Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021

Kerangka<< >>

No.26, 2021 INFRASTRUKTUR. Bangunan Gedung. No.26, 2021 INFRASTRUKTUR. Bangunan Gedung. Peraturan Pelaksanaan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2021 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG. BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


  4. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

  5. Bangunan Gedung Cagar Budaya yang selanjutnya disingkat BGCB adalah Bangunan Gedung yang sudah ditetapkan statusnya sebagai bangunan cagar budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan tentang cagar budaya.

  6. Bangunan Gedung Fungsi Khusus yang selanjutnya disingkat BGFK adalah Bangunan Gedung yang karena fungsinya mempunyai tingkat kerahasiaan dan keamanan tinggi untuk kepentingan nasional atau yang karena penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi.

  7. Bangunan Gedung Hijau yang selanjutnya disingkat BGH adalah Bangunan Gedung yang memenuhi Standar Teknis bangunan Gedung dan memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip BGH sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam setiap tahapan penyelenggaraannya.

  8. Bangunan Gedung Hunian Hijau Masyarakat yang selanjutnya disebut H2M adalah kelompok Bangunan Gedung dengan klasifikasi sederhana berupa rumah tinggal tunggal dalam satu kesatuan lingkungan administratif atau tematik yang memenuhi ketentuan rencana kerja bangunan H2M.

  9. Bangunan Gedung Negara yang selanjutnya disingkat BGN adalah Bangunan Gedung untuk keperluan dinas yang menjadi barang milik negara atau daerah dan diadakan dengan sumber pendanaan yang berasal dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau perolehan lainnya yang sah.

  10. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat DPMPTSP adalah perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu daerah.

  11. Dinas Teknis adalah perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Bangunan Gedung.

  12. Garis Sempadan Bangunan yang selanjutnya disingkat GSB adalah garis yang mengatur batasan lahan yang tidak boleh dilewati dengan bangunan yang membatasi fisik bangunan ke arah depan, belakang, maupun samping.

  13. Keterangan Rencana Kota yang selanjutnya disingkat KRK adalah informasi tentang ketentuan tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota pada lokasi tertentu.

  14. Ketinggian Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat KBG adalah angka maksimal jumlah lantai Bangunan Gedung yang diperkenankan.

  15. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah angka persentase berdasarkan perbandingan antara luas seluruh lantai dasar Bangunan Gedung terhadap luas lahan perpetakan atau daerah perencanaan sesuai KRK.

  16. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar Bangunan Gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan terhadap luas lahan perpetakan atau daerah perencanaan sesuai KRK.

  17. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai Bangunan Gedung terhadap luas lahan perpetakan atau daerah perencanaan sesuai KRK.

  18. Koefisien Tapak Basemen yang selanjutnya disingkat KTB adalah angka persentase berdasarkan perbandingan antara luas tapak basemen terhadap luas lahan perpetakan atau daerah perencanaan sesuai KRK.

  19. Masyarakat adalah perseorangan, kelompok, badan hukum atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang Bangunan Gedung, serta masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan Penyelenggaraan Bangunan Gedung.

  20. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.

  21. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.

  22. Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.

  23. Rencana Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat RTB adalah dokumen yang berisi hasil identifikasi kondisi terbangun Bangunan Gedung dan lingkungannya, metodologi pembongkaran, mitigasi risiko pembongkaran, gambar rencana teknis Pembongkaran, dan jadwal pelaksanaan pembongkaran.

  24. Pelaksana SBKBG adalah unit organisasi yang melaksanakan penerbitan dan pembaruan SBKBG di tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten/kota.

  25. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta Pemeliharaan Bangunan Gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.

  26. Pemanfaatan Bangunan Gedung adalah kegiatan memanfaatkan Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.

  27. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya.

  28. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan Bangunan Gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi.

  29. Pemeriksaan Berkala adalah kegiatan pemeriksaan keandalan seluruh atau sebagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya dalam tenggang waktu tertentu guna menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung.

  30. Pemilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Pemilik adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai Pemilik Bangunan Gedung.

  31. Pemohon adalah Pemilik Bangunan Gedung atau yang diberi kuasa untuk mengajukan permohonan penerbitan PBG, SLF, RTB, dan/atau SBKBG.

  32. Pendataan adalah kegiatan pengumpulan data suatu Bangunan Gedung oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang dilakukan secara bersama dengan proses PBG, proses SLF, dan Pembongkaran Bangunan Gedung, serta mendata dan mendaftarkan Bangunan Gedung yang telah ada.

  33. Pengelola adalah unit organisasi, atau badan usaha yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional Bangunan Gedung, pelaksanaan pengoperasian dan perawatan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan secara efisien dan efektif.

  34. Pengelola Teknis adalah tenaga teknis kementerian dan/atau organisasi perangkat daerah yang bertanggung jawab dalam pembinaan BGN, yang ditugaskan untuk membantu kementerian/lembaga dan/atau organisasi perangkat daerah dalam pembangunan BGN.

  35. Pengguna Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Pengguna adalah Pemilik dan/atau bukan Pemilik berdasarkan kesepakatan dengan Pemilik, yang menggunakan dan/atau mengelola Bangunan Gedung atau bagian Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

  36. Pengunjung adalah semua orang selain Pengguna yang beraktivitas pada Bangunan Gedung.

  37. Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki kompetensi dan diberi tugas oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan inspeksi terhadap Penyelenggaraan Bangunan Gedung.

  38. Penyedia Jasa Konstruksi adalah pemberi layanan jasa konstruksi.

  39. Pengkaji Teknis adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, yang mempunyai sertifikat kompetensi kerja kualifikasi ahli atau sertifikat badan usaha untuk melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi Bangunan Gedung.

  40. Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, Pelestarian, dan Pembongkaran.

  41. Penyelenggaraan Bangunan Gedung Negara yang selanjutnya disebut Penyelenggaraan BGN adalah kegiatan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, Pelestarian, dan Pembongkaran pada BGN.

  42. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar Bangunan Gedung tetap laik fungsi.

  43. Persetujuan Pembongkaran Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Persetujuan Pembongkaran adalah persetujuan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemilik untuk membongkar Bangunan Gedung sesuai dengan Standar Teknis.

  44. Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung.

  45. Profesi Ahli adalah seseorang yang telah memenuhi standar kompetensi dan ditetapkan oleh lembaga yang diakreditasi oleh pemerintah pusat.

  46. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.

  47. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya disingkat RTBL adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan.

  48. Rencana Tata Ruang Laut yang selanjutnya disingkat RTRL adalah hasil dari proses perencanaan tata ruang laut.

  49. Sekretariat TPA, TPT, dan Penilik yang selanjutnya disebut Sekretariat adalah tim atau perseorangan yang ditetapkan oleh kepala dinas teknis untuk mengelola pelaksanaan tugas TPA, TPT, dan Penilik.

  50. Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang selanjutnya disingkat SMKK adalah bagian dari sistem manajemen pelaksanaan pekerjaan konstruksi dalam rangka menjamin terwujudnya keselamatan konstruksi.

  51. Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SIMBG adalah sistem elektronik berbasis web yang digunakan untuk melaksanakan proses penyelenggaraan PBG, SLF, SBKBG, RTB, dan Pendataan Bangunan Gedung disertai dengan informasi terkait Penyelenggaraan Bangunan Gedung.

  52. Standar Operasional Prosedur yang selanjutnya disingkat SOP adalah serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan, di mana dan oleh siapa dilakukan.

  53. Standar Teknis Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Standar Teknis adalah acuan yang memuat ketentuan, kriteria, mutu, metode, dan/atau tata cara yang harus dipenuhi dalam proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung yang sesuai dengan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.

  54. Tenaga Ahli Fungsi Khusus adalah orang perseorangan yang memiliki keahlian spesifik di bidang nuklir, persenjataan, keamanan nasional, forensik, atau intelijen.

  55. Tim Profesi Ahli yang selanjutnya disingkat TPA adalah tim yang terdiri atas profesi ahli yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk memberikan pertimbangan teknis dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung.

  56. Tim Penilai Teknis yang selanjutnya disingkat TPT adalah tim yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang terdiri atas instansi terkait penyelenggara Bangunan Gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penilaian dokumen rencana teknis Bangunan Gedung dan RTB berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan rumah tinggal tunggal 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m2 (sembilan puluh meter persegi) serta pemeriksaan dokumen permohonan SLF perpanjangan.

  57. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  58. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

  59. Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis adalah standar yang harus dipenuhi untuk memperoleh PBG.

  60. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.

  61. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.

    Pasal 2

    Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:

    1. fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung;

    2. Standar Teknis;

    3. proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung;

    4. sanksi administratif;

    5. peran Masyarakat; dan

    6. pembinaan. BAB II FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu Umum


    Pasal 3

    Bangunan Gedung ditetapkan berdasarkan:

    1. fungsi Bangunan Gedung; dan

    2. klasifikasi Bangunan Gedung. Bagian Kedua Fungsi Bangunan Gedung Paragraf 1 Umum


    Pasal 4
    (1)

    Fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan ketetapan pemenuhan Standar Teknis, yang ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungannya maupun keandalan Bangunan Gedung.

    (2)

    Fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. fungsi hunian;

    2. fungsi keagamaan;

    3. fungsi usaha;

    4. fungsi sosial dan budaya; dan

    5. fungsi khusus.

    (3)

    Selain fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), fungsi Bangunan Gedung dapat berupa fungsi campuran.

    (4)

    Fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan fungsi utama.

    (5)

    Penetapan fungsi utama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan berdasarkan aktivitas yang diprioritaskan pada Bangunan Gedung.

    (6)

    Fungsi campuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri lebih dari 1 (satu) fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dimiliki Bangunan Gedung. Paragraf 2 Penetapan Fungsi Bangunan Gedung


    Pasal 5
    (1)

    Fungsi hunian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a mempunyai fungsi utama sebagai tempat tinggal manusia.

    (2)

    Fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan ibadah.

    (3)

    Fungsi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan usaha.

    (4)

    Fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan sosial dan budaya.

    (5)

    Fungsi khusus sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf e mempunyai fungsi dan kriteria khusus yang ditetapkan oleh Menteri.


    Pasal 6

    Bangunan Gedung dengan fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) merupakan Bangunan Gedung yang dibangun dengan tujuan untuk menjalankan kegiatan berusaha.


    Pasal 7
    (1)

    Bangunan Gedung dengan fungsi campuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) didirikan tanpa menyebabkan dampak negatif terhadap Pengguna dan lingkungan di sekitarnya.

    (2)

    Bangunan Gedung dengan fungsi campuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti seluruh Standar Teknis dari masing-masing fungsi yang digabung.


    Pasal 8
    (1)

    Bangunan Gedung dengan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) harus didirikan pada lokasi yang sesuai dengan ketentuan RDTR.

    (2)

    Dalam hal RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disusun dan/atau belum tersedia maka fungsi Bangunan Gedung digunakan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam rencana tata ruang. Bagian Ketiga Penetapan Klasifikasi Bangunan Gedung


    Pasal 9
    (1)

    Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diklasifikasikan berdasarkan:

    1. tingkat kompleksitas;

    2. tingkat permanensi;

    3. tingkat risiko bahaya kebakaran;

    4. lokasi;

    5. ketinggian Bangunan Gedung;

    6. kepemilikan Bangunan Gedung; dan

    7. klas bangunan.

    (2)

    Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi Bangunan Gedung sederhana, Bangunan Gedung tidak sederhana, dan Bangunan Gedung khusus.

    (3)

    Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. Bangunan Gedung permanen; dan

    2. Bangunan Gedung nonpermanen.

    (4)

    Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Bangunan Gedung tingkat risiko kebakaran tinggi, tingkat risiko kebakaran sedang, dan tingkat risiko kebakaran rendah.

    (5)

    Klasifikasi berdasarkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi Bangunan Gedung di lokasi padat, Bangunan Gedung di lokasi sedang, dan Bangunan Gedung di lokasi renggang.

    (6)

    Klasifikasi berdasarkan ketinggian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi Bangunan Gedung super tinggi, Bangunan Gedung pencakar langit, Bangunan Gedung bertingkat tinggi, Bangunan Gedung bertingkat sedang, dan Bangunan Gedung bertingkat rendah.

    (7)

    Klasifikasi berdasarkan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi BGN dan Bangunan Gedung selain milik negara.


    Pasal 10
    (1)

    Penentuan klasifikasi berdasarkan ketentuan klas bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf g dibagi menjadi:

    1. klas 1;

    2. klas 2;

    3. klas 3;

    4. klas 4;

    5. klas 5;

    6. klas 6;

    7. klas 7;

    8. klas 8;

    9. klas 9; dan

    10. klas 10.

    (2)

    Bagian Bangunan Gedung yang penggunaannya insidental dan sepanjang tidak mengakibatkan gangguan pada bagian Bangunan Gedung lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan utamanya.

    (3)

    Bangunan Gedung dapat memiliki klasifikasi jamak, dalam hal terdapat beberapa bagian dari Bangunan Gedung yang harus diklasifikasikan secara terpisah.


    Pasal 11
    (1)

    Fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta klasifikasi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dicantumkan dalam PBG, SLF, dan SBKBG.

    (2)

    Dalam hal terdapat perubahan fungsi dan/atau klasifikasi Bangunan Gedung, Pemilik wajib mengajukan PBG perubahan. Bagian Keempat Sanksi Administratif


    Pasal 12
    (1)

    Pemilik yang tidak memenuhi kesesuaian penetapan fungsi dalam PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dikenai sanksi administratif.

    (2)

    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. pembatasan kegiatan pembangunan;

    3. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;

    4. penghentian sementara atau tetap pada Pemanfaatan Bangunan Gedung;

    5. pembekuan PBG;

    6. pencabutan PBG;

    7. pembekuan SLF Bangunan Gedung;

    8. pencabutan SLF Bangunan Gedung; dan/atau

    9. perintah Pembongkaran Bangunan Gedung. BAB III STANDAR TEKNIS BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu Umum


    Pasal 13

    Standar Teknis meliputi:

    1. standar perencanaan dan perancangan Bangunan Gedung;

    2. standar pelaksanaan dan pengawasan konstruksi Bangunan Gedung;

    3. standar Pemanfaatan Bangunan Gedung;

    4. standar Pembongkaran Bangunan Gedung;

    5. ketentuan Penyelenggaraan BGCB yang dilestarikan;

    6. ketentuan Penyelenggaraan BGFK;

    7. ketentuan Penyelenggaraan BGH;

    8. ketentuan Penyelenggaraan BGN;

    9. ketentuan dokumen; dan

    10. ketentuan pelaku Penyelenggaraan Bangunan Gedung. Bagian Kedua Standar Perencanaan dan Perancangan Bangunan Gedung Paragraf 1 Umum


    Pasal 14

    Standar perencanaan dan perancangan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a meliputi:

    1. ketentuan tata bangunan;

    2. ketentuan keandalan Bangunan Gedung;

    3. ketentuan Bangunan Gedung di atas dan/atau di dalam tanah, dan/atau air; dan

    4. ketentuan desain prototipe/purwarupa. Paragraf 2 Ketentuan Tata Bangunan


    Pasal 15
    (1)

    Ketentuan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a meliputi:

    1. ketentuan arsitektur Bangunan Gedung; dan

    2. ketentuan peruntukan dan intensitas Bangunan Gedung.

    (2)

    Pemenuhan terhadap ketentuan tata bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk mewujudkan Bangunan Gedung yang fungsional, seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.


    Pasal 16
    (1)

    Ketentuan arsitektur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a meliputi:

    1. penampilan Bangunan Gedung;

    2. tata ruang dalam;

    3. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan Bangunan Gedung dengan lingkungannya; dan

    4. pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa.

    (2)

    Penampilan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah estetika bentuk, karakteristik arsitektur, dan lingkungan yang ada di sekitarnya.

    (3)

    Penampilan Bangunan Gedung di kawasan cagar budaya harus dirancang dengan mempertimbangkan ketentuan tata bangunan terutama persyaratan arsitektur pada kawasan BGCB.

    (4)

    Pemerintah Daerah dapat menetapkan kaidah arsitektur tertentu pada Bangunan Gedung untuk suatu kawasan setelah mempertimbangkan pendapat publik.


