Penyelenggaraan Bidang Pertanian

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian;

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O0O Nomor 241, Tarnbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor aOa$;

  3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2OO9 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 84, Tambahan l,embaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2OL4 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619);

  4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O1O Nomor 132, Tambahan l.embaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170);

  5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2OL4 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OL4 Nomor 3O8, Tambahan l,embaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613);

  6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2Ol9 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol9 Nomor 2Ol, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6aDl;

  7. Undang-Undang Nomor 1l Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); SK No085439A MEMUTUSI(AN: SALINAN Menetapkan PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERTANIAN. BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerint-ah ini yang dimaksud dengan:


  8. Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesrin, budi daya, panen, pengolahan. dan pemasaran terkait tarrarnan perkebunan. 2. Usaha Perkebunan adalah usaha yang menghasitkan barang dhn/atau jasa Perkebunan. 3. Tanaman PerkeLrunan adalah tanaman semusim atau tanaman tahunDn yang jenis dan tujuan pengelolaannira ditetapkan untuk Usaha Perkebunan. 4. I{ak Guna Usaha yang selanjutnya disingkat HGU aclalah hak untuk mengusabakan tanah yang dikuasai langsung gleh negara r,rntuk usaha pertanian, perikanan, atau peternakan. 5. Sumber Daya Genetik yang srlanjutny: ; , disingkat SDG adalah material genetik yang berasal dari tumbuhan, hewarr,'atau jasad renik yang mengandung unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat ketur.rnan, baik yang mempunyai nilai ni'ata,naLrpun potensial 6. Benih adalah tanainarr atau bagian darinya yang digunakan trntuk memperbanyak clan/atau mengernbangbiakkah t.rnaman.

  9. Varietas k Indonesia. 1 1. Prodtrll Rekayasa Genetik yang.selanjutir',.a disingkat pRG adalatr . organisme hidup, bagian-baeiannya dan/atau hasil olahannya yang mempunyai susrrnan genetik baru dari hasil penerapan bioteknologi moder.n. 12. Benih Penjenis yang setdnjutnya disingkat BS hdarah benih generasi awal /ar1g berasal dari benih inti hasil perakitan varietas untuk perbanyakan yang memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal henih penjenis. 13. Benih ^r)asarj yang selarrjutnl,a clisingkat BD adalah ketururian pLrtama dari BS yan6 n: dmenuhi standar mutu atau nersyaiatan teknis minimal kelas hbrrih dasa"r. 14. Benit'i Pckok yang selanjutrr3)a disingkat Bp adalah keturunan dari BD atau dari BS yang memenuhi stanclar mutu atau persvdratan teknis minimal kelas benih pokok. 16. Benih Sebar ],ang selarjutnya disingkaf BR adalah ketunrnan dari BP, BD, arau BS yang memenutri stanflar mutu atau persvaratan teknis minimal kelas benih sebar. 16. Bcnih Sumber adailrh tanaman atau bagiannya yang digurra-kan r-'ntuk perbanyakan benih bermutu. 17. F'roduksi Binih adalah serangkaian kcgiatan untuk menghasilkan benih bermutu.

  10. Peredaran nih kipada masyarakat di dalam negeri dan/atau luar negeri, baik untuk diperdagangkan maupun tidak diperdagil.ngkan. 19. sertifikasi Benih adalah. proses pemberian sertilikat terhadap kelompok benih melalui sera,gkaian pemeriksaan danf atau pengujian serta memenuhi siandar muttr atau persyaratan tekni.s rninimal. 20. Label adalah keterangan tertulis atau tercetak tentang mr-ltu bcnrtr yang ditempelkan atau clipasrrng secara jelai pada selunlah benih atau setiap kenrasan. 2l- Pelaku Usaha Perkebunan adarah pekebi.rn dan/atau perusahaan Perkebunan yang mengelola. usalra Perkebunan. 22. Pekebun adalah orang. perseorangan warga Negara Indonesia yang melakukan Usaha perkebutran, dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu. 23. Perusahaan Perkebunan adalah bada: i usaha yang berbadan frukum, didirrkan menunit.hrikum Indonesia dan ber*edudukan di wilayah Indon: qia, yang mengelola Usaha Perkebunan dengan skala tertentu. 24. Setiap orang adalah orang.perseorangan at-au ko.rporasi, baik I'ang berbadan hukum maupLrn yang tidak beibaclan hukum. 25. Perlindungan varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT adalah perlindungan khusus yang diblrikan negara, yang dalam hai ini diwakili oleh pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor pvr, terhadap va.riet.rs tanarnan yang dihasrlkan oleh pe: nulia tanaman 2.1. Kantor 44. Hijauan 46 44.

  11. 48 50 sediaan Obat Hewan alami. Bahan Baku Obat Hewan adalah bahan yang digunakan untuk pembuatan Obat Hewan. Produk Jadi adalah suatu produk obat Hewan yang telah melalui seluruh tahap proses pembuatan. Penyediaan obat Hewan adalah serangkaian kegiatan pemenuhan kebutuhan obat Hewan melalui produksi dalarn negeri dan/atau pemasukan obat Hewan dari luar negeri. 49 51 52 53 54. Cara olahan, pencampuran dan/atau pengubahan bentuk balran awal menjadi Bahan Baku obat Hewan, bahan seterrgah jadi dan/atau menjadi Produk Jadi. 56. Pernasukan obat Hewan adalah serarlgkaian kegiatan untuk memasukkan obat Hewan dari ruar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 57. Peredaran obat Hewan adalah proses kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan, pengangkutan dan/atau penyerahan Obat Hewan. 58. Pengeluaran obat Hewan adalah serangkaiarr kegiatan untuk mengeluarkan obat Hewan dari ',r'ilayah' Nlgara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri. 59. Perizinan Berusaha pemasukan obat Hewan adalah keterangan tertulis yang menyatakan bahwa Obat Hewan memenuhi persyaratan ^pemasukan Obat Hewan. 60. Perizinan Berusaha pengeluaran obat Hewan adalah keterangan tertulis yang menyatakan bahwa obat Hewan memenuhi persyaratan ^pengeluaran Cbat Hewan. 61. Pelaku Usaha Peternakan adarah orang perseorangan atau korporasi baik yang berhadan hukum -aupun tidak berbadan hukum, yang nrelakukan kegiatan usaher di bidang peternakan. 62. Pelaku Usaha obat Hervan adalah orang perseorangan atau korpora-si baik yang berbadan hukum maupun tidak lrerbadan hukum, yang melakukan l<egiatan usaha di bidang Obat Hewan. 63. Produksi obat Hewan dengan Lisensi adalah pembuatan obat Hewan yang tahapan proses produksinya dilat ukan secara sebagian dan/atau keseluruhan oleh produsen dalam negeri atas de.sar lisensi dari produsen obat Flewan luar negeri. BAB II SUBSEKTOR PERKEBUNAN Bagian Kesatu Usaha Perkebunan Paragraf 1 Batasan Luas Maksimum dan Minimum penggunaan Lahan untuk Usaha Perkebunan Pasal 2 (1) Penggunaan lahan untuk Usaha perkebunan ditetapkan batasan luas maksimum dan minimum. (2) Ratasan ]uas rnaksimum dan minimurr, sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) diterapkan terhadap komoditas Perkebunan strategis tertentu. (3) Penel.apan batasan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus rnempertimbangkan:

    1. ^jenis tanaman; darr/atau b. ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat.

      (1)

      Batasan luas maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang wajib dipenuhi oleh Pemsahaan Perkebunan meliputi:

    2. kelapa sawit maksimum 100.000 (seratus ribu) hektare;

    3. kelapa maksimum 35.000 (tiga puluh lima ribu) hektare;

    4. karet maksimum 23.000 (dua puluh tiga ribu) hektare;

    5. kakao maksimum 13.OO0 (tiga belas ribu) hektare;

    6. kopi maksimum 13.000 (tiga belas ribu) hektare;

    7. tebu maksirnum 125.000 (seratus dua puluh lima ribu) hektare;

    8. teh maksimum 14.000 (empat belas ribu) hektare; dan

    9. tembakau maksimum 5.000 (lima ribu) hektare. (21 Batasan luas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (i) berlaku untuk satu Perusahaan Perkebunan secara nasional.

      Pasal 4
      (1)

      Batasan luas minirnum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditentukan untuk Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan yang menurut' sifat dan karakteristiknya terintegrasi dengan usaha pengolahan hasil Perkebunan. (21 Batasan luas minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang wajib dipenuhi oleh Perusahaan Perkebunan meliPrrti:


    10. kelapa sawit minimum 6.000 (enam ribu) hektare;

    11. tebu minimum 2.0OO (dua ribu) hektare; dan

    12. teh minimurn 600 (enam ratus) hektare. (3) Penetapan batasan luas minimum sebagaimana Cimaksud pada ayat (2) didasarkan pada skala ekonomis Usaha Perkebunan. (4) Batasan luas minimurn sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dipenuhi dari lahan milik Perusahaan Perkebunan.

      Pasal 5
      Pasal 6

      Batasan luas maksimum dan minimum selain untuk komoditas strategis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan peru ndang-undangan.



      Pasal 7

      Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan kemitraan dilarang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari batasan luas minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (21. Pasal 8 (1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Per.sal 3 ayat (1) atau Pasal 4 ayat (2) dikenai sanksi administratif. l2l ^Sanksi ^administratif ^sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) berupa:


    13. peringatan tertulis;

    14. denda; dan/atau

    15. pencabutan Perizinan Berusaha Perkebunan.

      Pasal 9

      Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) huruf a disampaikan nraksimal 3 (tiga) kali kepada Perusahaan Perkebunan dengan j.angka waktu peringatan masing-rnasing 4 (empat) bulan berturut-turut. -t2_ Pasal 10 (1) Perusahaan Perkebunan yang tidak memenuhi batasan luas maksimum atau batasan luas minimum setelah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikenai denda. (2) I)enda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:


    16. kelebihan luas maksimum dihitung menggunakan rumus: kelebihan luas lahan yang diusahakan (per hektare) x harga nilai jtral objek pajak dikali 2 (dua); atau

    17. kekurangan luas minimum dihitung menggunakan rumus: kekurangan luas lahan yang dipindahkan (per hektare) x harga nilai jual objek pajak dikati 2 (dua). (3) Denda sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk surat tagihan. (4) Surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh penerbit pbrizinan Berusaha sesuai dengan kewenangannya. (5) De.da. yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah yang diatur sesuai dengan ketentuan peratu ran perundang-undangan. Pasal 1 1 Apabila dalam jangka .u"i.t, paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak surat tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) diterima, Perusahaan perkebunan:

    18. telah membayar denda dan tidak memenuhi batasan luas maksimirm atau luas minimum; atau

    19. tidak membayar denda dan tidak memenuhi batasan,luas maksimum atau luas minimum, dikenai sanksi pencabutan perizinan Berusaha perkebunan. Paragtaf 2 Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Pasal 12 (1) Pertrsahaan Perkebunan yang rneirdapatkan perizinan Berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari:

    20. area b. area yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilrtasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 2Oo/o (dua puluh persen) dari luas lahan tersebut. (2) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak lahan untuk USaha Perkebunan diberikan HGU.

      Pasal 13

      Pelaksanaan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimakSud dalam Pasal 12 tidak mengurangi pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan Perusahaan Perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 14 (1) Fasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 12 diberikan kepada masyarakat sekitar yang tergabung dalam kelembagaan pekebun berbasis komoditas Perkebunan. (2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud berupa:


    21. kelompok tani;

    22. gabungan kelompok tani;

    23. lemhaga ekonomi petani; dan/atau

    24. koperasi. pada ayat (1),

      Pasal 15

      Masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) wajib:


    25. mengusahakan dan memanfaatkan lahan yangdifasilitasi;

    26. menaati ketentuan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak; darr c. melakukan kegiatan budi daya sesuai dengan praktik budi daya yang baik. Pasal 16

    27. pola kredit;

    28. pola bagi hasil;

    29. bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak; dan/atau

    30. bentuk kemitraan lainnya. Pasal 17 Pola dan bentuk fasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dimuat dalam perjanjian kerja sama. Pasal 18 (1) Pola kredit sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 huruf a terdiri atas:

    31. pola kredit program; dan

    32. pola kredit komersial. (21 Pola kredit program dan pola kredit komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 19 ^' (1) Pola bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 huruf b, dilaksanakan melalui skema pinjarnan sebagian atau seluruh biaya pembangunan f,rsik kebun. (2) Pola bagi hasil sebagairnana dimaksud pada ayat (1) berakhir setelah penerima fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar melunasi seluruh pinjaman yang diberikan oleh Perusahaan Perkebunan. Pasal 20 (1) Bentuk pendanaan lainrrya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 hurufc dapat berupa hibah. (21 Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , tidak diperhitungkan sebagai:

    33. biaya pelaksanaan kemitraan; dan

    34. pelaksanaan tangguhg jawab sosial dan lingkungan Perusahaan Perkebunan. Pasal 21 (1) Bentuk kemitraan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf cl dilakukan pada kegiatan usaha produktif Perkebunan. (2) Kegiatan usaha produktif Perkebunan dimaksud pada ayat (1) meliputi: sebagaimana a. subsistem hulu;

    35. subsistem kegiatan budi daya;

    36. subsistem hilir;

    37. subsistempenunjang;

    38. fasilitasi kegiatan peremajaan Tanaman perkebunan masyarakat sekitar; dan/atau

    39. bentuk kegiatan lainnya. (3) Kegiatan usaha produktif perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat 12) diberikan pembiayaan minimal setara dengan nilai optimum produksi kebun di lahan seluas 2oo/o (dua puluh persen) dari total areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan ^perkebunan. (41 Nilai optimum produksi kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan hasil produksi neto rata-rata kebun dalam 1 (satu) tahun. Pasal 22 Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 dilakukan melalui tahapan:

    40. persiapan;

    41. pelaksanaan; dan

    42. pembiayaan. Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut mengenai:

    43. pola dan bentuk fasilitasi pembangunan kebun sebagairnana climakstrd dalam pasal 16; dan

    44. tahapan fasilitasr pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud daiam pasal 22, diatur dengan Peraturan Menteri.

      Pasal 24

      t6 Pasal 24 Perusahaan Perkebunan waj ib menyampaikar. laporan fasilitasi perrrbangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 paling sedikit 1 (satu) tahun sekali kepada penerbit Perizinan Berusaha sesuai dengan kewenangannya. Pasal 25 (1) Perusahaan Perkebunan yang tidak memenuhi ketentuan mengenai:


    45. kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 2O%o (dua puluh persen) sesuai dengan ^jangka waktu sebagaimana dimaksucl dalam Pasal 12; dan latau j b. pelaporan fasilitasi pembarrgrnan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dikenai sanksi administratif. (2\ Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    46. denda;

    47. penghentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan/atau

    48. pencabutan Perizinan Berusaha Perkebunan. Pasal 26 (1) Perusahaan Perkebunan yang- melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a atau huruf b dikenai denda dengan menggunakan rumus: , LA x BPK. (21 Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerangkan:

    49. LA = luas lahan yang diusahakan setara dengan 2Oo/o (dua puluh persen) kapasitas unit pengolahan hasil Perkebunan; dan

    50. BPK = biaya pembang.rnan kebtrn per hektare, berupa pembukaan lahan dan penanaman. (3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk surat tagihan. (41 Surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh penerhit Perizinan Berusaha sesuai dengan kewenangannya. Pasal 27 Perusahaan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dalam jangka waktu:

    51. selama 6 (enam) bulan terhitung sejak diberikan surat tagihan wajib memenuhi kewajiban memfasihtasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 2O%o (dua puluh persen); atau

    52. selama 1 (satu) bulan terhitung sejak diberikan surat tagihan wajib menyampaikan laporan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar. Pasal 28 Apabila Perusahaan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 tetap tidak:

    53. memenuhi kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 2O%o (dua puluh persen); atAu b. menyampaikan laporan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, dikenai sanksi penghentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan selama 6 (enam) bulan. Pasal 29 Apabila Perusahaan Perkebunan tetap tidak memgnuhi kewajiban dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha Perkebunan. Paragraf 3 Jenis Pengolahan Hasii Perkebunan Tertentu dan Jangka Waktu Tertentu Pasal 30 (1) Setiap unit pengolahan hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak unit pengolahan hasil Perkebunan tertentu beroperasi.

