Penyelenggaraan Bidang Perindustrian

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat Menetapkan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2O2I TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah ten tan g Pe nyelenggaraan Bidan g Pe rindu strian ; Pasal 5 ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2Ol4 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol4 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5a9; Undang-Undang Nomor I I Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); MEMUTUSKAN: PERATURAN PE M E RI NTAH TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERINDUSTRIAN. 1 2 3 SALINAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini ^yang ^dimaksud ^dengan:

  1. Industri adalah seluruh bentuk ^kegiatan ekonomi ^yang mengolah Bahan Baku dan/atau ^memanfaatkan ^sumber daya Industri sehingga menghasilkan ^barang ^yang mempunyai nilai tambah atau manfaat ^lebih ^tinggi, termasuk ^jasa Industri.

  2. Bahan Baku adalah bahan ^mentah, ^barang ^setengah ^jadi, atau barang ^jadi yang dapat diolah ^menjadi ^barang setengah ^jadi atau barang ^jadi ^yang ^mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.

  3. Bahan Penolong adalah bahan ^yang digunakan ^sebagai pelengkap dalam proses produksi untuk ^menghasilkan produk yang fungsinya sempurna sesuai ^parameter produk yang diharapkan. 4. Impor adalah kegiatan memasukkan ^barang ^ke ^dalam daerah pabean.

  4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan ^barang ^dari ^daerah pabean. 6. Sarana adalah segala sesuatu ^yang dapat ^dipakai ^sebagai alat dalam mencapai maksud ^atau tujuan.

  5. Prasarana adalah segala sesuatu ^yang ^merupakan penunj ang utama terselenggaranya suatu ^proses.

  6. Standardisasi Industri adalah ^proses ^merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara, ^memberlakukan, dan mengawasi standar bidang Industri ^yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja ^sarna ^dengan semua pemangku kepentingan.

  7. Spesifikasi Teknis adalah dokumen ^persyaratan ^teknis yang mengacu pada sebagian parameter SNI dan/atau standar internasional.

  8. Pedoman Tata Cara adalah dokumen ^yang berisi ^tata ^cara atau prosedur untuk desain, manufaktur, ^instalasi, pemeliharaatt atau utilisasi dari peralatan, struktur, atau produk.

  9. Pelaku Usaha adalah orang ^perseorangan atau ^badan usaha yang melakukan usaha dan/atau ^kegiatan ^pada bidang tertentu.

  10. Perusahaan Industri adalah setiap orang ^yang ^melakukan kegiatan di bidang usaha Industri ^yang berkedudukan ^di Indonesia.

  11. Perusahaan Kawasan Industri adalah ^perusahaan ^yang mengusahakan pengembangan dan ^pengelolaan Kawasan Industri.

  12. Kawasan Industri adalah kawasan tempat ^pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan ^Sarana ^dan Prasarana penunjang yang dikembangkan dan ^dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri.

  13. Perizinan Berusaha adalah legalitas ^yang ^diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.

  14. Industri Strategis adalah Industri ^yang ^penting ^bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah ^sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan ^dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara ^dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara.

  15. Standar Industri Hijau adalah standar untuk ^mewujudkan Industri hijau yang ditetapkan oleh Menteri.

  16. Data Industri adalah fakta yang dicatat atau ^direkam dalam bentuk angka, huruf, ^gambar, ^peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Industri.

  17. Data Kawasan Industri adalah fakta ^yang dicatat ^atau direkam dalam bentuk angka, huruf, ^gambar, ^peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan ^keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas ^nilai, ^dan belum diolah terkait dengan kegiatan ^Perusahaan Kawasan Industri.

  18. Teknologi Industri adalah hasil ^pengembangan, ^perbaikan, invensi, dan/atau inovasi dalam bentuk teknologi ^proses dan teknologi produk termasuk rancang bangun ^dan perekayasaan, metode, dan/atau sistem yang diterapkan dalam kegiatan Industri.

  19. Fasilitas Nonfiskal adalah kemudahan dari ^Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah yang diterima Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri dalam bentuk ^jasa, nilai kegunaan hak, nilai ^kegunaan barang, dan/atau nilai kegunaan bangunan fisik ^yang pemanfaatannya menimbulkan atau tidak menimbulkan keuntungan komersial, tanpa diikuti dengan ^pemindahan penguasaan atau kepemilikan hak, barang, dan/atau bangunan fisik tersebut dari Pemerintah ^Pusat ^dan/atau Pemerintah Daerah kepada Perusahaan Industri ^dan Perusahaan Kawasan Industri.

  20. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia ^yang selanjutnya disebut dengan KBLI adalah ^klasifikasi kegiatan ekonomi di Indonesia yang ditetapkan oleh ^kepala lembaga pemerintah nonkementerian ^yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik.

  21. Sistem Informasi Industri Nasional ^yang ^selanjutnya disingkat SIINas adalah tatanan ^prosedur dan ^mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, ^sumber daya manusia, basis data, ^perangkat ^keras ^dan ^lunak, serta ^jaringan komunikasi data ^yang ^terkait ^satu ^sama ^lain dengan tujuan untuk ^penyampaian, ^pengelolaan, penyajian, pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau informasi Industri.

  22. Petugas Pengawas Standar Industri ^yang ^selanjutnya disingkat PPSI adalah ^pegawai ^negeri sipil ^pusat ^atau daerah yang ditugaskan untuk melakukan ^pengawasan terhadap pelaksanaan ^penerapan atau ^pemberlakuan standar Industri.

  23. Komite Akreditasi Nasional ^yang ^selanjutnya ^disingkat KAN adalah lembaga nonstruktural ^yang ^bertugas ^dan bertanggung ^jawab di bidang akreditasi ^lembaga ^penilaian kesesuaian.

  24. Pemerintah Pusat adalah Presiden ^Republik ^Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan ^negara Republik lndonesia yang dibantu oleh ^Wakil ^Presiden ^dan menteri sebagaimana dimaksud dalam ^Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun ^1945.

  25. Pemerintah Daerah adalah kepala ^daerah ^sebagai ^unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang ^menjadi kewenangan daerah otonom.

  26. Menteri adalah menteri ^yang ^menyelenggarakan ^urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

    Pasal 2

    Lingkup pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ^ini meliputi:

    1. Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong;

    2. pembinaan b. pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian;

    3. Industri Strategis;

    4. peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri; dan

    5. tata cara pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri. BAB II BAHAN BAKU DAN/ATAU BAHAN PENOLONG Bagian Kesatu Penggunaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong oleh Perusahaan Industri Pasal 3 (1) Perusahaan Industri harus menggunakan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dalam proses produksi secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. (21 Jenis Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang dapat digunakan oleh Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

    6. Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dari alam;

    7. Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dari hasil produksi;

    8. Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dari hasil produk samping; dan

    9. Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dari hasil daur ulang. (3) Daftar jenis Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (21tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

      (4)

      Daftar jenis Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) dapat ^diubah dengan Peraturan Menteri berdasarkan ^persetujuan Presiden.


    Pasal 4

    Jenis Bahan Baku dan/atau Bahan ^Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat ^(21 diprioritaskan ^untuk kebutuhan Industri dalam negeri.


    Pasal 5

    Perusahaan Industri harus mengutamakan ^penggunaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong ^yang ^berasal ^dari dalam negeri. Bagian Kedua Kemudahan untuk Mendapatkan Bahan ^Baku ^dan/atau ^Bahan ^Penolong Paragraf 1 Umum Pasal 6 (1) Untuk menjaga kelangsungan ^proses ^produksi dan/atau pengembangan Industri, ^Pemerintah ^Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan ^kemudahan untuk mendapatkan Bahan Baku dan/atau ^Bahan Penolong. (21 Dalam memberikan kemudahan untuk ^mendapatkan Bahan Baku dan/atau Bahan ^Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah ^Pusat ^dan Pemerintah Daerah:

    1. menjamin ketersediaan Bahan ^Baku ^dan/atau Bahan Penolong dari dalam negeri atau ^luar negeri bagi Perusahaan Industri; dan

    2. menjamin penyaluran Bahan Baku ^dan/atau Bahan Penolong di dalam wilayah ^negara Republik Indonesia, sesuai dengan kewenangan masing-masing. Paragraf 2 Jaminan Ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong Pasal 7 Dalam rangka menjamin ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (21 huruf a, Pemerintah Pusat dapat melakukan:

    3. pelarangan atau pembatasan Ekspor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong; dan

    4. pemberian kemudahan Impor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong. Pasal 8 Jaminan ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dari dalam negeri dilakukan melalui:

    5. pemetaan dan penetapan wilayah penyediaan Bahan Baku dan f atau Bahan Penolong;

    6. pengenalan penggunaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong alternatif; dan

    7. pembangunan Industri hulu dan Industri antara berbasis sumber daya alam. Pasal 9 (1) Menteri men5rusun usulan pelarangan atau pembatasan Ekspor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a. (21 Usulan pelarangan atau pembatasan Ekspor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.

      (3)

      Usulan .

      (3)

      Usulan pelarangan atau pembatasan Ekspor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terkait dengan kebijakan fiskal disampaikan kepada menteri ^yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. (41 Usulan Menteri dalam rangka pelarangan Ekspor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan:

    8. merupakan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang strategis dan terbatas;

    9. sebagai cadangan penyangga ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong untuk Industri; dan/atau

    10. kepentingan nasional lainnya. (5) Usulan Menteri dalam rangka pembatasan Ekspor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan:

    11. Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sudah dapat diolah di dalam negeri, namun pasokannya belum mencukupi kebutuhan Industri;

    12. Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong ^yang diolah akan mempunyai nilai tambah yang tinggi;

    13. menjaga kestabilan harga Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong; dan/atau

    14. kepentingan nasional lainnya. (6) Usulan pelarangan atau pembatasan Ekspor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 10

    Pasal 10 (1) Kemudahan Impor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, dilakukan dengan mempertimbangkan:

    1. tidak ada ketersediaan pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dari dalam negeri; dan/atau

    2. ketersediaan pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dari dalam negeri belum mencukupi dari sisi ^jumlah/volume dan/atau standar mutu. (2) Kemudahan Impor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    3. pemberian fasilitas fiskal;

    4. pemberian Fasilitas Nonfiskal; dan/atau

    5. pemenuhan jumlah Impor sesuai kebutuhan. (3) Kemudahan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Neraca Komoditas Pasal 1 1 (1) Dalam rangka menjamin ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah Pusat menetapkan neraca komoditas. (21 Neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

    6. data yang lengkap, detail, dan akurat mengenai kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong untuk Industri dalam negeri; dan

    7. data yang lengkap, detail, dan akurat mengenai pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong untuk Industri dalam negeri.

      (3)

      Data sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a paling sedikit meliputi data mengenai:

    8. ^jenis Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang dibutuhkan berdasarkan pos tarif;

    9. jumlah/volume Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang dibutuhkan;

    10. waktu pemanfaatan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang dibutuhkan; dan

    11. standar mutu Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang dibutuhkan. (4) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi data mengenai:

    12. ^jenis Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong ^yang tersedia di dalam negeri berdasarkan pos tarif;

    13. jumlah/volume Bahan Baku danlatau Bahan Penolong yang tersedia di dalam negeri;

    14. waktu ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di dalam negeri; dan

    15. standar mutu Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang tersedia di dalam negeri. (5) Neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk ^jangka waktu 1 (satu) tahun. Pasal 12 (1) Penetapan neraca komoditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dilakukan dalam rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian paling lambat pada bulan Desember tahun sebelumnya. (21 Penetapan neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rencana kebutuhan Industri dan rincian data pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong (3) Neraca (3) Neraca komoditas yang telah ditetapkan dapat dievaluasi sewaktu-waktu jika diperlukan, untuk ditetapkan kembali melalui rapat koordinasi yang dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi utama/madya. (4) Neraca komoditas dapat diakses melalui sistem informasi terintegrasi. Pasal 13 (1) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) diselenggarakan oleh menteri dan/atau pejabat pimpinan tinggi madya. (21 Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didahului dengan rapat koordinasi teknis kementerian / lembaga terkait. Pasal 14 (1) Rencana kebutuhan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (21 merupakan rencana kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong untuk ^jangka waktu 1 (satu) tahun. (21 Rencana kebutuhan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan usulan kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong setiap Perusahaan Industri. (3) Rencana kebutuhan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 15 (1) Usulan kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) disampaikan oleh Perusahaan Industri danf atau pusat penyedia Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong kepada Menteri.

      (2)

      Usulan . (21 (3) Usulan kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal diperlukan dapat dilakukan verifikasi terlebih dahulu oleh lembaga pelaksana verilikasi yang ditunjuk oleh Menteri sebelum disampaikan oleh Pelaku Usaha. Usulan kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui SIINas. Pasal 16 Rincian data pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (21disampaikan oleh Menteri dan menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait melalui sistem informasi terintegrasi secara berkala setiap triwr.rlan. Rincian data pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang disampaikan oleh Menteri atau menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang dihasilkan oleh Industri hulu dan Industri antara.

