Penyelenggaraan Penataan Ruang

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2O2T TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 angka 3, angka 4, angkaT, angka 9, angka 1O, angka 20, arrgka2I, Pasal 18 angka 3, angka 21, Pasal 19 angka 4, angk<a 6, angka 10, dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;

  1. Pasal 5 ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;

  2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2OOT tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO7 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor a7251;

  3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2OO7 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OOZ Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 47391, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tatrun 2Ol4 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2OO7 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol4 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5a90);

  4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2OL4 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol4 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603);

  5. Undang-Undang 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O terrtang Cipta Keda (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); MEIUUTUSI(AN: PERq,T.URAN PEMERINTAH TENTANG P; 'NYELENGGARAAN PENATAAN RUANG. BAB I KETENTUAN I.JMUM Pasal I Dalam Feraturan Pemerintah ini yang dimairsud dengan:

  6. Ruang aaaan wadah yang meliputi ruang darat, rual1g laut, dan ruang udira,. t€'rura-suk ruang di <ialim bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat rnaitusia de.n ma.khluk lain hidup, melal: ukan kegiatan, dan rnernelihara kelangsungan hid',rpnya. 2. Tata Ruang a.clalah wrijud Struktur Ruang dan Fola Ruang. 3. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pr1sa1 permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai perrdurkung kegiatan sosial ekonomi Masyarakat yang $ecara hierarkis memiliki hubungan fungsio,^er1. 4. Pol: i Rtiang adalah distribursi penrntukan ruang cialam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruutukan ruang untuk fungsi budi'daya. 5. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat Rl'R adalah hasil perenchnaan tata ruang. 6. Rencana Detail 'lata Ruang yang sela.niutnya disingkat RDTR aCalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kal: upaten/kota yang diiengka; : i dengan peraturan zonasi 1: ibupaten/kota. IVienetapkan 7. Rencana 7. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara yang selanjutnya disingkat RDTR KPN ada.lah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain. 8. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang. 9. Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan Penataan Ruang. 10. Pengaturan Penataan Ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah ^'Daerah, dan Masyarakat dalam Penataan Ruang. 1 1. Pembinaan Penataan Ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja Penataan Ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pueat, Pemerintah Daerah, cian Masyarakat. 12. Pelaksanaan Penataan Ruang adalah upaya pertcapaian tujuan Penataan Ruang melalui pelaksanaan Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Pengenda,lian Pemanfaatan Rtrang. 13. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuli menentukan Struktur Ruang dan Pola Ruang yang meliputi pet5rusunatr dan penetapan RTR. 14. Pemanfaatan Ruarrg adalah upaya untuk mewrjud}: an Struktur Ruang dan Por-a Ruang sesuai dengan RTR melalui pen5rusunan dan pelaksanaan progranl beserta pembiayao.ri: {el. 15. Pengenclalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib Tata Ruarrg. 16. Pengawasan Penataan ^-Ruang adalah upaya agar Penyelenggaiaan Perfata.an Ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

  7. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RTR. 18. Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RDTR. 19. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencena kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RTR selain RDTR. 20. Rekomendasi Kesesuaian Kegiata.n Pemanfaatan Ruang adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang yang didasarkan pada kebijakan nasional yang bersifat strategis dan belum diatur dalam RTR dengan mempertimbangkan asas dan tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang. 21. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geo$rafis' beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administra-tif dan/atau aspek fungsional. 22. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya, 23. Kawasan Lindurrg adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 24. Kavrasan Budi Daya adalafr wilayah Srang ditetapkan dengan fungsi utama unttrk dibuciidayakan atas ciasar kondisi dan potensi sunrber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. 25. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya.. alam dengan susunan fungsi kawasa: -r sebagai tempat permukiman perdesaan, .peiayan jasa pemerintah3.n, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi' 33. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 34. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelornpok Orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau Pemangku Kepentingan nonpemerintah lain dalam Penyelenggai'aan Penataan Ruang. 35. Menteri adalah inenteri yang menyelenggarakan urLlsan pemerintahan di biclang penataan ruang. 36. Forum Penataan Ruang adalah wadah di tingkat pusat dan daerah yang bertugas untuk membantu Pemerintah Pr,rsat dan Pemerintah Daerah dengan memberikan pertimbangan dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang. 37. Konsultasi hlblik adalah partisipasi aktif Masyarakat untuk mendapatkan masukan, tanggapan, atau saran perbaikan dalam penyusunan RTR. 38. Badan Bank Tanah yang selanjutnya disebut Bank Tanah adalah badan khusus (sui generb) yang merupakan badarr hukum Indonesia l/ang dibentuk oleh Pemerintah Pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah. 39. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. 40. Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana Ci; naksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Mikr<1, Kecil, dan Menengah. 4L. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 42. Batas Daerah adalah batas daerah antarprovinsi dan/atau kabupaten/ kota.

  8. Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. 44. Perencanaan Ruang Laut adalah suatu pr.oses untuk menghasilkan Rencana Tata Ruang Laut dan/atau Rencana Zonasi untuk menentukan Struktur Ruang Laut dan Pola Ruang Laut. 45. Rencana Tata Ruang Laut yang selanjutnya disingkat RTRL adalah hasil dari proses Perencanaan Tata Ruang Laut. 46. Struktur Ruang Laut adalah susunan pusat pertumbuhan kelautan dan sistem jaringan prasarana dan sarana Laut yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi Masyarakat yang secara hierarkis merriilild hubungan fungsional. 47. Pola Ruang Laut adalah distribusi peruntukan ruang Laut dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. 48. Rencana Zonasi yang selanjutnya disingkat RZ adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya setiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan Struktur Ruang dan Pola Ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Persetrrjuan Kesesuaidn l.egiatan Pemanfaatan Ruang Laut, konfirmasi kesesuaian ruang laut, cian Perizinan Berusaha pemanfaatan di Laut. 49. Kawasan Antarwilayah adalah kawasan laut yang meliputi dua provinsi atau lebih yang dapat berupa teluk, sela'., dan Laut.

  9. Ka'*rasan Strategis Irlasional T'ertentu yang selanjutnya disingkat KSITT adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional. 51. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional yang selanjutnya Cisingkat RZ KSN adalah rencana yang disusun untuk menentukan arahan Pemanfaatan Ruang Laut di KSN. 52. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu yahg selanjutnya disingka\ RZ KSNT adalah rencana yang disusun untuk menentukan arahan Pemanfaatan Ruang Laut di KSNT. 53. Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah yang selanjutnya disingkat RZ KAW adalah rencana yang disusun untuk menentukan arahan Pemanfaatan Ruang Laut di Kawasan Antarwilayah. 54. Rencana Zotasi Wilayah Pesisir dan hrlau-Pulau Kecil yang selanjutny,r disingkat RZWP-3-K adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumher daya yang disertai dengan penetapan alokasi ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. 55. Perairan Pesisir adalah Laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil Laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangka!, rau,a payau, dan laguna. 56. Pulau-Pulau Kecil Terluar yang selanjutnya disingkat PPKT adalah pulau-pulau kecil yang memiliki titik- titik dasar koordinat geogralis yang menghubungkan garis parrgkal Laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional.

  10. Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bhgian dari Laut yang ditetapkan peruntukannya bagi berbagai sektor kegiatan. 58. Kawasan Konseryasi adalah kawasan yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. 59. Alur Laut adalan perairan yang dimanfaatkan, antara lain, untuk ah: r pelayaran, pipa danr'atau kabel bawah laut, dar. migrasi biota laut. 60. Masyarakat L,okal,adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya pesiisir dan pulau- pulau kecil tertentu. 61. Masyarakat Tradisional adal:

    Pasal 2

    Pengaturan Penataan Ruang diselenggarakan untuk:

    1. mewujudkan ketertiban dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang;

    2. memberikan kepastian hukum bagi seluruh Pemangku Kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang; dan

    3. mewujudkan keadilan bagi seluruh Pemangku Kepentingan dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pasal 3 Pengaturan Penataan Ruang dilakukan melalui pen)rusunan dan penetapan pedoman yang memuat norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang Penataan Ruang. Pasal 4 Peraturan Pemerintah ini mengatur Penataan Ruang yang meliputi:

    4. Perencanaan Tata Ruang;

    5. Pemanfaatan Ruang;

    6. PengendalianPemanfaatanRuang;

    7. Pengawasan Penataan Ruang;

    8. Pembinaan Penataan Ruang; dan

    9. kelembagaan Penataan Ruang. Penyelenggaraan BAB II BAB II PERENCANAAN TATA RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1) Perencanaan Tata Ruang dilakukan untuk menghasilkan:

    10. rencana unrum tata ruang; dan

    11. rencana rinci tata ruang. (2) Rencana umum tata ruang sebagaimana climaksud pada ayat (1) huruf a secara hierarkis terdiri atas:

    12. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

    13. rencana tata ruang wilayah provinsi;

    14. rencana tata ruang wilayah kabupaten; dan

    15. rencana tata ruang wilayatr kota. (3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

    16. RTR pulau/kepulauan, RTR KSN, RZ KSNT, RZ KAW, dan RDTR KPN sebagai rencana rinci dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

    17. RDTR kabupaten sebagai rencana rinci dari rencana tata ruang wilayah kabupaten; dan

    18. RDTR kota sebagai rencana rinci dari rencana tata ruang wilayah kota. Pasal 6 (l) Perencanaan Tata Ruang meliputi penyusunan dan penetapan RTR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang,rn. (21 Penyusunan RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    19. penyusunan a. penyusunan rencana umum tata ruang; dan

    20. penJrusunan rencana rinci tata ruang. (3) Penetapan RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    21. penetapan rencana umum tata ruang; dan

    22. penetapan rencana rinci tam ruang. (4) Pemerintah Pr.rsat dan Pemerintah Daerah wajib men5rusun dan menyediakan RTR yang telah ditetapkan dalam bentuk digital tlan sesuai standar yang ditetapkan oleh Pemerintah hrsat. (5) Penyediaan RTR yang telah ditetapkan dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimaksudkan agar dapat diakses dengan mudah oleh Masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RTR. Pasal 7 (1) Pen5rusunan RTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilakukan melalui tahapan:

    23. persiapan penyusunan RTR;

    24. pengumprrlan datet;

    25. pengolahan Can analisis data;

    26. perumusan konsepsi RTR; dan

    27. penyusunan rancangan perattrran tentang RTR. l2l ^PenSrusunan ^RTR sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) menghasilkan dokumen:

    28. konsepsi RTR, konsepsi RZ KSNT, dan konsepsi RZ KA!V; dan

    29. rancangan peraturan tentang RTR, rancangan peraturan. tentang RZ KSNT, dan rancangan peraturan te4tang RZ KAW.

      (3)

      Penyusunan RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (l) melibatkan peran Masyarakat dan Pemangku Kepentingan lainnya melalui Konsultasi lfublik. (4) Pen5msunan RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan inovasi teknologi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pen)rusunan RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan lylenteri. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RZ KSNT dan lV KAW sebagaimana dimaksrrd pada ayat 12) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. Pasal 8 (1) RTR sebagai hasil dari Perencanaan Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mirupakan acuan bagi:

    30. penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    31. Pemanfaatan Ruang tuk seluruh kegiatan pembangunan sektoral dan pengembangan Wilayah dan Kawasan yang memerlukan Ruang; dan

    32. penerbitan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di Laut serta pemberian hak atas tanah dan hak. pengelolaan. (21 Pemberian hak atas tanah dan hak pengelolaan sebagaimana dimaksud . pada ayat (1) huruf c didasarkan pada peruntukan ruang sesuai RTR. (3) Pemt.erian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c pada ruang atas tanah didasarkan pada koefisign dasar bangunan, kcefisien lantai bangunan, serta koefisien Pemanfaatan Ruang lainnya yang menrpakart bagian dari RTR.

      (4)

      Pemberian (4) Pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c pada ruang bawah tanah memperhatikan ketentuan Pemanfaatan Ruang dalam bumi yang diatur dalam RTR. Bagian Kedua Pen5rusunan Rencana Umum Tata Ruang Paragraf 1 Umum Pasal 9 (1) Pen5rusunan rencana umum tata ruang meliputi:

    33. penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

    34. pen5rusunan rencana tata ruang wilayah provinsi;

    35. pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten; dan

    36. penJrusunan rencana tata ruang wilayah kota. (2) Jangka waktu penyusunan dan penetapan rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 18 (delapan belas) bulan terhitung seiak pelaksanaan penyusunan rencana umum tata ruang. Paragraf 2 Pen5rusunan Rencana Tata Ruang Wila5'ah Nasional Pasal 10 (1) Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dinraksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh Menteri.

      (2)

      Rencana. PRES I DEN REPUBLTK INDONESIA (21 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional mencakup ruang darat, ruang udara, dan ruang laut yang meliputi wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. (3) Muatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dirumuskan berdasarkan materi teknis yang disusun oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. Pasal 1 1 (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memperhatikan:

    37. rencana pembangunan jangka panjang nasional;

    38. rencana pembangunan jangka menengah nasional;

    39. wawasan nusantara dan ketahanan nasional;

    40. ketentuan hukuni Laut internasional;

    41. perjanjian internasional;

    42. perkembangan permasalahan regional dan global serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional;

    43. upaya pemerataan pembAngunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;

    44. keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;

    45. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

    46. kondisi dan poterrsi sosial Masyarakat;

    47. pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk nrang di dalanr bumi;


  11. kebijakan penrbangtrnan nasional yang bersifat strategis; dan

    1. rencana tata ruang wrlayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten, dan/atau rencana tata ruang wilayah kota. {21 ^Rencana ^Tata ^Ruang ^Wilayah Nasional ^paling ^sedikit memuat:

    2. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang wilayah nasional;

    3. rencana Struktur Ruang wilayah nasional yang meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sisrem jaringan prasarana;

    4. rencana Pola Ruang wilayah nasional yang meliputi Kawasan Lindung yang memiliki nilai strategis nasional termasuk Kau'asan Konservasi di Laut, dan Kawasan Budi Daya yang memiliki nilai strategis nasional termasuk Kawasan Pemanfaatan Umum;

    5. alur.migrasi biota laut;

    6. penetapar. lokasi KSN;

    7. penetapan lokasi KSNT;

    8. penetaparr lokasi Karyasan Antarwilayah;

    9. arahan Pemanfaatan Ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;

    10. strategi kebijakan pengembangan KSN;

    11. strategi kebljakan pengembangan pulau/kepulauan;

    12. strategi kebijakan pengembangan KSNT;

  12. strategi kebijakan pengembangan Kawasan Antarwilayah;

    1. arahan Pengendaiian Pemanfaatan Ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatarr Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi; dan

    2. arahan kebijakan peruntukan ruang pada sempadan pantai, sungai, situ, danau, embung, ',rraciuk, ^dan mata ^air. ^' (3) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi acuan untuk:

    3. penJrusunan RTRpulau/kepulauan;

    4. penrusunan RTR KSN;

    5. penirusunan RZ KSNT;

    6. pen5rusunanRZI(AW;

    7. pen5rusunan RDTR KPN;

    8. penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi;

    9. penJrusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota;

    10. pen5rusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;

    11. pen5rusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;

    12. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Rrrang di wilayah nasional; dan

    13. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor. (41 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1: 1.OOO.O0O. Pasal 12 (1) Penyusunan Renca.na Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a meliputi:

    14. proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

    15. pelibatan peran Masyarakat di tingkat nasional dalam pen5rusunan Rencana Tatd. Ruang Wilayah Nasional; dan

    16. pembahasan c. pembahasan rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional oleh Pemangku Kepentingan di tingkat nasional. (2) Proses pen5rusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui tahapan:

    17. persiapan pen5rusunan meliputi:

  13. penyusunan kerangka acuan kerja; dan

  14. penetapan metodologi yang digunakan. b. pengumpulan data paling sedikit:

  15. data wilayah administrasi;

  16. data dan informasi kependudukan;

  17. data dan informasi bidang pertanahan;

  18. data dan informasi kebencanaan;

  19. data dan informasi kelautan; dan

  20. peta dasar dan peta tematik yang dibutuhkan. c. pengolahan data dan analisis paling sedikit:

  21. analisis potensi dan permasalahan regional dan global; dan

  22. analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis. d. perumusan konsepsi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; dan

    1. penyusunan rancangan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (3) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b angka 6 merupakan peta rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya.

      (4)

      Peta (4) Peta rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan integrasi kajian lingkungan hidup strategis dalam pen5rusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf c angka 2 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 PenSrusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Pasal 13 (1) Pen5rusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah provinsi. (2) Rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup muatan pengaturan Perairan Pesisir. (3) Muatan pengaturan Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dirumuskan berdasarkan materi teknis yang disusun oleh perangkat daerah provinsi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. (41 Pen5rusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 14 (1) Materi teknis muatan Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) harus mendapatkan persetujuan teknis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pen5rusunan materi teknis dan prosedur pemberian persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. Pasal 15 (1) Rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu pada:

    2. .Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

    3. RTRpulau/kepulauan;

    4. RTR KSN;

    5. nZ XeW; dan

    6. RZ KSNT. (2) Rencana tata ruarrg wilayah provinsi memperhatikan:

    7. rencarla pembangunan jangka panjang nasional;

    8. rencana pembangunan jangka menengah nasional;

    9. rencana pembangunan jangka panjang provinsi;

    10. rencana pembangunan jangka menengah provinsi;

    11. rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruahg rvilayah kabupaten, dan/atau rcncana tata ruang wilayah kota yang berbatasan;

    12. '.tr/arvasan nusantara dan ketaharran nasional;

    13. perkembangan permasalahan regional dan global serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasicnal;

    14. upaya pemerataa embangtrnan dan pertumbr.rhan serta- stabilitas ekonomi;

    15. keselarasan aspirasi pembangunan nasiorral dan pembang: -rnan daerah;

    16. daya j. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

    17. kondisi dan potensi sosial Masyarakat;

    18. pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; dan

    19. kebijakan pembangunan nasional yang bersifat strategis. (3) Rencana tata ruang wilayah provinsi paling sedikit memuat:

    20. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang wilayah provinsi;

    21. rencana Struktur Ruang wilayah provinsi yang meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistern ^ja-nngan prasar€rna;

    22. rencana Pola Ruang wilayah provinsi yang meliputi Karvasan Lindung yang memiliki nilai strategis provinsi termasuk Kawasan Konservasi di Laut, dan Kawasan BuCi Daya yang memiliki nilai strategis provinsi termasuk Kawasan Pemanfaatan Umum;

    23. alur migrasi biota laut;

    24. arahan Pemanfaatan Ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama jangka menengah iinra talpunan;

    25. arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi arahan zonasi sistenr provinsi, arahan Kesestraian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan.sanksi;

    26. keLijakan pengembangan Kawasan Strategis Provinsi;

    27. arahan kebijakan pengenrbangan wilayah kabupaten/kota; dan

    28. arahan kebijakan peruntukan ruang pada sempadan parrtai, sungai, situ, danau, enrbung, waduk, cian mata air.

      (4)

      Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi acuan untuk:

    29. penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten;

    30. penyusunan rencana tata ruang wilayah kota;

    31. penyusunan rencana pemba.ngunan ^jangka panjang daerah provinsi;

    32. penyusunarl rencana pembangunan jangka menengah daerah provinsi;

    33. Pernanfaatan Ruang dan Pengendalian , Pemanfaatan Ruang clalam wilayah provinsi;

    34. perwujudan keterpadllan, keterkaitan, dan keseimbangan perkernbangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor; dan

    35. penetapan lokas, dan fungsi ruang untuk investasi. (5) Rencana tata ruang wilayah provinsi dituangkan ke dalam peta dengarr tingkat ketel.itian skala 1: 250.000. Pasal 16 (1) Perr5rusunan rencana tata ru?ng wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b meliputi:

    36. proses perljrusunai.'- rencana tata ruang vrilayah provinsi;

    37. pelibatan peran l{asyarakat di provinsi dalam pen)rusunan rencan ^ruang ^wilayah provinsi; dan

    38. pembahasan rancangan rencarla tata ruang wilayah provinsi oleh Penrangku Kepentingan di provinsi. (21 Proses Pen5rusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui tahapan:

    39. persiapan penyusunan meliputi:

  23. penyusunan kerangka acuan kerja; dan

  24. penetapan metodologi yang digunakan. b. pengumpulan data paling sedikit:

  25. data wilayah administrasi;

  26. data dan informasi kependudukan;

  27. data dan informasi bidang pertanahan;

  28. data dan informasi kebencanaan;

  29. data dan informasi kelautan; dan

  30. peta dasar dan peta tematik yang dibutuhkan. c. pengolahan data dan analisis paling sedikit:

  31. analisis potensi dan permasalahan regional dan global; dan

  32. analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis. d. perumusan konsepsi rencana tata ruang wilayah provinsi; dan

    1. pen5rusunan rancangan peraturan tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 6 merupakan peta rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya. (41 Peta rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial.

      (5)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan integrasi kajian lingkungan hidup strategis dalam penJrusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 hurtrf c angka 2 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Penyusunan Rencana Tala Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 17 (l) Pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dilakSanakan oleh Pemerintah Daerah' kabupaten. (2) Penyusunan rencana tata ruang rvilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan norna, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 18 (1) Rencana tata ruang wilayah kabupaten paling sedikit mengacr-l pada:

    2. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

    3. RTR pulau/kepulauan;

    4. RTR KSN; dan

    5. rencana tata ruang wilayah provinsi. (21 Rencana tata ruang wilayah kabupaten nremperhatikan:

    6. rencana pembar: gunan jangka panjang daerah provinsi;

    7. rencana pembangunan ^jangka menengah. daerah provirrsi;

    8. renr: ana pembangunan jangka panjang daerah ka.bupaten;

    9. rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten;

    10. perkembangan permasalahan regional dan global serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten;

    11. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;

    12. keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;

    13. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

    14. kondisi dan potensi sosial Masyarakat;

    15. neraca penatagunaan tanah dan neraca penatagunaan sumber daya air;

    16. pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; dan

  33. kebijakan pembangunan nasional yang bersifat strategis. (3) Rencana tata ruang wilayah kabupaten paling sedikit memuat:

    1. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang wilayah kabupaten;

    2. rencana Struktur Ruang wilayah kabupaten yang meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana;

    3. rencana Pola Ruang wilayah kabupaten yang meliputi Kawasan Lindung kabupaten dan Kawasan Budi Daya kabupaten, termasuk rencana penyediaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan;

    4. arahan Pemanfaatan Ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;

    5. ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum zonasi, ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi;

    6. kebijakan pengembangan kawasan strategis kabupaten;

    7. kebijakan pengembangan wilayah kabupaten; dan

    8. peruntukan ruang pada sempadan pantai, sungai, situ, danau, embung, waduk, dan mata air. (4) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi acuan untuk:

    9. penyusunan RDTR kabupaten;

    10. penJrusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah kabupaten;

    11. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten ;

    12. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di wilayah kabupaten;

    13. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan

    14. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. (5) Rencana tata ruang wilayah kabupaten dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1: 50.000. Pasal 19 (1) Pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c meliputi:

    15. proses pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten;

    16. pelibatan peran Masyarakat di kabupaten dalam pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten; dan

    17. pembahasan rancangan rencana tata ruang wilayah kabupaten oleh Pemangku Kepentingan di kabupaten. (21 Proses pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui tahapan:

    18. persiapan pen5rusunan meliputi:

  34. penyusunan kerangka acuan kerja; dan

  35. penetapan metodologi yang digunakan. b. pengumpulan data paling sedikit:

  36. data wilayah administrasi;

  37. data dan informasi kependudukan;

  38. data dan informasi bidang pertanahan;

  39. data dan informasi kebencanaan; dan

  40. peta dasar dan peta tematik yang dibutuhkan. c. pengolahan data dan analisis paling sedikit:

  41. analisis potensi dan permasalahan regional dan global; dan

  42. analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis. d. perumusan konsepsi rencana tata ruang wilayah kabupaten; dan

    1. penJrusunan rancangan peraturan tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (3)

      Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b angka 5 merupakan peta rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya. (41 Peta rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan integrasi kajian lingkungan hidup strategis dalam pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 5 Pen5rusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pasal 20 (1) Penyusunan rencana tata rua wilayah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kota. (21 Pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 21 (1) Rencana tata ruang wilayah kota paling mengacu pada:

    2. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

    3. RTR pulau/kepulauan;

    4. RTR KSN; dan

    5. rencana tata ruang wilayah provinsi. sedikit (2) Rencana a. rencana pembangunan jangka panjang daerah provinsi;

    6. rencana pembangunan ^jangka menengah daerah provinsi;

    7. rencana pembangunan jangka panjang daerah kota;

    8. rencana pembangunan ^jangka menengah daerah kota;

    9. perkembangan permasalahan regional dan global serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang kota;

    10. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;

    11. keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;

    12. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

    13. kondisi dan potensi sosial Masyarakat;

    14. neraca penatagunaan tanah dan neraca penatagunaan sumber daya air;

    15. pemanfaatan nrang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; dan

  43. kebijakan pembangunan nasional yang bersifat strategis. (3) Rencana tata ruang wilayah kota paling sedikit memuat:

    1. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang wilayah kota;

    2. rencana Struktur Ruang wilayah kota yang meliputi rencana sistem pusat pelayanan dan rencana sistem jaringan prasarana;

    3. rencana Pola Ruang wilayah kota yang meliputi Kawasan Lindung dan Kawasan Budi Daya, termasuk rencana penyediaan ruang terbuka hijau; FRES IDEN REPUBLIK INDONESIA d. arahErn Pemanfaatan Ruang wilayah kota yang berisi indikasi program utama ^jangka menengah lima tahunan;

    4. ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang wilayah kota yang berisi ketentuan umum zonasi, ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi;

    5. kebijakan pengembangan kawasan strategis kota;

    6. kebijakan pengembangan wilayah kota;

    7. peruntukan ruang pada sempadan pantai, sungai, situ, danau, embung, waduk, dan mata air; dan

    8. rencana penyediaan dan pemanfaatan:

  44. ruang terbuka hijau publik dan pendistribusiannya;

  45. ruang terbuka hijau privat;

  46. ruang terbuka nonhijau;

  47. prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal; dan

  48. 'ruang evakuasi bencana. (41 Rencana tata ruang wilayah kota menjadi acuan untuk:

    1. pen5rusunan RDTR kota;

    2. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah kota;

    3. pen)rusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah kota;

    4. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di wilayah kota;

    5. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan

    6. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. (5) Rencana tata ruang wilayah kota dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1: 25.000. Pasal 22 (1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf c diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

    7. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau publik dalam rencana tata ruang wilayah kota paling sedikit 2Oo/o (dua puluh persen) dari luas wilayah kota;

    8. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau privat dalam rencana tata ruang wilayah kota paling sedikit lOo/o (sepuluh persen) dari luas wilayah kota; dan

    9. apabila luas ruang terbuka hijau, sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b memiliki total luas lebih besar dari 3Oo/o (tiga puluh persen), proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 23 (1) Pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d meliputi:

    10. proses pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kota; PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA b. pelibatan peran Masyarakat di kota dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah kota; dan

    11. pembahasan rancangan rencana tata rLtang wilayah kota oleh Pemangku Kepentingan di kota. (21 Proses pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui tahapan:

    12. persiapan pen5rusunan meliputi:

  49. penyusunan kerangka acuan kerja; dan

  50. penetapan metodologi yang digunakan. b. pengumpulan data paling sedikit:

  51. data wilayah administrasi;

  52. data dan informasi kependudukan;

  53. data dan informasi bidang pertanahan;

  54. data dan informasi kebencanaan; dan

  55. peta dasar dan peta tematik yang dibutuhkan. c. pengolahan data dan analisis paling sedikit:

  56. analisis potensi dan permasalahan regional dan global; dan

  57. analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis. d. perumusan konsepsi rencana tata ruang wilayah kota; dan

    1. pen5rusunan rancangan peraturan tentang rencana tata ruang wilayah kota dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

      (3)

      Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b angka 5 merupakan peta rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya. (4) Peta rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan integrasi kajian lingkungan hidup strategis dalam pen5rusunan rencana tata rulang wilayah kota ^'sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Pen5rusunan Rencana Rinci Tata Ruang Paragraf 1 Umum Pasal 24 (1) Pen5rusunan rencana rinci tata ruang meliputi:

    2. pen)rusunan RTRpulau/kepulauan;

    3. pen5rusunan RTR KSN;

    4. pen)rusunan RZ I(AW;

    5. pen5rusunan RZ KSNT;

    6. penJrusunan RDTR KPN; dan

    7. pen)rusunan RDTRkabupaten/kota. (2) Jangka waktu penJrusunan dan penetapan RTR pulau/kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, RTR KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, RZ KAW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dan RDTR KPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak dimulainya pen5rusunan RTR pulau/kepulauan, RTR KSN, RZ KAW, RZ KSNT, atau RDTR KPN yang dimaksud.

      (3)

      Jangka waktu pen5rusunan dan penetapan RDTR kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak dimulainya pelaksanaan pen5rusunan RDTR kabupaten/kota. Paragraf 2 Pen5rusunan Rencana Tata Ruang Pulau/ Kepulauan Pasal 25 (1) Pen]rusunan RTR pulau/kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh Menteri. (2) Pulau/kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pulau-pulau besar dan gugusan kepulauan yang memiliki satu kesatuan ekosistem. (3) Pulau-pulau besar sebagaimana dimaksud pada ayat (21 meliputi Fulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua. (4) Gugusan kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 meliputi gugusan Kepulauan Maluku dan gugusan Kepulauan Nusa Tenggara. (5) Pen5rusunan RTR pulau/kepulauan dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 26 (1) RTR pulau/kepulauan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (2) RTR pulau/kepulauan memperhatikan:

    8. rencana pembangunan jangka panjang nasional;

    9. rencana pembangunan jangka menengah nasional;

    10. rencana .

    11. rencana pembangunan jangka panjang provinsi yang menjadi bagian pulau/ kepulauan;

    12. rencana pembangunan jangka menengah provinsi yang menjadi bagian pulau/ kepulauan;

    13. wawasan nusantara dan ketahanan nasional;

    14. perkembangan permasalahan regional dan globat serta hasil pengkajian implikasi penataan ru€rng nasional;

    15. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;

    16. keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;

    17. optimasi pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;

    18. RTR KSN; K. RZ KSNT;

  58. RZ I(AW; dan

    1. rencana tata ruang wilayah provinsi yang menjadi bagian pulau/ kepulauan. (3) RTR pulau/kepulauan paling sedikit memuat:

    2. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang pulau/ kepulauan;

    3. rencana Struktur Ruang pulau/kepulauan yang meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana;

    4. rencana Pola Ruang pulau/kepulauan yang meliputi Kawasan Lindung pulau/kepulauan dan Kawasan Budi Daya yang memiliki nilai strategis nasional;

    5. arahan Pemanfaatan Ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;

    6. strategi kebijakan pengembangan pulau/kepulauan;

    7. arahan f. arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pulau/kepulauan yang berisi indikasi arahan zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi;

    8. arahan kebijakan peruntukan ruang pada sempadan pantai, sungai, situ, danau, embung, waduk, dan mata airl dan h. penetapan kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan hutan pada setiap daerah aliran sungai di pulau/kepulauan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup sesuai dengan kondisi biogeofisik, iklim, kependudukan, dan sosial ekonomi wilayah pulau/kepulauan. (4) RTR pulau/kepulauan menjadi acuan untuk:

    9. pen5rusunan RTR KSN;

    10. pen5rusunan rencana tata ruang wilayah provinsi;

    11. penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten;

    12. penyusunan rencana tata ruang wilayah kota;

    13. penyusunan rencana pembangunan ^jangka panjang nasional;

    14. pen5rusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;

    15. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di wilayah nasional;

    16. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, dan/atau keserasian antarsektor; dan

    17. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. (5) RTR pulau/kepulauan dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian ska-la 1: 500.000. Pasal 27 (1) Pen5rusunan RTR pulau/kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a meliputi:

    18. proses pen5rusunan RTR pulau/kepulauan;

    19. pelibatan peran Masyarakat regional pulau/kepulauan dalam pen5rusunan RTR pulau/kepulauan; dan

    20. pembahasan rancangan RTR pulau/kepulauan oleh Pemangku Kepentingan di tingkat regional pulau/ kepulauan. (21 Proses pen5rusunan RTR pulau/kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui tahapan:

    21. persiapan pen5rusunan meliputi:

  59. penyusunan kerangka acuan kerja; dan

  60. penetapan metodologi yang digunakan. b. pengumpulan data paling sedikit:

  61. data wilayah administrasi;

  62. data dan informasi kependudukan;

  63. data dan informasi bidang pertanahan;

  64. data dan informasi kebencanaan; dan

  65. peta dasar dan peta tematik yang dibutuhkan. c. pengolahan data dan analisis paling sedikit:

  66. analisis potensi dan permasalahan regional dan global; dan

  67. analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis. d. perumusan konsepsi RTR pulau/kepulauan; dan

    1. penJrusunan rancangan peraturan presiden tentang RTR pulau/ kepulauan.

      (3)

      Peta Paragraf 3 Pen5rusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (3) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 5 merupakan peta rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya. (4) Peta rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan integrasi kajian lingkungan hidup strategis dalam pen5rusunan RTR pulau/kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf c angka 2 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 28 (1) Pen5rusunan RTR KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh Menteri. (2) RTR KSN dapat mencakup ruang perairan sampai batas luasan tertentu sesuai kebutuhan dan/atau sudut kepentingan Kawasan. (3) Substansi RTR KSN di rurang perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dirumuskan berdasarkan materi teknis yang disusun oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pen)rusunan materi teknis rllang perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan umsan pemerintahan di bidang kelautan. (5) Pen5rusunan RTR KSN dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri.

      (6)

      Penyusunan.