      (2)

      Unit a. pada satu hamparan antara unit pengolahan gula tebu dengan kebun tebu; atau

    54. dalam hamparan terpisah antara unit pengolahan gula tebu dengan kebun tebu. Pasal 31 (1) Pengirrtegrasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (3) dan ayat (4) didasarkan pada sifat dan karakteristik komoditas tebu. (2) Sifat dan karakteristik kornoditas tebu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjamin waktu antara panen hingga pengolahdn tidak melampaui 48 (ernpat puluh delapan)jam. (3) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memenuhi standar mutu tebu. Pasal 32 (1) Kewajiban membangun kebun. tebu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 untuk memenuhi paling rendah 2Ooh (dua puluh persen) bahan baku sesuai dengan kebutuhan kapasitas giling unit pengolahan. (21 Dalam hal pemenuhan paling rendalr- 2Ooh (dua puluh persen) bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi secara mandiri, perusahaan Perkebunan dapat memenuhi kekurangannya melalui kemitraan. (3) Pembangunan kebr-rn tebu sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dan ayat (21dapat dilakukan cli atas tanah:

    55. HGU Perusahaan Perkeburran;

    56. hak pakai; dan/atau

    57. hak milik Pekebun. Perusahaan Perkebunan wajib menyampaikan laporan pembangunan kebun tebu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 paling sedikit I (satu) tahun sekali kepada penerbit Perizinan Berusaha sesuai clengan kewenangannya. Pasal 34 (1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dikenai sanksi administratif. {21 ^Sanksi ^administratif ^sebagaimana dimaksud ^pada ayat (l) berupa:

    58. peringatantertulis;

    59. pengenaan denda;

    60. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

    61. penca6utan izin Usaha Perkebunan. (3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:

    62. Menteri;

    63. gubernur; atau

    64. bupati/wali kota, . sesuai dengan kewenangannya. (4) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan maksimal 3 (tiga) kali kepada Perusahaan Perkehunan dengan jangka waktu peringatan masing-masing 4 (empat) bulan berturut-turut. Pasal 35 (1) Apabila Perusahaan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) tetap tidak memenuhi kewajiban, dikenai denda menggunakan rLlmus: LA x BpK. (2) Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerangkan:

    65. LA = luas lahan yang.diusahakan setara dengan 2Oo/o (dua puluh persen) kebutuhan kapasitas giling unit p'engolahan; dan

    66. BPK = biaya pembangunan kebun per hektare, berupa pembukaan lahan dan penanaman. (3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk surat tagihan.

      (4)

      Surat a. membayar denda, diberikan jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun untuk membangun kebun gula yang terintegrasi; atau

    67. tidak membayar denda, dilakukan penghentian sementara kegiatan selanta 6 (enam) bulan. (7) Apabila Perusahaan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tetap tidak dapat memenuhi kewajiban membangun kebun gula yang terintegrasi, dikenai sanksi pencabutan Perizinan Berusaha Perkebunan. Bagian Kedua Perbenihan Paragraf 1 Pencarian, Pengumpulan, Pemanfaatan, dan Pelestarian Sumber Daya Genetik Tanaman Perkebunan Pasal 36 (1) varietas Perkebunan hasil Pemuliaan atau Introduksi sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh Menteri. (2) Varietas Perkebunan yang telah dilepas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproduksi dan diedarkan. Pasal 37 (1) Varietas Perkebunan hasil Pemuliaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) berasal dari pencarian dan pengumpulan SDG Tanaman Perkebunan. (21 Pencarian dan pengumpulan SDG Tanaman pcrkebunan sebagaimana dimaksuC pacla aye.,_t (1) dilakukan oleh Menteri dan menteri/kepalrr lembaga pemerintah nonkernenterian sesuai dengan kewenangannya. Pasal 38 (1) Dalam hal kegiatan pencarian dan pengumpulan 'SDG Tanaman Perkebunan dilakukan di dalam kawasan hutan, selain memiliki persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) wajib mendapat persetujuan memasuki kawasan hutan dari menteri yang menyelenggarakan- urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. (21 Persetujuan Merrtefi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan pencarian dan pengumpulan SDG Tanaman Perkebunan yallg merupakan tumbuhan yang dilindungi, diberikan setelah mendapatkan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. Pasal 39 (1) Orang perseorangan atarr badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) menyampaikan permohonan pencarian dan pengumpulan SDG Tanaman Perkebunan kepada Menteri. (21 Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit rnemuat:

    68. ^'tujuan pencarian dan pengumpulan SDG Tanaman Perkebunan;

    69. lokasi pencarian dan pellgumpulan SDG Tanaman Perkebunan;

    70. waktu pelaksanaan;

    71. materi yang akan dicari dan dikumpulkan;

    72. bank SDG untuk tempat pengumpulan;

    73. perjanjian pengalihan material {ma{eial transfer agreement) jika materi akan dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

    74. pelaksana. Pasal 40 Kegiatan pencarian dan pengumpulan SDG Tanaman Perkebunan dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar habitat Tanaman Perkebunan. Pasal 4 1 (1) Kegiatan pengumpulan SDG Tanarnan Perkebunan dilakukan di bank SDG Tanaman Perkebunan. (2) Bank SDG Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk kebun koleksi atau gudang berpendi ngin (cold storagel . Pasal 42 (1) Hasil kegiatan pencarian dan pengumpulan SDG Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) wajib dilaporkan kepada Menteri. (21 Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit rnemuat informasi mengenai:

    75. ^jenis tanaman;

    76. bentuk bahan tanaman;

    77. deskripsi tanaman;

    78. aksesi;

    79. ^jumlah; dan

    80. lokasi asal dan waktu. Pasal 43 (1) Pemanfaatan SDG Tanaman Perkebunan dilakukan secara berkelanjutan. (21 Pemanfaatan SDG Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:

    81. Pemuliaan;

    82. penelitian ddn pengembangan; dan/atau

    83. pemeliharaan bank SDG Tanaman Perkebunan.

    84. pencarian dan pengumpulan SDG ^Tanaman Perkebunan;

    85. pengeluaran SDG Tanaman Perkebunan dari ^wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau

    86. pemasukan SDG Tanaman Perkebunan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Pemanfaatan SDG Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sendiri atau melalui kerja sama. (5) Pemanfaatan SDG Tanaman Perkebunan sebagaimana ilimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri, menteri/kepala lembaga pernerintah nonkementerian, gubernur, bupati/wali kota, danf atau Setiap Orang.

      Pasal 44
      (1)

      Menteri, menteri/kepaia lembaga pemerintah nonkementerian, gubernur, dan/atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya melakukan ^pelestarian SDG Tanaman Perkebunan. (21 Pelestarian SDG Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:


    87. penetapan lokasi yang menjadi sutnber keragaman genetik Tanaman Perkebunan asli Indonesia sebagai bank SDG Tanaman Perkebunan yang bersifat in siht;

    88. pengumpulan hasil pencarian SDG Tanaman Perkebunan di kebun koleksi khusus yang bersifat ex siht;

    89. pemeliharaan terhadap aksesi yang terdapat dalam bank SDG Tanaman Perkebunan;

    90. perlindungan terhadap perubahan peruntukan areal bank SDG Tanaman Perkebunan; dan

    91. inventarisasi SDG Tanaman ,Perkebunan hasil pencarian dan pengrtmpttlan. (3) Pelestarian SDG dirnaksud pada masyarakat. Tanaman Perkebrrnan sebagaimana ayat (21 huruf b dapat melibatkan

      Pasal 45

      Inventarisasi SDG Tanaman Perkebunan hasil pencarian dan pengumpulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (21 huruf e dilakukan dengan mengelompokkan SDG Tanaman Perkebunan berdasarkan :


    92. karakter; dan

    93. nilai kegunaan.

      Pasal 45

      Ketentuan lebih lanjut noengenai tata cara ^pemberian persetujuan, teknis pelaksanaan kegiatan pencarian dan p.engumpulan SDG Tanaman Perkebunan, pelaksanaan pemanfaatan SDG Tanaman Perkebunan, pelestarian SDG Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 45 diatur dengan'Peraturan Menteri. Paragraf 2 Introduksi


      Pasal 47

      Introduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dilakukan dalam bentuk Benih Tanaman Perkebunan atau matgri induk untuk Pemuliaan Tanaman Perkebunan.


      Pasal 48
      (1)

      Introduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilakukan oleh Menteri, menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya, atau Pelaku Usaha Perkebunan. (21 Introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh persetujuan Menteri. (3) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon mengajukan permohonan Introduksi Varietas Perkebunan kepada Menteri dengan dilengkapi proposal.

      (4)

      Proposal a. tujuan Introduksi;


    94. deskripsi materi Introduksi; dan

    95. jumlah materi yang dibutuhkan.

      Pasal 49

      Pemegang persetujuan Introduksi yang telah melaksanakan Introduksi wajib:


    96. menyampaikan laporan tertulis; dan

    97. menyerahkan sebagian Benih Tanaman Perkebunan atau . materi induk yang diintroduksi, kepada Menteri. Paragraf 3 Pelepasan Varietas Perkebunan Pasal 50 (1) Calon Varietas Perkebunan yang akan dilepas sebagaimarra dimaksud dalanr Pasal 36 ayat (1) dapat berasal dari Pemuliaan di dalam negeri atau Introduksi. (2) Calon Varietas Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    98. tanaman n<,,n-PRG; dan

    99. tanaman PRG. (3) Tanaman non-PRG -sel-ragaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a dapat berupa:

    100. galur murni;

    101. multilini;

    102. populasi bersari bebas;

    103. kompositi e. sintetik;

    104. klon;

    105. semiklon;

    106. biklon;

    107. multiklon;

    108. mutan; atau

    109. hibrida. (41 Tanaman PRG sebagaimana dimaksud pada ayat (21huruf b dapat berupa;

    110. multilini;

    111. populasi bersari bebas;

    112. sintetik;

    113. klon;

    114. semiklon;

    115. biklon;

    116. multiklon;

    117. mutan; atau

    118. hibrida. (5) Selain calon Varietas Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2l., pelepasan dapat dilakukan terhadap Varietas Lokal yang mempunyai keunggulan. Pasal 51 (1) Pelepasan Varietas Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dilakukan oleh Menteri. (2) Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk Keputusan Menteri Pasal 52 Ketentuan mengenai pelaksanaan pelepasan sebagaimana dimaksud' dalam Pasal 50 dan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Produksi, Sertifikasi, Pelabelan, dan Peredaran Benih Tanaman Perkebunan Pasal 53 (1) Benih Tanaman Perkebunan dapat berasal dari Benih unggul dan/atau Benih unggul lokal. (21 Benih Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan produksi, sertifikasi, pelabelan, dan peredaran. Pasal 54 Benih unggul dan Benih unggul lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) berasal dari sumber Renih yang sudah ditetapkan oleh Menteri. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 56 (1) Perbanyakan Generatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (11 dilakukan untuk varietas bersari bebas, hibrida, dan galur murni. (21 Perbanyakan Generatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

    119. p.roses Produksi Benih varietas bersari bebas dimulai dari pemilihan pohon induk dan/atau pembangunan kebun sumber Benih;

    120. proses Produksi Benih varietas hibrida dimulai dari penetapan tetua betina dan tetua jantan, dilanjutkan Produksi Benih hibrida dengan menyilangkan tetua betina terpilih dengan tetua jantan terpilih; atau

    121. proses Produksi Benih galur murni .dirnulai dari penanamair BS, dilanjutkan dengan BD, BP, dan/arau BR. Pasal 57 (1) Perbanyakan Vegetatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 avat (1) dilakukan dengan metode konvensional dan/atau kultur jaringan. (21 Metode konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi okulasi, cangkok, sambung, anakan, dan setek. (3) Metode kultur jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi otganogenesis dan embriogenesis somatik. (4) Perbanyakan Vegetatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Benih Tanaman Perkebunan terdiri atas BS, BD, BP, dan/atau BR. BS; BD; BP; dan BR. a b c d

      Pasal 58

      Benih Te-naman Perkebunan berasal dari pohon induk terpilih, kebun induk, atau kebun entres.


      Pasal 59
      (1)

      Produksi Benih Tanaman Perkebunan dilakukan oleh perorangan, badan hukum, atau instansi pemerintah. (21 Perorangan, badan hukum, atau instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:


    122. memiliki dan/atau mengr-rasai Benih Sumber;

    123. memiliki unit Produksi Benih Tanaman Perkebunan . yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang rnemadai sesuai dengan jenis tanaman; dan

    124. memiliki tenaga ahli dan/atau terampil di bidang perbenihan. (3) Dalam hal perorangan, badan hukum, atau instansi pemerintah yang tidak memiliki dan/atau meriguasai Benih Sumber ^'sebagairnana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dapat membesarkan BD, BP, dan BR yang berasal dari produsen Benih yang memiliki Benih Sumber. Pasal 60 (1) Perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 59 ayat (1) wajib memiliki Perizinan Berusaha Produksi Benih Tanaman Perkebunan. (2) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat {1) merupakan'instansi pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi untuk memproduksi Benih Tanaman Perkebunarr. (3) Perizinan Berusaha Produksi Benih Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) diterbitkan oleh gubernur. (4) Gubernur dalam menerbitkan Perizinan Berusaha Produksi Benih Tanaman Perkebunan dapat melimpahkan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk. ' (5) Perizinan Berusaha Produksi Benih Tanaman Perkebunan yang diterbitkan gubernur ctitembuskan kepada Menteri.

      Pasal 61

      Perizinan Berusaha Produksi Benih Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


      Pasal 62

      Produsen Benih Tanarnan Perkebunan yang telah memiliki Perrzinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) dapat mengedarkan Benih Tanaman Perkebunan, setelah dilakukan sertifikasi dan diberi Label.


      Pasal 63

      Sertifikasi dan pelabelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


      Pasal 64
      (1)

      Ketentuan mengenai:


    125. persetujuan pencarian dan pengumpulan SDG Tanaman Perkebunan sebagaimaira dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3); dan

    126. pelepa.san Varietas Perkebunan hasil Pemuliaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), dikecualikan terhadap petani kecil. (21 Pengecualian sebagaimar.a dimaksud pada ayat (1) diberlakukarr dengan ketentuan:

    127. petani kecil melaporkan kepada perangkat daerah provinsi yanB menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang Perkebunan selanjutnya disampaikan kepada Menteri; dan

    128. Varietas Perkebunan hasil Pemuliaan petani kecil hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam satu kabupaten/kota. (3) Perangkat daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2\ huruf a melakukan pembinaan terhadap kegiatan Pemuliaan yang dilakukan oleh petani kecil. Paragraf 5 . Pasal 65 (1) Benih unggul dapat diedarkan ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Benih unggul lokal dapat diedarkan dalam 1 (satu) wilayah provinsi. (3) Dalam kondisi ..tertentu, Benih unggul lokal dapat diedarkan antarwilayah provinsi. (4) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:

    129. telah terpenuhinya kebutuhan Benih unggul lokal di wilayah provinsi asal; dan

    130. tidak tercukupi dan tidak terdapat Benih Tanaman Perkebunan pada lokasi pengembangan di suatu provinsi yang dinyatakan oleh perangkat daerah . ^provinsi yang ^merlyelenggarakan ^tugas dan fungsi ^di bidang Perkebunan. Pasal 66 (1) Pengawasan peredaran dilakukan terhaclap setiap Benih 'fanaman Perkebunan yang diedarkan di dalam kabupaten/kota, antarkabupaten/kota, dan antarprovinsi. (21 Pengawasan Peredaran Benih Tanaman Perkebtrnan dilakukan oleh pengawas Benih tanaman. (3) Pelaksanaan pengawasan Peredaran Benih Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan dengan batasan waktu berdasarkan masa berlaku Label untuk rnasing-masing komoditas/jenis Benih Tanaman Perkebunan. (4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui pengecekan .dokumen, pengecekan mutu Benih, dan/atau pelabelan ulang. (5) Pelabelan ulang sebagaimana dirrraksud pada ayat (41 hanya diperuntukkan bagi Benih ortodoks.

      (6)

      Pengawasan Bagian Ketiga Pembinaan Teknis dan Penilaian Usaha Perkebunan Pasal 67

      (1)

      Pembinaan teknis untuk Perusahaan Perkebunan milik negara, swasta, dan/atau Pekebun dilakukan oleh Pemerintah Pusat secara berkala dan berkelanjutan. i2) ^Pembinaan ^teknis ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ^ayat ^(1) mencakup:

    131. perencanaan;

    132. pelaksanaan Usaha Perkebunan;

    133. pengolahan dan pemasaran hasil Perkebunan;

    134. penelitian dan pengembangan;

    135. pengembangan sumber daya manusia;

    136. pembiayaan Usaha Perkebunan; dan

    137. pemberian rekomendasi penanaman modal.

