) untuk menunjang kegiatan usahanya. Huruf h Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Huruf j Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup ^jelas. Huruf m Cukup ^jelas. Huruf n Cukup ^jelas. Huruf o Cukup ^jelas. Huruf p Cukup ^jelas. Huruf q Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "dokumen angkutan" antara lain bill of lading, airutag bi1, dokumen kepabeanan, kekarantinaan, surat jalan, dan dokumen angkut-an barang. Pengurusan penyelesaian dokumen antara lain dokumen pengiriman barang domestik atau antarwilayah dalam negeri dan/atau dari dan ke luar negeri termasuk dokumen kepabeanan. Pasal F'asal Pasal Easal Pas4l Flunrf r Cukup ^jelas. Huruf s Cukup ^jelas. Hunrf t Cukup ^jelas. Hurut'tr Cukup jelas. Hr.rruf v Cukrrp ^jelas. Ayat (2) Culi,rp ^jelas. A; 'at (3) Cukup ^jelas. 1: i Cttkrrp ^jelas. l4 clukup jgL1s. r{ Cukup ^j': las. L6 Cukup ^j<: las. t7 Cuktrp ^jelas. I'asal 18 . Pasai Pasal Pasa.l Pasal Pa.sa1 Pasal Pasa.l Pasal Pa.: al 1.3 Cukup ^jelas. 19 Cukup ^jelas. 20 Cukup ^jelas. 2T Orrkup ^jelas. 22 Cukup ^jelas. zo Cukup ^jelas. 24 Cr-rirup.,ckis. 2,? Cuknp ^jeias. 26 Ayat (1) Cukup ^jelas. r\ya-i ^(17i, . . Culup ^jeia-s. Ayst (3) Cukup ^jelirs. SK Nc 092756 A' t- Ayat (a) Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas.


    Pasal 27

    Cukup jelas.


    Pasal 28

    Cukup jelas.


    Pasal 29

    Cukup jelas.


    Pasal 30

    Cukup jelas.


    Pasal 31

    Cukup jelas.


    Pasal 32

    Cukup jelas.


    Pasal 33

    Cukup ^jelas.


    Pasal 34

    Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "stuffingf adalah pekerjaan memuat barang dari tempat yang ditentukan ke dalam peti kenras. Yang dimaksud dengan ^.stippingf' adalah pekerjaan membongkar barang dari dalam peti kemas sampai dengan men5rusun di tempat yang ditentukan.


    Pasal 35

    Kegiatan usaha pengelolaan Kapal (ship management) meliputi perawatan, persiapan docking, penyediaan suku cadang, perbekalan, pengawakan, asuransi, dan sertifikasi Kelaiklautan Kapal.


    Pasal 36

    Cukup jelas.


    Pasal 37

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pemeriksaan gambar rencana pengedokan Kapal antara lain rencana pengedokan, gambar rencana garis, gambar rencana umum (general arrangement), peralatan Keselamatan Kapal (safetg and fire control planl, gambar rencana konstruksi dan permesinan Qtrofite constructions and machinery), serta garnbar bukaan kuiit (shell expansionl. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Huruf g Cukup ^jelas.


    Pasal 38

    Cukup ^jelas.


    Pasal 39

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Ctrkup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukttp ^jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "baru,ng habis pakai" dikenal dengan ntnning store, contohnya talt ta.mbat. Huruf g Cukup ^jelas. Alrat (3) Cukup ^jelas. Pasal 40... SK No 092592 A


    Pasal 40

    Cukup jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas.


    Pasal 42

    Cukup jelas.


    Pasal 43

    Cukup jelas.


    Pasal 44

    Cukup jelas.


    Pasal 45

    Cukup ^jelas.


    Pasal 46

    Cukup jelas.


    Pasal 47

    Cukup jelas.


    Pasal 48

    Cukup jelas.


    Pasal 49

    Cukup ^jelas.


    Pasal 50

    Cukup jelas.


    Pasal 51

    Cukup jelas.


    Pasal 52

    Cukup ^jelas.


    Pasal 53

    Cukup ^jelas.


    Pasal 54

    Cukup ^jelas.


    Pasal 55

    Cukup ^jelas.


    Pasal 56

    Cukup ^jelas.


    Pasal 57

    Cukup ^jelas.


    Pasal 58

    Cukup ^jelas.