      (1)

      (2t


    Pasal 17

    Rencana kebutuhan Industri yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan rincian data pasokan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong iebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian melalui sistem informasi terintegrasi secara berkala setiap triwulan.


    Pasal 18
    Pasal 18

    Dalam hal neraca komoditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) belum ditetapkan, ^jaminan ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong ditetapkan berdasarkan ketentuan dan data yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang Diimpor Pasal 19 (1) Impor Bahan Baku danlatau Bahan Penolong hanya dilakukan oleh Perusahaan Industri yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Produsen (API-P). (2) Dalam hal Impor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong diperuntukan bagi Industri kecil dan Industri menengah yang tidak dapat melaksanakan importasi sendiri, dapat dilakukan oleh pusat penyedia Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Umum (API-U). (3) Impor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang diperuntukan bagi Industri kecil dan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat ^(2) dibuktikan dengan kontrak pemesanan dari Industri kecil dan Industri menengah dimaksud. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pusat penyedia Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 20 (1) Perusahaan Industri dilarang menjual atau memindahtangankan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang diimpor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.

    (2)

    Dalam (2) Dalam hal tertentu, ketentuan mengenai larangan penjualan atau pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan terhadap larangan penjualan atau pemindahtanganan atas Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sisa sesuai dengan ketentuan peraturan perllndang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan penjualan atau pemindahtanganan Bahan Baku dan/atau ^Bahan Penolong sisa sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Sanksi Administratif Pasal 21 Perusahaan Industri yang menjual atau memindahtangankan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat ^(1) dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. denda administratif;

    3. pembekuan nomor induk berusaha; dan/atau

    4. pencabutan nomor induk berusaha.



    Pasal 22

    Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^21 huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan ^jangka waktu masing-masing 30 ^(tiga ^puluh) ^hari. Pasal 23 (1) Perusahaan Industri yang telah dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan perbaikan dalam ^jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikenai sanksi administratif berupa denda administratif. (21 Denda administratif sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) diberikan paling banyak ^1% ^(satu ^persen) ^dari (3) nilai investasi. Pembayaran denda administratif ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dilakukan ^paling lama 30 ^(tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima. Pasal 24 (1) Perusahaan Industri yang tidak ^memenuhi kewajibannya dan tidak membayar ^denda ^administratif dalam ^jangka waktu ^sebagaimana ^dimaksud ^dalam Pasal 23 ayat (3) dikenai sanksi ^administratif ^berupa pembekuan nomor induk berusaha. (21 Pembekuan nomor induk berusaha ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) berlaku ^paling lama ^3 ^(tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan ^surat ^penetapan pembekuan.


    Pasal 25

    Perusahaan Industri ^yang telah ^memenuhi ^kewajibannya dan membayar denda administratif ^sebelum ^jangka waktu berakhirnya surat ^penetapan pembekuan ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ^ayat ^(21 ^dapat ^mengajukan permohonan pemulihan status ^pembekuan ^nomor induk berusaha.


    Pasal 26

    Dalam hal Perusahaan Industri ^sejak tanggal ^berakhirnya sanksi administratif berupa ^pembekuan ^nomor ^induk berusaha sebagaimana dimaksud ^dalam ^Pasal ^24 ^ayat ^(21 tidak memenuhi kewajibannya ^dan/atau tidak ^membayar denda administratif dikenai ^sanksi administratif ^berupa pencabutan nomor induk berusaha. Pasal 2T (1) Menteri mengenakan sebagaimana dimaksud Perusahaan Industri. sanksi administratif dalam Pasal 2l kepa"da (2) Pengenaan. (21 Pengenaan sanksi administratif kepada Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan yang berasal dari:

    1. pengaduan; dan/atau

    2. tindak lanjut hasil pengawasan


    Pasal 28

    Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (21merrrpakan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 29

    Terhadap Perusahaan Industri yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l huruf c dan/atau huruf d, Menteri menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi kepada menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait melalui sistem informasi terintegrasi. Bagian Keempat Jaminan Penyaluran Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di Dalam Negeri Pasal 30 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin penyaluran Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di dalam negeri. (21 Jaminan penyaluran Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

    1. penetapan tata kelola Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di dalam negeri;

    2. penyediaan infrastruktur penyaluran Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di dalam negeri;

    3. pengembangan teknologi penyaluran Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di dalam negeri;

    4. fasilitasi pembentukan unit ^penyaluran Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di dalam negeri; dan/atau

    5. penetapan kebijakan yang mendukung kelancaran penyaluran Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di dalam negeri. (3) Penyediaan infrastruktur penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, ^pengembangan teknologi penyaluran sebagaimana dimaksud ^pada ayat (21huruf c, danf atau fasilitasi pembentukan unit penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 huruf d dapat dilakukan melalui skema kerja sama antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan pusat penyedia Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong.


    Pasal 31

    Pemerintah Pusat dapat memfasilitasi penyediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong secara langsung dalam rangka pemulihan Industri dalam negeri. Bagian Kelima Pengawasan Pasal 32 (1) Pemerintah Pusat melaksanakan ^pengawasan terhadap:

    1. penggunaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong oleh Perusahaan Industri; dan

    2. Ekspor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong. (2) Pengawasan terhadap penggunaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh Menteri. (3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Menteri dapat berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga ^pemerintah nonkementerian terkait dan/atau Pemerintah Daerah.

      (4)

      Pengawasan . (41 Pengawasan terhadap Ekspor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dan dapat berkoordinasi dengan Menteri. BAB III PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TERHADAP LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN Pasal 33 (1) Pemerintah Pusat melakukan perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan Standardisasi Industri. (2) Perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan Standardisasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dan diselenggarakan oleh Menteri. Pasal 34 (1) Standardisasi Industri diselenggarakan dalam wujud SNI, Spesifrkasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara. (21 SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (3) SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara sebagaimana dimaksud pada ayat (21meliputi standar dan/atau dokumen untuk barang dan/atau ^jasa Industri pengolahan dengan KBLI 10 sampai dengan KBLI 33. Pasal 35 (1) Barang dan/atau jasa Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri merupakan hasil produksi dari Perusahaan Industri atau produsen di luar negeri yang tergolong dalam kegiatan usaha berisiko menengah dan kegiatan usaha berisiko tinggi. (21 Perusahaan Industri atau produsen di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memproduksi barang dan/atau ^jasa Industri dengan menggunakan merek milik sendiri. (3) Produsen di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (21 wajib memiliki perwakilan resmi dan/atau pemegang lisensi di wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (41 Dalam hal terdapat kerja sama merek dan/atau maklun, merek yang digunakan oleh Perusahaan Industri atau produsen di luar negeri harus merek milik pemberi kerja sama atau pemberi maklun. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama merek dan/atau maklun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 36 (1) Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengecualian atas SNI, Spesifikasi Teknis, danf atau Pedoman Tata Cara yang diberlakukan secara wajib untuk Impor barang tertentu. (21 Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang Industri berdasarkan:

    3. sifat teknisnya merupakan produk sejenis yang memiliki standar tersendiri dengan ruang lingkup, klasifikasi, dan/atau syarat mutu yang berbeda dengan standar yang diwajibkan;

    4. keperluannya merupakan produk contoh untuk keperluan riset dan pengembangan produk;

    5. keperluannya merupakan barang contoh dalam rangka pengujian untuk memperoleh sertifikat kesesuaian; dan/atau

    6. keperluannya merupakan barang pribadi penumpang.

      (3)

      Penetapan terhadap pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, danlatau Pedoman Tata Cara secara wajib dari masing-masing barang Industri. Pasal 37 (1) Persetujuan penggunaan tanda SNI atau tanda kesesuaian diberikan oleh Menteri kepada Perusahaan Industri yang telah memenuhi persyaratan SNI, Spesifikasi Teknis, danf atau Pedoman Tata Cara yang diberlakukan secara wajib. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanda SNI serta bentuk dan penggunaan tanda kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 38 (1) Penilaian kesesuaian terhadap SNI, Spesifikasi Teknis, ' danf atau Pedoman Tata Cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi sesuai dengan rLlang lingkupnya dan ditunjuk oleh Menteri. (21 Dalam melakukan penunjukan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri mempertimbangkan kebutuhan Industri dan jumlah persebaran Industri dalam negeri. (3) Lembaga penilaian kesesuaian yang telah ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    7. lembaga sertifikasi produk;

    8. laborptorium uji; dan

    9. lembaga inspeksi. (4) Lembaga sertifikasi produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

    10. memiliki Perizinan Berusaha di bidang Industri jasa sertifikasi yang efektif atau penetapan tugas dan fungsi kelembagaan bagi lembaga sertifikasi produk yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    11. memiliki laboratorium uji yang terakreditasi berdasarkan SNI ISO/IEC 17025 atau lembaga inspeksi yang terakreditasi berdasarkan SNI rso/rEC r7o2o;

    12. telah terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai; dan

    13. berdomisili atau berkedudukan di wilayah hukum negara Republik Indonesia. (5) Laboratorium uji sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

    14. memiliki Perizinan Berusaha di bidang Industri jasa pengujian laboratorium yang efektif atau penetapan tugas dan fungsi kelembagaan bagi laboratorium uji yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

    15. telah terakreditasi berdasarkan SNI ISO/IEC 17025;

    16. telah terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai; dan

    17. berdomisili atau berkedudukan di wilayah hukum negara Republik Indonesia. (6) Lembaga inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

    18. memiliki Perizinan Berusaha di bidang Industri jasa inspeksi periodik yang efektif atau penetapan tugas dan fungsi kelembagaan bagi lembaga inspeksi yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; telah terakreditasi 17020; berdasarkan SNI ISO/lEC c. telah terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai; dan

    19. berdomisili atau berkedudukan di wilayah hukum negara Republik Indonesia. (7) Menteri dapat menunjuk:

    20. lembaga sertifikasi produk yang belum memenuhi kriteria terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c;

    21. laboratorium uji yang belum memenuhi kriteria terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c; dan/atau

    22. lembaga inspeksi yang belum memenuhi kriteria terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c. (8) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (71 dilakukan dengan ketentuan:

    23. belum tersedia lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji, dan/atau lembaga inspeksi yang telah terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai tetapi sudah terakreditasi dengan ruang lingkup yang sejenis; atau

    24. telah tersedia lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji, dan/atau lembaga inspeksi yang telah terakreditasi oleh KAN untuk lingkup yang sesuai tetapi jumlahnya belum memadai. (9) Penunjukan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (71 dilakukan berdasarkan hasil evaluasi administratif dan evaluasi kompetensi. b (10) Penunjukan lembaga penilaian kesesuaian yang belum memenuhi kriteria terakreditasi oleh KAN sebagaimana dimaksud pada ayat (71 berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun.

      (11)

      Dalam hal lembaga sertilikasi produk, laboratorium uji, dan/atau lembaga inspeksi belum terakreditasi oleh KAN untuk ruang lingkup yang sesuai dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Menteri dapat mencabut penunjukannya sebagai lembaga penilaian kesesuaian untuk ruang lingkup dimaksud.

      (12)

      Dalam hal lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji, dan/atau lembaga inspeksi berdomisili atau berkedudukan di luar wilayah hukum negara Republik Indonesia, hasil sertifikasi produk, hasil pengujian, dan/atau hasil inspeksinya dapat diakui sepanjang terdapat perjanjian saling pengakuan antarnegara di bidang regulasi teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (13) Ketentuan lebih lanjut mengenai:

    25. tata cara penunjukan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pada ayat (7); dan

    26. evaluasi administratif dan evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 39

    Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) memiliki kewajiban:

    1. melakukan penilaian kesesuaian bagi barang, jasa, sistem, dan/atau proses yang diberlakukan secara wajib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib;

    2. melaksanakan .

