Penyelenggaraan Bidang Perdagangan

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2O2I TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor ^11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan; Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar ^Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik ^Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan l.embaran ^Negara Republik Indonesia Nomor 3193); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2Ol4 ^tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik ^Indonesia Tahun 2Ol4 Nomor 45, Tambahan Lembaran ^Negara Republik Indonesia Nomor 5512); Undang-Undang Nomor l1 Tahun ^2O2O ^tentang ^Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik ^Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tarnbahan Lembaran ^Negara Republik Indonesia Nomor 6573l'; i 2 3 4 MEMUTUSKAN Menetapkan 1 2 3 MEMUTUSKAN: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERDAGANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini ^yang dimaksud ^dengan: Perdagangan adalah tatanan kegiatan ^yang ^terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa di ^dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara ^dengan tujuan pengalihan hak atas Barang danlatau ^Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi. Perdagangan Luar Negeri adalah Perdagangan ^yang mencakup kegiatan Ekspor dan/atau ^Impor ^atas Barang dan/atau Perdagangan Jasa ^yang ^meiampaui batas wilayah negara. Standar adalah persyaratan teknis ^atau ^sesuatu ^yang dibakukan, termasuk tata cara dan ^metode ^yang disusun berdasarkan konsensus ^semua pihak/Pemerintah/keputusan internasional ^yang terkait dengan memperhatikan ^syarat ^keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan ^hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan ^teknologi, pengalaman, serta perkembangan ^pada masa ^kini ^dan masa depan untuk memperoleh ^manfaat ^yang ^sebesar- besarnya. Standar Nasional Indonesia ^yang ^selanjutnya disingkat SNI adatah Standar ^yang ditetapkan ^oleh lembaga yang menyelenggarakan ^pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi. 4 5. Ekspor 5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Barang dari daerah pabean. 6. Eksportir adalah orang perseorangan atau ^lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Ekspor. 7. Impor adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam daerah pabean. 8. Importir adalah orang ^perseorangan atau ^lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan ^hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor. 9. Pelaku Usaha adalah orang ^perseorangan ^atau ^badan usaha yang melakukan usaha dan/atau ^kegiatan ^pada bidang tertentu. 10. Pelaku Usaha Distribusi adalah ^Pelaku Usaha ^yang menjalankan kegiatan Distribusi Barang di ^dalam negeri. 11. Produsen adalah Pelaku Usaha ^yang ^memproduksi Barang. 12. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ^yang ^selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha ^mikro, ^usaha ^kecil, dan usaha menengah sebagaimana ^dimaksud ^dalam Undang-Undang tentang Usaha ^Mikro, ^Kecil, ^dan Menengah. 13. Distributor adalah Pelaku Usaha ^Distribusi ^yang bertindak atas namanya sendiri danlatau ^atas penunjukan dari Produsen atau ^pemasok ^atau Importir berdasarkan perjanjian untuk ^melakukan kegiatan pemasaran Barang. 14. Pengemas adalah Pelaku Usaha ^yang ^melakukan pengemasan Barang. 15. Pedagang. . ^. 15. Pedagang Pengumpul adalah Pelaku Usaha ^yang mempunyai kegiatan usaha melakukan ^pengumpulan hasil produksi usaha mikro dan usaha kecil untuk diperdagangkan. 16. Agen adalah Pelaku Usaha Distribusi ^yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama ^pihak ^yang menunj uknya berdasarkan ^perj anj ian dengan ^imbalan Komisi untuk melakukan kegiatan ^pemasaran Barang tanpa memiliki dan/atau menguasai Barang ^yang dipasarkan. 17. Grosir/Perkulakan adalah Pelaku Usaha ^Distribusi yang menjual berbagai macam Barang dalam ^partai besar dan tidak secara eceran. 18. Pengecer adalah Pelaku Usaha ^Distribusi ^yang kegiatan pokoknya memasarkan Barang ^secara langsung kepada Konsumen. 19. Konsumen adalah setiap orang ^pemakai ^Barang darrlatau Jasa yang tersedia ^dalam masyarakat, ^baik bagi kepentingan diri sendiri, ^keluarga, orang ^lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak ^untuk diperdagangkan. 20. Penjual Langsung adalah ^orang ^perseorangan ^atau badan usaha berbentuk ^perseroan ^terbatas ^yang merupakan anggota mandiri ^jaringan ^pemasaran ^atau penjualan perusahaan. 2I. Perusahaan Penjualan Langsung ^adalah badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas ^yang ^melakukan kegiatan usaha Perdagangan ^Barang dengan ^sistem Penjualan Langsung. 22. Penjualan Langsung adalah ^sistem ^penjualan ^Barang tertentu melalui ^jaringan ^pemasaran ^yang dikembangkan oleh Penjual ^Langsung ^yang ^bekerja atas dasar Komisi dan/atau Bonus ^berdasarkan hasil penjualan kepada Konsumen di luar lokasi ^eceran' 23. Penjualan Langsung secara ^Single Leuel ^adalah penjualan Barang tertentu yang tidak melalui ^jaringan pemasaran berjenjang. 24.Penjualan. . ^. 24. Penjualan Langsung secara Multi Leuel adalah penjualan Barang tertentu melalui ^jaringan pemasaran berjenjang yang dikembangkan oleh Penjual Langsung yang bekerja atas dasar Komisi danlatau Bonus berdasarkan hasil penjualan Barang kepada Konsumen. 25. Hak Distribusi Eksklusif adalah hak untuk mendistribusikan Barang yang dimiliki oleh hanya satu perusahaan dalam wilayah Indonesia ^yang didapat dari perjanjian secara langsung maupun tidak langsung dengan pemilik hak Distribusi merek dagang atau dari kepemilikan atas merek dagang. 26. Toko Swalayan adalah toko dengan sistem ^pelayanan mandiri, menjual berbagai ^jenis Barang secara ^eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store, hypermarket, ataupun grosir yang ^berbentuk perkulakan. 27. Pusat Perbelanjaan adalah suatu area ^tertentu ^yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan ^yang didirikan secara vertikal maupun horizontal ^yang dijual atau disewakan kepada Pelaku Usaha ^atau dikelola sendiri untuk melakukan ^kegiatan Perdagangan Barang. 28. Pusat Niaga adalah suatu area terpadu ^untuk ^usaha Perdagangan dan komersil lainnya. 29. Komisi atas Penjualan ^yang selanjutnya ^disebut Komisi adalah imbalan yang diberikan ^oleh perusahaan kepada Penjual Langsung yang besarnya dihitung berdasarkan hasil kerja nyata, ^sesuai volume atau nilai hasil penjualan Barang, baik ^yang dihasilkan oieh Penjual Langsung secara ^pribadi maupun yang dihasilkan oleh ^jaringannya. 3O. Bonus . 53. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 54. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 55. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan. 56. Petugas Pengawas Perdagangan adalah ^pegawai negeri sipil pada unit yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan baik di pusat maupun daerah yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan. 57. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perdagangan ^yang selanjutnya disebut PPNS-DAG adalah ^pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam ^Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana baik ^yang ada di pusat maupun daerah yang diberi ^wewenang khusus oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun ^2Ol4 tentang Perdagangan. Pasal 2 Lingkup pengaturan penyelenggaraan Perdagangan ^dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi: a. kebijakan dan pengendalian Ekspor dan ^Impor; b. penggunaan atau kelengkapan label ^berbahasa Indonesia; c. Distribusi Barang; d. sarana Perdagangan; e. standardisasi; f. pengembangan Ekspor; BAB II KEBIJAKAN DAN PENGENDALIAN EKSPOR DAN IMPOR g. metrologi legal; dan h. pengawasan kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan. (1) Pasal 3 Kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor dilaksanakan oleh Menteri. Pelaksanaan kebdakan dan pengendalian Ekspor dan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dalam bentuk: a. persetujuan EksPor; b. persetujuan ImPor; c. Eksportir terdaftar; d. Importir terdaftar; e. Importir Produsen; t. penentuan tempat pengeluaran dan pemasukan Barang; g. jenis Barang; h. kewenangan; i. persyaratan Eksportir dan Importir; j. tata cara permohonan perizinan Ekspor dan Impor; k. penerbitan perizinan Ekspor dan Impor;

  1. verifikasi atau penelusuran teknis;

    1. kewajiban Eksportir dan Importir;

    2. larangan bagi Eksportir dan Importir;

    3. pengawasan; dan

    4. sanksi. (2t (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 4 (1) Menteri dapat menetapkan pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf I terhadap Barang tertentu. (2) Verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan terhadap Barang tertentu dengan ^kriteria yang disepakati dalam rapat koordinasi di kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang ^tertentu ^yang dapat dikenakan verifikasi atau ^penelusuran ^teknis dan pelaksanaan verifikasi atau ^penelusuran ^teknis diatur dengan Peraturan Menteri. (4) Jenis Barang tertentu yang diatur ^berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud ^pada ayat (3) dapat diubah berdasarkan ^keputusan ^rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri ^yang menyelenggarakan koordinasi, ^sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan ^pemerintahan ^di ^bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala ^lembaga pemerintah nonkementerian atau ^pejabat ^yang ditunjuk untuk mewakili ^yang ^diberikan ^kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala ^lembaga pemerintah nonkementerian. Pasal 5 (1) Eksportir dalam kegiatan Ekspor ^wajib ^memiliki ^NIB (2) Dalam . (21 Dalam hal Ekspor tidak dilakukan untuk ^kegiatan usaha, Eksportir tidak memerlukan NIB ^danfatau Perizinan Berusaha. (3) Terhadap kegiatan Ekspor tertentu, Eksportir ^wajib memiliki Perizinan Berusaha dari ^Menteri.

      (4)

      Perizinan Berusaha di bidang Ekspor ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) terdiri dari:

    5. Eksportir terdaftar; dan f atau b. persetujuan Ekspor. Penerbitan persetujuan Ekspor oleh ^Menteri dilaksanakan berdasarkan ^neraca ^komoditas. Dalam hal neraca komoditas ^sebagaimana ^dimaksud pada ayat (5) belum ditetapkan, ^penerbitan persetujuan Ekspor oleh Menteri akan ^dilakukan berdasarkan ketentuan dan ^data yang ^tersedia. Ketentuan lebih lanjut ^mengenai ^neraca ^komoditas sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(5) ^diatur ^dengan Peraturan Presiden. Ketentuan lebih ianjut mengenai:

    6. Eksportir yang tidak ^memerlukan ^NIB ^dan f ^atau Perizinan Berusaha sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (2); dan

    7. Perizinan Berusaha ^di bidang ^Ekspor sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(4), diatur dengan Peraturan ^Menteri. (s) (6) (7t (8) Pasal 6 (1) Importir dalam kegiatan Impor ^wajib ^memiliki ^NIB ^yang berlaku sebagai Angka ^Pengenal ^Importir ^(API). (21 NIB yang berlaku sebagai ^Angka ^Pengenal ^Importir (API) sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) ^terdiri ^dari:

    8. Angka Pengenal Importir ^Umum ^(API-U); ^dan b. Angka Pengenal Importir ^Produsen ^(API-P). PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA (3) Terhadap kegiatan Impor tertentu, Importir wajib memiliki Perizinan Berusaha dari Menteri. (4) Dalam hal Impor tidak dilakukan untuk kegiatan usaha, Importir tidak memerlukan NIB dan/atau Perizinan Berusaha. (5) Pertzinan Berusaha di bidang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari:

    9. Importir terdaftar;

    10. Importir Produsen; dan/atau

    11. persetujuan Impor. (6) Penerbitan persetujuan Impor oleh Menteri dilaksanakan berdasarkan neraca komoditas. (7) Dalam hal neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum ditetapkan, ^penerbitan persetujuan Impor oleh Menteri akan dilakukan berdasarkan ketentuan dan data ^yang tersedia. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat ^(6) diatur ^dengan Peraturan Presiden. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai:

    12. NIB yang berlaku sebagai Angka ^Pengenal Importir (API) sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1);

    13. Importir yang tidak memerlukan ^NIB ^dan/atau Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud ^pada ayat (4); dan

    14. Perizinan Berusaha di bidang Impor ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(5), diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 7 (1) Pengajuan Perizinan Berusaha dalam rangka pengendalian Ekspor dan Impor dilakukan ^secara elektronik melalui sistem tunggal ^yang mengintegrasikan proses penanganan dokumen ^yang terkait dengan Ekspor dan ImPor.

      (2)

      Apabila permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, dilakukan penolakan secara elektronik melalui sistem yang terintegrasi dalam ^jangka waktu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang- undangan. (3) Apabila permohonanPerizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lengkap, dilakukan penerbitan Pertzinan Berusaha secara elektronik melalui sistem yang terintegrasi dalam ^jangka waktu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. (4) Apabila permohonanPerizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lengkap, ^namun Perizinan Berusaha belum diterbitkan dalam ^jangka waktu yang ditetapkan sesuai dengan ^ketentuan peraturan perundang-undangan, dilakukan penerbita n P erizinan Be ru saha secara oto mati ^s melalui sistem yang terintegrasi. (5) Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan sistem yang terintegrasi tidak berfungsi, ^permohonan Perizirran Berusaha dalam rangka ^pengendalian Ekspor dan Impor sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dapat disampaikan secara ^manuai ^kepada Menteri. (6) Ketentuan mengenai permohonan Perizinan ^Berusaha dalam hal terjadi keadaan kahar ^sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan ^Peraturan Menteri. Pasal 8 (1) Dalam rangka peningkatan dan ^pengembangan ^produk invensi dan inovasi nasional ^yang diekspor ^ke ^luar negeri, Menteri dapat memberikan ^fasilitas:

    15. pembiayaan;

    16. penjaminan;

    17. asuransi Ekspor;

    18. pemasaran ^.

    19. pemasaran; dan/atau

    20. insentif prosedural lainnya. (2) Dalam memberikan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi, dan pemangku kepentingan lainnya. (3) Menteri dapat menetapkan produk invensi dan inovasi nasionai yang dapat diekspor ke luar ^negeri sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1). Pasal 9 (1) Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru. (21 Dalam hal tertentu, Menteri dapat menetapkan ^Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru berdasarkan:

    21. peraturanperundang-undangan;

    22. kewenangan Menteri; dan/atau

    23. usulan atau pertimbangan teknis dari ^instansi pemerintah lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang ^yang ^diimpor dalam keadaan tidak baru sebagaimana ^dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. (4) Jenis Barang yang diatur berdasarkan ^Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(3) ^dapat diubah berdasarkan keputusan rapat ^koordinasi ^yang dipimpin oleh menteri yang ^menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan ^pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan ^pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri ^menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian ^atau ^pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang ^diberikan kewenangan untuk dan atas nama ^menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian. Pasal 10 (1) Eksportir dilarang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor. (2) Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor. (3) Barang yang dilarang untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Barang yang dilarang untuk diimpor sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(2) harus memenuhi kriteria:

    24. terkait dengan perlindungan terhadap ^kesehatan, keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup;

    25. terkait dengan keamanan nasional, ^kepentingan nasional, atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat; dan latau c. termasuk tumbuhan alam dan satwa ^liar ^yang perlu dijaga kelestariannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang ^yang ^dilarang untuk diekspor sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) dan Barang yang dilarang untuk diimpor ^sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan ^Peraturan Menteri. (5) Jenis Barang yang dilarang untuk diekspor ^dan ^Barang yang dilarang untuk diimpor berdasarkan ^Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(4) ^dapat diubah berdasarkan keputusan ^rapat koordinasi ^yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan ^pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan ^pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri ^menteri/kepala lembaga pemerintahan nonkementerian atau ^pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang ^diberikan kewenangan untuk dan atas nama ^menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian' PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 1 1 (1) Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor. (2) Barang yang ekspornya dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:

    26. memenuhi standar pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    27. melindungi keamanan nasional, kepentingan nasional, atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat;

    28. melindungi kesehatan, keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup;

    29. melindungi tumbuhan alam dan satwa liar yang diperbolehkan Ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

    30. dibutuhkan ketersediaannya di dalam negeri. (3) Eksportir yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 12 (1) Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor. (21 Barang yang impornya dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:

    31. memenuhi standar pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    32. melindungi keamanan nasional, kepentingan nasional, atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat; dan

    33. melindungi kesehatan, keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang yang dibatasi untuk Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (21 dan Barang yang dibatasi untuk Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. (41 Jenis Barang yang dibatasi untuk diekspor dan Barang yang dibatasi untuk diimpor berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian. (5) Importir yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal i3 (1) Dalam rangka kebutuhan neraca komoditas, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian menyediakan data terkait dengan Ekspor dan Impor serta data lainnya pada sistem informasi yang terintegrasi. {21 ^Menteri ^yang menyelenggarakan ^urusan ^pemerintahan di bidang keuangan menyampaikan data realisasi Ekspor dan Impor kepada Menteri, menteri, danf atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait melalui sistem informasi yang terintegrasi. Pasai 14 Pasal 14 (1) Pemeriksaan atas pemenuhan Perizinan Berusaha terhadap Impor Barang tertentu dilakukan melalui pengawasan kegiatan Perdagangan setelah melalui kawasan pabean oleh direktorat jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga. (21 Dalam hal diperlukan, pengawasan kegiatan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kawasan pabean bekerja sama dengan direktorat ^jenderal yang membidangi kepabeanan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. (41 Jenis Barang tertentu berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian. Pasal 15 (1) Dalam rangka penguatan pengawasan implementasi program strategis nasional pencegahan korupsi untuk komoditas yang pengawasannya dilakukan setelah melalui kawasan pabean, Importir wajib mencantumkan Perizinan Berusaha secara lengkap dalam dokumen pemberitahuan pabean. (2) Importir yang tidak mencantumkan Perizinan Berusaha secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.