    Pasal 17
    (1)

    Tata ruang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b harus mempertimbangkan fungsi ruang, arsitektur Bangunan Gedung, dan keandalan Bangunan Gedung.

    (2)

    Pertimbangan fungsi ruang diwujudkan dalam efisiensi dan efektivitas tata ruang dalam.

    (3)

    Pertimbangan arsitektur Bangunan Gedung diwujudkan dalam pemenuhan tata ruang dalam terhadap kaidah arsitektur Bangunan Gedung secara keseluruhan.


    Pasal 18
    (1)

    Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan Bangunan Gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar Bangunan Gedung dan ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.

    (2)

    Pertimbangan terhadap terciptanya ruang luar Bangunan Gedung dan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam pemenuhan ketentuan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia, serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana di luar Bangunan Gedung.


    Pasal 19
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasinya, wajib memenuhi ketentuan peruntukan dan intensitas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b.

    (2)

    Ketentuan peruntukan dan intensitas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. ketentuan peruntukan Bangunan Gedung; dan

    2. ketentuan intensitas Bangunan Gedung.

    (3)

    Ketentuan peruntukan dan intensitas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam KRK.

    (4)

    KRK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada RDTR dan/atau RTBL.

    (5)

    Pemerintah Daerah kabupaten/kota harus menyediakan KRK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Masyarakat secara elektronik.


    Pasal 20
    (1)

    Ketentuan peruntukan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a merupakan kesesuaian fungsi Bangunan Gedung dengan peruntukan pada lokasinya berdasarkan RDTR dan/atau RTBL.

    (2)

    Setiap Bangunan Gedung yang didirikan harus mengikuti ketentuan peruntukan yang ditetapkan dalam RDTR dan/atau RTBL.


    Pasal 21
    (1)

    Ketentuan intensitas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b merupakan pemenuhan terhadap:

    1. kepadatan dan ketinggian Bangunan Gedung; dan b. jarak bebas Bangunan Gedung.

    (2)

    Setiap Bangunan Gedung yang didirikan harus mengikuti ketentuan intensitas Bangunan Gedung yang ditetapkan dalam RDTR dan/atau RTBL.


    Pasal 22
    (1)

    Ketentuan kepadatan dan ketinggian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a meliputi:

    1. KDB;

    2. KLB;

    3. KBG;

    4. KDH; dan

    5. KTB.

    (2)

    Penentuan besaran kepadatan dan ketinggian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan:

    1. aspek daya dukung lingkungan;

    2. aspek keseimbangan lingkungan;

    3. aspek keselamatan lingkungan;

    4. aspek keserasian lingkungan; dan

    5. aspek perkembangan kawasan.

    (3)

    Penentuan besaran kepadatan dan ketinggian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti ketentuan penetapan dalam RDTR dan/atau RTBL.


    Pasal 23
    (1)

    Ketentuan jarak bebas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b meliputi:

    1. GSB;

    2. jarak Bangunan Gedung dengan batas persil; dan

    3. jarak antar-Bangunan Gedung.

    (2)

    Penentuan besaran jarak bebas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan:

    1. aspek keselamatan terkait proteksi kebakaran;

    2. aspek kesehatan terkait sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi;

    3. aspek kenyamanan terkait pandangan, kebisingan, dan getaran;

    4. aspek kemudahan terkait aksesibilitas dan akses evakuasi;

    5. aspek keserasian lingkungan terkait perwujudan wajah kota; dan

    6. aspek ketinggian Bangunan Gedung yang ditetapkan dalam ketentuan intensitas Bangunan Gedung.


    Pasal 24
    (1)

    RTBL merupakan pengaturan ketentuan tata bangunan sebagai tindak lanjut rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan/atau RDTL wilayah perkotaan, digunakan dalam pengendalian pemanfaatan ruang suatu kawasan dan panduan rancangan kawasan atau kota untuk mewujudkan kesatuan karakter serta kualitas Bangunan Gedung dan lingkungan yang berkelanjutan.

    (2)

    RTBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan.


    Pasal 25
    (1)

    RTBL disusun oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau berdasarkan kemitraan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, swasta, dan/atau Masyarakat sesuai dengan tingkat permasalahan pada kawasan yang bersangkutan.

    (2)

    Penyusunan RTBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pola penataan bangunan dan lingkungan yang meliputi perbaikan, pengembangan kembali, pembangunan baru, dan/atau Pelestarian untuk:

    1. kawasan terbangun;

    2. kawasan yang dilindungi dan dilestarikan;

    3. kawasan baru yang potensial berkembang; dan/atau d. kawasan yang bersifat campuran.

    (3)

    Dalam hal kawasan yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, RTBL dapat disusun dengan pendekatan revitalisasi kawasan.

    (4)

    Penyusunan RTBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendapat pertimbangan teknis dan mempertimbangkan pendapat publik.

    (5)

    RTBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan bupati/wali kota, dan untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan peraturan gubernur.

    (6)

    Dalam hal RTBL pada kawasan strategis nasional, RTBL ditetapkan dengan Peraturan Presiden.


    Pasal 26
    (1)

    Dalam hal terjadi perubahan RDTR dan/atau RTBL yang mengakibatkan perubahan peruntukan lokasi dan intensitas Bangunan Gedung, fungsi Bangunan Gedung yang tidak sesuai dengan peruntukan yang baru, harus disesuaikan.

    (2)

    Dalam melakukan perubahan RDTR dan/atau RTBL, Pemerintah Daerah kabupaten/kota harus mempertimbangkan kondisi peruntukan dan intensitas Bangunan Gedung yang sudah ada. Paragraf 3 Ketentuan Keandalan Bangunan Gedung


    Pasal 27

    Ketentuan keandalan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b meliputi ketentuan aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan Bangunan Gedung.


    Pasal 28
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasinya, harus memenuhi ketentuan aspek keselamatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

    (2)

    Ketentuan aspek keselamatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. ketentuan kemampuan Bangunan Gedung terhadap beban muatan;

    2. ketentuan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya kebakaran; dan

    3. ketentuan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya petir dan bahaya kelistrikan.


    Pasal 29
    (1)

    Ketentuan kemampuan Bangunan Gedung terhadap beban muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a meliputi ketentuan teknis mengenai:

    1. ketentuan sistem struktur Bangunan Gedung;

    2. ketentuan pembebanan pada struktur Bangunan Gedung;

    3. ketentuan material struktur dan konstruksi; dan

    4. ketentuan kelaikan fungsi struktur Bangunan Gedung.

    (2)

    Struktur Bangunan Gedung harus direncanakan kuat, stabil, dan memenuhi ketentuan pelayanan (serviceability) dalam memikul beban selama umur layanan yang direncanakan dengan mempertimbangkan fungsi Bangunan Gedung, lokasi, keawetan, dan kemudahan pelaksanaan konstruksi.

    (3)

    Ketentuan teknis mengenai standar sistem struktur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. struktur atas Bangunan Gedung; dan

    2. struktur bawah Bangunan Gedung.

    (4)

    Ketentuan pembebanan pada struktur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memperhitungkan kemampuan struktur dalam memikul beban yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur.

    (5)

    Selain pengaruh beban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), perencanaan struktur harus memperhitungkan pengaruh korosi, jamur, dan serangga perusak agar struktur dapat mencapai umur layanannya.

    (6)

    Dalam perencanaan struktur Bangunan Gedung terhadap pengaruh gempa, struktur Bangunan Gedung harus diperhitungkan pengaruh gempa rencana sesuai dengan tingkat risiko gempa dan tingkat kinerja struktur.

    (7)

    Ketentuan teknis mengenai material struktur dan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

    1. konstruksi beton;

    2. konstruksi baja;

    3. konstruksi kayu;

    4. konstruksi bambu; dan

    5. konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus.

    (8)

    Untuk memenuhi ketentuan kelaikan fungsi struktur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, perencanaan struktur harus dilakukan dengan perhitungan mekanika teknik.


    Pasal 30
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung harus dilindungi dengan sistem proteksi bahaya kebakaran.

    (2)

    Sistem proteksi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk melindungi Pengguna dan harta benda dari bahaya serta kerusakan fisik pada saat terjadi kebakaran.

    (3)

    Sistem proteksi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat memberikan waktu kepada Pengguna dan/atau Pengunjung untuk menyelamatkan diri pada saat terjadi kebakaran.

    (4)

    Sistem proteksi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Bangunan Gedung harus mempertimbangkan efisiensi waktu, mutu, dan biaya pada tahap Perawatan dan pemulihan setelah terjadi kebakaran.


    Pasal 31
    (1)

    Ketentuan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b meliputi ketentuan teknis mengenai:

    1. sistem proteksi pasif;

    2. sistem proteksi aktif; dan

    3. manajemen kebakaran.

    (2)

    Ketentuan teknis mengenai sistem proteksi pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. pengaturan komponen arsitektur dan struktur;

    2. akses dan pasokan air untuk pemadam kebakaran; dan

    3. sarana penyelamatan.

    (3)

    Sistem proteksi pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan fungsi, klasifikasi, risiko kebakaran, geometri ruang, bahan bangunan terpasang, dan/atau jumlah dan kondisi Pengguna dan/atau Pengunjung dalam Bangunan Gedung.

    (4)

    Ketentuan teknis mengenai sistem proteksi aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. sistem pemadam kebakaran;

    2. sistem deteksi, alarm kebakaran, dan sistem komunikasi;

    3. sistem pengendalian asap kebakaran; dan

    4. pusat pengendali kebakaran.

    (5)

    Sistem proteksi aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mempertimbangkan fungsi, klasifikasi, luas, ketinggian, volume bangunan, dan/atau jumlah dan kondisi Pengguna dan/atau Pengunjung dalam Bangunan Gedung.

    (6)

    Ketentuan teknis mengenai manajemen kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mempertimbangkan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai, dan/atau dengan jumlah Pengguna dan/atau Pengunjung tertentu.

    (7)

    Penggunaan peralatan Bangunan Gedung harus memperhatikan risiko terhadap kebakaran.

    (8)

    Dalam hal diperlukan penentuan sifat bahan Bangunan Gedung dan tingkat ketahanan api komponen struktur Bangunan Gedung, dilakukan pengujian api.

    (9)

    Pengujian api sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan sesuai standar metode uji oleh lembaga uji yang terakreditasi.

    (10)

    Untuk mendukung kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah kabupaten/kota menyusun dan menerapkan rencana manajemen kebakaran skala perkotaan dan rencana induk sistem proteksi kebakaran kota.


    Pasal 32
    (1)

    Ketentuan sistem proteksi petir pada Bangunan Gedung digunakan untuk perancangan, instalasi, dan Pemeliharaan sistem proteksi petir pada Bangunan Gedung.

    (2)

    Sistem proteksi petir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mengurangi risiko kerusakan Bangunan Gedung dan peralatan yang ada di dalamnya, serta melindungi keselamatan manusia yang berada di dalam dan/atau sekitar Bangunan Gedung dari sambaran petir.

    (3)

    Sistem proteksi petir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:

    1. kemampuan perlindungan secara teknis;

    2. ketahanan mekanis; dan

    3. ketahanan terhadap korosi.


    Pasal 33
    (1)

    Ketentuan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya petir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf c meliputi ketentuan teknis mengenai:

    1. sistem proteksi petir eksternal; dan

    2. sistem proteksi petir internal.

    (2)

    Ketentuan teknis mengenai sistem proteksi petir eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. terminal udara;

    2. konduktor turun;

    3. pembumian; dan

    4. sistem pengawasan.

    (3)

    Ketentuan teknis mengenai sistem proteksi petir internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan proteksi peralatan elektronik terhadap efek dari arus petir.


    Pasal 34
    (1)

    Ketentuan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf c digunakan untuk perencanaan, pemasangan, pemeriksaan, dan Pemeliharaan instalasi listrik.

    (2)

    Setiap Bangunan Gedung yang dilengkapi dengan instalasi listrik dan sumber daya listriknya, harus dijamin aman dan andal.

    (3)

    Ketentuan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya kelistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan teknis mengenai:

    1. sumber listrik;

    2. instalasi listrik;

    3. panel listrik; dan

    4. sistem pembumian.


    Pasal 35
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasi harus memenuhi ketentuan aspek kesehatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

    (2)

    Ketentuan aspek kesehatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan:

    1. sistem penghawaan Bangunan Gedung;

    2. sistem pencahayaan Bangunan Gedung;

    3. sistem pengelolaan air pada Bangunan Gedung;

    4. sistem pengelolaan sampah pada Bangunan Gedung; dan

    5. penggunaan bahan Bangunan Gedung.


    Pasal 36
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasi harus dilengkapi dengan sistem penghawaan.

    (2)

    Sistem penghawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjamin terjadinya pergantian udara segar, menjaga kualitas udara sehat dalam ruangan dan dalam bangunan, serta menghilangkan kelembaban, bau, asap, panas, bakteri, partikel debu, dan polutan di udara sesuai kebutuhan.

    (3)

    Ketentuan sistem penghawaan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a meliputi ketentuan teknis mengenai:

    1. ventilasi alami; dan

    2. ventilasi mekanis.

    (4)

    Dalam hal ketentuan ventilasi alami sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dipenuhi, harus disediakan ventilasi mekanis.

    (5)

    Penerapan sistem ventilasi harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip penghematan energi dalam Bangunan Gedung.


    Pasal 37
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasinya, harus dilengkapi dengan sistem pencahayaan.

    (2)

    Sistem pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar kegiatan pada Bangunan Gedung dapat dilaksanakan secara efektif, nyaman, dan hemat energi.

    (3)

    Ketentuan sistem pencahayaan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf b meliputi ketentuan teknis mengenai:

    1. sistem pencahayaan alami; dan

    2. sistem pencahayaan buatan.

    (4)

    Ketentuan sistem pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk perencanaan, pemasangan, dan Pemeliharaan sistem pencahayaan pada Bangunan Gedung.

    (5)

    Sistem pencahayaan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b termasuk pencahayaan darurat.

    (6)

    Pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dipasang pada Bangunan Gedung dengan fungsi tertentu, dapat bekerja secara otomatis, dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.


    Pasal 38
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasinya, harus dilengkapi dengan sistem pengelolaan air.

    (2)

    Sistem pengelolaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:

    1. mencukupi kebutuhan dasar Pengguna agar mendapatkan kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif;

    2. menjamin terselenggaranya pengelolaan air limbah pada Bangunan Gedung sesuai standar kesehatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    3. mempertahankan kondisi hidrologi alami, dengan cara memaksimalkan pemanfaatan air hujan, infiltrasi air hujan, dan menyimpan sementara air hujan untuk menurunkan debit banjir melalui optimasi pemanfaatan elemen alam dan pemanfaatan elemen buatan.

    (3)

    Ketentuan sistem pengelolaan air pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf c meliputi ketentuan teknis mengenai:

    1. sistem penyediaan air minum;

    2. sistem pengelolaan air limbah; dan

    3. sistem pengelolaan air hujan pada Bangunan Gedung dan persilnya.

    (4)

    Ketentuan sistem pengelolaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk perencanaan, pemasangan, dan Pemeliharaan sistem pengelolaan air pada Bangunan Gedung.


    Pasal 39
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasinya, harus dilengkapi dengan sistem pengelolaan sampah.

    (2)

    Sistem pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar penanganan sampah tidak mengganggu kesehatan penghuni, Masyarakat, dan lingkungannya.

    (3)

    Sistem pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk perencanaan, pembangunan, pengoperasian dan Pemeliharaan, serta pemantauan dan evaluasi penanganan sampah.

    (4)

    Ketentuan sistem pengelolaan sampah pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf d meliputi:

    1. sampah rumah tangga;

    2. sampah sejenis rumah tangga; dan

    3. sampah spesifik.


    Pasal 40
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung harus menggunakan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan Pengguna dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

    (2)

    Penggunaan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tidak mengandung bahan berbahaya atau beracun bagi kesehatan, dan aman bagi Pengguna.

    (3)

    Penggunaan bahan bangunan yang tidak berdampak negatif terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:

    1. menghindari timbulnya efek silau dan pantulan bagi Pengguna lain, Masyarakat, dan lingkungan sekitarnya;

    2. menghindari timbulnya efek peningkatan suhu lingkungan di sekitarnya;

    3. mempertimbangkan prinsip konservasi energi; dan d. mewujudkan Bangunan Gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya.