    3. melaksanakan penilaian kesesuaian secara benar berdasarkan fakta dan tidak memihak kepada kepentingan pihak yang dinilai, serta bebas dari tekanan pihak lain termasuk tekanan dari organisasi yang berkaitan atau yang membawahinya;

    4. melaporkan hasil penilaian kesesuaian yang telah diterbitkan, diperpanjang, dan/atau dibekukan untuk sementara atau yang telah dicabut kepada Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penerbitan, perpanjangan, dan/atau pembekuan untuk sementara atau pencabutan melalui SIINas;

    5. melakukan surveilans secara berkala sesuai dengan sistem sertifikasi yang ditetapkan dan/atau berdasarkan pengaduan atau instruksi dari Menteri serta meiaporkan hasil surveilans kepada Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penetapan hasil surveilans bagi lembaga sertifikasi produk;

    6. menggunakan personel yang berkompeten, berkewarganegaraan Indonesia, berdomisili di Indonesia, lancar berbahasa Indonesia, memahami peraturan perundang-undangan, dan telah diregistrasi oleh Menteri; dan

    7. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 40 (1) Lembaga penilaian kesesuaian yang telah dicabut penunjukannya oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (11), wajib melimpahkan klien kepada lembaga sertif,rkasi produk yang ditunjuk oleh Menteri. (21 Menteri melakukan koordinasi pelimpahan klien sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

      (3)

      Koordinasi pelimpahan klien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pencabutan penunjukan lembaga penilaian kesesuaian. Pasal 4 1 (1) Menteri, gubernur, danf atau bupati lwali kota dapat memberikan Fasilitas Nonfiskal kepada Perusahaan Industri kecil dan Perusahaan Industri menengah yang menerapkan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara yang diberlakukan secara wajib. (2) Bentuk Fasilitas Nonfiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembiayaan dalam proses penilaian kesesuaian dalam rangka sertifikasi SNI, Spesifikasi Teknis, danf atau Pedoman Tata Cara yang diberlakukan secara wajib. (3) Perusahaan Industri kecil dan Perusahaan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima Fasilitas Nonfiskal paling sedikit memenuhi ketentuan:

    8. memiliki Perizinan Berusaha; dan

    9. telah menyelesaikan seluruh kewajiban perpajakan. (4) Selain Fasilitas Nonfiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Industri kecil dan Perusahaan Industri menengah yang menerapkan SNI, Spesihkasi Teknis, danf atau Pedoman Tata Cara yang diberlakukan secara wajib dapat diberikan fasilitas fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


    Pasal 42
    (1)

    Pemerintah Pusat Standardisasi Industri melakukan pengawasan (21 Pelaksanaan pengawasan Standardisasi Industri dilaksanakan oleh Menteri.


    Pasal 43

    Pasal 43 (1) Menteri mengawasi pelaksanaan seluruh rangkaian:

    1. penerapan SNI secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri; dan

    2. pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    3. pengawasan di pabrik; dan

    4. koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait. (3) Koordinasi pengawasan di pasar sebagaimana dimaksud pada ayat {21 huruf b dilaksanakan secara bersama-sama dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 44 (1) Menteri dapat menunjuk lembaga terakreditasi untuk melakukan pengawasan Standardisasi Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. (21 Lembaga terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 45 (1) Dalam melakukan pengawasan penerapan SNI secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a, Menteri dapat meminta lembaga penilaian kesesuaian untuk menyampaikan laporan mengenai sertifikat kesesuaian yang telah diterbitkan melalui SIINas. (21 Menteri melakukan evaluasi terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Menteri melakukan uji petik kesesuaian terhadap penerapan SNI di pabrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a. (4) Dalam hal hasil pengawasan menyatakan barang danf ataujasa Industri di pabrik tidak memenuhi SNI yang diterapkan secara sukarela, Pelaku Usaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai standardisasi dan penilaian kesesuaian. Pasal 46 (1) Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri ditemukan dugaan tindak pidana, PPSI berkoordinasi dengan penyidik pegawai negeri sipil bidang perindustrian. (21 Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri ditemukan dugaan tindak pidana, PPSI danlatau petugas pengawas kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait berkoordinasi dengan penyidik pegawai negeri sipil bidang perindustrian dan/atau bidang lain untuk ditindaklanjuti.

      (3)

      Dalam (3) Dalam melakukan penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil bidang perindustrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berkoordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perindustrian. (4) Penyidik pegawai negeri sipil bidang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perLrndang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyidikan yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil bidang perindustrian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 47 (1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan kepada lembaga penilaian kesesuaian yang melakukan penilaian kesesuaian terhadap SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri dan Pasal 38. (21 Pemerintah Pusat mendelegasikan pembinaan terhadap lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. (3) Pembinaan terhadap lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:

    5. penguatan; dan

    6. pengembangan. Pasal 48 (1) Menteri melakukan penguatan lembaga penilaian kesesuaian terkait pengujian, inspeksi, dan sertifikasi barang dan/atau ^jasa Industri.

      (2)

      Penguatan (21 Penguatan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pelaksanaan penerapan SNI atau pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib. (3) Penguatan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bantuan teknis, konsultasi, dan pendidikan dan pelatihan. (4) Pelaksanaan penguatan lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat didelegasikan kepada perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Pasal 49 (1) Menteri menyediakan, meningkatkan, dan mengembangkan Sarana dan Prasarana laboratorium pengujian standar Industri pada wilayah pusat pertumbuhan Industri untuk kelancaran pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib. (2) Dalam menyediakan, meningkatkan, dan mengembangkan Sarana dan Prasarana laboratorium pengujian standar Industri pada wilayah pusat pertumbuhan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat bekerja sama dengan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Pasal 50 (1) Dalam rangka pengembangan lembaga penilaian kesesuaian, Menteri melakukan kerja sama penilaian kesesuaian:

    7. di tingkat nasional; dan

    8. di tingkat internasional. (21 Kerja sama penilaian kesesuaian di tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan pemangku kepentingan. (3) Kerja sama penilaian kesesuaian di tingkat internasional sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf b dilakukan dengan negara mitra.


    Pasal 51
    (1)

    Pemerintah Pusat melakukan pengawasan kepada lembaga penilaian kesesuaian yang melakukan penilaian kesesuaian terhadap penerapan SNI dan pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38. (2) Pemerintah Pusat mendelegasikan pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. (3) Pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:

    1. pengawasan kegiatan sertifikasi; dan

    2. pengawasan secara berkala atau khusus. Pasal 52 Dalam melakukan pengawasan kegiatan sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a, Menteri meminta:

    3. laporan pelaksanaan sertilikasi kepada lembaga sertifikasi produk;

    4. laporan pengujian kesesuaian mutu kepada laboratorium uji; dan

    5. laporan hasil inspeksi kepada lembaga inspeksi. Pasal 53 .


    Pasal 53

    Penyampaian laporan pelaksanaan sertifikasi oleh lembaga sertifikasi produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a, penyampaian laporan pengujian kesesuaian mutu oleh laboratorium uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b, dan penyampaian laporan hasil inspeksi oleh lembaga inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf c dilakukan secara elektronik melalui SIINas. Pasal 54 (1) Lembaga sertifikasi produk menerbitkan sertifikat SNI atau sertifikat kesesuaian yang wajib dibubuhi quick response code (qr code). (2) Quick response code (qr code) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil evaluasi pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi dan pemberian quick response code (qr codel sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 55 (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap:

    1. lingkup kompetensi lembaga penilaian kesesuaian sesuai dengan penerapan SNI dan pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib; dan

    2. pelaksanaan penilaian kesesuaian oleh lembaga penilaian kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang penerapan SNI dan pemberlakuan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan pelaksanaan penilaian kesesuaian oleh lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. FRES IDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 56 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau secara khusus. (21 Pengawasan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sewaktu-waktu berdasarkan laporan dari masyarakat, Pelaku Usaha, dan/atau instansi terkait. Pasal 57 (1) Lembaga sertifikasi produk yang tidak menyampaikan laporan pelaksanaan sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, tidak membubuhi ^quick response code (qr codel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1), dan/atau ditemukan melakukan pelanggaran berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat ^(1) dikenai sanksi administratif. (21 Laboratorium uji yang tidak menyampaikan laporan pengujian kesesuaian mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan/atau ditemukan melakukan pelanggaran berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (3) Lembaga inspeksi yang tidak menyampaikan laporan hasil inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan/atau ditemukan melakukan pelanggaran berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (41 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berupa:

    3. peringatan tertulis; dan/atau PRE S IDEN REPUBLIK INDONESIA (5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (a) diberikan oleh Menteri.


    Pasal 58

    Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (4) huruf a diberikan paling banyak 1 (satu) kali dengan jangka waktu 15 (lima belas) hari. Pasal 59 (1) Lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji, dan lembaga inspeksi yang telah dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan perbaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi administratif berupa pencabutan penunjukan sebagai lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji, dan/atau lembaga inspeksi. (21 Pencabutan penunjukan sebagai lembaga sertifikasi produk, laboratorium uji, danf atau lembaga inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pencantuman ke dalam daftar hitam. BAB IV INDUSTRI STRATEGIS Pasal 60 (1) Industri Strategis terdiri atas industri yang:

    1. memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak;

    2. meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis; dan/atau

    3. mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara. (2) Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh negara.

      (3)

      Penguasaan.

      (3)

      Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

    4. pengaturan kepemilikan;

    5. penetapan kebijakan;

    6. pengaturan Perizinan Berusaha;

    7. pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan

    8. pengawasan. Pasal 61 (1) Pengaturan kepemilikan Industri Strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat ^(3) huruf a dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui:

    9. penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah Pusat;

    10. pembentukan usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta; atau

    11. pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Pelaksanaan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau pembentukan usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan melalui lembaga pengelola investasi dan/atau dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara serta sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Pembentukan usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) huruf b dilakukan dengan batasan saham milik Pemerintah Pusat paling sedikit 51% (lima puluh satu persen). Pasal 62 . Pasal 62 (1) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam rangka pembangunan dan pengembangan Industri Strategis. (21 Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Industri Strategis yang melakukan:

    12. pendalaman struktur;

    13. penelitian dan pengembangan teknologi;

    14. pengujian dan sertifikasi; atau

    15. restrukturisasi mesin dan/atau peralatan. (3) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitas fiskal dan Fasilitas Nonfiskal. (4) Fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Fasilitas Nonfiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan paling sedikit dalam bentuk:

    16. kemudahan pelayanan perizinan;

    17. kemudahan memperoleh lahan/lokasi;

    18. pemberian bantuan teknis; dan

    19. pengaturan terhadap produk Industri Strategis yang sudah tersedia di dalam negeri. Pasal 63 (1) Perizinan Berusaha untuk Industri Strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) huruf c diberikan oleh Pemerintah Pusat. (2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.


    Pasal 64

    Pasal 64 (1) Pengaturan produksi, distribusi, dan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) huruf d dilakukan paling sedikit dengan menetapkan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk. (21 Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka memelihara kemantapan stabilitas ekonomi nasional serta ketahanan nasional. (3) Penetapan jumlah produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menjaga kelangsungan suplai produk di dalam negeri, dengan ketentuan: dapat dilakukan penetapan ^jumlah produksi maksimal atau minimal; dan/atau dilakukan secara terkoordinasi melibatkan produsen produk sejenis. dengan (4) Penetapan distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan dengan ketentuan: a b a b a b penetapan distribusi dilakukan memastikan suplai produk Industri pada wilayah tertentu; dan untuk Strategis dapat dilakukan melalui pemberian fasilitas fiskal dan/atau Fasilitas Nonfiskal bagi pelaku kegiatan distribusi. (5) Penetapan harga produk sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan dengan ketentuan: dapat dilakukan melalui pengaturan harga minimal, harga maksimal, atau rentang harga produk Industri Strategis; dan dilakukan dalam kondisi darurat danf atau sistem distribusi barang dan logistik yang tidak memadai.

    (6)

    Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri dan/atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait. Pasal 65 (1) Perusahaan Industri Strategis yang ditetapkan jumlah produksi, distribusi, dan harga produknya wajib melaporkan rencana dan realisasi produksi, kebutuhan dan stok Bahan Baku, distribusi, dan harga produk kepada Menteri setiap 6 (enam) bulan dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (21 Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik selama jangka waktu penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 66 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) huruf e dilakukan oleh Menteri paling sedikit atas:

    1. penetapan Industri Strategis sebagai objek vital nasional; dan

    2. produksi, distribusi, dan harga produk. (21 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap status kepemilikan, pelaksanaan kebijakan, legalitas Perizinan Berusaha, kegiatan produksi, distribusi, dan penerapan harga produk dari Industri Strategis.

    (3)

    Penetapan BAB V PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN INDUSTRI Bagian Kesatu Umum (3) Penetapan Industri Strategis sebagai objek vital nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri. Pasal 67 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri. (2) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:

    1. orang perseorangan; dan latau b. kelompok orang yang berbadan hukum sepanjang mempunyai kepentingan atas kemajuan pembangunan Industri nasional. (3) Kelompok orang yang berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b merupakan badan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia dan berada di dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. (4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria:

    2. warga negara Indonesia;

    3. memiliki latar belakang keilmuan di bidang perindustrian; dan

    4. memiliki keahlian di bidang perindustrian. (5) Selain kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4), juga dapat dipertimbangkan kriteria memiliki pengalaman dalam pembangunan Industri.


    Pasal 68

    Pasal 68 Peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri bertujuan untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan kemajuan dan keberhasilan pembangunan Industri. Bagian Kedua Bentuk Peran Serta Masyarakat Pasal 69 (1) Peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri diwujudkan dalam bentuk:

    1. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau

    2. penyampaian informasi dan/atau laporan. (2) Pemberian saran, pendapat, usul, dan/atau penyampaian informasi dan latau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melalui SIINas. Bagian Ketiga Peran Serta Masyarakat dalam Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Pembangunan Industri


    Pasal 70

    Peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan Industri dapat dilakukan melalui penyusunan:

    1. rencana induk pembangunan Industri nasional;

    2. kebijakan Industri nasional;

    3. rencana pembangunan Industri provinsi;

    4. rencana pembangunan Industri kabupaten/kota; dan

    5. kebijakan dan/atau peraturan yang terkait dengan sektor Industri.