      (6)

      Pen5rusunan RTR KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi dan/atau mengintegrasikan pembangunan dan pengelolaan kawasan yang bernilai strategis nasional dalam mendukung penataan ruang wilayah nasional. Pasal 29 (1) Pen5rusunan RTR KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b dilaksanakan pada Kawasan yang mempunyai nilai strategis nasional. (21 Kawasan yang mempunyai nilai strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    2. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan;

    3. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi;

    4. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya;

    5. kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi; dan/atau

    6. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Pasal 30 KSN dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan kriteria:

    7. kawasan dengan peruntukan bagi kepentingan pemeliharaan pertahanan dan keamanan negara berdasarkan geostrategi nasional;

    8. kawasan dengan peruntukan bagi pangkalan militer atau kesatrian, daerah latihan militer, instalasi militer, daerah uji coba peralatan dan persenjataan militer, daerah penyimpanan barang eksplosif dan berbahaya lainnya, daerah disposal amunisi dan peralatan pertahanan berbahaya lainnya, objek vital nasional yang bersifat strategis, kepentingan pertahanan udara, kawasan industri sistem pertahanan, dan aset-aset pertahanan lainnya; dan/atau

    9. wilayah c wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional termasuk kawasan perbatasan negara dan perairan di sekitar PPKT yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas. Pasal 31 KSN dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan kriteria:

    10. kawasan yang memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional;

    11. kawasan yang memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh dan memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional;

    12. kawasan yang memiliki potensi ekspor;

    13. kawasan yang memiliki karakteristik perkotaan besar/metropolitan yang berfungsi sebagai simpul logistik, pelayanan perdagangan dan jasa, budaya, pendidikan, riset, dan/atau pengembangan teknologi;

    14. kawasan yang memiliki kegiatan ekonomi yang memanfaatkan teknologi tinggi;

    15. kawasan yang berfungsi penting dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional; dan/atau

    16. kawasan yang berfungsi penting dalam mewujudkan ketahanan energi nasional. Pasal 32 KSN dari sudut kepentingan sosial dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c ditetapkan dengan kriteria:

    17. kawasan pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya;

    18. kawasan prioritas dalam peningkatan kualitas sosial dan budaya;

    19. kawasan perlindungan dan pelestarian aset budaya;

    20. kawasan perlindungan peninggalan budaya;

    21. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman budaya; dan/atau

    22. kawasan yang memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial.

      Pasal 33

      KSN dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (21 huruf d ditetapkan dengan kriteria:


    23. kawasan yang memiliki fungsi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

    24. kawasan yang memiliki sumber daya alam strategis;

    25. kawasan yang memiliki fungsi sebagai pusat pemanfaatan dan pengembangan teknologi dan industri kedirgantaraan / kelautan ;

    26. kawasan yang memiliki fungsi sebagai pusat pengendalian tenaga atom dan nuklir; dan/atau

    27. kawasan yang memiliki fungsi sebagai lokasi dan posisi geografis penggunaan teknologi kedirgantaraanf kelautan dan teknologi tinggi strategis lainnya. Pasal 34 KSN dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (21hurrrf e ditetapkan dengan kriteria:

    28. kawasanperlindungankeanekaragamanhayati;

    29. kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora, fauna, dan/atau biota laut yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan;

    30. kawasan yang memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian;

    31. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro;

    32. kawasan yang menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup;

    33. kawasan rawan bencana alam;

    34. kawasan yang berupa taman bumi; dan/atau

    35. kawasan yang sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan. Pasal 35 (1) RTR KSN mengacu pada:

    36. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

    37. RTR pulau/kepulauan; dan

    38. RZ KAW. (21 RTR KSN memperhatikan:

    39. rencana pembangunan jangka panjang nasional;

    40. rencana pembangunan jangka menengah nasional;

    41. wawasan nusantara dan ketahanan nasional;

    42. perkembangan permasalahan regional dan global serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional;

    43. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;

    44. keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;

    45. kondisi dan potensi sosial Masyarakat;

    46. neraca h. neraca penatagunaan tanah dan neraca penatagunaan sumber daya air;

    47. optimasi pemanfaatan rrrang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; dan

    48. rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten, danf atau rencana tata ruang wilayah kota terkait. (3) RTR KSN paling sedikit memuat a. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang KSN;

    49. rencana Struktur Ruang KSN yang meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana;

    50. rencana Pola Ruang KSN yang meliputi Kawasan Lindung yang memiliki nilai strategis nasional termasuk Kawasan Konservasi di Laut, dan Kawasan Budi Daya yang memiliki nilai strategis nasional termasuk Kawasan Pemanfaatan Umum;

    51. alur migrasi biota laut;

    52. arahan Pemanfaatan Ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;

    53. strategi kebijakan pengembangan KSN;

    54. arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang KSN yang berisi indikasi arahan zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi; dan

    55. arahan kebijakan pemntukan ruang pada sempadan pantai, sungai, situ, danau, embung, waduk, dan mata air. (4) RTR KSN menjadi acuan untuk:

    56. penJrusunan rencana tata ruang wilayah provinsi;

    57. pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten;

    58. pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kota;

    59. pen5rusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;

    60. pen5rusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;

    61. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di wilayah nasional;

    62. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, dan/atau keserasian antarsektor; dan

    63. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. (5) RTR KSN dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1 : 50.000. (6) Dalam hal KSN merupakan kawasan perkotaan yang diamanatkan. oleh peraturan perrrndang-undangan, maka RTR dimaksud dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1: 25.000. Pasal 36 (1) Penyusunan RTR KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b meliputi:

    64. proses penyusunan RTR KSN;

    65. pelibatan peran Masyarakat dalam pen)rusunan RTR KSN; dan

    66. pembahasan rancangan RTR KSN oleh Pemangku Kepentingan. (2) Proses penJrusunan RTR KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui tahapan:

    67. persiapan penJrusunan meliputi:

  68. penyusunan kerangka acuan kerja; dan

  69. penetapan metodologi yang digunakan.

    1. pengumpulan data paling sedikit:

  70. data wilayah administrasi;

  71. data dan informasi kependudukan;

  72. data dan informasi bidang pertanahan;

  73. data dan informasi kebencanaan;

  74. data dan informasi kelautan; dan

  75. peta dasar dan peta tematik yang dibutuhkan. c. pengolahan data dan analisis paling sedikit:

  76. analisis potensi dan permasalahan regional dan global; dan

  77. analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis. d. perumusan konsepsi RTR KSN; dan

    1. Pen5rusunan rancangan Peraturan Presiden tentang RTR KSN. (3) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b angka 6 merupakan peta rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya. (41 Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (5) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan garis pantai yang terdiri atas:

    2. garis pantai yang ditetapkan oleh badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial; dan

    3. garis pantai sesuai kebutuhan RTR yang digambarkan dengan simbol dan/atau warna khusus.

      (6)

      Ketentuan (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan integrasi kajian lingkungan hidup strategis dalam pen5rusunan RTR KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf c angka 2 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Pen5rusunan Rencan a Zonasi Kawasan Antarwilayah Pasal 37 (1) PenSrusunan RZ KAW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. (2) RZ KAW meliputi:

    4. rencana zonasi teluk;

    5. rencana zonasi selat; dan

    6. rencana zonasi Laut. (3) Teluk, selat, dan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (21 merupakan kawasan yang berada pada perairan pedalaman yang ber-upa Laut pedalaman, perairan kepulauan, dan/atau Laut teritorial yang berada di wilayah lintas provinsi. (4) Penamaan dan letak geografis teluk, selat, dan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan pada peta Laut Indonesia dan/atau peta rupabumi Indonesia. (5) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (6) Wilayah perencanaan RZ KAW meliputi satu kesatuan wilayah teluk, selat, atau Laut.

      Pasal 38

      Pasal 38 (1) Pen5rusunan RZ KAW mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (2) Penyusunan RZ KAW paling sedikit memperhatikan:


    7. rencana pernbangunan ^jangka panjang nasional;

    8. rencana pembangunan jangka menengah nasional;

    9. RTR pulau/kepulauan;

    10. RTR KSN;

    11. RZ KSNT;

    12. rencana tata ruang wilayah provinsi;

    13. kawasan, zolta, dan/atau Alur Laut yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    14. rLrang penghidupan dan akses nelayan kecil, nelayan tradisional, dan pembudidaya ikan keci! sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

    15. wilayah masyarakat hukum adat;

    16. data dan informasi kebencanaan; dan

    17. ketentuan hukum laut internasional. (3) RZ KAW paling sedikit memuat:

    18. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang Laut;

    19. rencana Struktur Ruang Laut;

    20. rencana Pola Ruang Laut;

    21. arahan Pemanfaatan Ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;

    22. strategi kebijakan pengembangan Kawasan; dan

    23. arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Laut. PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA (41 RZ KAW menjadi acuan untuk:

    24. penyusunan RTR KSN;

    25. penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi;

    26. pen5rusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;

    27. .pen5rusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;

    28. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Antarwilayah;

    29. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, dan/atau keserasian antarsektor; dan

    30. penetapan lokasi dan fungsi ruang laut untuk investasi. (5) RZ KAW dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala paling kecil 1: 500.000. Pasal 39 (1) RZ KAW disusun dengan tahapan:

    31. pengumpulan dan pengolahan data;

    32. penyusunan dokumen awal RZ I(AW;

    33. Konsultasi Publik pertama;

    34. penyusunan dokumen antara RZ KAW' e. Konsultasi hrblik kedua; dan

    35. penyusunan dokumen final RZ KAW. (21 Pengumpulan dan pengolahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa data sekunder yang paling sedikit terdiri atas:

    36. peta dasar, yang paling sedikit memuat unsur:

  78. garis pantai;

  79. hipsografi; dan

  80. batas wilayah.

    1. data b. data tematik, yang berupa:

  81. sistem jaringan prasarana Laut atau utilitas Laut;

  82. bangunan dan instalasi di Laut;

  83. oseanografi;

  84. ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil;

  85. wilayah pertahanan laut;

  86. sumber daya ikan;

  87. Pemanfaatan Ruang pesisir dan/atau Laut yang telah ada dan rencana pemanfaatan pesisir dan/atau Laut; dan

  88. data dan informasi kebencanaan. (3) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan peta rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya. (4) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (5) Penyusunan dokumen awal RZ KAW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui tahapan analisis data sekunder dan/atau data hasil survei lapangan yang menghasilkan peta tematik dan deskripsi potensi, dan kegiatan pemanfaatan sumber daya laut Kawasan Antarwilayah. (6) Konsultasi Publik pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan untuk mendapatkan masukan, tanggapan, atau saran perbaikan terhadap dokumen awal RZ KAW. (7) Dokumen antara RZ KAW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan hasil perbaikan dokumen awal RZ KAW berdasarkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan yang diperoleh dalam Konsultasi Publik pertama.

    (8)

    Konsultasi PRf SIDEN REPUBLIK INDONESIA.

    (8)

    Konsultasi Publik kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan untuk mendapatkan masukan, tanggapan atau saran perbaikan terhadap dokumen antara RZ KAW. (9) Dokumen final RZ KAW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan hasil perbaikan dokumen antara berdasarkan masukan, tanggapan, atau saran perbaikan Konsultasi Publik kedua. (10) Dokumen ftnal RZ KAW sebagaimana dimaksud pada ayat (9) merupakan bahan untuk penyusunan rancangan peraturan presiden tentangRz KAW. Pasal 40 Dalam hal data sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) belum memenuhi standar kualitas dan kuantitas yang dilengkapi dengan metadata, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dapat melakukan pengumpulan data primer melalui survei lapangan. Pasal 41 (1) Dalam proses pen5rusunan dokumen antara RZ KAW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d paling sedikit dilakukan analisis tumpang susun peta dan analisis kesesuaian perairan untuk menghasilkan usulan rencana Struktur Ruang Laut dan rencana Pola Ruang Laut. (2) Berdasarkan usulan rencana Struktur Ruang Laut dan rencana Pola Ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya dilakukan pen5rusunan dokumen antara RZ KAW yang memuat hasil penentuan Kawasan Pemanfaatan Umum yang dijabarkan dalam zor: a, Kawasan Konservasi di Laut dan/atau Alur Laut.

    (3)

    Dokumen Paragraf 5 Penyusunan Rencan a Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu (3) Dokumen antara RZ KAW dituangkan dalam sistematika yang paling sedikit terdiri atas:

    1. latar belakang penyusunan RZ KAW yang memuat dasar hukum, profil wilayah, isu strategis, dan peta wilayah perencanaan;

    2. deskripsi potensi sumber daya dan kegiatan pemanfaatan sumber daya di Kawasan Antarwilayah;

    3. rencana Struktur Ruang Laut dan rencana Pola Ruang Laut;

    4. rencana Pemanfaatan Ruang Laut;

    5. rencana pengelolaan sumber daya;

    6. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Laut;

    7. lampiran peta tematik, peta rencana Struktur Ruang Laut dan rencana Pola Ruang Laut; dan

    8. konsepsi rancangan peraturan presiden tentang RZ KAW. Pasal 42 Ketentuan mengenai proses penyusunan RZ KAW sesuai dengan tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. Pasal 43 (1) PenSrusunan RZ KSNT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf d dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan.

    (2)

    RZ KSNr a. perairan di sekitar situs warisan dunia alami di Laut; dan/atau

    1. perairan di sekitar kawasan pengendalian lingkungan hidup. (3) RZ KSNT pada perairan di sekitar situs warisan dunia alami di Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a ditetapkan dengan kriteria:

    2. memiliki fitur fisik dan formasi biologi atau gabungan keduanya yang bernilai universal luar biasa di Laut dari sudut pandang keindahan atau ilmu pengetahuan;

    3. memiliki fitur geologis dan formasi fisiografis dalam area tertentu sebagai habitat biota Laut langka yang bernilai universal luar biasa di Laut dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan konservasi; dan/atau

    4. berupa situs alami atau area tertentu yang bernilai universal luar biasa di Laut clari sudut pandang ilmu pengetahuan, konservasi, dan keindahan alamiah. (41 RZ KSNT pada perairan di sekitar kawasan pengendalian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan dengan kriteria:

    5. kawasan yang merupakan daerah cadangan karbon biru; dan/atau

    6. kawasan yang signifikan secara ekologis dan biologis. Pasal 44 (1) Penyusunan RZ KSNT mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

      1. ^PenyusunanRZ ^KSNT ^paling sedikit ^memperhatikan:

    7. RTRpulau/kepulauan;

    8. RTR KSN;

    9. rencana tata ruang wilayah provinsi;

    10. rencana tata ruang wilayah kabupaten;

    11. rencana tata ruang wilayah kota;

    12. rencana pembangunan jangka panjang nasional;

    13. rencana pembangunan jangka menengah nasional;

    14. keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam satu bentang alam ekologis (bioekoregion);

    15. kawasan, zotaa, dan/atau Alur Laut yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    16. ruang penghidupan dan akses nelayan kecil, nelayan tradisional, dan pembudidaya ikan kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

    17. wilayah masyarakat hukum adat;

    18. data dan informasi kebencanaan; dan

    19. ketentuan hukum laut internasional. (3) RZ KSNT paling sedikit memuat:

    20. Iatar belakang penJrusunan RZ KSNT yang memuat dasar hukrrm, profil wilayah, isu strategis, dan peta wilayah perencanaan;

    21. deskripsi potensi sumber daya dan kegiatan pemanfaatan sumber daya di KSNT;

    22. isu-isu strategis wilayah;

    23. rencana Struktur Ruang Laut dan rerrcana Pola Ruang LauU e. rencana Pemanfaatan Ruang;

    24. Pengendalian Pemanfaatan Ruang;

    25. rencana pengelolaan sumber daya;

    26. lampiran peta tematik dan peta rencana zonasi; dan

    27. konsepsi rancangan Peraturan Presiden tentang RZ KSNT. (4) RZ KSNT menjadi acuan untuk rencana tata ruang wilayah provinsi. (5) RZ KSNT dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1 : 50.000. Pasal 45 (l) PenyusunanRZ KSNT dilaksanakan dengan tahapan:

    28. pengumpulan dan pengolahan data;

    29. penyusunan dokumen awal RZ KSNT;

    30. Konsultasi Publik pertama;

    31. penyusunan dokumen antara RZ KSNT;

    32. Konsultasi Publik kedua; dan

    33. penJrusunan dokumen final RZ KSNT. (2) Pengumpulan dan pengolahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa data sekunder ya4g paling sedikit terdiri atas:

    34. peta dasar, yang paling sedikit memuat unsur:

    35. garis pantai;

  89. hipsografi; dan

  90. batas wilayah. b. data tematik, yang berupa:

  91. sistem ^jaringan prasarana Laut atau utilitas LauU 2. bangunan dan instalasi di Laut;

  92. oseanografi;

  93. ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil;

  94. wilayah pertahanan laut; sumber daya ikan; dan Pemanfaatan Ruang pesisir dan/atau Laut yang telah ada dan rencana pemanfaatan pesisir dan/atau Laut. Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan Peta Rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya. Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dirnaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. Penyusunan dokumen awal RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui tahapan hasil analisis data sekunder dan/atau data hasil survei lapangan yang menghasilkan peta tematik dan deskripsi potensi, - dan kegiatan pemanfaatan sumber daya laut KSNT. Konsultasi Publik pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan untuk mendapatkan masukan, tanggapan, atau saran perbaikan terhadap dokumen awal RZ KSNT. Dokumen antara RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada iyat (1) huruf d merupakan hasil perbaikan dokumen awal RZ KSNT berdasarkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan yang diperoleh dalam Konsultasi Publik pertama. Konsultasi Publik kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurlf e dilaksanakan untuk mendapatkan masukan, tanggapan atau saran perbaikan.terhadap dokumen antara RZ KSNT. Dokumen ftnal PZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan hasil perbaikan dokumen antara berdasarkan masukan, tanggapan atau saran perbaikan Konsultasi Publik kedua. Dokumen final RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (9) rrrerupakan bahan untuk pen5rusunan rancangan Peraturan Presiden tentangRZ KSNT. Pasal 46... 6 7 (3) (4) (s) (6) (7) (8) (e) (10) Pasal 46 Dalam hal data sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) belum memenuhi standar kualitas dan kuantitas yang dilengkapi dengan metadata, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dapat melakukan pengumpulan data primer melalui survei lapangan. Pasal 47 (l) Dalam proses penyusunan dokumen antaraRZ KSNT sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 45 ayat (l) huruf d paling sedikit dilakukan analisis tumpang susun peta dan analisis kesesuaiarr perairin untuk menghasilkan usulan rencana Struktur Ruang Laut dan rencana Pola Ruang Laut. (2) Berdasarkan usulan rencana Strrrktur Ruang Laut dan rencana Pola Ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya dilakukan penJrusunan dokumen antara RZ KSNT yang memuat hasil penentuan Kawasan Pemanfaatan Umum yang dijabarkan dalam zor7a, Kau,asan Konservasi di Laut dan/atau Alur Laut. (3) Dokumen antara RZ KSNT dituangkan dalam dokumen dengan sistematika yang paling sedikit terdiri atas:

    1. latar_ belakang penJrusunan RZ KSNT yang memuat dasar hukum, profil wilayah, isu-isu strategis, dan peta wilayah perencanaan;

    2. deskripsi potensi sumber daya dan kegiatan pemanfaatan sumber daya di KSNT;

    3. isu-isu strategis wilayah;

    4. rencana Struktur Ruang Laut dan rencana pola Ruang Laut;

    5. rencana Pemanfaatan Ruang Laut;

    6. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Laut;

    7. rencana pengelolaan sumber daya;

    8. lampiran peta tematik dan peta rencana zonasi; dan

    9. konsepsi rancangan Peraturan Presiden tentang RZ KSNT. Pasal 48 Ketentuan mengenai proses penyusun an RZ KSNT sesuai dengan tahapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. Paragraf 6 Pen5rusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara Pasal 49 (1) Pen5rusunan RDTR KPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf e dilaksanakan oleh Menteri. (2) Pen5rusunan RDTR KPN dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 50 (1) Penyusunan RDTR KPN mencakup kawasan dengan karakteristik perkotaan dan karakteristik perdesaan di kawasan perbatasan negara. (2) Kawasan dengan karakteristik perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama kegiatan ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan budaya dengan karakteristik perkotaan.

      (3)

      Kawasan dengan karakteristik ^perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama ^kegiatan ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan budaya dengan karakteristik perdesaan.

      (1)

      (2t (3)

      Pasal 51

      RDTR KPN mengacu pada RTR KSN. Perumusan RDTR KPN memperhatikan:


    10. rencana pembangunan ^jangka ^panjang nasional;

    11. rencana pembangunan ^jangka menengah nasional. c. perkembangan permasalahan wilayah serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang kawasan perbatasan negara;

    12. optimasi pemanfaatan ruang darat, ruang ^laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;

    13. kriteria pemanfaatan pulau-pulau kecil ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang- undangan; dan

    14. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan/atau rencana tata ruang wilayah kota terkait. RDTR KPN paling sedikit memuat:

    15. tujuan penataan wilayah ^perencanaan;

    16. rencana Struktur Ruang;

    17. rencana Pola Ruang;

    18. ketentuan Pemanfaatan Ruang; dan

    19. peraturan zonasi. RDTR KPN menjadi actran untuk:

    20. pen5rusunan rencana pembangunan ^jangka panjang daerah provinsi dan kabupaten/kota terkait;

      (4)
      1. pen5rusunan rencana pembangunan ^jangka menengah daerah provinsi dan kabupaten/kota terkait;

    21. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang;

    22. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan

    23. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. (5) RDTR KPN dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1 : 5.000. Pasal 52 (1) Pen5rusunan RDTR KPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf e meliputi:

    24. proses penyusunan RDTR KPN;

    25. pelibatan peran Masyarakat di tingkat kabupaten/kota dalam penyusunan RDTR KPN; dan

    26. pembahasan rancangan RDTR KPN oleh Pemangku Kepentingan. (2) Proses pen)rusunan RDTR . KPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui tahapan:

    27. persiapan penyusunan meliputi:

  95. penyusunan kerangka acuan kerja;

  96. penentuan metodologi yang diguhakan; dan

  97. penetapan wilayah perencanaan RDTR KPN. b. pengurnpulan data paling sedikit:

  98. data wilayah administrasi;

  99. data dan informasi kependudukan;

  100. data dan informasi bidang pertanahan; PFTES IDEN REPUBLIK INDONESIA 4. data dan informasi kebencanaan; dan

  101. peta dasar dan peta tematik yang dibutuhkan. c. pengolahan data dan analisis paling sedikit:

  102. anaiisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; dan

  103. analisis mencakup aspek sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan. d. perumusan konsepsi RDTR KPN; dan

    1. pen5rusunan rancangan peraturan presiden tentang RDTR KPN. (3) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurr-rf b angka 5 merupakan peta rupabumi Indonesia danf atau peta dasar lainnya. (4) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. Pasal 53 Menteri dan kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal wajib mengintegrasikan RDTR KPN dalam bentuk digital ke dalam sistem OSS. Paragraf 7 Pen5rusunan Rencana Detail Tata Ruang KabupatenlKota Pasal 54 (1) Pen5rusunan RDTR kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf f dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

      (2)

      Penyusunan. (21 Pen5rusunan RDTR kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norrna, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 55 (l) Penyusunan RDTR kabupaten/kota dapat mencakup kawasan dengan karakteristik perkotaan, karakteristik perdesaan, serta kawasan lintas kabupaten/kota. (21 Kawasan dengan karakteristik perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan ^' yang memiliki fungsi utama kegiatan ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan budaya dengan karakteristik perkotaan. (3) Kawasan dengan karakteristik perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama kegiatan ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan budaya dengan karakteristik perdesaan. (4) Kawasan lintas kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang secara fungsional terdapat di lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota yang berbatasan, penyusunan RDTR dimaksud dilaksanakan secara terintegrasi oleh Pemerintah Daerah kabupate n I kota terkait. (5) RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat . (4) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah kabupaten/ kota sesuai wilayah administrasinya. Pasal 56 (1) RDTR kabupaten/kota mengacu pada rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota. (21 RDTR kabupaten/kota memperhalikan:

    2. rencana pembangunan ^jangka panjang daerah kabupaten/kota;

    3. rencana pembangunan ^jangka menengah daerah kabupaten/kota;

    4. perkembangan permasalahan wilayah serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten/kota;

    5. optimasi pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; dan

    6. kriteria pemanfaatan pulau-pulau kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) RDTR kabupaten/kota paling sedikit memuat:

    7. tujuan penataan wilayah perencanaan;

    8. rencana Struktur Ruang;

    9. rencana Pola Ruang;

    10. ketentuan Pemanfaatan Ruang; dan

    11. peraturan zonasi. (4) RDTR kabupaten/kota nrenjadi acuan unt'-rk:

    12. pen5rusunan rencana pembangunan ^jangka panjang daerah kabupate n I kota;

    13. pen5rusunan rencana pembangunan ^jangka menengah daerah kabupaten/ kota;

    14. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang;

    15. perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan

    16. penetapan lokasi dan fungsi rueng untuk investasi. (5) RDTR kabupaten/kota dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitiarr skala 1: 5.000.

      Pasal 57

      Pasal 57 (1) Penyusunan RDTR kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf f meliputi:


    17. proses penrusunan RDTR kabupaten/kota;

    18. pelibatan peran Masyarakat di tingkat kabupaten/kota dalam pen5rusunan RDTR kabupaten/kota; dan

    19. pembahasan rancangan RDTR kabupaten/kota oleh Pemangku Kepentingan di tingkat kabupaten/kota. (2) Proses pen5rusunan RDTR kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huirrf a dilakukan melalui tahapan:

    20. persiapan penyusunan meliputi:

  104. pen5rusunan kerang!<a acuan kerja:

  105. penentuan metodologi yang digunakan; dan

  106. peneta.pan wilayah percncanaan RDTR. b. pengumpulan data paling sedikit:

  107. dadawilayah_arlmirristrasi;

  108. data dan i: rftrrrnasi kependudukan;

  109. data dan informasi bidang pertanahan;

  110. data dan informasi kebencanaan; dan

  111. peta dasar dan . peta tematik yang dibutuhkan. c. pengolahan data dan analisjs paling sedikit:

  112. analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

  113. analisis keterkaitan antarwilayah kabupaten/kota; dan

  114. analisis keterkaitan antarkomponen ruang kabupaten/kota. perumusan konsepsi RDTR kabupaten/kota; dan

    1. penyusunan rancangan peraturan tentang RDTR kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b angka 5 merupakan peta rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya. (4) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. Pasal 58 (1) Khusus untuk wilayah administratif Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penyusunan RDTR dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah provinsi. (21 Pen5rusunan RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada rencana tata ruang wilayah provinsi. (3) Ketentuan mengenai penyusunan RDTR kabupatan/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 berlaku secara mutatis mutandis terhadap proses penyusunan RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pen5rusunan RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri. Pasal 59 Menteri dan kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal wajib mengintegrasikan RDTR kabupaten/kota dalam bentuk digital ke dalam sistem OSS. d Bagian Bagian Keempat Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Paragraf 1 Umum

      Pasal 60

      Penetapan rencana umum tata ruang meliputi:


    2. penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional:

    3. penetapan rencanatata ruang wilayah provinsi;

    4. penetapail rencana tata ruang wilayah kabupaten; dan

    5. penetapan rencana tata ruang wilayah kota. Paragraf 2 Penetapan Rencana Tata R.uang Wilayah Nasional Paragrutf 3 Penetapan Rencana Tatir Ruang Wilayah Provinsi Pasal 61 Prosedur penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksu<l dalam PaSal 60 huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal rl2 (1) Prosedur penetapan provinsi sebagaimana huruf b meliputi: rencana tata ruang wilayah dirriaksud dalam Pasal 60 a. pengajuan. a.

    6. pengajuan rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi yang di dalamnya memuat pengaturan wilayah perairan pesisir dari gubernur kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan dilengkapi dengan:

  115. validasi dokumen kajian lingkungan hidup strategis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup; dan

  116. rekomendasi peta dasar dari badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi untuk menyepakati substansi yang akan disampaikan kepada Menteri; penyampaian rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dari gubernur kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan substansi; pembahasan lintas sektor dalam rangka penerbitan persetujuan substansi oleh Menteri bersama kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Ralryat Daerah provinsi, dan seluruh Pemangku Kepentingan terkait; penerbitan persetujuan substansi oleh Menteri berdasarkan hasil pembahasan lintas sektor sebagaimana dimaksud pada huruf d; pelaksanaan persetujuan bersama antara gubernur dengan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah provinsi berdasarkan persetujuan substansi sebagaimana dimaksud pada huruf e; c d e f.

    1. pelaksanaan g. pelaksanaan evaluasi rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri; dan

    2. penetapan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi oleh gubernur. (21 Validasi dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diajukan oleh Pemerintah Daerah provinsi. (3) Dalam hal validasi dokumen kajian lingkungan hidup strategis dan rekomendasi peta dasar belum diterbitkan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat ^(,2lr, maka dokumen yang diajukan oleh Pemerintah Daerah provinsi dianggap telah disetujui. (41 Kesepakatan substansi antara gubernur dengan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak pengajuan rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (5) Proses penetapan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e sampai dengan huruf h dilaksanakan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan.

      Pasal 63

      Pasal 64 Pengintegrasian Batas Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 menggunakan Batas Daerah yang telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Pasal 65 (1) Pengintegrasian garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 menggunakan unsur garis pantai yang termuat dalam peta rupabumi Indonesia termutakhir dan telah ditetapkan oleh badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (21 Dalam hal terdapat perbedaan antara garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kebutuhan rencana tata ruang, dan/atau kepentingan hak atas tanah, persetujuan substansi oleh Menteri mencantumkan:


    3. garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

    4. garis pantai sesuai kebutuhan rencana tata ruang yang digambarkan dengan simbol dan/atau warna khusus. Pasal 66 Pengintegrasian Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 menggunakan delineasi Kawasan Hutan termutakhir yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau delineasi Kawasan Hutan yang disepakati paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak dimulainya pembahasan lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf d.

      Pasal 67

      Pasal 67 (1) Pembahasan lintas sektor sebaga.imana dimaksutl dalam Pasal 62 ayat (1) huruf d diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 2O (dua puluh) Hari sampai dengan diterbiil<annya persetujuan substansi oleh Menteri. (21 Tata cara pelaksanaan pembahasan iintas sektor dan proses penerbitan persetujuzrr substansi rencana tata ruang wilayah provinsi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Pasal 68 (1) Dalam hal rancangan peraturan daer.ah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat-(S) belum ditetapkan, gubernur menetapkrin rancangan peraturan daerah tentang rencana,tata ryang wilayah provinsi paling lama 3 (tiga) bulan. terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Menteri. (2) Dalam hal rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi belum ditetapkan oleh gubernur sebagaimana dima,ksud pada ayat (1) maka dalam waktu paling lama 4 ^'(empat) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Menteri, rancangan peraturan daerah tersebut ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (3) Penetapan rancangan peraturan daerah oleh Pemcrintah' Pusat sebagaima.na dimaksud pada ayat t2l dilaksanakan oleh lvlenteri seielah mert,lapatkan persetujuan Presiden. (4) Rancangan perafirran claerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkaa dengan Peraturair Menteri. (5) Menteri menyampaikan Peraturan Menteri sebagaimana dinraksucl pada ayat (4) kepada gubernur (6) Gubernur wajib menetapkan peraturan daerah untuk melaksanakan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayar (5) di daerahnya dalam jangka waktu paling laina 15 (lima belas) Hari seiak Peraturan Menteri ditetapkan. (71 Ketentuan mengenai jangka waktu paling lama 15 (lima belas) Hari sebagaimana dimaksud pada ayat (6) termasuk penguadangan peraturan daerah dalam lembaran daerah oleh sekretaris daerah provinsi. (8) Dalam hal gubernur dan sekretaris daerah provinsi tidak melaksanakan ketenLuan sebagaimana dimaksud pada a5iat (6) dan ayat (7) dikenakan sankisi administratif sesrrai clengan ketentuan p€ratlusn perundang-urrdangan. Paragraf 4 Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 69 (1) Prosedur penetapan rencan4 tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c meliprrti:


    5. pengajuan ranca.ngan peratu daerah kabupaf"eir tentang rencana tata nang wilayah kabupaten dari bupati kepada Dewan Perrvakilan Rakyat Daerah kabupaten dan dilengkapi dengan:

  117. berita acara pembahasan dari Pemerintah Daerah provinsi mengenai rancangan . peraturan daerah kabupaten tentang rencana tata ruang wilay2fu kabupaten;

  118. validasi dokunen kajian lingkungan hidup strategis Carr perangkat daerah provirisi yarig nrenrbirlar: gi urusan lingkturgan hidup; dan

  119. rekomendasi peta dasar dari badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. b. pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten di Dewan Perwakilan Ralryat Daerah kabupaten untuk menyepakati substansi yang akan disampaikan kepada Menteri;

    1. penyampaian rancangan peraturan daerah kabupaten tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten dari bupati kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan substansi;

    2. pembahasan lintas sektor dalam rangka penerbitan persetujuan substansi oleh Menteri bersama kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten, Dewan Perwakilan Ralryat Daerah kabupaten, dan seluruh Pemangku Kepentingan terkait;

    3. penerbitan persetujuan substansi oleh Menteri berdasarkan hasil pembahasan lintas sektor sebagaimana dimaksud pada huruf d;

    4. pelaksanaan persetujuan bersama antara bupati dengan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah kabupaten berdasarkan persetujuan substansi sebagaimana dimaksud pada huruf e;

    5. pelaksanaan evaluasi rancangan peraturan daerah kabupaten tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten oleh gubernur untuk memastikan rancangan peraturan daerah telah sesuai dengan persetujuan substansi oleh Menteri; dan

    6. penetapan peraturan daerah kabupaten tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten oleh bupati. (21 Validasi dan rekomendasi sebagairnana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dan angka 3 diterbitkan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diajukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten. (3) Dalam hal validasi dokurmen kajian lingl<ungan hidup strategis dan rekorrrendasi peta dasar belt m diterbitkan sampai batas waktu sebagaimana dirnaksud pada ayat (2lr, maka dokurnen yang diajukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten dianggap telah disetujui. (4) Kesepakatan substansi antara bupati dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hunif b diterbitkan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak pengajuan rancangan peraturan daerah kabupaten tentang rencana tata ruang rvilayah kabupaten.sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (5) Proses penetapan peraturan daerah kabupaten tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dinraksud pada ayat (1) huruf e sampai dengan hunrf h dilaksanakan dalam waktu paling lama 2 (clua) bulan.