    Pasal 59

    Pasal ini berasal dari Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2oo9 tentang Kepelabuhanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2oo9 tentang Kepelabuhanan. Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "jaringan jalan" adalah jalan akses (access road) ke terminal. Huruf b Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Keamanan dan ketertiban secara umum di pelabuhan dijamin oleh Otoritas Pelabuhan yang dilakukan secara terpadu dan untuk itu dapat dibentuk satuan pengaman oleh Otoritas Pelabuhan, namun untuk masing-masing terminal menjadi tanggung jawab Badan Usaha Pelabuhan. Ayat (3) Ayat (a) Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah terjadinya sesuatu yang dapat menghambat pemberian pelayanan ^jasa Kepelabuhanan yang harus segera dilakukan pemulihan dan tidak dapat menunggu pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sehingga diperlukan tindakan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan atau pengelola Terminal untuk Kepentingan Sendiri seizin Otoritas Pelabuhan. Ayat (5) Cukup ^jelas.


    Pasal 60
    Pasal 61

    Pasal ini berasal dari Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 6I Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan. Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (a) Yang dimaksud dengan 'kondisi tertentu" antara lain anggaran pemerintah pada tahun anggaran berjalan tidak tersedia untuk pemeliharaan penahan gelombang, Kolam Pelabuhan, Alur- Pelayaran, dan jaringan jalan. Yang dimaksud dengan "kerja sama bentuk lainnya" berupa kerja sama pemanfaatan, persewaan, kontrak manajemen, dan kerja sama operasi. Ayat (5) Cukup jelas Pasal ini berasal dari Pasal 69 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2OO9 tentang Kepelabuhanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2oo9 tentang Kepelabuhanan.



    Pasal 62
    Pasal 62

    Cukup jelas.



    Pasal 63

    Cukup jelas.


    Pasal 64

    Cukup jelas.


    Pasal 65

    Cukup jelas.


    Pasal 66

    Cukup jelas.


    Pasal 67

    Cukup jelas.


    Pasal 68

    Cukup jelas.


    Pasal 69

    Cukup jelas.


    Pasal 70

    Cukup jelas.


    Pasal 71

    Cukup jelas.


    Pasal 72

    Cukup jelas.


    Pasal 73

    Cukup jelas.


    Pasal 74

    Cukup ^jelas.


    Pasal 75

    Cukup ^jelas.


    Pasal 76

    Pasal ini berasal dari Pasal 127 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2oo9 tentang Kepelabuhanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2ols tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2oo9 tentang Kepelabuhanan.


    Pasal 77

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "perubahan data" antara lain perubahan penanggungiawab dan perubahan domisili.


    Pasal 78

    Cukup ^jelas.


    Pasal 79

    Cukup ^jelas.


    Pasal 80

    Cukup ^jelas.


    Pasal 81
    Pasal 82

    Cukup ^jelas



    Pasal 83

    Cukup ^jelas Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas Huruf b Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "fasilitas lain" antara lain peralatan bongkar muat, gudang, akses jalan masuk, dan sumber daya manusia yang menangani. a


    Pasal 84
    Pasal 84

    Pasal ini berasal dari Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan. Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengadaan Kapal" adalah kegiatan memasukkan Kapal dari luar negeri, baik Kapal bekas maupun Kapal baru untuk didaftarkan dalam daftar Kapal Indonesia. Yang dimaksud dengan "pembangunan Kapal" adalah pembuatan Kapal baru baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang langsung berbendera Indonesia. Yang dimaksud dengan "pengerjaan Kapal" adalah tahapan pekerjaan dan kegiatan pada saat dilakukan perombakan, perbaikan, dan perawatan Kapal. Yang dimaksud dengan "perlengkapan Kapal" adalah bagian yang termasuk dalam perlengkapan navigasi, alat penolong, penemu (smoke detector), dan pemadam kebakaran, radio dan elektronika Kapal, dan peta-peta serta publikasi nautika, serta perlengkapan pengamatan meteorologi untuk Kapal dengan ukuran dan daerah pelayaran tertentu. Yang dimaksud dengan "ketentuan standar internasional" adalah berpedoman pada antara lain Safetg of Ltfe at Sea (SOLAS) Conuention, 1974. Ayat (21 Cukup ^jelas Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas Ayat (5) Cukup ^jelas.



    Pasal 85

    Cukup jelas.


    Pasal 86

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Yang dimaksud dengan tenis dan trkuran panjang tertenru" adalah Kapal penumpang seinua ukuran dan Kapar barang ukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter atau lebrtr. Ayat (10) Cukup jelas.