    Pasal 71
    Pasal 71

    Peran serta masyarakat dalam ^pelaksanaan pembangunan Industri dapat dilakukan melalui:

    1. pembelian, ^penggunaan, ^dan ^pemanfaatan ^produk dalam negeri;

    2. penyelenggaraan ^pembangunan sumber ^daya ^manusia Industri;

    3. penguatan kemitraan dengan Industri ^kecil ^dan/atau Industri menengah;

    4. penyelenggaraan kerja sama ^dalam ^penelitian, pengembangan, dan inovasi Industri;

    5. penyelenggaraan kerja sama ^dalam ^pengembangan Industri yang berwawasan ^lingkungan; ^dan f. penyelenggaraan kerja sama dalam ^pengelolaan ^aset, sumber daya Industri, dan/atau ^Sarana ^dan Prasarana Industri sesuai ^dengan ^ketentuan peraturan perundang-undangan.



    Pasal 72

    Peran serta masyarakat dalam ^pengawasan ^pembangunan Industri dapat dilakukan ^melalui:

    1. penyampaian informasi dan/atau ^laporan ^tentang tingkat kesesuaian antara ^pelaksanaan pembangunan Industri yang telah berjalan ^dengan ^rencana pembangunan Industri;

    2. penyampaian informasi dan/atau ^laporan ^tentang pelaksanaan Industri yang berwawasan ^lingkungan; dan

    3. penyampaian pengaduan ^masyarakat ^atas pelaksanaan pembangunan Industri. BAB VI TATA CARA PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN KEGIATAN USAHA INDUSTRI DAN KEGIATAN USAHA KAWASAN INDUSTRI Bagian Kesatu Umum Pasal 73 (1) Pemerintah Pusat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri. (21 Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri. (3) Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (21 paling sedikit meliputi:

    4. sumber daya manusia Industri;

    5. pemanfaatan sumber daya alam;

    6. manajemen energi;

    7. manajemen air;

    8. SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara;

    9. Data Industri dan Data Kawasan Industri;

    10. Standar Industri Hdau;

    11. standar Kawasan Industri;

    12. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri; dan

    13. keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Pasal 74 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dilakukan secara berkala dan/atau secara khusus. Pasal 75 (1) Pengawasan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dengan manajemen risiko. (21 Pengawasan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dilakukan berdasarkan laporan dari Pelaku Usaha, masyarakat, danf atau hasil evaluasi. Pasal 76 (1) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menunjuk lembaga terakreditasi. (21 Penunjukan lembaga terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. (3) Lembaga terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan di bidang pengawasan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara, dan/atau Standar Industri Hijau. Pasal 77 Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 78 (1) Dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, Menteri dapat menunjuk unit pelaksana teknis yang sudah ada atau membentuk unit pelaksana teknis baru.

      (2)

      Unit (21 Unit pelaksana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas melaksanakan teknis pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri.


    Pasal 79
    (1)

    Menteri dapat melibatkan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian untuk melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri. (21 Keterlibatan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian untuk melakukan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam pelaksanaan:

    1. pemanfaatan sumber daya alam;

    2. Data Industri dan Data Kawasan Industri;

    3. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri;

    4. keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, dan penyimpanan dan pengangkutan; dan

    5. manajemen air.


    Pasal 80

    Pengawasan terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri dilakukan melalui:

    1. pemantauan;

    2. audit;

    3. inspeksi;

    4. surveilans; dan/atau

    5. verifikasi teknis.


    Pasal 81

    Pasal 81 (1) Menteri wajib membangun sistem pengawasan dan pengendalian secara elektronik untuk mendukung pelaksanaan pengawasan dan pengendalian yang efektif dan efisien. (2) Sistem pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pelaksanaan manajemen risiko pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri.


    Pasal 82

    Manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (21 dilakukan melalui:

    1. pemantauan hasil penilaian mandiri;

    2. penetapan tingkat kemungkinan risiko;

    3. identilikasi tingkat risiko yang terdiri atas:


  27. risiko rendah;

  28. risiko sedang; dan

  29. risiko tinggi;

    1. analisis risiko; dan

    2. evaluasi risiko yang terdiri atas:

  30. prioritas risiko; dan

  31. mitigasi risiko. Pasal 83 Sistem pengawasan dan pengendalian dilakukan secara elektronik dan terintegrasi dengan SIINas. Bagian Bagian Kedua Sumber Daya Manusia Industri Pasal 84 (1) Menteri menetapkan pemberlakuan standar kompetensi kerja nasional Indonesia secara wajib untuk ^jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri. (21 Jenis pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pekerjaan yang memiliki risiko tinggi terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup bagi Tenaga Kerja Industri dan/atau produk yang dihasilkan. (3) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan Tenaga Kerja Industri dan/atau konsultan Industri yang memenuhi standar kompetensi kerja nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib. Pasal 85 Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya manusia Industri dilakukan berdasarkan kriteria:

    1. Perusahaan Industri yang berskala:

  32. besar dan menengah; dan

  33. kecil, yang proses produksinya memiliki risiko tinggi terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; dan

    1. Perusahaan Kawasan Industri.

      Pasal 86

      Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya manusia Industri dilakukan terhadap kewajiban pemenuhan sertifikasi kompetensi bagi Tenaga Kerja Industri dan/atau konsultan Industri. Pasal 87 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan di bidang sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, Menteri menugaskan pejabat pengawas. (21 Dalam hal belum terdapat pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menunjuk pegawai negeri sipil dan/atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja pada unit teknis bidang perindustrian untuk melaksanakan tugas pengawasan Industri dengan ruang lingkup pengawasan tertentu. (3) Pengawasan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:


    2. pemantauan; dan

    3. audit. (41 Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan melakukan:

    4. analisis rencana kebutuhan Tenaga Kerja Industri bersertifikat kompetensi wajib; dan/atau

    5. evaluasi penerapan regulasi pembangunan Tenaga Kerja Industri oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri dalam rangka mengakselerasi pemenuhan standar kompetensi kerja nasional Indonesia. (5) Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilaksanakan dengan melakukan:

    6. pemeriksaan pemenuhan sertifikasi kompetensi dengan standar kompetensi kerja nasional Indonesia; dan pemeriksaan kesesuaian kompetensi Tenaga Kerja Industri danf atau konsultan Industri dengan kepemilikan sertifikat kompetensi.

    7. Pasal 88 (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) menyusun laporan hasil pengawasan. (2) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi:

    8. waktu dan lokasi pelaksanaan pengawasan;

    9. identitas Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri;

    10. uraian nomor klasifikasi baku ^jabatan Indonesia;

    11. rekomendasi hasil pengawasan; dan

    12. rencana tindak lanjut rekomendasi hasil pengawasan yang disusun oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri. (3) Pejabat pengawas menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. (41 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri dan diunggah ke SIINas. Perusahaan Industri yang: Pasal 89 Industri dan/atau Perusahaan Kawasan a. menggunakan Tenaga Kerja Industri dan/atau konsultan Industri yang tidak memenuhi standar kompetensi kerja nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib; dan/atau

    13. berdasarkan hasil pengawasan ditemukan adanya ketidaksesuaian kompetensi Tenaga Kerja Industri dan/atau konsultan Industri dengan kepemilikan sertifikat kompetensi, Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri, dikenai sanksi administratif.

      Pasal 90
      (1)
      (2)
      (1)
      (2)
      (1)

      Pasal 90 Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri harus menyatakan komitmen untuk melaksanakan rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (21 huruf d paling lama 7 (tujuh) hari setelah laporan hasil pengawasan diterima. Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi komitmen untuk melaksanakan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 9 1 Menteri melaksanakan pengendalian terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan di bidang sumber daya manusia Industri. Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:


    14. pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, bimbingan teknis, dialog, serta memberikan layanan kemudahan; dan

    15. fasilitasi penerapan standar kompetensi kerja nasional Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Pemanfaatan Sumber DaYa Alam Pasal 92 Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan' Pemanfaatan sumber daya alam oleh Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ,dilakukan pada tahapan perancangan produk, perancangan proses produksi, produksi, optimalisasi sisa produk, dan pengelolaan limbah. (21 (3) Pemanfaatan (3) Pemanfaatan sumber daya alam oleh Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahapan perancangan, pembangunan, pengelolaan Kawasan Industri, dan pengelolaan limbah. Pasal 93 Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang-undangan di bidang pemanfaatan sumber daya alam dilakukan terhadap Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang memanfaatkan sumber daya alam yang proyeksi kebutuhannya ditetapkan dalam kebijakan Industri nasional.

      (1)

      (21

      Pasal 94

      Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang-undangan di bidang pemanfaatan sumber daya alam meliputi:


    16. kepatuhan penyampaian rencana pemanfaatan sumber daya alam Yang efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan; dan

    17. kesesuaian pemanfaatan sumber daya alam yang efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Kesesuaian pemanfaatan sumber daya alam yang efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diukur berdasarkan:

    18. penggunaan teknologi ramah lingkungan; dan

    19. pengelolaan limbah, emisi udara, dan emisi gas rumah kaca. Pasal 95 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan di bidang pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1), Menteri menugaskan pejabat pengawas. l2l ^Dalam ^hal ^belum ^terdapat pejabat ^pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menunjuk pegawai negeri sipil dan/atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja pada unit teknis bidang perindustrian untuk melaksanakan tugas pengawasan Industri dengan ruang lingkup pengawasan tertentu. (3) Pengawasan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

    20. pemantauan; dan

    21. verifikasi teknis. (41 Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan melakukan:

    22. analisis rencana pemanfaatan sumber daya alam; dan

    23. evaluasi kepatuhan penyampaian rencana pemanfaatan sumber daya alam. (5) Verifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan pemeriksaan kesesuaian pemanfaatan sumber daya alam terhadap rencana yang diusulkan. (6) Kesesuaian pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit dilakukan melalui:

    24. pembuatan desain produk yang ramah lingkungan; dan

    25. penggunaan teknologi dan metodologi yang ramah lingkungan. (7) Selain kesesuaian pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri harus memenuhi:

    26. optimasi intensitas penggunaan Bahan Baku, energi, dan air;

    27. optimasi kinerja proses produksi; a c. peningkatan daya tahan dan daya pakai produk yang dihasilkan; dan/atau

    28. pengurangan, penggunaan kembali, pengolahan kembali, atau pemulihan. Pasal 96 (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1), pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) menyusun laporan hasil pengawasan. (21 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi:

    29. waktu dan lokasi pelaksanaan pengawasan;

    30. identitas Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri;

    31. uraian sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri;

    32. rekomendasi hasil pengawasan; dan

    33. rencana tindak lanjut rekomendasi hasil pengawasan yang disusun oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri. (3) Pejabat pengawas menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. (41 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri dan diunggah ke SIINas. Pasal 97 Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang:

    34. tidak menyampaikarr rencana pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a; dan

    35. ditemukan adanya ketidaksesuaian pemanfaatan sumber daya alam yang efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf b, dikenai sanksi administratif. Pasal 98 (1) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri harus menyatakan komitmen untuk melaksanakan rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (21 huruf d paling lama 7 (tujuh) hari setelah laporan hasil pengawasan diterima. (21 Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi komitmen untuk melaksanakan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 99 (1) Menteri melaksanakan pengendalian terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan di bidang pemanfaatan sumber daya alam. (2) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:

    36. pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, bimbingan teknis, dialog, serta memberikan layanan kemudahan; dan

    37. fasilitasi penerapan teknologi ramah lingkungan. Bagian Keempat Manajemen Energi Pasal 10O (1) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri yang memanfaatkan sumber daya alam sebagai energi wajib melakukan manajemen energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

      (2)

      Perusahaan Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 101 (1) Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang-undangan di bidang manajemen energi dilakukan terhadap Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri yang:

    38. memanfaatkan energi lebih besar atau sama dengan batas minimum konsumsi energi; dan

    39. melakukan penyediaan energi bagi Industri. (21 Batas minimum konsumsi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh menteri yan g menyelen ggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. Pasal 102 Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang-undangan di bidang manajemen energi dilakukan berdasarkan aspek:

    40. rencana konservasi energi;

    41. pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan; dan

    42. efisiensi dan efektivitas penggunaan energi. Pasal 103 Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang-undangan di bidang manajemen energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1O2 meliputi:

    43. kesesuaian rencana konservasi energi; dan

    44. kepatuhan penyampaian rencana konservasi energi.