      Pasal 16

      Pasal 16 (1) Importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) wajib memberitahukan ^jumlah atau voiume Barang Impor dalam pemberitahuan pabean menggunakan jenis satuan Barang sebagaimana tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Impor sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang- undangan di bidang kepabeanan. (21 Jumlah atau volume Barang Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi ^yang tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Impor ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan di bidang kepabeanan. Pasal 17 (1) Menteri dapat menetapkan Eksportir dan ^Importir yang bereputasi baik. (21 Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dapat merekomendasikan Eksportir dan ^Importir ^yang bereputasi baik. (3) Eksportir dan Importir yang bereputasi ^baik sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dapat ^diberikan kemudahan atas Perizinan Berusaha ^pada ^masing- masing kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. (4) Ketentuan mengenai kriteria Eksportir dan ^Importir bereputasi baik sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 18 (1) Ketentuan mengenai pembatasan di bidang ^Ekspor dan Impor di kawasan perdagangan bebas ^dan pelabuhan bebas dan/atau kawasan ekonomi ^khusus diberlakukan sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. (21 Ketentuan pemberlakuan pembatasan di bidang Ekspor dan Impor dikecualikan di tempat ^penimbunan berikat.

      (3)

      Ketentuan .

      (3)
      (4)
      (1)

      (21 (3) (4) Ketentuan pemberlakuan pembatasan di bidang Ekspor dan Impor dikecualikan atas importasi Barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang dengan tujuan Ekspor dalam rangka kemudahan Impor tujuan Ekspor Pembebasan. Untuk kepentingan perekonomian nasional, Menteri dapat menetapkan berlakunya ketentuan pembatasan di bidang Ekspor dan Impor di tempat penimbunan berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan kemudahan Impor tujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara selektif.


      Pasal 19

      Dalam rangka peningkatan nilai tambah industri guna pendalaman dan penguatan struktur industri dalam negeri, Menteri dapat mengendalikan melalui p"-b"t."an Ekspor dan Impor Barang sebagai Bahan baku dan/atau bahan penolong industri. pembatasan Ekspor dan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rapat koordinasi di kementLrian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. Menteri dapat menetapkan Barang sebagai Rahan Baku dan/atau bahan penolong industri yang dibatasi Ekspor dan Impornya dalam hal telah diputuskan dalam rapat terbatas dan/atau sidang kabinet' Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Menteri kepada menteri- yang -.ry"i.rggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk dilakukan pengawasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. BAB III PENGGUNAAN ATAU KELENGKAPAN LABEL BERBAHASA ^INDONESIA Pasal 20 (1) Setiap Pelaku Usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia ^pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri. (2) Perdagangan di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik serta Perdagangan yang ^Distribusi barangnya dilakukan secara tidak langsung ^dan ^secara langsung Single Leuel atau Multi Leuel. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) dilakukan oleh:


    34. Produsen untuk Barang ^produksi ^dalam ^negeri;

    35. Importir untuk Barang asal ^Impor; ^dan c. Pengemas untuk Barang ^yang diproduksi ^dalam negeri atau asal Impor ^yang dikemas di ^wilayah Republik Indonesia. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang ^yang ^wajib menggunakan atau melengkapi label ^berbahasa Indonesia sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) ^diatur dengan Peraturan Menteri. (5) Jenis Barang berdasarkan Peraturan ^Menteri sebagaimana dimaksud pada ^ayat ^(41 ^dapat ^diubah berdasarkan keputusan rapat ^koordinasi ^yang dipimpin oleh menteri yang ^menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan ^pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan ^pemerintahan ^di bidang perekonomian, yang dihadiri ^menteri/kepala lembaga pemerintahan nonkementerian ^atau ^pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang ^diberikan kewenangan untuk dan atas nama ^menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian. (6) Pelaku Usaha yang melanggar kewajiban ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi ^administratif. Pasal 21 (1) Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus menggunakan bahasa Indonesia ^yang ^jelas, ^mudah dibaca, dan mudah dimengerti. (2) Penggunaan bahasa, angka, dan huruf selain Bahasa Indonesia, angka arab, dan huruf latin dapat digunakan ^jika tidak ada atau tidak dapat ^diciptakan padanannya. Pasal 22 (1) Penggunaan label berbahasa Indonesia ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan ^melalui pencantuman label pada Barang dan/atau kemasan. (21 Pencantuman label berbahasa Indonesia ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dapat berupa:

    36. embos atau tercetak;

    37. ditempei atau melekat secara utuh; ^atau c. dimasukkan atau disertakan ke ^dalam ^Barang dan/atau kemasan. (3) Ukuran besar label berbahasa Indonesia ^disesuaikan dengan ukuran Barang atau ^kemasan ^secara proporsional. Pasal 23 (1) Label berbahasa Indonesia sebagaimana ^dimaksud dalam Pasal 22 memuat keterangan ^mengenai nama Barang, asai Barang, identitas ^Pelaku Usaha, ^dan informasi lain sesuai dengan ^karakteristik ^Barang. (2) Keterangan mengenai identitas Pelaku ^Usaha sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) ^paling ^sedikit memuat:

    38. nama dan alamat Produsen untuk ^Barang produksi dalam negeri;

    39. nama dan alamat Importir untuk Barang asal Impor;

    40. nama dan alamat Pengemas, untuk Barang yang diproduksi dalam negeri atau asal Impor yang dikemas di wilayah Republik Indonesia; atau

    41. nama dan alamat Pedagang Pengumpul ^jika memperoleh dan memperdagangkan Barang hasil produksi usaha mikro dan usaha kecil. (3) Barang yang terkait dengan keselamatan, keamanan, dan kesehatan Konsumen dan lingkungan hidup harus memuat:

    42. cara penggunaan; dan

    43. simbol bahaya dan/atau tanda peringatan yang jelas dan mudah dimengerti. (4) Daiam hal identitas Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memungkinkan dicantumkan secara lengkap pada Barang dan/atau kemasan, identitas dapat disertakan atau dimasukkan pada Barang dan/atau kemasan. Pasal 24 (1) Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pelaku Usaha wajib mencantumkan keterangan atau penjelasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Untuk Barang yang telah diberlakukan SNI secara wajib, pencantuman label berbahasa Indonesia mengikuti penandaan yang ditetapkan dalam SNI. Pasal 25 (1) Pelaku Usaha dilarang mencantumkan label berbahasa Indonesia yang memuat informasi:

    44. secara tidak lengkap; dan/atau

    45. tidak benar dan/atau menyesatkan Konsumen.

      (2)

      Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 26 (1) Produsen, Importir, atau Pengemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib menarik Barang dari peredaran dan dilarang memperdagangkan Barang dimaksud. (2) Penarikan Barang dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas ^perintah Menteri. (3) Menteri memberikan mandat penarikan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga. (4) Biaya penarikan Barang dari peredaran dibebankan kepada Produsen, Importir, atau ^Pengemas sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1). Pasal 2T Barang yang telah ditarik dari ^peredaran ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat ^(1) dapat diperdagangkan kembali jika telah memenuhi ketentuan ^kewajiban pencantuman label berbahasa Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 28 Ketentuan kewajiban pencantuman label ^berbahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, ^tidak berlaku untuk:

    46. Barang curah yang dikemas dan ^diperdagangkan secara langsung di hadapan Konsumen; atau

    47. Barang yang diproduksi Pelaku Usaha mikro ^dan Pelaku Usaha kecil.

      Pasal 29
      (1)
      (2)
      (3)
      (1)
      (2)
      (3)

      (4)


      Pasal 29

      Selain Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pedagang Pengumpul wajib mencantumkan label berbahasa Indonesia. Pedagang Pengumpul yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 wajib menarik Barang dari peredaran dan dilarang memperdagangkan Barang. Ketentuan mengenai kewajiban menarik Barang dari peredaran dan dilarang memperdagangkan Barang iebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilaksanakan ...r.i dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.


      Pasal 30

      Pembinaan terhadap pencantuman label berbahasa Indonesia dilakukan oleh Menteri. Menteri mendelegasikan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (i) kepada direktur jenderal yang membidangi periindungan konsumen dan tertib niaga' Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sendiri atau bersama- ="-" dengan kementerian dan/atau lembaga teknis terkait pada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung kepada Pelaku Usaha dan/atau Konsumen dalam bentuk:


    48. pelayanan dan penyebarluasan informasi;

    49. edukasi; dan Pasal 31 (1) Pelaku Usaha yang memproduksi atau mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan terkait Barang yang ^wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia dan telah mencantumkan label berbahasa Indonesia, tetap mencantumkan label berbahasa Indonesia sesuai dengan karakteristik Barang. (2) Pelaku Usaha yang memproduksi atau mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan terkait Barang yang ^wajib menggunakan atau melengkapi label ^berbahasa Indonesia dan belum mencantumkan ^label ^berbahasa Indonesia, dapat mencantumkan label ^berbahasa Indonesia sesuai dengan karakteristik ^Barang. (3) Pencantuman label sebagaimana dimaksud ^pada ayat (2) dimaksudkan untuk memberikan ^informasi yang lebih banyak kepada Konsumen dan ^sebagai sarana promosi mengenai Barang ^yang diperdagangkan di ^pasar dalam ^negeri. BAB IV DISTRIBUSI BARANG Bagian Kesatu Umum Pasal 32 Distribusi Barang yang diperdagangkan di ^dalam ^negeri dapat dilakukan secara tidak ^langsung ^atau ^secara langsung kepada Konsumen. Bagian PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Bagian Kedua Distribusi Barang Secara Tidak Langsung Pasal 33 (1) Distribusi Barang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan oleh Pelaku Usaha Distribusi dengan menggunakan rantai Distribusi yang bersifat umum, yaitu:

    50. Distributor dan jaringannYa;

    51. Agen dan jaringannya; atau

    52. waralaba. (21 Distributor dan jaringannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari:

    53. Distributor;

    54. Grosir/Perkulakan;dan c. Pengecer. (3) Agen dan jaringannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari:

    55. Agen;

    56. Grosir/Perkulakan;dan c. Pengecer. Pasal 34 Distribusi Barang secara tidak langsung dilakukan oleh Pelaku Usaha Distribusi melalui perikatan yang dapat dibuktikan dengan adanya perjanjian, penunjukan, dan/atau bukti transaksi secara tertulis.

      Pasal 35

      Produsen di dalam negeri dapat menunjuk Pelaku Usaha Distribusi sebagai Distributor atau Agen untuk mendistribusikan Barang kepada Pengecer.

      (1)
      (2)

      Selain Produsen di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Produsen harus ^menunjuk Pelaku Usaha Distribusi sebagai Distributor ^atau ^Agen untuk mendistribusikan Barang ^kepada ^Pengecer. (3) Dalam hal Produsen telah menunjuk Distributor tunggal atau Agen tunggal untuk mendistribusikan Barang di suatu wilayah pemasaran, ^Produsen ^tidak dapat menunjuk Distributor atau ^Agen ^lainnya ^untuk mendistribusikan Barang dengan ^jenis dan ^merek yang sama. (4) Masa berlaku penunjukan Distributor ^tunggal ^paling sedikit selama 5 (lima) tahun dan ^wajib ^diperpanjang 1 (satu) kali. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ^perikatan untuk pendistribusian Barang oleh Distributor atau ^Agen diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 36 Distributor atau Agen yang mendistribusikan ^Barang sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^35 ^ayat ^(1) ^wajib memiliki Perizinan Berusaha ^sebagai ^Distributor ^atau ^Agen sesuai dengan ketentuan ^peraturan ^perundang-undangan' Pasal 37 (1) Pengecer sebagaimana dimaksud ^dalam ^Pasal ^33 ayat (2) huruf c dan ayat ^(3) huruf ^c ^serta ^Pasal ^35 ayat (1) dan ayat ^(21, dalam ^mendistribusikan ^Barang harus menggunakan sarana ^penjualan ^toko ^dan sarana penjualan lainnya. (2) Sarana penjualan toko sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (1) dapat beruPa:


    57. Toko Swalayan; atau

    58. toko dengan sistem ^pelayanan konvensional.

      (3)

      Sarana . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA (3) Sarana penjualan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beruPa:

    59. sistem elektronik;

    60. penjualan dengan perangkat mesin elektronik,' atau c. penjualan bergerak.

      Pasal 38

      Distributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a, wajib memenuhi ketentuan:


    61. memiliki Perizinan Berusaha sebagai Distributor;

    62. memiliki atau menguasai tempat usaha dengan alamat yang benar, tetaP, dan jelas;

    63. memiliki atau menguasai Gudang yang sudah terdaftar dengan alamat yang benar, tetap, dan jelas; dan

    64. memiliki perikatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan Produsen atau pemasok atau Importir mengenai Barang yang akan didistribusikan. Pasal 39 Agen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) huruf a, wajib memenuhi ketentuan:

    65. memiliki Perizinan Berusaha sebagai Agen;

    66. memiliki atau menguasai tempat usaha dengan alamat yang benar, tetap, dan jelas;

    67. memiliki perikatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dengan pihak yang menunjuknya yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak; dan

    68. menjalankan usaha berdasarkan Komisi yang diperoleh dari pihak yang menunjuknya.