    (4)

    Bangunan Gedung harus mempertimbangkan penggunaan bahan bangunan lokal yang memperhatikan Pelestarian lingkungan.


    Pasal 41
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasinya, harus memenuhi ketentuan aspek kenyamanan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

    (2)

    Ketentuan kenyamanan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan:

    1. kenyamanan ruang gerak dalam Bangunan Gedung;

    2. kenyamanan kondisi udara dalam ruang;

    3. kenyamanan pandangan dari dan ke dalam Bangunan Gedung; dan

    4. kenyamanan terhadap tingkat getaran dan kebisingan dalam Bangunan Gedung.


    Pasal 42
    (1)

    Ketentuan kenyamanan ruang gerak dalam Bangunan Gedung bertujuan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan di dalam Bangunan Gedung secara nyaman sesuai fungsi Bangunan Gedung.

    (2)

    Ketentuan kenyamanan ruang gerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk perencanaan ruang di dalam Bangunan Gedung.

    (3)

    Ketentuan kenyamanan ruang gerak dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan teknis mengenai:

    1. penentuan kebutuhan luasan ruang gerak dalam Bangunan Gedung; dan

    2. hubungan antarruang dalam Bangunan Gedung.

    (4)

    Kenyamanan ruang gerak dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:

    1. fungsi ruang, jumlah Pengguna, perabot atau peralatan, dan aksesibilitas ruang di dalam Bangunan Gedung; dan

    2. ketentuan keselamatan dan kesehatan.


    Pasal 43
    (1)

    Ketentuan kenyamanan kondisi udara dalam ruang bertujuan untuk mendukung kegiatan di dalam Bangunan Gedung yang nyaman secara termal dan hemat energi.

    (2)

    Ketentuan kenyamanan kondisi udara dalam ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk perencanaan, pemasangan, dan Pemeliharaan sistem pengkondisian udara dalam ruang.

    (3)

    Kenyamanan kondisi udara dalam ruang Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:

    1. temperatur;

    2. kelembaban relatif dalam ruang;

    3. kecepatan laju udara atau kecepatan aliran udara; dan

    4. pertukaran udara segar atau pertukaran udara alami dalam ruangan.

    (4)

    Ketentuan kenyamanan kondisi udara dalam ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan teknis mengenai:

    1. kenyamanan termal secara alami berupa temperatur dan kelembaban udara; dan

    2. penggunaan pengkondisian udara secara buatan.

    (5)

    Dalam hal kenyamanan termal dalam ruang tidak dapat dicapai dalam kondisi alami, dapat digunakan pengkondisian udara buatan untuk membantu pencapaian kenyamanan termal.

    (6)

    Perencanaan sistem pengkondisian udara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mempertimbangkan:

    1. fungsi Bangunan Gedung atau ruang, jumlah Pengguna dan/atau Pengunjung, letak, volume ruang, jenis peralatan, dan penggunaan bahan bangunan;

    2. kesehatan penghuni atau Pengguna;

    3. kemudahan Pemeliharaan dan Perawatan; dan

    4. prinsip penghematan energi dan kelestarian lingkungan.


    Pasal 44
    (1)

    Ketentuan kenyamanan pandangan pada Bangunan Gedung bertujuan untuk mendukung kegiatan pada Bangunan Gedung yang nyaman secara privasi sehingga tidak saling mengganggu satu sama lain.

    (2)

    Ketentuan kenyamanan pandangan pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk perencanaan ruang di dalam Bangunan Gedung.

    (3)

    Ketentuan kenyamanan pandangan pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. kenyamanan pandangan dari dalam ruang ke luar Bangunan Gedung; dan

    2. kenyamanan pandangan dari luar ke dalam Bangunan Gedung.

    (4)

    Ketentuan kenyamanan pandangan dari dalam ruang ke luar Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a mempertimbangkan:

    1. gubahan massa bangunan, rancangan bukaan, tata ruang dalam dan luar bangunan, dan rancangan bentuk luar bangunan;

    2. pemanfaatan potensi ruang luar Bangunan Gedung dan penyediaan ruang terbuka hijau; dan

    3. pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar.

    (5)

    Ketentuan kenyamanan pandangan dari luar ke dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b mempertimbangkan:

    1. rancangan bukaan, tata ruang dalam dan luar bangunan, dan rancangan bentuk luar Bangunan Gedung; dan

    2. keberadaan Bangunan Gedung yang ada dan/atau yang akan ada di sekitarnya.


    Pasal 45
    (1)

    Ketentuan kenyamanan terhadap tingkat getaran dan kebisingan dalam Bangunan Gedung bertujuan untuk mendukung kegiatan di dalam Bangunan Gedung dengan nyaman tanpa gangguan getaran dan kebisingan.

    (2)

    Ketentuan kenyamanan terhadap tingkat getaran dan kebisingan dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk perencanaan ruang di dalam Bangunan Gedung.

    (3)

    Ketentuan kenyamanan terhadap tingkat getaran dan kebisingan dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. kenyamanan terhadap tingkat getaran dalam Bangunan Gedung; dan

    2. kenyamanan terhadap tingkat kebisingan dalam Bangunan Gedung.

    (4)

    Bangunan Gedung yang karena fungsi dan aktivitasnya mengakibatkan terjadi getaran, harus memperhatikan waktu paparan getaran terhadap Pengguna tidak melebihi batas yang diperkenankan sesuai standar dan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    (5)

    Bangunan Gedung yang karena fungsi dan aktivitasnya mengakibatkan terjadinya kebisingan, harus menjaga agar tingkat kebisingan yang dihasilkan tidak menimbulkan gangguan pendengaran, kesehatan, dan kenyamanan bagi Pengguna dan/atau Pengunjung dalam melakukan kegiatan.

    (6)

    Ketentuan kenyamanan terhadap tingkat getaran dan kebisingan dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber getar dan kebisingan lainnya baik yang berada pada Bangunan Gedung maupun di luar Bangunan Gedung.


    Pasal 46
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasinya, harus memenuhi ketentuan aspek kemudahan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

    (2)

    Ketentuan kemudahan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan:

    1. kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam Bangunan Gedung; dan

    2. kelengkapan prasarana dan sarana Pemanfaatan Bangunan Gedung.


    Pasal 47
    (1)

    Ketentuan kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam Bangunan Gedung bertujuan menyediakan fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi setiap Pengguna dan Pengunjung Bangunan Gedung.

    (2)

    Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas hubungan ke, dari, dan di dalam Bangunan Gedung harus mempertimbangkan tersedianya:

    1. hubungan horizontal antarruang atau antar bangunan; dan

    2. hubungan vertikal antar lantai dalam Bangunan Gedung.


    Pasal 48
    (1)

    Hubungan horizontal antarruang atau antar bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a berupa tersedianya sarana yang memadai untuk memudahkan hubungan horizontal antarruang atau antar bangunan pada Bangunan Gedung.

    (2)

    Sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. pintu;

    2. selasar;

    3. koridor;

    4. jalur pedestrian;

    5. jalur pemandu; dan/atau

    6. jembatan penghubung antarruang atau antar bangunan.

    (3)

    Pemenuhan ketentuan kemudahan hubungan horizontal antarruang atau antar bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan:

    1. jumlah sarana;

    2. ukuran sarana;

    3. konstruksi sarana;

    4. jarak antarruang atau antar bangunan;

    5. fungsi Bangunan Gedung;

    6. luas Bangunan Gedung; dan

    7. jumlah Pengguna dan Pengunjung.


    Pasal 49
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung bertingkat harus memenuhi ketentuan kemudahan hubungan vertikal antar lantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b berupa tersedianya sarana yang memadai untuk memudahkan hubungan vertikal antar lantai pada Bangunan Gedung.

    (2)

    Sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. tangga;

    2. ram;

    3. lift;

    4. lift tangga;

    5. tangga berjalan atau eskalator; dan/atau

    6. lantai berjalan (moving walk) .

    (3)

    Pemenuhan ketentuan kemudahan hubungan vertikal antar lantai harus memperhatikan:

    1. jenis, jumlah, ukuran, dan konstruksi sarana hubungan vertikal;

    2. fungsi dan luas Bangunan Gedung;

    3. jumlah Pengguna dan Pengunjung; dan

    4. keselamatan Pengguna dan Pengunjung.


    Pasal 50
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung harus memenuhi ketentuan kelengkapan prasarana dan sarana Pemanfaatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf b berupa tersedianya prasarana dan sarana Pemanfaatan Bangunan Gedung yang memadai.

    (2)

    Kelengkapan prasarana dan sarana Pemanfaatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. ruang ibadah;

    2. ruang ganti;

    3. ruang laktasi;

    4. taman penitipan anak;

    5. toilet;

    6. bak cuci tangan;

    7. pancuran;

    8. urinoar;

    9. tempat sampah;

    10. fasilitas komunikasi dan informasi;

    11. ruang tunggu;

    12. perlengkapan dan peralatan kontrol;

    13. rambu dan marka;

    14. titik pertemuan;

    15. tempat parkir;

    16. sistem parkir otomatis; dan/atau

    17. sistem kamera pengawas.

    (3)

    Perancangan dan penyediaan prasarana dan sarana Pemanfaatan Bangunan Gedung umum harus memperhatikan:

    1. fungsi Bangunan Gedung;

    2. luas Bangunan Gedung; dan

    3. jumlah Pengguna dan Pengunjung. Paragraf 4 Ketentuan Bangunan Gedung di Atas dan/atau di Dalam Tanah dan/atau Air dan/atau Prasarana atau Sarana Umum


    Pasal 51
    (1)

    Ketentuan Bangunan Gedung di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air dan/atau prasarana atau sarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c dilaksanakan sesuai standar perencanaan dan perancangan Bangunan Gedung.

    (2)

    Selain mengikuti standar perencanaan dan perancangan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perencanaan dan perancangan harus mempertimbangkan:

    1. lokasi penempatan Bangunan Gedung;

    2. arsitektur Bangunan Gedung;

    3. sarana keselamatan;

    4. struktur Bangunan Gedung; dan

    5. sanitasi dalam Bangunan Gedung.

    (3)

    Bangunan Gedung di dalam tanah harus memenuhi ketentuan:

    1. RDTR dan/atau RTBL;

    2. bukan untuk fungsi hunian;

    3. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana umum yang berada di dalam tanah; dan

    4. keandalan Bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.

    (4)

    Dalam hal Bangunan Gedung atau bagian Bangunan Gedung dibangun di luar tapak di dalam tanah selain mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibutuhkan persetujuan dari pihak terkait.

    (5)

    Bangunan Gedung di dalam dan/atau di atas permukaan air harus memenuhi ketentuan:

    1. RTRL, rencana tata ruang wilayah, RDTR dan/atau RTBL;

    2. tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, dan fungsi lindung kawasan;

    3. tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan;

    4. tidak menimbulkan pencemaran;

    5. telah mempertimbangkan keandalan Bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung; dan

    6. mendapatkan persetujuan dari pihak terkait.

    (6)

    Bangunan Gedung di atas dan/atau di dalam prasarana dan/atau sarana umum harus memenuhi ketentuan:

    1. rencana tata ruang wilayah, RDTR dan/atau RTBL;

    2. tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana umum yang berada di atas, di bawahnya, dan/atau di sekitarnya;

    3. tetap memperhatikan keserasian Bangunan Gedung terhadap lingkungannya; dan

    4. telah mempertimbangkan keandalan Bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.

    (7)

    Dalam hal Bangunan Gedung berada di dalam tanah yang melintasi atau dilintasi prasarana dan/atau sarana umum, harus memenuhi ketentuan:

    1. rencana tata ruang wilayah, RDTR, dan/atau RTBL;

    2. tidak diperuntukkan sebagai fungsi hunian atau tempat tinggal;

    3. tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana di dalam tanah;

    4. telah mempertimbangkan keandalan Bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung; dan

    5. mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

    (8)

    PBG untuk Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) harus mendapat pertimbangan teknis TPA.

    (9)

    Dalam hal belum terdapat RTRL, rencana tata ruang wilayah, RDTR, dan/atau RTBL sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, ayat (5) huruf a, ayat (6) huruf a, dan ayat (7) huruf a, penetapan peruntukan lokasi harus memperoleh persetujuan kepala daerah atas pertimbangan TPA.


    Pasal 52
    (1)

    Ketentuan lokasi penempatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a ditetapkan bagi:

    1. Bangunan Gedung yang dibangun di dalam tanah;

    2. Bangunan Gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah prasarana dan/atau sarana umum; dan

    3. Bangunan Gedung yang dibangun di bawah dan/atau di atas permukaan air.

    (2)

    Ketentuan lokasi penempatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. lokasi peletakan Bangunan Gedung harus mempertimbangkan kondisi geologis dan topografis yang aman bagi Bangunan Gedung di dalam tanah berdasarkan studi kelayakan;

    2. berada pada daerah yang memiliki kondisi struktur lapisan dan sifat deformasi tanah relatif stabil untuk menahan beban dan penurunan tanah akibat penggalian atau beban Bangunan Gedung; dan

    3. berada pada daerah yang memiliki kondisi permukaan air tanah, tekanan rembesan air, dan potensi banjir yang relatif rendah.

    (3)

    Dalam hal kondisi permukaan air tanah, tekanan rembesan air, dan potensi banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c relatif tinggi, perlu dilakukan upaya antisipasi terhadap risiko kebocoran atau rembesan air ke dalam Bangunan Gedung.

    (4)

    Penempatan Bangunan Gedung di dalam tanah harus sesuai ketentuan jenis fasilitas prasarana umum terpadu di bawah tanah yang harus diperhatikan dan/atau diintegrasikan saat membangun Bangunan Gedung di bawah tanah.

    (5)

    Penempatan Bangunan Gedung di dalam tanah yang direkomendasikan layak dan aman sebagai tempat manusia melakukan kegiatan, berada pada kedalaman antara 0 m (nol meter) sampai dengan -30 m (minus tiga puluh meter) di bawah permukaan tanah.

    (6)

    Dalam hal Bangunan Gedung yang dibangun di dalam tanah digunakan untuk menyimpan atau memproduksi bahan radioaktif, racun, bahan mudah terbakar, bahan peledak, dan bahan lain yang sifatnya mudah meledak, maka harus memenuhi ketentuan:

    1. lokasi Bangunan Gedung terletak di luar lingkungan perumahan atau berjarak tertentu dari jalan umum, jalan kereta api, dan Bangunan Gedung lain di sekitarnya sesuai persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;

    2. Bangunan Gedung yang didirikan harus terletak pada jarak tertentu dari batas persil atau Bangunan Gedung lainnya dalam persil sesuai persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan

    3. harus dapat menjamin keamanan keselamatan serta kesehatan Pengguna dan lingkungannya.

    (7)

    Ketentuan lokasi penempatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. penempatan Bangunan Gedung dan/atau bagian Bangunan Gedung tidak mengganggu fungsi dan kinerja prasarana dan sarana umum yang berada di atas dan/atau di bawahnya;

    2. penempatan Bangunan Gedung dan/atau bagian Bangunan Gedung tetap memperhatikan keserasian Bangunan Gedung terhadap lingkungannya; dan/atau

    3. lokasi penempatan Bangunan Gedung tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan, orang, maupun barang.

    (8)

    Ketentuan lokasi penempatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

    1. lokasi peletakan Bangunan Gedung yang dekat dengan mata air harus melindungi keberadaan mata air tersebut, titik lokasinya, kapasitas pasokan air dan kontinuitas pasokannya, kualitas atau baku mutu airnya, maupun biota yang hidup di dalamnya;

    2. posisi dan/atau jarak penempatan Bangunan Gedung dan/atau bagian bangunan yang berhubungan langsung dengan air, harus menjamin tidak mengganggu keseimbangan lingkungan dan fungsi lindung kawasan dan/atau menimbulkan perubahan atau arus air yang dapat merusak lingkungan; dan/atau

    3. Bangunan Gedung tidak boleh mengganggu kegiatan transportasi air.

    (9)

    Ketentuan lokasi Penempatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c meliputi:

    1. Bangunan Gedung bukan digunakan untuk menyimpan atau memproduksi bahan peledak dan bahan lain yang sifatnya mudah meledak; dan b. Bangunan Gedung bukan digunakan untuk menyimpan atau memproduksi bahan radioaktif, racun, bahan mudah terbakar atau bahan lain yang berbahaya.