      Pasal 104

      Pasal 1O4 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan di bidang manajemen energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Menteri menugaskan pejabat pengawas. (21 Dalam hal belum terdapat pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menunjuk pegawai negeri sipil dan/atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja pada unit teknis bidang perindustrian untuk melaksanakan tugas pengawasan Industri dengan ruang lingkup pengawasan tertentu. (3) Pengawasan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:


    45. pemantauan; dan

    46. verifikasi teknis. (4) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan:

    47. analisis rencana konservasi energi;

    48. analisis rencana pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan; dan

    49. analisis pelaksanaan konservasi energi. (5) Verifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan:

    50. pemeriksaan kesesuaian pelaksanaan konservasi energi terhadap rencana konservasi energi; dan

    51. pemeriksaan efisiensi dan efektivitas penggunaan energi. Pasal 1O5 Pasal 105 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan di bidang manajemen energi, Menteri berkoordinasi den gan men teri yang menyelen ggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. (2) Pengawasan manajemen energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai manajemen dan konservasi energi. Pasal 106 (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) men)rusun laporan hasil pengawasan. (21 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi:

    52. waktu dan lokasi pelaksanaan pengawasan;

    53. identitas Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri;

    54. rekomendasi hasil pengawasan; dan

    55. rencana tindak lanjut rekomendasi hasil pengawasan yang disusun oleh Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri. (3) Pejabat pengawas menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. (41 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri dan diunggah ke SIINas. Pasal 107 Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri yang:

    56. tidak .

    57. tidak melaksanakan manajemen energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10O ayat (1); dan/atau

    58. berdasarkan hasil pengawasan ditemukan adanya ketidaksesuaian pelaksanaan konservasi energi terhadap rencana konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1O3, dikenai sanksi administratif. Pasal 1O8 (1) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri harus menyatakan komitmen untuk melaksanakan rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) huruf c paling lama 7 (tujuh) hari setelah laporan hasil pengawasan diterima. (2) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi komitmen untuk melaksanakan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 109 (1) Menteri melaksanakan pengendalian terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan di bidang manajemen energi yang dilakukan oleh Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri. (21 Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:

    59. pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, bimbingan teknis, dialog, serta memberikan layanan kemudahan; dan

    60. fasilitasi pemenuhan ketentuan pelaksanaan manajemen energi. Bagian Bagian Kelima Manajemen Air Pasal 1 10 (1) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri yang memanfaatkan air baku wajib melakukan manajemen air sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (2) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada M" (1) merupakan perusahaan yang menggunakan air baku sebagai salah satu unsur atau unsur utama dari kegiatan usahanya. (3) Perusahaan Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. (4) Manajemen air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    61. penetapan kebijakan pengelolaan air;

    62. penyusunan neraca air;

    63. upaya pengelolaan air, yang mencakup penghematan, penggunaan kembali, daur ulang, dan pemulihan; dan

    64. upaya konservasi air. Pasal 1 1 1 Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang-undangan di bidang manajemen air dilaksanakan terhadap aspek:

    65. kebijakan pengelolaan air;

    66. pen)rusunan neraca air;

    67. upaya pengelolaan air, yang mencakup penghematan, penggunaan kembali, daur ulang, dan pemulihan; dan

    68. upaya konservasi air. Pasal ll2. Pasal 1 12 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan di bidang manajemen air sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^1 1 1, Menteri menugaskan pejabat pengawas. (21 Dalam hal belum terdapat pejabat ^pengawas sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1), Menteri ^dapat menunjuk pegawai negeri sipil dan/atau ^pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja pada unit teknis bidang perindustrian untuk melaksanakan ^tugas pengawasan Industri dengan ruang lingkup pengawasan tertentu. (3) Pengawasan yang dilakukan oleh pejabat ^pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dilakukan melalui:

    69. pemantauan; dan

    70. verifikasi teknis. (4) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) huruf a dilakukan dengan melakukan:

    71. analisis rencana pengelolaan sumber ^daya ^air; dan

    72. evaluasi kebdakan ^pengelolaan air, ^pen5rusunan neraca air, upaya pengelolaan air, dan upaya konservasi air. (5) Verifikasi teknis sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(3) huruf b dilakukan dengan:

    73. pemeriksaan kesesuaian ^pelaksanaan konservasi air dengan upaya konservasi air; dan

    74. pemeriksaan upaya pengelolaan air, ^yang mencakup upaya penghematan, ^penggunaan kembali, daur ulang, dan pemulihan. Pasal 1 13 Pasal 1 13 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan di bidang manajemen air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Menteri dapat berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air dan/atau Pemerintah Daerah. (21 Pengawasan manajemen air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya air. Pasal 1 14 (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal I 12 ayat (1) menJrusun laporan hasil pengawasan. (21 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi:

    75. waktu dan lokasi pelaksanaan pengawasan;

    76. identitas Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri;

    77. rekomendasi hasil pengawasan; dan

    78. rencana tindak lanjut rekomendasi hasil pengawasan yang disusun oleh Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri. (3) Pejabat pengawas menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. (4) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri dan diunggah ke SIINas. Pasal 1 15 Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri yang:

    79. tidak melaksanakan manajemen air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1); dan/atau

    80. berdasarkan hasil pengawasan ditemukan adanya ketidaksesuaian upaya pengelolaan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf c dan upaya konservasi air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf d, dikenai sanksi administratif. Pasal 1 16 (1) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri harus menyatakan komitmen untuk melaksanakan rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Il4 ayat (2) huruf c paling lama 7 (tujuh) hari setelah laporan hasil pengawasan diterima. (21 Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan- Kawasan Industri yang tidak memenuhi komitmen untuk melaksanakan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 1 17 (1) Menteri melaksanakan pengendalian terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan di bidang manajemen air. (2) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:

    81. pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, bimbingan teknis, dialog, serta memberikan layanan kemudahan; dan

    82. fasilitasi pemenuhan ketentuan pelaksanaan manajemen air. Bagian Bagian Keenam SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara Pasal 1 18 (1) Menteri melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan yang memberlakukan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib. (21 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Perusahaan Industri. (3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menugaskan PPSI dan/atau menunjuk lembaga terakreditasi. (41 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara. Pasal 1 19 (1) Menteri melaksanakan pengendalian terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang- undangan yang memberlakukan SNI, Spesifikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara secara wajib. (21 Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada Perusahaan Industri dengan tindakan pengendalian berbasis risiko untuk mencegah, mengurangi, dan/atau menghilangkan ketidaksesuaian barang dan/atau ^jasa Industri ke tingkat yang dapat diterima.

      (3)

      Tindakan pengendalian berbasis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan aspek:

    83. keamanan, kesehatan, dan keselamatan manusia, hewan, dan tumbuhan;

    84. pelestarian fungsi lingkungan hidup;

    85. persaingan usaha yang sehat;

    86. peningkatan daya saing nasional; dan/atau

    87. peningkatan efisiensi dan kinerja. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pengendalian berbasis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Data Industri dan Data Kawasan Industri Pasal 120 (1) Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, tepat waktu, dan berkelanjutan secara berkala kepada Menteri, menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait, gubernur, dan bupati/wali kota. (21 Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, tepat waktu, dan berkelanjutan secara berkala kepada Menteri, menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait, gubernur, dan bupati/wali kota. (3) Data Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (21disampaikan melalui SIINas. Pasal 121 Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait Data Industri dan Data Kawasan Industri dilakukan terhadap:

    88. Data Industri yang terdiri atas:

  34. Data Industri pada tahap pembangunan; dan

  35. Data Industri pada tahap produksi. b. Data Kawasan Industri yang terdiri atas:

  36. Data Kawasan Industri pada tahap pembangunan; dan

  37. Data Kawasan Industri pada tahap komersial. Pasal 122 Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait Data Industri dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal l2t dilakukan berdasarkan aspek:

    1. keakuratan penyampaian Data Industri dan Data Kawasan Industri;

    2. kelengkapan penyampaian Data Industri dan Data Kawasan Industri;

    3. ketepatan waktu penyampaian Data Industri dan Data Kawasan Industri; dan

    4. kesinambungan Data Industri dan Data Kawasan Industri. Pasal 123 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait Data Industri dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122, Menteri menugaskan pejabat pengawas.

      (2)

      Dalam (21 Dalam hal belum terdapat pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menunjuk pegawai negeri sipil dan/atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja pada unit teknis bidang perindustrian untuk melaksanakan tugas pengawasan Industri dengan ruang lingkup pengawasan tertentu. (3) Pengawasan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemantauan. (4) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan :

    5. verifikasi dan validasi penilaian mandiri dilakukan oleh Perusahaan Industri Perusahaan Kawasan Industri; dan yang dan b. analisis manajemen risiko (5) Verifikasi dan validasi penilaian mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan paling sedikit dengan melakukan verifikasi terhadap laporan data dasar, kapasitas terpasang, dan utilitas terpakai Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri. (6) Analisis manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (41 huruf b dilakukan dengan analisis data pada SIINas untuk menyusun profil Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri menjadi Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri berkategori tingkat kepatuhan tinggi, sedang, dan rendah. Pasal 124 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait Data Industri dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122, pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal l2A ayat (1) menyusun laporan hasil pengawasan. (21 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi:

    6. waktu pelaksanaan pengawasan;

    7. identitas Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri; dan

    8. rekomendasi hasil pengawasan. (3) Pejabat pengawas menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) kepada Menteri. (4) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri dan diunggah ke SIINas. Pasal 125 Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menyampaikan Data Industri dan Data Kawasan Industri secara akurat, lengkap, tepat waktu, dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l2O dikenai sanksi administratif. Pasal 126 (1) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri harus menyatakan komitmen untuk melaksanakan rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf c paling lama 7 (tujuh) hari setelah laporan hasil pengawasan diterima.

      (2)

      Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi komitmen untuk melaksanakan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 127 (1) Menteri melaksanakan pengendalian terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait Data Industri dan Data Kawasan Industri. (2) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan sosialisasi, konsultasi, bimbingan teknis, dan memberikan layanan kemudahan. Bagian Kedelapan Standar Industri Hijau Pasal 128 (1) Menteri menyusun dan menetapkan Standar lndustri Hijau. (21 Perusahaan Industri wajib memenuhi ketentuan Standar Industri Hijau yang telah diberlakukan secara wajib. (3) Standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

    9. Bahan Baku, Bahan Penolong, dan energi;

    10. proses produksi;

    11. produk;

    12. manajemen pengusahaan; dan

    13. pengelolaan limbah. Pengawasan peraturan terhadap: Pasal 129 terhadap pemenuhan terkait Standar Industri dan Hijau kepatuhan dilakukan a. pemenuhan persyaratan Standar Industri Hijau yang diberlakukan secara wajib; dan

    14. kesesuaian penggunaan logo Standar Industri Hijau pada kemasan produk, label produk, kop surat perusahaan, kartu narna, dan/atau media promosi perusahaan. Pasal 130 (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, Menteri menugaskan pejabat pengawas. (2) Dalam hal pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan dan/atau belum terpenuhi kebutuhan pejabat pengawas, Menteri dapat menunjuk lembaga terakreditasi. (3) Lembaga terakreditasi yang ditunjuk Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (21harus memenuhi kriteria: memiliki Perizinan Berusaha ^jasa sertifikasi; telah terakreditasi oleh KAN; dan berdomisili atau berkedudukan di wilayah hukum negara Republik Indonesia. Pasal 131 (1) Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan Standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf a, dilakukan melalui: audit; dan surveilans (21 Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan Standar Industri Hijau. (3) Surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan pemeriksaan secara berkala dan/atau secara khusus terhadap keberlanjutan penerapan Standar Industri Hijau. a b c a b

      Pasal 132

      Pengawasan terhadap kesesuaian penggunaan logo Standar Industri Hijau pada produk Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf b dilakukan melalui inspeksi di luar pabrik.


      Pasal 133
      (1)

      Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait pemenuhan persyaratan Standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) atau lembaga terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2) meny'usun laporan hasil pengawasan. (21 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi:


    15. waktu dan lokasi pelaksanaan pengawasan;

    16. identitas Perusahaan Industri;

    17. rekomendasi hasil pengawasan; dan

    18. rencana tindak lanjut rekomendasi hasil pengawasan yang disusun oleh Perusahaan Industri. (3) Pejabat pengawas atau lembaga terakreditasi menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. l4l ^Laporan ^hasil ^pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Perusahaan Industri dan diunggah ke SIINas.

      Pasal 134

      Perusahaan Industri yang: tidak memenuhi persyaratan Standar Industri Hijau yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf a; dan/atau


    19. b berdasarkan hasil pengawasan ditemukan adanya ketidaksesuaian penggunaan logo Standar Industri Hijau pada kemasan produk, label produk, kop surat p"tr""h".rr, kartu nama, dan/atau media promosi perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf b, dikenai sanksi administratif.