      Pasal 40

      Grosir/Perkulakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b wajib memenuhi ketentuan:


    69. memiliki Perizinan Berusaha sebagai Grosir/ Perkulakan; dan

    70. memiliki kerja sama dengan Produsen, Distributor atau Importir Barang yang dilandasi dengan ^perikatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

      Pasal 41

      Pengecer sebagaimana dimaksud dalam Pasai 33 ayat ^(2) huruf c dan ayat (3) huruf c wajib memenuhi ketentuan:


    71. memiliki Perizinan Berusaha sebagai Pengecer; dan

    72. memiliki atau menguasai sarana ^penjualan, ^atau tempat usaha dengan alamat ^yang benar, tetap, ^dan jelas. Bagian Ketiga Distribusi Barang secara Langsung Pasal 42 (1) Distribusi Barang secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan ^dengan menggunakan pendistribusian khusus melalui ^sistem Penjualan Langsung. (2) Sistem Penjualan Langsung sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:

    73. Penjualan Langsung secara Single ^Leuel; ^atau b. Penjualan Langsung secara Multi ^Leuel.

      (3)

      Penjualan Langsung secara Single Leuel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikembangkan oleh Penjual Langsung yang bekerja atas dasar Komisi dan/atau Bonus berdasarkan hasil penjualan Barang kepada Konsumen. (4) Penjualan Langsung secara Multi Leuel sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b dikembangkan oleh Penjual Langsung yang bekerja atas dasar Komisi danlatau Bonus berdasarkan hasil penjualan Barang kepada Konsumen. Pasal 43 (1) Perusahaan yang melakukan kegiatan Distribusi Barang dengan sistem Penjualan Langsung harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

    74. memiliki Hak Distribusi Eksklusif ^terhadap Barang yang akan didistribusikan ^melalui penjualan secara langsung;

    75. memiliki Program Pemasaran;

    76. memiliki kode etik;

    77. melakukan perekrutan Penjual Langsung ^melalui sistem ^jaringan; dan

    78. melakukan penjualan Barang secara ^langsung kepada Konsumen melalui ^jaringan ^pemasaran yang dikembangkan oleh Penjual Langsung. (21 Program Pemasaran sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf b harus dibuat dalam bahasa ^Indonesia dan mencantumkan informasi ^paling sedikit ^mengenai:

    79. daftar dan profil Barang ^yang paling ^sedikit meliputi gambar, harga ^jual, dan manfaat;

    80. ^jenis Program Pemasaran ^yang digunakan;

    81. biaya pendaftaran calon Penjual Langsung;

    82. isi alat bantu penjualan;

    83. alur penjualan Barang dari perusahaan sampai dengan kepada Konsumen;

    84. jenis, perhitungan, serta jumlah Komisi dan/atau Bonus yang diberikan kepada seluruh Penjual Langsung yang dibuat dalam mata uang rupiah;

    85. simulasi perhitungan Komisi dan/atau Bonus kepada Penjual Langsung hingga tingkat ^jaringan tertentu;

    86. syarat dan ketentuan dalam mendapatkan Komisi dan/atau Bonus; dan

    87. jadwal pembayaran Komisi dan/atau Bonus. (3) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan memuat ketentuan paling sedikit:

    88. persyaratan menjadi Penjual Langsung;

    89. prosedur pendaftaran Penjual Langsung;

    90. masa berlaku keanggotaan Penjual Langsung;

    91. prosedur pendaftaran dalam keanggotaan;

    92. hak dan kewajiban perusahaan;

    93. hak dan kewajiban Penjual Langsung;

    94. program pembinaan bantuan pelatihan dan/atau fasilitas yang diberikan perusahaan Penjual Langsung;

    95. ganti rugi atas Barang yang tidak sesuai dengan kualitas dan jenis yang diperjanjikan dan prosedurnya;

    96. larangan bagi Penjual Langsung;

    97. sanksi; dan

    98. prosedurpenyelesaianperselisihan.

      Pasal 44

      Pasal 44 Hak Distribusi Eksklusif sebagaimana dimaksud ^daiam Pasal 43 ayat (1) huruf a didapat dari perjanjian atau kepemilikan atas merek dagang.


      Pasal 45

      Dalam hal Hak Distribusi Eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 yang didapat melalui ^perjanjian ^diputus secara sepihak oleh pemilik merek dagang sebelum ^masa berlaku perjanjian tersebut berakhir, ^pemilik merek ^dagang tidak dapat menunjuk perusahaan baru sebelum ^tercapai kesepakatan dalam penyelesaian ^perselisihan ^oleh ^para pihak atau sampai ada putusan pengadilan ^yang ^sudah berkekuatan hukum tetap.


      Pasal 46

      Kegiatan usaha Perdagangan dengan sistem ^Penjualan Langsung diselenggarakan berdasarkan ^perjanjian ^tertulis antara perusahaan dan Penjual ^Langsung ^dengan memperhatikan kode etik. Pasal 47 Dalam melakukan perekrutan ^Penjual ^Langsung melalui sistem ^jaringan sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^43 ayat (1) huruf d, perusahaan wajib ^memberikan keterangan secara lisan dan tertulis dengan ^benar kepada calon Penjual Langsung paling sedikit mengenai:


    99. identitas perusahaan;

    100. mutu dan spesifikasi Barang;

    101. kondisi dan ^jaminan Barang ^serta ^memberi ^penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaannya;

    102. Program Pemasaran; dan

    103. kode etik.

      Pasal 48
      Pasal 48

      Perusahaan yang telah melakukan perekrutan Penjual Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dalarn melakukan kegiatan usaha Penjualan Langsung wajib:



    104. memberikan alat bantu penjualan kepada setiap Penjual Langsung yang paling sedikit berisikan keterangan mengenai Barang, Program Pemasaran, dan kode etik;

    105. memastikan kegiatan yang dilakukan oleh Penjual Langsung sesuai dengan Program Pemasaran dan kode etik;

    106. mencantumkan label pada Barang dan/atau kemasan yang paling sedikit memuat nama perusahaan dan keterangan bahwa Barang dijual dengan sistem Penjualan Langsung;

    107. menetapkan harga Barang yang dijual dalam mata uang rupiah dan berlaku untuk Penjual Langsung dan Konsumen;

    108. memberikan Komisi danlatau Bonus berdasarkan hasil kegiatan penjualan Barang yang dilakukan oleh Penjual Langsung dan ^jaringannya sesuai dengan ^yang diperjanjikan;

    109. memberikan tenggang waktu kepada Konsumen untuk mengembalikan Barang dengan ^jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak Barang diterima, apabila ternyata Barang tersebut tidak sesuai dengan yang diperjanjikan;

    110. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian yang ditimbulkan akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan Barang yang diperdagangkan;

    111. melaksanakan pembinaan dan pelatihan ^paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan para Penjual Langsung, agar bertindak dengan benar, ^jujur, dan bertanggung jawab; 1 J k I memberikan kesempatan yang sama kepada semua Penjual Langsung untuk berprestasi dalam memasarkan Barang; memiliki daftar Penjual Langsung yang menjadi anggota jaringan pemasarannya yang dilengkapi dengan data identitas Penjual Langsung dimaksud; menjual Barang yang telah memiliki izin edar atau telah memenuhi ketentuan Standar mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan memastikan Penjual Langsung tidak menjual Barang melalui saluran disribusi tidak langsung dan/atau onlirue market place. Pasal 49 Jumlah Komisi dan/atau Bonus yang diberikan kepada Penjual Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^48 huruf e paling banyak 6Ooh (enam puluh ^persen) dari omzet perusahaan.

      Pasal 50

      Pelaku Usaha Distribusi dalam sistem Penjualan Langsung merupakan perusahaan yang memiliki Perrzinan ^Berusaha sebagai Perusahaan Penjualan Langsung.


      Pasal 51

      Perusahaan yang telah memiliki Perizinan ^Berusaha ^di bidang Penjualan Langsung dilarang melakukan ^kegiatan:


    112. menawarkan, mempromosikan, ^mengiklankan ^Barang secara tidak benar, berbeda, atau bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya;

    113. menawarkan Barang dengan cara ^pemaksaan ^atau cara lain yang dapat menimbulkan ^gangguan, baik fisik maupun psikis terhadap Konsumen;

    114. menawarkan Barang dengan membuat atau mencantumkan klausula baku pada dokumen dan/atau perjanjian yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan Kon sumen ;

    115. menjual Barang yang tidak mempunyai tanda daftar dari instansi teknis yang berwenang, khususnya bagi Barang yang wajib terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundan g-undangan ;

    116. menjual Barang yang tidak memenuhi ketentuan Standar mutu Barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undan gan ;

    117. menarik dan/atau mendapatkan keuntungan ^melalui iuran keanggotaan atau ^pendaftaran sebagai ^mitra usaha secara tidak wajar;

    118. menerima pendaftaran keanggotaan sebagai Penjual Langsung dengan nama yang sama lebih dari ^1 ^(satu) kali;

    119. membayar Komisi dan/atau Bonus dari hasil ^iuran keanggotaan atau perekrutan Penjual Langsung;

    120. memberikan Komisi dan/atau Bonus dari ^Program Pemasaran ketika perusahaan tidak ^melakukan penjualan Barang. j. menjual atau memasarkan Barang ^yang ^tercantum dalam perizinan berusahanya melalui ^saluran Distribusi tidak langsung dan/atau online ^market place;

    121. menjual langsung kepada Konsumen tanpa ^melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh Penjual Langsung;

  2. melakukan usaha yang terkait dengan ^penghimpunan dana masyarakat;

    1. membentuk ^jaringan pemasaran ^dengan menggunakan Skema Piramida;

    2. menjual danf atau memasarkan Barang ^yang ^tidak tercantum dalam Program Pemasaran; dan f atau o. menjual Barang dan/atau Jasa ^yang termasuk ^produk komoditi berjangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 52 Menteri melakukan pembinaan dan evaluasi ^terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha Distribusi Barang secara langsung.

      (1)
      (2)

      (3)

      Pasal 53

      Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^52 dilakukan melalui penyuluhan, ^konsultasi, pendidikan, dan pelatihan. Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^52 dilakukan berdasarkan laporan tahunan ^kegiatan usaha perusahaan yang disampaikan ^oleh ^perusahaan dan hasil verifikasi ke lokasi ^perusahaan. Dalam melaksanakan ^pembinaan dan ^evaluasi sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) ^dan ^ayat ^(2), Menteri dapat melakukan koordinasi ^dengan ^instansi terkait di pusat dan/atau di ^daerah serta ^asosiasi ^di bidang Penjualan Langsung.


      Pasal 54

      Barang yang termasuk ^produk komoditi ^berjangka ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan d.anf atau Jasa dilarang dipasarkan ^melalui ^sistem Penjualan Langsung. Bagian Bagian Keempat Larangan Pasal 55 (1) Produsen, Distributor, dan Grosir/Perkulakan dilarang mendistribusikan Barang secara eceran kepada Konsumen. (21 Agen dilarang melakukan pemindahan hak atas fisik Barang yang dimiliki/dikuasai oleh Produsen, pemasok, danf atau Importir yang menunjuknya. (3) Pelaku Distribusi tidak langsung dilarang mendistribusikan Barang yang dipasarkan oleh ^sistem Penjualan Langsung yang memiliki Hak ^Distribusi Eksklusif. (41 Importir dilarang mendistribusikan Barang ^secara langsung kepada Pengecer kecuali bertindak sebagai Distributor. (5) Pengecer dilarang melakukan Impor Barang Bagian Kelima Ketentuan Lain-Lain Pasal 56 Dalam menjual Barang, Produsen tidak ^perlu ^memiliki Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan.


      Pasal 57

      Produsen dapat memasok atau ^mendistribusikan ^Barang yang diperuntukkan sebagai Bahan Baku, ^bahan ^penolong, atau Barang modal kepada Produsen ^lainnya ^tanpa ^melalui Distributor dan ^jaringannya atau ^Agen ^dan ^jaringannya.


      Pasal 58

      Produsen dengan skala usaha mikro dan usaha kecil serta Produsen Barang yang mudah basi atau tidak tahan lebih lama dari 7 (tujuh) hari dapat menjual Barang kepada Konsumen tanpa melalui Distributor dan ^jaringannya atau Agen dan ^jaringannya. Pasal 59 (1) Ketentuan mengenai Distribusi Barang dalam Peraturan Pemerintah ini dikecualikan untuk:


    3. pengadaan Barang ^pemerintah dengan ^kriteria Barang untuk keadaan tertentu; dan latau b. pemenuhan ketersediaan dan kestabilan ^harga Barang Kebutuhan Pokok dan Barang ^Penting berdasarkan persetujuan Menteri. (2) Pengadaan Barang pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ^mengenai pengadaan Barang/Jasa pemerintah. BAB V SARANA PERDAGANGAN Bagian Kesatu Gudang Pasal 60 (1) Gudang terdiri dari Gudang tertutup dan ^Gudang terbuka. (2) Gudang tertutup sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) digolongkan atas:

    4. Gudang tertutup ^golongan A, dengan ^kriteria:

      (3)
      1. luas 10O m2 (seratus meter ^persegi) sampai dengan 1.000 m2 (seribu meter ^persegi); dan/atau

  3. kapasitas penyimpanan antara 360 ^ms ^(tiga ratus enam puluh meter kubik) sampai dengan 3.600 ms (tiga ribu enam ratus meter kubik). b. Gudang tertutup golongan B, dengan ^kriteria:

  4. luas di atas 1.OO0 m2 ^(seribu meter ^persegi) sampai dengan 2.500 m2 (dua ribu lima ^ratus meter persegi); dan f atau 2. kapasitas penyimpanan di atas ^3.600 ^ms ^(tiga ribu enam ratus meter kubik) sampai dengan 9.000 m" (sembilan ribu meter ^kubik). c. Gudang tertutup golongan C, dengan ^kriteria:

  5. luas di atas 2.50O m2 ^(dua ribu ^lima ^ratus meter persegi) ; dan/atau

  6. kapasitas penyimpanan di atas ^9.000 ^m3 (sembilan ribu meter kubik). d. Gudang tertutup ^golongan ^D, ^dengan ^kriteria:

  7. Gudang berbentuk silo atau ^tangki; dan/atau

  8. kapasitas penyimpanan ^paling sedikit ^762 ^mg (tujuh ratus enarn puluh dua meter ^kubik) atau 4O0 ton (emPat ratus ton). Gudang terbuka sebagaimana ^dimaksud ^pada ^ayat ^(1) dengan kriteria luas ^paling sedikit ^1.000 m2 ^(seribu meter persegi).

    (4)

    Penggolongan Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat diubah dengan Peraturan Menteri berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian. Pasal 61 pemilik Gudang wajib memiliki TDG dari (1) Setiap Menteri (21 Untuk memiliki TDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik Gudang harus melakukan pendaftaran Gudang. Pasal 62 (1) Kewenangan penerbitan TDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. (21 Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan TDG kepada:

    1. Gubernur DKI Jakarta untuk Provinsi DKI Jakarta; dan

    2. bupati/wali kota. (21 Kepala unit pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang melakukan penerbitan TDG secara elektronik melalui sistem yang terintegrasi dengan sistem kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan menyerahkan tembusan TDG yang telah diterbitkan kepada Menteri dan kepala dinas yang membidangi Perdagangan. Paragraf 1 Pencatatan Administrasi Gudang

      Pasal 64

      Pengelola Gudang wajib menyelenggarakan ^pencatatan administrasi Gudang mengenai ^jenis dan ^jumlah Barang yang disimpan, yang masuk, dan yang keluar dari Gudang. Pasal 65 (1) Pencatatan administrasi Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 paling sedikit memuat informasi mengenai:


    3. pemilik Barang;

    4. NIB pemilik Barang;

    5. ^jenis atau kelompok Barang;

    6. ^jumlah Barang;

    7. tanggal masuk Barang;

    8. asal Barang;

    9. tanggal keluar Barang;

    10. tujuan Barang; dan

    11. sisa Barang yang tersimpan di Gudang ^(stok). (2) Dalam hal diperlukan, pencatatan administrasi Gudang sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) ^wajib tersedia setiap saat dan diperlihatkan kepada ^Petugas Pengawas Perdagangan dari kementerian ^yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di ^bidang Perdagangan dan/atau dinas provinsi/kabupaten/ kota yang membidangi Perdagangan.

    (3)

    Ketentuan .

    (3)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

    Pasal 66

    Ketentuan pencatatan administrasi Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dikecualikan terhadap:

    1. Gudang yang digunakan untuk menyimpan Barang dengan sistem resi gudang; dan

    2. Gudang yang digunakan sebagai tempat ^penyimpanan sementara bagi Jasa pengiriman Barang. Paragraf 2 Pelaporan Pasal 67 (1) Kepala dinas yang membidangi Perdagangan di:

    3. Provinsi DKI Jakarta; dan

    4. kabupaten/kota, wajib melaporkan rekapitulasi ^perkembangan penerbitan TDG setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Menteri. (2) Kepala dinas yang membidangi Perdagangan di tingkat kabupaten/kota menyampaikan laporan rekapitulasi perkembangan penerbitan TDG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tembusan kepala ^dinas yang membidangi Perdagangan di tingkat ^provinsi. (3) Penyampaian laporan rekapitulasi ^perkembangan penerbitan TDG sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) dapat dilakukan secara elektronik.