      Pasal 70

      Pembahasan lintas sektor sebagairnana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) hururf d, dilaksanakan untuk mengintegrasikan program/regiatan sektor, kegiatan yang bersifat strategis nasional, Batas Daerah, garis pantai, dan/atau Kawasan Hutan. Pasal 71 Pengintegrasian Batas Daerah sebagairnana dimaksud dalam Pasal 7O menggunakan Batas Daerah yang sudah clitetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerinta.han dalam negeri. Pasal'12 . , . Pasal 72 (1) Pengintegrasian garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 menggunakan unsur garis pantai yang termuat dalam peta rupabumi Indonesia termutakhir dan telah ditetapkan oleh badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (2) Dalam hal terdapat perbedaan antara garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kebutuhan rencana tata ruang, dan/atau kepentingan hak atas tanah, persetujuan substansi oleh Menteri mencantumkan:


    7. garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

    8. garis pantai sesuai kebutuhan rencana tata ruang yang digambarkan dengan simbol dan/atau warna khusus.

      Pasal 73

      Pengintegrasian Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 menggunakan delineasi Kawasan Hutan termutakhir yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau delineasi Kawasan Hutan yang disepakati paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak dimulainya pembahasan lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d. Paragraf.5 Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pasal 76 (1) Prosedur penetapan rencana tata ruang wilayah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d meliputi:


    9. pengajuan rancangan peraturan daerah kota tentang rencana tata ruang wilayah kota dari wali kota kepada Dewan Perwakilan Ralryat Daerah kota dan dilengkapi dengan:

  120. berita acara pembahasan dari Pemerintah Daerah provinsi mengenai rancangan peraturan daerah kota tentang rencana tata ruang wilayah kota;

  121. validasi dokumen kajian lingkungan hidup strategis dari perangkat daerah provinsi yang membidangi urusan lingkungan hidup; dan

  122. rekomendasi peta dasar dari badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. b. pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kota di Dewan Perwakilan Ralryat Daerah kota untuk menyepakati substansi yang akan disampaikan kepada Menteri;

    1. penyampaian rancangan peraturan daerah kota tentang rencana tata ruang wilayah kota dari wali kota kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan substansi;

    2. pembahasan lintas sektor dalam rangka penerbitan persetujuan substansi oleh Menteri bersama kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota, dan seluruh Pemangku Kepentingan terkait;

    3. penerbitan persetujuan substansi oleh Menteri berdasarkan hasil pembahasan lintas sektor sebagaimana dimaksud pada huruf d;

    4. pelaksanaan persetujuan bersama antara wali kota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota berdasarkan persetujuan substansi sebagaimana dimaksud pada huruf e;

    5. pelaksanaan evaluasi rancangan peraturan daerah kota tentang rencana tata rLlang wilayah kota oleh gubernur untuk memastikan rancangan peraturan daerah telah sesuai dengan persetujuan substansi oleh Menteri; dan

    6. penetapan peraturan daerah kota tentang rencana tata ruang wilayah kota oleh wali kota. (21 Validasi dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dan angka 3 diterbitkan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diajukan oleh Pemerintah Daerah kota. (3) Dalam hal validasi dokumen kajian lingkungan hidup strategis dan rekomendasi peta dasar belum diterbitkan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka dokumen yang diajukan oleh Pemerintah Daerah kota dianggap telah disetujui. (41 Kesepakatan substansi antara wali kota dengan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak pengajuan rancangan peraturan daerah kota tentang rencana tata ruang wilayah kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (5) Proses penetapan peraturan daerah kota tentang rencana tata ruang wilayah kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e sampai dengan huruf h dilaksanakan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan.

      Pasal 77

      Pasal TT Pembahasan lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf d, dilaksanakan untuk mengintegrasikan prograrnfkegiatan sektor, kegiatan yang bersifat strategis nasional, Batas Daerah, garis pantai, dan/atau Kawasan Hutan. Pasal 78 Pengintegrasian Batas Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 rnenggunakan Batas Daerah yang sudah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Pasal 79 (1) Pengintegrasian garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 menggunakan unsur garis pantai yang termuat dalam peta rupabumi Indonesia termutakhir dan telah ditetapkan oleh badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (2) Dalam hal terdapat perbedaan antara garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kebutuhan RTR, dan/atau kepentingan hak atas tanah, persetujuan substansi oleh Menteri mencantumkan:


    7. garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

    8. garis pantai sesuai kebutuhan rencana tata ruang yang digambarkan dengan simbol dan/atau warna khusus. Pasal 80 Pengintegrasian Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 menggunakan delineasi Kawasan Hutan termutakhir yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau delineasi Kawasan Hutan yang disepakati paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak dimulainya pembahasan lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf d. Pasal 81 (1) Pembahasan lintas sektor sebagaimana ciimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf d diselesaikan dala-m jangka waktu paling larna 20 (dua puluh) Hari. (21 Tata cara pelaksanaan pembahasan lintas sektor dan proses penerbitan liersetujuan substansi renci: na tata ruang wilayah kota diatur lebih lanjut dalarrr Peraturan Menteri. Pasal 82 (l) Dalam hal rancangan peraturar. daerah kota tentang rencana tata rua.ng wilayah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (5) betum. ditetapkan, wali kota menetapkart rancangan peratriran daerah tentang rencana tata ruang wilayah kota paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak dapat persetujuan substansi dari Menteri. (2) Dalam hal.rancangan peraturan daela.h kota tentang rencana tata ruang vrilayah kota belum ditetapkan oleh waii kota sebagaimana dimakst,d pada ayat (1) maka dalam waktu paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak rnendapat persetujuan substansi dari Menteri, rancangan peraturan daerah tersebut ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Penetapan rancangan peraturan daerah oleh Pemerintah hrsat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Menteri setelah mendapatkan persel.ujuan Presiden. (41 Rancangan peraturan dae,: (71 Ketentuan mengenai jangka waktu paling lama 15 (lima belas) Hari sebagaimana dimaksud pada ayat (6) termasuk pengundangan peraturan daerah dalam lembaran daerah oleh sekretaris daerah kota. (8) Dalam hal wali kota dan sekretaris daerah kota tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Bagian Kelima Penetapan Rencana Rinci Tata Ruang Paragraf 1 Umum Pasal 83 (1) Penetapan rencana rinci tata ruang meliputi:

    9. penetapan rencana rinci tata ruang dan rencana zonasi rLlang laut yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; dan

    10. penetapan RDTR kabupaten/kota. (2) Rencana rinci tata ruang dan rencana zonasi ruang laut yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    11. RTR pulau/kepulauan;

    12. RTR KSN;

    13. RZ KAW;

    14. RZ KSNT; dan

    15. RDTR KPN.

      (3)

      Waktu penetapan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pacla ayat (1) tidak melebihi masa berakhirnya rencana i'inci tata ruang yang berlaku. ParaE'af 2 Penetapan Rencana Rinci yang Menjadi llewenangan Pemerintah hrsat Pasal 84 Penetapan rencana rinci tata ruang yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a dilak-sanakan sestrai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Penetapan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota Pasal 85 (1) Prosedur . penetapan RDTR kabupatenlkota sebagairnana dimaksud cialanr PaSai 83 ayat (1) huruf b meliputi:

    16. ^'Konsultasi Publik rancarlg,al peraturarr kepala daerah kabupaten/kota tentang RDTR kabupaten/kota Cengan Masyarakat terrnastrk Dewan Perwakilan Rakyat Dererah kabupate n/koia;

    17. penyamp.aian rancangan peraturan kepala daerah kabupaten/kota tentang RDIR kabupaten/kota kepada Menteri untuk inernperoleh perse tujuan sirbstansi:

    18. pembirhasan lintas ^'' sektor ^'dalam rangka pemberian persetujuan sulrstansi oleh Menteri bersama kementerian7lernbaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota,, Dewan Perwakilan Ralryat Daerah kabupaten/kota dan selunrh Pemangku Kepentingarr terkait; dan

    19. penetapan rancangan peraturan kepala daerah kabupaten/kota tentang RDTR kabupatenlkota oleh bupati/wali kota sesuai dengan persetujuan substansi oleh Menteri. (2) Pemberian persetujuan substansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terhadap rancangan peraturan kepala daerah kabupaten/kota tentang RDTR kabupaten/kota dapat didelegasikan kepada gubernur.

      Pasal 86

      Pembahasan lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf c dilaksanakan untuk mengintegrasikan program/kegiatan sektor, kegiatan yang bersifat strategis nasional, Batas Daerah, garis pantai, dan Kawasan Hutan. Pasal 87 Pengintegrasian Batas Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 menggunakan Batas Daerah yang sudah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Pasal 88 (1) Pengintegrasian garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 menggunakan unsur garis pantai yang termuat dalam peta rupabumi Indonesia termutakhir dan telah ditetapkan oleh badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (21 Dalam hal terdapat perbedaan antara garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kebutuhan rencana tata ruang, dan/atau kepentingan hak atas tanah, persetujuan substansi oleh Menteri mencantumkan: garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan garis pantai sesuai kebutuhan RTR yang oigambarkan dengan simbol oan/atau warna khusus. Pasal 89 Pengintegrasian Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 menggriyraka.n delineasi Kawasan Flutan termutakhir yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusarr pemerintahan di bidang kehutanan atau delineasi Kawasan Hutan yang disepakati paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak dimulainya pernbahaszin Jirrtas sektor sebagaimana ciimaksud dalam Pasal 85 huruf c. Pasal 90 (1) Pembahasah lintas sektor sebagaiman.a dimakstid dalam Pasal 85 huruf c diselesaikan dalarn iangka waktu paling lanra 2Ct (ctua puluh) Hari. (21 Tata cara pelaksanaan pembahasan lintas sektor dan , ^proses ^penerbitan ^persetujuan substansi ^RDTR kabupaten/kota diatur lebih lanjut dalam Peraturan Merrteri. Pasal 9 1 (1) Penetapan peraturan kepala daerah kabupaten/kota tentang RDTR kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf d wajib dilaksanakan dalam ^jangka rvaktu paling lama 1 (satu) bulan terhittrng sejak rn'endapat persetujuan substansi dari Menteri. (21 Dalam hal rarlcangan peraturan kepala daerah katiupaten/kota tentang RDTR kabupatert/kota belum ditetapkan oleh bupati/waii kota sebagaimana d: rnaksuj pada ayat (1) maka dalam '*'aktu paling iama 2 (dua) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substairsi dari. N{enteri, rancaJrgan peraluran kepala daerah terscbut ditetapkan oleh Pernerintah Pusat. a b (3) Penetapan rancangan peraturan kepala daerah oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilaksanakan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan Presiden. (4) Rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (5) Menteri menyampaikan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada bupati/wali kota. (6) Bupati/wali kota wajib menetapkan peraturan kepala daerah untuk melaksanakan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) di daerahnya dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) Hari sejak Peraturan Menteri ditetapkan. (7) Ketentuan mengenai jangka waktu paling lama 15 (lima belas) Hari sebagaimana dimaksud pada ayat (6) termasuk pengundangan peraturan kepala daerah dalam berita daerah oleh sekretaris daerah kabupaten/ kota. (8) Dalam hal bupati/wali kota dan sekretaris daerah kabupaten/kota tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keenam Peninjauan Kembali dan Revisi Rencana Tata Ruang Pasal 92 Peninjauan kembali RTR meliputi peninjauan kembali terhadap rencana umum tata rurang dan peninjauan kembali terhadap rencana rinci tata ruang. Pasal 93 (1) Peninjauan kembali RTR dilakukan 1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan.

      (2)

      Peninjauan . (21 Peninjauan kembali RTR dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahunan apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:


    20. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;

    21. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan undang-undang;

    22. perubahan Batas Daerah yang ditetapkan dengan undang-undang; atau

    23. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. (3) Peninjauan kembali peraturan kepala daerah kabupatenlkota tentang RDTR akibat adanya perubahan kebdakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dapat direkomendasikan oleh Forum Penataan Ruang berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 94 (1) Dalam rangka pelaksanaan peninjauan kembali RTR yang pen5rusunannya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah menyampaikan permohonan peninjauan kembali RTR kepada Menteri. (2) Terhadap permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberikan rekomendasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan berupa:

    24. RTR yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; atau

    25. RTR yang ada perlu direvisi. (3) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara:

    26. RTR dengan Batas Daerah;

    27. RTR dengan Kawasan Hutan; dan/atau

    28. rencana tata rllang wilayah provinsi dengan rencana tata ruang wilayah kabupatenf kota, yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang koordinasi perekonomian dapat merekomendasikan kepada Menteri agar dilakukan peninjauan kembali dan revisi rencana tata rurang wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota. Pasal 95 (1) Revisi RTR sebagai tindak lanjut dari peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (21 huruf b menggunakan prosedur pen5rusunan dan penetapan RTR. (21 Revisi RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki Orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal revisi RTR mengubah fungsi ruang, perubahan fungsi rLtang tidak serta merta mengakibatkan perubahan pemilikan dan penguasaan tanah. (41 Perubahan pemilikan dan penguasaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pertanahan. Pasal 96 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan peninjauan kembali dan revisi RTR diatur dalam Peraturan Menteri. BAB III BAB III PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 97 Pelaksanaarr Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui:

    29. ^pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang; dan

    30. pelaksanaan sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang. Bagian Kedua Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Paragraf 1 Umum Pasal 98 {1) ^Pelaksanaan l(eSesuaian ^Kegiatan ^Pcmanfaatan Ruang sebagairnana Cimaksud dalam Pasal 97 huruf a terdiri atas:

    31. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha;

    32. KeseSuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha; dan

    33. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Rue.ng untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional. (21 Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Rtrang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.

      (3)

      Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagairnana dimaksud pada alrat (1) di Perairan Pesisir, wilayah perairen, dan wilayah yurisdiksi, diterbitkan oleh rnenteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan Ci bidang kelautan. (4) Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan oleh Menteri. (5) Kesesuaiarr Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan rvilayah yurisdiksi berlaku sampai dengan berakhirnya Perizinan Berusaha dan perizinan nonberusaha lainnya. (6) Dalam hal Perizinan Berusaha dan perizinan nonberusaha sebagairnana dimaksud pada ayat (5) belum diterbitkan, maka Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan rvilayah yurisdiksi berlakrr untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sejak diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan (7) Kesesuaian Kegiatan Pernanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pacia ayat (2) dan ayat (3), dapat berupa keputusan:

    34. disetujui; atau

    35. ditolak dengarr disertai alasan penolakan. (8) Kesesuaian I(egiatan Pemanfaatan Ruang mcnjadi pertimbangan dalam pelaksanaan revisi RTR. Pasal 99 (1) Menteri Can menteri yang metiyelenggarakan urusarr pemerintah di bidang kelautan melakukan pencatatan, pengadministrasian, dan pemutakhiran data lokasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sesuai kewenangannya. ( Ketent-uau (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan, pengadministrasian, dan pemutakhiran data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Merrteri dan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusarl pemerintahan di bidang kelautan sesuai kewenangannya. Paragraf 2 Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Untuk Kegiatan Berusaha Pasal 100 (1) Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf a diperoleh melalui OSS. (2) Setelah rnernperoleh Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan Penzinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-unda.ngan. (3) Pelaku Usaha dapat rrelaksanakan kegiatan Pemanfaatan Ruang setelah memperoleh Perizinan Berursaha. Pasal 101 (1) Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaltsud dalam Pasal 1OO ayat (1) meliputi:

    36. kegiatan bemsaha untuk non-UlvfK; dan

    37. kegiatan berusaha untuk UMK. . (21 Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha non-UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui:

    38. Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang; atau

    39. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. (3) Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO0 ayat (1) di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi, dilakukan melalui Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfataan Ruang Laut. -Pasal 102 Konlirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemaufaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasat 101 ayat (2) huruf i diberikan berdasarkan kesesuaian rencana lokasi kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RDTR. Pasal 103 Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan bei-usaha dilaksanakan melalur OSS dengan tahapan:

    40. pendaftaran;

    41. penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang terhadap RDTR; dan

    42. penerbitan Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Pasal 104 (1) Pendaftaran seba.gaimana dimaksud dalam P l 103 huntf a paling sedikit dilengkapi dengan:

    43. koordinat lokasi;

    44. kebuttrhan luas lahan kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    45. informasi penguasaan tanah;

    46. informasi ^jenis usaha;

    47. rencana jumiah lantai bangunan; dan

    48. rencana luas lantai bangunan. (21 Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf c, paling sedikit memuat:

    49. lokasi kegiatan;

    50. ^jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    51. koefisien dasar bangunan;

    52. koefisien lanui bangunan;

    53. ketentuan tata bangunan; dan

    54. persyaratan pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang. Pasal 105 Jangka waktu penerbitan Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksrrd dalam Pasal 103 huruf c paling lama 1 (satu) Hari seiak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara buka.n pajak. Pasal 106 (1) Persetuluan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) huruf b diberikan dalam hal belum tersedia RDTR di lokasi rencana kegiatan Pemanfaatan .Ruang. (21 Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan R Laut untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) diberikarr untuk kegiatan Pemanfaa*-an Ruang Laut secara menetap di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurischksi.

      Pasal 107

      Pasal 107 (1) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dilaksanakan melalui OSS dengan tahapan:


    55. pendaftaran;

    56. perrilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang terharlap RTR, RZ KSNT, dan RZ I(AW; dan

    57. penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemarrfaatan Ruang. l2l ^Persetujuan ^Kesesuaian ^l(egiatan ^Pemanfaatan ^Ruar,g untuk kegiatan berusaha diberikan tanpa melalui tahapan penilaia.n dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk permohonan yang berlokasi di:

    58. kawasan industri dan kan'asan pariwisata yang telah memiliki Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    59. kawasan ekonomi khusus yang telah ditetapkan sesuai dengan keteatuan peraturan perundang- undangan Pasal 108 (1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 avat (1) huirrf a paling sediiiit dilengkapi dengan:

    60. koorclinat lokasi;

    61. kebrr.tuhan luas lahan kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    62. informasi penguasaan tanah;

    63. informa.s.i ^jenis ': sal: a;

    64. rerrcana jumlah lanuai bangunan;

    65. rencana luas lantai bangunan; dan (21 Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO7 ayat (1) diberikan setelah dilakukan kajian dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan :

    66. rencana tata ruang wilayah kabupatenlkota;

    67. rencana tata ruang wilayah provinsi;

    68. RTR KSN;

    69. RZ KSNT;

    70. RZ KAW;

    71. RTR pulau/kepulauan; dan f atau g. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dengan memperhatikan pertimbangan teknis pertanahan. (4) Pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terkait lokasi usaha dilaksanakan oleh kantor pertanahan. (5) Kantor pertanahan menyampaikan pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak. (6) Dalam hal kantor pertanahan tidak menyampaikan pertimbangan teknis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kantor pertanahan dimaksud dianggap telah memberikan pertimbangan teknis. (71 Berdasarkan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.

      (8)

      Persetujuan (8) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Rtrang sebagaimana dimaksud pada ayat ('/), paling sedikit memuat:

    72. lokasi kegiatan;

    73. ^jenis peruntukan Pemanfaatan Ruang;

    74. koefisien dasar bangunan;

    75. koefisien lantai bangrrnan;

    76. irrdikasi program Pemanfaatan Rtrang; dan

    77. persyaratan pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang. Pasal 109 (1) Perubahan peru.ntu[<an dan fungsi serta penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pemLrangunan cli luar kehutanan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidar: ,g kehutanan. (21 Pemanfaatan Ruang yang lokasinya berada pada Kawasan Hutan yang mengalami perubahan peruntul: an dan fungsi serta beltim dimuat dalam RDTR maka kegiatan Pemanfaatan Ruang dilaksanakan setelah mendapatkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha. (3) Persetujuan l(esestrai.an Kegiatan Pemanfatan Ruang sebagaimana riirnaksud pada ayat (21diberikan sgsuai tahapan dan ketentuhn sebagaimana ditnaksud dalam Pasal 107 dan Pasal 108. Pasal 1 10 Persetujuan Kesesuaian Kegiatan' Pemanfaatan Ruang Laut unruk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) dilaksanakan melalui OSS dengan tahapan:

    78. pendaftarail .

    79. F.endaftaran;

    80. penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut terhadap RTR, RZ KSN'[, dan RZ I(AW; dan

    81. penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut. Pasal t 1 L (1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 hunrf a paling sedikit dilengkzrpi dengau: a.. koordinat tokasi;

    82. rencana bangunan dan instalasi di Laut;

    83. kebutuhan luas kegiatan Pemanfaatan Ruang di Laut;

    84. informasi Pemanfaatan Ruang di sekttarny dan e. kedalaman iotcasi. (2) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Lirut untuk kegiatan bentsaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110' diberikan setelah dilakukan kajian dengarr ^'rrengg'rrnakan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan:

    85. rerlcana tata rlang wilayah provinsi;

    86. RTR KSN;

    87. RZ KSNT;

    88. RZ I(AW;

    89. RTR pul6: ,,/ pulauan; rlan/atau f. Rencana Tata Ruang Wila5rafu Nasional. (3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang L.agt tidak dapat diberikan di zor: . inti Kawasan Konservasi di Laut. (4) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Larrt dapat diberikan di w'ilayah masyarakat hukum adat setelah mendapat persetujuan masyarakat hukum adat.

      (5)

      Persehrjuan (5) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut di Ka'nasan Konservasi di La.ut tidak diberikan di dalan: rnaupun di luar zorra inti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk kegiatan:

    90. pertambangan terbuka;

    91. dumping (pembuangan); dan

    92. reklamasi. (6) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) secara teknis tidak dimungkinkan untuk dipindahkan dari Kawasan Konservasi di Laut, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan lJemanfaatan Ruang La.ut oi ^'Kawasan Konservasi di Laut hanya dapat diberikan untuk:

    93. kegiatan yang bersifat strategis nasional yang ditetapkan dengan peraturan perundang- undangan; dan I atatt b. kepentingarl pengelclaan Kawasan Konservasi di Laut. (71 Persetujuan uaian Kegiatan Pema n Rtrang Laut sebagainlana dimaksud pada ayat ^(2l., mempertimbangkan: a.' ^jenie kegiatan dan skalh usaha;

    94. daya dukung dan daya tarnpung/ketersediaan nrang Laut;

    95. kebutuharr ruang untuk mendukung kepentingan kegiatan;

    96. Pemanfaat-an Ruang Laut yang ader;

    97. teknologi yang digunakan; da.n f. potensi dampak lingkungan yang ditimbrrlkan. (8) Perset-ujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut sebagaimarra dimaksr: cl dalam Pasal 11O hurr.rf c, paling sedikit memuat:

    98. lokasi a. lokasi kegiatan;

    99. jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut; dan

    100. hak dan kewajiban pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut. Pasal 1 12 Jangka waktu penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal IOZ ayat (1) huruf c dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11O huruf c paling lama 20 (dua puluh) Hari dihitung sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak. Pasal 1 13 (1) Penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO7 ayat (1) huruf c dapat didelegasikan kewenangannya kepada gubernur, bupati, atau wali kota tanpa mengurangi kewenangan Menteri. (2) Penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11O huruf c di Perairan Pesisir, dapat didelegasikan kewenangannya kepada gubernur tanpa mengurangi kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. (3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan pertimbangan Forum Penataan Ruang. Pasal 1 14 Pasal 1 14 (1) Dalam hal Menteri, gubernur, bupati atau wali kota sesuai kewenangannya trdak menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha dalam ^jangka waktu sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 112, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang diterbitl<an oleh Lembaga OSS. (2) Dalam hal rnenteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan d! biciang kelautan tidak menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut untuk Perizinan Berusaha di Laut dalam ^jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pa.sal Il2, Persetujuan Kesesuaian Kegia.tan Pemanfaatan Ruang Laut,Jiterbitkan oleh Lembaga OSS. (3) Ketentuarr lebih lanjut mengenai pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud ^dalam ^Pasal ^113 ayat (i) diatur dengan Peraturan Menteri.

      (4)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian kewenangan seL; agaimana dimaksud dalam Pasal 1t-3 ayat (21 diatur denga.n peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan Pasal 115 (1) Kegiaian'- Pemanfaatan Ruang : Paragraf 3 Kesesuaian Kegiatan Pernanfaatan Ruang Untuk Kegiatan Nonberusaha Pasal 116 (1) Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatair Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan noriberusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (!.) huruf b diperoleh melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidaag kelautan sesuai rlengan kewenangannya. (2) Setelah memperoleh Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha, pemohon melakukan kegiatan Pemanfaatan Ruang setelah D.r€m€nuhi persyaratan sesuai dengan keten tuaa peraturan perundang-undangan. Pasal 1 17 (1) Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan .?emanfaatan Ruang untuk kegiata: r nonberusaha sebagerimar.a dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dilakukan melalui:

    101. Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruahg; atau

    102. Persettrjuan Kesesuaian i(e r Pemanfaatan Ruang. (2) Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan R'Jarrrg untuk kegiatan nonberusaha sebagaimana dimaksrrd dalam Pasrrl 116 ayat (1) di Perairan Pesisir, wilayah perairan, tlan wilayatr. yurisdikgi, dilakukan rnelahri: ' a. konfirmasi kesesuaian ruang laut; atau

    103. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfiiatan Ruang Laut.

      Pasal 118

      Pasal 118 Konf,rrmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (i) huruf a diberikan berdasarkan kesesuaian rencana lokasi kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan RDTR. Pasal 119 Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf a dilaksanakan melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Menteri dengan tahapan:


    104. penda'ftaran;

    105. penilaian dokumerr usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang terhadap RDTR; dan

    106. penerbitan Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Pasal 120 (1) Pendaftaran sehagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a paling seclikit clilengkapi dengan:

    107. koordinat lokasi;

    108. kebutuha lr: as lahan kegiatan Pernanfaatan Ruang; ^ c. informasi penguasaan i.anah;

    109. inlbrmasi ^jenis kegiatan;

    110. rencana ^jumlah lantai bangunan; dan

    111. rencana luas lantai bangrrnan. ('2) Konfirmasi I(esesuaian l(egiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dinnaksuci dalam Pasal 119 ^'hurlf ^'c, paling sedikit rnemllac: ' a. lokasi kegiatan;

    112. ^jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    113. koefisien c. koefisien dasar bangunan;

    114. koefisien lantai bangunan;

    115. ketentuan ta,ta bangunan; dan

    116. persyarata,r pelaksanaan kegiatan Pernanfaatan Ruang. Pasal 121 Jangka waktu penerbitan Konlirnrasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf c paling Iama 1 (satu) Hari sejak p,endaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pqiak. Pasal 122 (1) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang unruk kegiatan nonberusaha sebagairnana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) trurur b diberikan dalam hal belum tersedia RDTR di lokasi .rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang. l2l ^Perse*-ujuan Kesesuaian ^Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut untuk kegiatan. nonberusaha sebagaimana dimaksud dalam Pa,sal LL7 ayat (2) hurlf b diherikau untuk kegia.tan Pemanfaatan Ruang Laut secara menetap di Perairun Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi. Pasal 123 Persetujuan Kesesuaian Kegiataur Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha sebagairnana dimaksud dalam Pasal L22 ayat (1) dilaksanakan melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleir Menteri dengan mhapan:

    117. pendaftaran;

    118. penilaian dckumen usulan kegiatan pemanfaatan Ruang terhadap RTR, RZ KSNT, dan RZ I(AW; dan c penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Pasal 124 (1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 123 huruf a paling sedikit dilengkapi dengan:

    119. koordinat lokasi;

    120. kebutuhan luas lahan kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    121. informasi penguasaan tanah;

    122. informasi ^jenis kegiatan;

    123. rencana ^jurrrlah lantai bangunan;

    124. rencana luas lantai bangunan; dan

    125. rencana teknis bangunan dan rencana induk kawasan. {21 ^Persetujuan ^Kesesuaian ^I(egiatan Pemanfaatan ^Ruang untuk kegiatan nonberusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 diberikar, setela,h dilakukan kajian dengarr . menggunakan asas Lrerjenjang dan komplernenter berdasarkan :

    126. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;

    127. rencana tata ruang rvilayah provinsi;

    128. RTR KSi{;

    129. RZ KSN']';

    130. RZ KAW;

    131. RTR pulau/kcpulauan; dan/atau

    132. Rencana Tata Ruang Wila5,a6 Nas; ir: nal. (3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Perna.nfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha sebagairnana dimaksud pada ayat (2) diberikan dengan memperhatikan pertimbangan teknis pertanaharr. (4) Pertimbangap teknis pertanahan sebagaimarra dimaksud pada a1'at (3) terkait lokasi kegiatan dilaksanakan oleh kantor pertanahan. -to2- (5) Kantor pertanahan menyampaikan pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak. (6) Dalam hal kantor pertanahan tidak menyampaikan pertimbangan teknis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kantor pertanahan dimaksud dianggap telah memberikan pertimbangan teknis pertanahan. (71 Berdasarkan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan pertimbarrgan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. (8) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dirnaksud pada ayat (71, paling sedikit memuat:

    133. lokasi kegiatan;

    134. ^jenis perunttrkan Pemanfaatan Ruang;

    135. koefisien dasar bangunan;

    136. koefisien lantai bangur,an;

    137. ^.indikasi program Pemanfaatan Ruang; dan

    138. persyaratan pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang.