    Pasal 53
    (1)

    Ketentuan arsitektur Bangunan Gedung di atas dan/atau dalam tanah dan/atau air dan/atau prasarana atau sarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b meliputi ketentuan:

    1. penampilan Bangunan Gedung;

    2. tata ruang dalam; dan

    3. keseimbangan, keserasian, serta keselarasan Bangunan Gedung dan lingkungan.

    (2)

    Perancangan penampilan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mempertimbangkan kaidah estetika Bangunan Gedung, bentuk, karakteristik arsitektur Bangunan Gedung, dan lingkungan prasarana atau sarana umum yang berada di sekitarnya serta tidak membahayakan Masyarakat sekitarnya.

    (3)

    Perancangan tata ruang dalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mempertimbangkan prinsip umum rancangan tata ruang dalam untuk Bangunan Gedung di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air dan/atau prasarana atau sarana umum.

    (4)

    Prinsip umum rancangan tata ruang dalam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

    1. kejelasan, kemudahan aksesibilitas dan orientasi, penciptaan hubungan visual antarruang, dan penciptaan suasana di dalam Bangunan Gedung yang dapat memberikan kesan yang nyaman, terbuka atau lapang, atau luas dan aman;

    2. penerapan pola tata ruang dalam yang menggunakan prinsip sistem jalur, aktivitas di simpul, dan tetenger;

    3. penerapan pola rancangan yang memperhatikan penggunaan warna, pola garis dan tekstur; dan

    4. penyediaan ruang atau akses khusus yang menghubungkan dengan ruang luar atau terbuka secara langsung dengan permukaan tanah.

    (5)

    Ketentuan keseimbangan, keserasian, serta keselarasan Bangunan Gedung dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

    1. perencanaan bentuk, penampilan, material maupun warna harus dirancang memenuhi kaidah keindahan dan keserasian lingkungan yang telah ada dan/atau yang direncanakan sesuai dengan fungsinya; dan

    2. perencanaan Bangunan Gedung harus mempertahankan potensi unsur alami yang ada dalam tapak secara optimal dan mempertimbangkan keserasian Bangunan Gedung dengan potensi arsitektural lanskap yang ada.


    Pasal 54
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air dan/atau prasarana atau sarana umum harus dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan yang digunakan sebagai sarana keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf c dalam kondisi darurat seperti kebakaran, gempa, dan banjir.

    (2)

    Fasilitas dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. jalur penyelamatan dan pintu darurat;

    2. tangga darurat dan/atau elevator darurat;

    3. ruang kompartemen;

    4. lampu dan tanda darurat;

    5. sistem deteksi, alarm, dan komunikasi darurat;

    6. sumber listrik darurat;

    7. ruang pusat pengendali keadaan darurat;

    8. sistem pengendalian asap;

    9. perlengkapan alat pemadam api; dan

    10. penggunaan konstruksi bangunan yang tahan api, tahan gempa, dan/atau kedap air.


    Pasal 55
    (1)

    Struktur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf d di atas dan/atau di dalam tanah dan/air dan/atau prasarana atau sarana umum, harus direncanakan mampu memikul semua jenis beban dan/atau pengaruh luar yang mungkin bekerja selama kurun waktu umur layan struktur.

    (2)

    Struktur Bangunan Gedung di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air dan/atau prasarana atau sarana umum paling sedikit harus direncanakan:

    1. mampu menahan beban statis;

    2. mampu menahan beban dinamik; dan

    3. mampu menahan tekanan air tanah dan daya rembesan air tanah.

    (3)

    Perencanaan struktur Bangunan Gedung di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air dan/atau prasarana atau sarana umum dilaksanakan sesuai ketentuan keandalan Bangunan Gedung.


    Pasal 56
    (1)

    Setiap Bangunan Gedung di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air dan/atau prasarana atau sarana umum yang memiliki bagian bangunan yang berada atau muncul di atas permukaan tanah harus dilengkapi dengan sanitasi dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf e berupa saluran drainase muka tanah (surface drainage) dan/atau saluran drainase bawah tanah (sub surface drainage). (2) Perencanaan sanitasi dalam Bangunan Gedung di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air dan/atau prasarana atau sarana umum dilaksanakan sesuai ketentuan keandalan Bangunan Gedung. Paragraf 5 Ketentuan Desain Prototipe/Purwarupa


    Pasal 57
    (1)

    Desain prototipe/purwarupa dapat digunakan dalam perencanaan teknis untuk Bangunan Gedung.

    (2)

    Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, atau Masyarakat dapat menyusun desain prototipe/purwarupa.

    (3)

    Dalam menyusun desain prototipe/purwarupa sebagaimana dimaksud ayat (2), Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, atau Masyarakat harus berdasarkan pada:

    1. pemenuhan Standar Teknis;

    2. pemenuhan ketentuan pokok tahan gempa;

    3. pertimbangan kondisi geologis dan geografis;

    4. pertimbangan ketersediaan bahan bangunan;

    5. pemenuhan kriteria desain sesuai dengan kebutuhan pembangunan; dan

    6. pertimbangan kemudahan pelaksanaan konstruksi.

    (4)

    Desain prototipe/purwarupa yang disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan kepada Menteri untuk ditetapkan.

    (5)

    Desain prototipe/purwarupa yang telah ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dicantumkan di dalam SIMBG.

    (6)

    Dalam penggunaan desain prototipe/purwarupa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemilik dapat melakukan penyesuaian sepanjang tetap memperhatikan ketentuan persyaratan pokok tahan gempa.

    (7)

    Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus dilakukan oleh arsitek atau TPT. Bagian Ketiga Standar Pelaksanaan dan Pengawasan Konstruksi Bangunan Gedung Paragraf 1 Umum


    Pasal 58

    Standar pelaksanaan dan pengawasan konstruksi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi:

    1. pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung;

    2. kegiatan pengawasan konstruksi; dan

    3. SMKK. Paragraf 2 Pelaksanaan Konstruksi Bangunan Gedung


    Pasal 59
    (1)

    Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dilakukan oleh penyedia jasa pelaksanaan konstruksi.

    (2)

    Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tahap perwujudan dokumen perencanaan menjadi Bangunan Gedung yang siap dimanfaatkan.

    (3)

    Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tahap:

    1. persiapan pekerjaan;

    2. pelaksanaan pekerjaan;

    3. pengujian; dan

    4. penyerahan.

    (4)

    Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh penyedia jasa pelaksanaan konstruksi berdasarkan kontrak kerja konstruksi.

    (5)

    Penyedia jasa pelaksanaan konstruksi menyusun dokumen pelaksanaan konstruksi sebagai dokumentasi seluruh tahapan pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    (6)

    Tahap pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan setelah seluruh dokumen dalam tahap persiapan pekerjaan disetujui oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi.

    (7)

    Tahap pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri atas:

    1. pekerjaan struktur bawah;

    2. pekerjaan basemen;

    3. pekerjaan struktur atas;

    4. pekerjaan arsitektur; dan

    5. pekerjaan mekanikal, elektrikal, dan perpipaan (plumbing). (8) Penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi melakukan pengawasan pada setiap tahap pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    (9)

    Penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi harus melakukan pemberitahuan pelaksanaan setiap tahapan pekerjaan kepada Pemerintah Daerah melalui SIMBG.

    (10)

    Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan di awal dan di akhir pelaksanaan setiap tahapan pekerjaan.

    (11)

    Penyedia jasa pelaksanaan konstruksi tidak dapat melanjutkan pekerjaan pada tahap selanjutnya sebelum Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan inspeksi dan menyatakan dapat dilanjutkan.

    (12)

    Tahap pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan setelah pekerjaan mekanikal, elektrikal, dan perpipaan ( plumbing ) dinyatakan selesai dikerjakan.

    (13)

    Pernyataan selesai dikerjakan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) diberikan oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi.

    (14)

    Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian pada tahap pengujian, penyedia jasa pelaksanaan konstruksi bertanggung jawab melakukan penyesuaian hingga dinyatakan sesuai oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (15)

    Tahap penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan setelah penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi mengeluarkan surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung. Paragraf 3 Kegiatan Pengawasan Konstruksi


    Pasal 60
    (1)

    Kegiatan pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b dilakukan oleh:

    1. penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi untuk pengawasan konstruksi; dan

    2. penyedia jasa perencanaan konstruksi untuk pengawasan berkala.

    (2)

    Kegiatan pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. pengendalian waktu;

    2. pengendalian biaya;

    3. pengendalian pencapaian sasaran fisik; dan

    4. tertib administrasi Bangunan Gedung.

    (3)

    Pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. pengawasan persiapan konstruksi;

    2. pengawasan tahap pelaksanaan konstruksi sampai dengan serah terima pertama ( provisional hand over ) pekerjaan konstruksi; dan

    3. pengawasan tahap Pemeliharaan pekerjaan konstruksi sampai dengan serah terima akhir ( final hand over ) pekerjaan konstruksi.

    (4)

    Pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. pengawasan pada tahap perencanaan;

    2. pengawasan persiapan konstruksi;

    3. pengawasan tahap pelaksanaan konstruksi sampai dengan serah terima pertama ( provisional hand over ) pekerjaan konstruksi; dan

    4. pengawasan tahap Pemeliharaan pekerjaan konstruksi sampai dengan serah terima akhir ( final hand over ) pekerjaan konstruksi.

    (5)

    Penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi membuat laporan pengawasan konstruksi pada setiap tahapan pelaksanaan konstruksi.

    (6)

    Penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi memiliki tanggung jawab mengeluarkan surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang diawasi sesuai dengan dokumen PBG.

    (7)

    Dalam hal Bangunan Gedung terbangun atau pelaksanaannya menggunakan lebih dari 1 (satu) penyedia jasa pengawasan konstruksi, maka surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikeluarkan oleh Pengkaji Teknis berdasarkan hasil pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung dari setiap penyedia jasa pengawasan konstruksi sesuai dengan lingkup pekerjaannya. Paragraf 4 Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi


    Pasal 61
    (1)

    Setiap pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi harus menerapkan SMKK.

    (2)

    Penyedia jasa yang harus menerapkan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyedia jasa yang memberikan layanan:

    1. konsultansi manajemen penyelenggaraan konstruksi;

    2. konsultansi konstruksi pengawasan; dan

    3. pekerjaan konstruksi.

    (3)

    SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan.

    (4)

    Standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memperhatikan:

    1. keselamatan keteknikan konstruksi;

    2. keselamatan dan kesehatan kerja;

    3. keselamatan publik; dan

    4. keselamatan lingkungan.

    (5)

    Penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melakukan:

    1. identifikasi bahaya;

    2. penilaian risiko dan pengendalian risiko atau peluang ( hazard identification risk assessment opportunity ) pekerjaan konstruksi; dan

    3. sasaran dan program keselamatan konstruksi, yang dibuat berdasarkan tahapan pekerjaan ( work breakdown structure ).

    (6)

    Ketentuan mengenai SMKK dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Standar Pemanfaatan Bangunan Gedung Paragraf 1 Umum


    Pasal 62
    (1)

    Pemanfaatan Bangunan Gedung dilakukan oleh Pemilik atau Pengelola Bangunan Gedung melalui divisi yang bertanggung jawab atas Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung, serta pemeriksaan berkala, atau penyedia jasa yang kompeten di bidangnya.

    (2)

    Pemanfaatan Bangunan Gedung dilakukan melalui kegiatan Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung, serta pemeriksaan berkala bangunan agar Bangunan Gedung tetap laik fungsi sebagai Bangunan Gedung, melalui kegiatan yang meliputi:

    1. penyusunan rencana Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung, serta pemeriksaan berkala;

    2. pelaksanaan sosialisasi, promosi, dan edukasi kepada Pengguna dan/atau Pengunjung Bangunan Gedung;

    3. pelaksanaan kegiatan Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung, serta pemeriksaan berkala;

    4. pengelolaan rangkaian kegiatan Pemanfaatan, termasuk pengawasan dan evaluasi; dan

    5. penyusunan laporan kegiatan Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung serta pemeriksaan berkala.

    (3)

    Keluaran pada tahap Pemanfaatan Bangunan Gedung terdiri atas:

    1. dokumen rencana Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung serta pemeriksaan berkala beserta laporannya secara periodik;

    2. panduan praktis Penggunaan bagi Pemilik dan Pengguna; dan

    3. dokumentasi seluruh tahap pemanfaatan.


    Pasal 63
    (1)

    Pemanfaatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c harus memenuhi standar Bangunan Gedung.

    (2)

    Standar Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung; dan b. pemeriksaan berkala. Paragraf 2 Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung


    Pasal 64
    (1)

    Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung bertujuan agar Bangunan Gedung beserta prasarana dan sarananya tetap laik fungsi.

    (2)

    Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemilik atau Pengelola Bangunan Gedung.

    (3)

    Pemilik atau Pengelola Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menunjuk Penyedia Jasa Konstruksi untuk melaksanakan Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (4)

    Tata cara dan metode Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung meliputi:

    1. prosedur dan metode Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung;

    2. program kerja Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung;

    3. perlengkapan dan peralatan untuk pekerjaan Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung; dan d. standar dan kinerja Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (5)

    Lingkup Pemeliharaan dan Perawatan meliputi komponen:

    1. arsitektural;

    2. struktural;

    3. mekanikal;

    4. elektrikal;

    5. tata ruang luar; dan

    6. tata gerha.

    (6)

    Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan mempertimbangkan:

    1. umur bangunan;

    2. penyusutan;

    3. kerusakan bangunan; dan/atau

    4. peningkatan komponen bangunan.


    Pasal 65

    Pekerjaan Pemeliharaan meliputi jenis pembersihan, perapihan, pemeriksaan, pengujian, perbaikan dan/atau penggantian bahan atau perlengkapan Bangunan Gedung, dan kegiatan sejenis lainnya berdasarkan pedoman pengoperasian dan Pemeliharaan Bangunan Gedung.


    Pasal 66
    (1)

    Pekerjaan Perawatan meliputi perbaikan dan/atau penggantian bagian bangunan, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana berdasarkan dokumen rencana teknis Perawatan Bangunan Gedung, dengan mempertimbangkan dokumen pelaksanaan konstruksi.

    (2)

    Pekerjaan Perawatan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kerusakan Bangunan Gedung dan bagian yang akan diubah atau diperbaiki.

    (3)

    Kerusakan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kondisi tidak berfungsinya bangunan atau komponen bangunan yang disebabkan oleh:

    1. penyusutan atau berakhirnya umur bangunan;

    2. kelalaian manusia; atau

    3. bencana alam.

    (4)

    Tingkat kerusakan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kerusakan:

    1. ringan;

    2. sedang; dan

    3. berat.

    (5)

    Pekerjaan Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    1. rehabilitasi;

    2. renovasi; dan

    3. restorasi.

    (6)

    Pekerjaan Perawatan pada Bangunan Gedung bersejarah atau BGCB harus dikonsultasikan dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.


    Pasal 67
    (1)

    Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (5) huruf a dilakukan dalam rangka memperbaiki Bangunan Gedung yang telah rusak sebagian tanpa mengubah fungsi Bangunan Gedung.

    (2)

    Dalam kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komponen arsitektur maupun struktur Bangunan Gedung tetap dipertahankan seperti semula, sedangkan komponen utilitas dapat berubah.


    Pasal 68
    (1)

    Renovasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (5) huruf b dilakukan dalam rangka memperbaiki bangunan yang telah rusak berat dengan mengubah atau tanpa mengubah fungsi Bangunan Gedung, baik arsitektur, struktur, maupun utilitas bangunannya.

    (2)

    Dalam kegiatan renovasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komponen arsitektur, komponen struktur, komponen mekanikal, komponen elektrikal, dan komponen pemipaan Bangunan Gedung tetap dipertahankan seperti semula.