    Pasal 68

    Pengelola Gudang wajib memberikan data dan informasi mengenai ketersediaan Barang yang ada di Gudang ^yang dikuasainya, jika diminta oleh Menteri, Gubernur DKI Jakarta untuk Provinsi DKI Jakarta, bupati/wali kota, atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 69 Ketentuan mengenai pendaftaran Gudang sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dikecualikan terhadap:

    1. Gudang yang berada pada tempat ^penimbunan berikat;

    2. Gudang yang berada pada tempat ^penimbunan ^di bawah pengawasan direktorat ^jenderal ^yang membidangi kepabeanan; dan

    3. Gudang yang melekat dengan usaha ritel/eceran ^yang digunakan sebagai tempat ^penyimpanan ^sementara Barang dagangan eceran, atau Gudang ^yang ^melekat dengan tempat produksi. Paragraf 3 Pembinaan Pasal 70 (1) Dalam rangka pemenuhan ketersediaan ^Barang, stabilitas harga, dan kelancaran Distribusi ^Barang, Gubernur DKI Jakarta untuk ^Provinsi ^DKI ^Jakarta dan/atau bupati/wali kota menugaskan ^kepala dinas yang membidangi Perdagangan untuk ^melakukan pembinaan terhadap kegiatan pendaftaran ^Gudang, penyimpanan Barang di Gudang, dan ^pelaporan' (2) Pelaksanaan . (21 Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sendiri oleh dinas Provinsi DKI Jakarta dan dinas kabupatenlkota yang membidangi Perdagangan dan/atau bersama-sama dengan dinas provinsi yang membidangi Perdagangan dan/atau Menteri. (3) Pembinaan terhadap kegiatan pendaftaran Gudang, penyimpanan Barang di Gudang, dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk pelatihan, konsultasi, danlatau kunjungan lapangan. Bagian Kedua Pasar Rakyat Paragraf 1 Umum Pasal 71 (1) Menteri menata dan/atau membangun Pasar Rakyat yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, ^badan usaha milik desa, dan/atau koperasi. (2) Toko/kios, los, hamparan/dasaran/jongko, ^dan/atau tenda yang berada dalam Pasar ^Ralryat dimiliki/dimanfaatkan oleh pedagang kecil ^dan menengah, dan/atau koperasi serta UMK-M ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan. Pasal 72 (1) Menteri bekerja sama dengan Pemerintah ^Daerah melakukan pembangunan, pemberdayaan, ^dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar Rakyat. (2) Pembangunan, pemberdayaan, dan ^peningkatan kualitas pengelolaan Pasar Rakyat ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan ^dalam bentuk:

    4. pembangunan .

    5. pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat;

    6. implementasi manajemen pengelolaan Pasar Rakyat yang profesional;

    7. fasilitasi akses penyediaan Barang dengan mutu yang baik dan harga yang bersaing;

    8. fasilitasi akses pembiayaan kepada pedagang di Pasar Rakyat; dan/atau

    9. fasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pengelolaan dan proses transaksi di Pasar Rakyat. Pasal 73 (1) Pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud daiam Pasal 72 ayat ^(2) huruf a mencakup:

    10. fisik;

    11. manajemen;

    12. ekonomi; dan

    13. sosial. (2) Pembangunan danlatau revitalisasi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan ^dengan berpedoman pada SNI Pasar Ralryat dan ^ketentuan peraturan perundang-undangan terkait bangunan yang antara lain meliputi:

    14. kondisi fisik bangunan berpedoman ^pada ^desain standar purwarupa Pasar RakYat;

    15. zonasi Barang yang diperdagangkan;

    16. sarana kebersihan, kesehatan, keamanan, ^dan lingkungan;

    17. kemudahan akses transportasi; dan

    18. sarana.

    19. sarana teknologi informasi dan komunikasi. (3) Pembangunan dan/atau revitalisasi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk Pasar Rakyat yang dibangun melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pembangunan dan/atau revitalisasi manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan berpedoman pada SNI Pasar Rakyat dengan mempertimbangkan paling sedikit:

    20. peningkatanprofesionalismepengelola;

    21. pemberdayaan Pelaku Usaha;

    22. pemantauan Barang terhadap pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan f atau d. penerapan standar operasional prosedur pengelolaan dan pelayanan Pasar Rakyat. (5) Pembangunan dan/atau revitalisasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan upaya perbaikan dan peningkatan sistem interaksi sosial budaya antarpemangku kepentingan, antara pedagang di Pasar Rakyat dengan Konsumen, dan pembinaan pedagang kaki lima untuk mewujudkan Pasar Rakyatyang kondusif dan nyaman. Pasal 74 (1) Pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf a dapat dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2\ Pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat yang menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara, diutamakan memenuhi kriteria dan persyaratan paling sedikit:

    23. telah memiliki embrio Pasar Rakyat;

    24. berada di lokasi yang strategis dan didukung oleh kemudahan akses transportasi;

    25. kondisi sosial ekonomi masyarakat, termasuk UMK-M, yang ada di daerah setempat; dan

    26. peran Pasar Rakyat dalam rantai Distribusi. (3) Dalam hal pembangunan Pasar Rakyat yang mengalami bencana dan/atau berada di daerah tertinggal, terluar, terpencil, dan ^perbatasan dapat dikecualikan dari kriteria dan ^persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21. (41 Pembangunan dan/atau revitalisasi Pasar Rakyat yang menggunakan anggaran pendapatan dan ^belanja daerah, harus memenuhi kriteria dan ^persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(2) ^serta ^ketentuan lain yang diatur oleh masing-masing daerah. (5) Menteri dan/atau Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan swasta, koperasi, badan usaha milik negara, danlatau badan usaha milik ^daerah ^dalam membangun dan/atau merevitalisasi Pasar ^Rakyat. (6) Dalam hal Menteri dan/atau Pemerintah Daerah bekerja sama dengan swasta, koperasi, badan ^usaha milik negara, dan/atau badan usaha milik daerah dalam membangun dan/atau merevitalisasi ^Pasar Rakyat, kepemilikan Pasar Rakyat diatur sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(2) diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 75

    Pasal 75 (1) Menteri menghibahkan Pasar Rakyat yang dibangun dengan anggaran pendapatan dan belanja negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) kepada Pemerintah Daerah paling lambat 1 (satu) tahun setelah pembangunan dan/atau revitalisasi selesai dilakukan. (2) Pemeliharaan, pengelolaan, dan pemberdayaan Pasar Rakyat yang telah dihibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah. (3) Pemerintah Daerah wajib mengasuransikan Pasar Rakyat yang telah dihibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 76 (1) Implementasi manajemen pengelolaan Pasar Rakyat yang profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b dapat dilakukan bekerja sama dengan swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, dan/atau koperasi dan/atau menunjuk perangkat daerah. (2) Implementasi manajemen pengelolaan Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerapan ketentuan SNI Pasar Rakyat. Pasal TT Fasilitasi akses penyediaan Barang dengan mutu yang baik dan harga yang bersaing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf c dapat dilakukan dengan:

    1. memfasilitasi kemitraan antara pedagang dan Produsen dan/atau Distributor;

    2. menyediakan informasi tentang sumber pasokan Barang yang memenuhi Standar mutu Barang; dan/atau PRES tDEN REPUBUK INDONESIA memfasilitasi pembentukan asosiasi, forum komunikasi, koperasi, dan/atau forum lain dalam rangka penyediaan Barang. Pasal 78 Fasilitasi akses pembiayaan kepada pedagang di Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (21 huruf d dapat dilakukan dengan:

    3. memfasilitasi sumber pembiayaan dari pinjaman bank dan/atau lembaga keuangan bukan bank dengan proses yang mudah dan suku bunga terjangkau;

    4. memfasilitasi sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perLrndang-undangan; dan f atau c. meningkatkan kerja sama antara pengelola Pasar Rakyat dan pedagang di Pasar Rakyat melalui koperasi dan/atau asosiasi. Paragraf 2 Pengembangan, Penataan, dan Pembinaan Pasal 79 (1) Lokasi pendirian Pasar Rakyat harus mengacu pada:

    5. rencana tata ruang wilayah kabupatenlkota; atau

    6. rencana detail tata ruang kabupaten/kota. (21 Dalam hal Pemerintah Daerah belum memiliki rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota atau rencana detail tata ruang kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lokasi pendirian Pasar Rakyat mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penataan ruang. C <r (3) Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berlokasi di setiap sistem ^jaringan ^jalan, termasuk sistem ^jaringan ^jalan lokal atau ^jalan lingkungan di kawasan pelayanan bagian kabupaten/ kota, lokal, atau lingkungan (perumahan) di dalam kabupaten/kota. Pasal 80 Ketentuan mengenai pembangunan danf atau revitalisasi Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dan kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) berlaku mutatis mutandis untuk Pasar Rakyat yang ditata, dibangun, dan/atau dikelola oleh s\r,asta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau koperasi. Pasal 81 Menteri, Pemerintah Daerah, dan masyarakat berperan aktif dalam mempromosikan Pasar Rakyat untuk mendorong peningkatan transaksi Perdagangan di ^Pasar Rakyat. Pasal 82 (1) Dalam hal Pasar Rakyat yang telah ditata, dibangun, dikelola, dan/atau dimiliki oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah mengalami bencana alam, bencana nonalam, dan/atau bencana sosial, ^pembangunan kembali Pasar Rakyat dilakukan oleh Menteri danf atau Pemerintah Daerah. (2) Pemerintah Daerah wajib memberikan ^prioritas kepada koperasi dan UMK-M yang terdaftar ^sebagai pedagang di Pasar Rairyat yang mengalami bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memperoleh toko/kios, los, hamparanfdasaranf jongko, danf atau tenda dengan harga pemanfaatan yang terjangkau. FRES IDEN REPUtsLIK INDONESIA Pasal 83 (1) Menteri menetapkan pedoman harga pemanfaatan toko/kios, los, hamparan/dasaran/jongko, dan f atau tenda. (2) Pemerintah Daerah menetapkan harga pemanfaatan toko/kios, los, hamparan/dasaran/jongko, dan/atau tenda berdasarkan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 84 Menteri, gubernur, dan/atau bupati/wali sendiri atau bersama-sama melakukan terhadap pengelola Pasar Rakyat. kota secara pembinaan Bagian Ketiga Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan Paragraf 1 Umum Pasal 85 (1) Pusat Perbelanjaan dapat berbentuk:

    7. pertokoan;

    8. mal; dan

    9. plaza. (21 Toko Swalayan dapat berbentuk:

    10. minimarket;

    11. supermarket;

    12. department store;

    13. hypermarket; dan

    14. Grosir/Perkulakan yang berbentuk toko dengan sistem pelayanan mandiri. Pasal 86 (1) Pendirian Pusat Perbelanjaan atau Toko Swalayan harus memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Rakyat, dan UMK-M yang ada di zor: ,a atau area atau wilayah setempat. (2) Pengelola Fusat Perbelanjaan dan Pelaku Usaha Toko Swalayan harus menyediakan paling sedikit:

    15. areal parkir;

    16. fasilitas yang menjamin Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan bersih, sehat (higienis), aman, dan tertib; dan

    17. ruang publik yang nyaman. (3) Pelaku Usaha dapat mendirikan minimarket, supermarket, hypermarket, dan Grosir/Perkulakan yang berbentuk toko dengan sistem pelayanan mandiri yang berdiri sendiri atau terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan yang telah memiliki Perrzinan Berusaha danlatau bangunan atau kawasan lain. (4) Dalam hal Toko Swalayan berbentuk department store, pendirian department store oleh Pelaku Usaha ^yang merupakan:

    18. penanam modal asing harus dilakukan terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan ^yang ^telah memiliki Perrzinan Berusaha; atau

    19. penanam modal dalam negeri dapat dilakukan berdiri sendiri atau terintegrasi dengan ^Fusat Perbelanjaan yang telah memiliki Pertzinan Berusaha dan/atau bangunan atau kawasan lain. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) ^dan ayat (2) tidak berlaku bagi Toko Swalayan ^jika terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan ^yang ^telah memiliki Pertzinan Berusaha, Pusat Niaga, dan/atau bangunan atau kawasan lain. Pasal 87 Toko Swalayan memiliki batasan luas lantai ^penjualan dengan ketentuan:

    20. minimarket, sampai dengan 400 m2 (empat ratus meter persegi);

    21. supermarket, di atas 4OO m2 (empat ratus meter persegi) sampai dengan 5.000 rn2 (lima ribu meter persegi);

    22. department store, paling sedikit 4OO m2 ^(empat ^ratus meter persegi);

    23. hgpermarket, di atas 5.000 m2 (lima ribu meter persegi); dan

    24. Grosir/Perkulakan yang berbentuk toko dengan sistem pelayanan mandiri, paling sedikit 2.000 ^m2 ^(dua ribu meter persegi) dan untuk Grosir/Perkulakan koperasi yang berbentuk toko dengan sistem pelayanan mandiri paling sedikit 1.000 m2 (seribu meter persegi).


    Pasal 88

    Sistem penjualan dan ^jenis Barang dagangan ^yang harus diterapkan dalam Toko Swalayan meliputi:

    1. minimarket, supermarket, dan ^hgpermarket ^menjual secara eceran berbagai ^jenis Barang ^konsumsi terutama produk makanan danlatau ^produk ^rumah tangga lainnya yang dapat berupa bahan ^bangunan, furnitur, elektronik, dan bentuk ^produk ^khusus lainnya;

    2. department store menjual secara ^eceran berbagai ^jenis Barang konsumsi terutama produk sandang ^dan perlengkapannya dengan penataan berdasarkan ^jenis kelamin dan/atau tingkat usia Konsumen; dan

    3. Grosir/Perkulakan . Grosir/Perkulakan yang berbentuk sistem pelayanan mandiri menjual besar/tidak secara eceran berbagai konsumsi. toko secara jenis dengan partai Barang c Paragraf 2 Pengembangan, Penataan, dan Pembinaan Pasal 89 (1) Lokasi pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan harus mengacu pada:

    4. rencana tata ruang wilayah kabupatenlkota; atau

    5. rencana detail tata ruang kabupaten/kota. (2) Dalam hal Pemerintah Daerah belum memiliki rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota atau rencana detail tata ruang kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lokasi pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penataan ruang. Pasal 90 Ketentuan mengenai lokasi pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak berlaku bagi Toko Swalayan jika terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan yang telah memiliki Perizinan Berusaha, Pusat Niaga, dan/atau bangunan atau kawasan lain. Pasal 91 (1) Supermarket, hgpermarket, dan department store wajib memenuhi ketentuan jam operasional. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jam operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 92 . Pasal 92 (1) Dalam hal Pusat Perbelanjaan dibangun kembali karena sebab apapun, pengelola Pusat Perbelanjaan wajib memberikan prioritas kepada koperasi dan UMK-M yang terdaftar sebagai pedagang di Pusat Perbelanjaan untuk memiliki atau menyewa lokasi baru dari Pusat Perbelanjaan yang dibangun kembali dengan harga pemanfaatan yang terjangkau. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula dalam hal Pasar Rakyat yang dimiliki oleh Pelaku Usaha dibangun kembali sebagai Fusat Perbelanjaan. Paragraf 3 Kerja Sama Usaha, Kemitraan, dan Kepemilikan


    Pasal 93

    Pelaku Usaha Toko Swalayan yang melakukan kerja sama pasokan Barang wajib mengikutsertakan pelaku UMK-M. Pasal 94 (1) Kerja sama usaha pemasokan Barang antara pemasok dengan Pelaku Usaha Toko Swalayan dibuat dengan perjanjian tertulis dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia. (2) Dalam hal perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat persyaratan Perdagangan, maka harus jelas, wajar, berkeadilan, dan saling menguntungkan serta disepakati kedua belah pihak tanpa tekanan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja sama usaha pemasokan Barang yang terdapat persyaratan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


    (4)

    Pelaku Usaha yang membuat ^persyaratan Perdagangan wajib memenuhi ketentuan mengenai persyaratan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 95 (1) Dalam pengembangan kerja sama usaha antara pemasok UMK-M dan Pelaku Usaha Toko Swalayan, persyaratan Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dilakukan dengan ketentuan ^Pelaku Usaha Toko Swalayan:

    1. tidak memungut biaya administrasi ^pendaftaran Barang dari pemasok UMK-M; dan

    2. membayar kepada pemasok UMK-M secara tunai, atau dengan alasan teknis tertentu dapat dilakukan dalam ^jangka waktu paling lama ^15 (lima belas) hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima. (2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) hurr-rf b dapat dilakukan secara tidak tunai ^jika berdasarkan perhitungan biaya risiko dan bunga ^tidak merugikan pemasok UMK-M. Pasal 96 (1) Dalam menciptakan hubungan kerja sama ^yang berkeadilan dan saling menguntungkan, Menteri dan Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi kepentingan pemasok dan Pelaku Usaha Toko Swalayan dalam merundingkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2). (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diawasi secara tertib dan teratur oleh lembaga ^yang dibentuk dan bertugas untuk mengawasi ^persaingan usaha sebagaimana diatur dalam ketentuan ^peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk mengawasi persaingan usaha berkoordinasi dengan instansi terkait. Pasal 97 (1) Pelaku Usaha Toko Swalayan wajib menyediakan Barang dagangan produk dalam negeri. (2) Dalam hal menggunakan merek Toko Swalayan sendiri, Pelaku Usaha Toko Swalayan wajib:

    1. bertanggung jawab terhadap Barang dagangannya telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual; dan

    2. membina pengembangan produk dan merek sendiri bagi Barang dagangan untuk UMK-M. (3) Pengelola Pusat Perbelanjaan wajib menyediakan danf atau menawarkan:

    3. ruang usaha dalam rangka kemitraan dengan harga jual atau biaya sewa sesuai kemampuan kepada usaha mikro dan usaha kecil; dan/atau

    4. ruang promosi dan/atau ruang usaha yang proporsional dan strategis untuk pencitraan dan/atau pemasaran produk dalam negeri dengan merek dalam negeri. Pasa-l 98 (1) (2t (3) (4) Pasal 98 Toko Swalayan dalam menjual Barang yang menggunakan merek Toko Swalayan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) mengutamakan Barang produksi UMK-M dan Barang yang diproduksi di Indonesia. Toko Swalayan dilarang memaksa Produsen UMK-M yang akan memasarkan produksinya di dalam Toko -S*"I"y". untuk menggunakan merek milik Toko Swalayan pada hasil produksi UMK-M yang telah memiliki merek sendiri. Pelaku Usaha Toko Swalayan yang memasarkan Barang hasil produksi UMK-M dengan merek Toko Swalayan sendiri wajib mencantumkan nama UMK-M yang memproduksi Barang. Pelaku Usaha Toko Swalayan wajib memenuhi ketentuan pembatasan kepemilikan gerai Toko Swalayan. Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan pembatasan kepemilikan gerai Toko Swalayan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri. (s) Paragraf 4 Perizinan (21 Pelaku Usaha yang berada di dalam Pasar Rakyat atau Pusat Perbelanjaan wajib memenuhi Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik, kecuali Pelaku Usaha dengan skala usaha mikro dan usaha kecil. Paragraf 5 Pembinaan Pasal 100 Menteri dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap pengembangan dan penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan. Pasal 101 (1) Menteri dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan pedoman teknis terkait dengan perizinan, ^jarak dan lokasi pendirian, kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, kemitraan, dan kerja sama usaha. (21 Pengembangan, penataan, dan pembinaan Pasar Rakyat, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Swalayan harus mengacu pada pedoman teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. (4) Pemerintah Daerah dalam menetapkan pedoman teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Pasal 102

    (1)

    Menteri dalam melakukan pembinaan dapat meminta data dan/atau informasi kepada pengelola Pasar Rakyat, pengelola Pusat Perbelanjaan, dan Pelaku Usaha Toko Swalayan secara berkala atau sewaktu- waktu jika diperlukan. (21 Pengelola Pasar Ra}ryat, pengelola Pusat Perbelanjaan, dan Pelaku Usaha Toko Swalayan wajib memberikan data dan f atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan lengkap dan akurat. BAB VI PELAPORAN Pasal 1O3 Setiap Pelaku Usaha Distribusi yang mendistribusikan Barang wajib menyampaikan laporan Distribusi Barang kepada Menteri. Pasal 104 (1) Pelaku Usaha Distribusi yang mendistribusikan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting wajib menyampaikan laporan stok Distribusi Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting kepada Menteri. (21 .Jenis Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya secara elektronik. Pasal 1O5 (1) Pengelola Pasar Rakyat wajib menyampaikan laporan kepada Menteri terkait:

    1. omzet tahunan dari seluruh pedagang;

    2. data harga bulanan Barang Kebutuhan Pokok;

    3. data nama pedagang berdasarkan alamat di pasar dan komoditi yang dijual; dan

    4. data Barang kebutuhan pasokan pasar. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik. Pasal 106 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan kegiatan usaha Perdagangan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, dan Pasai 105 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII STANDARDISASI Pasal 107 (1) Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi:

    5. SNI yang telah diberlakukan secara wajib; atau

    6. persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. (2) Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. (3) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri, menteri, atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (4)

    Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:

    1. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;

    2. daya saing Produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;

    3. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau

    4. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian. (5) Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertihkat kesesuaian vang diakui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian. (7) Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang yang teiah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif. Pasal 108 (1) Produsen sebelum memperdagangkan atau Importir sebelum melaksanakan Impor Barang yang telah diberlakukan SNI secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO7 ayat (1) wajib:

    5. mendaftarkan Barang yang diperdagangkan kepada Menteri; dan

    6. mencantumkan nomor pendaftaran pada Barang dan/atau kemasannya. (21 Pendaftaran dilakukan sebelum diperdagangkan untuk Barang produksi dalam negeri atau sebelum diimpor untuk Barang luar negeri. (3) Pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap pangan olahan, obat, kosmetik, dan alat kesehatan. (4) Pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Barang yang wajib dilakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. (6) Daftar Barang yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian. (7) Ketentuan, persyaratan, dan tata cara pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan pertzinan berusaha berbasis risiko.

      Pasal 109

      Pasal 1O9 (1) Produsen atau Importir wajib mendaftarkan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang diproduksi dalam negeri atau diimpor, sebelum beredar di pasar. (2) Penetapan jenis Barang yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kriteria SNI atau Standar lain yang diakui yang belum diberlakukan secara wajib. (3) Penetapan jenis Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


    7. Barang listrik dan elektronika; dan

    8. Barang yang mengandung bahan kimia berbahaya. (41 Penetapan jenis Barang listrik dan elektronika sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan berdasarkan bahaya kejut listrik bagi Konsumen. (5) Penetapan jenis Barang yang mengandung bahan kimia berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan berdasarkan kandungan bahan kimia yang berbahaya bagi Konsumen. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Barang yang wajib dilakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. (7) Daftar Barang yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian. FRES IDEN REPUBLIK INDONESIA (8) Kewajiban pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap Barang yang telah diberlakukan SNI secara wajib dan/atau Barang yang telah diatur pendaftarannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (9) Kewenangan pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. (10) Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan kewajiban pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (11) Ketentuan, persyaratan, dan tata cara pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. Pasal 1 10 (1) Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib. (2) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri, menteri, atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ay at (21 dilakukan dengan mempertimbangkan aspek :

    9. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; b, daya saing Produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;

    10. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional;

    11. kesiapan , d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian; dan/atau

    12. budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan kearifan lokal. (4) Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (21 wajib dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Jasa yang diperdagangkan dan memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang belum diberlakukan secara wajib dapat menggunakan sertifikat kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, tetapi tidak dilengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif. Pasal 1 1 1 (1) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dapat dilakukan terhadap Barang dalam rangka:

    13. menjaga rnutu Barang tujuan Ekspor;

    14. meningkatkan daya saing dan citra produk Indonesia; dan latau c. mengembangkan pasar Ekspor produk Indonesia. (21 Pelaku Usaha yang akan melaksanakan Ekspor Barang yang wajib memenuhi SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi Perizinan Berusaha.

    (3)
    (1)

    (21 (3) (4) Ketentuan persyaratan dan tata cara Perrzinar, Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. Pasal 1 12 Tanda SNI atau tanda kesesuaian atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (5) dan Pasal 110 ayat (4) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi, Menteri, menteri, atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat menunjuk lembaga penilaian kesesuaian yang sudah terakreditasi untuk rLlang lingkup sejenis. Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2\ dilakukan paling lama untuk jangka waktu 2 (dua) tahun. Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terdaftar di direktorat jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga. BAB VIII PENGEMBANGAN EKSPOR Bagian Kesatu Pembinaan Pelaku EksPor Pasal 1 13 Pemerintah Fusat dapat menetapkan komoditas dan pasar tujuan Ekspor prioritas serta kebijakan Ekspor lainnya.

    (1)
    (2)

    Penetapan (21 Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan terlebih dahulu melalui rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. (3) Komoditas dan pasar tujuan Ekspor prioritas serta kebijakan Ekspor lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi rujukan kementerian/lembaga dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan Ekspor. Pasal 1 14 (1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka pengembangan Ekspor untuk perluasan akses pasar bagi Barang dan Jasa produksi dalam negeri. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian:

    1. insentif berupa fiskal dan/atau nonfiskal;

    2. fasilitas;

    3. informasi peluang pasar;

    4. bimbingan teknis;

    5. bantuan promosi dan pemasaran; dan

    6. pembiayaan, penjaminan, dan asuransi Ekspor. (3) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Pemerintah Pusat dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi, dan pemangku kepentingan lain. (41 Kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara terstandardisasi dan tersinkronisasi. (5) Menteri menetapkan standar pelaksanaan kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Menteri melakukan sinkronisasi kegiatan pembinaan yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga terkait. Pasal 1 15 Pasal I 15 (1) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) huruf a dapat berupa insentif di bidang perpajakan dan/atau kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perLrndang-undangan. (21 Insentif nonfiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal l14 ayat (2) huruf a terdiri atas:

    7. penyederhanaan persyaratan dan prosedur penerbitan perizinan danf atau nonperuzinan di bidang Perdagangan; dan latau b. pendampingan dalam pengurusan pendaftaran kekayaan intelektual, sertifikasi halal, sertifikasi mutu Barang, sertifikasi Jasa, sertifikasi profesi, danf atau sertifikasi lain. (3) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal lI4 ayat (2) huruf b dapat berupa:

    8. penyediaan ruang pamer produk Ekspor secara fisik dan/atau virtual;

    9. pemberian kesempatan untuk mengikuti kegiatan di pusat pengembangan desain;

    10. pemberian akses pemanfaatan pelayanan Pelaku Usaha berupa konsultasi dan pendampingan penyelesaian permasalahan Ekspor; dan/atau

    11. pemberian fasilitas lain. (4) Pemberian informasi peluang pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.14 ayat (2) huruf c dapat berupa informasi mengenai:

    12. analisa peluang pasar tujuan Ekspor;

    13. produk Ekspor;

    14. data Ekspor, Impor, Eksportir, dan pembeli dari luar negeri;

    15. promosi dagang di dalam dan luar negeri; dan f atau e. kontak dagang dari perwakilan Perdagangan di luar negeri atau perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

    (5)

    Pemberian bimbingan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (2) huruf d dilakukan terhadap Pelaku Usaha untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan pengembangan produk Ekspor. (6) Pemberian bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan melalui:

    1. sosialisasi/ seminar I adaptasi produk;

    2. lokakarya;

    3. temu wicara;

    4. pendidikan dan pelatihan Ekspor;

    5. program pendampingan; dan/atau

    6. kegiatan lain yang terkait dengan pengembangan Ekspor. (7) Pemberian bantuan promosi dan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat ^(21 hurufe dapat berupa:

    7. mengikutsertakan Pelaku Usaha yang berorientasi Ekspor pada pameran dagang di dalam dan di luar negeri;

    8. mengikutsertakan Pelaku Usaha yang berorientasi Ekspor pada misi dagang;

    9. pelaksanaan misi pembelian;

    10. pertemuan bisnis; dan/atau

    11. mengikutsertakan Pelaku Usaha yang berorientasi Ekspor pada kegiatan penghargaan di tingkat nasional dan internasional. (8) Pembiayaan, penjaminan, dan asuransi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal ll4 ayat (2) huruf f dapat dilaksanakan oleh lembaga keuangan yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal Ll4 ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Bagian Kedua Promosi Dagang Pasal 1 16 (1) Untuk memperluas akses pasar bagi Barang dan/atau Jasa produksi dalam negeri, Pemerintah Pusat danf atau Pemerintah Daerah berkewajiban memperkenalkan Barang dan/atau Jasa dengan Qara:

    12. menyelenggarakan promosi dagang di ^dalam negeri dan/atau di luar negeri; dan/atau

    13. berpartisipasi dalam ^promosi dagang di ^dalam negeri dan/atau di luar negeri. (2) Promosi dagang sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) dapat berupa:

    14. pameran dagang; dan

    15. misi dagang. (3) Pelaksanaan kegiatan promosi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di luar negeri ^oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga selain ^Pemerintah Fusat dan Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku ^Usaha dilakukan berkoordinasi dengan ^perwakilan ^Republik Indonesia di luar negeri di negara terkait. (4) Penyelenggaraan dan partisipasi dalam ^pameran dagang sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(2) ^huruf ^a dapat dilakukan secara luar ^jaringan dan ^dalam jaringan. Pasal 1 17 (1) Promosi dagang yang berupa pameran ^dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat ^(2) huruf a meliputi:

    16. pameran dagang internasional;

    17. pameran dagang nasional; atau

    18. pameran dagang lokal. (21 Pameran dagang sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah ^Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah ^Pusat dan Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha.

    (3)

    Dalam hal pameran dagang internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan di dalam negeri, selain dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan/atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggaraan pameran dagang internasional yang diselenggarakan oleh pemerintah luar negeri, perwakilan pemerintah luar negeri, Pelaku Usaha dari luar negeri danlatau lembaga dari luar negeri harus bekerja sama dengan Pelaku Usaha penyelenggara pameran dagang di dalam negeri. (41 Pemerintah Pusat dalam melakukan pameran dagang di luar negeri mengikutsertakan koperasi serta UMK-M. (5) Menteri mengoordinasikan pelaksanaan dan keikutsertaan pameran dagang internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang dilaksanakan di luar negeri oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau lembaga selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 1 18 (1) Pameran dagang internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal Il7 ayat (1) huruf a yang diselenggarakan di dalam negeri dengan kriteria meliputi:

    1. diikuti oleh peserta yang berasal dari luar negeri;

    2. memamerkan produk berupa Barang dan/atau Jasa yang berasal dari luar negeri; dan/atau

    3. diikuti oleh Eksportir Indonesia dan bertujuan utama untuk mendatangkan pembeli mancanegara sebagai bentuk promosi Ekspor produk Indonesia. (2) Pameran dagang nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal lI7 ayat (1) huruf b dengan kriteria meliputi:

    4. diikuti oleh peserta dari dalam negeri; dan

    5. memamerkan produk berupa Barang danf atau Jasa yang berasal dari beberapa provinsi.

    (3)

    Pameran (3) Pameran dagang lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal ll7 ayat (1) huruf c dengan kriteria meliputi:

    1. diikuti oleh peserta dari dalam negeri; dan

    2. memamerkan produk berupa Barang danf atau Jasa yang berasal dari satu atau beberapa kabupaten/kota. (41 Peserta yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan kriteria:

    3. warga negara aslng;

    4. perwakilan negara asing baik yang berdomisili di dalam negeri atau luar negeri; atau

    5. perusahaan Perdagangan asing atau ^perwakilan perusahaan Perdagangan asing baik yang berdomisili di dalam negeri atau luar negeri. (5) Produk berupa Barang dan/atau Jasa yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) huruf b dengan kriteria meliputi Barang dan/atau Jasa yang berasal dari:

    6. luar negeri;

    7. kawasan berikat;

    8. kawasan perdagangan bebas dan ^pelabuhan bebas; atau

    9. kawasan ekonomi khusus. Pasal 1 19 (1) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2\ Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta danf atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri diselenggarakan sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.