      (3)

      Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat i2l C,berikan sesuai tahapan dan ketentuan sebagainlana dimaksud dalam Pasal 123 dan Pasal 124. Pasal 126 Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut untuk kegiatan nonberusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) dilaksanakan melalui sistem elektronik oleh menteri yang menyelenggarakan urusan peraerintahan di bidang kelaut dengan tahapan:

    139. pendaltaran;

    140. penilaian dokumen usulan. kegidtan Pemanfaatan Ruang Laut terhadap RTR, RZ KSNT, dan RZ I(AW; dan

    141. penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut. Pasal 127 (1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf 4 paling sedikit dilengkapi dengan:

    142. koordinat lokasi;

    143. -rencana bangunan dan instalasi di Laut;

    144. kebutuhan luas kegiatan Pemanfaatan Ruang di Laut;

    145. informasi Pemanfaatan Ruang di sekitarnya; dan

    146. kedalaman lokasi. (2) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut untuk kcgiatan nonberusaha sebagaimana dimaksud dalanr Pasal 1.26 diberikan setelah di.lakukan kajian dengan meil'ggunakan asas berjenjan g dan komplementer berdasa.rkan:

    147. rencana tata ruang wilay6fu kabupatenlkota;

    148. rencana tata rlang wilayah provinsi;

    149. RTR KSN;

    150. RZ KSNT;

    151. RZ I(AW;

    152. RTR ^pulau/kepulauan; dan/atau

    153. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (3) Perserujuan Kesesuaian Kegiatan Penranfaatan Ruang Laut tidak dapat diberikan di zona inti di Kawasan Konservasi di Laut. (4) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dapat diberikan di wilayah masyaraka.t hukum adat setelah mendapat persetujuan masyarakat hukum adat. (5) Persetujtran Kesesuaian Kegiatan Pernanfaatan Ruang Laut di Kawasan Konservasi di Laut trclak diberikan di dalam ^,maupun di luar z,ona irrti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk kegiatan:

    154. pertambangan terbuka;

    155. dumping (pembuangan); dan

    156. reklamasi. (6) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) secara teknis tidak dimungkinkan untuk dipindahkan dari Kawasan Konservasi di Laut, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut di Kawasan Konservasi .di Latrt hem5,a dapat diberikarr untuk:

    157. kegiatan yang bersifat strategis ^.nasional yang ciitetapkan dengan peraturan perundang- undangan; dan/atau

    158. kepentingan pengelolaan Kawasan I'^cnservasi rii Laut. (71 Persetujuan Iiesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut sebagaimana dimakstrd pada ayat ('2), mempertimbangkan:

    159. ^jenis kegiatan dan skala kegiata,r;

    160. daya dukung dan dula tarnpung/ketersediaan n-rang Laut;

    161. kebutuhan ruang untuk mendukung kepentingan kegiatan;

    162. Pemanfaatan Ruang Laut yang telah ada;

    163. teknologi yang digunakan; dan

    164. potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan. (8) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 hunrf c, paling sedikit memuat:

    165. lokasi kegiatan;

    166. ^jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut; dan

    167. hak dan kewajiban pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut Pasal 128 Jangka waktu penerbitan Persetrrjuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf c dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c paling lama 20 (dua puluh) Hari dihitung sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak. Pasal 129 (1) l'enerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan F'emanfaatan Ruang untuk ^- kegi.atair nonberusaha sebagaimana dimaksud Pasal 123 hunrf c dapat didelegasikan kewenangannya kepada gubernur, bupati, atarr wali kota tanpa mengurangi kewenangan Menteri. (2) Penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut untuk kegiatan nonberusaha sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 126 huruf c di Perairan Pesisir, dapat didelegasikan kewenangannya kepada gr.rbernur tanpa mengurangi kewenangan menteri yang rrrenyelenggarakan urusan pemerintaha.n di bidang kelautan (3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiata.n norrberusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan pertimbangan Forum Penataan Ruang. Pasal 130 (1) Dalam hal Menteri, gubernur, bupati atau wali kota sesuai kewenangannya tidak menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, Persetujuan Kesesuaian. Kegiatan Pemanfaatan Ruang dit'erbitkan oleh sistem ^,elektronik yang ^.diselenggara.kan oleh Menteri. (2) Dalam hal menteri yang menyelenggarakan urusan pernerintahan di bidang kelautan tidak menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Penianfaatan Ruang Laut untuk kegiatan nonbprusaha di Laut dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut diterbitkan oleh sistem elektronik yang diselenggarakan oleh menteri yang menyelenggaral: arr urusan pemerintahan cii oidang kelautan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 129 ayat (1) diatur dalarn Perattrran Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai. pendelegasian kewenangan sebagaimana dintaksud rialarn Pasal 129 ayat (21 diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di biclang kelautan. Pasal 131 (1) Konfirmasi kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam pasal tL7 ayat (21 hurrf a'dapat diberikan untuk'kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut yang tidak termasuk dalam kebijakan strategis nasional'dan dilaksanakan oleh instansi Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintal'r Daerah provinsi. l2j ^Kegiatan . . ^. -to7- (21 Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut oleh instansi Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan yang dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pasal 132 Konfirmasi kesesuaian ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dilaksanakan melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh menteri yang menyelenggarakan ufur.san pemerintahan r1i bidang kelautan dengan tahapan:

    168. pendaftaran;

    169. penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut terhadap RTR, RZ KSNT, dan RZ I(AW; dan

    170. penerbitirn konfirmasi kesesuaian ruang laut. Pasal 133 (1) Pendaftaran sebagairnana dimaksud dalam Pasal 132 huruf a paling sedikit dilengkapi dengan:

    171. koordinat lokasi;

    172. kebutuhan luas kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut;

    173. kedalaman lol<asi; dan

    174. data/peta Pemanfaatan Ruang Laut yang telah ada. (2) Konfirmasi kesesuaian ruang l sebagaimana dirnaksud dalam Pasal l?,2 diberikan setelah dilakukan kajian dengan menggunakan asas bedenjang dan komplerrienter berdasarkan:

    175. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;

    176. rencana tata ruang wilayah provinsi;

    177. RTR KSN;

    178. RZ KSNT;

    179. RZ I(AW;

    180. RTR pulau/kepulauan; dan/atau

    181. Rencana Tata. Ruang Wilayah Nasional. (3) Konfirmasi kesesuaian ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 mempertimbangkan:

    182. ^jenis kegiatan dan skala kegiatan;

    183. daya dukung dan daya tampung/ketersediaan ruang Laut;

    184. kebutuhan ruang untuk mendukung kepentingan kegiatan;

    185. Pemanfaatan Ruang Laut yang telah ada;

    186. teknologi yang digtrnakan; dan

    187. potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan. (4) Konfirmasi kesesgaian ruang laut seLragaimana dimaksud dalam Pasal 132 huruf c, paling sedikit memuat:

    188. lokasi kegiatan;

    189. ^jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut; dan

    190. hak dan kewajiban pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut. Pasal 134 Jangka waktu penerbitan. konlirmasi kesesttaian ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal L32 hrr.nrf c paling lama 14 (ernpat belas) Hari dihitung sejak pendaftararr. Pasal 135 (l) Penerbitan konfirmasi kesesuaian ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal L32 huruf c dapat didelegasika n kewenangannya kepada gubernur tanpa nrengtrrangi kewenangan mentcri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang (2) Dalam... kelautan (21 Dalam hal menteri yang menyelengg; arakan urusan pemerintahan di bidang kelautan atau gubernur sesuai kewenangannya tidak menrberikan persetujuan atau penelakan dalam jangka- waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan atau gubernur dianggap telah memberikan konfirmasi kesesuaian ruang laut. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian kervenangan sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. Paragraf 4 Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Untuk Kegiatan Yang Bersifat Strategis Nasional Pasal 135 (1) Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatarr Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan yang bersifrrt strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf c, diberikan untuk:

    191. rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang yang termuat dalhm RTR, RZ KAW, atau RZ KSNT; dan

    192. rencana kegiatan' ^'Pemanfaatan Ruang yang belum termurat dalam RTR, RZ KAW, dair RZ KSNT. (21 Kegiatan yang bersifat strategis nasional sebagaimana di,.naksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan peru.ndang-undangan. (3) Kesesuaian Kegiatan Pemanfaalan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan .di bidang kelautan sesuai . dengan kewenangannya.

      (4)

      Kesesuaian (4) Kesesuaian Kegiatan Pemanfaat.an Ruang sebagaimana dimaksud paoa ayat (1) dimohonkan oleh menteri, kepala lembaga, gr: bernur, bupati, atau w'ali kota. Pasal 137 (l) Kesesuaian l{egiatan Pemanfaatan Ruang untuk rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang yang termuat dalam RTR, RZ f.AW, atau RZ KSNT sebagaimana dimaksucl dalam Pasal 136 ayat (1) hurlf a, dilakukan melalui:

    193. Koaftrmasi Kesesuaian Kegiaton Pemanfaatan Ruang; dan b.' Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruattg. (21 Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Rr: ang urrtuk rencana kegiatan Perrranfaatan Ruang yang termuat dalam RTR, RZ KAW, atau RZ KSNT, sebagaimana dimaksud dalarn..Pasal 136 ayat (1) huruf a pada Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan vrilayah yurisdiksi dilakukan melalui. Persetu.luan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut. (3) K.onhrmasi Kesesuaian Kegia.tan ^pemirnfaathn Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dengan tahapan dan ketentuan sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 118, Pasal 119, Pasal 12O, dan Pase.t 121. (4) Persetujuan Kesesr'aian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan denga.n'' tahapan dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal !22, Pasill 123, Pasal 121, dant Pasal 128. (5) Persetujr-ran Kesesuaian Kegia: an Penranfaatan Ruang Laut scbagaimana dimaksud pada ayat (21 diberikan dengan tahapan dan ketenttan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122, Pasal 126, Pasal 127, dan Pasal 128. Pasal 138 (l) Kesesuaiarr Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang yang belum termuat dalam RTR, RZ KAW, dan IA KSNT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 a5'at (1) huruf b, dilakukan melalui Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pesranfaatan Ruang. (2) Rencana kegiatan Perr,anfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga berupa:

    194. rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang di atas tanah Bank Tanah; dan/atau

    195. rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang di kawasan atau di atas tanah yang akan diberikan hak pengelolaan untuk kegiatair yang bersifat strategis nasional. (3) Kegiatan Pemanfaatan Ruang di atas hak pengelolaan sebagairnana dimaksuJ pada ayat l2l mengacu kepada rencana indtrk i: awasan. (4) Kesesuaian i(egiatan Pemanfaatan Ruang untuk rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang yang belum termuat dalam RTR, W KAW, dan RZ KSNT setragaimana dirnaksud dalar, Pasal 136 ayat (1) huruf b pada Perairan Pesisir, wilaya-h perairan, dan wilayah yurisdiksi, dilakukan melalui Persetujuan I(esesuaian Kegiatan Pemanferal"an Ruang Laut. Pasal 139 Rekomendasi Kesesuaian liegiatan Pemanfaatan Ruarrg untuk kegiatan yang bersifat strategis ^. nasional sebagaimana dimaksud clalam Pasal 138 ayat (1) dilaksanakan dengan tahapan:

    196. pendaftaran;

    197. penilaian dokumen usula atan Pemanfaatan Ruang.terhadap RI'R, RZ K.A.W, dan RZ, KSNT; dan

    198. penerbitan Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pernanfaatan Ruang. -rl2- Pasal 140 (l) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 huruf a paling sedikit dilengkapi dengan:

    199. koordinat lokasi;

    200. kebutuhan luas lahan kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    201. informasi penguasaan tanah;

    202. informasi ^jenis kegiatan;

    203. rencana ^jumlah lantai bangunan;

    204. rencana luas lantai bangunan;

    205. dokumen prastudi kelayakan kegratan Pemanfaatan Ruang; dan

    206. rencana teknis bangunan darir/atau rencana indrrk kawasan. (21 R-eko'mendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk mewujudkan ruang ymg aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. (3) Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanthatan Ruang untuk kegiatan yang bersifat strategis itasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan p: rtimbangan teknis pertanahan. (4) Pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terkait lokasi kegiatan dilaksanakan oleh kantor pertanahan. (5) Kantor pertanahan menya-mpaikan pertirnbangan teknis pertanahan sehagaimana dirnal<sr,rd phda ayat (4) paling lama 10 (sepuluh) Hari telhitung sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak. (6) Dalam hal kantor pertanahan tidak menyampaikan pertimbangan teknis dalafn jangka vraktu sebaga.irnana dimalcsud pada ayta-t (5) kantor l.ertauaharr ^dimaksud ^dianggap'telah ^memberikan pertimbangan teknis pertanahan. {71 ^Berdasarkan ^kajian ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (21 dan pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menerbitkan Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. (8) Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksuci pada ayat (7), paling sedikit memuat:

    207. lokasi kegiatan;

    208. ^jenis peruntukan Pemanfaatan Ruang;

    209. koefisien dasar bangunan;

    210. koefisien lantai bangunan;

    211. informasi indikasi program Pemanfaatan' Ruang terkait; dan

    212. perdyaratan pelaksanaan l<egiatan Pemanfaatan Ruang. Pasal 141 (1) Jangka waktu penerbitan Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana ciimaksud dalam Pasal 139 huruf c paling lama 20 (dua puluh) Hari dihitung sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak. (21 Dalarn hal Menteri tidak memberikan persetujuan atau penclakan dalam ^jangka warktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dianggap telah memberikan Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pema: rfaatan Ruang. Pasal 142 (1) Setelah memperoleli Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegirrtan yang bersifat strategis'nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1), pemohon ctapat melakukan kegiatan Pemanfaatan Ruarrg. -tL4- l2l ^Kegiatan Pemanfaatan ^Rrrang ^sebagaimana dimaksrrd pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengar. ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur Perizinan Berusaha berbasis risiko. Pasal 143 (1) Perubahan peruntukan dan fungsi serta penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di hrar kehutanan berlaku ketenLuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. (2) Pemanfaatan Ruang yang lokasinya berada pada Kawasan Hutan yang mengalami ^'perubatran peruntukan dan fungsr serta belurn dirnuat dalam RTR, maka kegiatan pemanfaatan ruang dilaksanakan setelah mendapatkan Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. (3) Rekomendasi I(esesuaian Kegiatan Pemanfatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) <liberikan sesuai tahapan dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140. Bagian Ketiga Pelaksanaan Sinkronisasi Program an Ruang Pasal 144 (1) Pelaksand.an sinkronisasi progra=r Pemanfaatan Ruang sebagaimana dirnaksud <lalam Pasal 97 huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. (21 Pelaksanaan sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang yang ciilaksanakan oleh Pemerintah Pusett sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:

    213. Rencana Tata Ruang Wiiayah Nasional;

    214. RTR pulau/kepulauan;

    215. RTR KSN;

    216. RZ I(AW; dan

    217. RZ KSNT. (3) Pelaksanaan sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:

    218. rencana tata ruang rvilayah provi,nsi;

    219. rencana tata rtrang wilayah kabupaten; dan/atau

    220. rencana tata ruang wilayah kota. |41 ^Pelaksanaan ^sinkronisasi ^program ^Pernanfaatan Ruang dilakukan berdasarkan indikasi prograrn utama yang terrnua.t dalam RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan liuruf c, serta ayat (3). (5) Pelaksanaan sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang dilakukan dengan merryelaraskan indikasi prograrn utama dengan trirograrh sektoral dan kewilayahan dalam dokumerr rencana pembangunan secara terpadu. Pasal 145 (1) Sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang menghasilkan dokumen a. sinkronisasi program Perrrarrfaatan Ruang jangka menengah 5 (lima) tahunan; dan

    221. sinkronisasi program Pemanl'airtan Ruang ^jangka pendek I (satu) tahunan. (2) Dok: umen sinkronisasi progrann Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi masukan untuk penyusunan rencana pembangunan dan pelaksanaan peni; rjauan kembali dalam rarrgka revisi RTR.

      Pasal 146

      Pasal 146 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan/atau pelaksanaan si.nkr: onisasi program Pemanfaata.r Ruang diatur dengan Peraturan Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksaraan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Latrt diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusarl pemerintahan di bidang kelautan. BAB IV PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 147 (1) Pengendalian Pemanfaatan Ruang dilaksanakan untuk mendorong terwujuCnya Tata Ruang sesuai dengan RTR. (21 Pengendalian Pemanfaatan Rr-rang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untrrk mendorong setiap Orang agar:


    222. menaati RTR yang telah ditetapkan;

    223. memanfaatkan ruang sesuai dengan RTR; dan

    224. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyar6.tan Kesesuaian Kegiatan Pemantaatan Rttairg.

      Pasal 148

      Pengendalian Pemanfaatan. Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dilakr-rkan melalui: Be,.gian Kedua Penilaian Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan ntaatan Ruang -LL7- a. penilaian pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan pernyataan rnandiri pelaku UMK;


    225. penilaian perwujudan RTR;

    226. pemberian insentif dan disinsentif;

    227. pengenaan sanksi; dan

    228. penyelesaian sengketa Penataan Ruang. Pasal 149 (1) Penilaian pelaksana.an Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dilaksanakan untuk memastikan:

    229. kepatuhan pelaksanaan ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pernanfaatan Rtrang; clan b. pemenuhan prosedur peroleb.ar: Kesesuaian . Kegiatan Pemanfaatan Ruang. (2) Penilaian pernyataan mandiri yang rii uat oleh pelaku UMI( dilaksanakan untuk rnemastikan kebenaran pernyataan mandiri yang dibua.t oleh pelaku UMK. Pasal l5O (1) Penilaian kepatuhan pelaksanaan ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 149 ayat (1) huruf a dilakukan pada periode:

    230. selama pembangunan; clarr b. ^.pasca pembangunan. b (21 Peniiaian pada periode selama pembangunan sebagainaana dimaksud pacla ayat (1) huruf a dilakukan untuk memastikan kepatuhan pelaksanaan dalam memenuhi ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. (3) Penilaian pada periode selama pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lan.bat 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. (4) Penilaian pada periode pasca pembangunan sebagairrrana. dimaksud pada ayat- (1) huruf b dilakukan untuk memastikan kepatuhan hasil pembangunan dengan ketenhr.an dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. (5) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yarlg tertuang dalam dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, pelakrr kegiatan Pemanfaatan Ruang diharuskan melakukan penyesuaian. (6) Dalam hal hasil penila.ian pernyataan mandiri sebagaimana dimaksrrd dalan: Pasal 149 ayat (2) ditemukan ketidaksesua.iarr pernyataan mandiri yang dibuat oleh pelaktr UMK, dilakukan pernbinaan oleh kementerian / lemb aga dan I ^atau ^perangkat ^daerah. (7) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana climaksud pada ayat (4) ditemukan ketid.akpatuhan terhadap ketentuan yang tcrtuang dalam dokumetr Kesesuaian I(egiatan Pemanfaatan R.uang, dilakukarr. pengenaali sanksi sesrrai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. - l1q - Pasal 152 (1) Penilaian pelaksanaan ketentuan dalam dokumen l(esesua.an Kegiatan Pemanfaatan Rr: ang dilakukan oleh Menteri. (21 Penilaian pelaksanaan ketentuan dalam dokumen Kesesuaian Kegiatan Pernanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada gubernur, bupati, atau wali kota sesuai kewenangannya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 153 (1) Penilaian pcmenuhan prosedur perolehan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan'Ruang sdbagaimana dimaksud dalam Pasai. 149 ayat (1) huruf b dilakukan untuk memastiken kepatuhan pelaku pembangunalr/ pemohon tcrhadap tahapan Can persyaratan perolehan Kesesuai.an I(egiatan Pemanfaatan Ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perunclang- undangan. (2) Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterbitkan dan/atau diperoleh dengar: tidak melalui prosedur yang benar, baLal demi hukum. (3) Kesesuaian Kegiatan Pennanfaatan Ruang sebagaimana dimiksud pada ayat (1i y4rrg tida[ sesuai lagi ekibat adanya perubahan tOP-' dapat dibatalkan oleh instansi pbmerintah yalrg menerbitkan' Kesesuaian Kegiatan Penranf: ratan Ruang. (41 Terhadap kerugian yang ditimbull<an akibat pbmbatalan sebagaimana ciimaksucl- pada ayat (3), dapat di: nintakan ganti kertrgian yang layak kepada ir.starsi'pemerintah yang'ineherbitkan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.

      (5)

      .

      (5)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian ganti kerugian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 154 Ketentuan lebih lanjtrt mengenai tata cara dan penetapan hasil penilaian pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan pernyataan mandiri pelaku UMK sebagaimana di.maksud dalam Pasal 149 sampai dengan Pasal 153 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Penilaian Perwujudan Rencana Tata Ruang Pasal 155 Penilaian perwujudan RTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 huruf b dilakukan dengan penilaian perwujudan rencarla Struktur Ruang dan rencana Pola Rrrang. Pasal 156 (1) Penilaian perwujudan rencana Struktur Ruang dan rencana Pola Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.515 dilakrkan dengan:

    231. penilaian tingkat pervujudafl rencana Struktur R.uang; dan

    232. penilaian tingkat perrvujudan rencana Pola Ruang. (21 Penilaian pervrujutlan rencana Struktur Ruang dan rencana Pola Ruang sebagaimana dimaksud paria ayat (1) dilahrkan terhadap:

    233. kesesuaian program;

    234. kesesuaian ickasi; d?n- c. kel,esuaian ^'waktu 1..elaksa: -L2r- (3) Penilaian tiirgkat perwujudan rencana Struktur Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan penyandingan pela.ksanaan prograln pembanglunan pusat-pusat permukiman dan sistem ^jaringan prasarana terhadap rencana Struktur Ruang. (4) Penilaian tingkat perwujudan rencana Pola Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan penyandingan pelaksanaan program pengelolaan lingkurrgan, pembangunan berdasarkan Perizinan Berusaha, dan hak atas tanah terhadap rencana Pola Ruang. Pasal 157 (1) Hasil penilaian tingkat penvujudan rencana Struktur Ruang sebagaimana dirrraksud dalam Pasal 156 ayat (3) berisikan:

    235. rnuatan rencana Strukttrr Ruang yang terwujud;

    236. muatan rencana Strrrktur Ruang yang belum terwujud; dan

    237. pelaksana,an program pembangunan yang tidak sesuai dengan muatan rencana Struktur Ruang. (21 Hasil penilaian tingkat perwujudan rencana Pola Ruang sebagi.rimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) berisikan:

    238. muatan rencana Pola Ruang yang terwujud;

    239. muatan rencana Fola Ruarng yang belum tcrvujud; dan

    240. pelaksanaan program Derobarrgunan yang tidak sesuai dengan muatan rencana Pola Ruang. (3) Tingkat perwuludan rencana Stnrktur Rrrang sebagaimana- dirrraksud pada ayat (1) dan tingl<at perwujudan rencana Pola Ruang sebagairnana dimaksud pada ayat (2) dituangkarr dalam bentuk tekstual dan spasial. Pasal 158 (1) Terhadap hasil penilaian pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan hasil penilaian perwujudan RTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, dilakukan pengendalian implikasi kewilayahan untuk terwujudnya keseimbangan pengembanga.n wilayah sebagaimana tertuang dalam RTR. (21 Pengencialian implikasi kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membatasi:

    241. konsentrasi Pemanfaatan Ruang tertentu pada wilayah tertentu yang tidak sesu'ai ^.dengan skenario perwujudan RTR; dan

    242. dominasi kegiatan Pemanfaatan Ruang tertentu. (3) Pengendalian implikasi kewilayahan sebagai.mana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada:

    243. zone kendali; atau

    244. zon?.yang didorong. (4) Zona kendali sebagaimana Cimaksud pada ayat (3) huruf a merupakarl zor: 'a dengan konsentrasi kegiatan Pemanfaatan Ruang danf atau clominasi kegiatan Pemanfaatan Ruang tertentu yang tinggi dan berpotensi melarnpaui. daya dukung dan daya tampung. (5) 7-ona yang iidorong sebagaimana dirnaksud piaa ayat (3) huruf b'merupakan zona dengan k<.rnsentrasi kegiatan Pemanfaatan Ruang dan/atau drrminasi kegiatan Pemanfaatan Ruang tertentu yang sangat rendah ,J'ang perlu dittngkatkan perwujudannya sesuai <iengan RTR. Pasal 159 Terhadap zorla kendali dan zotta y didorcng sebagaimana dimal<sud dalam Pasal 158 ayat (3), dapat disusun perangkat Pengendalian Pemanfaatan F-uang.

      Pasal 150

      Pasal 160 (1) Penilaian perwujudan RTR dilakukan secara periodik dan terus-menerus. (2) Penilaian perwujudan RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dan dilaksanakan 1 (satu) tahun sebelum peninjauan kembali RTR. (3) Pelaksanaan penilaian perwujudan RTR dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dalam hal terdapat perubahan kebijakan yang bersifat strategis nasional yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 161 Penilaian perwujudan RTR Pusat dan Pemerintah kewenangannya. dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan Pasal 162 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian perwujudan RTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 sampai dengan Pasal 161 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Pemberian Insentif dan Disinsentif Paragraf 1 Umum Pasal 163 Pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 huruf c diselenggarakan untuk:


    245. meningkatkan a meningkatkan upaya Pengendalian Pemanfaatan Ruarrg dalam rangka mewujudkan Tata Ruang sesuai dengan RTR; memfasilitasi kegiatan Pemanfaatan Ruang agar sejalan dengan RTR; dan meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka Pemanfaatan Ruang yang sejalan dengan RTR. Pasal 164 (1) Insentif dan disinsentif dapat diberikan kepada pelaku kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk mendukung perwujudan RTR. (21 Pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk:

    246. menindaklanjuti pengendalian implikasi kewilayaha.n pada zona kendali atau zor^a yang didorong; atau

    247. rnenindaklanjuti implikasi kebijakan atau rencana strategis nasional. Paragraf 2 Bentuk dan Tata Cara Pemberian Insentif Pasal 165 (1) Insentif merupakan perangkat untuk mernotivasi, mendorong, memberikan daya ta.rik, dan/atau membei-ikan percepatan terhadap kegiatan Pemanfaatan Ruang yang memiliki nilai tambah pada zona yang perlu didorong pengembarigannya. (21 Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ber upa:

    248. insentif liskal; dan /atatr b. insentif nonfis; kal.

    249. c Sl( No 093638 A Pasal 166 (1) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (2) huruf a dapat berupa pemberian keringanan pajak, retribusi, dan/atau penerimaan negara bukan pajak. (21 Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Cilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 167 Insentif nonfiskal sebagaimana oimaksud rlalam Pasal 165 ayat (21huruf b dapat berupa:

    250. peinberian kompensasi;

    251. subsidi;

    252. imbalan;

    253. sewa ruang;

    254. Llrun saham;

    255. fasilitasi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    256. penyedia-an prasararla dan arana;

    257. penghargaan; dan latau i. prrblikasi atau promosi. Pasal 168 (1) Insentif dapat diberikan oleh:

    258. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah;

    259. Pemerintah Daerah kepada Pemertntah Daerah lainnya; dan

    260. Pemet'intah R.rsat dan/atau Pemerintah Daerah .kepada Masyarakat. (2) insentif'dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa:

    261. subsidi;

    262. pen_n*ediaan prasarana dan sarana di daerah;

    263. pemberian kompensasi;

    264. penghargaan; dan I atau e. publikasi atau promosi daerah. (3) Insentif dari Perrrerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa:

    265. pemberian kompensasi;

    266. pemberian penyediaan prasarana dan sarana;

    267. penghargaan; dan /atarr d. publikasi atau promosi daerah. l4l ^Insentif ^dari ^Pemerintah Pusat ^dan/atau ^Pemerintah Daerah kepada Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurrf c dapat berupa:

    268. pemberian keringanan pajak dan/atau retribusi;

    269. subsidi;

    270. pemberian kompensasi;

    271. imbalan;

    272. sewa ryang;

    273. urun saham;

    274. fasilitasi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    275. penyediaan prasarana dan sarana;

    276. penghargaan; dan latau j. publikasi atau prornosi. Pasal 169 Jenis, besaran, dan mekanisme pemberian keringanan pajak, retribusi, dan/atau penerimaan negara bukan pajak sebagaimana Cimaksud dalam Pasal i66 ayat (1) paling sedikit mempertimbangkan :

    277. ^jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    278. tingkat kerentanan atau ketrerlanjutan kawasan atau bangunan; dan

    279. nilai tambah kawasan. Pasal 170 (1) Pemberian koinpensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 hrrruf a merupakan perangkat balas jasa kepada Masyarakat atas penyediaan prasarana, fasilitas publik tertentu, dan/atau ruang terbuka publik yang melebrhi ketentuan minimal yang dipersyaratkan. (2) Bentuk, besaran, da he pemberian kompensasi paling sedikit mempertimbangkan:

    280. ^jenis kegiatan Pemanfaatan Rua.ng;

    281. nilai ^jasa yang diberikan; dan

    282. kebutuhan penerima kompensasi. Pasal 171 (1) Subsidi sebagairnana dimaksud dalam Pasal 167 huruf b merupakan bantuan finansial dan/atau nonfinansial atas dukungan terhadap perwujudan lcomponen ruang tertentu yang diprioi'itaskan atau rehabilitasi kawasan pasca bencana alam. (21 Bentuk, besaran, dan mekanisme subsidi paling sedikit nrernpertimbangkan :

    283. skala kepentingan;

    284. dampak program pembangunan prioritas;

    285. kapasitas kelernbagaan; dan

    286. kebutuhan ^penei'irna subsidi. Pasal 172 (1) Irrrbalan sebagaimana dir.eaksu 'dalam Pasal t67 hurrrf c nrerupakan perangkat balas jasa terhadap kegiat.an Pemanfaatan Ruaag yang memberikan nilai tambah pada jasa lingkungan. (2) Besaran dan mekanisme i: nbalan paling sedikit mernpertimbangkan:

    287. ^jenis kegiatan Pernanfaatan Ruang;

    288. kebutuhan penerima imbalan;

    289. nilai tambah terhadap jasa lingkungan; dan

    290. biaya upaya pelestarian lingkunga.n hidup. Pasal 173 (1) Sewa ruang sebagaimar,.a dimaksud dalam Pasal 167 huruf d mempakan llenyewaan tanah dan/atau ruang milik negara dan/atau daerah kepada Masyarakat dengan tarif di bawah harga normal dalam ^jangka waktu tertentu. (2) Besaran dan mekanisme sewa ruang paling sedikit mempertimbangkan:

    291. peningkatan nilai kemanfaatan rLr.ang;

    292. biaya dan manfaat;

    293. ketersediaan sumber daya;

    294. kapasitas kelembagaan; dan

    295. kebutuhan p: nerirna. Pasal 174 (1) Urun saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 huruf e merupakan penyertaan saham oleh Pemerinte-h hrsat dan/alau Pemerintah Daerah untuk perrgembangan kegiaton Pernanfeatan Ruang di lokasi tertentu. (21 Besaran dan mekanisme urun saham paling sedikit mempertimbangkan:

    296. nilai iatan Pemanfaatan Ruang terhadap pengernbangan wilayah dan kawasan;

    297. nilai aset dan peluang pengembangan;

    298. biaya dan manfaat;

    299. kapasitas kelembagaan; dan

    300. kebutuhan penerima.

      Pasal 175

      Pasal 175 (1) Fasilitasi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksucl dalam Pasal L67 huruf f di Perairan Pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Masyarakat T,: adisiorral dan Masyarakat Lokal yang melakukan Pemanfaatan Ruang Laut untuk pemenuharr kebutuhan hidup sehari-hari. (2) Masyarakat Tradisional dan Masyarakat Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:


    301. bermata' pencaharian pokok sebagai nelayarr dengan alat penangkapan ikan statis, pembudidaya ikan atau petambak garam; dan/atau b menghasilkan procluksi at"u memiliki penghasilan tidak lebih dari'nilli rata-rata upah . ^minimum ^provinsi. (3) Selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk pembudidaya ikan dan petambak garam, wajib berdomisili di wilayah pesisir dan/atau pulari-pr.: lau kecil paling singkat 5 (lirua) tahun berturrrt-tumt atau paling singkat LO (sepuluh) tahun tidak berturut-turut. (4) Masyarakat Tradisiciral dan Masyarakat Lckal yang mempercleh fasilitasi Persetuju44 l(esesuaian Kegiatan' Pemanfaatan Ruang Laut sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) ditrsulkart oleh bupati/wali kota.. (5) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dilakukan berdasarkan hasil icientifikasi Masyarakat Tradisional .dan, Masyarakat Lokal yang disampaika4 oleh lurah/kepala desa ,nelalui camat. (6) Fasilitasi -Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut untuk Masyarakat Tradisional darr'- lvlasyarakat Lokal sebagaimana dima,ksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk kegiatan:

    302. perikanan tangkap dengan alat penangkapan ikan statis;

    303. perikanan buclidaya menetap;

    304. pergaraman;

    305. wisata bahari; dan/atau

    306. permukiman di atas air. (7) Fasilitasi Persetujuan Kesesuaiin Kegiatan r)emanfaatan Ruang Laut _vang ^.Jiiak-ukan di dalam Kawasan Konservasi di Laut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasai 176 (1) Penyediaan prasarana dan sarana seba.gairnana dimaksud dalar,r Pasal 167 huruf g mempakan bantuan pembanglnarl prasarana dan saraila untuk mendorong pengembangan wilayah dan kawasan sesuai <iengan RTR. (21 bentuk ^'dan mekanisme sarana dan sarana paling sedikit mempertimbangkan:

    307. kebutuhan jenis prasarana dan sarana. keterse.diaan sumber daya; dan kemitraan Pasal 177 (1) Pemberian penghargaan seb.rgaimana dimaksud daram Pasal L67 huruf l: merupakan pengakuan terhadap kinerja Penyelenggaraan F€nataan Ruang yang. herkualitas dan/atau panisipasi Masyarakat dalam perwujudan RTR. (2) Bentuk penghargaan paling sedikit mempertimbangkan:

    308. kebutuharr penerima; dan

    309. nilai manfaat. b c

      Pasal 178

      Pasal 178 (1) Publikasi atarr promosi sebagainnana ^dimaksud ^dalam Pasal L67 huruf i merupakan ^penyebarluasan informasi terkait kegiatan atau ^kawasan ^prioritas melalui media cetak, media elektronik, ^maupun ^media lainnya. (21 Bentuk publikasi atau ^promosi ^paling ^sedikit mempertiinbangkan:


    310. ^jenis kegiatan Pemanfaatan ^Ruang;

    311. lokasi kegiatan; dan

    312. keberdayagunaan dan ^keberhasilgunaan. Paragraf 3 Bentuk dan Tata Cara Pernberian ^Disinsentif (1) (2) (1) fasal ^179 Disinsentif merupakan ^perangkat. ^untuk ^mencegah dan/atati memberikan batasan ^terhadap ^kegiatan Pemanfaatan Ruang ^yang sejalan ^dengan ^RTR ^dalam hal berpotensi melampaui daya dtrkung ^dan ^daya tampung lingkungan. Disinsentif set'agaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) dapat berupa:

    313. disinsentif fiskal; dan/atau

    314. disinsentif nonfiskal.

      Pasal 180

      Disinsentif fiskal sebagaima.na dimaksud ^dalam ^Pasal 179 ayat (2) huruf a dapat ber.rpa ^pengenaan ^pajak dan/atau retribusi ^yang tinggi. Pemberian disinsentif fiskal sebagaimana-dimaksu-d pada ayat (l) dilaksan-akan sesuai dengan ^ketentuan peraturan perundan g-undangan. (21 Pasal 181 Disinsentif nonfiskal sebagaimana dimaksud ^dalam Pasal 179 ayat (2) huruf b dapat berupa:


    315. kewajiban memberi kompensasi atau ^imbalan;

    316. pembatasan penyediaan ^prasarana dan ^sarana; dan/atau

    317. pemberian status tertentu. Pasal 182 (1) Disinserrtif dapat diberikan oletr:

    318. Pemerintah Pr.rsat kepada Pemerintah ^Daerah;

    319. Pemerintah Daerah kepada Pemerintah ^Daerah lainnya; dan !. , c. Pemerintah Rrsat dan/atau Pemerintah ^Daerah kepada Masyarakar-. (21 Disinsentif dari Pemerintah hrsat kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) huruf ^a dapat diberikan dalam bentuk:

    320. pembatasan penyediaan ^prasarana dan ^sarana ^di daerah; dan/atau

    321. pemberian status tertentu. (3) Disinsentif dari Pemerintair Daerah kepada Pemerintah Daerah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa pembatasan penyediaan prdsaranadan sarana. (4) Disinsentif dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kepada Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat trcrupa:

    322. pengenaan pajak dan/atarr retribdsi ^yang tinggi;

    323. ke.,vajiban memberi kompensasi atau imbalan; dan/atau

    324. pembatasan penyediaan prh.sarana dan sarana. Pasal 183 (1) Pengenaan pajak dan/atau retrib.rsi yang tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal L82 ayat ^(4) huruf a dapat diberikan kepada ^pelaku ^kegiatan Pemanfaatan Ruang pada kawasan ^yang ^memiliki nilai ekonomi tinggi yang hampir atau ^telah melampaui daya dukung dan daya ^tampurrg lingkungan. (21 Jenis, besan'an, dan mekanisme pengenaan ^pajak dan/atau retribusi yang tinggi sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) paling ^sedikit mempertim.bangkan:

    325. .pelaku kegiatan;

    326. ^jenis kegiatan Pemanfaatair Ruang;

    327. tingkat kerentanan atau keberlanjutan kawasan atau bangunan; dan

    328. efektivitas dampak pemberian pengenaan ^paj k dan/atau retribusi yang tinggi. Pasal 184 (1) Kervajiban memberi kompensasi atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat ^(41 huruf b merupakan keu'ajiban memberikan ^ganti kerugiarr terhadap pihak-pihak ^yang dirugikan akibat dampak negatif Pemanfaatan Ruang. (2) Bentuk, besaran, dan mekanisrne kewajiban memberi kompensasi atatr imbalan sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) paiing sed.ikit mempertimbangkan:

    329. dampak ),eng ditimbulkan; dan

    330. kebutuhan penerima kompensasi atau imbalan. Pasal 185 (1) Pembatasan penyediaan ^p a dan sarana sebagairnana dirnaksud dalam Pasal 182 ayat ^(4) huruf c merupakan pembat-asan penyediaan ^jaringan transportasi beserta sarana pendukungnya dan/atau prasarana dan sarana lainnya pada Kawasan tertentu.