    Pasal 69

    Restorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (5) huruf c dalam rangka memperbaiki bangunan yang telah rusak berat sebagian dengan maksud menggunakan untuk fungsi tertentu yang dapat tetap atau berubah dengan tetap mempertahankan arsitektur bangunannya sedangkan struktur dan utilitas bangunannya dapat berubah. Paragraf 3 Pemeriksaan Berkala


    Pasal 70
    (1)

    Pemeriksaan berkala dilaksanakan secara teratur dan berkesinambungan dengan rentang waktu tertentu, untuk menjamin semua komponen Bangunan Gedung dalam kondisi laik fungsi.

    (2)

    Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahap Pemanfaatan Bangunan Gedung untuk proses perpanjangan SLF.

    (3)

    Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara rinci dan sistematik pada seluruh komponen Bangunan Gedung.

    (4)

    Lingkup pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. tata cara pemeriksaan berkala Bangunan Gedung;

    2. daftar simak dan evaluasi hasil pemeriksaan berkala; dan

    3. jenis kerusakan komponen Bangunan Gedung.

    (5)

    Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:

    1. arsitektural Bangunan Gedung;

    2. struktural Bangunan Gedung;

    3. mekanikal Bangunan Gedung;

    4. elektrikal Bangunan Gedung; dan

    5. tata ruang luar Bangunan Gedung.

    (6)

    Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemilik atau Pengelola Bangunan Gedung.

    (7)

    Pemilik atau Pengelola Bangunan Gedung dapat menunjuk penyedia jasa untuk melaksanakan pemeriksaan berkala Bangunan Gedung. Bagian Kelima Standar Pembongkaran Bangunan Gedung Paragraf 1 Umum


    Pasal 71
    (1)

    Standar Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d terdiri atas:

    1. penetapan Pembongkaran Bangunan Gedung;

    2. peninjauan Pembongkaran Bangunan Gedung;

    3. pelaksanaan Pembongkaran Bangunan Gedung;

    4. pengawasan Pembongkaran Bangunan Gedung; dan e. pasca Pembongkaran Bangunan Gedung.

    (2)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai standar Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Paragraf 2 Peninjauan Pembongkaran


    Pasal 72
    (1)

    Ketentuan peninjauan Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b meliputi:

    1. peninjauan Bangunan Gedung;

    2. peninjauan struktur Bangunan Gedung; dan

    3. peninjauan nonstruktur Bangunan Gedung (2) Pemenuhan terhadap ketentuan peninjauan Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mewujudkan pelaksanaan Pembongkaran yang mempertimbangkan keamanan, keselamatan Masyarakat, dan lingkungannya.

    (3)

    Peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan Pembongkaran dalam rangka penyusunan RTB.


    Pasal 73
    (1)

    Peninjauan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf a dilakukan terhadap:

    1. fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung;

    2. material konstruksi;

    3. limbah Pemanfaatan Bangunan Gedung;

    4. area berbahaya;

    5. bagian yang beririsan dengan lingkungan bangunan;

    6. kondisi lingkungan;

    7. kondisi prasarana atau sarana bangunan;

    8. keamanan; dan

    9. rencana area penimbunan limbah sementara.

    (2)

    Peninjauan Bangunan Gedung terhadap limbah Pemanfaatan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk menentukan jenis limbah yang ada di Bangunan Gedung dan di sekitar bangunan beserta lokasinya.

    (3)

    Peninjauan Bangunan Gedung terhadap area berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan untuk menentukan tapak tidak aman atau lubang yang tertutup sehingga mempengaruhi rencana Pembongkaran.

    (4)

    Peninjauan Bangunan Gedung terhadap bagian yang beririsan dengan lingkungan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan untuk menentukan letak komponen atau elemen yang beririsan dengan bangunan lain atau prasarana atau sarana termasuk utilitas bangunan yang terhubung dengan jaringan publik.

    (5)

    Peninjauan Bangunan Gedung terhadap kondisi lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan untuk identifikasi lingkungan sekitar Bangunan Gedung terhadap potensi polusi air, suara atau kebisingan, udara atau debu, pandangan, dan gangguan aktivitas.

    (6)

    Peninjauan Bangunan Gedung terhadap kondisi keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dilakukan untuk menentukan rekayasa lalu lintas, ketertiban lingkungan, dan Masyarakat sekitar dalam penetapan waktu pelaksanaan Pembongkaran.

    (7)

    Peninjauan Bangunan Gedung terhadap rencana area penimbunan limbah sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i melihat potensi lokasi dalam hal terdapat limbah yang perlu diamankan pada saat Pembongkaran.


    Pasal 74
    (1)

    Peninjauan struktur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b dilakukan terhadap:

    1. material struktur bangunan;

    2. sistem struktur bangunan;

    3. tingkat kerusakan elemen struktur atas;

    4. tingkat kerusakan elemen struktur bawah; dan

    5. elemen pengaku dan/atau pengikat pada Bangunan Gedung.

    (2)

    Dalam hal Bangunan Gedung terdapat elemen struktur khusus, peninjauan struktur Bangunan Gedung harus memperhatikan kebenaran informasi elemen tersebut sehingga penyusunan RTB dapat memperhatikan efektivitas Pembongkarannya.

    (3)

    Dalam hal tidak ada detail struktur, digunakan gambar struktur terbangun ( as built drawing ) dan/atau rencana analisis struktur dapat digunakan dalam pengkajian teknis struktur Bangunan Gedung.

    (4)

    Peninjauan nonstruktur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf c dilakukan terhadap:

    1. komponen arsitektur Bangunan Gedung;

    2. komponen mekanikal Bangunan Gedung; dan

    3. komponen elektrikal Bangunan Gedung.

    (5)

    Komponen arsitektur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a meliputi:

    1. kulit bangunan;

    2. penutup atap;

    3. rangka dan penutup plafon d. dinding partisi;

    4. penutup lantai;

    5. perabot yang menyatu dengan bangunan ( built in ); dan g. unsur dekoratif.

    (6)

    Komponen mekanikal Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b meliputi:

    1. peralatan sanitasi, drainase, perpipaan (plumbing) , proteksi kebakaran, dan pompa mekanik;

    2. peralatan gas pembakaran dan/atau gas medik;

    3. peralatan transportasi dalam gedung;

    4. peralatan proteksi kebakaran;

    5. peralatan tata udara dan ventilasi; dan

    6. peralatan sanitasi.

    (7)

    Komponen elektrikal Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c meliputi:

    1. peralatan catu daya;

    2. peralatan proteksi petir;

    3. peralatan tata cahaya;

    4. peralatan tata suara;

    5. peralatan informasi dan telekomunikasi;

    6. peralatan keamanan dan penginderaan dini; dan

    7. peralatan sistem daya tersimpan ( uninterrupted power supply ).


    Pasal 75
    (1)

    Hasil peninjauan Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) merupakan dasar penyusunan dokumen RTB.

    (2)

    RTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memastikan jaringan dan fasilitas publik terganggu oleh pekerjaan Pembongkaran. Paragraf 3 Pelaksanaan Pembongkaran


    Pasal 76
    (1)

    Sebelum memulai pelaksanaan Pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf c, Pemilik harus berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menjaga atau menghentikan jaringan publik yang terhubung dengan Bangunan Gedung.

    (2)

    Selama pelaksanaan Pembongkaran, jaringan publik dapat tetap terhubung agar menjaga keberlanjutan pelayanan publik dengan tetap memperhatikan keselamatan dan kesehatan meliputi:

    1. jaringan air bersih sementara;

    2. jaringan telekomunikasi;

    3. jaringan listrik sementara; dan

    4. jaringan pipa gas.

    (3)

    Selama pelaksanaan Pembongkaran, fasilitas publik dapat tetap beroperasi untuk keberlanjutan pelayanan publik dengan tetap memperhatikan keselamatan dan kesehatan.

    (4)

    Dalam pelaksanaan Pembongkaran, penyedia jasa pelaksanaan Pembongkaran dan/atau Profesi Ahli Pembongkaran harus menyiapkan metode pelaksanaan Pembongkaran yang terdiri atas:

    1. tata cara atau prosedur;

    2. peralatan Pembongkaran;

    3. peralatan pengamanan selama proses Pembongkaran;

    4. Profesi Ahli yang kompeten; dan

    5. rambu penunjuk arah, larangan, dan peringatan dengan mengutamakan perlindungan Masyarakat, khususnya pejalan kaki, kendaraan, dan prasarana atau sarana umum di sekitarnya.

    (5)

    Metode pelaksanaan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipilih berdasarkan kondisi lapangan, klasifikasi Bangunan Gedung, sistem struktur Bangunan Gedung, serta ketersediaan peralatan Pembongkaran dan Profesi Ahli yang kompeten.

    (6)

    Peralatan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, dan huruf c harus direncanakan oleh penyedia jasa perencanaan Pembongkaran dan/atau Profesi Ahli Pembongkaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (7)

    Dalam pelaksanaan Pembongkaran Bangunan Gedung harus mengikuti RTB dengan mempertimbangkan keamanan keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan.

    (8)

    Pelaksanaan Pembongkaran dilakukan oleh penyedia jasa pelaksanaan Pembongkaran yang memiliki kemampuan sesuai dengan kualifikasinya berdasarkan kontrak pelaksanaan Pembongkaran.

    (9)

    Dalam hal terjadi kondisi yang dapat membahayakan pekerja, seluruh aktivitas harus dihentikan hingga seluruh kondisi tersebut diperbaiki. Paragraf 4 Pengawasan Pembongkaran


    Pasal 77
    (1)

    Pelaksanaan Pembongkaran harus dilakukan pengawasan untuk menjamin tercapainya pekerjaan Pembongkaran dan memastikan pekerjaan Pembongkaran dilaksanakan dengan mengikuti persyaratan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan.

    (2)

    Kegiatan pengawasan Pembongkaran dilakukan mengikuti RTB yang ditetapkan oleh penyedia jasa perencanaan Pembongkaran.

    (3)

    Kegiatan pengawasan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    1. pengendalian waktu;

    2. pengendalian biaya;

    3. pengendalian pencapaian sasaran Pembongkaran; dan d. tertib administrasi Bangunan Gedung.

    (4)

    Pengawasan Pembongkaran dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan Pembongkaran dan/atau Profesi Ahli Pembongkaran yang kompeten atau aparat Pemerintah Daerah.

    (5)

    Penyedia jasa pengawasan Pembongkaran dapat berupa penyedia jasa manajemen konstruksi, atau penyedia jasa pengawasan konstruksi yang memiliki kemampuan dalam bidang Pembongkaran Bangunan Gedung sesuai dengan kualifikasinya.

    (6)

    Penyedia jasa manajemen konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertugas:

    1. pengendalian pada tahap perencanaan Pembongkaran;

    2. pengawasan persiapan Pembongkaran; dan

    3. pengawasan tahap pelaksanaan Pembongkaran sampai dengan serah terima pekerjaan Pembongkaran.

    (7)

    Penyedia jasa pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertugas:

    1. pengawasan persiapan Pembongkaran; dan

    2. pengawasan tahap pelaksanaan Pembongkaran sampai dengan serah terima pekerjaan Pembongkaran.

    (8)

    Penyedia jasa pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memiliki:

    1. Tenaga ahli yang kompeten dalam pengawasan Pembongkaran;

    2. memiliki metode pengawasan Pembongkaran Bangunan Gedung; dan

    3. memiliki peralatan yang diperlukan untuk melakukan pengawasan Pembongkaran.

    (9)

    Pengawasan Pembongkaran oleh aparat Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam rangka pemenuhan persyaratan sesuai ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah tentang Pembongkaran Bangunan Gedung dan penetapan atau persetujuan pemerintah daerah.

    (10)

    Pengawasan Pembongkaran oleh aparat Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Penilik. Paragraf 5 Pasca Pembongkaran


    Pasal 78
    (1)

    Pasca Pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e meliputi:

    1. pengelolaan limbah material;

    2. pengelolaan limbah Bangunan Gedung sesuai dengan kekhususannya; dan

    3. upaya peningkatan kualitas tapak pasca Pembongkaran ( brown field ).

    (2)

    Pengelolaan limbah material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. material yang dapat digunakan kembali ( reuse );

    2. material yang dapat didaur ulang ( recycle ); dan/atau c. material yang dapat dibuang.

    (3)

    Pengelolaan limbah Bangunan Gedung sesuai dengan kekhususannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan:

    1. pemilahan dan pemisahan limbah pada lahan Pembongkaran sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir; dan

    2. Pemilahan, pemisahan, pembuangan, dan pengendalian limbah harus direncanakan dan dituangkan dalam RTB.

    (4)

    Penampungan limbah tidak dapat dilakukan dalam Bangunan Gedung dan harus disediakan tempat di dalam persil Bangunan Gedung.

    (5)

    Sistem pembuangan dan pengendalian limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri atas:

    1. metode penanganan limbah;

    2. rute pergerakan limbah pada setiap lantai hingga meninggalkan lapangan;

    3. transportasi pembuangan; dan

    4. waktu dan frekuensi pembuangan.

    (6)

    Pembuangan dan pengendalian limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (7)

    Upaya peningkatan kualitas tapak pasca Pembongkaran ( brown field ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan mempertimbangkan:

    1. tapak lapangan yang rata dan tidak ada limbah di dalamnya serta drainase yang memadai;

    2. akses Masyarakat umum ke dalam tapak harus ditutup bila tapak tidak segera dibangun;

    3. bagian tapak yang memiliki perbedaan elevasi dan menyebabkan potensi longsor, harus diberi bangunan pengaman; dan

    4. permukaan tapak harus diberi penutup dalam hal tapak berada di daerah lereng atau memiliki kemiringan tinggi.


    Pasal 79

    Pekerjaan Pembongkaran dinyatakan selesai setelah penyedia jasa pelaksanaan Pembongkaran:

    1. menyelesaikan pekerjaan Pembongkaran;

    2. mengelola limbah pasca Pembongkaran;

    3. menyelesaikan upaya peningkatan kualitas tapak pasca Pembongkaran ( brown field ). Bagian Keenam Ketentuan Penyelenggaraan Bangunan Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan Paragraf 1 Umum


    Pasal 80

    Standar BGCB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf e terdiri atas:

    1. penyelenggaraan BGCB yang dilestarikan;

    2. pemberian kompensasi; dan

    3. insentif dan disinsentif BGCB yang dilestarikan. Paragraf 2 Penyelenggaraan Bangunan Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan


    Pasal 81

    Standar teknis BGCB yang dilestarikan meliputi:

    1. ketentuan tata bangunan;

    2. ketentuan Pelestarian; dan

    3. ketentuan keandalan BGCB.


    Pasal 82
    (1)

    Ketentuan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a terdiri atas:

    1. peruntukan dan intensitas Bangunan Gedung;

    2. arsitektur Bangunan Gedung; dan

    3. pengendalian dampak lingkungan.

    (2)

    Ketentuan tata bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberlakukan dalam hal BGCB yang dilestarikan mengalami penambahan Bangunan Gedung baru.

    (3)

    Ketentuan tata bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b yang ditetapkan setelah adanya BGCB yang dilestarikan, harus mempertimbangkan BGCB yang sudah ada ( existing ).


    Pasal 83
    (1)

    Ketentuan Pelestarian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf b meliputi:

    1. keberadaan BGCB; dan

    2. nilai penting BGCB.

    (2)

    Ketentuan keberadaan BGCB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dapat menjamin keberadaan BGCB sebagai sumber daya budaya yang bersifat unik, langka, terbatas, dan tidak membaru.

    (3)

    Ketentuan nilai penting BGCB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus dapat menjamin terwujudnya makna dan nilai penting yang meliputi langgam arsitektur, teknik membangun, sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

    (4)

    Ketentuan pelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam ketentuan yang meliputi aspek:

    1. arsitektur;

    2. struktur;

    3. utilitas;

    4. aksesibilitas; dan

    5. keberadaan dan nilai penting cagar budaya.

    (5)

    Ketentuan pelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang cagar budaya.


    Pasal 84
    (1)

    Standar teknis keandalan BGCB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf c terdiri atas:

    1. keselamatan;

    2. kesehatan;

    3. kenyamanan; dan

    4. kemudahan.

    (2)

    Standar teknis keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

    1. komponen struktur harus dapat menjamin pemenuhan kemampuan Bangunan Gedung untuk mendukung beban muatan, mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran, bahaya petir, dan bencana alam;

    2. penggunaan material asli yang mudah terbakar harus mendapat perlakuan tertentu (fire-retardant treatment) ; dan

    3. penggunaan material baru harus tidak mudah terbakar (non-combustible material) .