      Pasal 68
      (1)

      Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (21 huruf a meliputi pengembangan komoditas, wilayah, dan sumber daya manusia. (21 Pelaksanaan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b meliputi perbenihan, budi daya, perlindungan Perkebunan, pascapanen, dan kemitraan usaha. (3) Pengolahan dan pemasaian hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf c meliputi standardisasi, mutu, diversifikasi produk, informasi pasar, promosi, penumbuhan ptrsat pemasaran, dan peningkatan daya saing/citra produk. (4) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) hururf d meliputi perbenihan, budi daya, perlindungan Perkebunan, pascapanen, pengolahan dan pemasaran hasil serta kelembagaan usaha. Pasal 69 (1) Pengawasan Usaha Perkebunan dilakukan melalui ' penilaian Usaha Perkebunan. (21 Penilaian Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:


    138. bupati/wali kota untuk Perizinan Berusaha yang diterbitkan dalam wilayah kabupaten/kota;

    139. gubernur untuk Perizinan Berusaha yang diterbitkan lintas wilayah kabupate n I kota.; atau

    140. Menteri untr.rk Perizinan Berusaha yang diterbitkan lintas wilayah provinsi. (3) Bupati/wali kota, gubernur, ataLl Menteri dalam melaksanakan penilaian Usaha Perkebrrnan menunjuk aparatur sipil negara yang telah mendapatkan pelatihan penilaian Usaha Perkebunan. (4) Pelatihan penilaian Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian (5) Dalam hal bupat^/wali kota tidak melaksanakan penilaian Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a, penilaian Usaha Perkebunan dilakukan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. (6) Dalam hal gubernur tidak melaksanakan penilaian Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2\huruf b, penilaiari Usaha Perkebunan dilakukan oleh Menteri. (71 Penilaian Usaha Perkebunan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perizinan Berusaha.

      Pasal 70
      (1)

      Penilaian Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dilakukan kepada Perusahaan Perkebunan pada tahap pembangunan kebun dan tahap operasional Usaha Perkebunan. (.2) Penilaian Usaha Perkebunan untuk:


    141. tahap pembangunan kebun dilakukan setiap 1 (satu) tahun sekali; dan

    142. tahap operasional dilakukan setiap 3 (tiga) tahun sekali.

      Pasal 71
      (1)

      Penilaian Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dilakukan dengan pendekatan sistem dan usaha agrobisnis. (2) Penilaian Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memadukan keterkaitan berbagai subsistem dimulai dari penyediaan prasarana dan sarana produksi, produksi, pengolahan dan pemasaran hasil serta jasa penunjang lainnya. BAB III PERMOHONAN HAK PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN Bagian Kesatu Persyaratan Permohonan Hak Perlindungan Varietas Tanaman Paragraf 1 Persyaratan Varietas Tanaman Pasal T2 (1) PVT dapat diberikan pada varietas tanaman hasil Pemuliaan dari jenis atau spesies tanaman yang baru, unik, seragam, stabil, dan diberi nama.

      (2)

      Tanaman . Pasal 73 (1) Varietas tanaman dianggap baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), apabila pada saat penerimaan permohonan Hak PVT, bahan perbanyakan atau hasil panen dari varietas tanaman:


    143. belum pernah diperdagangka.n;

    144. sudah diperdagangkan di Indonesia tidak lebih dari 1 (satu) tahun untuk tanarnan semusim atau tanaman tahunan; atau ' c. sudah diperdagangkan di luar negeri tidak lebih dari 4 (empat) tahun untuk tanaman semusim dan 6 (enam) tahun untuk tanaman tahunan. (2) Varietas tanaman dianggap unik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), dalam hal varietas dapat dibedakan secara jelas dengan varietas lain yang keberadaannya sudah diketahui secara umum pada saat penerimaan permohonan Hak PVT. (3) Varietas tanaman dianggap seragarn sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), dalarn hal sifat utama atau penting pada varietas terbukti seragam, meskipun bervariasi sebagai akibat dari cara tanam dan lingkungan yang berbeda-beda. (41 Varietas tanaman dianggap stabil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), dalam hal sifat tidak mengalami perubahan setelah ditanam. berulang, atau untuk yang diperbanyak melalui siklus perbanyakan khusus, tidak mengalami perubahan pada setiap akhir siklus tersebut. (5) Varietas tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal T2 ayat (1) diberi nama sebagai idendtas dari varietas tanaman yang diberikan PVT.

      Pasal 74

      Varietas tanarnan yang penggunaannya bertentangan dengan a. ketentuan peraturan perunclang-undangan;


    145. ketertiban umum;

    146. kesusilaan;

    147. norma agama;

    148. kesehatan; dan/atau

    149. kelcstarian lingkungan hidup, tidak dapat diberi PVT. Paragraf 2 Persyaratan Permohonan Pasal 76 (1) Permohonan Hak PVT dapat dilakukan oleh:

    150. pemulia;

    151. orarrg atau badan usaha yang mempekerjakan pemulia atau yang memesan varietas tanaman dari pemulia;

    152. ahli u,aris; atau

    153. konsultan PVT. (21 Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang pemohonnya tidak bertempat tinggal atau tidak berkedudukan tetap di wilayah Indonesia, harus melalui konsultan PVT di Indonesia selaku kuasa. (3) Konsultan PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus terdaftar di Kantor PVT. (41 Konsulta.n PVT berkeu,ajiban. menjaga kerahasiaan varietas tanaman dan seluruh dckumen permohonan Hak PVT, sampai dengan tanggal diurnumkannya permohonan Hak PVT yang bersangkutan.

      Pasal 77

      Pegawai Kantor PVT selama masih dinas aktif hingga selama 1 (satu) tahun sesudah pensiun atau berhenti karena sebab apapun dari Kantor PVT atau orang yang karena penugasannya bekerja untuk dan atas nama Kantor PVT, dilarang mengajukan permohonan Hak P\rT, kecuali dalam hal kepemilikan Hak PVT diperoleh karena warisan. . Bagian Kedua Tata Cara Permohonan


      Pasal 78

      Pemohon menyampaikan permohonan sebagainrana dimaksud dalam Pasal 75 dengan melengkapi dokumen:


  12. tanggal, bulan, dan tahun surat permohonan;

  13. nama dan alamat lengkap pemolron;

  14. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan pemulia serta nama ahli waris yang ditunjuk; dan

  15. nama varietas;

    1. bukti setor pembayaran permohonan;

    2. deskripsi varietas baru;

    3. foto yang disebut dalam deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas deskripsinya;

    4. surat kuasa kepada konsultan yang sudah ditandatangani oleh pemohon dan konsultan di atas kertas bermaterai, dalam hal permohonan Hak PVT diajukan melalui konsultan PVT;

    5. sertifikat keamanan hayati PRG dari instansi yang berwenang, dalam hal merupakan varietas hasil rekayasa genetik;

    6. surat perjanjian dengan pemilik varietas asal, dalam hal nrerupakan varieras turunan esensial; dan

    7. salinan sah surat dan dokumen permohonan Hak PVT yang pertama kali dan disahkan'oleh yang berwenang di negara asal, dalam hal merupakan permohonan Hak PVT dengan menggunakan hak prioritas. Pasal 79 (1) Dalam hal permohonan untuk memperoleh Hak PVT menggui-rakan hak prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf h, harus memenuhi persyaratan:

    8. diajukan dalam ^jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerimaan pengajuan permohonan Hak PVT yang pertama kali di negara lain;

    9. dilengkapi salinan surat permohonan Hak PVT yang pertama kah dan disahkan oleh yang berwenang di suatu negara sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan ^jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan;

    10. dilengkapi salinan sah dokumen permohonan Hak PVT yang pertama di negara lain; dan

    11. dilengkapi salinan sah penclakan tlak PVT, dalam hal Hak PVT dimaksud pernah ditolak. (21 Dalanr hal surat permohonan Hak PVT sebagairnana dimaksud pada ayat (1) hunrf b tidak diterbitkan, dapat menggunakan surat keterangan dari pejabat yang berwenang di suatu negara Pasal 80 .

      (1)

      Kepala Kantor PVT setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 danlatau Pasal 79 melakukan pemeriksaan administrasi paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. (21 Apabila pemeriksaan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan:

    12. telah memenuhi persyaratan secara lengkap dan benar, kepala Kantor PVT memberitahukan kepada pemohon dan mengumumkan permohonan;

    13. terdapat ketidaklengkapan dalam persyaratan, kepala Kantor PVT meminta kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan paling lama 3 (tiga) bulan; . atau c. tidak memenuhi sifat kebaruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1), kepala Kantor,PVT menolak permohonan Hak PVT dengan disertai alasan. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b, dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya atas perrnintaan pemohon. (4) Permohonan perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapat persetujuan kepala Kantor PVT. (5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud padi ayat (2) huruf b dan ayat (3) pemohon:

    14. tetap tidak melengkapi kekurangan dalam persyaratan, permohonan'dianggap ditarik kembali; atau

    15. telah melengkapi persyaratan, kepala Kantor PVT memberitahukan kepada pemohon dan mengumumkan f ermohonan.

      Pasal 81

      Dalam hal satu varietas tanaman dengan sifat yang sama diajukan oleh lebih dari satu pemohon, hanya permohonan yang telah diajukan secara lengkap terlebih dahulu yang diterima.

      (1)

      Apabila permohonan Hak PVT diajukan dengan hak prioritas, yang dianggap sebagai tanggal penerinraan yaitu tanggal penerimaan permohonan Hak PVT yang pertama kali diajukan di luar negeri. (21 Tanggal penerimaan permohonan Hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk menentukan sifat kebaruan varietas yang dimohonkan.


      Pasal 83
      (1)

      Permohonan Hak PVT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dapat diubah oleh pemohon sebelum dan selama masa pemeriksaan administratif (21 Perubahan seba.gaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap diajukan pada tanggal yang sama dengan permohonan semula.


      Pasal 84
      (1)

      Pemberitahuan kepala Kantor PVT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a dan ayat (5) huruf b merupakan bukti perlindungan sementara. (2) Selama jangka rvaktu perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon mendapat perlindungan atas penggunaan varietas. Bagian Ketiga Pengumuman Permohonan Hak Perlindungan Varietas Tanaman Pasal 85 (1) Permohonan Hak PVT yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 danlatau Pasal 79 'diumumkan oleh Kantor PVT selama 6 (enam) bulan. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam membantu memeriksa pelanggaran atau keberatan dari masyarakat atas permohonan Hak PVT.

      (3)

      Pengrmuman a. 6 (enam) bulan setelah tanggal penerimaan permohonan Hak PVT; atau


    16. 12 (dua belas) bulan setelah tanggal penerimaan permohonan Hak PVT dengan hak prioritas. (4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan:

    17. la.man PVT;

    18. fasilitas pengumuman yang mudah dan jelas diketahui oleh masyarakat yang disediakan oleh Kantor PVT; dan/atau , , c. menempatkan ^- dalam berita resmi PVT oleh Kantor PVT. (5) Tanggal mulai diumumkannya permohonan Hak PVT dicatat oleh Kantor PVT dalam daftar umum PVT dan dimuat dalam berita resmi PVT. Pasal 86 Pengumriman permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dilakukan dengan mencantumkan paling sedikit:

    19. nama dan alamat lengkap pemohon atau pemegang kuasa dalam hal permohonan diajukan melalui kuasa;

    20. nama dan alamat lengkap pemulia serta nama ahli waris yang ditunjuk;

    21. tanggal pengajuan permohonan Hak PVT atau tanggal, nomor, dan nama negara tempat permohonan Hak PVT yang pertama kali diajukan dalam hal permohonan Hak PVT dengan menggunakan hak prioritas;

    22. nama varietas;

    23. deskripsi varietas;

    24. deskripsi varietas PRG; dan

    25. gambar dan/atau foto bagian tanaman yang menunjukkan karakter urrik varietas. Pasal 87 (1) Setiap Orang atau badan hukum selama jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas permohonan Hak PVT kepada Kantor PVT dengan , mencantumkan alasan keberatan. PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA (1) Pemohon terhadap Pasal 87. (2) Kantor PVT menggunakan keberatan dan sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai tambahan bahan pertimbangan dalam memutuskan permohonan Hak PVT. Pasal 89 (1) Tanggal berakhirnya masa pengumuman dicatat dalam daftar umum dan diumumkan dalam berita resmi PVT dengan mencantumkan ada atau tidak ada keberatan. (2) Kepala i{antor PVT memberitahukan tanggal berakhirnya masa pengumuman permohonan Hak PVT kepada pemohon. Bagian Keempat' Pemeriksaan Substantif Permohonan Hak Perlindungan Varietas Tanaman Pasal 90 (1) Pemeriksaan Substantif dilakukhn oieh pemeriksa PVT yang ditugaskan oleh kepala Kantor PVT. (21 Perneriksaan Substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan sifat kebaruan, keunikan, keseragaman, dan kestabilan variet-as yang dimohonkan Hak PVT. {3) ^Pemeriksaan ^Substarrtif terhadap sifat kebaruan dilakukarr pada saat ^.pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran dokumen permohonan Hak PVT. (4) Pemeriksaan ^^substarrtif terhadap sifat keunikan, kesegagaman, dan kestabilan varietas dilakukan setelah masa pengllmurnan berakhir. Pasal 88 Hak PVT keberatan berhak mengajukan sanggahan sebagaiurana dimaksud dalam

      Pasal 91
      (1)

      Permohonan Pemeriksaan Substantif atas permohonan Hak PVT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 diajukan kepada kepala Kantor PVT dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya masa pengumuman. (2) Apabila permohonan Pemeriksaan Substantif tidak diajukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan Hak PVT dianggap ditarik kembali.


      Pasal 92

      Pemeriksaan Substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (4) dapat dilakukan dengan cara:


    26. pengamatan karakteristik varietas tanaman di lapangan; atau

    27. pemeriksaan dokumen hasil Pemeriksaan Substantif yang dilakukan oleh institusi lain di luar negeri.

      Pasal 93
      (1)

      Pemeriksaan Substantif dengan cara pengamatan karakteristik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf a dilakukan untuk varietas tanaman yang dapat tumbuh secara normal di Indonesia. ('2)' Pemeriksaan Substantif dengan cara pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf b dilakukan untuk varietas tanaman yang tidak dapat tumbuh secara normal di Indonesia.-


      Pasal 94
      (1)

      Pemeriksaan Substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dilakukan di fasilitas uji Pemeriksaan Substantif milik Kantor PVT. (2) Dalam hal Pemeriksaan Substantif secara teknis fia"t dapat dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan di luar fasilitas uji ^penreiiksaan Substantif milik Kantor PVT atas persetujuan kepala Kantor PVT.

      (1)

      Pemeriksaan Substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dilakukan berdasarkan panduan umum dan panduan pelaksanaan uji yang ^'ditetapkan kepala Kantor PVT. (21 Kantor PVT dalam melakukan Pemeriksaan Substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta penjelasan dan dokumen terkait.


      Pasal 96
      (1)

      Kantor PVT menentukan lokasi, waktu, dan pelaksanaan Pemeriksaan Substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94. (21 Kantor PVT dalam melaksanakan pemeriksaan dapat meminta bantuan ahli dan/atau fasilitas yang diperlukan termasuk inforniasi dari institusi lain baik di dalam negeri maupun di luar negeri. (3) Untuk pengamatan sifat tertentu, antara lain ketahanan hama dan/atau penyakit, kandungan senyawa kimia, dan pengujian laboratorium dapat dilakukan pengujian tambahan di tempat yang berbeda. (4) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh kepala Kantor PVT dan diberitahukan kepada pemohon.


      Pasal 97
      (1)

      Dalam hal terjadi bencana alam, serangan hama/ penyakit, atau perubahan iklim yang mengakibatkan rusaknya tanaman sehingga Pemeriksaan Substantif tidak dapat dilakukan, penanaman dan Pemerrksaan Substantif harus dilakukan ulang dengan biaya yang menjadi beban pemohon. (2) Dalam hal pemohon tidak bersedia mengeluarkan biaya sebagairnana dimaksud pada ayat (1), permohonan dianggap ditarik kembali. Bagian B"si; ,13Kr,,,,,. Pemberian atau Penolakan Hak Perlindungan Varietas Tanaman Paragraf 1 Umum Pasa! 98 (1) Kepala Kantor PVT memutuskan untuk memberi atau menolak permohonan Hak PVT dalam jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak tanggal permohonan Pemeriksaan Substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 1 ayat (1). (21 Dalam hal Pemeriksaan Substantif diperlukan perpanjangan waktu lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan, kepala Kantor PVT memutuskan memberi atau menolak permohonan Hak PVT 1 (satu) bulan setelah Pemeriksaan Substantif diselesaikan. (3) Kepala Kantor PVI dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat merninta saran pertimbangan komisi PVT. (4) Komisi PVT melakukan sidang untuk memberikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Paragraf 2 Pemberian


      Pasal 99
      (1)

      Dalam hal permohonan Hak PVI diberikan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 98, kepala Kantor pVT memberitahukan secara resmi persetujuan pemberian Hak PYT kepada pemohon Hak PVT. (2) Pemberian Hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk sertifikat Hak PVT. (3) Hak PVT yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dicatat dalam daftar umum pVT dan diumumkan dalam berita resmi PVT.