    Pasal 87

    Pasal ini berasal dari Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "pemuatan" adalah segala haI yang berkaitan dengan aspek pemuatan Kapal, termasuk di dalamnya garis muat Kapal yang dibuktikan dengan sertifikat dan petunjuk pemuatan yang wajib disahkan oleh pejabat berwenang seperti petunjuk pengikatan muatan, informasi fasilitas, dan kegiatan pemuatan yang memenuhi aspek keselamatan yang dibuktikan dengan keterangan terkait seperti perhitungan stabilitas deklarasi barang berbahaya, daftar muaran (cargo manifest). Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sertifikat Keselamatan Kapal penumpang mencakup Keselamatan Kapal dan aspek keselamatan radio. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Yang dinraksud dengan "manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari Kapal" adalah satu kesatuan sistem dan prosedur serta mekanisme yang terturis dan terdokumentasi bagi perusahaa.n angkutan laut dan Kapal niaga untuk pengaturan, pengelolaan, pengawasan, elan peninjauan ulang serta peningkatan terus menerus dalam rangka memastikan dan mempertahankan terpenuhinya seluruh kesesuaian terhadap standar keselamatan dan pencegahan pencemaran yang dipersyaratkan dalam ketentuan internasional yang terkait dengan manajemen Keselamatan Kapal dan pencegaharr pencemaran. aspek


    Pasal 88

    Pasal ini berasal dari Pasal 8 Peraturan Pemerintah Irlomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan Hur.n: f a Huruf a Yang dirnal<sud dengan "daerah Pelayaran semua lautan" adalah pelayaran untuk semua laut di dunia. Huruf b Yang dimaksud dengan "daerah Pelayaran Perairan Indonesia" adalah laut teritorial lndonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalaman. Huruf c Yang dimaksud dengan "da.erah pelayaran lokal" adalah da-erah pelayaran yang meliputi jarak dengan radius 750 (tujuh ratus lima puluh) mil laut dari suatu Pelabuhan tujuar.. Jarak ini diukur antara titik-titik terdekat batas-batas perairan Pelabuhan sampai tempat labuh yang lazim. Jika Pelabuhan tujuan dimaksud terletak pada sungai atau perairan wajib pandu, maka jarak itu diukur dari atau sampai awak pelampung terluar atau sampai muara sungai atau batas luar dari perairan wajib pandu. Huruf d Yang dimaksud dengan "daerah Pelayaran terbatas" ddalah daerah pelayaran yang meliputi ^jarak dengan radius 100 (seratus) mil laut dari suatu Pelabuhan tujuan. Jarak ini diukur antara titik-titik terdekat batas-batas perairan Pelabuhan sampai tempat labuh yang lazim. Jika Pelabulian tujuan dimaksud terletak pada sungai atau perairan wajib pandu, maka jarak itu diukur dari atau sampai awak pelampung terluar atau sarnpai muara sungai atau batas Iuar dari perairan wajib pandu. Huruf e Yang dimaksud dengan "dab.'ah Pelayaran Pelabuhan" adalah perairan di dalarn daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelab uhan. Huruf f Yang dimaksud dengan "daerah Pelayaran perairan sungai dan danau" meliputi sungai, danau, waduk, kanal, terusan, dan rawa.


    Pasal 89
    Pasal 90

    Cukup jelas. Pasal 9 1 Ayat (1) Ayat (2) Pasal ini berasal dari Pasal 10 Peraturan pemerintah Nomor sl Tahun 2OO2 tentang Perkapalan. Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengukuran" untuk menentukan ukuran dan tonase Kapal yang dipergunakan untuk menerbitkan surat ukur atau surat-surat yang diperlukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengukuran dilakukan untuk menentrrkan ukuran dan tonase Kapal yang dipergunakan untuk menerbitkan surat ukur atau surat-surat yang diperlukan. Kapal yang tidak digunakan urrtuk berlayar dapat berupa restoran terapung, tangki penyinrpanan minyak di laut, dan tempat pengisian bahan bakar minyak terapung. Yang dimaksud dengan "perubahan data dalam curat ukur. adalah perubahan data Kapal antara lain panjang, lebar, tinggi, tonase kotor (gross tonnage), dan tonase bersih (NT). Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas.



    Pasal 92

    Cukup ^jelas.