      (2)

      Bentuk dan mekanisme pembatasan penyediaan prasaralla dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mempertimbangkan:

    331. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan pembatasan penyediaan prasarana dan sarana; dan

    332. standar pelayanan. Pasal 186 (1) Pemberian status tertentu sebagairnana dimaksud dalam Pasal 182 ayat i2) huruf b merupakan pelekatar, predikat aiau keterangan ^t-ertentu pada ka'*'asan rawarl bencana dan/atau Pemerintah Daerah yang memiliki kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang rendah. (21 Pemberian status tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan. a. hasil kajian clan/atau kejadian bencana; dan/atau

    333. hasil penilaian kinerja Penyelenggaraan I'enataan Ruang. Pasal 187 (1) iKetentuan lebih lanjut mengenai insentif nonfiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 dan disinsentif nonfiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 diatur dengan Peraturan Menteri dan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan sesuai dengan kewenangannya. (21 Penrberian insentif nonfiskal dan disinsentif nonfiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh mentt: ri/kepala lembaga yang menyelenggarakan Llrusan pemerintahan di bidang yang terkait dengan insentif dan disinsentif yang diberikan. Elagian Bagian Kelima. Pengenaan Sanksi Faragraf 1 Umum Pasal 188 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 huruf d dilakukan melalui sanksi aclrninistratif. Pasal 189 (1) Sanksi administratif sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 188 dikenakan kepada setiap Orang yang tidak menaati RTR yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang. (21 Pemeriksaan perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalu.i audit Tata Ruang. (3) Dalam hal terdapat perubahan fung Laut, pemeriksaan fungsi ruang Laut dilaksanakan oleh menteri yang rnenyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan (4) Audit Tata Ruang sebagairnana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (5) Hasil audit Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ay at (21 ditetapkan dengan :

    334. keputusan Menteri untuk hasil audib Tata Ruang yang dilakukan oleh Pemerintah hrsat; .^. b. keputusan gubernur untuk hasil au,.dit Tata Ruang yang dilakukan olch Pemerintah Daerah provirrsi; atau

    335. l':

      (6)

      Dalam pelaksanaan auCit- Tata Ruang, tim audit Tata Ruang dapat dibantu oleh penyidil< pegawai negeri sipil penataan ruang dan ahli lainnya. sesuai kebutuhan. (71 Ketentuan lebih lanjut mengenai audit Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri dan per: aturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan sesuai dengan kewenangannya. Pasal 190 (U Sanksi adminiStratif sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 188 dikenakan ^juga kepada Orang yang tidak mematuhi ketentuan Pemanfaatan Ruang dalarrr RTR. (21 Sanksi administratif sebagaimana di.maksud pada ayat (1) aapat langsung enakan tanpa melalui proses dudit Tata Ruang. Pasal 191 Perbuatan tidak menaati RTR yang telah ditetapkan yang mengakibatkan peruba-han fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1E9 ayat (1) dan tidak mcmatuhi ketentuan Pemanfaatan Ruang dalam RTR sebagainiaira dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1) meliputi:

    336. Pemanfaatan Ruang yang tidak memiliki Ke an Kegiatarr flemanfaatan Ruang; dan / atar.r b. Pernanfaatan Ruang yang tidal: mema.tuhi ketentuan dalam rrluatan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan R-rrang. Pasal 192 (1) Selain perbuata.r: sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191, sanksi administratif dapat dikenakan kepada setiap Orang yang menghalangi akses terhadap Kawasan yang oleh ketentuan peraturan perrrndang- undangau dinyatakan sebagai milik umum.

      (2)

      Perbuatan menghalangi akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penutupan akses secara sementara maupun perrnanen. (3) Dalam hal Pernanfaatan Ruang [.aut, sanksi administratif dikenakan terhadap :

    337. penggunaan dokumen Persetujr',.an Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut atau konfirmasi kesesuaian nrang la-ut yang tidak sah;

    338. tindakan tidak melaporkan pendirian dan/atau penempatan bangunan dan instalasi di [.aut kepada rr€.lt€ri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan;

    339. tindakan tidak menyampaikan laporan terulis secara berkala setiap 1 (satu) tahun sekali kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan:

    340. pelaksanaan Persetujucn Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Larrt yiltg tidak sesuai dengan RTR, W KAW, dan/ertau RZ KSNT; dan/atau

    341. pelaksanaan Persetujuan Kesesuaiarr Kegiat44 Pemanfaatan RUang Laut yang lnenggangBu ruang penghidupan dan akses nelayarr kpcil, nelayan traciisional, dan pembudidaya ikan kecil.

      Pasal 193

      Pengenaan sanksi administratif ciitakukan'bbrdasarkan:


    342. hetsil penilaian pelaksanaan ^'ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    343. hasil Pengarrasan Penataan Ruang;

    344. hasil audit Tata Rrrang; .lan/atau d. pengaduan pelapggararr Pemanfaatan Rtreuig. PRE.S IDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 194 (1) Pengenaan sanksi adininistratif dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Dalam hal bupaui/rvali kota tidak melal<sanakan pengenaan sanksi adrninistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) clalam jangl<a waktu 2 (dua) bulan setelah adanya penctapan pengenaan sanksi administratif, gubernur mengamltil alih pengenaan sanksi administratif yang tidak dilaksanakan oleh bupati/wali kota. - (3) Dalam hal gubernur tidak melaksanakan pengenaan sanksi administratif sebagaimana aimiksuJ pada ayat i2l dalam jangka waktu 4 (empat) buta.n seielah adanya penetapan pengenaan sanksi administratif oleh bupati/wali' kota, Menteri mengambil alih pengenaan sanksi administratif yang tidak dilaksanakan oleh gubertrur Paragraf 2 Kriteria dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pasal 195 (l) Sanksi administratif sebagaimana dimalisud dalam Pasal 188 berup; r:

    345. peringatan tertulis;

    346. derrda administratil;

    347. perrghentiansementarakegiatan;

    348. penghentian sementara pelayanan umum;

    349. penutupan lokasi;

    350. pencabutan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    351. pembatal.an Keses'.raian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    352. pembongkaranbangunan; dan/atau

    353. pemulihan fungsi ruang. (21 Pengenaan sanksi administratif sebagainrana dimaksud paCa ayaL (1) disertai dengarr tanoa pemberitahuar, pelangga.ran Pemanfaatan Ruang. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dcngan upaya paksa oleh Pr"'m€rintah Pusat dan/atau Pemerinte.h Daerah. (4) Pengenaan sanksi administratif dapat dilakul<an rnelahti koordinasi dengan kementerian/lembaga dan/atau perangkat daerah sesuai dengan kewenangannya. Pasal 196 Sanksi administratif. terhadap pelanggaran Pernantaatrrn Ruang dikenakan berdasarkan kriteria:

    354. besar atau kecilnya dampak yang ditiinbulkan akibat p'elanggaran Pemanfaatan Ruang:

    355. nilai nranfaat pengenaan' sarrksi yang diberikan terhadap Pemanfaatan Ruang; dan/atau

    356. kerr: gian publik yang ditimbuikan akibat pelanggaran Pemanfaatan Ruang. Pasal 197 Pengenaan sanksi adrninistr'atif sebagaimana dinr: aksud rlalam Pasal 195 dilaksanakan melalui tahapan:

    357. pelaksanaaninventarisasikasu b. ppngumpulan dan pendalaman matei'i, data, dan inforneasi;

    358. pen)'Lrsurran kajian teknis dan kajian hukum;

    359. penecapan tindakan sanksi;

    360. penyelenggtrreranforrtrr, sosialisasi; dan

    361. pengenaansanksi.admi; ristratif. Pasal 198 (1) Perirrgatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasat 195 ayat (1) huruf a dilakukan melalui penerbitan surat peringatan tertulis dari pejabat yang berwenang. (2) Surat peringatan te: 'tulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

    362. rincian pelanggaran dalam Penataan Ruang;

    363. kewajiban untuk menyesuaikan kegiatan Pemanfaatan Ruang Cengan RTI( dan ketentuan tei<nis Pemanfaatan Ruangi dan c. tindakan pengcnaan sanksi yffig akan diberikan apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana djmaksud pada huruf b. (3) Surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) diberika4 paling banyak 3 (tiga) kali. (4) Dalam hal surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diabaikan, pejaba+" yang berwenang melakukan tinCakan berupa pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1) huruf b sampai deiigan huruf i sesuai dengan l<ewenangannya. Pasal 199 (1) Denda administratif sebagaimana dimaksud . dalam Pasal 195 ai'+t (1) huruf b dapat dikerrakarr secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi adrninistratlf lainnya. (2) Penghitungan clerrda administratif sebagaimana dipaksuci pada ayat (1) dilakukan dengan rnernpertimbangkan: €i. nilai ^jual objek pajak;

    364. luas lahan dan luas bangunan;

    365. indeks kawasan; dan/atau

      (3)

      Denda administratif dapat berupa denda progresif yaflg disyaratkan sampai pelanggar memenuhi ketentuan dalam sanksi administratif lainnya. (4) Bentuk dan cara penghitungan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur lebih lanjut dalam peraturar: kepala daerah. Pasal 2OO Pencabutan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan F{uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1) huruf f dilakukan clalam hal pelaksarlaan kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak sesuai dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Pasal 201 Pembatalan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Rr"rang sebagaimana dinraksud dalam Pa.sal 195 ayat (l) huruf g dilakukan dalam hal Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak diperoletr dengan prosed.ur yang benar.

      (1)

      {2) (3) Pasal 2O2 Pemulihan fungsi mang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1) huruf i rnerupa-kan upaya untuk merehabilitasi ruang agar da.pat kembali sesuai dengan fungsi yarrg ditetapkan clalam RTR. Pemulihan furigsi ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) '*djib dilakukan apabila terbuL't-i adanya perubahan fungsi ruang yang diakibatkan oleh Pemanfaatan Rub.n6 yang tidak sesuai dengan RTR. Pemulihan fungsi ruang set,agaimarra dimaksud pada ayat (4 menjadi tanggung jawab pihak yang melangga.r. Biaya pemulihan fungsi rang sebagaimana dim,aksud pada ayat (3) dapat herasal dari denda administratif.

      (4)
      (5)

      Dalam hal pihak yang melangar dinilai tidak mampu membiayai kegiatan pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah R.rsat atau Pemerintah Daerah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh Pemerintah Rrsat atau Pemerintah Daerah dengan pengenaan disinsentif pada pihak yang melanggar. Pasal 203 (1) Pemerintah Pusat, Pernerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota menyediakan ' basis data pengenaan sanksi administratif sebagai bagian dari pengembangan basis data dan informasi digital bidang Penataan Ruang. (21 Basis data dan informasi digital bidang Penataan Ruang sebagaimana dimahsud pada a],at (1) digunakan sebagai salah satu acuan dalam proses peninjauan kembali dan/atau revisi RTR. Pasal 204 (1) Revisi RTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (21 huruf b tidak dimaksudkan untuk pemutihan. (21 Pemutihan sebagaimana dimaksud ^.pada ayat (1) mer-upakan tindakan mengakcnrodasi pelanggaran Pemanfaatan Ruang dalam revisi RTR tanpa terlebih dahulu mengenakan san'ksi. kepada pelaku pelanggaran Pemanfaatan Ruang. (3) Dalam hal Pemerintah Daerah terbukti melakukan pemutihan sebagaimana dimaksud p.ada ayat (1), maka dilakukan pengrlrangan dana alokasi khusus. Pasal 2O5 Kete n lebih lanjut mengenai. tata cara pengenaan sa.nksr adrninistratif bidang Penataa.-r ltuang cliatur dengan Peraturan Menteri dan peraturan ^'menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelaucar, sesuai dengan kewenangd.irnya. Bagian Keenam Sengketa Penataau Ruang Pasal 206 (1) Sengketa Penataan Ruang merupakan perselisihan antarpemangku kepentingan dalam Pelaksanaan Penataan Ruang. i2l ^Antarpemangku kepentingan ^sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) yhitu antarorang perseorangan, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah L)aeralr, antarPemerintah Dierah, antara Pemerintah hrsat dan/atau Pemerintah Daerah dan Masyarakat. (3) Penyelesaian sengketa Pena.taan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pacia tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip nlusyawarah untuk mufakat. l 207 (1) Dala penyelesa.'.an sengketa sebagairnarra dimaksud dalam Pasai 206 ayat (3) tidak ciipreroleh kesepakatan, paia ^^pihak dapat menempuh' upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar perrgadilan sesuai dengan . ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyeiesaran sengketa Penataan Ruang di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui negosiasi, mediasi, danf atau konsiliasi. (3) Negosiasi sel: agaimana dimaksud pada. ayat (2) merupakan upaya penyilesaian sengketa ^.antarkedua belah pihak yang bersengketa. (4) I{qdiasi sebagairrrana dimaksud p yat (21 merupaka: r upaya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai mediator yang [rengoordinasikan pihak yang bersengketa.

      (5)

      Konsiliasi (5) Konsiliasi sebagaimana dimaksud pada eryat (2) merupakan upaya penyelesaian sengketa yarrg melibatkan pihak ketiga untuk menawarkan solusi untuk disepakati oreh pihak yang bersengketa. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa Penataan Ruang dia.tur dengan Peraturan Menteri.

      Pasal 208

      Dalam hal sengketa Penataan Ruang terjadi akibat adanyh perbedaan kebijakan pengaturan anrhrtingka.tdn pemerintah, para Pemangku Kepentingan daprrt mengajukan fasilitasi' penyelesaian kepada Forum Penataan Ruang. BAB V PENGAWASAN PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Umurn


      Pasal 209

      Pengawasan Penataan Ruang diselenggarakan untuk:


    366. menjamin tercapainya tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang;

    367. menjamin terlaksana_nya penegakan hukrtm bidang Penataan Ruang; dan

    368. meningkatkan kuaiitas Penyelenggaraan ^penataan Ruang. Pasal 210 (1) Pengawasan Perrataan Ruang tercliri atas kegia.tan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. (21 Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengamatan terhadap Penyelenggaraan Penataan Ruang secara langsung, tidak langsung, dan/atau berdasarliarr informasi dari Masyarakat. (3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan penilaian terhadap tingkat pencapaian Penyelenggaraan Penataan Ruang secara terukur dan cbjektif. (4) Pelaporan sebagaimana dimaksud p.rda ayat (1') merupakan kegiatan penyampaian hasil evaluasi. Pasal 211 Pengawasan lPenataan Ruang sebagairnhna dimaksud dalam Pasal 210 dilakukan ser: ara berkala setiap 2 (dua) tahun sejak RTR ditetapkan. Bagian Ked.ra Lingkup Pengawasan Penataan Ruang Pasal 212 (1) Pengawasan Penataan Ruang dilakr-rkan terhadap kinerja: .a. Pengaturan Penataa: r Rr: ant, Pembinaan Penataan Ruang, dan Pelaksanaan Penataan Ruang;

    369. fungsi dan m'anfaat Penyelenggaraan Penataan Ruang; dan

      (2)

      Pengawasan (2) Pengawasan Penataan Ruang Laut dilakukan terhadap Pemanfaatan Ruang Laut. Pasal 2 13 (1) Standar pelayanan bidang Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayac (1) huruf c meliputi aspek:

    370. PerencanaanTataRuang;

    371. Pemanfaatan Ruang; dan

    372. Pengendalian Pemanfaatan Ruang. (21 Standar pelayanan bidang Penataan Ruang dalam aspek Perencanaan Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit mencakup Konsultasi Publik dalam penJrusunan RTR dan proses persetujuan substansi. (3) Standar pelayanan bidang Penataa.an Ruang dalam aspek Pemanfaatan Ruang, sebagairrrana dirrraksud pada ayac (1) huruf b paling sedikit mencakup: penyediaan dan penyebarluasan informasi RTR; Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang; dan pemenuhan ruang terbuka hijau publik. (4) Standar pelayanan bidang Penataan Ruang dalam aspek Pengendaliari Penranfaatan Ruang.sbbagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling seqikit mencaktrp pt: ngaduan pelanggaran Pernanfaa.tan Ruang. Pasal 214 (1) Stanciar pelayanan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dala.m Pasal ^'212 ayat (1) hur'-ri' c mencakup standar ^'pelayanan bidang Penataan Ruang provinsi dan standar pelayanan bidang Penataan Ruar: g kabupaten/kota. ^- (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pela an bidang Penataan Ruang diatur dengan'Peraturan Menteri.

    373. b.

    374. Pasal 215 (1) Standar teknis Penataan Ruang Kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (1) huruf c merupakan ketentuan teknis yang menunjukkar. perwujudan kinerja fungsi suatu Kawasan yang sesuai peruntukan. (2) Standar teknis Penataan Ruang Kaw-asan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ketentuan spasial dalam pengembangan kegiatan sektor di suatu Kawasan. (3) Kinerja fungsi suatu Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan kondisi yang diinginkan atau dituju dalam pengbmbangan Kawasan. (4) Standar texnis Penataan Ruang Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk daft-ar periksa. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar teknis Penataan Ruang Kanvasan diatar dengan Peraturan I{enteri. Pasal 216 (1) Menteri, menteri yang. menyelenggarakan urusan. pemerintahan di bidang kelautan, gubernur, dan bupati/wali kota melakukan Pengawasan Penataan Ruang sesuai dengan kewenangannya. (2\ Menteri dan menteri yang men5; clenggarakan urusan pemerintalran di bidang kelautan sesuai dengan kewenangannya melakukan Pengawasan Penataan Ruang terhadap kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 yang dilakukan oleh gubernur.

      (3)

      Gubernur melakukan Pengawasan Penataan Ruang terhadap kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 yang dilakukan oleh bupati/wali kota. (4) Dalam hal gubernur tidak melakukan Pengawasan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan sesuai dengan kewenangannya dapat mengambil alih Pengawasan Penataan Ruang yang tidak diiakukan oleh gubernur. (5) Terhadap gubernur yang tidak melakukan Pengawasan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (41, Menteri dan menteri yang menyelenggarakan uru.san pemerintahan di bidang kelautan dapat mengc: irakan sanksi sesua.i dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 2lT (1) Dalam melaksanakan Pengawasan Penataan Ruang, Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota dapat rrrerrrbentuk inspektur pembangunan sesuai dengan kewenangannya. (21 Inspektur pembangunan sebagairnana dirnaksud pada ayat (1) terdin atas aparatur sipil r,egara dan non-aparatur sipil negara. (3) Dalam melaksanakan Pengawasan Penataan Ruang Lamt, menteri yang menyelenggarakan urusan 1: emerintahan ^cli bidang kelautan dapat ^rnembentuk pengawas kelautan. (41 Inspektur pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengawas kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang:

    375. melakukan pemantauan dan evaluasi Pemanfaatan Ruang atau Pemanfaatan Ruang Laut;

    376. meminta keterangan;

    377. membuat salinan dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan;

    378. memasuki tempat atau lokasi tertentu;

    379. memotret;

    380. membuat rekaman audio visual;

    381. memeriksa bangunan beserta prasarana dan sarana pendukungnya;

    382. menghentikan pelanggaran tertentu; dan

    383. melakukan tindakan lain yang diperlukan. (5) Dalam melaksanakan tugasnya, inspektur pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengawas kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berkoordinasi dengan penyidik pegawai negeri sipil. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai inspektur pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawas kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan.

      Pasal 218

      Pelaksanaan Pehgawasan Penataan Ruang di kawasan pesisir sebagai kawasan peralihan antara darat dan laut dilai<ukan secara terpadu oleh Menteri, rnenteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah.an cli bidang kelautan, dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan terkait lainnya. Pasal 219 (1) Masyarakat dapat membantu Pemerintah h.rsat atau Pemerintah Daerah dalam melakukan Perrgawasarr Penataan Ruang. (2). . Dalam rangka meningkalkan efekti'ritas Pengawasan Penataan- Ruang yang dilakukan pleh Masyarakat, Pemerintah hrsat atau Pemerintah Daerah , menyeCiakan sarana penyampaian laporan dan/atau aduan. Bagian Ketiga Tata Cara Pengawasan Khusus Penataan Ruang Pasal 22O (l) Dalam hal terdapat kondisi khusirs dari hasil Pengawasan Penataan Ruang dan/atau laporan atau adrrau. Masyarakat yang .bcrsifal mendesak untuk ditindaklanjuti, dilakukan pengawaszrn khusus Penataan Ruang. l2l ^Pengawasan ^khusus ^sebagaimana dimaksrrd ^pada ayat (1) meliputi kegiatan:


    384. merekonstruksi terjadinya kondisi khusus;

    385. menganalisis clampak dan prediksi; dan

    386. memlnuskan alternatif penyelesaian kondisi khrrSus. Pasal 22 1 (1) Pengawasan Penataan Ruang menghasilkan laporan yang memuat:

    387. kinerja Per4relenggaraan Penataan Ruang bernilai baik;

    388. kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang bernilai sedang; dan

    389. kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang bernilai buruk. (2) Terhadap kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang bernilai baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat cliberikan penghargaan.. (3) I'crhadap kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang yang bernilai sedang dan buruk sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) hu: -uf b dan huruf c, dapat diberikan dukungan peningkatan kinerja Penyelenggaraan Penat-aan Ruang dan Pembinaan Penataan Ruang. Pasal 222 (1) Kgtentuan lebih lanjr; 1 , neengenai cara Pengawarsan Penataan Rua.rg Ciatur dengan Peraturan Menteri. (21 Ketentuan lebih lan cara Pengawasan Penataan. Ruang Laut diatur dengan peraturan menf-eri ]&rrg menyelenggarakan urusan pemerintaharr di bidang kelautan. BAB VI PEMBINAAN PENAT,\AN RUANG Bagian Kesatu Umum

      Pasal 223

      Pembinaan Penataan Ruang diselenggara.kan melalui:


    390. peningkatan kualitas dan efektifitas Penyelenggaraan Penataan Ruang; dan

    391. peningkatan p.t.t Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pasal 224 (1) Pemerintah Pusat melakukan Pernbinaan Penataan Ruang kepada Pernerintatr Daeratr pt'ovinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/ liota, dan Masyarakat. (21 Pemerintah Pusat melakukan pembinaan teknis dalam kegiatan Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan/atau Pengawasan Penataan Ruang kepada Pemerintah Daerah. (3) Pemerinta-h Pusat memberikan bantuan teknis dalam kegiatan Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, Pengendalian Pemanfaatan' Ruang dan/atau Pengawasan Penataan Ruang kepada Pemerintah Dd.erah. (4) Pemerintah Daerah provinsi melakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah kabupate; r/kota dan Masyarakat.

      (5)

      Pemerintah Daerah kabupaterr/kota melakukan pembinaan kepada Masyarakat. (6) Masyarakat berperan aktif dalam pelaksanaan Pembinaan Penataan Ruang untuk mencapai tujuan Pembinaan Penataan Ruang. Pasal 225 (1) Pembinaan Penataan Ruang diselerrggarakan secara sinergis oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat.

      1. ^Pembinaan Penataan ^Ruang dapat diselenggaralian dengan kerja sama antara:

    392. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan

    393. Pemerintah Pusat dan/atau Perirerintah Daerah darr Masyarakat. Bagian Kedua Bentuk dan Tata Cara Pembinaan Penataan Ruang Pasal 226 (1) Bentuk Pembinaan Penataan Ruang melip a. krtordinasiPenyelenggaraanPenartaanRuang;

    394. sosiaiisasi peraturan pe.-uirdang-undangan dan pedoman bidang Penataan Rlrang;

    395. pemberian bimbingaT, supervisi, dan konsultasi Pelaksanaan Penataan Ruang;

    396. pendidika.n dan pelatihan;

    397. penelitian, kajian, dan pengembangan;

    398. pengembangan sistem informasi dan komunikasi Penataan Ruang;

    399. penyebarluasan informasi Petrataan Ruang kepada Masyarakat;

    400. peningkatan pemahaman dan tanggung ^jawab Masyarakat; dan/atau

    401. pengembangan profesi perencana Tata Ruang. (2) Pelaksanaan Pembinaan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf h dilakukan secara sinergis oleh Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan, gubernur, bupati, wali kota sesuai dengan kewenangannya, dan Masyarakat. (3) Pelaksana.an pengembangan profesi perencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) huruf i dilerkukan oleh Menteri. Pasal 227 (1) Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat ^(1) huruf a merupakan upaya untuk meningka.tkan kerja sama antarpemangku kepentingan dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang (2) Koordir..asi Penyelenggaraan Penataan Ruang dilakukan melalui koordinasi dalarn satu wilayah adrninistrasi, koordinasi antarCacrah, dan koordinasi antartingkatan pdmeri: itahan.

      (3)

      Koor.lir: asi (3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui fungsi koordinasi dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan fungsi koordinasi dalanr Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri dan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemeriirtahan di bidang kelautan sesuai dengan ke'rerrangannya. Pasal 228 (1) Sosialisasi peraturarr perundang-undangan 4a, pedoman bida,rg Perfitaan Ruang sebagaimand dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) huruf b merupakan upaya penyampaian secara icrteraktif substansi peraturan perundang-undangan dan pedoma.n bidang Penataan Ruang. (2) Sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman bidang Penataan Ruang sebagairnana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui tatap muka, media elektronik, media cetak, dan media lainnya.

      Pasal 229

      Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi Pelaksanaari Penataan Ruang sebagaimr.na dimaksud dalanr Pasal 226 ayat (1) huruf'c merupakan upaya untuk mendampingi, mengawasi, dan menrberikan penjelasan kepada Pemangku Kepentingan dalam Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Pasal 230 (1) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) huruf d merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang. (2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melaiui:


    402. penyusunan program pendidikan dan pelatihan bidang Penataan Ruang sesuai dengan kebutuhan Pemangku Kepentingan yang menjadi sasaran pembinaan;

    403. penyelenggaraan dan lasilitasi kerja sama pendidikan dan pelatihan bidang Penataan Ruang;

    404. penerapa.n sistem sertifikasi dalam penyelenggaraan dan fasilitasi pendidikan dan pelatihan dalam bidang Penataan Ruang; dan

    405. evaluasi hasil pendidikan dan pelatihan hidang Penataan Ru'ang. (3) Ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan sebagairrrana dimaksud pada ayat (21 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri dan peraturan ment6ri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan sesuai dengan kewenangannya. Pasal 231 (1) Peaelitian, kajian, dan pengembangan sebagaimana dimakstrd dalam Pasal 226 ayat (1) huruf e merupakan upaya pengembangan ihnu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan inovasi atau penemuan baru dalam bidang,Penataan Ruang. - L5'7 - (2) Hasil penelitian, kajian, dan pengembaugan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dimanfaatkan dalam perumusan kebijakan dan s*.rategi, norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang Penataan Ruang, serta pemanfaatan lairr yang relevan. Pasal 232 (1) Pengembangan sistem informasi dan komunikasi Penataan Ruarig sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) hurr.rf f merupakan upaya untuk mengembangkan sistem informasi dF komunikasi Penataan Ruang yang berkualitas, mutakhir, efisien, dan terpadu. (21 Pengembangan sistem informasi dan komunikasi Penataan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dilaksanakan melahri penyediaan basis data dan informasi bidang Penataan Ruang. dengan mengembangkan ^jaringa-n sistem elektronik. Pasal 233 (1) Penyebarluasan informasi Perrataan Ruang kepada Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) huruf g merrrpakan upaya untuk mempublikasikan berbagai aspek dalain Penataan Ruang. (2) Penyebarluasan au Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksa-nakan melalui media elektronik dan media ce': ak yang mudah dij angl-.au oleh Masyara!<at. Pasal 234 (1) Peningkatan pemahaman dan tanggung ^jawab Masyarakat sebagaimana dimaksud da.lam ^Pasal ^226 ayat (1) huruf h men rpakan upaya untuk menumbuhkan dan meningkatl<an ^pemahaman ^dan tanggung ^jawab Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang. (21 Peningkatan pemahaman dan tanggung ^jawab Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dilaksanakan melalui:

    406. penyuluhan bidang Penataan Ruang;

    407. pemberian cerarnah, diskusi urnum, sayembara, dan debat publik;

    408. . pembentukan kelompok Masyarakat ^peduli ^Tata Ruang;

    409. penyediaan unit pengaduan; dan

    410. penyediaan media informasi. Bagian Ketiga Pengembangan Profesi Perencana Ta.ta Ruang Pasal 235 (1) Pengembangan profesi perencana Tata Rttang sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 226 ayat ^(1) huruf i dilakukan ttntuk mendukung ^peningkatan kualitas dan el'ektivitas Penyelenggaraarr ^Penataan Ruang serta peningkatan peran Masyarakat ^dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang.

      (2)

      Pengembangarl prcfesi perencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri melalui:

    411. pernbinaan ^jabatan fungsiona! bidang Penataan Ruang bagi aparatur sipil negara; dctn b. pengembangan tenaga profesional perencana Tata Ruang. Pasal 235 (1) Pembinaan jabatan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undarrgan (2) Pengembangan tenaga profesional perencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (21huruf b dilakukan melalui:

    412. pendidikan profesi;

    413. pengembangan kcprofesian berkelanjutan;

    414. sertifikasi kompetensi ahli bidang Penataan Ruang; dan

    415. pemberian lisensi perencana Takr Ruang. (3) Pendidikan profesi sebagaimana <iimaksud pada ayat (2) huruf a diselenggarakan'oleh lembaga pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (4) Pengembangan keprofesian berkelanjutan sebagaimana rlimaksud pada ayat (2\ huruf b diselenggarakar, cleh organisasi profesi perencana wilayah dan kota {5) Sertifikasi kompetensi ahli bidang Penettaan Rua.ng sebagaimana- dimaksud pada ayat (21 huruf c diselenggarakan berdasarkan standar kompetensi dan prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Pemberian lisensi perencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diselenggarakan oleh Menteri. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur darr tata ' cara pemberian lisensi perencana Tata Ruang sebagaimand. di,naksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII KELEMBAGAAN PENATAAN RTJANG Pasal 237 (1) Dalam rangka. Penl'elenggaraan Penataan .Ruang secara partisipatif, Merrteri dapat membentuk Forum Penataan Ruang. (21 Forum Penataan Ruang sebagairnana dimaksud pada avat (1) bertugas untuk memberikan masukan dan pertimbangan dalam Pelaksanaan Penataan Ruang. (3) Menleri dapat mendelegasikan pembentukan Forum Penataan Ruang di daerah kepacia gubernur, bupati, dan/atau wali kota. Pasrl 238 (1) Anggota Forrrm Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (l) di pusat terdiri atas perwakrlan dari kementerian/lembaga terkait Penataan Ruang, asosiasi profesi, asosiasi akademisi, dan tokotr Masyarakat. (21 Anggota Forum Penataan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (1) di daerah terdiri atas perangkat daerah, asosiasi profesi, asosiasi akacemisi, dan tokoh Nlasyarakat. (3) Keanggotaan forum di pusat dan daerah yarrg terdiri atas asosiasi profesi, abcsiasi akademisi, dan tokoh Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diattrr dalam'Peraturan Menteri. Pasal 239 Ketentuan lebih lanjut terkait pembentukan, susunan keanggotaan, tugas, fungsi, dan tata ^'kerja Forum Penataan Ruang diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII KETENTUAN IAIN-LAIN Pasal 240 (1) Menteri clan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan melakukan pengelolaan data lokasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sesuai rlen gan I: ewenangannya.

      (2)

      Ketentuan (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai peirgelolaan data lokasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayet (1) diatur dengan Peraturan Menteri dan peraturan menteri yang rnenyelenggarakan rlrusan pemerintahan di bidang kelautan sesuai dengan kewenangannya. Pasal 24I (1) Terhadap, penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dikeuakan penerimaan negara bukan pajak. (21 Ketentuan mengenai jenis, taril dan kriteria pengenaan penerimaan negara bukan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 242 (1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat mengajukan usulan kegiatarr Pemanfaatan Ruang yang dibatasi perkembangannya kepada Menteri dengan disertai pertimbangannya, (2) Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dibatasi perkembangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

    416. dapat mengakibatkan kerusakan lingkurrgan hidup; dan/atau

    417. dapat menimbulkan kerawanan sosial. (3) Berdasarkan usulan kr>giatarr yang dibatasi perkembangannya sebagairnana'' dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)1, Menteri <lapat menetapkan kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dibatasi perkembangallnya di claerah kabupaten/ kota.