      (1)

      Sertifikat Hak PVT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (21paling sedikit memuat:


    28. nomor sertifikat Hak PVT;

    29. ^jenis tanaman;

    30. nama varietas tanaman;

    31. nama dan alamat perrregang Hak PVT;

    32. nama pemulia tanaman;

    33. tanggal pemberian FIak PVT; dan

    34. jangka waktu dan tanggal berakhirnya Hak PVT. (21 Sertifikat Hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oieh kepala Kantor PVT.

      Pasal 101
      (1)

      Hak PVT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 berlaku untuk jangka waktu selama:


    35. 20 (dua puluh) tahun untuk tanaman semusim; atau

    36. 25 (dua puluh lima) tahun untuk tanaman tahunan. (21 Jangka waktu *Iak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal penerbitarr sertifikat Hak PVT. Paragraf 3 Penolakan

      Pasal 102
      (1)

      Dalam hal permohonan Hak PVT ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, kepala Kantor ^pVT memberitahukan secara resmi penolakan permohonan Hak PVT disertai alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan kepada pemohon Hak PVT. (21 Penolakan permohonan Hak PVT sebagaimana dimaksud pada 'd.: ,at (1) dicatat dalam daftar r-lmum PVT dan diumumkan dalam berita resnri PVT. BAB IV SUBSEKTOR TANAMAN PANGAN Pasal 103 (1) Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan budi daya pertanian. (2) Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, lahan budi daya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengalihfungsian lahan budi daya pertanian untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:


    37. dilakukan kajian strategis;

    38. disusun rencana alih fungsi lahan;

    39. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan/atau , d. disediakan lahan pengganti terhadap lahan budi daya pertanian. (41 Alih fungsi lahan budi daya pertanian untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilaksanakan pada lahan pertanian yang telah memiliki jaringan pengairan lengkap wajib menjaga fungsi jaringan pengairan lengkap. Pasal 104 Lahan budi daya pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) merupakan lahan baku tanaman pangan. Pasal 105 (i) Alih fungsi lahan budi daya pertanian dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) dilakukan terbatas pada kepentingan umLlm yang meliputi:

    40. ^jalan utnum;

    41. waduk;

    42. benctungan;

    43. irigasi; ' e. saluran air minum atau air bersih;

    44. bangunan pengairan;

    45. pelabuhan;

    46. bandar udara;

    47. stasiun dan jalan kereta api;

    48. terrninal;

    49. fasilitas keselamatan umum;

    50. cagar alam; dan

    51. pembangkit dan jaringan listrik. (21 Alih fungsi lahan budi daya pertanian dalam rangka pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (21 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 106 Kajian strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (3) huruf i paling sedikit memuat:

    52. luas dan lokasi lahan yang dialihfungsikan;

    53. potensi kehilangan hasil;

    54. risiko kerugian investasi; dan

    55. dampak ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya. Pasal 107 Rencana alih fungsi lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (3) huruf b paling sedikit memuat:

    56. lttas dan lokasi lahan yang dialihfungsikan;

    57. ^jadwal alih fungsi;

    58. luas dan lokasi lahan pengganti;

    59. ^jadwal penyediaan lahan pengganti; dan

    60. pemanfaatan lahan pengganti. Pasal 108 (1) Pembebasan kepemilikan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (3) huruf c dilaktrkan dengan memberikan ganti rugi oleh pihak yang mengalihfungsikan. (2) . Besaran'ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penilai yang ditetapkan oleh lembaga pertanahan sesuai dengan keteirtuan peraturan perundang-undangan.

    61. pembukaan lahan banr;

    62. pengalihfungsian laharr dari bukan pertanian ke lahan budi daya pertanian terutama dari tanah terlantar dan/atau tanah bekas kawasan hutan; atau

    63. penetapan lahan pertanian pangan sebagai lahan budi daya pertanian. (3) Penentuan lahan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mempertimbangkan:

    64. luasan hamparan lahan; . b. tingkat produktivitas lahan; dan

    65. kondisi infrastruktur dasar. Pasal r 10 Alih fungsi lahan budi daya pertanian Calam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional diusulkan oleh pihak yang akan mengalihfungsikan lahan budi daya pertanian kepada Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perLlndang-undangan. Pasal 1 1 1 (1) Lahan butdi'daya pertanian yang diahhfungsikan wajib diberikan ganti rugi oleh pihak yang mengalihfungsikan. t2\ Selain ganti rugi sebagairnana dimaksud pada ayat (1) pihak yang mengalihfungsikan wajib mengganti nilai investasi infradtruktrrr pada lahan budi daya pertanian yang dialihfungsikan. (3) Penggantian nilai investasi infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperuntukkan bagi pembiayaan pernbangunan infrastruktur di lokasi lahan pengganti. Besaran nilai investasi infrastruktur sebagaimana dimalr'sudpada ayat (2) didasarkan ta.ksiran nilai investasi infqqstrukt-ur pada: , a. lahan yang dialihfungsikan yang telah dibangun; dan

    66. lahan pengganti yang diperlukan.

      (4)
      (5)

      Taksiran . PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA a. anggaran pendapatan dan belanja negara;

    67. anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi; atau

    68. anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota, pada instansi yang mengalihfungsikan. BAB V SUBSEKTOR HCRTIKULTIJRA Bagian $esatu Sarana Hortikultura Pasal 1 12 (1) Usaha Hortikultura dilaksanakan dengan mengutamakan penggunaan sarana Hortikultura. (2) Sarana Hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tercliri atas:

    69. Benih Bermutu;

    70. pupuk yang tepdt dan ramah lingkungan;

    71. zat pengatur tumbuh yallg tepat dan ramah lingkungan;

    72. bahan pengendali oiganisme pengganggu tumbuhan yang ramah lingkungan; dan

    73. alat dan mesin yang menunjang Hortikultura. (3) Sarana Hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diedarkan wajib memenuhi standar rnutu dan Perizinan Berusaha. (41 Dalam.hal standar mutu sebagairnana dimaksud pada ayat (3) belum ditetapkan, standar mutu sarana Hcrtikultura ditetapkan ditlam persyaratan teknis minimal. Pasal 1 13 (1) Pengujian standar mutu terhadap sarana Hortikultura sebagaimana dinrakgud dalam Pasal ll2 ayat (2) huruf a dilakukan dengan Sertifikasi Benih. (21 Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme:

    74. pemeriksaan pendahultran;

    75. pemeriksaan pertanaman;

    76. panen; dan

    77. u1i mutu. (3) Uji mutu sebagaimana dirnaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan dengan cara:

    78. pengujian di laboratorium untuk Benih biji; clan b. pengujian di eudarrg untuk Benih umbi dan rimpang. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai Sertifikasi Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 14 Pengujian' standar mutu terhadap sarana Hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasai 112 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf e dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal L72 ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perun dang-undangan di bidang'periziiart Berusaha Pasal 1 r5 (1) Setiap Orang /arrg mengedarkan sarana Hortikultura yang tidak memenuhi standar mutu sebagaimana dimaiksud dalam Pasal 1.!2 ayat (3) atau persyaratan teknis minimal sei-agairnana dimaksud dalam Pasai ll2 ayat (4) dikenai sanksi aciministratif.

    79. penghentia.n kegiatan usaha;

    80. penarikan produk yang dipasarkan;

    81. denda administratif;

    82. paksaan pemerintah; dan/atau

    83. pencabutan Perizinan Berusaha. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diberikan oleh:

    84. Menteri;

    85. gubernur; atau

    86. bupati/wali kota, sesuai dengan kewenangannya. Pasal 1 16 (1) Penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara penutupan sementara tempat usaha dalam jangka waktu 6 (enam) bulan oleh pemberi Perizinan Berrrsaha sesuai dengan kewenangannya. (21 Penutupan sementara tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai penarikan produk yang dipasarkan oleh Pelaku Usaha Hortikultura. (3) Pelaku Usaha Hortikultura yang tidak melatr: sanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai denda administratif. l4l ^Denda ^yang ^dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 17 (1) Dalam hal Pelaku Usaha Hortikultura tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimakstro dalam pasal 116 ayat (3) dalam iangka whktu 6 (enam) bulan, dikenai sanksi paksaari perrrerin tah. (21 Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penyitaan sarana Hortikultura.

      (3)

      Setiap Bagian Kedua standar Mutu dan Keamarran Pangan Usaha Hortikultura Pasal 1 18 (1) Pelaku Usaha Hortikultura dalam memproduksi produk Hortikultura wajib memenuhi standar mutu dan keamanan pangan produk Hortikultura. (21 Keamanan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan. berdasarkan pedoman budi daya yang baik (Good Agianlturb Practices/GAp) dan penanganan pascapanen yang baik (Good Handling practiceslGHp). (3) Ketentuan mengenai pedornan budi daya yang baik (Good. Agianlfitre Practices/GAP) dan penanganan pascapanen yang baik (Good Handling Practices/GHp) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Pola Kemitraan Pasal I 19 (1) Usaha Hortikultura dapat kemitraan. dilakukan dengan pola (2) Pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayal (1) melibatkan Pelaku LIsaha Hortikultura mikro, kecil, mencn.gah, dan besar. (3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan pola:

    87. inti-plasma;

    88. subkontrak;

    89. waralaba;

    90. perdagangan umum;

    91. distribusi dan keagenan;

    92. rantai pasok;

    93. bagi hasil;

    94. kerja sama operasional;

    95. usaha j. penyumberluaran (outsourcing), dan/atau k. bentuk kemitraan lainnya. (4) Pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kerja sama/kemitraan yang dilakukan atas dasar kesetaraan, keterkaitan usaha, saling menguntungkan, saling memerlukan, saling mernperkuat, dan saling mempercayai. , Pasal 120 (1) Pola kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ay'at (3) dituangkan dalam perjanjian kemitraan. (21 Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. (3) Dalam hal salah satu pihak kemitraan merLlpakan badan hukum asing, perjanjian kemitraan. sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dibuat dalam bahasa Indonesia dan balrasa Inggris (4) Perjarrjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat(21 memuat paling sedikit:

    96. kegiatan usaha;

    97. hak dan kewajiban masing-masing pihak;

    98. bentukpengembangan;

    99. ^jangka waktu; dan

    100. penyelesaian perselisihan. Pasal 121 (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah berperan mendorong:

    101. usaha besar untuk merrrbangun kemitraan dengan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah; atau

    102. usaha menengah untuk membangun kemitraan dengan usaha mikro dan usaha kecil. (21 Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:

    103. penyediaan data dan inlbrmasi pelaku Usaha Hortikultura mikro, usaha kecil, dan usaha menengah yang siap bermitra;

    104. pengembangan proyek percontohan kemitraan;

    105. fasilitasi dukungan kebijakan; dan

    106. koordinasi -O?r..r"rrr.., kebijakan dan program pelaksanaan, pemantartan, evaluasi serta perrgendalian umum terhadap pelaksanaan kemitraan. Pasal 122 (1) Dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal L2l ayat (21, dilakukan pendampingan kemitraan kepada Pelaku Usaha Hortikultura. (2) Pendampingan kemitraan sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) paling seclikit meliputi:

    107. memfasilitasi pertemuan para pihak yang akan melakukan kerja sama/kemitraan;

    108. memberikan standar mengenai perjanjian/kontrak meliputi hak dan kewajiban Pelaku Usaha Hortikultura, jangka waktu pedanjian serta penyelesaian perselisihan ;

    109. mengadvokasi dan memberikan arah penyelesaian ' perselisihan dalam kemitraan;

    110. memberikan informasi mengenai harga, mutu, nilai tambah, peltrang pasar, dan promosi komoditas ' Hortikultura: dan/atau e. bimbingan, pembinaan, pengawasan, dan edukasi terhadap Pelaku Usaha Hortiktrltura.

      Pasal 123

      Ketentuztn mengenai pola kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan pendampingan kemitraan sebagaimana dimaksud daiam Pasal 122 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kemitraan. . Bagian Keempat Usaha Perbenihan Tanaman Hortil<ultura Paragr: af I Umum Pasal 124 (1) Usatra perbenihan Tanaman Hortikultura meliputi Pemuliaan, Produksi Benih, Sertifikasi Benih, peredaran Benih serta pengeluaran Benih dari dan pemasukan Benih ke dalam wilayah Negara Iiesatuan Republik Indonesia. Paragraf 2 Pemuliaan Pasal 125 (1) Pemuliaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 124 ayat (1) dilaksanakan untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kemurnian jenis dan/atau ^.varietas yang sudah ada atau menghasilkan jenis dan/atau varietas baru. (21 Pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perorangan, badan hukum, instansi pemerirrtah dan/atau Pemerintah Daerah. (3) Varietas baru yang dihasilkan dari pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan diluncurkan wajib didaftarkan sebelum diedarkan.

      (4)

      (s) (6) (7) Pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihasilkan melalui Pernuliaan di dalam negeri atau dengan Introduksi. Introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk Benih atau materi.incluk yang belum ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan kewaj iban pendafta ran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau kelompok yang melakukan pemuliaan di dalam negeri untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1 {satu) kelompok dalam, satu wilayah kabupaten/kota. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayaq (6) diberlakukan dengan ketentuan: a pblaku - usaha perseorangan atau kelompok rr,elaporkan kepada unit pelaisana teknis perangkat daerah provinsi yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang p€rgew€sorr pendaftaran Varietas Hortikultura dengan tembusan kepada gubernur setenrpat dan Menteri; dan b:


    111. Varietas ,*,t?rr,rru diproduksi secara lokal dan diedarkan secara terbatas dalam satu kabupaten/kota. Pasal 126 (1) Perrruliaan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (4) dapat dilaxrrkan dengan metode:

    112. seleksi;

    113. persilangan/hibridisasi;

    114. mutasi;

    115. ploidisasi/penggandaan kromosom; atau

    116. teknologi rekayasa genetik. (21 Metode seleksi sebagairnana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan proses pemilihan genotipe dengan karakter unggul melalui metode yang sesuai untuk mendapatkan Varietas Unggul. (3) Metode persilangan/hibridisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakutian dengan menyilangkan dua tetua atau lebih yang memiliki karakter unggul untuk mendapatkan Varietas Unggul. (4) Metode mutasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara menggunakan sinar radio aktif, bahan kimia, dan/atau metode kultur jaringan pada tanaman dan/atau bagian tanaman. (5) Metode ploidisasi/penggandaan kromosom sebagairnana dimaksud pada ayat (l) huruf d dilakukan dengan cara penggunaan bahan kimia yang dapat menggandakan jumlah kromosom pada tanaman dan/atau bagian tanaman (6) Metode teknologi rekayasa genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (t) huruf e clilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keamhnan hayati. Pasal l2'7 (1) Introduksi sebagaimana dimaksud dalam pasal l2s ayat (4), harus memenuhi:

    117. ketentuan peraruran perundang-unclangan di bidang , karantina turnbuhan;

    118. jumlah Benih yang diintroduksi sesuai dengan kebututran; dan

    119. memiliki deskripsi varietas.