    (3)

    Setiap Pelaku usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang yang tidak mernenuh i Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif' Pasal 120

    (1)
    (2)

    Setiap penyelenggara yang menyelenggarakan pr-"tu.., -dagang nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan rencana penyelenggaraan dan laporan p.1ak.r.r""tt pameran dagang nasional kepada gubernur melalui perangkat daerah provinsi yang membidangi Perdagangan. Setiap penyelenggara yang menyelenggarakan p.-..u,t d"g^t g lokal sebagaimana dimaksud dalam i'asal ll7 ayat (1) huruf c wajib menyampaikan laporan rencana penyelenggaraan dan laporan p"1"k*^rr"r.tt pameran dagang lokal kepada tupati/wali kota melalui perangkat daerah kabupate n I kota yang membidangi Perdagangan' Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penyampaian laporan rencana penyelenggaraan dan i.potat - pelaksanaan pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

    (3)

    Pasal 121 (1) Promosi dagang yang berupa misi dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf b dilakukan dalam bentuk pertemuan bisnis internasional untuk memperluas peluang peningkatan Ekspor' (2) Misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kunjungan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha, danf atau lembaga lainnya dari Indonesia ke luar negeri dalam rangka melakukan kegiatan bisnis atau meningkatkan hubungan Perdagangan kedua negara' (3) Penyelenggaraan misi dagang dalam rangka kunjungan Pemerintah Fusat sebagaimana dimaksud pada ayat (21diselenggarakan oleh Menteri' (4) Dalam .

    (4)

    Dalam menyelenggarakan misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (2l,, Pemerintah Daerah melaporkan rencana dan hasil penyelenggaraan misi dagang kepada Menteri. (5) Menteri dapat memberikan mandat penyelenggaraan misi dagang sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) kepada direktur ^jenderal yang membidangi pengembangan ekspor nasional. Bagian Ketiga Penyelen ggaraar; Kemudahan, dan Keikutsertaan ^dalam ^Promo ^si ^Dagang dalam Rangka Kegiatan Pencitraan Indonesia Pasal 122 (1) Promosi dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) dilakukan dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagai upaya membangun gambaran atau citra positif Indonesia terhadap Barang dan/atau Jasa di dalam dan di luar negeri. (2) Promosi dagang sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) dapat dilakukan di dalam danf atau di luar ^negeri. Pasal 123 (1) Tata cara penyelenggaraan promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 rnemenuhi kriteria ^sebagai berikut:

    1. menampilkan simbol/logo citra Indonesia ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang- undangan;

    2. menampilkan tema (tagline) citra Indonesia ^yang memiliki ciri khas, mengandung filosofi negara, dan mudah diingat; dan/atau

    3. penayangan danf atau penyebarluasan profil citra Indonesia.

    (2)

    Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat menampilkan sub tema (sub tagline) masing-masing daerah. (3) Tata cara penyelenggaraan promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 124 (1) Penyelenggaraan promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dilakukan di luar negeri, ^harus berkoordinasi dengan perwakilan Republik Indonesia di negara terkait. (21 Dalam hal pendanaan penyelenggaraan ^promosi dagang dalam rangka kegiatan ^pencitraan ^Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara danf ^atau anggaran pendapatan dan belanja ^daerah, penyelenggaraan promosi dagang dilakukan secara terkoordinasi atau secara bersama-sama. Pasal 125 (1) Dalam pelaksanaan promosi dagang dalam ^rangka kegiatan pencitraan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122, Pemerintah Pusat ^dan f ^atau Pemerintah Daerah dapat memberikan kemudahan kepada Pelaku Usaha dan f atau lembaga ^selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. (2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dapat berupa:

    1. penerbitan surat dukungan ^penyelenggaraan kegiatan promosi dagang dalam rangka kegiatan kampanye pencitraan Indonesia; dan/atau

    2. bantuan sarana dan prasarafla serta informasi. Pasal 126. Pasal 126 Keikutsertaan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota pada promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia yang pendanaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja rlegara, anggaran pendapatan dan belanja daerah diprioritaskan diberikan kepada Pelaku Usaha skala usaha kecil dan usaha menengah yang berorientasi pada Ekspor. Pasal 127 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan, kemudahan, dan keikutsertaan pada promosi dagang dalam rangka kegiatan pencitraan indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 sampai dengan Pasal 126 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX METROLOGI LEGAL Bagian Kesatu persetujuan Tipe Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan (1)

      Pasal 128

      Setiap Alat Ukur, Alat Takar, Aiat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang diproduksi di dalam negeri sebelum beredar di pasar atau yang berasal dari Impor sebelum memasuki wilayah Republik Indonesia wajib memiliki Persetujuan Tipe. Ketentuan lebih lanjut mengenai daftar Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang wajib memiliki Persetujuan Tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. (2t (3) Daftar Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah berdasarkan keputusan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian, yang dihadiri menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakili yang diberikan kewenangan untuk dan atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian. (4) Ketentuan persyaratan dan tata cara penerbitan Persetujuan Tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.


      Pasal 129

      Setiap Pelaku Usaha yang memproduksi di dalam negeri atau mengimpor Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang:


    3. tidak memiliki Persetujuan Tipe; atau

    4. tidak sesuai dengan Persetujuan Tipe yang dimiliki, dikenai sanksi administratif. Pasal 130 (1) Persetujuan Tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (i) diperoleh berdasarkan evaluasi tipe yang meliputi:

    5. pemeriksaan tipe;

    6. pengujian tipe; dan

    7. penerbitan sertifikat evaluasi tipe. (2) Petunjuk teknis mengenai Persetujuan Tipe dan evaluasi tipe ditetapkan oleh Menteri. Bagian Bagian Kedua Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan Pasal 131 (1) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan wajib memiliki Perizinan Berusaha berupa tanda daftar usaha Reparasi Alat Ukur, ^Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan. (21 Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan ^Alat Perlengkapan sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) wajib telah didukung oleh Reparatir Alat Ukur, ^Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan. (3) Ketentuan persyaratan dan tata cara ^pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) sesuai ^dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ^mengenai penyelen ggaraan perizinan berusaha berbasis ri ^siko ^. Pasal 132 (1) Menteri memiliki kewenangan melakukan ^pembinaan, monitoring, dan evaluasi terhadap Pelaku Usaha ^yang melakukan kegiatan usaha Reparasi Alat Ukur, ^Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan. (21 Menteri men5rusun norma, standar, ^prosedur, ^dan kriteria pembinaan, monitoring, dan evaluasi ^kegiatan usaha Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, ^Alat ^Timbang, dan Alat Perlengkapan. (3) Gubernur DKI Jakarta untuk Provinsi DKI Jakarta atau bupati/wali kota melakukan ^pembinaan, monitoring, dan evaluasi terhadap Pelaku Usaha ^yang melakukan kegiatan usaha Reparasi Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan di ^wilayah kerjanya berpedoman kepada norma, ^standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud ^pada ayat (2). Bagian Bagian Ketiga Kuantitas BDKT Pasal 133 (1) Pengaturan tentang BDKT dilakukan untuk memastikan pencantuman ^pelabelan kuantitas ^dan kesesuaian kuantitas. (2\ Pengaturan tentang BDKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk BDKT yang kuantitas nominalnya dinyatakan dalam berat, volume, ^panjang, luas, atau ^jumlah hitungan, yang merupakan:

    8. produksi di dalam negeri;

    9. Impor; dan

    10. Barang atau komoditas ^produksi dalam ^negeri atau asal Impor yang dikemas di wilayah ^Republik Indonesia. (3) Pengaturan tentang BDKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap Barang yang dijual dalam keadaan terbungkus atau dikemas ^yang isinya makanan atau minuman yang menurut kenyataannya mudah basi atau tidak tahan lebih dari 7 ^(tujuh) ^hari.

      Pasal 134

      Pelaku Usaha yang mengemas atau ^membungkus ^Barang, memproduksi, atau mengimpor BDKT ^untuk diperdagangkan wajib mencantumkan kuantitas ^pada kemasan dan/atau label. Pasal 135 (1) Pencantuman kuantitas pada kemasan dan/atau label BDKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^134 ^paling sedikit meliputi isi bersih, berat bersih atau ^neto, jumlah hitungan, berat tuntas, panjang, danf atau luas. (21 Pencantuman kuantitas pada kemasan dan/atau label BDKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pencantuman satuan ukuran, lambang satuan, atau hitungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Selain pencantuman kuantitas, pada kemasan danf atau label BDKT wajib dicantumkan informasi mengenai:


    11. nama Barang; dan

    12. nama serta alamat perusahaan. Pasal 136 (1) Informasi yang dicantumkan pada kemasan dan/atau label BDKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^135 harus menggunakan tulisan yang mudah dibaca, ^jelas, benar, dan menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal 21. (21 Pencantuman informasi pada kemasan dan/atau label BDKT dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas, tidak mudah luntur atau rusak, serta mudah untuk dilihat dan dibaca. (3) Pencantuman informasi pada kemasan dan f atau label BDKT harus bersifat tetap. Pasal 137 (1) Pelaku Usaha yang mengemas atau membungkus Barang, memproduksi, atau mengimpor BDKT untuk diperdagangkan wajib menjamin kebenaran ^kuantitas yang tercantum dalam kemasan dan/atau label. (2) Kebenaran terhadap kuantitas BDKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan toleransi sesuai batasan yang sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. BAB X PELAKSANAAN PENGAWASAN KEGIATAN PERDAGANGAN Bagian Kesatu Ruang Lingkup Pengawasan Kegiatan Perdagangan

      Pasal 138

      Kewenangan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan dilakukan terhadap:


    13. Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan;

    14. Perdagangan Barang yang diawasi, dilarang, ^dan/atau diatur;

    15. Distribusi Barang;

    16. Perdagangan Jasa;

    17. penggunaan atau kelengkapan label ^berbahasa Indonesia;

    18. pendaftaran Barang produk dalam negeri dan asai Impor yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;

    19. Barang yang diberlakukan SNI dan persyaratan teknis secara wajib yang diperdagangkan;

    20. Jasa yang diberlakukan SNI, ^persyaratan ^teknis, ^dan kualifikasi secara wajib;

    21. Perrzinan Berusaha terkait Gudang;

    22. penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan f atau Barang Penting;

    23. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik; dan

    24. lembaga penilaian kesesuaian yang ^melakukan sertifikasi Barang dan/atau Jasa yang diperdagangkan sesuai SNI, ^persyaratan ^teknis, ^dan kualifikasi sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. Bagian PRES tDEN REPUBLIK INDONESIA Bagian Kedua Kewenangan Pengawasan Pasal 139 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai wewenang melakukan pengawasan di bidang Perdagangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Kewenangan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. (3) Menteri mempunyai wewenang melakukan pengawasan di bidang Perdagangan di tingkat nasional. (4) Kewenangan pengawasan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur. (5) Gubernur mempunyai wewenang melakukan pengawasan di bidang Perdagangan di wilayah kerjanya. (6) Selain gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bupati/wali kota mempunyai wewenang melakukan pengawasan di bidang Perdagangan berupa:

    25. bahan berbahaya;

    26. pupuk serta pestisida dalam rangka pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan penggunaan pupuk bersubsidi;

    27. Gudang;

    28. minuman beralkohol; dan

    29. Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting di wilayah kerjanya.

    (7)

    Pengawasan . (71 Pengawasan di bidang Perdagangan yang menjadi kewenangan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak termasuk kewenangan pengawasan tata niaga Impor setelah melalui kawasan pabean. Pasal 140 (1) Menteri mendelegasikan kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (3) kepada direktur ^jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga. (21 Gubernur mendelegasikan kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (5) kepada kepala dinas provinsi yang tugas dan tanggung ^jawabnya di bidang Perdagangan. (3) Bupati/wali kota mendelegasikan kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (6) kepada kepala dinas kabupatenlkotayang tugas dan tanggung ^jawabnya di bidang Perdagangan. Pasal 141 Menteri, gubernur, bupati/wali kota dalam melakukan pengawasan dapat berkoordinasi dengan instansi teknis terkait, Pasal 142 (1) Menteri menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan. (21 Gubernur dan/atau bupati/wali kota melakukan pengawasan kegiatan Perdagangan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Menteri. Bagian Bagian Ketiga Pelaksana Pengawasan

    Pasal 143

    Pengawasan kegiatan Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dilaksanakan oleh petugas pengawas yang terdiri dari:

    1. Petugas Pengawas Perdagangan; dan/atau

    2. PPNS.DAG. Pasal 144 Menteri mempunyai wewenang menunjuk Petugas Pengawas Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 huruf a di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan, dinas provinsi, dan dinas kabupaten/kota yang membidangi Perdagangan. Pasal 145 (1) Dalam hal Pemerintah Daerah belum memiliki Petugas Pengawas Perdagangan dan/atau PPNS-DAG sebagaimana dimaksud dalam Pasal I43, gubernur atau bupati/wali kota dapat mengusulkan pegawai untuk melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan kepada Menteri. (2) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri melalui direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga sesuai delegasi kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) menetapkan pegawai di daerah yang melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan. Bagian Bagian Keempat Pelaksanaan Pengawasan Kegiatan Perdagangan


    Pasal 146

    Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan meliputi:

    1. pengawasan berkala atau rutin; dan

    2. pengawasan khusus atau insidental. Pasal 147 (1) Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan secara berkala atau rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf a dilakukan berdasarkan objek pengawasan secara terencana dan terjadwal. (21 Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan secara khusus atau insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf b dilakukan sewaktu-waktu. Pasal 148 (1) Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan secara berkala atau rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf a dilakukan berdasarkan klasifikasi risiko yang telah ditetapkan. (21 Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan secara khusus atau insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 huruf b dilakukan berdasarkan:

    3. pengaduan masyarakat;

    4. informasi melalui media cetak, media elektronik, media lainnya; atau

    5. informasi lainnya mengenai isu kegiatan Perdagangan.


    Pasal 149

    Pasal 149 Dalam rangka pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan Luar Negeri, direktorat ^jenderal yang membidangi kepabeanan memberikan data Ekspor dan Impor kepada direktorat ^jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga, secara waktu nyata melalui sistem teknologi informasi yang terintegrasi. Bagian Kelima Pengawasan Kegiatan Perdagangan Bidang Impor Setelah Melalui Kawasan Pabean Pasal 150 (1) Pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan setelah melalui kawasan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, kewajiban pendaftaran Barang sebelum diimpor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2), dan kewajiban memiliki Persetujuan Tipe untuk Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang berasal dari Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:

    1. pemeriksaan kesesuaian data pemberitahuan pabean Impor;

    2. pemeriksaan khusus terhadap dokumen Impor; dan/atau

    3. pengawasan kewajiban tata niaga Impor setelah Barang melalui kawasan pabean. (2) Pengawasan kegiatan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh petugas pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143. (3) Menteri menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 151 (1) Pemeriksaan kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf a, dilakukan terhadap data pemberitahuan pabean Impor yang diterima melalui sistem informasi yang terintegrasi terhadap data Perizinan Berusaha di bidang Impor dalam sistem informasi yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan. (2) Data pemberitahuan pabean Impor yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakses melalui sistem informasi yang dikelola kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan. (3) Data pemberitahuan pabean Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (21terdiri atas:

    4. nomor dan tanggal Perizinan Berusaha di bidang Impor;

    5. ^jumlah atau volume Impor Barang; dan/atau

    6. nomor dan tanggal dokumen verifikasi atau penelusuran teknis. Pasal 152 (1) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) huruf b dapat dilakukan berdasarkan:

    7. hasil pemeriksaan kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151; atau

    8. informasi dari instansi pemerintah terkait dan/atau masyarakat. (21 Pemeriksaan khusus berdasarkan hasil pemeriksaan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dalam hal Importir diduga:

    9. tidak memiliki Perizinan Berusaha di bidang Impor;

    10. Barang yang diimpor melebihi ^jumlah atau volume yang tercantum dalam Perizinan Berusaha di bidang Impor; dan/atau

    11. tidak memiliki dokumen verifikasi atau penelusuran teknis. Pasal 153 (1) Selain terhadap Importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2), pemeriksaan khusus dilakukan terhadap Importir yang telah ditetapkan sebagai Importir dengan klasifikasi risiko tertentu. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Importir dengan klasifikasi risiko tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 154 (1) Pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 dan Pasal 153, dilaksanakan melalui pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran dokumen asli persyaratan Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal diperlukan, pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta klarifikasi kepada Importir dan memeriksa kesesuaian antara realisasi ^jumlah atau volume Impor dengan pencatatan masuk Barang asal Impor di domisili Importir dan/atau lokasi lain di mana Barang asal Impor tersimpan. (3) Apabila berdasarkan pemeriksaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Importir terbukti:

    12. tidak memenuhi kewajiban kepemilikan Perizinan Berusaha di bidang Impor;

    13. tidak memenuhi kewajiban kepemilikan dokumen verifikasi atau penelurusan teknis; dan/atau

    14. realisasi ^jumlah atau volume Barang yang diimpor melebihi ^jumlah atau volume yang tercantum dalam P erizinan Beru saha, dilanjutkan dengan pengawasan kegiatan Perdagangan berdasarkan rLlang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138. Bagian Keenam Tindak Lanjut Pengawasan Pasal 155 (1) Petugas Pengawas Perdagangan membuat laporan hasil pengawasan kepada direktur ^jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga dan/atau kepala dinas yang membidangi urusan Perdagangan di provinsi dan/atau kabupatenlkota sesuai wilayah kerja Petugas Pengawas Perdagangan. (2) Petugas Pengawas Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan dapat merekomendasikan pengenaan sanksi administratif dan/atau tindak lanjut penegakan hukum pidana. Pasal 156 (1) Dalam hal diduga terdapat pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan, PPNS-DAG dapat melakukan pengamanan terhadap Barang hasil pengawasan dan/atau lokasi objek pengawasan atau tempat Barang hasil pengawasan ditemukan. (21 Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemasangan tanda pengaman. (3) Pemutusan tanda pengaman dilakukan oleh PPNS- DAG.