    (3)

    Standar teknis kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

    1. sistem penghawaan, pencahayaan, dan sanitasi harus dapat menjamin pemenuhan terhadap persyaratan kesehatan; dan

    2. penggunaan material harus dapat menjamin pemenuhan terhadap persyaratan kesehatan.

    (4)

    Standar teknis kenyamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:

    1. pemenuhan persyaratan ruang gerak dan hubungan antarruang;

    2. kondisi udara dalam ruang;

    3. pandangan;

    4. tingkat getaran; dan

    5. tingkat kebisingan.

    (5)

    Standar teknis kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi pemenuhan persyaratan hubungan ke, dari, dan di dalam Bangunan Gedung serta kelengkapan prasarana dan sarana.

    (6)

    Standar teknis keandalan BGCB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam ketentuan yang meliputi aspek:

    1. arsitektur;

    2. struktur;

    3. utilitas; dan

    4. aksesibilitas.

    (7)

    Dalam hal BGCB yang dilestarikan tidak dapat memenuhi ketentuan persyaratan keandalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), Pemanfaatan BGCB masih tetap dapat dilanjutkan dengan mempertimbangkan:

    1. pembatasan pembebanan;

    2. pembatasan pemanfaatan;

    3. pemberian penanda ( signage );

    4. Pemanfaatan yang sudah ada ( existing );

    5. monitoring dan evaluasi secara berkala;

    6. telah diupayakan semaksimal mungkin untuk mengikuti Standar Teknis;

    7. telah dilakukan pengkajian teknis terhadap Bangunan Gedung yang diusulkan; dan

    8. telah memperoleh rekomendasi TPA.


    Pasal 85
    (1)

    Penyelenggaraan BGCB yang dilestarikan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 80 huruf a meliputi kegiatan:

    1. persiapan;

    2. perencanaan teknis;

    3. pelaksanaan;

    4. pemanfaatan; dan

    5. Pembongkaran.

    (2)

    Ketentuan penyelenggaraan BGCB yang dilestarikan mengikuti ketentuan proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung.

    (3)

    Selain ketentuan proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap tahap penyelenggaraan BGCB yang dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti kaidah:

    1. sedikit mungkin melakukan perubahan;

    2. sebanyak mungkin mempertahankan keaslian; dan c. tindakan pelestarian dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan bertanggung jawab.

    (4)

    Penyelenggaraan BGCB yang dilestarikan dilaksanakan oleh penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta melibatkan Tenaga Ahli pelestarian di bidang BGCB yaitu:

    1. arsitek pelestarian;

    2. arkeolog;

    3. Tenaga Ahli konservasi bahan bangunan; dan/atau d. perancang tata ruang dalam atau interior pelestarian.

    (5)

    Selain dilaksanakan oleh Tenaga Ahli pelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyelenggara BGCB dapat dilaksanakan oleh Tenaga Ahli pelestarian sesuai kebutuhan.

    (6)

    Penyelenggaraan BGCB yang dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada Bangunan Gedung yang telah ditetapkan fungsinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 86
    (1)

    Kegiatan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a dilakukan melalui tahapan:

    1. kajian identifikasi;

    2. dokumentasi; dan

    3. usulan penanganan pelestarian.

    (2)

    Kajian identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penelitian awal kondisi fisik dari segi arsitektur, struktur, dan utilitas, serta nilai kesejarahan dan arkeologi BGCB.

    (3)

    Hasil kajian identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi:

    1. keputusan kelayakan penanganan fisik BGCB yang dilestarikan secara keseluruhan atau sebagian; dan

    2. batasan penanganan fisik kegiatan teknis pelestarian.

    (4)

    Hasil kajian identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dilengkapi dengan gambar dan foto Bangunan Gedung terbaru.

    (5)

    Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berisi:

    1. gambar terukur;

    2. foto dan/atau sketsa bangunan; dan

    3. narasi sejarah bangunan;

    (6)

    Usulan penanganan pelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa rekomendasi tindakan Pelestarian yang disusun berdasarkan hasil kajian identifikasi BGCB.


    Pasal 87

    Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pemilik, Pengguna, dan/atau Pengelola BGCB yang dilestarikan dengan menggunakan penyedia jasa bidang arsitektur yang kompeten dalam pelestarian.


    Pasal 88
    (1)

    Rekomendasi tindakan Pelestarian BGCB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (6) berupa:

    1. pelindungan;

    2. pengembangan; dan/atau

    3. pemanfaatan.

    (2)

    Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

    1. Pemeliharaan; dan

    2. pemugaran.

    (3)

    Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

    1. revitalisasi; dan

    2. adaptasi.


    Pasal 89
    (1)

    Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) huruf a dilakukan melalui upaya mempertahankan dan menjaga serta merawat agar kondisi BGCB tetap lestari.

    (2)

    Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) huruf b dilakukan melalui kegiatan:

    1. rekonstruksi;

    2. konsolidasi;

    3. rehabilitasi; dan

    4. restorasi.

    (3)

    Pelaksanaan pemugaran harus memperhatikan prinsip keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan dan Pelestarian yang mencakup keaslian bentuk, tata letak dan metode pelaksanaan, sistem struktur, penggunaan bahan bangunan, nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, termasuk nilai arsitektur, dan teknologi.

    (4)

    Rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui upaya untuk membangun kembali keseluruhan atau sebagian BGCB yang hilang dengan menggunakan konstruksi baru agar menjadi seperti wujud sebelumnya pada suatu periode tertentu.

    (5)

    Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui upaya penguatan bagian BGCB yang rusak tanpa membongkar seluruh bangunan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

    (6)

    Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui upaya pemulihan kondisi suatu BGCB agar dapat dimanfaatkan secara efisien untuk fungsi kekinian dengan cara perbaikan atau perubahan tertentu dengan tetap menjaga nilai kesejarahan, arsitektur, dan budaya.

    (7)

    Restorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan melalui upaya untuk mengembalikan kondisi BGCB secara akurat sesuai keasliannya dengan cara menghilangkan elemen atau komponen dan material tambahan, dan/atau mengganti elemen atau komponen yang hilang agar menjadi seperti wujud sebelumnya pada suatu periode tertentu.


    Pasal 90
    (1)

    Revitalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dilakukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting BGCB dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya Masyarakat.

    (2)

    Adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b dilakukan melalui upaya pengembangan BGCB untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan cara melakukan perubahan terbatas yang tidak mengakibatkan penurunan nilai penting atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.


    Pasal 91
    (1)

    Perencanaan teknis BGCB yang dilestarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengacu Standar Teknis perencanaan dan perancangan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a.

    (2)

    Perencanaan teknis BGCB yang dilestarikan dilakukan melalui tahapan:

    1. penyiapan dokumen rencana teknis pelindungan BGCB; dan

    2. penyiapan dokumen rencana teknis pengembangan dan pemanfaatan BGCB sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

    (3)

    Dokumen rencana teknis pelindungan BGCB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat berisi:

    1. penelitian sejarah;

    2. foto, gambar hasil pengukuran, catatan, dan video;

    3. uraian dan analisis atas kondisi yang sudah ada (existing) dan inventarisasi kerusakan Bangunan Gedung dan lingkungannya;

    4. usulan penanganan pelestarian;

    5. rencana Pemeliharaan, Perawatan, pemeriksaan berkala;

    6. gambar rencana teknis pemugaran;

    7. rencana anggaran biaya; dan

    8. rencana kerja dan syarat-syarat.

    (4)

    Dokumen rencana teknis pengembangan dan pemanfaatan BGCB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa usulan tindakan pelestarian sesuai dengan fungsi yang akan diterapkan dan berisi:

    1. analisis potensi nilai;

    2. rencana pemanfaatan;

    3. rencana teknis tindakan revitalisasi dan adaptasi;

    4. rencana Pemeliharaan, Perawatan, pemeriksaan berkala;

    5. rencana struktur, mekanikal, elektrikal, perpipaan (plumbing) ;

    6. rencana anggaran biaya; dan

    7. rencana kerja dan syarat-syarat.

    (5)

    Dalam hal pengembangan dan pemanfaatan BGCB telah ditetapkan fungsinya sejak awal, penyusunan kedua dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara bersamaan.

    (6)

    Dalam hal BGCB yang dilestarikan dimiliki oleh Masyarakat hukum adat, perencanaan teknis BGCB yang dilestarikan dikonsultasikan kepada TPA cagar budaya dan Masyarakat hukum adat untuk mendapatkan pertimbangan.


    Pasal 92
    (1)

    Pelaksanaan BGCB yang dilestarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c meliputi pekerjaan:

    1. arsitektur;

    2. struktur;

    3. utilitas;

    4. lanskap;

    5. tata ruang dalam atau interior; dan/atau

    6. pekerjaan khusus lainnya.

    (2)

    Pelaksanaan BGCB yang dilestarikan dilakukan sesuai dengan dokumen rencana teknis pelindungan dan/atau rencana teknis pengembangan dan pemanfaatan yang telah disahkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau Menteri untuk BGCB dengan fungsi khusus, berdasarkan pertimbangan TPA cagar budaya.

    (3)

    Pelaksanaan BGCB yang dilestarikan yang akan mengubah bentuk dan karakter fisik Bangunan Gedung harus dilakukan setelah mendapat PBG khusus cagar budaya atau perubahan PBG khusus cagar budaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau Menteri untuk BGCB dengan fungsi khusus.

    (4)

    Pelaksanaan BGCB yang dilestarikan yang bersifat Pemeliharaan dan tidak mengubah fungsi, bentuk, material, konstruksi karakter fisik, atau melakukan penambahan BGCB harus mendapatkan pertimbangan TPA cagar budaya tanpa memerlukan PBG.

    (5)

    Pelaksanaan BGCB yang dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilaporkan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau Menteri untuk bangunan cagar budaya dengan fungsi khusus.

    (6)

    Pemilik, Pengguna, dan/atau Pengelola wajib memasang tanda tertentu yang resmi dalam rangka pelaksanaan BGCB yang dilestarikan yang tidak harus dilengkapi PBG.

    (7)

    Pelaksanaan BGCB yang dilestarikan harus dilakukan dengan tidak mengganggu Bangunan Gedung dan lingkungan sekitar.

    (8)

    Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa pelaksana yang kompeten dan ahli di bidang Bangunan Gedung.

    (9)

    Penyedia jasa pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus menyediakan Tenaga Ahli pelestarian BGCB.


    Pasal 93
    (1)

    Pengawasan terhadap pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan yang kompeten dan ahli di bidang Bangunan Gedung.

    (2)

    Penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan hasil pengawasan kepada Pemilik, Pengguna, dan/atau Pengelola bangunan sebagai bagian kelengkapan pengajuan SLF.

    (3)

    Penyedia jasa pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyediakan Tenaga Ahli pelestarian BGCB.


    Pasal 94
    (1)

    Pengendalian pelaksanaan pelestarian BGCB dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau Menteri untuk BGCB dengan fungsi khusus melalui PBG.

    (2)

    PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau Menteri untuk BGCB fungsi khusus setelah mendapat pertimbangan TPA.

    (3)

    Pengendalian juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau Menteri untuk BGCB dengan fungsi khusus terhadap BGCB yang tindakan pelestariannya tanpa memerlukan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (4).


    Pasal 95
    (1)

    Pemanfaatan Bangunan Gedung yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf d dilakukan oleh Pemilik dan/atau Pengguna sesuai dengan kaidah Pelestarian dan klasifikasi Bangunan Gedung yang dilindungi dan dilestarikan serta sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Dalam hal Bangunan Gedung dan/atau lingkungannya yang telah ditetapkan menjadi cagar budaya akan dialihkan haknya kepada pihak lain, pengalihan haknya harus dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 96
    (1)

    BGCB yang dilestarikan dapat dimanfaatkan oleh Pemilik, Pengguna, dan/atau Pengelola setelah bangunan dinyatakan laik fungsi.

    (2)

    BGCB yang dilestarikan harus dimanfaatkan dan dikelola dengan tetap memperhatikan Standar Teknis Bangunan Gedung dan persyaratan pelestarian.

    (3)

    Pemilik, Pengguna, dan/atau Pengelola dalam memanfaatkan BGCB yang dilestarikan harus melakukan Pemeliharaan, Perawatan, dan pemeriksaan berkala.

    (4)

    Khusus untuk pelaksanaan Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibuat rencana teknis pelestarian Bangunan Gedung yang disusun dengan mempertimbangkan prinsip perlindungan dan Pelestarian yang mencakup keaslian bentuk, tata letak, sistem struktur, penggunaan bahan bangunan, dan nilai-nilai yang dikandungnya sesuai dengan tingkat kerusakan Bangunan Gedung dan ketentuan klasifikasinya.


    Pasal 97
    (1)

    Pembongkaran BGCB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf e dapat dilakukan apabila terdapat kerusakan struktur bangunan yang tidak dapat diperbaiki lagi serta membahayakan Pengguna, Masyarakat, dan lingkungan.

    (2)

    Pembongkaran BGCB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada BGCB yang telah dihapus penetapan statusnya sebagai BGCB.

    (3)

    Penghapusan status sebagai BGCB dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cagar budaya.

    (4)

    Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau Menteri untuk BGCB dengan fungsi khusus sesuai rencana teknis Pembongkaran yang telah mendapat pertimbangan dari TPA.

    (5)

    Pembongkaran BGCB harus dilaksanakan oleh penyedia jasa pelaksana yang kompeten di bidang Bangunan Gedung sesuai dengan rencana teknis Pembongkaran BGCB. Paragraf 3 Kompensasi, Insentif, dan Disinsentif


    Pasal 98
    (1)

    Pemberian kompensasi, insentif, dan disinsentif BGCB yang dilestarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf b dan c diselenggarakan untuk tujuan mendorong upaya pelestarian oleh Pemilik, Pengguna, dan Pengelola BGCB yang dilestarikan.

    (2)

    Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan bagi Pemilik, Pengguna, dan atau pengelola BGCB yang melaksanakan pelindungan dan/atau pengembangan BGCB yang dilestarikan.

    (3)

    Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan bagi Pemilik, Pengguna, dan atau pengelola BGCB yang melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan/atau pemanfaatan BGCB yang dilestarikan.

    (4)

    Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pemilik, Pengguna, dan/atau Pengelola BGCB yang tidak melaksanakan pelindungan BGCB yang dilestarikan.


    Pasal 99
    (1)

    Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) merupakan imbalan berupa uang dan/atau bukan uang dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau Menteri untuk BGCB dengan fungsi khusus.

    (2)

    Kompensasi bukan uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa bantuan tenaga dan/atau bantuan bahan sebagai penggantian sebagian biaya pelestarian kepada Pemilik, Pengguna, dan/atau Pengelola BGCB yang dilestarikan.

    (3)

    Pelaksanaan kompensasi yang bersumber dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau Menteri untuk BGCB dengan fungsi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 100
    (1)

    Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) dapat berupa:

    1. advokasi;

    2. perbantuan; dan

    3. bantuan lain bersifat nondana.

    (2)

    Advokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa:

    1. pemberian penghargaan berbentuk sertifikat, plakat, tanda penghargaan;

    2. promosi; dan/atau

    3. publikasi.

    (3)

    Perbantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa:

    1. dukungan penyediaan sarana dan prasarana termasuk peningkatan kualitas fisik lingkungan; dan/atau b. dukungan teknis dan/atau kepakaran terdiri atas:


  62. bantuan advis teknis;

  63. bantuan Tenaga Ahli; dan

  64. bantuan penyedia jasa yang kompeten di bidang BGCB.

    (4)

    Bantuan lain bersifat nondana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat berupa:

    1. keringanan pajak bumi dan bangunan yang dapat diberikan kepada Pemilik dan/atau pengelola BGCB, setelah dilakukan tindakan Pelestarian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    2. keringanan retribusi PBG;

    3. tambahan KLB; dan/atau

    4. tambahan KDB.

      Pasal 101

      Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (4) pada BGCB yang dilestarikan dapat berupa pembatasan kegiatan pemanfaatan BGCB.