      (2)

      Introduksi Paragraf 3 Pendaftararr ar-au Pelepasan Varietas Hortikultura Pasal 128 (1) Varietas Hortikultura yang akan diedarkan' wajib dilakukan pendaftaran atau pelepasan. (21 Pendaftaran atau pelepasan sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) meliputi pengujian keunggulan, pengujian kebenaran, proses penerimaa_n, pemeriksaan dan penilaian dokumen, pemasukafl data varietas ke dalam database dan penerbitan keputusan tanda daftar atau pelepasan. (3) Permohorran penclaftaran atau pel.epasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh penyelenggara Pemuliaan atau pemilik calon varietas/kuasanya. Pasal 129 (1) Pendaftaran atau' pelepasan sebagaimana ctimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) r-rntuk varietas hasil pemuliaan atau varietas Lokal hanrs merncnrthi persyaratan nreliputi:

    120. memiliki deskripsi varietas sesuai dengan standar;

    121. belum pernah didaftarkan atau, dilepas;

    122. ^.rnr: miliki keunggulan dan penciri khusus sebagaimana diakui oleh penyelenggara pemuliaan atau pemilik calon varietas/kuasanya seperti yang tercanturn pada deskripsi; dan

    123. nama varietas dalam deskripsi sebagaimana dimaksud dalam huruf a mengikuti penamaan yang diatur dalanr ketentuan peraturan . perundang-undangan di bidang perlinclungan . .varietas tanaman. Paragraf 4 Produksi, Sertifikasi, dan Peredaran Benih Pasal 130 (1) Untuk menjamin ketersediaa.n Benih Bermutu secara berkesinambungan dilakukan Produksi Benih melalui Perbanyakan Generatif dan Perbanyakan Vegetatif. (21 Perbanyztkan Generatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas bersari bebas dan hibricla. (3) Perbanyakan Vegetatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara konvensional dan/arau kultur in uitro. (41 Benih Bermutu sebagaimana dimaksud paCa ayat (1) dapat diklasifikasikan sebagai:

    124. BS;

    125. BD;

    126. BP; dan

    127. BR. Pasal 131 Perbanyakan Vegetatif dehgan cara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3) antara lain: entres; tunas pucuk; setek akar; setek batang; okulasi; sambung pucuk; susuall; hasil cangkok; pembelahan bonggol / batang; anakan atau mahkota buah; umbi; biji apomiksis; . stolon; sulur; setek daun; dan rimpang.

                        1. I. m n. o. p. Pasal 133 (1) Benih dari tanaman yang bersari bebas atau diperbanyak dengan umbi atau rimpang dapat digunakan sebagai Benih Bermutu dengan cara pemurnian varietas. (21 Pemurnian varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:

    128. mempertahankan kemurnian varietas benih sesuai dengan kelasnya;

    129. menghindari tedaclinya akumulasi penyakit tular Benih; dan

    130. menjaga ketersediaan Benih Bermutu. : Pasal 134 (1) Procuksi Benih Bermutu dapat dilakukarr oleh produsen Benih dan/atau instansi pemerintah. (2) Instarrsi pernerintah sebagaimana. climaksud pada ayat (1) merupakan instansi pemerintah yang menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi di bidang produksi benih Hortikultura. aaksud dalam pasal 134 ayat (1) untuk perseorangan harus memiliki sertifikat kompetensi. 12) ^Sertifikat ^kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi di bidang pengawasan dan Sertifikasi Benih Hortikultura. Pasal 136 (1) Produsen Benih yang berbadan usaha dan instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal lA4 ayat (l) harus memiliki sertifikat sistem manajemen mutu. (2) sertifikat sebagaimana climaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi sistem manajemen mutu di bidang perbenihan Hortikultura yang terakreditasi. (3) Ketentuan mengenai tata cara sertifikasi sistem manajemen mutu diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 137 Produsen Benih dan instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dala.m Pasal 136 sebelum memperoleh sertifikat sistem manajemen mutu, harus memiliki:

    131. sertiiikat kompetensi; dan

    132. Sertifikasi Renih Hortikultura, yang diterbitkan oleh instansi pemerintah yang rrrenyelenggarakan tugas pokok dan fungsi cli bidang pengawasan dan Sertifikasi Benih Hortikultura. Pasal 138 (1) sertifikasi Benih Hortikultura sebagaimana dima|<sud dalam Pasal 137 huruf b, dilakukan melalui sertifikasi: .a. pengawasan pertanaman dan pascapanen;

    133. sjstern manajemcn mutu;

    134. ^'pengujian produk Benih Hortikultura; atau

    135. penilaian proses produksi. (?) Ketentuan mengenai sertifikasi Benih Hortikultura diatur dalarn Peraturan Menteri.

    136. pemeriksaan lapangan;

    137. pengujian mutu Benih Hortikultura di laboratorium dan/atau pemeriksaan mutu Benih Hortikultura di gudang;

    138. penerbitan sertifikat Benih Hortikultura; dan

    139. pelabelan. Pasal 140 (1) Sertifikasi' sistern manajemen mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf .b, diselenggarakan oleh Lernbaga Sertilikasi Sistem Mutu (LSSM) atau instansi pemerintah yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) sesuai rLlang lingkup di bidang perbenihan Hortikultura. (2) sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ctilakukan terhadap sistem manajemen mutu yang diterapkan Produsen Benih atau instansi pemerintah yang memproduksr Benih Hortikultura. (3) Produsen Benih atau instansi pemerintah sebagaimana dirnhksud pada ayat (2) yang r: .l€meouhi perJyaratan sisterri inanajernen mutu, diberikan sertifikat sist.em mutu dan berhak melaksanal<an Sertifikasi Benih Hortikultura secara mandiri. Pasal 141 (1) sertifikasi pengujian produk Benih Hortikultura sebagaimana. dimaksud dalam pasal 138 ayat (1) huruf c, disdlenggarakan oleh Lembagi Serrifikasi produk (LSproj atau instansi pemerintah yang terakredltasi oleh Komite Akrreditasi Nasional (KAN) sesuai engtn rllang lingkup di bidang perbenihan Hortikultura: (2).Sertilikasi Pasat 142 (1) Pengedar Benih Hortikultura wajib memiliki sertifikat kompetensi dan tanda daftar Pengedar Benih Hortikultura. (21 Ta; rda dattar Pengedar Benih Hortikultura sebagaimana dirrraksud pada ayat (1) diattrr sesuai dengan ketentuan peraturall perundang-undangan di bidang Perizinan Berusaha Pasal 143 (1) Ketentuan sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dan kewajiban menerapkan jaminan mutu Benih dikecualikan bagi Pelaku Usaha Hortikultura perseorangan atau kelompok, yang melakukan usaha produksi perbenihan untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas Calam 1 (satu) kelompok yang berada dalam satrr' wilayah kabupaten/ kota.. (21 Pengecualian sebagairrana dirriaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:

    140. pelaku trsaha pel'seorangan atau kelompok melaporkan'kepada unit pelaksana teknis perangkat daerah provinsi yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang pengawasan dan Sertilikasi Benih Hortikultura dengan tembusan kepada gubernur setempat dan Menteri; dan

    141. Benih Hortikultura diproduksi secara lokal dan diedarkan secara terbatas clalam satu kabupaten/kota. Pasal 144 (1) Usaha perdagangan produk Hortikultura. mengatur proses jual beli antara:

    142. produsen dan pedagang;

    143. antarpedagang; atau

    144. pedagang dan konsumen. (21 Pelaku usaha perdagangan produk Hortikultura harus menerapkan sistem kelas produk berdasarka.n standar mutu dan standar harga secara transparan. P*sal 145 (1) Sistem kelas produk berdasarkan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal diklasifikasikan menjadi:

    145. kelas super;

    146. kelas A atau kelas 1; dan

    147. kelas B atau kelas 2. (21 Standar mutrr sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada , persyara-tan umum dan persyaratan khusus produk' sesua'l dengan Standar Nttsional Indonesia (3) Persyaratan ktrusus sehagaimana dimaksud pada ayat 12) merupakan syarat untuk menentukan kelas produk. (4) Dalam hal produk Hortikultura belum ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sistem kelas produk ditetapt<an berdasarkan persyaratan teknis minimal. (5) Ketentuan mengenai penerapan sistem kelas produk berdasarkan stanclar rnptu diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 146 Standar harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal i44 ayatl2l untuk produk Hortikultura sebagai Barang Kebutuhan Pokok hasil pertanian diatur kebijakan harganya sesuai dengan ketentuan peratr rran perLlndang-undarr lan. standar mutu r44 ayat (2) SUBSEKTOR PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Bagian Kesatu Kawasan Penggembalaan Umum Paragraf 1 Umum

      Pasal 147

      Pengaturan penl'ediaan clan pengelolaan Kawasan Penggembalaan Umum cialam Peraturan Pemerintah ini, meliputi:


    148. penyediaan;

    149. persyaratan dan tata cara penetapan;

    150. pengelolaan;

    151. pengawasan; dan

    152. pembiayaan.

      Pasal 148
      (1)

      Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai dasar dalam penetapan lahan sebagai Kawasan Penggembalaan Umurn. (2) Kawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai:


    153. penghasil tumbuhan Pakan;

    154. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan inseminasi buatan;

    155. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau

    156. tempat/objek penelitian dan pengembangan teknologi peternakan dan kesehatan hewan. (3) Kawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (21dapat berupa lahan dari:

    157. area penggembalaan;

    158. lahan bekas tambairg;

    159. hutan produksi yang dapat dikonversi; atau

    160. lahan Perkebunan yang tidak diusahakan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (4)

      Lahan Paragraf 2 Penyediaan Pasal 149

      (1)

      Penyediaan Kawasan Penggembalaan Umum diprioritaskan bagi budi daya ternak skala kecil. (2) Penyediaan Kawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) dilakukan oleh bupati/wali kota sesuai dengan ketersediaan lahan di wilayahnya. (3) Bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dalam menyediakan Kawasan Penggembalaan Umum harus mempertimbangkan:

    161. status kepemilikan dan penguasaan lahan;

    162. perolehan lahan; dan

    163. kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kondisi sosial budaya masyarakat. (4) Budi daya ternak skala kecil sebagaimana dimaksud pada aypt (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      Pasal 150

      Status kepernilikan dan penguasaan lahan untuk digunakan sebagai Kawasan Perrgg.'rnbalaan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1,49 ayat (3) huruf a tidak dalam sengketa hukum.


      Pasal 151

      Perolehan .lahan untuk Kawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (3) huruf b dapat l: erasal dari:


    164. lahan milik Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

    165. lahan ),ang dikedasamakan;

    166. pengadaan lahan; atau . d. hibah. Pasal 153 (1) Lahan yang dikerjasamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b dilakukan melalui kerja sama anfara Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan:

    167. kementerian/lembaga;

    168. badan usaha milik negara;

    169. badan usaha milik daerah; a d. masyarakat hukuh adat. {21 ^Kerja ^sama ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari rnenteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang, menteri yang menyelenggarakan Llrusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan, kehutanan, bupati/wali kota, dan/atau ketua masyarakat hukum adat. (3) Persetujuan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan hasil identifikasi lahan yang clapat dimanfaatkan dan dikdlola untuk dijadikan Kawasan Penggembalaan Umunr. (41 Pemerintah Daeral: kabupaten/kota membina bentuk kerja sarna antara pengusahaan peteinakan dan pengusahaatn tanaman pangan, Hortikultura, perikanan, Perkebunan, dan kehutanaq.serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di Kawasan Pengge'mbalaan Umum sebagai sumber Pakan ternak murah. Pasal 154 Pengadaan lahan atau hibah sebagaimana dimaksud da-lam Pasal 151 huruf c cian'huruf d dilaksanakan sestrai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kelestariar: fungsi lingkungan hidup dan kondisi sosial budaya rnasyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 149 ayat (3) huruf c berupa pertimbangan upaya kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta kearifan lokal. Paiagraf 3 Persyaratan dan Tata Cara Penetapan Pasal 156 (1) Kawasan Penggembalaan.U.mum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memenuhi persyaratan teknis. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dinraksud pada ayat (1) meliputi:

    170. kecukupan sumber air dan Pakan;

    171. topografi dan kondisi iahan; dan

    172. ketersediaan sarana dan prasarana pendukung.

      Pasal 157

      Kecukupan sumber air dan Pakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) hunrf a rnemenuhi ketersediaan:


    173. sumber air bersih sesuai ciengan kebutuhan dan perunCukannya; dan

    174. rumput Pakan ternak (grarnineae), tumbuhan yang dapat dijadikan HPT, dan/atau kacang-kacangan pakan ternak (leguminosal. Pasal 15ti Topografi dan kondisi lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (2) hunrf b, meliputi:

    175. sudut ke'nir,ingan tanah untuk akses'ternak pada sumber air dan sumber Pakan serta kemuclahan dalam pengorahan lahan;

    176. kesu.buran tanah yang sesuai untuk pertumbuhan optimar TPT; dan

    177. bebas dari cemaran atau hama yang membahayakan terriak dan masyarakat.

      Pasal 159

      Ketersediaan sarana dan prasarana penciukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf c, melalui penyediaan akses jalan yang memadai untuk mengelola Kawasan Penggembalaan Umum dan akses menuju pos pelayanan kesehatan ternak.


      Pasal 160
      (1)

      Bupati/wali kota membentuk tim pengkajian penyediaan Kawasan Penggembalaan Umum. (21 Tim pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur dari instansi yang membidangi fungsi peternakan" fungsi Perkebunan, furigsi lingkungan hidup, fungsi kehutanan, serta fungsi agraria dan tata ruang. (3) Tim sdbagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan kajian calon lokasi Kawasan Penggembalaan Umum untuk menilai kelayakan dan pemenuhan persyaratan tekrris. (4) Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat rekomendasi kelayakan calon lokasi Kawasan Penggembalaan Umum. (5) Hasil kajian sebagaimana, dimaksud pada ayat (3) disampaikan tim pengkajian kepada bupati/wali kota.


      Pasal 161
      (1)

      Bupatr/wali kota sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 160 ayat (5) menetapl,an Kawasan Penggembalaan Umum dengan mem pertimbangkan :


    178. rencana tata ruang wilayah kabupatenlkota;

    179. saran dan masukan dari tokoh masyarakat seternpat; dan

    180. dokumen hasil survei, identifikasi, dan desain. (21 Penetapan Kawasan Penggembala.an Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk Keputusan Bupati/Wali Kota.

    181. mempunyai persediaan lahan untuk calon Kawasan Penggembalaan Umum;

    182. telah dilakukan kajian kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160; dan

    183. terdapat budi daya ternak. Pasal 163 Ketentuan mengenai ^'' tata cara penetapan Kawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 161 dan Pasal 162 diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 164 Kawasan Penggembalaan Umum yang terah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 161 atau pasal 162 trarus cipertahankan keberadaan ,ian kemanfaatannya secara berkelanjutan. Paragraf 4 .Pengelolaan Pasal 16,5 (1) i'engelolaan Kawasan penggenibalaan Umum dilakukan oleh:

    184. perangkat daerah kabupaten/kota yang menvelenggarakan tugas dan ^'fungsi di bidang peter.rakan dan kesehatan heu,an;

    185. unit pelaksa,na teknis daerah perangkat daerah kabupaten/kota. yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang peternakan dan kesehatan hewan;

    186. badan usaha milik negara;

    187. badan ,saha mrlik daerah kabupaten/kota untuk lahan milik ^.badan usaha milik daerah kabupaten/kota;

    188. badan usaha milik daerah provinsi untuk rahan milik badan usaha milik daerah provlnsi; Can/atau f. masvarakat hukurn adat untuk pemanfaatan lahan milik_hukum adat.

      (2)

      Pengelolaan Pasal 166

      (1)

      Pengelolaan Kawasan Penggembalaan Umum dilakukan dengan membentuk unit pengelola. (2) Unit pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur peternak, kelompok peternak, ^pelaku Usaha Peternakan skala kecil yang terdapat di sekitar Kawasan Penggembalaan Umum. (3) Unit. pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan struktur organisasi paling kurang kepala din beberapa koordinator fungsi p.rrgJtot.., p"d"rrg penggembalaan. Pasal 167 Pengelolaan Kawasan Penggembalaan Umum dilakukan melalui:

    189. pengelolaan teknis Kawasan Penggembalaan Umum;

    190. pengelolaan ternak; dan

    191. pengelolaan kelenrbagaan dan strmber daya rnanusia. Pasal 168 Pengelolaan teknis Kawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 huruf a berupa:

    192. penanaman dan pemeliharaan TPT melalui:

  16. memperbanl'ak variasi jenis TpI yang ditarram;

  17. pemupukan secara berkala;

  18. pembersihan gulma secara berkala; dan

  19. evaluasi hasil produksi'l'PT;

    1. pembuatan, tata kelola dan pemeliharaan sumber air untuk minum tenrak dan pengairan lahan Kawasan Penggembalaan Umum;

    2. pembuatan dan pemeliharaan tragar lingkungan dan pagar antarkandang;

    3. pembuatan dan pemeliharaan sarana pendukung; dan

    4. pen!,arnonan lokasi. Pasal 169.