      (4)

      Menteri menyampaikan penetapan kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepada instansi ^yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal. (5) Menteri dapat merevisi daftar kegiatan yang dibatasi perkembangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan pertimbangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Pasal 243 (1) Dalam hal pelaksanaan kegiatan Perrranfaatan Ruang mengakibatkan kemsakan lingkungan hidup dan/atau menimbulkan kerawanan sosial, Menteri dapat rnernbatalkan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan/atau menertibkan kegiatan Pemanfaatan Ruang. (21 Gubernur, bupati, dan wali kota sesuai dengan kewenangannya dapat membatalkan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang danl atau menertibkan kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan ^persetujuan Menteri. Pasal 244 Dalam hal Peraturan'Pemerintah ini memberikan ^pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak ^jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintaha,r di bidang Penyelenggaraan Penataan Ruang. BAB IX KETET.I'IUAN PERALIHAN

      Pasal 245

      Terhadap dokumen Perencanaan Ruang pengintegrasian ke cialam RTR dilakttkan ketentuan:


    418. Laut, dengan a. RTRL diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

    419. RZWP-3-K diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang wilayah provinsi;

    420. RZ I(SN diintegrasikan ke dalam RTR KSN; dan

    421. RZ KSNT yang berupa PPKT diintegrasikan ke dalam RTR KSN dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan negara. Pasal 246 (l) Pada saat Peraturan Pemerintahini mrrlai berlaicu: rencana tata ruang Kawasan Strategis Provinsi yarrg telah ditetapkan dengan peraturan daerah, diintegrasikan ke dalanr rencana tata ruang wilayah provinsi; rencana ^'tata nrang Kawasan Strategrs Kabupaten/Kota yang telah ditetapkarr dengan peraturan daerah, diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang wilayah kabupar-enlkota dan/atau RDTR kabupaten,/kota: b c pen]rusunan atau penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten, dan rencana tata ruang wilayah kota yang sedang dalam proses, dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini; pen5rusunan atau penetapan RDTR kabupaten/kota yang sedang dalam proses, dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini; RDTR kabupaten/kota yang telah ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah kabupaten/kota setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja dan sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku; persetujuan substansi terhadap rancangan peraturan daerah tentang RDTR kabupatenlkota yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap berlaku dan ditindaklanjuti dengan penetapan peraturan kepala daerah tentang RDTR kabupaten I kota; pen5rusunan atau penetapan RTR KSN yang sedang dalam proses penetapan, dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini; izin kegiatan untuk memanfaatkan ruang Laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya izin dan dianggap sebagai Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut; dan d e f. o b h i. tim koordinasi penataan ruang da,erah yang dibentuk oleh gubernur/bupati/wali kota tetap melaksanakan tugas, fungsi, dan wervenangnya sampai dengan keanggotaan Forum Penataan Ruang di daerah dibentuk dan ditetapkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pernerintah ini. (2) RDTR kabupaten/kota yang telah mendapat persetujuan substansi dari I{enteri namun dalam jangka waktu palirrg lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Peraturan Pegnerintah ini mulai berlaku belurrr ditetapkan menjadi perattrran bupati/wali kota, ditetapkan dengan Peraturan Menteri sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah ini. (3) Rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota yang telah mendapat persetujuan substansi dari Menteri namun dalam jangka waktu paling lama 2 (duaU bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku belum ditetapkan menjadi peraturan daerah kabrrpa ten I kota dan 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku belum ditetapkan menjadi peraturan daerah oleh bupati/wali kota, . ^ditetapkan dengan Peraturan ^Menteri ^sesuai ketentuan Peraturan Pemerrintah ini. (4) Rancangan RZ KSN yang telah selesai atau sedang dalam proses harmonisasi diintegrasikan ke dalam RTR KSN paling lama 2 (dua) tahtrn terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku.

      (5)

      RZ KSNT yang berupa PPKT yang telah ditetapkarr dan/atau yang sudah mendapatkan win prakarsa diintegrasikan ke dalam RTR KSN dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan di karversan perbatasan negara paling lama 2 (dua) tatrun terhitrrng sejak Peraturan Pemerirrtah ini mulai berlaku. (6) PZWP-3-K yang sedang dalam proses penetapan, dirntegrasikan dalam revisi rencana . tata. ruang wilayah provinsi paling lama 18 (delapan bela-s) brrla.n terhitung sejak Perattrran Pemerintah . ini rnul.ai berlaku. Pasal 247

      (1)

      Pada saai Peraturan Pemerintah ini rnulai berlaku, persetujuan substansi terhadap raneanlan peraturan daerah tentang rencana tata rualrg wilayah prorrinsi yang cliterbitkan sebehrm berlakunya Peraturrin Pemerintah : ni ctitinc{aklanjuti dengan irrtegrasi rancangan perat'-rran daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dengan peraturan daerah atau rarrcangan peraturan daerah tentr^ng R7,WP-3-K. (21 Peraturan daerah provinsi tentang l'encana tata n.ang u-iiaya.h provinsi sebagaimana dirnaksud pada ayat ^(1) ditetapkan dalam u'aktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak diselesaikannya proses integrasi sebagaimana dinraksuC pada ayat (1).

      (3)

      Dalam hal ranc€rngan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata nrarlg wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 belum ditetapkan, gubernur menetapkan rancangarr peraturan daerat^ tcntang rencana tata nrang u'ilayah provinsi paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diselesaikannya proses integ,: asi sebagaimana dimaksu<i pada ayat (1). (4) Dalam hal rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi belum ditetapkan oleh gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) , maka dalam waktu pali,rg lama 4 (empat) bulan terhitung sejak diselesaikanny4 proses integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Menteri sesua.i dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. : Pasal 248 (1) Pada saat Peraturan Pemeiintah mulai berlaku, penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut diberikan berdase{.rkan RTRL, RZ KSNT di PPI{[, dan/atau RZWP-3-I( yang telah ditetapkan sephnjang belum diintegrasikan dengan RTR. (2) Dalam hal terdalra'- perbedaaan antara tuis Kawasan Konservasi di Laut yang dimuat dalam RTRL, RZ KAW , W, KSNT, dan/ata'rr 1'RZWP-.1-K sebagaimarra dimaksuci pada ayat (1) dengatr hras yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelauta.n, maka yang berlaku adalah yang ditetapkan oleh meqteri ya1: g rnenyelenggarakan urusan pemerintahan di bidarrg kelautan. Pasal 249 (1) Dalam hal L,embaga OSS belum dapat melaksanakan pelayanan penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang melalui sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini, pelayanan penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Perizinan Berusaha dilaksanakan secara non-elektronik oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pen-erintahan di bidang kelautan sesuai kewenangan: 1ya. (21 Pelayanan penerbitan Kesesua.ian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1.), dilaksanakan sampai dengan ditetapkannya pengalihan pengelolaan penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang ke Lembaga OSS berclasarkan Keputusan Menteri dan keputusan menteri yang menyelenpgarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan sesuai kewenangannya d; tlam jangka wakttt paling lama 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. ;

      (3)

      Dalam hal sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusarl pemerintahan di bidang kelautan belum dapat melaksanakan pelayanan penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemantaatan Ruang untuk kegiatarr nonberusaha sebagaimana dimaksrd ^. dalam Peraturan Pemerintah' ini, pelayanan penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha dilaksanakan secara non-elektronik oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusarr pemerintahan di bidang kelautan sesuai kewenangilnnya dalam ^jangka waktu paling lama 24 (dua ptr.hth ernpat) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerinte.h iiri. Pasal 25O Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, kegiatan dan/atau ketentuan Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang, serta penertiban Pemanfaatan Ruang yang masih dalam proses teknis dan/atau proses legalisasi ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP

      Pasal 251

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2OlO tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 252 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    422. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OlO Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);

    423. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2OlO tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OlO Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5151); dan

    424. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol3 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5393), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - l7l - Pasal 253 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Rencana Tata Ruang Laut yang disusun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2Ol9 tentang Rencana Tata Ruang Laut diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pada saat revisi Peraturan Pemerintah tentang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2Ol7 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pasal 254 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

  123. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol7 Nomor 77, Tarnbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6042); dan

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol9 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6345), dinyatakan masih tetap berlaku. Pasal 255 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2l JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2l MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2O2I NOMOR 31 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2O2I TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG I. UMUM Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja yang mengubah sebagian muatan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2OO7 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tal: run 2OO7 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2Ol4 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Talrun 2OO7 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2Ol4 tentang Kelautan, merupakan landasan hukum Penyelenggaraan Penataan Ruang secara nasional, yang perlu disinergikan melalui pembentukan peraturan pelaksanaan sebagai landasan operasional dalam mengimplementasikan ketentuan Undang-Undang tersebut. Peraturan pelaksanaan dimaksud meliputi aspek-aspek dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang yang perlu diatur dalam bentuk peraturan pemerintah. Penyelenggaraan Penataan Ruang dimaksudkan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan yang termanifestasi dalam pen5rusunan Rencana Tata Ruang, pemaduserasian antara Struktur Ruang dan Pola Ruang, penyelarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, perwujudan keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta penciptaan kondisi peraturan perundang-undangan bidang Penataan Ruang yang mendukung iklim investasi dan kemudahan berusaha. Pengaturan mengenai Penyelenggaraan Penataan Ruang didasarkan pada pertimbangan kondisi keragaman geografis, sosial budaya, potensi sumber daya alam, dan peluang pengembangan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang, antara lain, dipengaruhi oleh:
    1. letak Negara Kesatuan Repubhk InConesia berada pacl.a kawa.san cepat berkembang @acific o@an i,m dan indian ocean fin) yarrg menuntut perlu didorongnya daya saing ekonomi dalam tatanan ekonomi global;

    2. letak Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik yang mengakibatkan rawan bencana geologi sehinggia menuntut pertimbangan aspek mitigasi bencana;

    3. intensitas kegiatan Pemanfaatan Ruang terkait eksploitasi sumber daya alam yang semakin meningkat dan berpotensi mengancam kelestarian lingkungan hiduir, ternrAstrk peningkatan ^rpemanasau global; dan

    4. penurunan kualitas permukiman dan lingkungan hidup, peningkatan alih fungsi lahan yang tidak terkendali, dan peningkatan kesenjangan antar dan di dalam wilayah. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur beq'bagai ketentuan terkait Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, Pe; rgencialian Pemanfaatan Ruang, Pengawasan Penata-an Ruang, Pembinaan penataan Ruang, dan kelembagaan Penataan Ruang. oleh sebab itu, untu.k mewujudkan pengaturan mengenai Penyelenggaraan Penataan Ruang yang lebih komprehensif serta dapat diterapkarr secara efektif dan efisien, Peraturan Pemerintah ini memuat:

    5. Perencanaan Tata Rr.rang yar.g rnengatur ketentuan inengenai pen]rusunan dan penetapan rencarla umum tata'r'uang dan rencana rinci tata ruang;

    6. Pemanfaatan Ruang yang mengatur ketentuarr Kesbsuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan ,-: inkronisasi program Pemanfa.atan Ruang;

    7. Pengendalian Pemaniaatan Ruang, yang mengatur. penilaian pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Penranfaatan Ruang, penilaian perwuiudan RTR, pemberian .insentif dan disinsentif, ^'pengenaan sanksi, dan penyelesaian sengketa Penaraan Ruang;

    8. Pengawasan Penataan Ruang, ya-: : g meliputi pemantauan^ evaluasi, dan pelaporan, yang merupakan rrpaya untuk menjaga kesesuaian Penyelenggaraan Penataan Ruang dengan ketentuan perattrran perundang-undangan, yang dilaksanakan baik oietr Pemerintah R.rsat, Pemerinlah Daerah, maupun Masyarakat; e Pembinaan Penataan Ruang yang mengatur tentang bentuk dan tata cara Pembinaan Penataan Ruang yang diselenggarakan secara sinergis oleh Pemerintah R.rsat, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat. Pembinaa.n Penataan Ruang m.encakup juga pengaturan mengenai pengembangan profesi perencana tata ruang untuk mendukung peningkatan kualitas dan efektivitas Penyelenggaraan Penataan Ruang; dan kelembagaan Penataan ltuang yang merrgatur mengenai bentuk, tugas, keanggotaan, darr tata kerja Forum Penataan Ruang. f II. PASAL DEMI PASAL

      Pasal 1

      Cukup ^jelas. Pasal 2 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Huruf c


      Pasal 3

      Cr.rkup; elas. Yang dimaksuC dengan "kepastian hukum" dalam Penvelenggaraan Penataan Ruang adalah penyelenggaraan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan Penataan Ruang ],arlEl dilakukan berdasarkan kepada ketentuan ^peraturan ^penur dang-undangan dan kaiciah trukurn yang berlaku. Yang dimaksud dengan "keadilan" dalam Pr: nyelenggaraan Penata.arr ^'Ruang adalah penyelenggaraan pengaturan, pembinaa: r, pelaksanaan, dan pengawasan Penataan Ruang dilaksarrakan sesua.i dengan ketentuan peratrrran perundang- undangan dehgan mempertimbangkan rasa keadilan Masyarakat, serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak. Sl( No 093689 A


      Pasal 4
      Pasal 4

      Cukup jelas.



      Pasal 5

      Culiarp ^jelas.


      Pasal 6

      Ayat (1) Perencanaan Tata Ruang pada dasarnya rneliputi tahapan yang terdiri atas tahap penyusunan materi RTR ya.rrg dide.sarkan pada kajian teknis dan kajian akademis, tahap pelibatan peran Masyarakat dalam pen5rusunan RTR sebagai upaya untuk mengakomodasi kebutuhan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penat-aan Ruang, serta tahap penetapan RTR. Ayat [21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasai 7 Cukup ^jelas.


      Pasal 8

      Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pemaniaatan Rrrang terdiri atas pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan pelaksanaan sinkronisasi program Pema.nfaatan Ruang. Pemanfaatan Ruang dituangkan dalam bentuk indikasi program utama. Pasal Pasal Pasal Pasal Periodisasi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan dalam RTR disesuaikan dengan periode rencana pembangunan jangka menengah. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. ^. 9 Cukup ^jelas. 10 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Wilayah ^yurisdiksi mencakup zon'd tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Ayat (3) Cukup ^jelas. 11 Cukup ^jelas. L2 Ayat (1) Huruf a Cui: up jelas. Sl( No 093691 A Huruf b Huruf b Pclibatan peran Masyarakat di tirigkat nasional dalam pen5rusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional anrara lain dilakukan melalui penjaringan opini publik, forum diskusi, dan Konsultasi Publik yang meliputi atau mewakili kondisi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (2) Hunrf a Cukup ^jelas. Huruf b Data lain yarig dapat dikumpulkan meliputi data fisiografis, data ekonorr^i dan keuangan, data ketersediaan pt'asarana dan sarana dasar, data penggunaan lahan, data peruntukan ruang, dan data terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Cukup ^jelas. Huruf c Huruf d Cukup ^jelas Angka 4 Data dan informasi kebencanaan yang dibutuhkan dalam proses pen5rusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional meliputi data dan informasi terkait bahaya dan risiko bencana, antara lain, peta kawasan rawan bencana gempa bumi, peta kawasan rawan bencana sesar aktil peta kawasan rawan bencana tsunami, peta kawasan rawan bencana letusan gunung api, dan peta kawasan rawan bencana banjir, serta peta kerentanan likuefaksi dan peta kerentanan gerakan tanah termasuk longsor. Angka 5 Cukup ^jelas. Angka 6 Cukup jelas Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Dalam analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis, dapat dilakukan analisis terhadap aspek dampak dan risiko lingkungan hidup, jasa ekosistem, pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim, dan/atau keanekaragaman hayati. Kajian terhadap aspek-aspek tersebut disesuaikan dengan lingkup dan karakteristik wilayah perencanaan, tujuan Perencanaan Tata Ruang, dan fokus perencanaan. Huruf e . Pasal Pasal Pasal Pasal Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (3) Menyikapi kondisi dalam hal peta rupabumi Indonesia belum tersedia, penyusunan peta dasar RTR dilakukan dengan menggunakan sumber peta lain sesuai dengan standar kartografis dengan mempergunakan kesamaan sistem referensi geospasial. Peta dasar lainnya yaitu peta yang tersedia dalam skala yang diperlukan. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. 13 Cukup ^jelas. l4 Cukup ^jelas. 15 Cukup ^jelas. T6 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jeIas. Huruf b Pelibatan peran Masyarakat di provinsi dalam pen5rusunan rencana tata ruang wilayah provinsi antara lain dilakukan melalui penjaringan opini publik, forum diskusi, dan Konsultasi Publik yang meliputi atau mewakili kondisi seluruh wilayah provinsi. Huruf c Huruf c Pelaksanaan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata rrang wilayah provinsi merupakan upaya untuk mengkomunikasikan muatan rencana tata ruang wilayah provinsi kepada Deu,an Perwakilan Ral5yat Daerah provinsi, serta secara paralel sebagai bentuk komunikasi kepada seluruh Pemangku Kepentingan. Frekuensi pelaksanaan pembahasan disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga Pemangku Kepentingan mendapatkan keseinp-atan untuk mengetahtd. honsep RTR serta memberikan masukan dan saran. Pemangku Kepentingan yang dilibatkan daiam pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi mencakup pula Pemerintah Daerah kabupateri/kota di v.'ilayahnya dan Pemerintah Daerah provinsi yang berbatasan. Ayat (2) Hurrf a Humf b Data lain yang dapat dikumpulkan meliputi data fisiografis, data ekonomi dan keuangan, data ketersediaan prasarana dan sarana dasar, data penggunaan lahan, data perunlukan r(ra.ng, dan data terkait daya dukung dan daya tampuhg lingkungan hidup. Angka i Cukup ^jelas. Angka 2 Cukup ^jelas. Angka 3 Angka 3 Data dan informasi bidang pertanahan yang dibutuhkan dalam proses pen5rusunan rencana tata ruang wilayah provinsi berupa, antara lain, data dan informasi penguasaan tanah, pemilikan tanah, penggunaan tanah, pemanlaatan tanah, dan permasalahan pertanahan yang dapat mempengaruhi efektivitas perwujudan rencana tata ruang wilayah provinsi. Angka 4 Data dan infornrasi kebencanaan yang dibutuhkan dalam prbses pen5rusunan rencarla tata ruarr! wilayah provinsi meliputi data dan informasi terkait bahaya dan risiko bencana, antara lain, peta kawasan rawan be: rcana gempa bumi, peta kawasan rawan bencana siesar aktif, peta kawasan rawan bencana tsunarni, p: ta kawasan rar6'an bencana letusan gunung api, dan peta kawasan rawan bencana banjir, serta peta kerentanan likuefaksi dan peta kerentanan gerakan tanah termasuk longsor. Angka 5 Cukup ^jelas. Angka 6 Cukup ^jelas. Huruf c Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Dalam kajian daya: dukung dan daya tampung lingkungan yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis, dapat dilakukan analisis terhadap aspek dampak dan risiko lingkungan hidup, jasa ekosistem, pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerer,tanan terhadap perubahan iklim, dan/atau keanekaragaman hayati. Kajian terhadap aspek-aspek tersebut disesuaikan dengan lingkup dan karakteristik wilayah perencanaair, tujuan Perencanaan Tata Ruang, dan fokus perencanaan. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (3) Menyikapi kondisi dalam hal Peta Rupabumi Indonesia belum tersedia, penyusunarl peta dasar Rl'R dilakukan dengan menggunakan sumbei: Fleta lain sesuai detrgatr standar kartografis dengan mempergunakan kesamaan sistem i'efererrsi geospasial. Peta dasar lainnya yaitu peta. yang tersedia dalam skala yang diperlukan. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


      Pasal 17

      Cukup ^jelas.


      Pasal 18

      Ayat (1) C.ukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup ^jelas. Huruf j Tanah dan air merupakan sumber ciaya yang sangat vital dalam pelaksanaan pembangunan. Perencanaan Tata Ruang perlu mempertimbangkan ketersediaan kedua sumber daya tersebut untuk lebih menjamin perwujudan RTR. Ketersediaan tanah dan sumber daya air dipertimbangkan dalam penlrusutran RTR dengan menggunakan data dan inforrrrasi yang tersedia pada saat penyusunan RTR, antara lain, neraca penatagunaan tanah dan neraca penatagunaan sumber daya air. Apabila data tersebut tidak tersedia, digunakan data dan informasi yang lainnya. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


      Pasal 19

      Ayat (1) Huruf a Cukup ielas. Huruf b Pelibatan peran Masyarakat di kabupaten dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten antara larn dilakukan melalui penjaringan opini publik, forrm diskusi, dan Konsultasi Publik ye.ng meliputi atau mewakili kondisi seluruh wilayah kabrrpaten. Huruf c Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pelaksanaan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten merupakan upaya untuk mengomunikasikan muatan rencana tata ruang wilayah kabupaten kepada Dewan Perwakilan Ralryat Daerah kabupaten, serta secara paralel sebagai bentuk komunikasi kepada seluruh Pemangku Kepentingan. Frekuensi pelaksanaan pembahasan disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga Pemangku Kepentingan mendapatkan kesempatan untuk mengetahui konsep RTR serta memberikan masukan dan saran. Pemangku Kepentingan yang dilibatkan dalam pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten mencakup pula Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang berbatasan. Data lain yang dapat dikumpulkan meliputi data fisiografis, data ekonomi dan keuangan, data ketersediaan prasarana dan sarana dasar, data penggunaan lahan, data peruntukan ruang, dan data terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Cukup ^jelas. Angka 3 Hurlf c Angka 3 Data da.r informasi bidang pertanahan yang dibutuhkan dalam proses penyusunan rencana tata ruang rvilayah kabupaten berupa, antara lain, data dan informasi penguasaan tanah, pemilikan tanah, penggunaan tanah, penranfaatan tanah, neraca penatagunaan tanah, dan permasalahan pertanahan yang dapat lnempengaruhi efektivitas perwujudan rencana tata ruang wilayah kabupaten. Angka 4 Data dan informasi kebencanaan yang dibutuhkhn dalam proses penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten meliputl data dan informasi terkait bahqya dan risiko bencana, anta.ra lairr, peta kawasan rawan bencana gempa bumi. peta kawasan rawarr bencana sesar aktif, peta kawasan rawan bencana_ tsunami, peta kawasan rawan bencana letusan gunung api, dan peta kawasan rawan bencerna banjir, serta peta kerentanan likuefaksi dan peta kerentanan gerakan tanah termasuk longsor. Angka 5 Cukup ^jelas. Angka 1 Culup ^jelas. Kajian terhadap aspek-aspek tersebut disesuaikan dengan lingkup dan karakteristik wilayah perencarraan, tujuan Perencanaarr Tata Ruang, dan fokus perencanaan. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (3) Menyikapi kondisi dalam hal Peta Rupabumi Indonesia belum tersedia, pen5rusunan peta dasar RTR dilakukan den5,gn menggunakan sumber peta lain sesuai dengan standar kartografis dengan mempergunakan kesamaan sistem referensi geospasial. Peta dasar lainnya yaitu peta yang tersedia dalam skala yang diperlukan. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


      Pasal 20

      Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup ^jelas. Huruf j Tanah'dan air merupakan surnber daya yang sangat vital dalam pelaksanaan pembangunan. Perencanaan Tata Ruang perlu inempertimbangkan ketersediaan keCua sumber daya tersebut untuk lebih menjamin perwujudan RTI?. Ketersediaan tanah dan sumber daya air dipertimbangkan dalam penJrusunan RTR dengan rnenggunakan dara dan informasi yang tersedia pada saat pen5rusunan RTR, antara lain, neraca penatagunaan tanah dan neraca penatagunaarl sumber daya air. Apabila data tersebut tidak tersedia, digunakan data dan informasi yang lainnya. Huruf Xruro ^jelas. Huruf 1 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat 14) Crrkup ^jelas. Ayat 15) Cukup ^jelas.


      Pasal 22

      Cukup ^jelas.


      Pasal 23

      Ayat (1) Huruf a " Cukup ^jelas. , ^Huruf ^b Pelibatan peran Masyarakat di kota dalam penJrusunan rencana tata ruang wilayah kota antara lain dilakukan mela.lui penjaringan opini publik, forum diskusi, dan Konsultasi hrblik yang meliputi atau mewakili kondisi seluruh wilayah kota. Huruf c Pelaksar.raan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kota merupakan upaya untuk mengkomurrikasikan muatan rencana tata ruang wilayah kabupateir kepada Dewan Perwakilan Ralryat Daerah kota, serta secara paralel sebagai bentuk komunikasi keperda seluruh Pemangku Kepentingan. Frekuensi pelaksanaan pembahasan disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga Pemangku Kepentingan mendapatkan kesempatan untuk mengetahui konsep RTR serta memberikan masukan dan saran. Pemangku Kepentingan yang dilibatka.n dalam pembahasan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kota mencakup pula Pemerintah Daerah kabupaten / kota yang berbatasan. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas Huruf b Data lain yang Capat dikumpulkan meliputi data fisiografis, data ekonomi dan keuangan, da; a ketersediaan pr'asarana dan sarana dasar, data penggunaan lahan, data peruntukan ruang, dan data terkait daya dukung dan daya tampung linglcungan hidup. Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Cukup ^jelas. Angka 3 Data dan' i: rformasi bidang pertananarr yang dibutuhkan dalam proses penJrusunarl rencana tata ruang wilayah kota berupa, antara lairr, data dan informasi penguasaan tanah, pemilikan tanah, penggllnaan tanah, pesraniaatan tanah, neraca perratagunaan tanah, dan permasalahan pertanahan yang dapat mempenganrhi efektivitas perwujudan rencana tata ruang wilayah kota. Angka 4 Data dan inforrnasi kebencanaan yans dibutuhkan clalam proses pen5rusrrnan rencana. lata ruang wilayah kota'nreliputi data dan informasi f-erkait bahaya dan risiko bencana, antara lain, peta kawasan rawan bencana gempa bumi, peta kanvasan rawan bencaria sesar aktif, pela ka',r,asan rawan bencana tsunarrti, ileta kawasan rawan bencana letusan gunung atr'li, dan peta kawasan rawan bencana banjir, sertir pet-a kerentanan likuefaksi dan peta kerentarran gerakan tanah ter-masuk longsor. -: Angka 5 Cukup ^jelas Huruf c Angka Angka 1 Cukup ^jelas. 2 Dalam kajian daya dukung dan daya tampung lingkungrin yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis, dapat Cilakukan analisis terhadap aspek darnpak dan risiko lingkrrngan hidup, jasa ekosistein, pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim, dan/atau keanekaragaman hayati. Kajian terhadap aspek-aspek tersebut disesuaikan dengan lingkup dan karakteristik wilayah perencanaan, tujuan Perencanaan Tata Ruang, dan folcrs pcrencanaan. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Menyikapi kondisi dalam hal Peta Rupabumi InConesia belum tersedia, penyusunan peta dasar RTR dilakukan 'dengan menggunakan sumber peta lain sesuai dengaa standar kartografis dengan mempergunalian kesamaan sistem referensi geospasial. Peta dasar lainnya yaitr: peta yang tersedia dalam skala yang diperlukan. Ayat (a) Cukup ^jeias. Ayat (5) ^. Ayat (5) Cukup ^jelas.


      Pasal 24

      Cukup ^jelas.


      Pasal 25

      Cukup ^jelas.


      Pasal 26

      Cukup ^jelas. Pasal 2'1, Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pelibatan peran Masyarakat regiorral pulau/kepulauan dalam penJrusunan rencana tata ruang pulau/kepulauan antara lain dilakukan melalui penjaringan opini publik, forum diskusi, dan Kcnsultasi R.lblik yang meliputi atsru mewakili kondisi seluruh wilayah pulau/kepularran. Hurlf c Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jeias. Hun: f b Data lain yalg dapat i data fisiografis, data ekonomi dan keuanga.n, data ketersediaan prasararla dan sarana dasar', data penggunaan lahan, data peruntukan ruang, dan data terkait day+ dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Angka I Angka Angka 2 Cukup ^jelas. 3 Data dan informasi bidang pertanahan ya.ng dibutuhkan dalam proses lre: lJrusunan RTR pulau/kepulauan berupra, antara lain, data dan informasi penguasaan tanah, pemilikan tanah, penggunaan tanah, pemanfaatan tanah, dan permasalahan pertanahan yang dapat mempengaruhi efektivitas perwujudan RTR pulau / kepulauan. Angka 4 Data dan informasi kebencanaan yang dibutuhkan da.lam proses pen)rusunan RTR pulau/kepulauan meliputi datd. dan informasi terkait bahaya dan risiko bencana, antara lain, peta kawasan rawarl bencana gempa bumi, peta kawasan rarvvan bencana sesar aktif, peta kawasan rawan bencana tsunami, peta kawasan ra$.-an bencana letusan'grmung api, dan peta ka'vasan rawan bencana uanjir. serta peta kerentanan likuefaksi dan peta kerentanan gerakan tanah termasuk longsor. Angka 5 Cukup ^jelas. Huruf c Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Dalam kajian daya dukurrg dan daya tampung lingkungarr yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidtrp strategis, dapat dilakukan analisis terhadap aspek dampak dan risiko lingkungan hidup, jasa ekosisten-r, pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kererrtanan terhadap perubahan iklim, dan/atau keanekaragaman hayati. Kajian terhadap aspek-aspek tersebut disesuaikan dengan lingkup dan karakteristik wilayah perencanaan, tujuan Perencanaan Tata Ruang, dan fokus pcrencanaan. Huruf d Cukup ^jelas. Humf e Cukup ^jel Ayat (3) Menyikapi kondisi dalam hal Peta Rupa.i: urmi Indonesia belum tersedia, penyusunan peta dasar RTt< dilakukan dengan menggunakan sumber peta lain sesuai dengan' standar kartografis dengan rncrnp€rgrrnakhn kesamaan sistem referensi geospasial. Peta dasar lainnya yaitrr peta yang tersedia dalam skala yang diperlukan. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


      Pasal 28

      Cukup ielas.


      Pasal 29

      Cukup ^jelas. Pasal 30 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c


      Pasal 31

      Cukup ^jelas.


      Pasal 32

      Cttkup ^jelas.


      Pasal 33

      Culc-rp ^jelas. Pasal 34 Huruf a Cukup; elas. Hurr.f b Cukup ^jelas. Hurr-f c ., Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Perairan di sekitar PPKT ditetapkan dengan kriteria:


    9. sampai dengan paling jauh 12 (dua belas) mil Laut diukur dari garis pantai;

    10. sampai batas laut teritorial Indonesia, dalam hal wilayah perairan RZ KSNT lebih dari 12 (dua belas) nril Laut dan berada pada sisi dalam batas laut teritoria! Indonesia; Can/atau c. wilayah perairan yang berbatasan dengan pulau lain dan/atau wilayah pesisir yang berada dalam jartrk hingga 24 (dua puluh empat) mil Laut dibagi sama jarak atau cliukur dengan prinsip garis tengair. Huruf e Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "taman bumi" adalah geopark sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. Huruf h Cukup jelas.

      Pasal 35

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Humf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Huruf h Tanah dan air merupakan sumber daya yang sangat vital dalam pelaksanaan pembangunan. Perencanaan Tata Ruang perlu mempertimbangkan ketersediaan kedua sumber daya tersebut untuk lebih menjamin perwujudan RTR. Ketersediaan tanah dan sumber daya air dipertimbangkan dalam penyusunan RTR dengan menggunakan data dan informasi yang tersedia pada saat penyusunan RTR, antara lain, neraca penatagunaan tanah dan neraca penatagunaan sumber daya air. Apabila data tersebut tidak tersedia, digunakan data dan informasi yang lainnya. Huruf i Cukup ^jelas. Huruf j Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf er Cukr1p ^jelas. Huruf b Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jeias. Hurlf e Cukup jelas. Pada KSN yang memiliki cakupan wilayah perencanaan lebih kecil dan merupakan pusat permukiman perkotaan, rencana Struktur Ruang dimaksrrd berisi sistem pusat pelayanan kegiatan perkotaan. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas.


      Pasal 36

      Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "pelibatan peran Masyarakat dalam penyusunan RTR KSN" antara lain dilakukan melalui penjaringan opini publik, forum diskusi, dan Konsultasi Publik yang meliputi atau mewakili kondisi seluruh wilayah KSN. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Data lain yang dapat dikumpulkan meliputi data fisiografis, data ekorromi dan keuangan, data ketersediaan prasarana dan sarana dasar, data penggunaan lahan, data peruntukan ruang, dan data terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Cukup ^jelas. Angka 3 ' Data dan informasi bidang pertanahan yang dibutuhkan dalam proses penyusunan RTR KSN berupa, antara lain, data dan informasi penguasaan tanah, pemilikan tanah, penggunaan tanah, pernanfaatan tanah, neraca penatagunaan tanah, dan permasalahan pertanahan yang dapat mempengarLrhi efektivitas penv ujudan RTR KSN. Angka 4 Data dan informasi kebencanaarl yang dibutuhkan dalam proses penyu.sunan RTR KSN meliputi data dan informasi terkait bahaya dan risiko bencana, antara le,-in, peta kawasan rawan bencana gempa bumi, peta kawasan rawan bencana sesar aktif, peta kawasan ra',van bencana tsunami, qeta kanvasan rawarl hencana letusan gunung api, dan peta kawasan rawan bencana banjir, serta peta kerentanan likuefaksi dan peta kerentanan gerakan tanah termasuk lonlsor. Angka 5 Cukup ^jelas. Angka 6 Cukup ^jelas. Huruf c Huruf c Angka Angka 1 Cukup ^jelas. 2 Dalarn kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis, dapat dilakukan analisis terhaclap aspek dampak dan risiko lingkungan hidup, ^jasa ekosistem, pemanfaatan sumber daya alarn, tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim, dan/atau keanekaragaman hayati. Kajian terhadap aspek-aspek tersebut disesuaikan dengan lingkup dan karakteristik wilayah perencana.an, tujuan Perencanaan Tata Ruang, dan fokus perencallaan. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (3) Menyikapi kondisi dalam hal Peta Rupabumi Indonesia belum tersedia, penyusunan peta dasar RTR dilakukan ^dengan menggunakan sumber peta lain sesuai dengan standar kartografis dengan mempergunakan kesamaan sistern referensi geospasial. Yang dimaksud dengan "Peta da.sar lainnya" adalah ^peta ^yang tersedia dalam skala yang diperlrrkan. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Huruf a Huruf b Yang dimaksud dengan "garis pantai sesuai kebutuhan RTR" adalah kebutuhan untuk mengakomodasi, antara lain, rencana pembangunan, hak atas tanah, dan perizinan yang telah diterbitkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk konsesi. Kepentingan hak atas tanah yang diakomodasi, antara lain, hak atas tanatr yang akan diberikan pada tanah timbul dan tanah hasil reklamasi. Ayat (6) Cukup ^jelas.