    (4)

    Pelaku Usaha atau pihak lain yang menguasai Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk memindahtangankan, memanfaatkan, atau melakukan tindakan lain yang mengakibatkan perubahan pada jumlah, bentuk, ^jenis, dan/atau tipe Barang selama dilakukan pengamanan. (5) Pelaku Usaha atau pihak lain yang menguasai Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk membuka, melepas, atau merusak tanda pengaman. (6) Pelaku Usaha atau pihak lain yang menguasai Barang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (41dan ayat (5) dikenai sanksi administratif. Pasal 157 (1) Dalam hal ditemukan bukti awal dugaan terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, Petugas Pengawas Perdagangan danlatau pegawai yang telah ditetapkan melaporkannya kepada PPNS-DAG atau pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Dalam hal ditemukan adanya dugaan tindak pidana atau mendapat laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPNS-DAG melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 158 (1) Pelaku Usaha wajib memberikan data dan informasi yang dibutuhkan oleh Petugas Pengawas Perdagangan, PPNS-DAG danlatau pegawai yang telah ditetapkan. (21 Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 159 (1) Petugas Pengawas Perdagangan dan/atau PPNS-DAG dapat melakukan pemanggilan kepada Pelaku Usaha.

    (2)

    Apabila Pelaku Usaha setelah pemanggilan kedua tetap tidak hadir, Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif. Bagian Ketujuh Tindak Lanjut Pelanggaran Pengawasan Perizinan Berusaha Setelah ^Melalui Kawasan Pabean Pasal 160 Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, Importir yang telah memiiiki Perizinan Berusaha dan/atau persyaratan Impor namun melakukan tindakan berupa:

    1. tidak atau salah mencantumkan data Perizinan Berusaha dan/atau dokumen verifikasi atau penelusuran teknis dalam dokumen pemberitahuan pabean Impor; dan/atau

    2. mencantumkan satuan ^jumlah atau volume Impor Barang dalam pemberitahuan pabean Impor yang tidak sesuai dengan satuan ^jumlah atau volume Impor Barang yang dinyatakan dalam Perizinan Berusaha, dikenai sanksi administratif. Pasal 161 (1) Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, ditemukan Importir yang tidak mencantumkan atau mencantumkan data Perizinan Berusaha danf atau dokumen verifikasi atau penelusuran teknis dalam dokumen pemberitahuan pabean Impor secara tidak benar karena tidak memiliki kelengkapan dokumen Perizinan Berusaha dan/atau persyaratan Impor, dikenai sanksi administratif. (21 Terhadap Barang Impor yang tidak dilengkapi dengan Perizinan Berusaha dan/atau verifikasi atau penelusuran teknis Impor, Menteri dapat menerbitkan perintah kepada Pelaku Usaha berupa:

    3. pelarangan mengedarkan untuk ^sementara waktu;

    4. penarikan Barang dari Distribusi; dan f ^atau c. pemusnahan Barang. (3) Menteri memberikan mandat kewenangan ^perintah pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu, penarikan Barang dari Distribusi, dan/atau pemusnahan Barang sebagaimana dimaksud ^pada ayat (21 kepada direktur ^jenderal yang ^membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga. Pasal 162 (1) Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan ditemukan Importir melakukan importasi Barang yang ^jumlahnya melebihi volume atau ^jumlah yang tercantum dalam P erizinan Berusaha, dikenai sanksi administratif. (2) Terhadap Barang Impor yang ^jumlahnya melebihi volume atau ^jumlah yang tercantum dalam Perrzinan Berusaha, Menteri dapat menerbitkan ^perintah kepada Pelaku Usaha berupa:

    5. pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu;

    6. penarikan Barang dari Distribusi; dan f atau c. pemusnahan Barang. (3) Menteri memberikan mandat kewenangan perintah pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu, penarikan Barang dari Distribusi, dan/atau pemusnahan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat {21 kepada direktur ^jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.

      Pasal 163

      Dalam hal Importir dikenai sanksi administratif, direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga menyampaikan surat permintaan larangan kegiatan importasi yang dilakukan oleh Importir kepada direktur ^jenderal yang membidangi kepabeanan, dan ditembuskan kepada direktur ^jenderal yang membidangi perdagangan luar negeri. Bagian Kedelapan Pembinaan Sumber Daya Manusia Pengawasan Pasal 164 Menteri melakukan pembinaan manusia pengawasan kegiatan provinsi, dan kabupaten/ kota. terhadap sumber daya Perdagangan di pusat, Pasal 165 Ketentuan mengenai petunjuk teknis persyaratan, pelatihan Petugas Pengawas Perdagangan, penunjukan pegawai untuk dapat melaksanakan pengawasan, dan pelaksanaan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 166 (1) Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 51, Pasal 55, Pasal 6l ayat (1), Pasal 64, Pasal 68, Pasal 91 ayat (1), Pasal 92 ayat(L), Pasal 93, Pasal 94 ayat (4), Pasal 97, Pasal 98 ayat (2), Pasal 98 ayat (3), Pasal 98 ayat (4), Pasal 99 ayat (1), Pasal 99 ayat (2), Pasal lO2 ayat (2lr, Pasal 103, Pasal lO4 ayat (1), Pasal 105 ayat (1), Pasal lO7 ayat (2)', Pasal lO7 ayat (7), Pasal 108 ayat (1), Pasal 109 ayat (1), Pasal 1 10 ayat (1), Pasal 1 10 ayat (4),, Pasal 1 1 1 ayat (2ll, Pasal 1 19 ayat (1), Pasal L2O ayat (1), Pasal l2O ayat (2), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129, Pasal 134, Pasal 137 ayat (1), Pasal 156 ayat (4), Pasal 156 ayat (5), Pasal 158 ayat (1), Pasal 159 ayat (2), Pasal 160, Pasal 161 ayat (l), danlatau Pasal 162 ayat (1), dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:


    7. teguran tertulis;

    8. penarikan Barang dari Distribusi;

    9. penghentian sementara kegiatan usaha;

    10. penutupan Gudang;

    11. denda; dan/atau

    12. pencabutanPerizinan Berusaha. (3) Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengenaan sanksi administratif kepada pemilik Gudang yang tidak melakukan pendaftaran Gudang. (4) Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan 2 (dua) mekanisme:

    13. secara bertahap; dan f atau b. secara tidak bertahap. (5) Pengenaan sanksi administratif berupa penarikan Barang dari Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, penutupan Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, danf atau pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (21huruf f dapat dilakukan secara tidak bertahap. Pasal 167 (1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal L66 tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidana untuk Pelaku Usaha dan/atau kegiatan usaha berisiko tinggi. (2) Pengenaan pertanggungjawaban pidana kepada Pelaku Usaha dan/atau kegiatan usaha berisiko tinggi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      Pasal 168

      Pasal 168 (1) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (21 huruf a dikenakan paling banyak 2 (dua) kali masing- masing untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja. (21 Sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri melalui direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga. Pasal 169 Sanksi administratif berupa penarikan Barang dari Distribusi dan penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) huruf b dan huruf c dikenakan sejak berakhirnya ^jangka waktu peringatan tertulis kedua sampai Pelaku Usaha melakukan perbaikan terhadap pelanggaran yang dilakukan. Pasal 170 (1) Sanksi administratif berupa penutupan Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) huruf d dikenakan kepada Pelaku Usaha yang merupakan pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang melanggar ketentuan kewajiban penyelenggaraan pencatatan administrasi Gudang. (21 Pengenaan sanksi penutupan Gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sejak berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis kedua sampai pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang melakukan perbaikan terhadap pelanggaran yang dilakukan. Pasal 171 (1) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) huruf e dikenakan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan pengenaan sanksi penarikan Barang dari Distribusi, penghentian sementara kegiatan usaha atau penutupan Gudang, Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan terhadap pelanggaran yang dilakukan. (2t (3) (41 (1) (2t Sanksi denda sebagaimana ^dimaksud pada ^ayat ^(1) sebesar Rp5.000.000,00 ^(lima ^juta ^rupiah) ^untuk ^tiap hari keterlambatan Pelaku Usaha ^melaksanakan perbaikan untuk paling lama 30 ^(tiga ^puluh) ^hari ^sejak pengenaan sanksi denda Pertama. Dimulainya pengenaan sanksi ^denda ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 dihitung ^sejak ^hari ^pertama setelah habisnya ^jangka ^waktu ^sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1). Tata cara penyetoran sanksi denda ^sebagaimana dimaksud pada ayat (2\ dilakukan ^sesuai ^dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan ^di ^bidang penerimaan negara bukan Pajak. Pasal I72 Sanksi administratif berupa ^pencabutan ^Pertzinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^166 ayat (21huruf f dikenakan kepada ^Pelaku Usaha ^yang telah memiliki Perizinan Berusaha ^yang ^tidak melakukan perbaikan terhadap ^pelanggaran ^yang dilakukan setelah selesainya ^jangka ^waktu ^penetapan sanksi denda sebagaimana dimaksud ^dalam ^Pasal ^171. Pelaku usaha yang dikenai sanksi ^pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dapat mengajukan Perizinan Berusaha ^kembali setelah ^jangka waktu 5 (lima) tahun sejak ^penetapan pencabut an P erizinan Beru saha.


      Pasal 173

      Sanksi administratif yang telah dikenakan ^kepada ^Pelaku Usaha dapat disampaikan kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait sebagai ^pertimbangan pengenaan sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 174 (1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha dalam rangka percepatan cipta kerja. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.


      Pasal 175

      Dalam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 176 Seluruh perizinan yang telah dikeluarkan berdasarkan peraturan pelaksanaan dari:


    14. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193); dan

    15. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2Ol4 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol4 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512), sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya pertzinan. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP

      Pasal 177

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini ^mulai berlaku, ^semua peraturan perundang-undangan yang ^merupakan peraturan pelaksanaan dari:


    16. Undang-Undang Nomor 2 Tahun ^1981 ^tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara ^Republik ^Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan ^Lembaran ^Negara Republik Indonesia Nomor 3193); dan

    17. Undang-Undang Nomor 7 ^Tahun ^2Ol4 ^tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik ^Indonesia Tahun 2OI4 Nomor 45, Tambahan ^Lembaran ^Negara Republik Indonesia Nomor 5512), yang telah ditetapkan sebelum Undang-Undang ^Nomor ^11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja ^(Lembaran ^Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, ^Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia ^Nomor ^6573). dinyatakan masih tetap berlaku ^sepanjang ^tidak bertentangan dengan ketentuan dalam ^Peraturan Pemerintah ini.

      Pasal 178

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai ^berlaku:


    18. Pasal 2 Peraturan Pemerintah ^Nomor 33 ^Tahun ^2Ol9 tentang Pengenaan Sanksi Administratif ^Kepada Pemilik Gudang Yang Tidak Melakukan Pendaftaran Gudang (Lembaran Negara Republik Indonesia ^Tahun 2Ol9 Nomor 90, Tambahan Lembaran ^Negara Republik Indonesia Nomor 63a6);

    19. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2018 ^tentang Penetapan Dan Pendaftaran Barang Terkait ^Dengan Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, Dan ^Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia ^Tahun 2Ol8 Nomor 131); dan

    20. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2OO7 ^tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 179 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku ^pada ^tanggal diundangkan. Agar. . . SK No 083613 A -\o2- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2l JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2O2l MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERDAGANGAN UMUM pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Ig4S mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan suatu Pemerintah Negara Ind6nesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, menterdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. -Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar wegara Republit< Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga ,r.f"." blrhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi keiranusiaan", oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan p.rrgfriarp".t y".r[ layat pada prinsipnya merupakan salah -satu aspek p..rIitrg dalam p"rrrU""grnan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah Pusat telah metakukan berbagai upaya untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta ttt.ndotong pengembangan koperasi dan UMK-M dengan iu3ran untuk meningkatkan perekonomian nasional yang akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja menjadi salah satu upaya Pemerintah Pusat dalam mencapai hal-hal tersebut di atas. Selanjutnya, untuk mengimplementasikan pengaturan dalam Undang- Undang Nbmor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu disusun peraturan pelaksanaan sebagai instrumen yang menjalankan undang-undang a quo' ialah satunya Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan. Adapun materi pokok pengaturan dalam Peraturan pemerintah tersebut pada prinsipnya terkait dengan penataan kewenangan, penataan perizinan, dan penataan sanksi. Dalam penataan kewenangan, perizinan di bidang Perdagangan yang semula merupakan kewenangan il4enteri dan Pemerintah Daerah ditata kembali menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Hal ini dilakukan dengan tujuan: I a. mengatasi konflik ^peraturan ^perundang-undangan ^secara ^cepat, efektif, dan efisien;

    21. menyeragamkan kebijakan Pemerintah baik ^di ^tingkat ^pusat ^maupun daerah untuk menunjang iklim investasi;

    22. pengurusan perizinan secara efisien, ^efektif, dan terpadu;

    23. mampu memutus rantai birokrasi;

    24. meningkatkan hubungan koordinasi ^antarinstansi terkait ^karena ^telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation ^yang ^terpadu; ^dan f. adanya ^jaminan kepastian hukum dan ^perlindungan ^hukum ^bagi pengambil kebrjakan. Penataan perizinan (mengubah kata "tzir{ ^menjadi ^"Perrzinatl Berusaha") mengubah ^paradigma pengaturan kegiatan ^usaha ^di ^bidang Perdagangan menggunakan ^pendekatan ^berbasis ^risiko (risk ^based approach). Dalam pendekatan ^berbasis ^risiko, ^setiap kegiatan ^usaha ^di bidang Perdagangan akan dilakukan ^analisis ^risiko ^untuk ^menentukan ^jenis perizinan dan pengawasan yang dilakukan ^terhadap kegiatan ^Perdagangan tersebut. Penataan sanksi dilakukan dengan ^menata ^kembali ^pengenaan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 7 ^Tahun ^2OI4 ^tentang ^Perdagangan. Terhadap pelanggaran administratif ^akan dikenakan sanksi ^administratif. Sanksi pidana sifatnya ultimum ^remedium, ^hanya dikenakan ^kepada ^Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha di ^bidang ^Perdagangan yang mempunyai risiko tinggi atau ^membahayakan ^keamanan, ^keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup, ^sementara ^untuk ^kegiatan usaha berisiko rendah/sedang dikecualikan dari ^pengenaan ^sanksi pidana ^sesuai ^dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan' Adapun lingkup pengaturan dalam ^Peraturan Pemerintah ^ini ^meliputi:

  9. kebijakan dan ^pengendalian Ekspor dan Impor;

  10. penggunaan atau kelengkapan ^label berbahasa Indonesia;

  11. Distribusi Barang;

  12. sarana Perdagangan;

  13. standardisasi;

  14. pengembangan Ekspor;