    5. jenis dan jumlah ternak yang memanfaatkan Kawh.san Penggembalaan Umum disesuaikan dengan kapasitas tampung kawasan;

    6. pengaturan penggembalaan ternak melalui sistem rotasi untuk menghindari penurunan kuantitas dan kualitas Tpr;

    7. aspek kesejahteraan hewan; dan

    8. pemberian pelayanan peternakan dan kesehatan hewan paling kurang pelayanan: - f. inseminasibuatan;

  20. karvin alam;

  21. kesehatan hewan;

  22. pemberian Pakan;

  23. penyuluhan; dan

  24. identifikasi ternak. Pasal 170 (1) Pengelolaan kelembagaan dan sumber daya manusia . seb'agaimana dimaksud dalam pasal 16T huruf c dilakukan melalui peningkatan:

    1. peran kelembagaan; dan

    2. kapasitas sumber daya manusia pengelola Kawasan Penggembalaan Umum. ('2) Peningkatan peran kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui penambahan fungsi kelerrrbagaan dan perluasan jejaring pemasaran prodttk hasil I(a'rvasan Penggembalaan Umum. (3) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola Kawasan Penggennbalaa, Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui pendidikan dan/atau pelatihan Pasal 171 Untuk mempertahankan keberlanjutan penyediaan pakan, Kawasan Penggembalaan Umum harus dilengkapi crengan kebun bibit dan kebun potong HpT. Paragraf 5 Pasal I72 Pengawasan terhadap pengelolaan Kawasan Pengger,rbalaan Umum dilakukan oleh:

    3. bupati/wali kota;

    4. Menteri;

    5. menteri yang menyelenggarakan urllsan pemerintahan di bidang kehutanan;

    6. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup; dan

    7. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, sesuai dengan kewenangannya. PasAl 173 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal lZ2 dilakukan secara berkala dan insidental. (2) Pengawasan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat {1) dilerkukan melalui kunjungan lapangan paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun. (3) Pengawasan sccara insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan laporan dari unit pengelola kawasan atau dari masyarakat yang rnemanfaatkan Kawasan Penggembalaan Umum. Pa.sal 174 (1) Terhadap hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173, bupati/wali kota melakukan pembinaan Kawasan Penggembalaan Umurn. (2) Pembinaan Iiawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh bupati/wali kota bersama:

    8. .Menteri; dan/atau

    9. menteri yang menyelenggarakan unlsan pemerintahan dalam negeri, sesuai dengan kewenangannya. (3) Pembinaan Kawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

    10. bimbingan teknis;

    11. pendampingan; dan

    12. pemantauan. Bagian Kedua standar atau Persyaratan Teknis Minimal dan Keamanan pakan serta Cara Pembuatan Pakan ^yang Baik Pasal 175 Pendanaan Kawasan Penggembalaan Umum untuk penyediaan, pengelolaan, dan pengawasan termasuk pembinaan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 176 (1) setiap orang yang memproduksi pakarr untuk diedarkan secara komersial di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi perizinan Berusaha clari Pemerintah Pusat. i2l ^Pakan ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi:

    13. standar atau pers],aratan teknis minimal;

    14. keamanan Pakan; dan

    15. cara pembuatan Pakan yang baik. Pasal 177 (1) Stanclar atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf a paling sedikit memuaf parameter:

    16. kadar air; '- b. kadar proteirr kasar;

    17. kadar lemak kasar;

    18. kadar serat kasar; - e. kadar Kalsium (Ca); dan

    19. kadar Phospor (Pl. Pasal 178 (1) Cara pembuatan Pakan yang baik sebagaimana dirnaksud dalarn Pasal 176 ayat (21 hunrf c harus memenuhi persyaratan penilaian. (21 Pemenuhirn persyaratan penilaian sebagaimana dimaksud pada a5'at (1) dilakukan minimal terhadap:

    20. lokasi;

    21. bangunan;

    22. personalia;

    23. sanitasi dan higiene;

    24. bahan Pakan;

    25. produksi Pakan; . ^g. ^pengawasan mu.tu;

    26. inspeksi internal; dan i., penanganan terhadap hasil pengamatan, keluhan, dan penarikan kembali Pakan yang beredar. (3) Pembuatan Pakan yang telah memenuhi persyaratan penilaian sebagaimana dimaksucl pada ayat (2) cliterbitkan sertifikat cara pembuatan Pakan yang baik. (4i rata cara perlerbitan sertifikat cara pembual.an pakan yang baik sebagaimana dimaksud pada a1'at (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundan g -undangan,li bidan g p erizinan Berusaha. Bagian Ketiga Larangan Penggunaan Pakan yang Dica.mprrr Hormon.Tertentu dan/atau Antibiotik hnbuhan ^pakan Paragraf 1 [Jmnm Pasal 179 (1) Setiap Orang ^' dilarang menggunakan dafi/atau mencampur:

    27. Hormon tertentu; dan/atau Paragraf 2 Pelarangan Pasal 180 Pelarangan penggunaan Hormon terter: .tu dan Antibiotik sebagairnana dimaksud dalam Pasal 179 terhadap ternak yang produknya dikonsumsi manusia dilakukan untuk mencegah:

    28. terjaclinya residu pada ternak;

    29. gangguan kesehatan pada manusia yang mengonsurnsi produk ternak;

    30. timbulnya resistensi mikroba patogen;

    31. penyebab efek hipersensitif, karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik pada hewan dan/atau manusia; dan/atau

    32. akibat tidak ramah lingkungan. Paragraf 3 Penggunaan Pasal 181 (U Pelarangan penggunaan .'Hormon tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf a dikecualikan ' hanya untuk:

    33. keperluan Terapi dan reproduksi; dan

    34. digunakan dengan cara parenteral. 12) ^Hormon ^tertentu ^sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) ditentukan jenis dan dosisnya oleh dokter hewan yang melakukan diagnosis. (3) Penentuan jenis dan Cosis sebagaimana dimaksud pada ayat (21 harus mempertimbangkan dampak minimal dari risiko yang merugikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.

      Pasal 182
      (1)

      Pelarangan penggunaan Antibiotik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1) huruf b dikecuarikan hanya untuk keperluan Terapi dengan peresepan dokter hewan berdasarkan hasil diagrrosis penyakit hewan. (21 Penggunaan Antibiotik untuk keperluan Terapi sebagairnana dimaksud pada ayat (1) dengan dosis Terapi dan pemakaian paling lama 7 (tujuh) hari. (3) Dalam hal diperlukan Terapi lanjutan, penggunaan Antibiotik dapa.t diperpanj ang '/ (tujuh) hari berikutrya dengan syarat dilakukarr peresepan ulang oleh dokter hewan berdasarkan hasil diagnosis penyakit hervan. (4) Penggunaan Antibiotik sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan petunjuk dan di bawah pengawasan dokter hewan. Pasal 183 (1) Hasil diagnosis penyakit hewan sebagaimana dimaksud ' dalam Pasal 182 ayat (1) atau ayat (3) harus memenuhi a. gejala klinis;


    35. patologi anatomi darr/atau laboratoris antara lain hbtopatologis, serologis; dan/atau

    36. epizootiologi. (21 Hasil diagnosis penyakit hewan minimal harus merrrenuhi 2 (dua) kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 184 (l) Dalam hal diagnosis penyakit hewan subklinis, pemeriksaan status kesel: .atan dapat dilakukan dengan jangka waktu 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) hari sebehrm kejadian penyakit hewan. (2) Diagnosis penyakit hewan subklinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan pemeriksaan laboratoris dan epizootiotogi. Paragraf 4

      Pasal 185

      Hormon tertentu untuk keperluan Terapi dan reproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan: a- Produk Jadi dengan komposisi tunggal maupun kombinasi; dan


    37. memiliki Nomor Pendaftaran Obat Hewan. Pasal 186 (1) Pakan yang dapat dicampur Antibiotik untuk keperluan Terapi sebagaimana dimaksud dalam pasal 182 harus memiliki nomor pendaftaran Pakan. ! (21 Antibiotik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus nremenuhi persyaratan :

    38. Produk Jadi dengan komposisi tunggal atau kombinasi; dan

    39. merniliki Nomor Pendaftaran rJbatt Hewan. Pasal 187 'rata cara memperoleh Nomor Pendaftaran obat Hewan dan nomor pendaftaran Pakarr dilaksanakan sesuai dengan ke tentuan peraturan perundang-undangan di bidang p erizinan Berusaha. Pasal 188 (1) Pelaku Usaha Peternakan yang melakukan pembuatan Pakan yang dicampur Antibiotik ha'us mempunyai dokter hewa. penanggung jarvab dan feed nutritionist atau formulator. (2) Pencampuran Antibiotil; sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

    40. di unit pi'oduksi Pakan;

    41. di bawah pengawasan dokter hewan;

      Pasal 189

      Penggunaan Hormon rertcntu untuk Terapi dan reproduksi dern/atau Antibiotik untuk Terapi dilakukan perlgawasan oleh pengawas Obat Hewan dan pengawas mutu Pakan. Pasal 190 (1) Pengawasan sebagaimana dirnaksr: d dalam pasal 189 dilakukan secara rutin dan insiclental. (21 Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:


    42. laporan Pelaku Usahi; - Peternakan yang:

  25. menggunakan Hormon tertentu danlatau Antibiotik uhtrik Terapi dan reproduksi; dan

  26. membuat Pakan yang dicampur Antibiotik untuk Terapi; dan

    1. inspeksi lapangan. (3) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan laporan dan/atau pengaduan dari mabyarakat. Pasal 191 (1) Laporan Pelhku Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (21 frurirf . a angka 1 memuat:

    2. resep dair hasil diagnosis dari dokter hewan;

    3. lamanya pengobatan; t c. ^jumlah dan jenis Antibiotik;

    4. jumlah Pakan Terapi yang digunakan dan tersisa; dan

    5. alamat/lokasi unit usaha peternakan. (2) Laporan Pelaku Usaha Peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat 12) huruf a angka 2 memuat:

    6. iumlah Pakan Terapi yang diproduksi;

    7. perjanjian kerja Pelal<u Usaha Peternakan dengan dokter he'ran penanggung jawab dan feed nutritionist atau formulator; 'dan (: . nama konsumenf nama unit usaha peternakan.

      (3)

      Laporan Pasal 192 (1) Inspeksi lapangair sebagaimana dimaksr-rd dalam Pasal 190 ayat (2) huruf b dilakukan secara fisik untuk:

    8. pengrjian;

    9. perneriksaan Nomor Pendaftaran Obat Hewan;

    10. pemeriksaan nomor pendaftaran.pakan; dan/atau

    11. ^.pembinaan dalarn bentuk .pendampingan dan pen5ruluhan. (2) Selain dilakukan secarA fisik, inspeksi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan hunrf tl dapat Crlakukan s(jcara virtual. (3) Pengujian sebagaimana climaksud pada ayat (1) hunrf a dilakukan oleh laboratorium veteriner yang terakreditasi terhadap penggu,naan An tibiotik. Pasal 193 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 190, pasal 191, dan Pasal 192 diatur dengan Peraturan Menteri. Ragian Penyediaan dan Peredaran Obat Hewan Paragraf .1 Umum Pasal 194 (1) Pen5rscliaan Obat Hewan dilakukan inelalui:

    12. Procluksi Obat Hewan dalam negori; dan

    13. Pemasukan Obat Hewan. (2) Penyediaan cbat Hewan sebagaimana dimaksucr pada ayat (1) meliputi:

    14. Bahan Baku'Obat Hev; an;

    15. bahan setengah jadi;

    16. peralatan kesehatan hewan. (3) Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan jenis sediaannya dapat digolongkan ke dalam sediaan:

    17. biologik;

    18. farmakoseutika;

    19. premiks; dan

    20. obat alami. (4) Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menurut tujuan pemakaiannya digunakan untuk: menetapkan diagnosa, mencegah, menyembuhkan, dan memberantas penyakit hewan; mengurangi dan menghilangkan gejala penyakit hewan; membantu menenangkan, memati-rasakan, eutanasia, dan merangsang hewan; menghilangkan kelainan atau mernperelok tubuh hewan; memacu perbaikan mutu dan produksi hasil hewpn; memperbaiki reproduksi hewan; dan/atau meningkatkan daya tahan tubuh hewan.

      Pasal 195

      Jenis Obat t{ewan yang dapat digunakan, beredar, dan dilarang digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan oleh pejabat otoritas veteriner nasional.


      Pasal 196
      (1)

      Produk Jadi untuk jenis sediaan farmakoseutika dan/atau obat alami sebagaimana dimaksud dalam pasal I94 ayat (3) huruf b dan huruf d dapat dipergunakan sebagai kosmetik hewan. (21 Kosmetik heu,an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya cligunakan pada bagian luar tubuh, gigi atau ' mukosa mulut he'*'an dengan tujuan untuk pemeliharaan dan perawatan tub.rh liewan. Paragraf2... a. b. c. d.


        1. ,"r&?"r, Produksi Obat Hewan Dalam Negeri

          Pasal 197

          Penyediaan Obat Hewan melalui Produksi Obat Hewan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pelaku Usaha Obat Hewan dengan cara:


    21. Produksi Obat Hewan sendiri;

    22. Produksi Obat Hewan dengan Lisensi; atau

    23. Kontrak Kerja Sama (Toll Manufacturing).

      Pasal 198

      Pelaku Usaha Obat Hewan dalam melakukan Produksi Obat Hewan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 huruf a harus memiliki:


    24. Perizinan Berusaha produsen Obat i-iewan; dan

    25. sertifikat CPOHB sesuai dengan ruang lingkup Obat llewan.

      Pasal 199
      (1)

      Produksi Obat Hewan dengan Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 huruf b dilaksanakan antara pemberi lisensi dan penerima lisensi sesuai dengan perjanjian lisensi. (21 Pemberi lisensi sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) wajib memiliki:


    26. sertifikat Good Manufacturing Practices (GMP) / sertifikat yang setara;

    27. surat keterangan telah diperdagangkan secara bebas (certificate of free sale) di negara asal; dan

    28. surat keterangan registrasi (certifie.ate of registration)/dokumeir yang setara di negara asal, untuk sediaan Obat Hewan yang dilisensikan. (3) Penerima lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

    29. memiliki Perizinan Berusaha produsen Obat Hewan;

    30. memiliki sertifikat CPOHB untuk sediaan Obat I{ewan yang dilisensikan; dan

    31. membuat jenis Obat Hewan sesuai dengan perjanjian lisensi.

      (4)

      Perjanjian Pasal 200

      (1)

      Kontrak Kerja Sama (Toll Manufacfiring) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 huruf c dilaksanakan antara penrberi kclntrak dengan penerima kontrak. (21 Pemberi kontrak sebagaiinana dimaksucl pada ayat (1) wajib memiliki' a. Perizinan Berusaha produsen Obat Hewan; dan

    32. bertanggung jawab terhadap keamanan, mutu,, dan khasiat Obat Hewan yang dibuat dan diedarkan. (3) Penerima kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

    33. memiliki Perizinan Berusaha produsen Obat Hewan;

    34. memiliki sertifikat CPOHB untuk sediaan Obat Hewan dalam Kontrak Kerja Sama lTcll Manufacturingl;

    35. membuat jenis Obat l{ewan sesuai dengan Kontrak Kerja Sama (Tolt lulartt{acturing); dan

    36. menjaga kerahasiaan semua komponen yang terkait dengan proses Produksi Obat- Hewan dan pengujian Obat Hewan sesuai dengan Kontrak Kerja Sama (inoll Manufacturing).

      Pasal 201

      Apabila Kontrak Kerja Sama (Toll A[anufacttringl sebagaimana dimaksud dalane Pasal 200 telah beralihir, pemberi kontrak wajib: ^. ^memiliki ^pabrik ^dengan ^fasilitas ^Produksi ^Ob'at ^Hewan sesuai dengan jenis secliaa,r Obat Hewan; clan b. mampu memprodr,ksi dengan fasilitas, Produksi Obat Hewan yang din: iliki senCiri sesuai dengan ruang lingkup CPOHB.


      Pasal 202

      Tata cara dan persyaratan untuk memperoleh Perizinan Berusaha produsen Obat Flewan dan sertifikat CPOHB dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan penrndang-undangan. di bidang Perizinan Berusaha.


      Pasal 203
      (1)

      Pelaku Usaha Obat Hewan yang melakukan Pemasukan Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal L94 ayat (1) huruf b wajib memiliki Perizinan Berusaha Pemasukan Obat Hewan. (2) Perizinan Berusaha Pemasukan Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) rliterbitkan setelah memenuhi persyaratan unrum dan persyaratan khusus Pemasukan Obat Hewan.


      Pasal 204

      Dalam hal Pemasukan Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 berupa Bahan Baku Obat Hervan klasifikasi obat keras, dilarang penggunaannya selain untuk keperluan Produksi Obat Hewan.