    Pasal 93

    Ayat (1) Cukup ^jelas.. Ayat (2) Huruf a , Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Ayat (3) Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "Ka_oal milik badan hukum Indonesia" adalah Kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki: perusahaan angkutan laut nasional ya1lg seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia untuk keg.atan niaga; dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia untuk kegiatan non-niaga antara lain kegiatan sosial, pariwisata, olahraga. a b Ayat (a) Yang dimaksud dengan "g,osse akta pendaftaran Kapal" adalah salinan resmi dari minuta (asli dari akta pendaftaran). Bukti hak milik a.tas Kapal merupakau doku: r: en kepemilikan yang disampaikan oleh pemilik Kapai pada saat mendaftarkan Kapalnya antara lain:

    1. bagi Kapal bangunan baru, yaitu:


  84. kontrak pembangunan Kapal;

  85. berita acara serah terima Kapal; dan

  86. surat keterangan galangan;

    1. bagi Kapal yang pernah didaftar di nggara,Iain, yaitu:

  87. bill of sale; clan 2. protccol oJ deliuery and acceptance. Ayat (5) Cukup jelas.

    Pasal 94

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Huruf b Yang dimaksud dengan "daftar harian" adalah berkas minuta akta penCaftaran beserta semua dokunren yang dipersyaratkan untuk pendaftaran Kapal. Yang dimaksud dengan "daftar induk" adalah ringkasan dari akta pendaftaran yang rlerrruat hal-hai penting. Huruf c Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ayat (5) Cukup ^jelas.


    Pasal 95

    Pasal 96


    Pasal 97

    Cukup jelas.


    Pasal 98

    Contch tanda pendaftaran: 2008 Pst No.4999lL 2008 No PRES IDEN REPUBLIK INDONESIA -30- Yang dimaksud ciengan "dattar pusat" adalah daftar Kapal yang telah terdaftar di Indonesia, yang disusun berdasarkan daftar induk yang diterima dari seluruh tempat pendaftaran Kapa.l. Yang dimaksud dengan "terbuka untuk umum" adalah semue pihak dapat mengajukan perrnintaan untuk memperoletr informasi tentang Kapal terdaftar yang tercatat dalam daftar induk. Pasal ini berasal dari Pasal 2O Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan. Pasal ini berasal dari Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan. Pst Tahun pendaftaran Kapal Kode pcngJkuran dari tempat Kapal diCrrftar Nomor 4999 Nomor akta pendaftaran Kapal Kode kategori Ka.pal (L kcrle kategori untuk Kapal lau.t, N kode kategori untuk I(apal nelayan, P kode kategori untuk Kapal pedalaman yaitu Kapal yang berlayar di sungai dan danau).


    Pasal 99

    Pasal ini berasal dari Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan. Penerbitan akta peralihan hak milik atas Kapal terdaftar dicatat dalam daftar Induk. Pasal lOO Pasal ini berasal dari Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 51 T'ahun 2OO2 tentang Perkapalan. Ayat (l) Yang dimaksud dengan "roya" adalah pencoretan hipotek atas Kapal yang tidak lagi diperlukan sebagai jaminan kredit. Ay4t (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas.


    Pasal 101

    Pasal ini berasal darr Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan.


    Pasal 102

    Pasal ini herasal dari Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan.


    Pasal 103

    Cukup jelas. L


    Pasal 104
    Pasal 105

    Ayat (1) Huruf a Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Yang dimaksud dengan tondisi tertentu" adalah antara lain:

    1. bencana alam;

    2. bencana non-alam;

    3. bencana sosial; dan/atau

    4. pembatasan akses oleh otoritas setempat di mana Kapat berada. PRESIDEN REPUBLIK INDONESTA -32- Yang dimaksud dengan "pemeriksaan pertama" adalah pemeriksaan yang wajib dikenakan terhadap Kapal baru dan Kapal Asing yang diakui menjadi Kapal berbendera Indonesia dan dilal<ukan aras gala.ngan atau dok (dilimbungkan). Dalam hal Kapal Asing dikelaskan pada Badan Klasifikasi yang diakui dan ditunjuk oleh Pemerintah pusat, kewajiban melimbungkan Kapal dapat dipertimbangkan sampai dengan ja du,al pelimbungan berikutnya. Huruf b Huruf c Huruf d Fluruf e Huruf f Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. -33- Yang dimaksud dengan "pemeriksaan tahunan,, adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap Kapal setiap t2 (dua belas) bulan sekali. Yang dimaksud dengan "pemeriksaan pembaharuan, adalah pemeriks"on tarlg wajib dikenakan terhadap Kapal setiap 5 (lima) tahun sekali. Yang dimaksud dengan "pemeriksaan anttara" adalah pemeriksaan yang dilakukan bagi Kapal dalam jangka waktu antara pemeriksaan tahunan dan pemeriksaan pembaharuan. Yang dimaksud dengan "pemeriksaan di luar jadwal atau tambahan" adalah pemeriksaan yang dilakukan selain dari pemeriksaan pertama, perneriksaan tahunan, pemeriksaan pembaharuan, dan pemeriksaan antara. Cukup ^jelas.