      Pasal 102

      Ketentuan lebih lanjut mengenai BGCB diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Ketentuan Penyelenggaraan Bangunan Gedung Fungsi Khusus Paragraf 1 Umum


      Pasal 103

    (1)

    Selain harus memenuhi ketentuan standar perencanaan dan perancangan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, BGFK juga harus memenuhi standar perencanaan dan perancangan teknis khusus serta standar keamanan (security) fungsi khusus terkait Bangunan Gedung yang ditetapkan oleh instansi atau lembaga terkait.

    (2)

    Standar perencanaan dan perancangan teknis khusus yang ditetapkan oleh instansi atau lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. ketentuan pemilihan lokasi yang mempertimbangkan potensi rawan bencana alam sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, RDTR, atau RTBL;

    2. ketentuan lokasi dengan mempertimbangkan radius batas keselamatan hunian Masyarakat, Pemeliharaan kelestarian lingkungan, dan penetapan radius batas pengamanan;

    3. ketentuan penyelenggaraan BGFK; dan

    4. spesifikasi teknis BGFK yang ditetapkan oleh intansi atau lembaga terkait yang berwenang.

    (3)

    Standar keamanan (security) fungsi khusus terkait Bangunan Gedung yang ditetapkan oleh instansi atau lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar keamanan pada setiap tahap penyelenggaraan BGFK.

    (4)

    Standar keamanan ( security ) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat:

    1. penyediaan sistem pendeteksian dan pemantauan (detection system) ;

    2. pembentukan tim pengamanan dalam Bangunan Gedung; dan

    3. penetapan prosedur operasional standar pengamanan BGFK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengamanan. Paragraf 2 Kriteria, Jenis, dan Penetapan Bangunan Gedung Fungsi Khusus Pasal 104

    (1)

    Kriteria BGFK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) harus memenuhi:

    1. fungsinya khusus dan/atau mempunyai kerahasiaan tinggi untuk kepentingan nasional;

    2. Penyelenggaraan Bangunan Gedung yang dapat membahayakan Masyarakat di sekitarnya;

    3. memiliki persyaratan khusus yang dalam perencanaan dan/atau pelaksanaannya membutuhkan teknologi tinggi; dan/atau

    4. memiliki risiko bahaya tinggi.

    (2)

    Bangunan sejenis yang mempunyai fungsi khusus dan/atau kerahasiaan tinggi untuk kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi kriteria:

    1. Bangunan Gedung yang mempunyai fungsi strategis dalam penetapan kebijakan negara meliputi kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan serta keamanan; atau

    2. Bangunan Gedung untuk perwakilan Negara Republik Indonesia di negara lain dalam melaksanakan misi negara meliputi kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan serta keamanan.

    (3)

    Bangunan sejenis yang penyelenggaraannya dapat membahayakan Masyarakat di sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria berpengaruh terhadap ketahanan nasional akibat kegiatan di dalamnya berpotensi menjadi ancaman kontaminasi virus atau mikroba mematikan yang dapat menular secara massal ke sekitarnya dan menjadi masalah nasional dalam program:

    1. peningkatan kesehatan Masyarakat; dan

    2. demografi atau kependudukan khususnya angkatan kerja.

    (4)

    Bangunan sejenis yang memiliki persyaratan khusus dalam perencanaan dan/atau pelaksanaannya membutuhkan teknologi tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan bangunan yang membutuhkan:

    1. Tenaga Ahli Fungsi Khusus;

    2. material khusus;

    3. penggunaan peralatan khusus; dan

    4. metode pelaksanaan konstruksi khusus.

    (5)

    Bangunan sejenis yang memiliki risiko bahaya tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus memenuhi kriteria berpengaruh terhadap keamanan nasional dan mempunyai risiko bahaya tinggi sebagai Bangunan Gedung dan/atau instalasi yang mempunyai risiko bahaya tinggi terhadap ledakan dan kebakaran serta menjadi masalah nasional dalam penanggulangan:

    1. kerusakan fisik Bangunan Gedung, prasarana umum, lingkungan, dan jiwa; dan

    2. kerugian harta benda, flora, dan fauna.

    (6)

    Kementerian atau lembaga dan/atau Pemilik nonkementerian atau nonlembaga yang berbadan hukum dapat mengusulkan penetapan BGFK kepada Menteri.

    Pasal 105

    Ketentuan lebih lanjut mengenai BGFK diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 106

    (1)

    Jenis BGFK dikelompokkan berdasarkan pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1).

    (2)

    Tahapan penetapan BGFK meliputi:

    1. identifikasi;

    2. pengusulan; dan

    3. penetapan oleh Menteri.

    (3)

    Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan oleh Menteri dan/atau kementerian/lembaga dan instansi terkait.

    (4)

    Identifikasi diselenggarakan dengan mempertimbangkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104.

    (5)

    Pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan oleh instansi atau lembaga dan/atau Pemilik noninstansi atau lembaga yang berbadan hukum kepada Menteri.

    (6)

    Penetapan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi penetapan Bangunan Gedung berdasarkan jenis dan kedudukannya.

    (7)

    Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penyelenggaraan BGFK meliputi penerbitan PBG, inspeksi masa konstruksi, penerbitan SLF, penerbitan SBKBG, dan penerbitan RTB menjadi kewenangan dan tugas Menteri.

    (8)

    Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagian penyelenggaraan BGFK kepada gubernur.

    (9)

    Pendelegasian kewenangan kepada Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Bagian Kedelapan Ketentuan Penyelenggaraan Bangunan Gedung Hijau Paragraf 1 Umum Pasal 107

    (1)

    Standar Teknis penyelenggaraan BGH dikenakan pada Bangunan Gedung baru dan Bangunan Gedung yang sudah ada.

    (2)

    Pengenaan Standar Teknis BGH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi berdasarkan kategori:

    1. wajib ( mandatory ); atau

    2. disarankan ( recommended ).

    (3)

    Bangunan Gedung dengan kategori wajib ( mandatory ) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:

    1. Bangunan Gedung klas 4 (empat) dan 5 (lima) di atas 4 (empat) lantai dengan luas paling sedikit 50.000 m ^2 (lima puluh ribu meter persegi);

    2. Bangunan Gedung klas 6 (enam), 7 (tujuh), dan 8 (delapan) di atas 4 (empat) lantai dengan luas lantai paling sedikit 5.000 m ^2 (lima ribu meter persegi);

    3. Bangunan Gedung klas 9a dengan luas di atas 20.000 m ^2 (dua puluh ribu meter persegi); dan

    4. Bangunan Gedung klas 9b dengan luas di atas 10.000 m ^2 (sepuluh ribu meter persegi).

    (4)

    Bangunan Gedung dengan kategori disarankan ( recommended ) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi Bangunan Gedung selain Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    Pasal 108

    Prinsip BGH meliputi:

    1. perumusan kesamaan tujuan, pemahaman, serta rencana tindak;

    2. pengurangan ( reduce ) penggunaan sumber daya, baik berupa lahan, material, air, sumber daya alam, maupun sumber daya manusia;

    3. pengurangan timbulan limbah, baik fisik maupun nonfisik;

    4. penggunaan kembali ( reuse ) sumber daya yang telah digunakan sebelumnya;

    5. penggunaan sumber daya hasil siklus ulang ( recycle );

    6. perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup melalui upaya Pelestarian;

    7. mitigasi risiko keselamatan, kesehatan, perubahan iklim, dan bencana;

    8. orientasi pada siklus hidup;

    9. orientasi pada pencapaian mutu yang diinginkan;

    10. inovasi teknologi untuk perbaikan yang berkelanjutan; dan k. peningkatan dukungan kelembagaan, kepemimpinan, dan manajemen dalam implementasi.


    Pasal 109

    (1)

    BGH harus memenuhi Standar Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta Standar Teknis BGH sesuai dengan tahap penyelenggaraannya.

    (2)

    Tahap penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tahap:

    1. pemrograman;

    2. perencanaan teknis;

    3. pelaksanaan konstruksi;

    4. pemanfaatan; dan

    5. Pembongkaran.

    (3)

    BGH diselenggarakan oleh:

    1. Pemerintah Pusat untuk BGH milik negara atau Pemerintah Daerah untuk BGH milik daerah;

    2. Pemilik BGH yang berbadan hukum atau perseorangan;

    3. Pengguna dan/atau pengelola BGH yang berbadan hukum atau perseorangan; dan

    4. penyedia jasa yang kompeten di bidang Bangunan Gedung.

    (4)

    Dalam penyelenggaraan BGH, penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d melibatkan Tenaga Ahli BGH. Paragraf 2 Tahap Pemrograman Pasal 110

    (1)

    Pemrograman BGH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf a harus dilakukan sejak awal dengan mempertimbangkan ketersediaan dan keberlanjutan pemenuhan sumber daya.

    (2)

    Ketentuan pada tahap pemrograman BGH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. kesesuaian tapak;

    2. penentuan objek Bangunan Gedung yang akan ditetapkan sebagai BGH;

    3. kinerja BGH sesuai dengan tingkat kebutuhan;

    4. metode penyelenggaraan BGH; dan

    5. kelayakan BGH.

    (3)

    Pelaksanaan tahap pemrograman BGH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. identifikasi pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyelenggaraan BGH;

    2. penetapan konsepsi awal dan metodologi penyelenggaraan BGH;

    3. penyusunan kajian kelayakan penyelenggaraan BGH dari segi teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan;

    4. penetapan kriteria penyedia jasa yang kompeten;

    5. penyusunan dokumen BGH;

    6. pelaksanaan pemrograman pada seluruh tahapan;

    7. pengelolaan risiko; dan

    8. penyusunan laporan akhir tahap pemrograman BGH. Pasal 111

    (1)

    Kesesuaian tapak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) huruf a dimaksudkan untuk menghindari pembangunan BGH pada tapak yang tidak semestinya dan mengurangi dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan ketentuan tata bangunan.

    (2)

    Penentuan objek Bangunan Gedung yang akan ditetapkan sebagai BGH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) huruf b harus sudah ditetapkan dalam rencana umum atau masterplan pembangunan Bangunan Gedung yang ditetapkan oleh Pemilik.

    (3)

    Penetapan tingkat pencapaian kinerja BGH sesuai dengan kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) huruf c dimaksudkan untuk menetapkan target pencapaian kinerja yang terukur dan realistis atau wajar sebagai BGH.

    (4)

    Penetapan metode penyelenggaraan BGH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) huruf d harus disesuaikan dengan target pencapaian kinerja BGH dan kemampuan sumber daya yang tersedia.

    (5)

    Pengkajian kelayakan BGH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) huruf e dimaksudkan untuk memastikan kembali terpenuhinya kesesuaian ketentuan pemrograman terhadap rencana pembangunan BGH. Paragraf 3 Tahap Perencanaan Teknis Pasal 112

    (1)

    Ketentuan tahap perencanaan teknis BGH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf b terdiri atas:

    1. pengelolaan tapak;

    2. efisiensi penggunaan energi;

    3. efisiensi penggunaan air;

    4. kualitas udara dalam ruang;

    5. penggunaan material ramah lingkungan;

    6. pengelolaan sampah; dan

    7. pengelolaan air limbah.

    (2)

    Pengelolaan tapak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas ketentuan:

    1. orientasi Bangunan Gedung;

    2. pengolahan tapak termasuk aksesibilitas atau sirkulasi;

    3. pengelolaan lahan terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun;

    4. ruang terbuka hijau privat;

    5. penyediaan jalur pedestrian;

    6. pengelolaan tapak basemen;

    7. penyediaan lahan parkir;

    8. sistem pencahayaan ruang luar; dan

    9. pembangunan Bangunan Gedung di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air dan/atau prasarana atau sarana umum.

    (3)

    Efisiensi penggunaan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas ketentuan:

    1. selubung bangunan;

    2. sistem ventilasi;

    3. sistem pengondisian udara;

    4. sistem pencahayaan;

    5. sistem transportasi dalam gedung; dan

    6. sistem kelistrikan.

    (4)

    Efisiensi penggunaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas ketentuan:

    1. sumber air;

    2. pemakaian air; dan

    3. penggunaan peralatan saniter hemat air ( water fixtures ).

    (5)

    Kualitas udara dalam ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas ketentuan:

    1. pelarangan merokok;

    2. pengendalian karbon dioksida (CO2) dan karbon monoksida (CO); dan

    3. pengendalian penggunaan bahan pembeku ( refrigerant ).

    (6)

    Penggunaan material ramah lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas ketentuan:

    1. pengendalian penggunaan material berbahaya; dan b. penggunaan material bersertifikat ramah lingkungan ( eco-labelling ).

    (7)

    Pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas ketentuan:

    1. penerapan prinsip 3R ( reduce, reuse, recycle );

    2. penerapan sistem penanganan sampah; dan

    3. penerapan sistem pencatatan timbulan sampah.

    (8)

    Pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri atas ketentuan:

    1. penyediaan fasilitas pengelolaan air limbah sebelum dibuang ke saluran pembuangan kota; dan b. daur ulang air yang berasal dari air limbah domestik. Paragraf 4 Tahap Pelaksanaan Konstruksi

      Pasal 113

      Ketentuan tahap pelaksanaan konstruksi BGH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf c merupakan konfirmasi pemenuhan ketentuan pada tahap perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf b pada Bangunan Gedung yang telah dibangun.


      Pasal 114

    (1)

    Pelaksanaan konstruksi BGH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dapat dilakukan dengan mengikuti prinsip pelaksanaan konstruksi hijau.

    (2)

    Prinsip pelaksanaan konstruksi hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. proses konstruksi hijau;

    2. praktik perilaku hijau; dan

    3. rantai pasok hijau.

    (3)

    Proses konstruksi hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui:

    1. penerapan metode pelaksanaan konstruksi hijau;

    2. optimasi penggunaan peralatan;

    3. penerapan manajemen pengelolaan limbah konstruksi;

    4. penerapan konservasi air pada pelaksanaan konstruksi; dan

    5. penerapan konservasi energi pada pelaksanaan konstruksi.

    (4)

    Praktik perilaku hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui:

    1. penerapan SMKK; dan

    2. penerapan perilaku ramah lingkungan.

    (5)

    Rantai pasok hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yang meliputi:

    1. penggunaan material konstruksi;

    2. pemilihan pemasok dan/atau subkontraktor; dan

    3. konservasi energi. Paragraf 5 Tahap Pemanfaatan Pasal 115

    (1)

    Ketentuan tahap pemanfaatan BGH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf d berupa penerapan manajemen pemanfaatan meliputi:

    1. penyusunan SOP pemanfaatan BGH;

    2. pelaksanaan SOP pemanfaatan BGH; dan

    3. Pemeliharaan kinerja BGH pada masa pemanfaatan.

    (2)

    Dalam hal Bangunan Gedung yang sudah ada dan belum pernah memiliki sertifikat BGH pada tahap perencanaan teknis serta pelaksanaan konstruksi BGH, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan.

    (3)

    Dalam hal Bangunan Gedung yang sudah ada dan belum pernah memiliki sertifikat BGH pada tahap perencanaan teknis serta pelaksanaan konstruksi BGH, ketentuan tahap pemanfaatan BGH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan ketentuan kinerja BGH yang sudah ada pada masa pemanfaatan. Paragraf 6 Tahap Pembongkaran

    Pasal 116

    Ketentuan tahap Pembongkaran BGH sebagaimana Pasal 109 ayat (2) huruf e meliputi:

    1. metode Pembongkaran dilakukan dengan tidak menimbulkan kerusakan untuk material yang bisa digunakan kembali; dan

    2. upaya peningkatan kualitas tapak pasca Pembongkaran. Paragraf 7 Standar Bangunan Gedung Hijau untuk Bangunan Gedung yang Sudah Ada


    Pasal 117

    (1)

    Penyelenggaraan BGH pada Bangunan Gedung yang sudah ada dan belum pernah memiliki sertifikat BGH pada tahap perencanaan teknis serta pelaksanaan konstruksi BGH dilakukan dengan mengikuti:

    1. prinsip adaptasi; dan

    2. penerapan adaptasi.

    (2)

    Prinsip adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a pada Bangunan Gedung yang sudah ada meliputi:

    1. pemenuhan kelaikan fungsi dan ketentuan Bangunan Gedung;

    2. pertimbangan biaya operasional pemanfaatan dan perhitungan tingkat pengembalian biaya yang diterima atas penghematan; dan

    3. pencapaian target kinerja yang terukur secara signifikan sebagai BGH.