      (1)

      (21 (1) (2t

      Pasal 135

      perusahaan Industri harus menyatakan komitmen untuk melaksanakan rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (21 huruT c paling lama 7 (tujuh) hari setelah laporan hasil pengawasan diterima. Perusahaan Industri yang tidak memenuhi komitmen untuk melaksanakan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 136 Menteri melaksanakan pengendalian terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait persyaratan Standar Industri Hijau. Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:


    20. pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, bimbingan leknis, dialog, serta memberikan layanan kemudahan; dan

    21. fasilitasi pemenuhan penerapan Standar Industri Hijau. Bagian Kesembilan Standar Kawasan Industri Pasal 137 Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar Kawasan Industri.

      (2)

      Standar .

      (1)

      (2t (1) {2) (3) (4) Standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi aspek:

    22. infrastrukturKawasanlndustri;

    23. pengelolaan lingkungan; dan

    24. manajemen dan layanan.

      Pasal 138

      Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait standar kr*r"", Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, Menteri menugaskan pejabat pengawas' Dalam hal belum terdapat pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menunjuk pegawai negeri sipil dan/atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja pada unit teknis bidang perindustrian untuk melaksanakan tugas pengawasan Industri dengan ruang lingkup pengawasan tertentu. Pengawasan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:


    25. pemantauan; dan

    26. audit. Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan melakukan:

    27. pendataan Kawasan Industri yang belum mengajukan permohonan standar Kawasan Industri melalui SIINas; dan

    28. pendataan Kawasan Industri yang telah memiliki standar namun belum mengajukan permohonan evaluasi standar Kawasan Industri melalui SIINas. Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan evaluasi terhadap pemenuhan kriteria standar Kawasan Industri. (s)

      Pasal 139
      (1)

      (2t (3) (41 (1)


      Pasal 140

      Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, dikenai sanksi administratif' Pasal 139 Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) men5rusun laporan hasil pengawasan. Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi:


    29. waktu dan lokasi pelaksanaan pengawasan;

    30. identitas Perusahaan Kawasan Industri;

    31. uraian Perizinan Berusaha;

    32. rekomendasi hasil pengawasan; dan

    33. rencana tindak lanjut rekomendasi hasil pengawasan yang disusun oleh Perusahaan Kawasan Industri. Pejabat pengawas menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud prd" ayat (1) disampaikan kepada Perusahaan Kawasan Industri dan diunggah ke SIINas.

      Pasal 141

      Perusahaan Kawasan Industri harus menyatakan komitmen untuk melaksanakan rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ^y^l (2) huruf d paling lama 7 (tu: uh) hari setelah laporan hasil pengawasan diterima.

      (2)

      Pasal 142 (1) Menteri melaksanakan pengendalian terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait standar Kawasan Industri. (21 Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:


    34. pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, bimbingan teknis, dialog, serta memberikan layanan kemudahan; dan

    35. fasilitasi pemenuhan standar Kawasan Industri. Bagian Kesepuluh Perizinan Berusaha untuk Kegiatan Usaha Industri dan Perizinan Berusaha untuk Kegiatan Usaha Kawasan Industri Pasal 143 (1) Setiap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (21 Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri. (3) Perusahaan Industri wajib melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimiliki. (4) Perusahaan Industri yang akan menjalankan kegiatan usaha Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib memiliki Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri. (6) Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh Menteri. Pasal 144 (1) Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal L43 ayat (3) diklasifikasikan sebagai berikut:

    36. Industri kecil;

    37. Industri menengah; dan

    38. Industri besar. (2) Industri kecil, Industri menengah, dan Industri besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 145 (1) Untuk memenuhi Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1), Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri, dan/atau Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri. (2) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Perusahaan Industri yang memiliki bidang usaha Industri dengan tingkat risiko usaha kategori risiko tinggi. (3) Tingkat risiko usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 146 (1) Menteri melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri berdasarkan kriteria:

    39. pemenuhan komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri, danf atau Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri;

    40. kesinambungan pemenuhan komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri bagi Perusahaan Industri dan komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri bagi Perusahaan Kawasan Industri setelah mulai beroperasi secara komersial;

    41. penyampaian informasi ketersediaan lahan dalam Kawasan Industri bagi Perusahaan Kawasan Industri; dan

    42. kesesuaian pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Kawasan Industri dengan rencana induk Kawasan Industri bagi Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri. (21 Komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri, dan/atau Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

    43. untuk Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri:

  38. kepemilikan akun SIINas dan kewajiban penyampaian Data Industri melalui SIINas;

  39. penyelesaian a b 2. penyelesaian pembangunan Sarana dan Prasarana Industri atau kesiapan Perusahaan Industri untuk berproduksi komersial;

  40. kesesuaian KBLI yang diajukan dengan kegiatan usaha Industri yang dilakukan;

  41. kesesuaian kapasitas produksi yang diajukan dengan kapasitas terpasang;

  42. kesesuaian skala usaha yang diajukan dengan kegiatan Industri yang dilakukan;

  43. kepemilikan oleh warga negara Indonesia atas Industri yang hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia;

  44. pemenuhan persyaratan penanaman modal untuk bidang usaha yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal; dan

  45. pemenuhan persyaratan untuk jenis Industri tertentu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; untuk Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri:

  46. kepemilikan akun SIINas;

  47. kepemilikan izin lokasi dan izin lingkungan yang berlaku efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;

  48. kelengkapan data kemajuan pembangunan Kawasan Industri;

  49. kelengkapan isi rencana induk Kawasan Industri;

  50. kesesuaian batasan minimal kepemilikan dan/atau penguasaan luas lahan dalam satu hamparan dan batasan paling sedikit penyediaan lahan bagi kegiatan Industri kecil dan Industri menengah;

  51. kelengkapan isi tata tertib Kawasan Industri;

  52. kelengkapan struktur organisasi dengan fungsi yang dipersyaratkan;

  53. ketersediaan gedung pengelola; dan

  54. ketersediaan sebagian infrastruktur dasar di dalam Kawasan Industri; untuk Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri:

  55. kepemilikan izin lokasi atas lahan perluasan kawasan;

  56. kepemilikan perubahan izin lingkungan;

  57. kelengkapan isi pembaruan rencana induk perluasan kawasan; dan

  58. kesesuaian kepemilikan dan/atau penguasaan lahan perluasan kawasan dalam satu hamparan dengan Kawasan Industri yang bersangkutan. Pasil 147 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha" Kawasan Industri, dan/atau Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146, Menteri menugaskan pejabat pengawas. (21 Dalam hal belum terdapat pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menunjuk pegawai negeri sipil dan/atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja pada unit teknis bidang perindustrian untuk melaksanakan tugas pengawasan Industri dengan ruang lingkup pengawasan tertentu. c (3) Dalam FRES!DEN REPUBLIK INDONESIA (3) Dalam melaksanakan pengawasan ^terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha ^Industri, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha ^Kawasan Industri, dan/atau Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri, ^Menteri melakukan kegiatan pengawasan dalam bentuk:

    1. pemantauan untuk Perizinan ^Berusaha ^untuk kegiatan usaha Industri, Pertzinan ^Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan ^Industri, dan/atau Perizinan Berusaha untuk ^perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri;

    2. verifikasi teknis dalam rangka ^menilai komitmen teknis untuk Perizinan Berusaha untuk ^kegiatan usaha Industri telah terPenuhi;

    3. pemeriksaan lapangan dalam rangka ^menilai pemenuhan komitmen teknis untuk Petizinan Berusaha untuk kegiatan usaha ^Kawasan Industri dan Perizinan Berusaha untuk ^perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri telah terpenuhi; dan/atau

    4. inspeksi dalam rangka menilai ^kesinambungan pemenuhan komitmen teknis bagi Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri. (4) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) huruf a dilaksanakan dengan:

    5. memastikan kesiapan Perusahaan ^Industri sebelum dilakukannya verifikasi teknis, berupa:

  59. kepemilikan surat keterangan untuk Perusahaan Industri besar ^yang dikecualikan dari kewajiban berlokasi di Kawasan Industri;

  60. kepemilikan izin lokasi bagi Perusahaan Industri yang memerlukan Prasarana penunjang utama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;

  61. kepemilikan 3. kepemilikanrencanapengelolaanlingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup rinci berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kawasan bagi Perusahaan Industri yang lokasi industrinya berada dalam Kawasan Industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

  62. kepemilikan izin lingkungan bagi Perusahaan Industri yang lokasi Industrinya berada di luar Kawasan Industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; pengumpulan dan evaluasi data/informasi terhadap pemenuhan komitmen teknis setelah Perizinan Berusaha Industri diberikan bagi Perusahaan Industri dengan bidang usaha Industri yang ditetapkan memiliki tingkat risiko usaha dengan kategori risiko rendah, menengah rendah, dan menengah tinggi. (5) Verifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilaksanakan dengan: pemeriksaan dokumen; dan/atau pemeriksaan lapangan. (6) Dalam hal pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a telah cukup memastikan pemenuhan komitmen teknis Perizinan Berusaha, pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b tidak dilaksanakan. (71 Verifikasi teknis wajib dilakukan sebelum Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri diberikan bagi Perusahaan Industri dengan bidang usaha Industri yang ditetapkan memiliki tingkat risiko usaha dengan kategori risiko tinggi. b a. b.

    (8)

    Verifikasi teknis untuk Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikecualikan bagi Industri kecil. (9) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c wajib dilakukan sebelum Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri diberikan bagi Perusahaan Kawasan Industri.

    (10)

    Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilaksanakan untuk memastikan kesinambungan pemenuhan komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dengan bidang usaha Industri dengan risiko tinggi serta komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri dan Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri, setelah Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri mulai beroperasi secara komersial.

    (11)

    Penentuan tingkat risiko usaha pada bidang usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (41 huruf b dan ayat (7) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. Pasal 148 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri, Perizinan' Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri, dan/atau Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri, Menteri dapat melibatkan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan tata cara pelibatan perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

    Pasal 149

    Pasal 149 (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146, pejabat ^pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal I47 ayat ^(1) menyusun laporan hasil pengawasan. (21 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi:

    1. waktu dan lokasi pelaksanaan pengawasan;

    2. identitas Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri;

    3. uraian Perizinan Berusaha; dan

    4. rekomendasi hasil pengawasan. (3) Pejabat pengawas menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. (4) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri dan diunggah ke SIINas. Pasal 150 (1) Perusahaan Industri dengan bidang usaha Industri yang memiliki tingkat risiko usaha dengan kategori risiko tinggi yang melakukan kegiatan usaha Industri tanpa memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1) atau belum memenuhi seluruh komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (21 Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri tanpa memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1) atau belum memenuhi seluruh komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 151 (1) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib menindaklanjuti rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (21 huruf d dengan membuat kontrak komitmen tindak lanjut paling lama 7 (tujuh) hari setelah laporan hasil pengawasan diterima. (21 Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri tidak melaksanakan rekomendasi hasil pengawasan, Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal 152 (1) Menteri melakukan pengendalian Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri, Per2inan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri, dan/atau Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri. (21 Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mewujudkan tertib Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri, dan/atau Perrzinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri. (3) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melaksanakan: . ^a. ^fasilitasi ^notifikasi ^pemenuhan ^komitmen ^teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri, dan/atau Peizinan Berusaha untuk perluasan Kawasan Industri melalui SIINas yang terintegrasi dengan sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik;

    5. fasilitasi b. fasilitasi pemenuhan komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri, dan/atau Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri;

    6. fasilitasi dalam penerbitan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dan Perizinan Berrrsaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik;

    7. pembinaan bagi Perusahaan Industri dengan bidang usaha Industri yang ditetapkan memiliki tingkat risiko usaha dengan kategori risiko menengah rendah dan menengah tinggi dalam menjalankan kesinambungan pemenuhan komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri setelah mulai beroperasi secara komersial;

    8. pembinaan bagi Perusahaan Kawasan Industri dalam menjalankan kesinambungan pemenuhan komitmen teknis Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri dan Perizinan Berusaha untuk perluasan kegiatan usaha Kawasan Industri setelah mulai beroperasi secara komersial;

    9. pembinaan kepada Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri dalam rangka pelaksanaan:


  63. penerapan kepatuhan terhadap standar Kawasan Industri;

  64. penyampaian informasi ketersediaan lahan dalam Kawasan Industri bagi Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Perizinan Berusaha Kawasan Industri; dan

  65. kesesuaian 3 kesesuaian pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Kawasan Industri dengan rencana induk Kawasan Industri bagi Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri. Bagian Kesebelas Keamanan dan Keselamatan Alat, Proses, Hasil Produksi, dan Penyimpanan dan Pengangkutan Pasal 153 (1) Perusahaan Industri wajib menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, dan penyimpanan dan pengangkutan. (2) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Perusahaan Industri dengan bidang Industri yang memiliki risiko menengah dan risiko tinggi. Pasal 154 Pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, dan penyimpanan dan pengangkutan terhadap aspek:

    1. keamanan dan keselamatan alat;

    2. keamanan dan keselamatan proses produksi;

    3. keamanan dan keselamatan hasil produksi; dan

    4. keamanan dan keselamatan penyimpanan dan pengangkutan. Pasal 155 (1) Pengawasan keamanan dan keselamatan alat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf a dilakukan berdasarkan kriteria:

    5. pemenuhan dokumen dan/atau standar operasional prosedur pemeliharaan alat Industri berkala; dan

    6. pelaksanaan kalibrasi secara berkala. (21 Pengawasan keamanan dan keselamatan proses produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf b dilakukan berdasarkan kriteria:

    7. pemenuhan sistem manajemen mutu;

    8. pemenuhan antisipasi penyimpangan dari standar proses produksi;

    9. pemenuhan pemantauan selama proses Industri berjalan; dan

    10. pemenuhan evaluasi hasil produksi sebagai umpan balik perbaikan proses. (3) Pengawasan keamanan dan keselamatan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf c dilakukan berdasarkan kriteria pemenuhan standar mutu. (4) Pengawasan keamanan dan keselamatan penyimpanan dan pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf d dilakukan berdasarkan kriteria:

    11. pemenuhan kondisi ruangan, ventilasi, dan suhu penyimpanan; dan

    12. pemenuhan standar penyimpanan dan pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 156 (1) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, dan penyimpanan dan pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal I54, Menteri menugaskan pejabat pengawas.