      Pasal 37

      Cukup ^jelas.


      Pasal 38

      Cukup ^jelas.


      Pasal 39

      Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan "hipsografi" adalah garis khayal untuk menggalnbarkan semua titik yattg mempunyai ketinggiarr yang sama di permukaan bumi atau kedalaman yang sama di dasar laut. Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat Angka 3 Batas wilayah termasuk batas maritim yang diatur dalam bentuk:


    11. perjanjian internasional, baik bilateral/ trilateral dengan negara tetangga; dan

    12. batas maritim yang bersifat unilateral, sesuai dengan ketentuan peraturan perLlndang- undangan dan hukum internasional. Huruf b Cukup ^jelas.

      (3)

      Menyikapi kondisi dalam hal Peta Rupabumi Indonesia belum tersedia, pen5rusunan peta dasar dilakukan dengan menggunakan sumber peta lain sesuai dengan standar kartografis dengan mempergunakan kesamaan sistem referensi geospasial. Yang dimaksud dengan "Peta dasar lainnya" adalah peta yang tersedia dalam skala yang diperlukan. (4t Cukup ^jelas. (s) Cukup ^jelas.

      (6)

      Cukup ^jelas.

      (7)

      Cukup ^jelas.

      (8)

      Cukup ^jelas. (e) Cukup ^jelas. Ayat (10) Ayat (10) Cukup ^jelas.

      Pasal 40

      Cukup ^jelas.


      Pasal 41

      Cukup ^jelas.


      Pasal 42

      Cukup ^jelas.


      Pasal 43

      Cukup ^jelas.


      Pasal 44

      Cukup ^jelas.


      Pasal 45

      Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Yang dirraksud dengan "hipsografi" adalah ^garis khayal untuk rnenggambarkan selnrra titik ^yang mempurryai ketinggian yang sama di ^permukaan bumi ataur kedalaman yang sama di detsar laut. Hipsografi cli rr.ang laut digambarkan dengan titik kedalaman, batimetri dan/atau garis kontur kedalarnan untuk wilayah Laut. PRES I DEN REPUBLIK ^INDONESIA Angka 3 Batas wilayah termasuk batas nraritim ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang- undangan dan hukum internasional, ^yang ^diatur dalam bentuk:


    13. perjanjian internasicnal, baik ^bilateral/ trilateral dengan negara tetangga; dan

    14. batas maritim ^yang bersifat ^unilateral. Huruf b Cukup ^jelas. Ayat (3) Menyikapi kondisi dalam hal Peta Rupabumi ^Indonesia ^belum tersedia, pen)rusunan peta dasar dilakukan ^dengan menggunakan sumber peta lain sestrai dengan ^standar kartografis dengan mempergunakan ^keqamaan sistem referensi geospasial. Yang dimaksud dengan "Peta Casar lainnya" ^adalah ^peta yang tersedia dalam skala yang diperlukan. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) ^i Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Culorp ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (10)

      Pasal 46

      Cukup ^jelas.


      Pasal 47

      Cukup ^jelas.


      Pasal 48

      Cukup ^jelas.


      Pasal 49

      Cukup ^jelas.


      Pasal 50

      Cukup ^jelas.


      Pasal 51

      Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Hur',rf b Cukup ^jelas. I{uruf c Cukup ^jelas. Huruf ci Optimasi Pemanfaatan Ruang darat dimaksudkan untuk mengoptimalkan manfaat sosial dan ekonomi ruang darat dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan. Untuk itu rencana Pemanfaatan Ruang untuk berbagai kebutuhan haruls memperhitu.ngkan ketersediaan tanah dan air yang merupakan ^rlua sumber daya vital untuk mendukung perikehidupan manusia. Ketersediaan Ketersediaan tanah dan srrmber daya air, antara lain, dapat diketahui dari data neraca penatagtrnaan tanah dan neraca penaagunaan sumber daya air yang tersedia pada saat pen5rusunan RDTR. Dalam hal data neraca penatagunaan tanah dan rreraca penatagunaarl sumber daya air trdak tersedia, dapat oigtrnakan data lainnya. Huruf e Cukup ^jeias. Huruf f Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


      Pasal 52

      Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas Huruf b Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a C.ukup ^jelas. Yang dirnaksud dengan "pelit atan pcran Masyarakat di tingkat L4!1i.paten/kota dalarn penyusunan RDTR KPN" a.niara lain dilakukan melalui penjaringan opini publik, forum diskusi, dan Konsultasi Pubtik yang meliputi atau mewakili kondisi seluruh wilayah KIrN. Huruf b Huruf b Data lain yang dapat dikumpulkan meliputi Cata fisiografis, data ekonorni dan keuangan, derta ketersediaan prasarana dan sarana dasar, data penggunaan iahan, data peruntukan ruang, dan data terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Cukup ^jelas. Angka 3 Data dan informasi bidang pertanaha.n ^r/a1rg dibutuhkan dalam proses penyusunan RDTR KPN ^berupa, ^antara lain, data dan ^informasi penguasaan tanah, pemililcan te.nah, pengglunaan tanah, pemanfaatan tanah, dan permasalahan pertanahan yang dapat rnempengaruhi efektivitas perwujudan RDTR KPN. Angka 4 Data dan informasi kebencanaan yang Cibutuhkarr dalam proses oen)rusunarr RDTR KPN meliprrti data dan informasi terkait bahaya dan risiko bencana, antara lain, peta'kawasan rawan bencana geinpa brrmi, peta kawasan rawan bencana sesar a.ktif, peta kau'asan rawan ^lr,: ncama tsunami, peta ka'uvasan rawan bencana lehrsan gunung api, dan peta kawasan rawan bencana banjir, serta peta kerentanan likuefaksi dan peta kerentanan gerakan tanah terrnasuk longsor. Angka 5 Cukup ^jet FRES IDEN REPUBLIK INDONESIA Huruf c Angka 1 Dalam kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan dapat dilakukan analisis terhadap aspek dampak dan risiko lingkungan hidup, ^jasa ekosistem, pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim, dan/atau keanekaragaman hayati. Kajian terhadap aspek-aspek tersebut disesuaikan dengan lingkup dan karakteristik wilayah perencanaan, tujuan Ferencanaan Tata Ruang, dan fokus perencanaan. Angka 2 Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (3) Menyikapi kondisi dalam hal Peta Rupabumi Indonesia belum tersedia, penyusunan peta dasar RTR dilakukan dengan menggunakan sumber peta lain sesuai dengan standar kartografis dengan mempergunakan kesamaan sistem referensi geospasial. Yang dimaksud dengan "peta dasar lainnya" yaitu peta yar,g tersedia dalam skala yang diperlukan. Ayat (a) Cukup ^jelas.


      Pasal 53

      Cukup ^jelas.


      Pasal 54

      Cukup ^jelas. Pasal 55 .


      Pasal 55

      Cukup ^jelas.


      Pasal 56

      Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Ayat (3) Cukup ^jelas. Optimasi Pemanfaatan Ruang darat dimaksudkan untuk mengoptimalkan manfaat sosial dan ekonomi ruang darat dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan. Untuk itu rencana pemanfaaian ruang untuk berbagai kebutuhan hanrs memperhitungkan kerersediaan tanah dan air yang merupakan dua sumber daya vital untuk mendukung perikehidupan manusia. Ketersediaan tanah dan sumber daya air, antara lain, dapat diketahui dari data neraca penatagunaan tanah dan neraca penatagunaan sumber daya air ^yang tersedia pada saat penyusunan RDTR. Dalam hal data neraca penatagunaan tanah dan neraca penatagunaan sumber daya air tidak tersedia, dapat digunakan data lainnya. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (a) Ayat (a) Cukup ^jelas Ayat (5) Cukup ^jelas


      Pasal 57

      Ayat (1) Hunrf a Cukup ^jelas. Huruf b Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Hurlf b Yang dimaksud dengan "pelibatan ^peran Masyarakat di tingkat kabupaten/kota dalam ^pen5rusunan RDTR kabupatenlkot{ antara lain dilakukan melalui penjaringan opini publik, forum diskusi, dan Konsultasi hlblik yang meliputi atau mewakili kondisi seluruh wilayah pengembangan dalam RDTR kabupaten/kota. Data lain yang dapat dikurrrpu!.kan meliputi data fisiografis, data ekonomi dan keuangan, data ketersediaan prasarana dan sarana da.sar, data penggunaan laharr, data peruntukan ruang, dan data terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Cukup ^jelas. Angka 3 Angka 4 Angka 5 Data dan informasi bidang pertanahan yang dibutuhkan dalam proses penyusunan RDTR kabupaten/kota berupa, antara lain, data dan informasi penguasaan tanah, pemilikan tanah, penggunaan tanah, pemanfaatan tanah, dan permasalahan pertanahan yang dapat mempengaruhi efektivitas perwujudan RDTR kabupaten/kota. Data dan informasi kebencanaan yang dibutuhkan dalam proses pen5rusunan RDTR kabupaten/kota meliputi data dan informasi terkait bahaya dan risiko bencana, hntara lain, peta kawasan rauran bencana gempa bumi, peta kawasan rawan bencana sesar aktif, peta kawasan rawan bencana tsunami, peta kawasarr rawan bencana letusan gunung api, dan peta kawasan rdwo.r.r bencana banjir, serta peta kerentanan likuefaksi dan peta kerentanan gerakan tanah termasuk longsor. Cukup ^jelas. Dalam l-ajian daya dukung dan daya tampung lingkungan dapat dilakukan analisis terhadap aspe[ dampak dan risiko lingkungan hidup, ^jasa ekosistem, pernanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim, cian/atau keanekaragaman hayati. I(ajian terhadap aspek-aspek tersebut disesuailian dengan lingkup dan karakteristik vrilayah perencanaan, tujuan Perencanaan Tata Ruang, dan fokus perencanaan. Huruf c Angka I Angka 2 Cukup ^jelas. Angka 3 Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (3) Menyikapi kondisi dalam hal Peta Rupabumi Indonesia belum tersedia, penyusunan peta dasar RTR dilakukan dengan menggunakan sumber peta lain sesuai dengan standar kartografis dengan mempergunakan kesamaan sistern referensi geospasial. Yang dimaksud dengan "peta dasar lainnya" adalah pera yang tersedia dalam skala yang diperlukan. Ayat (a) Cukup jelas.


      Pasal 58

      Cukup jelas.


      Pasal 59

      Penyediaan RDTR kabupaten/kota yang telah ditetapkan termasuk berbentuk 3 (tiga) dimensi dan pengeinbangannya.


      Pasal 60

      Cukup ^jelas.


      Pasal 61

      Cukup ^jelas.


      Pasal 62

      Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Pembahasan lintas sektor dinraksudkan untuk memastikan rancErngan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi tidak bertentangan dan selaras dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jel Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


      Pasal 63
      Pasal 64

      Cukup ^jelas.



      Pasal 65

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "garis pantai sesuai kebutuhan rencarla tata ruang" adalah kebutuhan untuk mengakomodasi, antara lain, rencana pembangunan, hak atas tanah, dan perizinan yang telah diterbitkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk konsesi. Kepentingan hak atas tanah yang diakomodasi, antara lain, hak atas tanah yang akan diberikan pada tanah timbul dan tanah hasil reklamasi.


      Pasal 66

      Cukup jelas.


      Pasal 67

      Ayat (1) Jangka wa sejak tanggal pelaksanaan pembahasan lintas sektor sebagaimana tercantum dalam undangan rapat pembahasan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas.


      Pasal 68

      Cukup ^jelas.


      Pasal 69

      Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Penyampaian r€rncangan peraturan daerah kabupaten tentang rencana tata mang wilayah kabupaten kepada Menteri ditembuskan kepada gubernur. Huruf d Pembahasan lintas sektor dimaksudkan untuk memastikan rancangan peraturan daerah kabupaten tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten tidak bertentangan dan selaras dengan kebijakan Pemerintah h.rsat. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


      Pasal 70

      Cukup ^jelas.


      Pasal 71

      Cukup ^jelas. Pasal T2 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Hrrruf b Yang dimaksud dengan "garis pantai sesuai kebutuha-n rencana tata mang" adalah kebutuhan untuk mengakomodasi, antara lain, rencana pembangunan, hak atas tanah, dan pei'izinan yang telah diterbitkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk konsesi. Kepentingan hak atas tanah yang diakomodasi, antara lain, hak atas tanah yang akan diberikan pada tanah tinnbul dan tanah hasil reklamasi.


      Pasal 73

      Cukup ^jelas.


      Pasal 74

      Ayat (1) Jangka waktu 20 (dua puluh) Hari dihitung sejak tanggal pelaksanaan pembahasan iln.tas sektor sebagaimana tercantum dalam undangan rapat pembahasan tersebut. Ayat (2)


      Pasal 75

      Cukup ^jelas.


      Pasal 76

      Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Hurlf b Cukup ^jelas. Huruf c Penyampaian rancangan peraturan daerah kota tentang rencana tata ruang wilayah kota kepada Menteri ditembuskan kepada gubernur. Huruf d Pembahasan lintas sektor dimaksudkan untuk memastikan rancangan peraturan daerah kota tentang rencana tata ruang wilayah kota tidak bertentangan dan selaras dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Crrkup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas.


      Pasal 77

      Cukup ^jelas.


      Pasal 78

      Cukup ^jelas.


      Pasal 79

      Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "garis pantai sesuai kebutuhan rencana tata ruand adalah kebutuhan untuk mengakomodasi, antara lain, rencana pembangunan, hak atas tanah, dan penzinan yang telah diterbitkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk konsesi. Kepentingan hak atas tanah yang diakomodasi, ^g.ntara lain, hak atas tanah yang akan diberikan pada tanah timbul dan tanah hasi! rekJamasi.


      Pasal 80

      Cukup ^jelas.


      Pasal 81

      Ayat (2) Cukup ^jelas.


      Pasal 82

      Cukup ^jelas.


      Pasal 83

      Ayat (1) Cukup ^jelas. Avat {21 Cukup ^jelas. Ayat (3)


      Pasal 84

      Cukup ^jelas.


      Pasal 85

      Cukup jelas.


      Pasal 86

      Cukup ^jelas.


      Pasal 87

      Cukup ^jelas.


      Pasal 88

      Ayat (L) Cukup jelas Untuk mencegah terjadinya kekosongan huk^um cialam pelaksanaan Penataan Ruang dan memberikan perlindungan hukum, dan kepastian hukum dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang yang mempengaruhi pelaksarraan kegiatan pembangunan, kegiatan berusaha, serta berbagai sendi kehidupan sosial di Masyarakat, maka penetapan suatu rencana rinci tata ruang tidak boleh melebihi masa berlakunya jenis rencana rinci tata ruang yang sama dan telah ada pada wilayah dimaksud serta sedang berlaku. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "garis ^pantai ^sesuai kebutuhan rencana tata ruand adalah ^kebutuhan ^untuk mengakomodasi, antara lain, ^rencana ^pembangunan, hak atas tanah, dan ^perizinan ^yang ^telah ^diterbitkan sesuai ketentuan ^peraturan ^perundang-undangan, termasuk konsesi. Kepentingan hak atas ^tanah yang ^diakomodasi, ^arrtara tain, trat atas tanah ^yang ^akan diberikan ^pada ^tanah timbul dan tanah hasil ^reklamasi.


      Pasal 89

      Culmp ^jelas.


      Pasal 90

      Ayat (1) Jangka waktu 20 ^(dua ^puluh) ^Hari ^dihitung ^sejak ^tanggal pelaksanaan pembahasan lintas ^sektor ^sebagaimana ^tercantum dalam undangan rapat ^pembahasan tersebut' Ayat (2) CukuP ^jelas. Pasal 9 1 Cukup ^jelas.


      Pasal 92

      Cukup ^jelas.


      Pasal 93

      Cukup ^jelas.


      Pasal 94

      Cukup ^jelas.


      Pasal 95
      Pasal 96

      Cukup ^jelas.



      Pasal 97

      Cukup jelas.


      Pasal 98

      Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2) . Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat 14) . Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) 'Huruf ?^.r* dimaksud dengan'disetujui' adalah dapat disetujui seluruhnya atau disetujui sebagian. Huruf b Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas.


      Pasal 99

      Cukup ^jelas. Pasal lOO Cukup jelas. Pasal Pasal Pasal Pasal 101 Cukup ^jelas. L02 Cukup ^jelas. 103 Cukup ^jelas. to4 Ayat (1) Huruf a Koordinat lokasi digambarkan dalam bentuk poligon yang dapat memberikan informasi luasan dan bentuk. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Kelengkapan mengenai "jumlah lantai bangunan" disertakan ^jika dalam ^pelaksanaan rencana Pemanfaatan Ruang akan dilakukan pembangunan gedung. Huruf f Kelengkaparr mengenai "luas lantai bangunan" disertakan jika dalam pelaksarraan rencana Pemanfaatan Ruang akan dilakukan pembangunan gedung. Ayat (2) Humf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Ketentuan tata bangunan antara lain meliputi koefisien wilayah terbangun, koefisien dasar hijau, dan garis sempadan bangurran. Huruf f Cukup ^jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Yang dimaksud dengan-."secara rnenetap" adalah selarna 30 (tiga puluh) Hari. Pasal 107 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "kawasan industri" adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikeloia oleh perusahaan kawasan industri. Huruf b Yang dimaksud dengan "kawasan ekonomi khusus" adalah kawasan dcr,gan batas tertentu dalam ^-wilayah trukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk merryelenggarakan fungsi perekonomiar, dan memperoleh fasilitas tertentu.


      Pasal 108
      Pasal 108

      Ayat (l) Huruf a Koordinat lokasi digambarkan dalam bentuk ^poligon yang dapat merrberikan informasi luasan darl bentuk. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Kelengkapan rnengenai "jumlah lantai bangunan" disertakan ^jika cialam pelaksanaan rencana ^Pemanfaatan Ruang akan dilakukan pembangunan ^gedung. Huruf f Kelengkapan mengenai "luas lantai ^bangunan" disertakan ^jika dalam pelaksa; raan rencana ^Pemanfaatan Ruang akan dilakukan pembangunan ^gedung. Huruf g Cukup ^jelas. Ayat (2) Persetujuan Kesesuaian' Kegiatan Pemanfaatan ^Ruang ^untrrk kegiatan berusaha har us diberikan dengan ^mempertimbangkan tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang, ^salah ^satunya Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan. Pemanfaatan Rua-ng yang berkelanjutan dicapai ^dengan mengedepankan konsep safeguarding dalam ^Pemanfaatan Ruang, antara lain memperhatikan:



    15. aspek Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat a. aspek keamanan/keselamatan/pengurangan risiko bencana;

    16. aspek ketahanan pangan nasional;

    17. aspek kelestarian lingkungan;

    18. aspek penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi lokal/ regional/ nasional;

    19. aspek kerawanan sosial; dan

    20. aspek pertahanan dan kearnanan.

      (3)

      Cukup ^jelas.

      (4)

      Cukup ^jelas. (s) Cukup ^jelas (6) Cukup ^jelas.

      (7)

      Cukup ^jelas.

      (8)

      Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Hunrf c Muatan Persettrjuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang terkait koefisien dasar bangunan dirumuskan apabila terdapat rencana pembanglnan gedung dalam rencana kegialat Pemanfaatan Ruang yang dimohon. Huruf d Muatan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang terkait koefisien lantai bangunan dirumuskan apabila terdapat rencana pembangunan ^gedung dalam rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dimohon. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas.

      Pasal 109

      Cukup ^jelas. Pasal 1 10 Cukup ^jelas. Pasal 1 1 1 Ayat (1) Huruf a Koordinat lokasi digambarkan dalam bentuk ^poligon yang dapat merrrberikan irrformasi luasan dan bentuk. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (2) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang ^Laut untuk kegiata.n berusaha har,.rs diberikan ^dengan mempertimbangkan tujuan Penyeler^ggaraan Fenataan Ruang, salah satunya Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan. Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan dicapai dengan mengedepankan konsep safeguarding dalam Pemanfaatan Ruang, antara lain memperhatikan:


    21. aspek keamanan/keselamatan/pengurangan risiko bencana;

    22. aspek ketahanan pangan nasional;

    23. aspek kelestarian lingkungan;

    24. aspek penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi lokal/ regional/ nasional;

    25. aspek kerawanan sosial; dan ^' f. aspek pertahanan dan keamanan. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Huruf a Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau peraturan menteri yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Presiden yang menetapkan kegiatan bernilai strategis rrasional. Huruf b Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Pasal 1 12 Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal rt2 Cukup ^jelas 113 Cukup ^jelas. TL4 Ayat (1) Keputusan Menteri, gubernur, bupati, atau wali kota terkait pemberian Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dapat berupa keputusan untuk memberikan atau tidak memberikan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. 115 Cukup jelas. 116 Cukup ^jelas. Lt7 Cukup ^jelas. 118 Cukup ^jelas. 119 Cukup ^jelas.

      Pasal 120

      Ayat (1) Huruf a Koordinat lokasi digambarkan dalam bentuk poligon yang dapat memberikan informasi luasan dan bentuk. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Kelengkapan mengenai "jumlah lantai bangunan" disertakan jika dalam pelaksanaan rerlcana Pemanfaatan Ruang akan dilakukan pembang.rnan gedung. Huruf f Kelengkapan mengenai "luas lantai bangunan" disertakan jika dalam pelaksanaan rencana Pemanfaatan Ruang akan dilakukan pembangunan gedung. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Hunrf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Hurut e . Huruf e Ketentuan tata bangunan antara lain meliputi koefisien wilayah terbangun, koefisien dasar hijau, dan garis sempadan bangunarr. Huruf f Cukup ^jelas. Pasal 121 Cukup ^jelas. Pasal 122 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "secara menetap" adalah selama 30 (tiga puluh) Hari. Pasal 123 Cukup ^jelas. Pasal 124 Ayat (1) Huruf a Koordinat lokasi digambarkan dalam bentuk poligon yang dapat memberikan informasi luasan dan bentuk. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Kelengkapan mengenai "jumiah lantai bangunan" disertakan jika dalam pelaksanaan rencana Pemanfaatan Ruang akan dilakukan pembangUnan gedung. Huruf f Ayat Ayat Ayat Ayat Ayat Huruf f Kelengkapan mengenai "luas lantai bangunan" disertakan jika dalam pelaksanaan rencana Pemanfaatan Ruang akan dilakukan pembangunan gedung. Huruf g Cukup ^jelas.

      (2)

      Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan nonberusaha harus diberikan dengan mempertimbangkan tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang, salah satunya Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan. Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan dicapai dengan mengedepankan konsep safeguarding dalam Pemanfaatan Ruang, antara lain memperhatikan:


    26. aspek keamanan/keselamatan/pengurangan risiko bencana;

    27. aspek ketahanan pangan nasional;

    28. aspek kelestarian lingkungan;

    29. aspek penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi lokal/ regional/ nasional;

    30. aspek kerawanan sosial; dan

    31. aspek pertahanan dan keamanan.

      (3)

      Cukup ^jelas. (4t Cukup ^jelas. (s) Cukup jelas.

      (6)

      Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Hunrf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Muatan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang terkait koefisien dasar bangunar, dirumuskan apabila terdapat rencana pembangunan gedung dalam rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dimohon. Huruf d Muatan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang terkait koefisien lantai bangunan <linrrnuskan apabila terdapat rencana pembangunan gedung dalam rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dimohon. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cuk,: p ^jelas.

      Pasal 125

      Cukup ^jelas.


      Pasal 126

      Cukup ^jelas.


      Pasal 127

      Ayat (l) Huruf a Koordinat lokasi digambarkan dalam bentuk poligon yang dapat memberikan informasi luasan dan bentuk. Huruf b . Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Ayat (2) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut untuk kegiatan nonberusaha harus diberikan dengan mempertimbangkan tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang, salah satunya Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan. Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan dicapai dengan mengedepankan konsep safeguarding dalam Pemanfaatan Ruang, antara lain memperhatikan:


    32. aspek keamanan/keselamatan/pengurangan risiko bencana; ' b. aspek ketahanan pangarr nasional;

    33. aspek kelestarian lingkungan;

    34. aspek penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi lokal/,regional/ nasional;

    35. aspek kerawanan sosial; dan

    36. aspek pertahanan dan keamanan. Hurtrf a Bahwa penerbitan Persetujuan Kesesuaian' Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut harus memperhatikan hubungan fungsional Perencanaan Tata Ruang di darat dan laut dalem lingkup RTR di kabupaten/kota. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup.jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Huruf a Peraturan perundang-undangan ^yalrg dimaksud ^adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau peraturan menteri yang dianranatkan oleh Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Presiden ^yang menetapkan kegiatan bernilai strategis nasional. Huruf b Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas.

      Pasal 128
      Pasal 128

      Cukup ^jelas.



      Pasal 129

      Cukup ^jelas.


      Pasal 130

      Ayat (1) Keputusan Menteri, gubernur, bupati, atau wali kota terkait pemberian Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dapat berupa keputu.san untuk memberikan ata,.r ^tida.k memberikan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan . Ruang. Ayat (21 Cukup ^jelas. . Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas.


      Pasal 131

      Cukup ^jelas. Pasal t32. Cukup ^jelas.


      Pasal 133

      Ayat (1) Huruf a Koordinat lokasi digambarkan dalam bentuk ^poligon yang dapat men: .berikan informasi luasan dan bentuk. Huruf b Cukup ^jelas. Hunrf c Cr.rkup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (21 Konfirmasi kesesuaian ruang laut harus dit,erikan dengan mempertimbangkan tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang, salah satunya Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan. Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan dicapai dengan mengedepankan konsep safeguarding dalam Pemanfaatan Ruang, antara lain memperhatikan:


    37. aspek keamanan/keselamatan/pengurangan risiko bencana;

    38. aspek ketahanan pangan nasional;

    39. aspek kelestarian lingkungan;

    40. aspek penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi lokal/ regional/ nasional;

    41. aspek kerawanan sosial; dan

    42. aspek pertahanan dan keamanan. Huruf a Bahwa penerbitan konfirmasi kesesuaian ruang laut harus memperhatikan hubungan fungsional Perencanaan Tata Ruang di darat dan laut dalam lingkup RTR di kabupaten/kota. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Huruf g Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. L34 Cukup ^jelas. 135 Cukup ^jelas. 136 Cukup ^jelas. t37 Cukup ^jelas. 138 Cukup ^jelas. 139 Cukup ^jelas. 140 Ayat (1) Huruf a Koordinat lokasi digambarkan ctalanr bentuk poligon yang dapat memberikan informasi luasan dan bentrrk. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Kelengkapan mengenai "jumlah lantai bangunan" disertakan ^jika dalam pelaksanaan rencana Pemanfaatan Ruang akan dilakukan pembangunan gedung. Huruf f Kelengkapan mengenai "luas lantai bangunan" disertakan ^jika dalam pelaksanaan rencana pemanfaatan ruang akan dilakukan pembangunan gedung. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Ayat (2) Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional harus dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan Penyelenggaraan Penataan Ruang, salah satunya Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan. Pemanfaatan Ruang yang berkelanjutan dicapai dengan mengedepankan konsep safeguarding dalam Pemanfaatan Ruang, antara lain memperhatikan:

    43. aspek keamanani keselamatan/pengurangan risiko bencana;

    44. aspek ketahanan pangan nasional;

    45. aspek kelestarian lingkungan;

    46. aspek penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi lokal/ regional/ nasional;

    47. aspek kerawanan sosial; dan

    48. aspek pertahanan dan keamanan. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Muatan Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang terkait koefisien dasar bangunan dirumuskan apabila terdapat rencana pembangunan ^gedung ^dalam rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang ^yang dimohon. Huruf d Muatan Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang terkait koefisien lantai bangunan dirumuskan apabila terdapat rencana pembangunan ^gedung dalam rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang ^yang dimohon. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup ^jelas.

      Pasal 141

      Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) . Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Ayat (2) Keputusan Menteri terkait pemberian Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dapat berupa keputusan untuk memberikan atau tidak memberikan Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. L42 Cukup ^jelas. t43 Cukup ^jelas. L44 Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "pemenuhan prosedur perolehan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang" adalah kepatuhan terhadap tahapan perolehan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undan gan. Ayat (2) Cukup ^jelas.


      Pasal 150

      Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Kegiatan Perrranfaatan Ruang dinilai tidak patuh dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dalarn hal terdapat paling sedikit 1 (satu) ketentuan <ialam Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak terpenuhi. Rekomendasi penyesuaian dilakukan untuk menyesuaikan kembali kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan Kesesuaian . ^Kegiatan ^Pemanfaatan Ruang. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal


      Pasal 158

      Ayat (1) Cukup ^jelas 151 Yang climaksud dengan hasil penilaian dalam bentuk tekstual adalah penuangan hasil penilaian dalam bentuk narasi dan/atau tabular. Yang dimaksud dengan hasil penilaian dalam bentuk spasial adalah penuangan hasil penilaian dalam bentuk peta. r52 Cukup ^jelas. 153 Cukup ^jelas. 154 Cukup' ^jelas. 155 Cukup ^jelas. 15b Cukup ^jelas. t57 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) - Yang dimaksud dengan hasil penilaian dalam bentuk tekstual adalah penuangan hasil penilaian dalam bentuk narasi dan/atau tabular. Yang dimaksud dengan hasil penilaian dalar,r bentuk spasial adalah penuarrgan hasil penilaian dalam bentuk peta. Ayat (2) Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Untuk mencegah terjadinya konsentrasi kegiatan Pemanfaatan Ruang dan/atau dominasi kegiatan Pemanfaatan Ruang tertentu yang terlalu tinggi, terhadap zorLa kendali ^agar' dilakukan analisa daya dukung dan daya tampung; neraca penatagunaan tanah, air, ud.ara, dan sumber daya alam lainnya; dan analisa ekonomi wilayah. Ayat (5) Untuk mencegah terjadinya konsentrasi kegiatan Pernanfaatan Ruang dan/atau dominasi kegiatan Pemanfaatan Ruang tertentu yang sangat rendah, terhadap zor: .a yang didorong agar dilakukan analisa kelayakan ekonomi dan/atau analisa risiko dan nilai tambah pemanfaatan ruang yang sejenis.


      Pasal 159

      Perangkat Pengendalian Pemanfaatan Ruang diperlukan dalam hal RTR belum dapat menjawab dinamika pembangunan, yang memuat antara lain:


    49. delineasi wilayah pengendalian;

    50. ketentuan Pengerrdalian Pemanfaatan Ruang;

    51. ketentuan pemberian insentif dan disinsentif;

    52. ketentuan pengenaan sanksi; dan

    53. pengawasan pembangunan, pembinaan, koordinasi dan kerja sama, serta peran Masyarakat.

      Pasal 160

      Ayat (1) Cukup ^jelas. SK t{o 093757 A Ayat (2) Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Pasal Ayat (2) Penilaian perwujudan RTR dilakukan pada 1 (satu) tahun sebelum peninjauan kembali RTR, dan hasilnya kemudian diintegrasikan ke dalam RTR. Ayat (3) Cukup ^jelas. 161 Cukup jelas. r62 Cukup ^jelas. 163 Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak Orang serta memperhatikan asas keadilan dan transparansi sesuai dengan ketentuan peraturan perLlndang-undangan. t64 Ayat (1) Yang dimaksud sebagai pelaku kegiatan Pemanfatan Ruang dapat termasuk Orang, Masyarakat, atau Pemerintah Daerah. Ayat (21 Insentif dan disinsentif dapat tertuang di dalam produk RTR maupun peraturan kepala daerah tersendiri. 165 Cukup ^jelas. t66 Cukup jelas. t67 Cukup ^jelas. 168 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Kompensasi dapat diberikan oleh Pemerintah Daerah penerima manfaat kepada daerah pemberi manfaat atas manfaat yang diterima oleh daerah penerima manfaat berupa program dan/atau uang. Untuk pemberian insentif berupa kompensasi antardaerah yang berbentuk fiskal harus mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Huntf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas.