  15. metrologi legal; dan

  1. pengawasan ^. PRES tDEN REPUBLIK INDONESIA /) -)- 8. pengawasan kegiatan Perdagangan dan ^pengawasan ^terhadap ^Barang yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan. Beberapa pengaturan baru dalam Peraturan Pemerintah ini ^antara lain penggunaan neraca komoditas dalam penerbitan persetujuan Ekspor ^dan persetujuan Impor yang menggantikan rekomendasi ^dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait ^yang ^selama ^ini dijadikan pertimbangan. Terdapat pula ^perbaikan Seruice ^Leuel Agreement fianji ^layanan) ^dan ^fiktif ^positif yang ^menyatakan ^bahwa ^permohonan Perizinan Berusaha yang telah lengkap, namun ^Perizinan ^Berusaha ^belum diterbitkan dalam ^jangka waktu ^yang ditetapkan ^sesuai dengan ^ketentuan peraturan perundang-undangan, dilakukan penerbitan Perizinan Berusaha secara otomatis melalui sistem yang terintegrasi. Selain ^itu, ^bagi ^Pelaku Usaha yang dikategorikan sebagai Eksportir dan ^Importir ^yang ^bereputasi baik dapat diberikan kemudahan atas Perizinan ^Berusaha ^pada ^masing- masing kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. Terkait dengan laporan surveyor yang sebelumnya menjadi ^kewajiban sebagian besar komoditas yang akan diekspor atau diimpor, ^dengan Peraturan Pemerintah ini laporan surveyor tersebut hanya ^akan diwajibkan bagi Barang tertentu yang ditetapkan melalui rapat koordinasi ^di kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, ^dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan ^pemerintahan ^di bidang perekonomian. Adanya sistem yang terintegrasi diharapkan ^pula ^akan ^mempercepat dan mempermudah proses pelayanan dan ^pengawasan ^petrzinan ^yang sebelumnya dilakukan melalui sistem masing-masing ^kementerian teknis yang tidak saling terintegrasi satu sama lain. Dengan adanya beberapa pengaturan baru dalam ^Peraturan Pemerintah yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor ^11 ^Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja dalam rangka ^penyelenggaraan ^bidang Perdagangan ini, diharapkan akan memberikan ^kepastian ^hukum ^dan kemudahan bagi dunia usaha sehingga dapat ^meningkatkan ^investasi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup ^jelas. Pasal 2 Cukup ^jelas.
    Pasal 3

    Pasal 3 Ayat (1) Pelaksanaan kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor oleh Menteri dilakukan setelah mendengarkan masukan dari Pelaku Usaha. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Eksportir yang tidak memiliki NIB atau Pertzinan Berusaha dapat melakukan Ekspor yang tidak dilakukan untuk kegiatan usaha antara lain:

    1. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dibuktikan dengan pertimbangan teknis dari instansi terkait;

    2. Barang sebagai hibah, hadiah atau pemberian untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam ^yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi teknis terkait;

    3. Barang Impor yang ditolak oleh pembeli di dalam negeri kemudian diekspor kembali dengan ^jumlah paling banyak sesuai dengan Pemberitahuan Impor Barang ^(PIB);

    4. Barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan ^yang dibuktikan dengan pertimbangan teknis dari instansi terkait;

    5. Barang pindahan;

    6. Barang pameran yang dibuktikan dengan undangan pameran;

    7. Barang pribadi Penumpang;

    8. Barang awak sarana Pengangkut;

    9. Barang pelintas batas; dan

    10. Barang kiriman. Ayat (3) - 'Yang dimaksud dengan "kegiatan Ekspor tertentu" adalah kegiatan Ekspor Barang tertentu dalam rangka pengendalian dan diperlukan Perizinan Berusaha dari Menteri. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Selain neraca komoditas, penerbitan persetujuan Ekspor juga mempertimbangkan persyaratan lain yang tertuang dalam norma, standar, persyaratan, dan kriteria Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) CukuP jelas. Ayat (2) CukuP jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "kegiatan Impor tertentu" adalah kegiatan Impor Barang tertentu dalam rangka pengendalian dan ,diperlukan Perizinan Berusaha dari Menteri' Ayat (a) Importir yang tidak memiliki NIB yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir (API) atau Perizinan Berusaha dapat melakukan Impor yang tidak dilakukan untuk kegiatan usaha antara lain: a Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dibuktikan dengan keterangan dari keme nterian yang menyelenggarakan urusan peme rintahan di bidang riset; Barang sebagai hibah, hadiah atau pemberian untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam yang dibuktikan dengan sertifikat hibah yang ditandasahkan oleh perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan surat keterangan dari kementerian atau lembaga terkait; Barang yang merupakan obat-obatan dan peralatan kesehatan yang menggunakan anggaran pemerintah yang dibuktikan dengan Surat Perintah Kerja (SPK); Barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan dan pengujian yang diimpor kembali dalam jumlah yang paling banyak sama dengan jumlah pada saat diekspor sesuai dengan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB); Barang Ekspor yang ditolak oleh pembeli di luar negeri kemudian diimpor kembali dengan jumlah paling banyak sesuai dengan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB); Barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan yang dibuktikan dengan surat pernyataan bermeterai dari pengguna, kecuali Barang produk kehutanan; Barang untuk keperluan instansi pemerintah/lembaga negara lainnya yang diimpor sendiri oleh instansi/lembaga dimaksud yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari instansi teknis terkait; Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia; Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia; Barang pindahan yang dibuktikan dengan surat keterangan dari perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri; Barang untuk keperluan pameran yang dibuktikan dengan surat pernyataan bermeterai dari pengguna; Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, atau pelintas batas;

    11. Barang . . b c d e f o b' h J. k I m. Barang keperluan pameran di luar negeri yang diimpor kembali dengan kuantitas paling banyak sama dengan saat dikirim yang dibuktikan dengan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB); dan

    12. Barang kiriman bernilai paling tinggi Free on Board (FOB) USD 1.500 (seribu lima ratus dolar Amerika) melalui penyelenggara pos dengan menggunakan pesawat udara' Yang dimaksud dengan "penyelenggara pos" adalah suatu badan usaha yang menyelenggarakan pos. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (6) Selain neraca komoditas, penerbitan persetujuan Impor juga mempertimbangkan persyaratan lain yang tertuang dalam norma, standar, persyaratan, dan kriteria Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan. Ayat (7) - Yang dimaksud dengan "data" antara lain informasi dari pelaku industri, asosiasi, dan sebagainya. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (e) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) yang dimaksud dengan "sistem tunggal" adalah sistem Indonesia N ational Single Window. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup ^jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) - Yang dimaksud dengan "dalam ^hal ^tertentu" ^adalah dalam ^hal Barang yang dibutuhkan oleh ^Pelaku Usaha ^berupa ^Barang modal bukan baru yang belum ^dapat dipenuhi ^dari ^sumber dalam negeri sehingga ^perlu diimpor ^dalam ^rangka ^proses produksi industri untuk tujuan ^pengembangan ^Ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, ^investasi ^dan ^relokasi industri, pembangunan infrastruktur, ^dan/atau ^diekspor kembali. Selain itu, dalam hal terjadi bencana ^alam ^dibutuhkan ^Barang atau peralatan dalam kondisi tidak ^baru ^dalam ^rangka pemulihan dan pembangunan kembali ^sebagai ^akibat ^bencana alam serta Barang bukan baru untuk ^keperluan lainnya ^sesuai dengan ketentuan ^peraturan ^perundang-undangan. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 10 Cukup ^jelas Pasal 1 1 Cukup ^jelas Pasal 12 Cukup ^jelas. Pasal 13 Ayat (1) - Yang dimaksud dengan ^"neraca komoditas" adalah ^data ^dan informasi yang memuat antara ^lain ^situasi ^konsumsi ^dan produksi komoditas tertentu untuk ^kebutuhan penduduk ^dan keperluan industri dalam kurun ^waktu tertentu ^yang ^ditetapkan dan berlaku secara nasional. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 14 ... SK No 085291 A Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas Pasal 16 Cukup ^jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "kemudahan" ^dapat berbentuk ^antara lann auto permit (penerbitan ^pertzinan ^secara ^otomatis) tanpa menghilangkan kewenangan ^pemeriksaan. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Tempat penimbunan berikat merupakan ^kawasan ^yang ditetapkan dengan tujuan khusus ^dan ^diberikan ^kemudahan diantaranya pengecualian ^pemberlakuan ketentuan ^pembatasan di bidang Ekspor dan ImPor. Ketentuan pembatasan di bidang ^Impor tetap berlaku ^atas pengeluaran Barang dari tempat ^penimbunan berikat ^ke tempat lain dalam daerah pabean, kecuali ^Barang ^hasil ^produksi ^yang telah mengalami proses ^pengolahan di ^dalam ^kawasan ^dimaksud danf atau saat ^pemasukannya ^sudah dipenuhi ^ketentuan pembatasannya. Ayat (3) Kemudahan Impor tujuan Ekspor ^merupakan ^salah ^satu kebijakan kemudahan dengan ^pemberian ^fasilitas ^pembebasan bea masuk atas Impor dan ^pemasukan Barang dan bahan ^untuk diolah, dirakit atau dipasang ^yang Barang ^hasil ^produksinya untuk tujuan Ekspor. Pengecualian ^pemberlakuan ketentuan pembatasan Ekspor dan Impor diberikan ^dalam rangka ^untuk mendorong peningkatan Ekspor nasional. sK No 083603 A Avat (4) ' ' Ayat (a) Berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional ^yang mencakup antara lain keamanan, ^keselamatan, ^kesehatan, dan/atau lingkungan hidup, Menteri diberikan ^kewenangan untuk dapat menetapkan berlakunya ^ketentuan ^pembatasan Ekspor dan Impor. Pasal 19 Cukup ^jelas. Pasal 2O Cukup ^jelas Pasal 2 1 Cukup ^jelas Pasal 22 Cukup ^jelas Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas Pasal 26 Cukup ^jelas Pasal 27 Cukup ^jelas. Pasal 28 Cukup ^jelas Pasal 29 Cukup ^jelas. Pasal 30 Cukup ^jelas. Pasal 31 Cukup ^jelas.


    Pasal 32

    Pasal 32 Cukup ^jelas Pasal 33 Cukup ^jelas. Pasal 34 Cukup ^jelas Pasal 35 Cukup ^jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas Pasal 37 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "toko dengan sistem ^pelayanan konvensional" adalah toko yang tidak ^menerapkan ^sistem pelayanan mandiri, seperti misalnya toko kelontong dan warung. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 38 Cukup ^jelas Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas Pasal 42 Cukup ^jelas Pasal 43 Cukup ^jelas Pasal 44 Cukup ^jelas Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Cukup ^jelas Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas Pasal 49 Cukup ^jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas Pasal 51 Cukup ^jelas Pasal 52 Cukup ^jelas Pasal 53 Cukup ^jelas. Pasal 54 Cukup ^jelas Pasal 55 Cukup ^jelas Pasal 56 Cukup ^jelas. Pasal 57 Yang dimaksud dengan "Barang" adalah ^Barang yang ^tidak ^berasal dari Impor. Pasal 58 Yang dimaksud dengan "Barang ^yang mudah ^basi ^atau ^tidak ^tahan lebih lama dart 7 ^(tujuh) hari" termasuk ^namun ^tidak ^terbatas ^pada produk-produk makanan seperti roti, tempe, tahu, dan ^sebagainya. Pasal 59 Cukup ^jelas Pasal 6O Cukup ^jelas Pasal 61 Cukup ^jelas. Pasal 62 Cukup ^jelas. Pasal 63 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "sistem ^yang terintegrasi" ^adalah ^sistem pelayanan sektor Perdagangan yang dilakukan secara daring. Pasal 64 Cukup ^jelas Pasal 65 Cukup ^jelas Pasal 66 Cukup ^jelas Pasal 67 Cukup ^jelas Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas. Pasal 72 Cukup ^jelas. Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal T4 Cukup ^jelas Pasal 75 Cukup ^jelas Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup ^jelas Pasal 80 Cukup ^jelas Pasal 81 Cukup ^jelas. Pasal 82 Cukup ^jelas. Pasal 83 Cukup ^jelas Pasal 84 Cukup ^jelas


    Pasal 85

    Pasal 85 Cukup ^jelas Pasal 86 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "bangunan atau kawasan lain" meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas transportasi publik, apartemen, hotel, rumah sakit, atau perkantoran. Ayat (a) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "bangunan atau kawasan lain" meliputi fasilitas pendidikan, l,asilitas transportasi ^publik, apartemen, hotel, rumah sakit, atau perkantoran. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "bangunan atau kawasan lain" meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas transportasi publik, apartemen, hotel, rumah sakit, atau perkantoran. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Huruf a Yang dimaksud "produk khusus lainnya" adalah produk-produk dengan kategori spesifik yang dijual oleh minimarket, supermarket, dan hg permarket. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup ^jelas


    Pasal 90
    Pasal 90

    Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup ^jelas Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup ^jelas. Pasal 95 Cukup ^jelas Pasal 96 Cukup ^jelas Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas. Pasal 101 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup ^jelas Yang dimaksud dengan "bangunan atau ^kawasan ^lain" ^meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas transportasi ^publik, ^apartemen, ^hotel, rumah sakit, atau perkantoran. Pasal 104 Cukup ^jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas Pasal 1O6 Cukup ^jelas Pasal 107 Cukup ^jelas Pasal 108 Cukup ^jelas Pasal 1O9 Cukup ^jelas. Pasal 1 10 Cukup ^jelas Pasal 1 1 1 Cukup ^jelas Pasal 1 12 Cukup ^jelas. Pasal 1 13 Cukup ^jelas Pasal 1 14 Cukup ^jelas Pasal 1 15 Cukup ^jelas. Pasal 1 16 Cukup ^jelas Pasal 1 17 Cukup ^jelas. Pasal 1 18 Cukup jelas Pasal 1 19 Ayat (i) Yang dimaksud dengan "memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat" adalah memenuhi standar penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam pameran dagang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelen ggaraan perizinan berusaha berbasi s risiko. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 120 Cukup ^jelas. Pasal 121 Cukup ^jelas Pasal 122 Cukup ^jelas Pasal 123 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "simbol/logo citra Indonesia" adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur yang merepresentasikan kualitas Barang danf atau Jasa Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan "tema (tagline) citra Indonesia" adalah rangkaian kata atau kombinasi antara kata, angka, dan/atau gambar yang digunakan untuk merepresentasikan citra Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan "profil citra Indonesia" adalah gambaran yang memuat informasi di bidang Perdagangan Barang dan/atau Jasa, pariwisata danlatau penanaman modal yang merepresentasikan Indonesia secara keseluruhan. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "sub tema /sub tagline) masing-masing daerah" adalah dengan menampilkan ciri khas dan nilai filosofis daerah. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 124 Cukup ^jelas Pasal 125 Cukup ^jelas. Pasal 126 Cukup ^jelas. Pasal L27 Cukup ^jelas. Pasal 128 Cukup ^jelas Pasal 129 Cukup ^jelas Pasal 130 Cukup ^jelas Pasal 131 Cukup ^jelas Pasal 132 Cukup ^jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup ^jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas Pasal 136 Cukup jelas Pasal 137 Cukup ^jelas. Pasal 138 Cukup ^jelas Pasal 139 Cukup ^jelas. Pasal 14O Cukup ^jelas Pasal 141 Cukup ^jelas. Pasal. 142 Cukup ^jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Cukup ^jelas Pasal 146 Cukup ^jelas Pasal 147 Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas Pasal 149 Cukup ^jelas. Pasal 150 Cukup ^jelas Pasal 151 Cukup ^jelas.



    Pasal 152 Pasal 152 Cukup ^jelas. Pasal 153 Cukup ^jelas. Pasal 154 Cukup ^jelas. Pasal 155 Cukup ^jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Cukup ^jelas. Pasal 158 Cukup ^jelas. Pasal 159 Cukup ^jelas Pasal 160 Cukup ^jelas Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Cukup ^jelas. Pasal 163 Cukup ^jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Cukup ^jelas. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas Pasal 168 Cukup jelas Pasal 169 Cukup jelas. Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas Pasal 175 Cukup jelas Pasal 176 Cukup jelas. Pasal 177 Cukup jelas Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 664L

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):