      (2)

      Dalam (21 Dalam hal belum terdapat pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menunjuk pegawai negeri sipil dan/atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja pada unit teknis bidang perindustrian untuk melaksanakan tugas pengawasan Industri dengan ruang lingkup pengawasan tertentu. (3) Pengawasan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

    13. audit; dan

    14. inspeksi. l4l ^Audit ^sebagaimana ^dimaksud pada ^ayat ^(3) ^huruf ^a dilaksanakan dengan pemeriksaan:

    15. dokumen dan/atau standar operasional prosedur pemeliharaan alat industri secara berkala;

    16. sistem manajemen mutu;

    17. antisipasi penyimpangan dari standar proses produksi dan evaluasi hasil produksi sebagai umpan baiik perbaikan proses;

    18. standar penyimpanan dan pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun; dan

    19. standar mutu. (5) Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilaksanakan dengan:

    20. kalibrasi secara berkala;

    21. pemantauan selama proses Industri berjalan; dan

    22. pemeriksaan kondisi ruangan, ventilasi, dan suhu penyimpanan.

      Pasal 157
      (1)

      Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154, pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1) menyusun laporan hasil pengawasan. (2) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi:


    23. waktu dan lokasi pelaksanaan pengawasan;

    24. identitas Perusahaan Industri;

    25. rekomendasi hasil pengawasan; dan

    26. rencana tindak lanjut rekomendasi hasil pengawasan yang disusun oleh Perusahaan Industri. (3) Pejabat pengawas menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri. (4) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Perusahaan Industri dan diunggah ke SIINas.

      Pasal 158

      Perusahaan Industri yang:


    27. tidak menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, dan penyimpanan dan pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153; dan/atau

    28. berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ditemukan adanya ketidaksesuaian terhadap kriteria pemenuhan keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, dan penyimpanan dan pengangkutan, dikenai sanksi administratif.

      Pasal 159
      (1)

      Perusahaan Industri harus menyatakan komitmen untuk melaksanakan rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal L57 ayat (2) huruf c paling lama 7 (tujuh) hari setelah laporan hasil pengawasan diterima. (2) Perusahaan lndustri yang tidak memenuhi komitmen untuk melaksanakan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 160 (1) Menteri melaksanakan pengendalian terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan terkait keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, dan penyimpanan dan pengangkutan.

      (2)

      Dalam PRES I DEN REPUBLIK TNDONESIA (21 Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:


    29. pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, bimbingan teknis, dialog, serta memberikan layanan kemudahan; dan

    30. fasilitasi penerapan ^pemenuhan keamanan ^dan keselamatan alat, proses, hasil ^produksi, ^dan penyimpanan dan pengangkutan. Bagian Keduabelas Pembiayaan Pasal 161 (1) Pembiayaan pengawasan dan pengendalian ^yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud ^dalam Pasal 77 dibebankan pada anggaran ^pendapatan ^dan belanja negara. (21 Pembiayaan pengawasan dan pengendalian ^yang dilakukan oleh perangkat daerah ^yang menyelenggarakan urusan ^pemerintahan di ^bidang perindustrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (21 dibebankan pada anggaran ^pendapatan ^dan belanja daerah provinsi atau anggaran ^pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. (3) Pembiayaan pengawasan terhadap pemenuhan dan kepatuhan peraturan perundang-undangan oleh lembaga terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Pembiayaan pengawasan sebagaimana dimaksud ^pada ayat (3) dapat dibebankan kepada Perrrsahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri. Bagian Bagian Ketigabelas Sanksi Administratif Pasal 162 (1) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang menggunakan Tenaga Kerja ^Industri dan/atau konsultan Industri yang tidak ^memenuhi standar kompetensi kerja nasional ^Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat ^(1) ^dikenai sanksi administratif berupa:

    31. peringatan tertulis;

    32. denda administratif;

    33. penutupan sementara;

    34. pembekuan Perizinan Berusaha untuk ^kegiatan usaha Industri atau Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri; dan/atau

    35. pencabutan Perizinan Berusaha untuk ^kegiatan usaha Industri atau Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ^dengan peraturan perundang-undangan.

      Pasal 163

      Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan ^Kawasan Industri yang tidak melakukan manajemen ^energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^1OO ayat ^(1) ^dan/atau tidak melakukan manajemen air sebagaimana ^dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dikenai sanksi ^administratif berupa:


    36. peringatan tertulis;

    37. denda administratif; dan/atau

    38. penutupan sementara.

      Pasal 164
      Pasal 164

      Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal ^163 huruf a diberikan paling banyak 3 ^(tiga) kali berturut-turut dengan ^jangka waktu masing-masing 30 ^(tiga ^puluh) ^hari. Pasal 165 (1) Perusahaan Industri yang telah dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan ^tidak melakukan perbaikan dalam ^jangka ^waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal L64 ^dikenai sanksi administratif berupa denda administratif. (2) Denda administratif sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) mengacu pada besaran tarif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai ^jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan ^pajak ^pada bidang perindustrian. (3) Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan ^paling lama ^30 ^(tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima. Pasal 166 (1) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi kewajibannya dan tidak membayar denda administratif dalam ^jangka ^waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara. (21 Dalam hal Perusahaan Industri dan Perusahan Kawasan Industri telah membayar denda administratif tetapi dalam ^jangka waktu 30 (tiga ^puluh) hari sejak tanggal batas waktu pembayaran denda administratif tidak memenuhi kewajibannya, dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara. (3) Penutupan sementara sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) dan ayat (21 dikenakan untuk ^jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat penutupan sementara diterima. (41 Perusahaan Industri yang berada dalam Kawasan Industri yang dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara, tetap dapat menjalankan kegiatan produksinya sesuai dengan Perrzinan Berusaha yang dimilikinya. Pasal 167 (1) Perusahaan Industri yang tidak menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, tepat waktu, dan berkelanjutan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12O ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:



    39. peringatan tertulis;

    40. denda administratif;

    41. penutupan sementara;

    42. pembekuan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri; dan/atau

    43. pencabutan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri. (2) Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, tepat waktu, dan berkelanjutan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal l2O ayat (21dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (3) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 168 (1) Perusahaan Industri yang tidak memenuhi ketentuan Standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:

    44. peringatan tertulis;

    45. denda administratif;

    46. penutupan c. penutupan sementara;

    47. pembekuan Perizinan Berusaha untuk ^kegiatan usaha Industri; dan/atau

    48. pencabutan Pertzinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 169 (1) Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi ketentuan standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal I37 dikenai sanksi administratif berupa:

    49. peringatan tertulis; dan/atau

    50. denda administratif. (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud p4da ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perulndang-undangan. Pasal 170 (1) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi ketentuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal I43 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:

    51. peringatan tertulis;

    52. denda administratif; dan/atau

    53. penutupan sementara. l2l ^Tata cara pengenaan ^sanksi ^administratif ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      Pasal 171

      Pasal 171 (1) Perusahaan Industri yang tidak memenuhi kewajiban menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, dan penyimpanan dan pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 dikenai sanksi administratif berupa: peringatan tertulis; denda administratif; penutupan sementara; pembekuan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 172 (1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha dalam rangka percepatan cipta kerja. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. a b c d e BAB VIII BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 173 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2Ol4 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 54921yang telah ditetapkan sebelum Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.


      Pasal 174

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    54. Pasal 5, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol7 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6016); dan