      Pasal 169

      Pemberian keringanan pajak, retribusi, dan/atau penerimaan negara bukan pajak bertujuan untuk memberikan daya tarik fiskal dan mengurangi beban pajak atau retribusi pemilik dan/atau ^pengguna lahan dan bangunan yang memiliki nilai keunikan, nilai llerentAnan, dan/atau nilai tambah serta mendukung ^percepatan ^perw'ujudan RTR. Keringanan pajak, retribusi, dan/atau penerimaan negara bukan pajak dapat diberikan kepada pelaku kegiatan Pernanfaatan Ruang yang mendukung pengembangan kawasan yang memenuhi kriteria antara lain:


    54. pengembangan Pasal Pasal a. pengembangan baru;

    55. dapat memberi dampak positif terhadap pengembangan ekonomi wilayah atau kepentingan umum;

    56. dilindungi atau dilestarikan; atau

    57. rentan mengalami perubahan Pemanfaatan Ruang. t70 Pemberian kompensasi bertujuan untuk mendorong peran Masyarakat dalam penyediaan prasarana, fasilitas publik tertentu, dan/atau ruang terbuka publik yang melebihi ketentuan minimal yang dipersyaratkan, dan meningkatkan kemitraan antara pemerintah dan Masyarakat dalam percepatan perwujudan RTR. Pemberian kompensasi dapat diberikan pada pelaku kegiatan Pemanfaatan Ruang yang mendukung pengembangan kawasan yang memenuhi kriteria antara lain:

    58. mempunyai integrasi antarmoda transportasi;

    59. dilindungi atau dilestarikan; dan/atau

    60. mempunyai daya dukung dan daya tampung mencukupi. Bentuk kompensasi dapat berupa tambahan danf atau pengalihan intensitas Pemanfaatan Ruang, pemberian barang kebutuhan, penyediaan prasarar,a dan sarana, danf atau uang. Jenis kompensasi paling sedikit mempertimbangkan ^jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang, kebutuhan penerima kompensasi, dan efektivitas bentuk kompensasi. t7t Subsidi diberikan sebagai bentuk bantuan atas dukungan percepatan pembangunan dan perwujudan kegiatan Pemanfaatan Ruang prioritas pada lokasi tertentu dan sebagai bantuan dalam percepatan perwujudan rLlang pasca bencana alam. Subsidi dapat diberikan pada Pemerintah Daerah yang mendukung pengembangan kawasan yang memenuhi kriteria antara lain: Pasal a. dikembangkan untuk mewujudkan ^program ^pembangunan prioritas;

    61. kawasan dengan kerentanan tertentu; dan/atau

    62. kawasan rehabilitasi ^pasca bencana alam. Subsidi sebagai dukungan finansial dapat ^berupa ^uang ^dan/atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. Subsidi sebagai dukungan nonfinansial dapat ^berupa ^program pembangunan di daerah. 172 Imbalan diberikan kepada pelaku kegiatan Pemanfaatan ^Ruarlg yang memberikan ^jasa lingkungan hidup di lokasi tertentu ^sebagai ^bentuk imbal ^jasa lingkungan atas terjaminnya kualitas ^ftrngsi ^lingkungan hidup. Imbalan diberikan untuk memberikan daya tarik bagi ^kegiatan Pemanfaatan Ruang yang menduktrng ^perwujudan ^fungsi ^lindung kawasan di lokasi tertentu serta mendorong dan ^meningkatkan kemitraan antara pemerintah dan Masyarakat dalam ^per"wujudan clan petestarian daya dul: ung dan daya ^tampung lingkungan ^hidup di kawasarr kritis lingkungan. Imbalan dapat berupa pengalihan hak membangUr, ^penyediaan prasar€rna dan sara.na pendukung pelestarian lingkungan ^hidup, uang dan/atau bentuk lain ^yang dapat dihilai ^dengan uang. Imbalan dapat diberikan pada pelaku kegiatan ^Pemanfaatan ^Ruang yang mendukung pengembangan kawasan ^yang memenuhi ^kriteria antara lain:

    63. diiindungi atau dilestarikan; L). memberikan ^jasa lingkungan hidup; atau

    64. merupakan kawasan kritis lingkurtgan. Bentrrk imbalan paling sedikit merrrpertimbangkan:

    65. ^jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang;

    66. kebutuhan peneiima; dan Pasal Jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang ^pada kawasan ^yang ^memenuhi kriteria merupakan kegiatan Pemanfaatan Ruang ^yang ^menjaga dan/atau nrengelola lingkungan hidup untuk raempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas ^jasa lingkungan hidup berupa:

    67. pemulihan lingkungan hidup;

    68. konservasi;

    69. perlindungan tata air;

    70. penyerapan dan penyimpanan karbon;

    71. pelestarian keinCahan alam; dan

    72. kegiatan lainnya.sesuai dengan peikembangan dan kebutultan penyediaan jasa lingkungan hidup tJi" ruang diberikan untuk mengoptimalkan pemaniaatan barang milik negara dan/atau barang milik daerah dalam mendorong perwujudan RTR, memberikan kemudahan dan daya tank bagi pengembangan kawasan baru yang sulit berkembang, Cimana asetnya banyak dikuasai pernerinttih. Jenis barang milik negara clan/atau barang milik claerah dapat berupa tanah dan/atau bangunan. Jenis barang rnilik negara dan/atau barang milik daerah meinpertimbangkan ketersediaan aset pemerintah dan ^jenis aset yang dibutuhkau untuk pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang. Sewa ruang dapat diberikan pada pelaku kegiatan Pemanfaatan Ruang yang mendukung pengembangan kawasan yang memenuhi kriteria antara lain:

    73. beru dikembangkan dan/atau sulit dikembangkan dimana asetnya banyak dimiliki premerintah;

    74. dapat rnemberi dampak positif terhadap ^pengenrbangan ekonomi wilayah a.tau kepentingan umum; Pasal 174 Urun saham dilekukan untuk memperkriat ^atau ^meningkatkan modal dan/atau saham kegiatan Pemanfaatan ^Ruang ^yang ^perlu didorong perwujudannya, meningkatkan ^peran ^Masyarakat ^rierta menciptakan rasa memrliki Masyarakat terhadap ^guna ^lahan tertentu, dan rnencegah alih fungsi lahan ^pada kawasan ^tertentu yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya. Urun saham dapat Ciberikan pada ^pelaku ^kegiatan ^Pemanfaatan Ruang yang mendukung pengembangan kawasan ^yang ^memenuhi kriteria antara lain:

    75. kurang berkqmbang; dan latanu b. memiliki peluang berkembang da lnampu ^mgndorong perwujudan kawasan di sekitarnya. Pasal 175 Fasilitasi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan ^Ruang diberikan untuk Pemanfaatan Ruang baik ^Pemanfaatan ^Ruang ^di darat maupun Pemanfaatan Ruang di Laut. Fasilitasi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan ^Penre.nfaatan ^Ruang dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

      Pasal 176

      PenyeCiaan prasarana dan sai'ana dilakukan untuk ^memberil'an daya tarik berupa kcleagkapan prasarana dan sarana ^untuk . mempercepat perwujudan ka..'rasan, penguatan Struktur Ruang dalam mendorong perwujudan kawasan sesuai ^dengan ^RT-R, ^dan memberikan efek berganda pada ^percepatan pembangunan ^daerah. Jenis prasarana dan sarana dapat berupa:


    76. sistenr ^j_aringan prasarana;

    77. fasilitas umum; dan/atau Jenis irasarana dan sarana ^paling sedikit ^mempertimbangkan:

    78. ^jenis kegiatan; O. ^jenis prasarana atau sarana ^yang dibutuhka , c. keberdayagunaan. . ^. Si( No 093763 A c. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; dan

    79. ketersediaan sumber daya. Penyediaan prasarana dan sarana dapat diberikan patia peiaku kegiatan Pemanfaatan Ruang yarlg mendukung pengembangan kawasan yang memenuhi kriteria:

    80. kurang berkembang akibat keterbatasan prasarana dan sarana;

    81. baru dikembangkan; dan

    82. menjadi prioritas pembangunan nasional atau ciaerah. Pasal 177 Ayat (1) Pemberian penghargaan bertujuan untuk: ail'#: ,A: ,ff runJ"',"3f ^"'H": *J'rffI fi berkualitas;

    83. memberikan bantuan linansial dan/atau nonfinansial dalam mempertahankan dan/atau meningkatkan kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang; dan

    84. mendorong Masyarakat dalam penvujudan RTR. Penghargaan dapat berupa piagam dan/atau bentuk penghargaan lainnya. Pemberian penghargaan dapat disertai dengan pemberian berupa uang danlatau barang. Penghargaan dapat diberikan kepada:

    85. Pemerintah Daerah yang memiliki kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang yang baik dan berkualita"; "i"u b. Masyarakat pelaku kegiatan Pema: itaatarr Ruang yang memiliki niiai tambah dalam peqvvujudan RTR. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huir,rf b trRES!DEN REPUBLIK INDONESIA Huruf b Nilai manfaaf- yarlg dipertimbangkan dalanr ^perrrberian penghargaan nnenrpakan nilai manfaat ba.gi pemberi penghargaan dan penerima penghargaan. Pasal 178 Frblikasi atau promosi bertujuan untuk:

    86. memperkenalkan atau mempromosikan suatu kawasan; dan

    87. mendorong perwrrjudan kawasan dan kegiatan prioritas daerah. Jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dapat diberikan publikasi atau promosi memenuhi kriteria:

    88. nrerupakan program pembangunan prioritas; dan latau b. menrberikan dampak positif dalam aspek sclsial, ekc.nomi, dan/atau lingkungan. hrblikasi atau promosi dapat diberike.-n pada pelaku kegiatan Pemanfaatan Ruhng yang mendukung pengernba.ngan kawasan yang memenuhi kriteria antara lain:

    89. baru dikembangkpn;

    90. menjadi prioritas pembangunan nasiona-l atau daerah; atau

    91. menjagakelestarian lingkungan.

      Pasal 179

      Cukup ^jelas. Pasal I8O Cukup ^jelas.


      Pasal 181

      Cukup ^jelas.


      Pasal 182

      Cukup ^jelas.


      Pasal 183

      Ayat (1) , Pajak dapat berupa pajak pusat dan/atau pajak daerah. Pengenaan pajak dan/atau retribusi yang tinggi bertujuan untuk:


    92. mengurangi daya tarik dan daya saing kegiatan Pemanfaatan Ruang pada lokasi tertentu yang hampir terlampaui daya dukung dan daya tampungnya;

    93. mengarahkan dan nrengendalikan peningkatan intensitas kegiatan Pemanfaatan Ruang pada kawasan yang sudah terlalu padat; dan

    94. mengantisipasi dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan Pemanfaatan Ruang. Ayat (2) Pengenaan pajak dan/atau retribusi yang tinggi pada kawasan yang memiliki nilai ekonomi tinggi yang hampir atau telah melampaui daya dukung dan haya tampung lingkungan dilakukan dalam konteks internalisasi dermpak negatif ^yang mungkin ditimbulkan (eksternalitas).

      Pasal 184

      Kewajiban memberi kompensasi atau imbalan bertujuan untuk:


    95. mengantisipasi kerusakan dan/atau degradasi lingkungan serta ' dampak negatif lainnya dari Pemanfaatan Ruang; dan

    96. mencegah kerurgian yarrg ditimbulkan akibat Pemanfaatan Ruang. Kewajiban memberi kompensasi atau imbalan dapat diberikarr kepada pelaku kegiatan Pemanfaatan Rtiing pada kawasan ^yang memenuhi kriteria antara lain:

    97. berpotensi menimbulkan kerusakan dan/atau degradasi lingkungan serta ekstcrnalitas iregatif lainnya dari Pemanfaaban Ruang terhadap kawa.san ^rji sekitarnya; dan/atau

    98. menerima ^jasa lingktrngan hidup. Sl( No 093'/tr5 A Pasal Bentuk kompensasi atau imbalan dapat berupa:

    99. uang; dan/atau

    100. bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. Bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang dapat berupa ^penyediaan fasilitas publik. 185 Pembatasan penyediaan prasarana dan sarana bertujuan ^untuk:

    101. mengurangi daya tarik dan daya saing kawasan ^tertentu;

    102. mencegah, membatasi, dan/atau mengurangi ^pemtlangunan pada kawasan yang dibatasi pengembangannya sesuai dengan RTR; dan

    103. mengarahkan pembangunan. Pembatasan penyediaan prasarana dan sarana dapat ^diherikan kepada pelaku kegiatan Pemanfaatan Ruang ^pada ^kar,vasan ^yang memenuhi kriteria:

    104. berpotensi terlampaui daya dukung dan daya ^tampung lingkungan;

    105. dilindungi atau dilestarikan; atau

    106. rentan terhadap pengembangan kegiatan tertentu. Jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang ^yang dapat diberikan ^pembatasan penyediaan prasarana dan sarana memenuhi kriteria:

    107. berpotensi mengganggu kinerja kawasan;

    108. berpotensi mengganggu karakteristik kawasan ^yang dilindungi dan/atau dilestarikan; atau

    109. berpotensi menimbulkan dampak negatif dari aspek ^sosial, ekonomi dan/atau lingkungan. Jenis prasarana dan sarana dapat berupa:

    110. jaringan transportasi beserta ^prasarana ^pendukungnya; dan/atau

      Pasal 186

      Pasal


      Pasal 188

      Cukup ^jelas.


      Pasal 189

      Cukup ^jelas.


      Pasal 190

      Cukup ^jelas. Pemberian status tertentu bertujuan untuk:


    111. mengurangi daya tarik kegiatan Pemanfaatan Ruang pada kawasan rawan bencana;

    112. mencegah, membatasi, dan/atau rnengurangi kegiatan Pemanfaatan Ruang pada kawasan rawan bencana; dan

    113. meningkatkan kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pemberian status tertenttr dapat bempa:

    114. penetapan dan penyebarluasan informasi kawasan rawan bencana; dan/atau

    115. penyebarluasan infrormasi kinerja Penyelenggaran Penataan Ruang. Bentuk status tertentu pada kawasan raw encana dapat berupa papan peringatan ralvan bencana. Pemberian status tertentu pada ka'arasan de kinerja Pemanfaatan Ruang renclah dapat dilakukan melalui publikasi hasil penilaian kinerja Penyelenggaraan Penataan Ruang. t87 Peraturan Menteri mengenai insentif dan disinsentif antara lain memuat kriteria dan tata cara pemberian insentif yang diberikan oleh instansi sektoral.

      Pasal 191

      Pemanfaatan Ruang yang tidak memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dapat berupa Pemanfaatan Ruang yang dilaksanakan tanpa memiliki kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang baik di lokasi yang sesuai peruntukannya maupun tidak sesuai peruntukannya. Huruf a Huruf b


      Pasal 192

      Pemanfaatan Ruang yang tidak mematuhi ketentuan dalam muatan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, antara lain Pemanfaatan Ruang yang dilakukan dengan tidak mematuhi ketentuan yang tercantum dalam muatan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, seperti: lokasi kegiatan, jenis kegiatan Pemanfaatan Ruang, koefisien dasar bangunan atau koefisien wilayah terbangun, koefisien lantai bangunan, ketentuan tata bangunan, persyaratan pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang, dan/atau ketentuan batas sempadan.

      (1)

      Yang dimaksud dengan "menghalangi akses" adalah tertutupnya akses Masyarakat untuk mencapai kawasan yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan sebagai milik umum. Yang termasuk dalam kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum, antara lain pesisir pantai, sungai, danau, situ, dan/atau sumber daya alam serta prasarana publik, sumber air, taman dan/atau rlrang terbuka hijau, fasilitas pejalan kaki, lokasi dan/atau jalur evakuasi bencana, dan/atau jalan umum tanpa izin pejabat yang berwenang. Penutupan akses ini dapat mengakibatkan proses evakuasi masyarakat dalam keadaan bencana menjadi terganggu.

      (2)

      Cukup jelas. Ayat Ayat Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 193 Dasar pengenaan sanksi administratif disimpan dan diproses ^dalam bentuk basis data dan informasi digital bidang ^Penataan ^Ruang, sehingga menjadi suatu database yang dapat ^dijadikan pertimbangan dalam Perencanaan Tata Ruang. Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas Huruf c Hasil audit Tata Ruang memuat informasi ketidaksesuaian antara Pemanfaatan Ruang dan RTR, baik yang terjadi setelah penetapan peraturan tentang RTR maupun sebelum penetapan peraturan tentang RTR. Huruf d Pengaduan pelanggaran Pemanfaatan Ruzurg dapat dilakukan melalui seluruh media, termasuk secara daring.


      Pasal 194

      Cukup ^jelas.


      Pasal 195

      Ayat (1) Sanksi administratif dikenakan untuk memberikan efek ^jera kepada pelanggar Pemhnfaatan Ruang, sehingga ^pelanggat' tersebut mengalami suatu kondisi ^yang mengakibatkannya ^tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Huruf c Penghentian sementara kegiatan Pemanfaatan Ruang dapat dilakukan secara paksa dengan mempertimbangkan ketertiban umum. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pengawasan untuk memastikan agar kegiatan yang dihentikan tersebut tidak beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya kewajiban sebagaimana tercantum dalam surat pemberitahuan penghentian kegiatan sementara. Huruf d Penghentian sementara pelayanan umum dilakukan secara paksa dengan memperhatikan aspek keadilan bagi Masyarakat, sehingga pelaksanaannya tidak diperbolehkan mengakibatkan Masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Agar dapat terlaksana dengan baik, penghentian sementara pelayanan umum dilakukan dengan bekerja sama dengan badan penyedia layanan umum untuk melakukan penghentian sementara pelayanan. Huruf e Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan penutupan lokasi dengan bantuan aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara paksa. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pengawasan untuk memastikan lokasi yang ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan Orang yang melakukan pelanggaran memenuhi kewajiban sebagaimana tercantum dalam surat pemberitahuan penutupan lokasi. Huruf f Pencabutan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan apabila muatan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang tidak dipenuhi oleh pemegang Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Termasuk Termasuk dalam Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah izin Pemanfaatan Ruang ^yang diterbitkan sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun ^2O2O ^tentang Cipta Kerja. Pemerintah hrsat dan/atau Pemerintah Daerah memberitahukan kepada pihak ^yang melanggar ^mengenai status Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang ^yang telah dicabut sekaligus melaksanakan ^penghentian kegiatan Pemanfaatan Ruang yang telah dicabut Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruangnya. Huruf g Huruf h Huruf i Pembatalan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan apabila terbukti adanya kesalahan ^prosedur dan administrasi dalam perolehan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, contohnya data ^pemohon tidak benar dan/atau lokasi-yang dimohonkan berbeda. Termasuk dalam Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Rtrang adalah izin Pemanfaatan Ruang ^yang diterbitkan sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang ^Cipta Kerja. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintahan Daerah memberitahukan kepada pihak yang melanggar mengenai status Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang ^yang telah dibatalkan sekaligus melaksauakan ^penghentian kegiatan Pemanfaatan Ruang yang telah dibatallcan Kesesuaian Kegiatan Peraanfaatan Ruangnya. Pembongkaran bangunan dapat dil terhadap keseluruhan bangr.nan atau sebagian bangunan. Pembongkaran bangunan dilakukan dengan ^tetap memperhatikan aspek keselamatan bangunan, keselamatan Masyarakat, dan kepentingan umum. Pembongkaran bangunan dapat disertai dengan ^relokasi. Cukup ^jelas Ayat (2) Ayat (21 Ayat (3) Ayat (4) Cukup ^jelas


      Pasal 196

      Huruf a Tanda pemberitahuan pelanggaran bidang Penataan Ruang dapat berupa stiker, papan, spanduk, danf atau pemberitahuan melalui media elektronik. Stiker tanda pemberitahuan pelanggaran berisi informasi pelanggaran bidang Penataan Ruang yang ditempel atau dilekatkan pada objek pelanggaran. Papan tanda pemberitahuan pelanggaran dan spanduk berisi irrformasi pelanggaran bidang Penataan Ruang yang bersifat tetap dan dipasang pada tempat yang telah ditentukan agar mudah terlihat oleh publik. Papan yang digunakan sebagai tanda pemberitahuan pelanggaran bidang Penataan Ruang biasanya dipergunakan pada lokasi persil atau kawasan. Media elektronik yang dapat digunakan sebagai pemberitahuan informasi pelanggaran bidang Penataan Ruang antara lain videotron, televisi, radio, dan lain-lain. Upaya paksa oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat berupa pemindahan sementara sebagian atau seluruh barang peralatan dan/atau sarana kegiatan atau usaha, pengosongan lahan dan bangunan kegiatan atau usaha, dan/atau tindakan lain yang bertujuan untuk dengan segera menghentikan pelanggaran demi menjaga kondisi keselamatan, keamanan, dan ketertiban umum. Besar atau kecilnya dampak pelanggaran dipertimbangkan antara lain dengan memperhatikan ^jumlah Masyarakat yang terdampak dan/atau radius kawasan yang terkena dampak pelanggaran tersebut. Huruf b Nilai manfaat pengenaan sanksi dipertimbangkan dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi pengenaan sanksi terhadap suatu pelanggaran. Huruf c Kerugian publik yang ditimbulkan dipertimbangkan dengan memperhatikan nilai ekonomi suatu kawasan dan pendapatan Masyarakat sekitar akibat pelanggaran tersebut. Pasal 197 Dalam hal diperlukan, pengenaan sanksi administratif juga dapat dilakukan pelaksanaan seleksi kasus, pendampingan pelaksanaan penertiban Pemanfaatan Ruang, dan evaluasi pengenaan sanksi administratif. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengumpulan dan pendalaman materi, data, dan informasi merupakan kegiatan pengumpulan serta pendalaman bahan bukti pendukung dan keterangan dari pihak terkait, yang meliputi pengumpulan dokumen pendukung, survei lapangan, dan wawancara dengan pihak terkait guna meminta keterangan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Dalam penetapan tindakan sanksi, dapat melalui pertimbangan Forum Penataan Ruang sesuai dengan kewenangannya. Huruf e Penyelenggaraan forum sosialisasi dilakukan dengan pelaksanaan sosialisasi kepada pihak yang diduga terlibat dan melakukan pelanggaran bidang Penataan Ruang. Forum sosialisasi dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali. Huruf f Huruf f Pengenaan sanksi administratif diawali penyampaian peringatan tertulis. Pengenaan sanksi dituangkan dalam berita acara. dengan


      Pasal 198

      Ayat (l) Yang dirnaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah pejabat yang diberi tugas dan wewenang oleh menteri, gubernur, atau bupati/wali kota untuk menjalankan tugas dan fungsi mengenakan sanksi adrninistratif bidang PJnataan Ruang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penerbitan surat peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali, yang masing-masing diterbitkan dalam rentang *alitu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (a) Pengenaan sanksi administratif dapat dikenakan dengan cara langsung, bertahap, darrf atau kumu_latif. Yang dimaksud dengan pengenaan sanksi secara "langsung" adalah pengenaan sanksi yang menunjuk salah satu atau beberapa sanksi secara langsung setelah peringatan tertulis. Yang dirnaksud dengan pengenaan sanksi secara "bertahap" adalah'pengenaan sanksi yang diberikan secara bertahap dari sanksi ringan ke sanksi berat. Yang dimaksud dengan pengenaan sanksi "kurrrulatif" adalah pengenaan sanksi yang diberikan dengan lebih dari satu jenis sanksi yang dimaksudkan agar pihak pelanggar tiaat mengulangi perbuatannya.


      Pasal 199

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Denda progresif merupakan denda yang dikenakan kepada setiap pelanggaran dengan menambah besaran denda sampai pelanggar tersebut memenuhi persyaratan yarlg dimuat dalam sanksi administratil'. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 2OO Cu.kup ^jelas.


      Pasal 201

      Cukup ^jelas. Pasal 2O2 Pemulihan fungsi Ruang dilaksanakan dalam ^jangka rvaktu tertentu untuk memastikan agar Ruang tersebut dapat kembali berfungsi sesuai RTR. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi Ruang. Pemulihar. fungsi Ruang dapat melibatkan instansi sektoral terkait, misalnya pelibatan instansi yang membidangi sumber ciaya air pada pelanggaran Pemanfaatan Ruang yang berada pada sempadan sungai.


      Pasal 203

      Ayat (1) Seluruh proses atau tahapan pengenaan sanksi disimpan dalam basis data dan informasi digital bidang Penataan Ruang. Basis data pengenaan sanksi berisi kronologi.s pengenaan sanksi, tahapan pengenaan sanksi, berita acara pengenaan sanksi, berita acara tindakan pelaksanaan sanksi^ ^jenis sanksi yang dikenakan, monitoring dan evaluasi pengenaan sanksi, penilaian efektivitas pengenaan sanksi, dan lain-lain. Ayat (2) Cukup jelas.


      Pasal 204

      Cukup jelas.


      Pasal 205

      Cukup jelas.


      Pasal 206

      Cukup jelas. Pasal 2O7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Mediator diharuskan bersikap netral dan *-idak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak yang bersengketa. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat ^(6) Cukup jelas.


      Pasal 208

      Cukup ^jelas. Pasal 2O9 Cukup jelas.


      Pasal 210

      Ayat (1) .Cukup ^jelas. SK [Jo 093777 A Ayat (2) Pemantauan dilakukan dalanr rangka mengamati kinerja Pemerintah hrsat atau Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraatl Penataan Ruang dan/atau mengidentifikasi permasalahan yang timbul akibat penyirnpangan Penyelenggaraan Penataan Ruang. Ayat (3) Evaluasi Cilakukan dalam rangka:


    116. menganalisis penyebab terjadinya permasalahan Penataan Ruang yang timbul;

    117. memperkirakan besaran dampak akibat permasalahan yang tedadi;

    118. menganalisis tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan dan/atau mengurangi penyippangan dan dampak yang timbul dan akan terjadi; dan

    119. merumuskan langkah tindak lanjut yang diperlukan. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 2 1 1 Cukup ^jelas. Pasal 2L2 Ayat (1) Huruf a Kinerja Pengaturan Penataan R.uang meliputi ketersediaan produk lega.l norma, statndar, prosedur, dan kriteria bidang Penataan Ruang. Apabila produk .legal belum tersedia, dilakr.rkan penilaian terhadap proses pen5rusunan dan/atau legalisasi norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang Penataan Ruang. Kinerja Pembinaan Penataan Ruang meliputi pelaksanaan dan/atau penyusunan bentuk-bentuk Pembinaan Penataan Ruang. Kinerja Pelaksanaan Penataan Ruang meliputi: a Perencanaan Tata Ruang meliputi proses penyusunan sarnpai dengan terbitnya persetujuan substansi (kelengkapan muatan dan prosedur); Pemanfaatan Ruang meliputi program perwujudan pemanfaatan tanah dan rup.ng (sesuai dengan indikasi program); dan Pengendalian Pemanfaa.tan Ruang meliputi penyusuna.n dan/atau penerapan ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. insentif dan disinsentif, dan pengenaan sanksi. Huruf b Fungsi Penyelenggaraan Penataan Ruang efektif meliputi:

    120. RTR efektif apabila subSt-ansi RTII, sudah tersedia, telah dilegalkan, dan sudah dilakukan pembinaan;

    121. Pemanfaatan Ruang efektif apa.bila Kesesuaian Kegiatan Pernanfaatan Ruang dan/atau sinkronisasi program Pemanfaatan Ruang sudah tersedia, telah. dilegalkan, dan sudah d.ilakukein pembinaa.n; atau

    122. Pengendalian Pemanfaatan Ruang efektif apabila ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang sudah tersedia, telah dilegalkan dan sudah dilakukan pembinaan. Manfaat Penyelenggaraan Penacaan Ruar: ,g dinilai efektif dan elisien apabila terjadi l<eterpaduar. atau integrasi antarfung'si Perencanaan Tata Ruhng yang efektif, dengan fungsi pemanfaatan Ituang yang efektif dan dengan fungsi Pengendalian pernanfaatan Ruang yang efektif. Huruf c Cukup jelas. Ayat (21 Cukup jelas. b c.

      Pasal 213

      Cukup ^jelas. Pasal 2l4 Cukup ^jelas. Pasal 215 Yang dimaksud dengan "standar teknis Penataan Ruang Kawasan" adalah standar sektor yang dalam penerapannya memperhatikan aspek kawasan / kewilayahan. Sebagai contoh:


    123. sempadan danau yang ditetapkan pada standar sektor dengan jarak 50 (lima puluh) meter, perlu mempertimbangkan aspek kawasan/kewilayahan, misalnya lokasi sempadan pada dataran yang landai atau curam;

    b. pada kawasan industri terdapat ketentuan sektor industri, sektor lingkungan hidup, sektor air bersih, sektor jalan, dan sebagainya. Pasal 2 16 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Sanksi yang dikenakan terhadap Pemerintah Daerah provinsi yang tidak melakukan Pengawasan Penataan Ruang antara lain berupa teguran. Pasal 217 Ayat (1) Pelaksanaan Pengawasan Penataan Ruang dapat lebih efektif dan optimal dengan adanya inspektur pembangunan sebagai petugas khusus yang memiliki tugas/kewenangan melaksanakan Pengawasan Penataan Ruang. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Pasal 2 18 Cukup ^jelas. Pasal 2 19 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Sarana penyampaian laporan dan/atau pengaduan meliputi antara lain kotak pos, situs (website), layanan pesan singkat, surat elektronik, media sosial, dan lain-lain. Pasal 22O . Pasal 220 Ayat (1) Kondisi khusus merupakan permasalahan yang muncul dari hasil penilaian kinerja ^penyelenggaraan penataan Ruang yang bersifat ekstrem dari hasil rata-rata dani atau menjadi prioritas untuk segera ditindaklanjuti. Kondisi khusus dapat berupa pcrmasalahan yang berdampak besar, menjadi perhatian publik, bersifat strategis nasional, dan lain-lain. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22l Cukup jelas. Pasal 222 Cukup jelas. Pasal 223 Cukup jelas. Pasal 224. Cukup jelas. Pasal 225 Cukup jelas. Pasal 226 Cukup jelas. Pasal 227 Ayat (1) Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Rua.ng bertujuan untuk mewujudkan keterpaduan baik dalam penyelenggaraan Penataan Ruang pada semua tingkat pemerintahan maupun antartingkat pemerintahan. Keterpaduan dalam Penyelenggaraan penataan Ruang merupakan integrasi dalam perencanaan, sinkronisasi dalam pemrograman, dan koordinasi dalam pelaksanaan. Ayat Ayat Ayat Pasal 228 (2) Koordinasi dalam satu wilayah administrasi merupakan koordinasi antarinstansi dalam masing-masing wilayah administrasi. Koordinasi antardaerah merupakan koordinasi yang dilaksanakan oleh lebih dari satu daerah provinsi atau kabupaten/kota. Koordinasi antartingkatan pemerintahan merupakan koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta antara Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota. (3) Fungsi koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang dilaksanakan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan Penyelenggaraan Penataan Ruang antara lain konflik dalam Pemanfaatan Ruang, konflik kewenangan, dan penanganan bencana skala nasional yang berimplikasi pada proses Penataan Ruang. Fungsi koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang dilaksanakan antara lain melalui berbagai forum dan rapat koordinasi. (4) Cukup ^jelas. Ayat (1) Ayat (21 Sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman bidang Penataan Ruang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada Pemangku Kepentingan tentang substansi pengaturan bidang Penataan Ruang. Sosialisasi melalui tatap muka antara lain dialog, seminar, lokakarya, danf atau diskusi. Sosialisasi melalui media elektronik antara lain penyiaran di media radio dan/atau televisi, rubrik tanya jawab melalui media internet, video, audio, multimedia, konten daring, dan sebagainya. Pasal 229 Bimbingan, supervisi, dan konsultasi Pelaksanaan Penataan Ruang antara lain dilakukan dalam rangka proses persetujuan substansi rancangan peraturan daerah terrtang RTR. Pasal 230 Ayat (1) Pendidikan dan pelatihan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku sumber daya manusia dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pendidikan dan pelatihan dapat dilaksanakan melalui metode E-Leatning. E-Leaming merupakan proses belajar mengajar yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi yang ' dapat diakses kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja sesuai dengan kelompok fargetnya. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Hurrf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Humf d IIasil evaluasi dirnanfaertkan untuk meningkatkan kinerja penyelenggeraan pendidikan dan pelatihan di bidang Penataan Ruang. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 231 Ayat (1) Perrelitian, kajian, danr pengembangan dilaksanakan uleh lembaga penelitian dan Mtsyarakat. Penelitian, kajian, dan pengembangan bertujuan untuk menemukan solusi serta mengantisipasi kebutuhan pengemb4urgan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang Penataan Ruang. Penelitian, kajian, dan pengembangan dilakukan antara lain melalui eksperimen, studi kasus, dan pengkajian teknologi bidang Penataan Ruang. Ayat (21 Cukup jelas. Pasal 232 Ayat (l) Cukup jelas. Ayat (2) Penyediaan basis data dan informasi dilakukan melalui pengumpulan, penyimpanan, penganalisaan, pengolahan, dan penyajian data serta informasi bidang pcnataan Ruang. Pasal 233 Ayat (1) Penyebarluasan informasi Penataan Ruang kepada Masyarakat merupakan pelaksanaan dari prinsip keterbukaan informasi. Ayat (21 Cukup jelas. Pasal 234 Cukup jelas. Pasal 235 Cukup jelas. Pasal 236 Cukup jelas. Pasal 237 Cukup jelas. Pasal 238 Cukup jelas. Pasal 239 Cukup jelas. Pasal 240 Cukup jelas. Pasal 241 Cukup jelas. Pasal 242 Ayat (1) Pertimbangan yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Menteri memuat informasi terkait jenis kegiatan usaha yang dibatasi, lokasi kegiatan usaha ciimaksud, serta pertimbangan teknis dan sosial yang menjadi dasar , pertimbangan Pemerintah Daerah. Ayat (21 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kerawanan sosial ciimaksud dapat berupa, antara lain, gangguan keamanan dan ancaman terhadap kelangsungan kegiatan perekonomian lokal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukrrp jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 243 -to2- Pasal 243 Cukup jelas. Pasd 244 Cukup jelas. Pasal 245 Cukup ^jelas. Pasal 246 Cukup ^jelas. Pasal 247 Cukup jelas. Pasal 248 Cukup jelas. Pasal 249 Cukup jelas. Pasal 250 Pasal 251 Cukup ^jelas. Yang dimaksud dengan kegiatan dan/atau ketentuan Pengerrdalian Pemanfaatan Ruang yang masih dalam proses teknis dan/atau proses legalisasi antara lain pengendalian kawasan sekitar situ, danau, embung, waduk, dan sumber air lainnya., dan kawasan sekitar proyek strategis nasional. Kegiatan dan/atau ketentuan Pengendalian pemanfaatan Ruang yang masih dalam proses teknis dan/atau proses legalisasi ditindaklanjuti sesuai ketentuan penJrusullan cian penetapan RDTR. Yang dimaksud kegiatan dan/atau ketentuan penertiban Pemanfaatan Ruang yang masih dalam proses teknis dan/atau proses legalisasi antara lain auclit Tata Ruang, pengenaan sanksi administratif, pengawasan pengamatan penelitian pemeriksaan (wasmalitrik), dan penyidikan. Kegiatan dan/atau ketentuan penertiban Pemanfaatan Ruang yang masih dalam proses teknis dan/atau proses legalisasi ditindaklanjuti sesuai ketentuan pengenaan sanksi. Pasal 252'. Pasal 252 Cukup ^jelas. Pasal 253 Cukup ^jelas. Pasal 254 Cukup ^jelas. Pasal 255 Cukup ^jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6633

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):