      Pasal 205

      Pemasukan Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O3 dapat dilakukan untuk tujuan:


    37. pemasukan untuk diedarkan;

    38. pemasukan untuk tujuan penelitian oleh instansi pemerintah atau lembaga penelitian dan/atau pendidikan; dan

    39. Pemasukan Obat Hewan khusus dalanr rangka:

  27. penanggulangan wabah;

  28. pertahanan dan keamanan;

  29. acara internasional; dan

  30. penyelamatan dan kehservasi satwa liar.

    Pasal 206
    (1)

    Pemasukan Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 harus dilakukan kajian lapang, dalam hal:

    1. pemasukan pertama kali dari pabrik Obat Hewan;

    2. pemastrkan merupakan Obat Hewan baru;

    3. unit us,aha pembuatan Obat i{ewar, merupakan unit usaha baru atau penambahan; dan/atau


    Pasal 207

    Tata cara dan persyaratari untuk memperoleh Perizinan Berusaha Pemasul<an Obat Hewarr sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O3 dilaksanakan sesuai dengan ^'ketentuan peraturan perundan g-undangan mengena i P erizinan Berusaha. Paragraf 4 Peredaran Obat Hewan


    Pasal 208
    (1)

    Pelaku Usaha Obat l{ewan yang mengedarkan Obat ' Heu,an wajib rnemiliki Nornor Pendaftaran Obat Hewan. (2) Untuk memp'eroleh liomor Pendaftaran Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (t) Pelaku Usaha Obat Hewan rvajib mengajukan Perizinan Berusaha pendaftaran Obat Hewan. (3) Perizinan Berusaha pendaftaran Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

    1. pendaftaran baru;

    2. pendaftaran ulang;

    3. persetujuan perubahan Non or Pendaftaran Obat Hewan;

    4. persetujuan pengalihan Nomor Pendaftaran' Obat . Hewan; darr e. persetujuan penggunaan darurat Obat Hewan. (4) Untuk memperol'eh Nomor Pendaftaran Obat Hewan sebagaimana dimaksud pacla ayat (1) harus memenuhi ketentuan dan persyaratan keamanan. khasiat, dan mutu Obat Hewan.


    Pasal 209

    PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 2 10 (1) Penilaian kelayakan dokumen Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O9 dilakukan oleh otoritas veteriner kesehatan Hewan. (2) Penilaian kelayakan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan penilaian oleh Panitia Penilai Obat Hewarr dan/atau Komisi O,bat Hewan. (3) Dalam hal Obat Hewan berasal dari PRG, Obat Hewan harus memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang keamanan hayati. Pasal 21 1 (1) e..rgl'rii^r, Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O9 dilakukan oleh laboratorium veteriner yang terakreditasi atau yang ditetapkan oleh Menteri. (21 Pengujian Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar yang ditetapkan dalam Farmakope Obe.t Hewan Indonesia (FOHI) atau rujukan/acuarr/kompendium resmi yanb sejenis yang diakui secara internasional. (3) Setiap Obat Hewan yang telah memperoleh Nomor Pendaftaran Obat Heu'an dapat dirrji kembali mutu dan keamanannya setiap waktu. (4) Obat Hewan yang telah lulus penilaian kelayakan dokurnen dan pengujian Obat fle'*'an sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O9 diterbitkan Nomor Pendaftaran Obat Hewan oleh Menteri. Pasai 212 Nomor Pendaftaran Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) dikecualikan untuk:

    1. Bahan Baku Obat Hewa-n dengan nama generik;

    2. Pemasukan c. Pemasukan Obat Hewan khusus; dan/atau

    3. penggunaan darurat Obat Hewan. Pasal 2 13 Peredaran Obat He-wan dilakukan melalui:

    4. distribusi Obat Hewan di dalam negeri; dan

    5. Pengeluaran Obat Hewan. Paragraf 5 Distribusi Obat Hewan di Dalam Negeri Pasal 2 14 (1) Distribusi Obat Hewan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pa.sal 2 13 huruf a dilakukan oleh Pelaku Usaha Obat Hewan meliputi:

    6. produsen;

    7. importir;

    8. distributor;

    9. depo; dan

    10. apotek veteriner, pet shop, poultry shop, dan toko Obat Hewan. (21 Distribusi Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hun: f a dilakukan oleh produsen yang memproduksi:

    11. Bahan Baku Ctbat Hewan kepada produsen yang memproduksi Produk Jadi dan distributor Obat llewan;

    12. bahan setengah jadi Obat Hewan kepa-da produsen Obat Hewan; dan/atau

    13. Produk Jadi kepada distribntor Obat Hewan. , (3) Distribusi Obat Hewan sebagaimana dimaksud pacla ayat (1) huruf b dilakukan oleh importir:

    14. Rahan Baku Obat Hewan kepada produsen dan distributor Obat Hewan;

    15. bahan setengah jadi Obat Hewan kepada produsen Obat He'*,an; dan/atau

    16. Produk Jadi kepadet produsen dan distributor Obat Hewan. (a) Distribusi .

    17. Bahan Baku Obat Hewan kepada produsen dan distributor Obat Hewan; dan/atau

    18. Produk Jadi kepada depo, apotek veteriner, pet shop, poultry shop, dan/atau toko Obat Hewan. (5) Distribusi Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dalam bentuk Produk Jadi dilakukan oleh depo kepada apotek veteriner, pet shop, poultry shop, toko Obat Hewan, dan/atau konsumen. , (6) Distribusi Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dalam bentuk Produk Jadi dilakukan oleh apotek veteriner, pet shop, poufirg shop, dan toko Obat Hewan kepada konsumen. Pasal 2 15 (l) Produk Jadi berupa obat keras dapat didistribusikan oleh Pelaku Usaha Obat Hervan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2I4 ayat (1),' kecuali oleh toko Obat Hewan. (21 Produk Jadi benrpa obat bebas terbatas dan obat bebas dapat didistribusikan oleh Pelaku Usaha Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 214 ayat (1). (3) Bahan Baku Obat Hewan dengan klasifikasi obat keras hanya dapat didistribusikan oleh produsen, importir, dan distributor Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayaL (1) huruf a, huruf b, dan huruf c kepada produsen yang memproduksi Obat Hewan.


    Pasal 216
    (1)

    Pelaku Usaha Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasa! 2L4 ayat (l) harus memiliki Rerizinan Berusaha Obat Hewan sesuai dengan lingkup kegiatan usahanya. (2) Perizinan Berusaha Obat Heu,an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangannya diberikan oleh:

    1. Merrteri untuk produsen dan importir Obat Hewan;

    2. gubernur untuk distributor Obat Hewan; atau

    3. bupati/wali kota unruk depo, apotek veteriner, pet shop, poultry shop, dan toko Oba.t Hewan.

    (3)

    Tata Paragraf 6 Pengeluaran Obat Hewan Pasal 217 (1) Pelaku Usaha Obat Hewarr yang melakukan Pengeluaran Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 huruf b wajib memiliki Perizinan Berusaha Pengeluaran Obat Hewan. (2) Perizinan Berusaha Pengeluaran Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus Pengeluaran Obat Hewan. (3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),,Pengeluaran Obat Hewan harus memenuhi persyaratan dari negara tujuan. (4) Perizinan Berusaha Pengeluaran Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan keterrtuan peraturan perundang-undang4n di bidang P erizinan Berusaha. Paragraf 7 Pengawasan Obat Hewan Pasal 218 (1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melakukan pengawasan Penyediaaa Obat Her.van dan Peredaran Obat Hewan. (21 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara rutin dan insidental. (3) Pengawasan rutin sebagaimarra dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara berkala terhadap tingkat risiko dan kepatuhan Pelaku Usaha Obac Hewan terhadap pemenuhan standar dalam kegiatan Penyediaan Obat Hewan dan Peredaran Obat Hewan.

    (4)

    Pengawasarr ' a. laporan clan/atau pengaduan dari masyarakat;

    1. dugaan adanya pelanggaran atau peiryalahgunaan;

    2. kebutuhan data realisasi kcgiatan usaha pada proyek prioritas Pemerintah; dan/atau

    3. kebutuhan Pemerintah lainnya yang ditetapkan sesuai dengan keten tuan pererturan perLlndang-undangan. Pasal 2 19 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dilakukan minimdl setiap 3 (tiga) bulan sekali atau sewaktu-u'aktu. (21 Pengawasan sebagaimana dirhaksud pada ayat (1), dalam pelaksanaannya Menteri, gubernur, dany'atau bupati/wali kota dapat menunjuk pengawas Obat Hewan. (3) Pengau,as Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ditetapkan oleh:

    4. Menteri, untuk pengawas Obat Flewan pusat;

    5. gubernur, untuk pengawas Obat Hewan provinsi; arau c. bupati/rvali kota, urrtuk pengawas Obat Hewan kabupaten/kota, sesuai dengan kewenangannya dalam bentuk Keputusan. (41 Dala.m melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (21. dilakukan secara terkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan/atau perangkat daerah yang menyelenggarakan Llrusan pemerintahan di bidang penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu serta dapat melibatkan peratl serta masyarakat. Pasal 220 (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagairnana dimaksud dalarn Pasal 219, pengawas Obat Hewan berwenang untuk:

    6. melakukan perneriksaan terhadap dipenuhinya . ketentuan Perizioan Usaha Penyediaan Obat Hewan dan Feredaran Obat llewan;

    7. melakukan pemeriksaan terhadap pemenuhan ,atau penerapa.n CPOHB;

    8. melakukan pemeriksaan terhadap Obat Hewan, unit usaha Penyediaan Obat Hewan dan Peredaran Obat Hewan serta alat dan cara pengangkutannya;

    9. melakukan : 89 ^- d. melak'rkan pemeriksaan terhadap penggunaan Obat Hewan;

    10. melakukan pengambilan contoh Obat Hewan guna pengujian keamanan, khasiat dan nrutunya;

    11. melakukan pemeriksaan terhadap pemenuhan pendaftaran Obat Hewan, pernenlrhan persyaratan keama.nan, khasiat, darr mutu Obat Hewan, dan pemenuhan persyaratan pelabelan dan penandaan Obat Flewan; dan

    12. melakukan kajian lapang terhadap produsen asal luar negeri apabila terdapat dugaan penyimpangan terhadap keamanan, khasiat dan mutu Obat Hewan. (2) Apabila dalarn melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada aya! (1) ditemukan 1>enyimpangan, pengawas Obat Hewan dapat merekornendasikan kepada Menteri, gubernur, dan/atau bupati/wali kota untukr a. rnenghentikan pengguna.an Obat Hewan;

    13. penarikan Obat Hewan dari peredaran;

    14. menghentikan sementara dari kegiatan Penyediaan Cbat Hewan dan Peredaran Obat Hewan;

    15. pclarangan Peredaran Obat Flewan; dan/atau

    16. pencabutanPerizinan Berusaha Obat Hewan. Paragraf 8 Pembinaan Pasal 221 (1) Menteri,. gubernur, dan/at upati/rvali kota sesuai dengan kewenanga.nnya berkewajiban melakukan perrbinaan terhadap Penyediaarr Obat Hewan dan Peredaran Obat Hewan. (.21 Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

    17. sosialisasi;

    18. pemantauan dan pendampingan kegiatan usahanya; dan

    19. evaluasi pemenrrhan persyaratan dalam menlalankan usahanya. Ketentrrar, r,,.r,*.,L1t rlrft"san obai, Hewan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 18, Pasal 2lg, Pasal 22O, dan Pasal 22l diatur dengan Peraturan Menteri. SISTEM INFORMASI Pasal 223 (1) Sistem informasi pertanian mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data sistem budi daya pertanian berkelanjutan. (21 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib membangun, men5rusun, dan mengembangkan sistem informasi pertanian yang terintegrasi. (3) Kewajiban Pemc'rintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenanganrrla sebagaimana dimaksud padq ayat (21 dilaksanakan melalui pusat data dan informasi. (4) Pusat data. dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayaL (3) wajib melakukarr pemutakhiran data dan inf<rrmasi sistem budi daya pertanian berkelanjutan secara akurat dan dapat diakses oleh masyarakat.. (5) Pusat clata dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit menyajikan data dan informasi berupa:

    20. varietas tanaman;

    21. Ietak dan luas wilayah, kawasa.n, darr unit usaha budi . daYa t''ertalian;

    22. perrnintaan, peluang, dan tantangan pasar;

    23. perkiraan produksi;

    24. perkiraan harga;

    25. perkiraan pasokan;

    26. perkiraan musim tanam dan musim panen; . h. prakiraan iklim;

    27. organisme pengganggu tumbuhan serta hama dan penyakit hewan;

    28. ketersediaan prasarana budi daya pertanian; dan

    29. ketersediaan sarana budi day4 pertanian. (6) Data dan: inlbrmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh pelaku usaha dan masyarakat.


    Pasal 224

    Sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 paling sedikit digunakan untuk keperluan:

    1. perencanaan;

    2. pemantauan dan evaluasi;

    3. pengelolaan pasokan clan permintaan procluk Pertanian; dan

    4. pertimbanga man modal.


    Pasal 225

    Informasi pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 bersumber dari:

    1. lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik;

    2. unit kerja yang rnemiljki tugas di bidang prasarana dan sarana pertanian;

    3. unit keda yang memiliki tugas di bidang tanaman pangan;

    4. unit kerja yang memiliki tugas di bidang Hortikultura;

    5. unit kerja yang memiliki tugas di bidang Perkebunan;

    6. unit kerja yang memiliki tugas di bidang peternakan dan kesehatan hervan; : g. unit kerja yang memiliki tugas di bidang penelitian dan perrgembangan pertanian ;

    7. unit kerja yang memiliki tugas cti bidang penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia pertanian; . i. unit kerja yang memiliki tugas di bidang ketalranan dan keamanan pangan;

    8. unit kerja yang memiliki tugas di bidang karantina pertanian;

    9. satuan 1. satuan kerja perangkat pusat dan daerah yang menyelenggarakan Llrusan di bidang pelayanan rerpadu satu pintu. Pasal 226 Inforrnasi pertanian dari unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 huruf c paling sedikit memrrat data:

    10. ketersediaan prasarana produksi;

    11. ketersediaan sarana produksi; dan

    12. usaha produksi antara lain wilayah produksi, pelaku usaha, data pengembarlgan standar dan penerapan standar mutu, data hasil produksi, data gangguan produksi serta data pemasaran. Pasal 227 (1) Informasi pertanian dari unit kerja yang memihki tugas di bidang peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 huruf f memuat data pokok berrpa:

    13. populasi ternak; dan

    14. produksi ternak. (21 Daia populasi',ernak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, paling sedikit meinuat informasi jenis dan jumlah ternak. (3) Data produksi ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paltng sedikit memuat informasi jenis dan jumlah produksi daging, susu, dan telur. (41 Selain data pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi pertanian di bidang peternakan dan kesehatan hewan dapat memuat data lain sesuai dengan ketentuan peraturan peftlnclang- undanga n. Pasa! 228 Intbrmasi pertanian dari unit kerja sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 225 hurui a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf g sampai dengan huruf j paling sedikit memuat data:

    15. pencegahan organisme pengganggu tumbuhan;

    16. Ialu lintas tumbuhan dan produk tumbuhan;

    17. sumber cl. prasarana dan sarana;

    18. produksi komoditas Perkebunan, Hortikultura, tanaman pangan; dan

    19. pengolahan dan pemasaran.


    Pasal 229

    Pengembangan teknologi sistem informasi pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

    1. pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi;

    2. keamanan dan kerahasiaan data;

    3. standardisasi data dan informasi;

    4. integrasi;

    5. kemudahan akses;

    6. mampu telusur; dan

    7. ctika, integritas, dan kualitas.


    Pasal 230
    (1)

    Pengembangan teknologi sistem informasi pertanian dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. (21 Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan perjanjian kerahasiaan data. (3) Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi der.rgan rencana alih teknologi. (4) Ketentuan kerja sama pengembangan teknologi sistem informasi pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai Cengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 231

    Pendanaan sistem informasi pertanian untuk pembangunan, pen5rusunan, dan pengembangan sistem informasi pertanian bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau surnber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN


    Pasal 232
    (1)

    Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha dalam rangka percepatan cipta kerja. (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelcnggarakan koordinasr, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bida.ng perekonomian.


    Pasal 233

    Dalam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi. pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan rti bidang pertanian. KETENTUAN PERALIHAN


    Pasal 234

    Perusahaan Perkebunan yang telah menggunakan latran untuk Usaha Perkebunan sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, dikecualikan terhadap batasan luas m.aksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan batasan luas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal a ayat (21. BAB X KETENTUAN PENUTUP


    Pasal 235

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nornor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor i29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3509) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.