    55. Pasal 44, Pasal 45, Pasal 49, Pasal 51, Pasal 52, dan ^Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2Ol8 tentang Pemberdayaan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6220, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 175 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2I JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Febrtari 2O2L MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERINDUSTRIAN I. UMUM Pembangunan nasional dilaksanakan dengan memanfaatkan kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh dan didukung oleh nilai-nilai budaya luhur bangsa guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan bangsa untuk kepentingan nasional. Pembangunan nasional di bidang ekonomi dilaksanakan untuk menciptakan struktur ekonomi yang mandiri, sehat, dan kukuh dengan menempatkan pembangunan Industri sebagai penggerak utama. Pembangunan Industri merupakan salah satu pilar utama pembangunan perekonomian nasional, yang diarahkan dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan Industri yang berkelanjutan yang didasarkan pada aspek pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Saat ini pembangunan Industri sedang dihadapkan pada persaingan global yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Industri nasional. Peningkatan daya saing Industri merupakan salah satu pilihan yang harus dilakukan agar produk Industri nasional mampu bersaing baik di dalam negeri maupun luar negeri. Langkah-langkah dalam rangka peningkatan daya saing dan daya tarik investasi yakni memastikan ^jaminan ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong untuk Industri, terciptanya iklim usaha yang kondusif, efisiensi, kepastian hukum, pemberian fasilitas fiskal dan Fasilitas Nonfiskal, serta kemudahan lainnya dalam kegiatan usaha Industri, termasuk ^juga kegiatan usaha Kawasan Industri. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja hadir dalam rangka menciptakan lapangan pekerjaan yang salah satunya dilakukan melalui peningkatan investasi. Undang-Undang tersebut menyempurnakan beberapa undang-undang yang telah ada sebelumnya, salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2Ol4 tentang Perindustrian. Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja merupakan upaya negara untuk menciptakan terobosan dalam meningkatkan iklim investasi yang diharapkan mampu untuk mendorong pembangunan nasional melalui pembangunan Industri. Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu adanya penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2Ol4 tentang Perindustrian. Selain itu diperlukan juga pengaturan mengenai hal-hal penting lainnya dalam penyelenggaraan bidang perindustrian di Indonesia sehingga tujuan pembangunan Industri dapat dicapai secara maksimal. Dalam rangka menjaga kelangsungan proses produksi dan pengembangan Industri, Pemerintah berkomitmen untuk memberikan kemudahan dalam mendapatkan Bahan Baku danf atau Bahan Penolong Industri dengan menjamin ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dari dalam atau luar negeri antara lain dengan melakukan pelarangan atau pembatasan Ekspor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong, kemudahan Impor Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong Industri, serta menjamin penyaluran Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong di dalam wilayah Negara Republik Indonesia melalui pemetaan dan penetapan wilayah penyediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong, pengenalan penggunaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong alternatif, serta pembangunan Industri hulu dan Industri antara berbasis sumber daya alam. Peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri bertujuan untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan kemajuan dan keberhasilan pembangunan Industri yang diwujudkan dalam pemberian saran, pendapat dan usul serta penyampaian informasi dan laporan antara lain terkait tingkat kesesuaian antara pelaksanaan pembangunan Industri yang telah berjalan dengan rencana pembangunan Industri serta informasi terkait pelaksanaan Industri yang berwawasan lingkungan. Industri Strategis merupakan Industri prioritas yang memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara. Meskipun disadari pentingnya keberadaan Industri Strategis dalam pembangunan Industri nasional, namun dalam kenyataannya Industri Strategis belum berperan secara berarti. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain nilai investasi yang relatif besar, risiko usaha yang tinggi, margin keuntungan yang relatif kecil, dan memerlukan teknologi yang tinggi. Oleh karena itu, pengembangan Industri Strategis tidak dapat sepenuhnya mengharapkan peran swasta mengingat faktor-faktor tersebut di atas sehingga memerlukan keterlibatan dan penguasaan Pemerintah untuk mempercepat pembangunan Industri Strategis. Penguasaan Pemerintah dalam pembangunan Industri Strategis dilakukan melalui pengaturan kepemilikan, penetapan kebijakan, pengaturan perizinan, pengaturan produksi, distribusi, dan harga, serta pengawasan. Dalam pelaksanaan pembangunan Industri, Pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri dalam pelaksanaan peraturan di bidang perindustrian antara lain terkait sumber daya manusia Industri, pemanfaatan sumber daya alam, manajemen energi, manajemen air, SNI, Spesilikasi Teknis, dan/atau Pedoman Tata Cara, Data Industri dan Data Kawasan Industri, Standar Industri Hijau, standar Kawasan Industri, Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri dan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri, dan keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, serta penyimpanan dan pengangkutan. Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada lembaga penilaian kesesuaian yang melakukan penilaian kesesuaian terhadap SNI, Spesifikasi Teknis, danf atau Pedoman Tata Cara. Pembinaan dilakukan dalam bentuk penguatan terkait pengujian, inspeksi, dan sertifikasi barang dan/atau ^jasa Industri melalui pemberian bantuan teknis, konsultasi, dan pendidikan dan pelatihan, serta melakukan pengembangan dengan melakukan kerja sama penilaian kesesuaian di tingkat nasional dan di tingkat internasional. Pengawasan dilakukan dalam bentuk pengawasan kegiatan sertifikasi dengan meminta laporan pelaksanaan sertifikasi, pengujian kesesuaian mutu, dan hasil inspeksi. Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi kemudahan untuk mendapatkan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong, pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian, Industri Strategis, peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri, dan pengawasan dan pengendalian usaha Industri dan usaha Kawasan Industri. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup ^jelas Pasal 2 Cukup ^jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup ^jelas Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dari hasil produk samping" seperti Fly Ash, Bottom Ash, Slag, Nickel Slag, Molases, Bentonite, Ggpsum, Bleaching Earth dalam rangka Ciranlar Economy. Huruf d Yang dimaksud dengan "Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong dari hasil daur ulang" seperti botol plastik, pecahan kaca, potongan kain/benang, scrap baja, kertas, ban, dan sebagainya dalam rangka Circular Economg. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas Pasal 6 Cukup ^jelas. Pasal 7 Cukup ^jelas. Pasal 8 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Huruf c Yang dimaksud dengan "pembangunan Industri hulu dan Industri antara berbasis sumber daya alam" adalah pembangunan Industri hulu dan Industri antara berbasis sumber daya alam untuk menciptakan Industri berbasis manufaktur sebagai penghasil Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang akan digunakan oleh Industri hilir. Pasal 9 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Pembatasan Ekspor dilakukan untuk menjamin ketersediaan Bahan Baku danf atau Bahan Penolong. Pasal 1O Cukup ^jelas. Pasal 1 1 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "neraca komoditas" adalah data dan informasi yang memuat antara lain situasi konsumsi dan produksi komoditas tertentu untuk kebutuhan penduduk dan keperluan industri dalam kurun waktu tertentu ^yang ditetapkan dan berlaku secara nasional. Ayat (2) Cukup ^jelas. Huruf b Jumlah/volume Bahan Baku dan/atau Bahan ^Penolong yang dibutuhkan mencakup alokasi pemanfaatan dan tempat pemasukan Bahan Baku dan/atau ^Bahan Penolong yang dibutuhkan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jeias. Ayat (a) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Jumlah/volume Bahan Baku danf atau Bahan Penolong yang tersedia di dalam negeri mencakup lokasi Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong yang tersedia di dalam negeri. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "sewaktu-waktu ^jika diperlukan" adalah kondisi kekurangan Bahan Baku danlatau Bahan Penolong yang diakibatkan antara lain oleh bencana alam, bencana nonalam, kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong atas investasi baru, program prioritas Pemerintah dan/atau kondisi lainnya. Ayat (a) Ayat (4) Yang dimaksud dengan "sistem informasi terintegrasi" ^adalah sistem Indonesia National Single Windott; ^yang ^terintegrasi dengan SIINas, INATRADE, dan sistem informasi ^dari kementerian / lembaga terkait. Pasal 13 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Rapat koordinasi teknis diselenggarakan dalam ^rangka penyiapan bahan rapat koordinasi menteri danlatau ^pejabat pimpinan tinggi utama/madya. Pasal 14 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Penetapan rencana kebutuhan Industri disusun dengan memperhatikan rencana induk pembangunan industri nasional dan kebijakan industri nasional. Sumber pen5rusunan rencana kebutuhan Industri berasal dari Perusahaan Industri. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pusat penyedia Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong" adalah badan usaha yang menyediakan ^Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong untuk memenuhi ^kebutuhan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong bagi Industri kecil dan Industri menengah. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 16 Cukup ^jelas Pasal 17 Cukup ^jelas Pasal 18 Yang dimaksud dengan "data yang tersedia" adalah data yang diterima dari kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait. Pasal 19 Cukup ^jelas Pasal 20 Cukup ^jelas Pasal 21 Cukup ^jelas Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas Pasal 24 Cukup ^jelas Pasal 25 Cukup ^jelas Pasal 26 Cukup ^jelas Pasal 27 Cukup ^jelas. Pasal 28 Cukup ^jelas. Pasal 29 Cukup ^jelas. Pasal 30 Cukup ^jelas. Pasal 31 Cukup ^jelas Pasal 32 Cukup ^jelas Pasal 33 Cukup ^jelas Pasal 34 Pasal ini berasal dari Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor ^2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana ^Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol7 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6016). Pasal 35 Cukup ^jelas Pasal 36 Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Pasal ini berasal dari Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor ^2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol7 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6016). Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas Ayat (a) Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Huruf a Yang dimaksud dengan "ruang lingkup yang sejenis" antara lain sejenis dalam hal Bahan Baku/material dan metode pengujian. Huruf b Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (10) Cukup ^jelas. Ayat (1 1) Cukup ^jelas. Ayat (12) Cukup ^jelas. Ayat (13) Cukup ^jelas. Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Pasal ini berasal dari Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol7 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6016).

      Pasal 42

      Pasal 42 Cukup ^jelas. Pasal 43 Pasal ini berasal dari Pasal 19 Peraturan ^Pemerintah ^Nomor ^2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan Sarana ^dan ^Prasarana ^Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oI7 ^Nomor ^9, Tambahan Lembaran Negara Republik ^Indonesia ^Nomor 6016). Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "koordinasi ^pengawasan" adalah secara bersama-sama antara Menteri dengan ^menteri dan/atau kepala lembaga ^pemerintah ^nonkementerian terkait dengan tugas dan fungsinya. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 44 Cukup ^jelas Pasal 45 Pasal ini berasal dari Pasal 20 Peraturan ^Pemerintah ^Nomor ^2 Tahun 2Ol7 tentang Pembangunan ^Sarana dan ^Prasarana ^Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol7 ^Nomor ^9, Tambahan Lembaran Negara Republik ^Indonesia ^Nomor 6016). Pasal 46 Pasal ini berasal dari Pasal 25 Peraturan ^Pemerintah ^Nomor ^2 Tahun 2OL7 tentang Pembangunan Sarana dan ^Prasarana ^Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol7 ^Nomor ^9, Tambahan Lembaran Negara Republik ^Indonesia ^Nomor 6016). Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Ayat (21 Yang dimaksud dengan "bidang lain" adalah bidang selain bidang perindustrian yang berkaitan dengan obyek pengawasan, antara lain bidang perdagangan, energi dan sumber daya mineral, dan pertanian. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas Pasal 49 Cukup ^jelas. Pasal 5O Cukup ^jelas Pasal 51 Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Cukup ^jelas. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Cukup ^jelas. Pasal 56 Cukup ^jelas.


      Pasal 57

      Pasal 57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Cukup ^jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Pasal ini berasal dari Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2Ol8 tentang Pemberdayaan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6220)'. Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "sumber daya alam strategis" meliputi sumber daya alam yang terbarukan dan tidak terbarukan, hayati dan nonhayati, keberadaannya terbatas, nilai ekonomi tinggi, sebagai sumber daya alam alternatif, memiliki potensi sebagai Bahan Baku alternatif, mineral langka, dibutuhkan untuk memenuhi Industri hilirnya. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 61 Pasal ini berasal dari Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2Ol8 tentang Pemberdayaan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol8 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6220ll. Ayat (1) Huruf a Penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah Pusat meliputi industri yang:


  66. hanya 1. hanya boleh dimiliki oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

  1. tidak menarik bagi investor swasta namun diperlukan oleh negara danf atau masyarakat. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Pemerintah Pusat dapat membentuk usaha ^patungan, ^baik dengan pihak swasta nasional maupun ^pihak swasta asing. Pasal 62 Pasal ini berasal dari Pasal 49 Peraturan Pemerintah ^Nomor ^29 Tahun 2Ol8 tentang Pemberdayaan Industri ^(Lembaran ^Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol8 Nomor 101, ^Tambahan ^Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6220)r. Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "fasilitas fiskal" antara lain ^pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk atas Impor barang, pembebasan PPN, atau tidak dipungut PPN, atau dibebaskan dari PPh Pasal 22 impor. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas
    Pasal 64

    Pasal 64 Pasal ini berasal dari Pasal 51 Peraturan Pemerintah ^Nomor ^29 Tahun 2Ol8 tentang Pemberdayaan Industri ^(Lembaran ^Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol8 Nomor 1O1, ^Tambahan ^Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 62201. Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud "kondisi darurat" adalah bencana alam dan bencana nonalam. Ayat (6) Cukup ^jelas. Pasal 65 Pasal ini berasal dari Pasal 52 Peraturan ^Pemerintah Nomor ^29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri ^(Lembaran ^Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 101, Tambahan ^Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6220). Pasal 66 Pasal ini berasal dari Pasal 53 Peraturan ^Pemerintah Nomor ^29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri ^(Lembaran ^Negara Repubtik Indonesia Tahun 2018 Nomor 101, ^Tambahan ^Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6220). Pasal 67 Cukup ^jelas Pasal 68 Cukup ^jelas.


    Pasal 69

    Pasal 69 Cukup ^jelas Pasal 70 Cukup ^jelas Pasal 71 Cukup ^jelas Pasal 72 Cukup ^jelas Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal 74 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas Pasal 77 Cukup ^jelas Pasal 78 Cukup ^jelas Pasal 79 Cukup ^jelas Pasal 80 Cukup ^jelas Pasal 81 Cukup ^jelas Pasal 82 Cukup ^jelas Pasal 83 Cukup ^jelas Pasal 84 Cukup ^jelas Pasal 85 Cukup ^jelas Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Cukup ^jelas Pasal 89 Cukup ^jelas Pasal 90 Cukup ^jelas Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup ^jelas. Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup ^jelas. Pasal 95 Cukup ^jelas. Pasal 96 Cukup ^jelas. Pasal 97 Cukup ^jelas Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas Pasal 101 Cukup ^jelas Pasal 102 Cukup ^jelas Pasal 103 Cukup ^jelas. Pasal 104 Cukup ^jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 107 Cukup ^jelas Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup ^jelas. Pasal 1 10 Cukup ^jelas. Pasal 1 1 1 Cukup ^jelas. Pasal 1 12 Cukup ^jelas. Pasal 1 13 Cukup ^jelas Pasal 1 14 Cukup ^jelas Pasal 1 15 Cukup ^jelas. Pasal I 16 Cukup ^jelas. Pasal 1 17 Cukup ^jelas Pasal 1 18 Cukup ^jelas Pasal 1 19 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup ^jelas. Pasal 121 Cukup ^jelas. Pasal I22 Cukup ^jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas.


    Pasal 125

    Pasal 125 Cukup ^jelas Pasal 126 Cukup ^jelas. Pasal 127 Cukup ^jelas. Pasal 128 Cukup ^jelas Pasal 129 Cukup ^jelas. Pasal 130 Cukup ^jelas. Pasal 131 Cukup ^jelas Pasal 132 Cukup ^jelas Pasal 133 Cukup ^jelas Pasal 134 Cukup ^jelas Pasal 135 Cukup ^jelas Pasal 136 Cukup ^jelas Pasal 137 Cukup ^jelas Pasal 138 Cukup ^jelas.


    Pasal 139

    Pasal 139 Cukup ^jelas. Pasal 140 Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup ^jelas. Pasal 142 Cukup ^jelas Pasal 143 Cukup ^jelas Pasal 144 Cukup ^jelas Pasal 145 Cukup ^jelas Pasal 146 Cukup ^jelas. Pasal 147 Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Cukup ^jelas Pasal 15O Cukup ^jelas Pasal 151 Cukup ^jelas Pasal 152 Cukup ^jelas Pasal 153 Cukup ^jelas Pasal 154 Cukup ^jelas Pasal 155 Cukup ^jelas Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Cukup ^jelas. Pasal 158 Cukup ^jelas. Pasal 159 Cukup ^jelas. Pasal 16O Cukup ^jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Cukup ^jelas Pasal 163 Cukup ^jelas Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Cukup ^jelas Pasal 166 Cukup ^jelas.


    Pasal 167 Pasal 167 Cukup ^jelas. Pasal 168 Cukup ^jelas Pasal 169 Cukup ^jelas Pasal 170 Cukup ^jelas Pasal 171 Cukup ^jelas Pasal 172 Cukup ^jelas. Pasal 173 Cukup ^jelas. Pasal 174 Cukup ^jelas Pasal 175 Cukup ^jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6640

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):