    Pasal 106

    Ayat (1) Dalam hal Kapal telah mernenuhi persyaratan, Kapat ciberikarr sertifikat sementara sambil menulrggu diterbitkannya sertifikat tetap. Ayat (2) . Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


    Pasal 107

    Cukup jelas.


    Pasal 108

    Ayat (1) Ayat (2) Huruf a Dalam hal Kapal yang telah memenuhi persyaratan, Kapal diberikan sertifikat sementara sambil menunggu diterbitkannya sertifikat tetap. Bahan (mateial) terdiri atas:


  88. baja misalnya:

    1. high tensile steel;

    2. bulb plate; atau

    3. unequal angle;

  89. aluminium misalnya:

    1. marine plate; atau

    2. profile;

  90. stafnless steelmisalnya:

    1. marine plate; atau

    2. proftle; dan/atau

  91. pipe misalnya:

    1. aluminium pipe;

    2. alumir,.ium pipe fittings;

    3. stainless steel pipe; atau

    4. stafnless steel pipe fittings. Huruf b Peralatan terdiri atas:

  92. pompa;

  93. kornpresor;

  94. purifter;

  95. boiler;

  96. anchor;

  97. anchor chain;

  98. hydraulic power pack;

  99. oil water separator;

  100. sewage treatmenf,' atau 10. ualue. Huruf c Permesin an (machinerg) terdiri atas: I . mesin induk (main engine);

  101. genset; dan/atau PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA 3. gearbox. Huruf d Propulsi (propulsion/ terdiri atas:

  102. prope.ller;

  103. shafi;

  104. stern tube; dan/atau

  105. steering gear. Huruf e Sistem akomodasi (accornodation sgstem) terdiri atas:

  106. lining;

  107. pintu kedap;

  108. ^jendela;

  109. e,eiling;dan/atau 5. heat insulation. Huruf f Peralatan gelaclak (deck machinery) terdiri atas:

  110. windlass;

  111. capstan;

  112. deck crane;

  113. dauits; dan/atau

  114. air conditioner unit. Huruf g Cukup jelas. Huruf hp"r"t"t"n keselamatan (sakta eEtipmentl terdiri atas: l.hfe 1. life buog;

  115. fi-ft sgstem;

  116. life boat;

  1. life raft;dan/atau 5. life ^jacket. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Hurrf a Huruf b Yang dimaksud dengan "ketentuan standar internasional" antara lain Sofety of Life at Sea (SOLAS) Conuention, 1974 beserta peratuan pelaksanaannya dan MARPOL, ballast water management conuention, dan anti-foulirtg sg ste m conuention. Yang dimaksud detrgan "pengujian pertama" adalah pengujian yang dilakukan terhadap ala.t keselamatan Pelayaran sebelum dipasarkan oleh p.abrikan di Indonesia untuk memastikan kesesuaian tipe alat keselamatan Pelayaran. Yang dimaksud dengan "pengujian bet'kala" adalah pengujian yang dilakukan untuk memastikan bahwa alat keselamatan Pelayaran masih sesuai dengan ^parameter yang digunakan pada sertifikat pengujian pertama dan pemutakhiran dokrrmen tertentu yang menjadi persyaratan pengujian pertama. Huruf c Huruf c
    Pasal 109

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas Ayat (3)


    Pasal 110

    Cukup ^jelas. Pasal 1 1 1 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. PRES IDEN REPUBLIK INDONESIA -38- Yang dimaksud dengan "pemeriksaan tahunan" adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap alat keselamatan Pelayaran yar: g telah dilakukan pengujian pertama atau pengujian berkala na-mun tetap diperlukan inspeksi setelah dilaksanakan pemasangan di atas Kapal dan/atau pada periode tertentu untuk memastikan alat tersebut masih berfungsi dengan baik. Yang dimaksud dengan "disesuaikan herciasarkan ketentuan standar internasional" adalah ketentuan internasional antara lain Safetg of Ltfe at Sea (SOLAS) Conuention, 1974 beserta peraturan pelaksanaannya. Ayat (a) Ayat (a) Yang dimaksud dengan "Kapal dilimbungkan" adalah Kapal dilakukan perawatan menyeluruh sehingga seluruh bagian bawah badan Kapal termasuk lunas atau dasar kondisi Kapal terlihat dengan jelas untuk pemeriksaan kesempurnaan kondisi Kapal di bawah garis air. Pelimbungan di luar ^jadwal ^juga diperlukan untuk pemeriksaan bagian Kapal di bawah garis air sebagai akibat kecelakaan yang terjadi. Pasal 1 12 Pasal 1 13 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (1) Yang dimaksud dengan "ukuran tertentu" adalah ukuran panjang Kapal, besar tonase kotor, dan besar daya mesin yang didasarkan atas pertimbangan bahwa Kapal memerlukan jasa Badan Klasifikasi dalam rangka pemenuhan persyaratan keselamatannya. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan "sumber tenaga yang sesuai" aclalah tenaga listrik, mekanik, atau manusia. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Pasal I 14 Cukup ^jelas. Pasai I 15 Cukup ^jelas.