    Pasal 236

    Pada saat Peraturan Pemerintair ini mulai tlerlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahttn 1992 tentang Obat Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nonror 129, Tambaharr Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3509), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


    Pasal 237

    Peraturan Pemerintah ini diundangkan. mulai berlaku pada tanggal Agar Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2O2l JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februan2O2l MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG PERTANIAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja diharapkan dapat meningkatkan lapangan kerja dan investasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lndonesia. Sektor pertanian memiliki sumbangan yang besar bagi perekonomian Indonesia dan menyerap tenaga keda yang besar, sehingga dengan Undang-Undang ini dapat berpengaruh positif terhadap sektor pertanian. Dalam rangka pencapaian hal tersebut maka terdapat 5 (lima) undang- undang di sektor pertanian yang harus ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah ini, yaitu:


  31. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2Ol4 tentang Perkebunan;

  32. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlirrdungan Varietas Tanaman;

  33. Undang-Undang Nomor 22 Ta!; lun 2Ol9 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan;

  34. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura; dan

  1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2OO9 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4l Tahun 2Ol4 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2OO9 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang di sektor pertanian tersebut, memberikan konsekuensi untuk mengatur kembali dalam satu Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja pada sektor pertanian. Perubahan. Perubahan lJndang-Undang tersebut ticlak dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu per satu Undang-Undang seperti yang selarna ini dilakukan, cara demikiarr tentu sangat tidak efektif dan efisien serta membutuhkan waktu, sehingga tekrrik penyusunan yang sama ^juga diberlakukan dalam penlrusunan Peraturan Pemerintah untuk sektor pertanian. Materi muatan dalam Perattrran Pernerintah ini untuk subsektor Perkebunan mengatur kembali penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan, fasilitasi pembangLrnan kebun masyarakat sekitar, kewajiban pembangunan kebun bagi unit pengolahan Perkebunan tertentu dan perbenihan Perkebunan. Perubahan ini ditujukan agar lebih meningkatkan kesejahteraan dan. kemakmuran ra}ryat, meningkatkan, sumber devisa negara, menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha, meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai'tambah, daya saing, dan pangsa pasar, m'eningkatkan dan memenuhi.kebutuhan konsurnsi serra bahan baku industri dalam negeri, memberikan perlindungan kepada Pelaku' Usaha Perkebunan dan masyarakat, mengelola dan mengembangkan sumber daya perkebunan secara optimal, bertanggung jawab, dan lestari, dan nreningkatkan pemanfaatan jasa Perkebunan. Llntuk PVT mengatur mengenai proses mendapatkan sertifika.t Hak PVT, perm<.lhonan wajib didaftarkan, cliperiksa, d.iumumkan, dari dicatat oleh Kantor PVI. Hak tersebut dapat dilaksanakan sendiri dan/atzru dialihkan kepada piha.k lain untuk rlema.rif,aatkan varietas tanaman tersebut secara komersial meLalui perjanjian. Mekanisme pengalihfungsian lahan sering dituding suebagai" hambatan dalam investagi, sehingga pengaturan larangan pengalihfungsian lahan budi <laya pertd.nian yang telah ditetapkan bertujuan untuk mewujudkan dan ^'' menjamin tersedianya lahan. Ketersecliaan lahan tersebut diperuntukkarr untuk budi daya, me'*ujudkan kemandirian. ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, meningkatkan pemberdayaan dan kesejaht.eraan petani, membcrikan kepastian berusaha tani' dan mewujtidkan keseimbangan ekologis' serta mencegah 1>emubaziran inve sta si infrastrr.rl',tur pertania.n . ' Peraturan Pemeriritah ^'jirga mengatur subsektor lkrrrikultura yallg memiliki potensi eko,romi ^'sangd.t besar untuk rrrcrlgg€rokkan roda perekoncmian, rnenciptakan peluang usaha, kesenrpatan kerja serta keterkaitan hulu-hilir dan dengan sektor lain. Oleh karena itu perlu diatur usaha perbenihan meliputti Pemuliaan, Produksi Benih, Sertifikasi Benih, dan Peredarern Benih serta sistern'kelas produk berdasarkan standar mtrtu dan standar harga. Pengatrrran Pengaturarr subsektor peternakan dan kesehatan he-wan meliputi Kanvasan Penggembalaair Ur: rum, standar dan persyarat-an teknis minimal Pakan, serta Obat Hewan. Penyediaan dan pengelolaan Kawasan Penggembalaan Umum seiama ini menekankan peranan Pemerintah Daerah kabupatenlkota untuk menetapkan di daerahnya yang mempunyai persediaan lahan sebagai Kawasan Penggembalaan Umum. Dalam rangka peningkatan budi daya ternak skala kecil, terhadap daerah yang telah memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pernerintah ini dapat ditetapkan sebagai Kawasan Penggembalaan Umum oleh Pemerintah Pusat. Terkait dengan pengaturan standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan Pakan serta cara pembuatan Pakan yang baik merupakan pemenuhan kriteria untuk produksi Pakan yang akan diedarkan secara komersial di Indonbsia. Peng,aturan dalam aspek keamanan pangan, diatur larangan penggunaan Pakarl yang dicarnpur ,Hormon tertentu dan/atau Ar^tibiotik Imbuhan Pakan. Penggunaan Pakan.tersebut dalam Peraturan Pemerintah ini dikecnalikan untuk keperluan Terapi dan reproduksi yang penggllnaannya dengan cara parentera.l. Sedangkan pengecualian penggunaan Antibiotik hanya untuk keperluan Terapi dengan peresepan dokter hewan berdasarkan hasil diagnosis. Obat Hewan sebelumnya telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat I{eu,an. Namun, peraturan tersebut sudah tidak sesuai dengan kemajuan teknologi cli bidang Obat Hewan sehingga perlu dicabut dan d.iatur kembali dalam Peraturan Pemerintah ini. Pengaturannya terutama penyediaan Obat Hewan dilakukan melalui produksi dalam negeri dan pemasukan dari iuar negeri. Produksi dalam negeri dilakukan dengan cafa produksi ser: diri, protluksi dengan lisensi, atau kontrak kerja sarna (Toll Mant{ucfidng) II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukr: p ^jelas Pasal 2 Aya-t (1) Ayat (2) Yang dimaksud dengan "komoditas Perkebunan strategis tertentu" aoalah komoditas Perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam peinbangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, antara lain kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, kopi, teh, tebu, dan ternbakau. Ayat (3; Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup ^jelas. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 1 1 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Yang dimaksud dengan "mengusahakan dan memanfaatkan lahan yang difasilitasi" bertujuan untuk mencegah beralihnya kepemilikan dan penguasaan lahan fasilitasi yang diberikan kepada masyarakat sekitar. Huruf b Cukup ^jelas Huruf c Cukup ^jelas Pasal 16 Cukup ^jelas Pasal 17 Oukup ^jelas. Pasal 18 Cukup ^jelas Pasal 19 Cukup ^jelas Pasal 20 Cukup ^jelas Pasal 2 1 Ayat (1) Cukup ^jelas. A.yat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup 1elas. Hurr: f c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Hun-if e Cukup ^jelas. Huruf f Yang dinnaksud dengan "bentuk kegiatan lainnya" antara lain berupa kegiatan integrasi usaha budi daya Tanaman Perkebunari dengan budi daya ternak. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup ^jelas Pasal 26 Cukup ^jelas Pasal 27 Cukup ^jeias Pasal 28 Cukup ^jelas. Pasal 29 Cukup ^jelas. Pasal 30 Ayat (l) Cukup ^jelas Avat (2) Yang dimaksud dengan "unit pengolahan gula tebu berbahan bakrr impor" dalam ketentuan ini tidak termasuk unit pengolahan gula kristal rafinasi. Ayat (3) Cukup ^jelas. Avat (a) Cukup jelas. Pasal 31 Cukul: ^jelas Pasal 32 Cukrrp ^jelas. Pasal 33 Cukup ^jelas Pasal 34 Cukup ^jelas Pasal 35 Cukup ^jelas. Pasal 35 Cuktip ^jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas. Pdsrel lr9 Cukup.jelas Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup jelas Pasal 42 Cukup ^jelas. Pasal 43 Cukup ielas Pasal 44 Culiup ^jelas Pasal 45 Cukup ^jelas Pasal 46 Cukup ^jelas Pasal 47 Cukrip ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup ^jelas. Pasal 50 Cukup jells. Pasal 51 Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelzrs. Pasal 53 Cukup ^jelas. Pasai 54 Cukup ^jelas. Pasai 55 Cukup ^jelas. Pasal 56 Cukup ^jelas Pasal -57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Cukup ^jelas Pasal 59 Cukup ^jelhs Pasal 60 Cukup ^jelas Pasal 61 Cukup ^jelas Pasal 62 Cukup ^jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup ielas. Pasal 65 Cukup ^jelas. Pasal 66 Cukup ^jelas Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas. Pasal 72 Cukup ^jelas. Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 . Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup ^jelas. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup ^jelas. Pasal 83 Cukup ^jelas. Pasal 84 Cukup; elas. Pasal 85 Cukup jelas Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup jelas
    Pasal 91

    Pasa,l 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup ^jelas. Pasal 95 Cukup ^jelas. Pasal 96 , Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukr-rp ^jelas. Pasal 1O1 'Cukup jelas. Pasal 102 CttkrrP ^jelas. Pasal 103 Cukup ^jelas. Pasal 1O4 Yatrg dirnaksuci dengan "lahan baku tanaman pangan" adalah bidang lahart pertanian eksisling dan ciinarnik yang secara periodik ditanami komoditas pangan pokok antara lain padi, jagung, dan kedelai guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, clan kedairlata.n pangan nasional.


    Pasal 105

    Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 107 Cukup ^jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup ^jelas. Pasal 1 10 Cukup ^jelas. Pasai 1 I I Cukup ^jelas. Pasal 112 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Ctrkup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Yang d.makstrd dengan "produksi lokal" adalah sarana Hortiku.ltura yang diproduksi oleh pelaku trsaha Hortikultura perorangan atau keiompok dalam 1 (satu) kabupatenlkota. Yang dimaksud deugan "diedarkan secara terbatas" adalah sarana Hortikultura yan6i cliedarkan terbatas dalam 1 lsatu) kabupaten/kota. Ayat (6) Cukup lelas Pasal 1 13 Cukup ^jelas Pasal 1 14 Cukup ^jelas Pasal 1 15 Cukup ^jelas Pasal 1 16 Cukup ^jelas. Pasal 1 17 Cukup jelas Pasal I 18 Cukup ^jelas. Pasal I i9 Cukup ^jelas. Pasal 120 Cukup ^jelas Pasal 121 Cukup ^jelas. Pasal L22 Cukup ^jeias Pasal 123 Cukup ^jelas. Pasal 124 Crrkup ^jelas. Pasal 125 Cukrrp jelas. Pasal 125 Ctrkup jelas. Pasal 127 Cukup ^jelas. Pasal 128 Cukup ^jelas. Pasal 129 Cukup ^jelas. Pasal 130 Cukup ^jelas. Pasal 131 Cukup ^jelas. Pasal 132 Cukup ^jelas. Pasal 133 Cukup ^jelas Pasal 134 Cukup ^jelas Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Cukup ^jelas Pasal 137 Cukup ^jelas. Pasal 138 Cukup lelas Pasal 139 Cukup ^jelas Pasal 140 Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup ^jelas Pasai 142 Cukup lelas Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas Pasal 145 Cukup ^jelas Pasal 146 Cukup ^jelas Pasal 147 Hur-uf a Cukup ^jeias. Huruf b rlukup jelas. Huruf c Yarrg dimaksud dengan "pengelolaarL" adalah bentuk tindakan yang dilakukan terhadap kawasan penggembalaan umum untuk meningkatkan produktivitas lahan sebagai media tanaman pakan ternak. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Pasal 148 Cuktp ^jelas. Pasal 149 Cukttp ^jelas. Pasal 15O Cukup jelas. Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Cukup ^jelas. Pasal I53 Pasal 153 Ctrkup ^jelas Pasal 154 Cukup ^jelas Pasal 155 Cukup ^jelas. Pasal 156 Ctrkup ^jelas Pasal 157 Cukup jelas Pasal 158 Cukup ^jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 16O Cukup ^jelas Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup ^jelas Pasal 163 Cukup jelas Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Pihak lain dalam ketentuan ini termasuk kcperasi Ayat (3) . Ayat (3) Perjanjian kerja sama paling kurang mengatur subjek, objek, hak dan kewajiban. pembiayaan, foTce majeure, penyelesaian perselisihan, morritoring dan evaluasi scrta pelaporan. Pasal 166 Cukt.p ^jelas. Fasal 167 Cuktrp.f elas Pasal 168 Ctikup ^jelas. Pasal 169 Cukup jel Pasal 170 Cukrip jelas. Phsal 171 Cukup ^jelas. Pasal 172 Cukup ^jelas. Pasal 173 Cukup ^jelas. Pasal 174 Cukup ^jelas. Pasal 175 Cukup jelas. Pasal 176 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukun ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Yang ctimaksud dengan "cara pembuatan Pakan yang baik" misalnya dalam hal proses produksi, dan pembuatan pakan herus menjanrin pakan tidak menqandung cemaran biologi, fisik. krmia di atas ambang batas maksimal yang dipr; 1661"hkan, serta memperhatikan dampak sosial akibat btrangan bahan baku dan bahan ikutan.yang digunakan. Pasal 177 Cukup ^jelas. Pasal 178 Cukup ^jelas. Pasal i79 Ayat ^(1) Cukup; qla Ayat (2) Cul<up ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "bahan setengah jadi Obat Hewan" adalah tiap Bahan Baku Obat Hewan atau campuran Bahan Baku Obat Hewan yang masih memerlukan satu atau lebih tahap pengolahan njutan sampai dengan menjadi Produk Jadi. Pasal 180 Cukup ^jel Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 1.84 Cukup ^jelas. Pasal 185 Cukup ^jelas Pasal 186 Cukup ^jelas. Pasal 187 Cukup ^jelas Pasal 188 Cukup jelas. I Pasal 189 Yang dimaksud dengan "pengawas Obat Hewan" adalah aparatur sipil negara berijazah dokter hewan yang cliberi tugas dan kewenangan untuk melakukan pengawasan Obat Hewan. Yang dimaksud dengan "pengawas mutu Pakan" adalah aparatur sipil negara yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk rnelakukan kegiatan pengawasan mutu antara lain bahan baku, Pakan, TPT, dan HPT. Pasal 190 Cukup jelas Pasal r9l Cukup.ielas Pasal 192 Cukup ^jelas. Pasal 193 Cukup ^jelas. Pasal 194 Cukup jelas. Pasal 195 Cuk.rp ^jelas. Pasal 196 Cukup jelas. Pasal 197 Cukup jeias.


    Pasal 198 Pasal 198 Cukup ^jelas Pasal 199 Cukup ^jelas. Pasal 200 Cukup ^jelas Pasal 20 I Cukup ^jelas Pasal 202 Cukup jelas. Pasal 203 Cukup.jelas Pasal 204 Cukup ^jelas. Pasal 205 Cukup ^jelas. Pasal 206 Cukup ^jeias Pasal 207 Cukup ^jelas Pasal 208 Cukup ^jeias. Pasal 209 Cukup ^jelas Pasal 2 10 Cukup jelas. Pasal 21 1 Cukup ^jelas. Pasal 272 Cukup ^jelas Pasal 213 Cukup ^jelas Pasal 214 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukul: jelas. Ayert (5) Yang dimaksucl dengan "konsumen" adalah pernanfaat akliir Obat Hewan. Avat (6) Cukup ^jelas. Pasal 2 15 Cukup ^jelas Pasal 216 , Cukup jelas Pasal 217 Cukup ^jelas. Pasai 218 Cukup ^jelas Pasal 219 Cukup jclas. Pasal 22C Ctrkup ^jelas Pasal 221 Cnkup ^jelas. pengguna atau Pasal 222 Cukup ^jelas. Pasal 223 Cukup ^jelas. Pasal 224 Cukup ^jelas Pasal 225 Cukup ielas Pasal 226 Cukup ^jelas. Pasal 227 Cukup jelas Pasal 228 Cukup ^jelas Pasal 229 Cuku.p jelas Pasal 230 Cukr.rp ^jele.s Pasal 231 Cukup jelas Pasal 232 Cukup ^jelas. Pasal 233 Crikup.jelas Pasal 234'., Cukup jelas Pasal 235 Cukup jelas. Pasal 236 Cukup jelas Pasal 237 Cukup jelas

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):