    Pasal 116

    Cukup ^jelas. Pasal I 17 Pasal ini berasal dari Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 51. Tahun 2OO2 tentang Perkapalan. Ayat (i) Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 1 18 Cukup ^jelas. Pasal 1 19 Ayat (1) Cukup jelas. Yang dimaksud dengan "persyaratan kelaikan peti kemas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah persyaratan kelaikan peti kemas yang diatur dalam Konvensi Internasional Keselamatan Kelaikan Peti Kemas (Conuention on Safe ContainerslCSC) Tahun 1972 beserta amendemennya yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1989 tentang Pengesahan International Conuention For Safe Containers (csc). Huruf a Yang dimaksud dengan "peti kemas baru" adalah peti kemas yang sedang atau baru diproduksi dan belum pernah digunakan sebagai alat angkut di Kapal. Huruf b Yang dimaksud dengan "peti kemas lama" adalah peti kemas yang telah dipergunakan dan telah mendapatkan persetujuan kelaikan peti kemas. Ayat (21 Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Ayat (6) Ayat (7) Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Yang dirnaksud dengan "shipper" adalah ^pengirim barang ^atau kuasanya. Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" adalah badan ^hukum Indonesia atau Badan Usaha Pelabuhan ^yang ^tela.h mendapatkan Peizinan Bemsaha ^penentuan berat kotor ^peti kemas terverifik asi (u erified gro ss masslVGM ) ^. Pelaksana-an penentuan berat kotor peti kemas terverifikasi (uerified gross masslVGM) menjadi tanggung ^jawab shipper termasuk biaya yang timbul.


    Pasal 120

    Ayat (1) Pemeliharaan peti kemas lama menrpakan tanggung ^jawab pemilik peti kemas. a.

    1. Pemeliharaan peti kemas dilakukan melalui: program pemeriksaan berkelanjutan yang disetujui (approued continuous examination programme I ACEP) ; skema pemeriksaan berkala (trteiodic examination schemelPESI; skema pemeriksaan sewaktu-waktu berdasarkan standar internasional (institute of international container /essors/IICL); atau skema pemeriksaan berdasarkan standar ISO terkait dengan peti kemas. C d Ayat (2) Cukup ^jelas


    Pasal 121

    Cukup ^jelas.


    Pasal 122

    Cukup jelas.


    Pasal 123

    Ayat (1) Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud "petugas pengawas pemasangan pelat persetujuan kelaikan peti kemas (CSC Safetg Approual Plates)" adalah petugas dari instansi Pemerintah Pusat yang memiliki tugas dan fungsi keselamatan pelayaran dan secara fungsional melaksanakan pengawasan terhadap penggunaan peti kemas. Cukup ^jelas PRES lDEN REPUBLIK ^INDONES]A Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal t24 Cukup ^jelas. r25 Cukup ^jelas. r26 Cukup ^jelas. 127 Cukup ^jelas. r28 Cukup ^jelas. r29 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelap. Dalam hal Pemerintah Pusat belum menetapkan hasil penilaian risiko (nsk assessment), malla pembebasan pemenuhan manajemen air balas tetap ciiberikan. Ayat (a) Pasal Pasal Pasal Pasal 45 Ayat (a) Cukup ^jelas. 130 Cukup ^jelas. 131 Cukup ^jelas. t32 Ayat (1) Ketentuan kewajiban penggunaan bahan bakar dengan kandungan sulfur maksimal 0,5 ^o/o mf m (nol korna lima persen m@ss bg mass) dikecualikan bagi Kapal berbendera lndonesia yang hanya berlayar di Perairan Indonesia sepanjang belum tersedianya bahan bakar di pelabuhan yang disinggahi. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. 133 Cukup ^jelas. Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal -46- t34 Pasal ini berasal dari Pasal 121 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2OO2 tentang Perkapalan. 135 Cukup ^jelas. 136 Cukup ^jelas. t37 Cukup jelas. 138 Cukup ^jelas. 139 Cukup ^jelas. t40 Cukup ^jelas. t4L Cukup ^jelas. t42 Pasal ini berasal dari Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nornor 5 Tahun 20 lO tentang Kenavigasian. Ayat (1) Penyelenggaraan Alur-Pelayaran dilakukan untuk:

    1. ketertiban lalu lintas Kapal;

    2. memonitor pergerakan Kapal;

    3. mengarahkan pergerakan Kapal; dan

    4. pelaksanaan hak lintas damai Kapal Asing. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Ayat (a) Cukup ^jelas.


    Pasal 143

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Huruf a Yang dimaksud dengan "dapat diikutsertakan' adalah keikutsertaan Badan Usaha dalam penyelenggaraan Alur- Pelayaran pada Terminal Khusus atau Terminal untuk Kepentingan Sendiri yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Menteri, dan dimaksudkan untuk ikut membangun dan memelihara A1ur-Pelayaran sehubungan dengan keterkaitan Badan Usaha dimaksud dalam pemanfaatan Alur-Pelayaran. Cukup ^jelas. Huruf b Huruf b Huruf c Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "daerah lainnya" antara ^lain daerah ship to ship transfer ^(STS), tralfic ^separation scheme (TSS), dan anchorage area. Avat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas.


    Pasal 144

    Cukup ^jelas.


    Pasal 145

    Cukup ^jelas.


    Pasal 146

    Cukup ^jelas.


    Pasal 147

    Cukup ^jelas.


    Pasal 148

    Cukup ^jelas.


    Pasal 149

    Cukup ^jelas.


    Pasal 150

    Pasal ini berasal dari Pasal 119 Peraturan Pemerintah ^Nomor ^5 Tahun 2OIO tentang Kenavigasian. Ayat (1) Asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi atau lembaga keuangan penjamin yang diakui oleh Pemerintah Pusat seperti Protection and ldemnitg Club (PU Clubl. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "Kapal perang" adalah Kapal Tentara Nasional Indonesia yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas.


    Pasal 151

    Pasal ini berasal dari Pasal L2O Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2OlO tentang Kenavigasian. Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pemilik Kapal" adalah orang atau badan hukum yang namanya terdaftar sebagai pemilik Kapal dalam daftar Kapal yang resmi sebelum menjadi Kerangka Kapal. Ayat (2) Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Penetapan tingkat gangguan Kerangka Kapal terhadap keselamatan berlayar didasarkan kepada kepentingan operasional Pelayaran dan pengembanga-n wilayah.


    Pasal 152

    Cukup ^jelas.


    Pasal 153

    Cukup ^jelas.


    Pasal 154

    Pasal ini berasal dari Pasal l2l ayat (l),,ayat (2i, dan ayat (3) Peraturan Pernerintah Irlomor 5 Tahun 2O1O tentang Kenavigasian.


    Pasal 155

    Pasal ini berasal dari Pasal l2l ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian.


    Pasal 156

    Pasal ini berasal dari Pasal l22Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 20 1O tentang Kenavigasian. Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) ' Cukup jelas. Ayat (3) ' Cukup ^jelas. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "lalai melaksatrakan ^penyingkiran Kerangka Kapalnya sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan Kapal" yaitu tidak melaksanakan kewajiban berupa:

    1. melaporkan segera Kerangka Kapalnya yang berada ^di Perairan Indonesia; dan pemasangan Sararra Bantu Navigasi-Pelayaran pada lokasi Kerangka Kapal.


    Pasal 157

    Cukup ^jelas.


    Pasal 158

    Pasal ini berasal dari Pasal 126 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 20 10 tentang Kenavigasian. Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Pelaksanaan kegiatan Saluage memperhatikan pula kelestarian lingkungarr. Penggunaan tenaga keda asing dan Kapal Asing dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup ^jelas.


    Pasal 159

    Cukup ^jelas.


    Pasal 160

    Cukup ^jelas. b


    Pasal 161

    Pasal ini berasal dari Pasal 127 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian.


    Pasal 162

    Cukup ^jelas.


    Pasal 163

    Cukup ^jelas.


    Pasal 164

    Cukup ^jelas.


    Pasal 165

    Cukup ^jelas.


    Pasal 166

    Cukup jelas.


    Pasal 167

    Cukup ^jelas.


    Pasal 168

    Cukup ^jelas.


    Pasal 169

    Cukup ^jelas. Pasal 17O Cukup jelas.


    Pasal 171

    Cukup jelas.


    Pasal 172

    Cukup jelas. Pasall73... SK No 092630 A PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA' Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal 173 Cukup ^jelas. t74 Cukup ^jelas. t75 Cukup ^jelas. t76 Cukup ^jelas. 177 Cukup ^jelas. t78 Cukup ^jelas. t79 Cukup ^jelas. 180 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Huruf j Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan "training" adalah proses melatih petugas dan personel organisasi terhadap tugas dan tanggung jawab keamanan yar: g ditetapkan untuk memastikan kecukupan pengetahuan mereka. Yang dimaksud dengan "drill" adalah prcses melatih petugas dan personel organisasi terhadap tu.gas darr tanggung ^jawab keamanan yang ditetapkan untuk memastikan kecukupan keterampilan mereka. Yang dimaksud dengaii "exercise" adalah latihan simulasi menghadapi ancaman atau insiden keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan dengan melibatkan penanggung jar.vab keamanan terkait untuk menguji koordinasi, respons, ketersediaan, dan kemampuan sumber daya atau dampak kondisi keamanan terhadap organisasi. Huruf m Cukup ^jelas. Huruf n Cukup ^jelas. Huruf o Cukup ^jelas. Huruf p Cukup ^jelas. Huruf q Cukup ^jelas. Huruf r Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. -A,yat ^(3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukrrp ^jelas. Pasal 18i Cukup ^jelas.


    Pasal 182

    Cukup ^jelas.


    Pasal 183
    Pasal 183

    Cukup ^jelas.



    Pasal 184

    Cukup ^jelas.


    Pasal 185

    Cukup ^jelas.


    Pasal 186

    Cukup ^jelas.


    Pasal 187

    Cukup ^jelas.


    Pasal 188

    Cukup ^jelas.


    Pasal 189

    Cukup ^jelas.


    Pasal 190

    Cukup ^jelas.


    Pasal 191

    Cukup ^jelas.


    Pasal 192

    Cukup ^jelas.


    Pasal 193

    Qukup ^jelas.


    Pasal 194

    Cukup ^jelas.


    Pasal 195

    Cukup ^jelas.


    Pasal 196

    Cukup ^jelas.


    Pasal 197

    Cukup ^jelas.


    Pasal 198

    Cukup ^jelas.


    Pasal 199

    Cukup.jelas.


    Pasal 200

    Yang dimaksud dengan "kondisi tertentu" antara lain:

    1. bencana alam;

    2. bencana non-alam; dan/atau

    3. bencana sosial.


    Pasal 201

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan "IMO GISIS (global integrated shipping information sgstem)" adalah suatu sistem yang memuat informasi perkapalan yang secara global terintegrasi. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 2O2 Cukup ^jelas.


    Pasal 203

    Cukup ^jelas.


    Pasal 204

    Cukup ^jelas.


    Pasal 205

    Cukup ^jelas.


    Pasal 206

    Cukup ^jelas.


    Pasal 207

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Alasan belum diterbitkannya persyaratan belum lengkaP. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 2O8 Cukup ^jelas.


    Pasal 209

    Cukup ^jelas.


    Pasal 210

    Cukup ^jelas.


    Pasal 211

    Cukup ^jelas. SoCPF misalnya karena Pasal 2l2 Cukup ^jelas.


    Pasal 213

    Cukup ^jelas.


    Pasal 214

    Cukup ^jelas.


    Pasal 215

    Cukup ^jelas.


    Pasal 216

    Cukup ^jel,'rs.


    Pasal 217

    Cukup.ielas.


    Pasal 218

    Cukup ^jelas.


    Pasal 219

    Cukup ^jelas. Pasai 22O Cukup ^jetas.


    Pasal 221

    Cukup ^jelas.


    Pasal 222

    Cukup ^jelas.


    Pasal 223

    Cukup ^jelas. Paszl 224


    Pasal 224

    Cukup ^jelas.


    Pasal 225

    Cukup ^jelas.


    Pasal 226

    Cukup ^jelas.


    Pasal 227

    Cukup ^jelas.


    Pasal 228

    Cukup ^jelas.


    Pasal 229

    Cukup ^jelas.


    Pasal 230

    Cukup ^jelas.


    Pasal 231

    Cukup ^jelas.


    Pasal 232

    Cukup ^jelas.


    Pasal 233

    Cukup jelas.


    Pasal 234 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6643

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):