    (3)

    Penerapan adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan metode yang efektif digunakan untuk menerapkan prinsip adaptasi pada Bangunan Gedung yang sudah ada.

    (4)

    Penerapan adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada:

    1. Bangunan Gedung yang sudah ada, tetapi tidak mengalami perubahan atau penambahan fungsi dan tanpa penambahan bagian baru;

    2. Bangunan Gedung yang sudah ada dengan perubahan atau penambahan fungsi yang dapat mengakibatkan penambahan bagian baru; dan

    3. BGCB yang dilestarikan.

    (5)

    Penerapan adaptasi BGH pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara bertahap dan/atau parsial sesuai dengan Standar Teknis BGH melalui pengubahsuaian ( retrofitting ).

    (6)

    Penerapan adaptasi BGH pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditujukan pada:

    1. Bangunan Gedung yang sudah ada dilakukan secara bertahap dan/atau parsial sesuai dengan ketentuan Standar Teknis BGH melalui pengubahsuaian ( retrofitting ); dan

    2. Bangunan Gedung tambahan mengikuti ketentuan Standar Teknis BGH.

    (7)

    Penerapan adaptasi BGH pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara bertahap dan/atau parsial sesuai dengan ketentuan Standar Teknis BGH melalui pengubahsuaian ( retrofitting ) dan ketentuan Pelestarian. Paragraf 8 Hunian Hijau Masyarakat Pasal 118

    (1)

    Kumpulan rumah tinggal dapat menyelenggarakan BGH melalui mekanisme H2M.

    (2)

    H2M sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara kolektif atas inisiatif Masyarakat. Pasal 119

    (1)

    Penyelenggaraan H2M sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) dilakukan oleh Masyarakat dengan bantuan pendampingan dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan memenuhi indikator kinerja.

    (2)

    Penyelenggaraan H2M sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. penyusunan dokumen rencana kerja H2M;

    2. pelaksanaan konstruksi;

    3. pemanfaatan; dan

    4. Pembongkaran.

    (3)

    Penyelenggaraan H2M dituangkan dalam dokumen penyusunan dokumen rencana kerja H2M pada awal kegiatan sebagai bagian dari rencana aksi implementasi BGH di kabupaten/kota.

    (4)

    Indikator kinerja H2M sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. pengurangan konsumsi energi rata-rata 25% (dua puluh lima persen);

    2. pengurangan konsumsi air rata-rata 10% (sepuluh persen);

    3. pengelolaan sampah secara mandiri;

    4. penggunaan material bangunan lokal dan ramah lingkungan; dan

    5. optimasi fungsi ruang terbuka hijau pekarangan.

    (5)

    Indikator kinerja H2M sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan metode dan teknologi yang mengutamakan kelaikan fungsi, keterjangkauan, dan kinerja terukur. Paragraf 9 Sertifikasi Bangunan Gedung Hijau Pasal 120

    (1)

    Sertifikasi BGH diberikan untuk tertib pembangunan dan mendorong Penyelenggaraan Bangunan Gedung yang memiliki kinerja terukur secara signifikan, efisien, aman, sehat, mudah, nyaman, ramah lingkungan, hemat energi dan air, dan sumber daya lainnya.

    (2)

    Sertifikat BGH diberikan berdasarkan kinerja BGH sesuai dengan peringkat:

    1. BGH pratama;

    2. BGH madya; dan

    3. BGH utama.

    (3)

    Pemilik atau Pengelola menyerahkan dokumen keluaran pada setiap tahap penyelenggaraan BGH kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk mendapatkan sertifikat BGH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kriteria peringkat BGH.

    (4)

    Sertifikat BGH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa sertifikat perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, atau pemanfaatan.

    (5)

    Proses verifikasi daftar simak penilaian kinerja BGH beserta dokumen pembuktiannya dilakukan oleh TPA.

    (6)

    TPA menetapkan peringkat BGH berdasarkan hasil verifikasi penilaian kinerja.

    (7)

    Pemerintah Daerah kabupaten/kota menerbitkan rekomendasi berdasarkan peringkat BGH yang sudah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

    (8)

    Pemerintah Daerah kabupaten/kota menerbitkan sertifikat dan plakat BGH berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7).

    (9)

    Sertifikat dan plakat BGH tahap perencanaan teknis diberikan kepada Pemilik atau Pengelola Bangunan Gedung yang telah memiliki PBG dan memenuhi ketentuan Standar Teknis BGH sesuai dengan kriteria peringkat yang ditetapkan.

    (10)

    Sertifikat dan plakat BGH tahap pelaksanaan konstruksi diberikan kepada Pemilik atau Pengelola Bangunan Gedung yang telah memiliki SLF dan memenuhi ketentuan Standar Teknis BGH sesuai dengan kriteria peringkat yang ditetapkan.

    (11)

    Sertifikat dan plakat BGH tahap pemanfaatan diberikan kepada Pemilik atau Pengelola Bangunan Gedung yang telah memiliki SLF perpanjangan dan memenuhi ketentuan Standar Teknis BGH sesuai dengan kriteria peringkat yang ditetapkan.

    (12)

    Dalam hal Bangunan Gedung yang sudah ada yang belum pernah memiliki sertifikat BGH pada tahap perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi BGH, sertifikat dan plakat BGH tahap pemanfaatan diberikan kepada Pemilik atau Pengelola Bangunan Gedung yang telah memiliki SLF dan memenuhi ketentuan Standar Teknis BGH sesuai dengan kriteria peringkat yang ditetapkan.

    (13)

    Plakat sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditempelkan di dinding atau tempat umum pada BGH.

    (14)

    Masa berlaku sertifikat BGH untuk 5 (lima) tahun. Paragraf 10 Penilaian Kinerja dan Insentif Bangunan Gedung Hijau Pasal 121

    (1)

    Penilaian kinerja BGH pada tahap perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf b meliputi kesesuaian pengelolaan tapak, efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air, kualitas udara dalam ruang, penggunaan material ramah lingkungan, pengelolaan limbah, dan pengelolaan sampah.

    (2)

    Penilaian kinerja BGH pada tahap pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf c meliputi ketentuan pada tahap perencanaan teknis terhadap Bangunan Gedung yang telah dibangun.

    (3)

    Penilaian kinerja BGH pada tahap pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) huruf d meliputi penyusunan SOP pemanfaatan BGH, pelaksanaan SOP pemanfaatan BGH, dan Pemeliharaan kinerja BGH pada masa pemanfaatan.

    (4)

    Pemeliharaan kinerja BGH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada masa pemanfaatan dilakukan dengan membandingkan kinerja BGH pada tahap pemanfaatan dengan penetapan kinerja pelaksanaan konstruksi.

    (5)

    Dalam hal Bangunan Gedung yang sudah ada ( existing ) yang belum pernah memiliki sertifikat BGH pada tahap perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi BGH, penilaian kinerja BGH pada tahap pemanfaatan sebagaimana dimaksud ayat (4) meliputi penyusunan SOP pemanfaatan BGH, pelaksanaan SOP pemanfaatan BGH, dan kinerja BGH yang sudah ada pada masa pemanfaatan.

    (6)

    Penilaian kinerja ditetapkan berdasarkan ketentuan tentang pemenuhan Standar Teknis BGH. Pasal 122

    (1)

    Pemilik dan/atau Pengelola BGH dapat memperoleh insentif dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (2)

    Pemberian insentif dilakukan untuk mendorong penyelenggaraan BGH oleh Pemilik dan/atau Pengelola Bangunan Gedung.

    (3)

    Pemberian insentif dapat diberikan kepada Pemilik dan/atau Pengelola BGH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. keringanan retribusi PBG dan keringanan jasa pelayanan;

    2. kompensasi berupa tambahan koefisien lantai bangunan;

    3. dukungan teknis dan/atau kepakaran antara lain berupa advis teknis dan/atau bantuan jasa Tenaga Ahli BGH yang bersifat percontohan;

    4. penghargaan dapat berupa sertifikat, plakat, dan/atau tanda penghargaan; dan/atau

    5. insentif lain berupa publikasi dan/atau promosi.

    (4)

    Pemberian insentif dapat diberikan kepada Masyarakat atau komunitas yang memiliki komitmen dalam pelaksanaan H2M berupa:

    1. keringanan retribusi PBG;

    2. dukungan sarana, prasarana, dan peningkatan kualitas lingkungan;

    3. dukungan teknis dan/atau kepakaran antara lain berupa advis teknis dan/atau pendampingan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

    4. penghargaan dapat berupa sertifikat, plakat, dan/atau tanda penghargaan; dan/atau

    5. insentif lain berupa publikasi dan/atau promosi dalam rangka memperkenalkan praktik terbaik ( best practices ) penyelenggaraan BGH ke Masyarakat luas, laman internet, dan forum terkait dengan penyelenggaraan BGH.

    (5)

    Pemberian insentif BGH dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 123

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kinerja BGH diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Kesembilan Ketentuan Penyelenggaraan Bangunan Gedung Negara Paragraf 1 Umum


    Pasal 124

    (1)

    Menteri bertanggung jawab atas pelaksanaan Penyelenggaraan BGN yang dilakukan oleh kementerian/lembaga dan organisasi perangkat daerah.

    (2)

    Penyelenggaraan BGN meliputi tahap:

    1. pembangunan;

    2. pemanfaatan;

    3. Pelestarian; dan

    4. Pembongkaran.

    (3)

    Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:

    1. perencanaan teknis;

    2. pelaksanaan konstruksi fisik; dan

    3. pengawasan teknis.

    (4)

    Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diawali dengan kegiatan persiapan dan diakhiri dengan kegiatan pascakonstruksi.

    (5)

    Dalam Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengguna anggaran membentuk organisasi dan tata laksana pengelola kegiatan.

    (6)

    Pengelola kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berkewajiban mengikuti ketentuan organisasi dan tata laksana pembangunan BGN sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

    (7)

    Setiap pembangunan BGN yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga atau organisasi perangkat daerah harus mendapat bantuan teknis dari Menteri dalam bentuk pengelolaan teknis.

    (8)

    Pengelolaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh tenaga pengelola teknis yang bersertifikat.

    (9)

    Tenaga pengelola teknis bertugas membantu dalam pengelolaan kegiatan pembangunan BGN di bidang teknis administratif.

    (10)

    Ketentuan proses Penyelenggaraan BGN mengikuti ketentuan proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung.

    (11)

    BGN dengan luas di atas 5.000 m2 (lima ribu meter persegi) wajib menerapkan prinsip-prinsip BGH.

    (12)

    Selain ketentuan proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (10), setiap tahap Penyelenggaraan BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti Standar Teknis BGN serta ketentuan klasifikasi, standar luas, dan standar jumlah lantai BGN. Pasal 125

    (1)

    Standar Teknis BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (12) pada kegiatan persiapan terdiri atas penyusunan:

    1. rencana kebutuhan;

    2. rencana pendanaan; dan

    3. rencana penyediaan dana.

    (2)

    Standar Teknis BGN pada tahap perencanaan teknis terdiri atas:

    1. perencanaan teknis baru;

    2. perencanaan teknis dengan desain berulang;

    3. perencanaan teknis dengan desain prototipe/purwarupa; atau

    4. perencanaan teknis dengan sayembara.

    (3)

    Standar teknis BGN pada tahap pelaksanaan konstruksi berupa kegiatan:

    1. pembangunan baru;

    2. perluasan;

    3. lanjutan pembangunan Bangunan Gedung yang belum selesai;

    4. pembangunan dalam rangka Perawatan termasuk perbaikan sebagian atau seluruh Bangunan Gedung; dan/atau

    5. pembangunan BGN terintegrasi.

    (4)

    Standar Teknis BGN pada tahap pengawasan konstruksi meliputi kegiatan:

    1. manajemen konstruksi; atau

    2. pengawasan konstruksi.

    (5)

    Standar Teknis BGN pada tahap pascakonstruksi meliputi:

    1. penetapan status BGN sebagai barang milik negara;

    2. pendaftaran BGN; dan

    3. penyiapan dokumen SLF.

    (6)

    Standar Teknis BGN pada tahap Pemanfaatan meliputi:

    1. pengelolaan BGN;

    2. Pemeliharaan dan Perawatan BGN; dan

    3. pemeriksaan berkala BGN.

    (7)

    Standar Teknis BGN pada tahap pelestarian mengikuti ketentuan penyelenggaraan BGCB yang dilestarikan.

    (8)

    Standar Teknis BGN pada tahap Pembongkaran meliputi:

    1. peninjauan Pembongkaran;

    2. pelaksanaan Pembongkaran;

    3. pengawasan Pembongkaran;

    4. pasca Pembongkaran; dan

    5. penghapusan aset barang milik negara. Pasal 126

    (1)

    Penyelenggara Pembangunan BGN terdiri atas:

    1. pengguna anggaran; dan

    2. Penyedia Jasa Konstruksi.

    (2)

    ketentuan Penyedia Jasa Konstruksi pada pembangunan BGN berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penyedia jasa untuk Bangunan Gedung. Pasal 127

    (1)

    Pendanaan Penyelenggaraan BGN harus dituangkan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran atau dokumen pelaksanaan anggaran.

    (2)

    Pendanaan Penyelenggaraan BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. komponen biaya pembangunan BGN;

    2. biaya standar dan biaya nonstandar;

    3. standar harga satuan tertinggi;

    4. biaya pekerjaan lain yang menyertai atau melengkapi pembangunan; dan

    5. biaya pembangunan dalam rangka Perawatan.

    (3)

    Daftar isian pelaksanaan anggaran atau dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. perencanaan teknis;

    2. pelaksanaan konstruksi fisik;

    3. manajemen konstruksi atau pengawasan konstruksi; dan

    4. pengelolaan kegiatan. Paragraf 2 Ketentuan Klasifikasi, Standar Luas, dan Standar Jumlah Lantai Bangunan Gedung Negara Pasal 128

    (1)

    Dalam pembangunan BGN harus memenuhi klasifikasi, standar luas, dan standar jumlah lantai.

    (2)

    BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan menjadi:

    1. Bangunan Gedung kantor;

    2. rumah negara; dan

    3. BGN lainnya.

    (3)

    BGN lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:

    1. Bangunan Gedung pendidikan;

    2. Bangunan Gedung pendidikan dan pelatihan;

    3. Bangunan Gedung pelayanan kesehatan;

    4. Bangunan Gedung parkir;

    5. Bangunan Gedung perdagangan; dan

    6. Bangunan Gedung peribadatan. Pasal 129

    (1)

    Klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) meliputi:

    1. sederhana;

    2. tidak sederhana; dan

    3. khusus.

    (2)

    BGN dengan klasifikasi sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Bangunan Gedung dengan teknologi dan spesifikasi sederhana meliputi:

    1. Bangunan Gedung kantor dan BGN lainnya dengan jumlah lantai sampai dengan 2 (dua) lantai;

    2. Bangunan Gedung kantor dan BGN lainnya dengan luas sampai dengan 500 m ^2 (lima ratus meter persegi); dan

    3. rumah negara meliputi rumah negara tipe c, tipe d, dan tipe e.

    (3)

    BGN dengan klasifikasi tidak sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Bangunan Gedung dengan teknologi dan spesifikasi tidak sederhana meliputi:

    1. Bangunan Gedung kantor dan BGN lainnya dengan jumlah lantai lebih dari 2 (dua) lantai;

    2. Bangunan Gedung kantor dan BGN lainnya dengan luas lebih dari 500 m ^2 (lima ratus meter persegi); dan

    3. rumah negara meliputi rumah negara tipe a dan tipe b.

    (4)

    BGN dengan klasifikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:

    1. BGN yang memiliki standar khusus, serta dalam perencanaan dan pelaksanaannya memerlukan penyelesaian atau teknologi khusus;

    2. BGN yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi untuk kepentingan nasional;

    3. BGN yang penyelenggaraannya dapat membahayakan Masyarakat di sekitarnya; dan

    4. BGN yang mempunyai risiko bahaya tinggi.

    (5)

    BGN dengan klasifikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:

    1. istana negara;

    2. rumah jabatan mantan Presiden dan/atau mantan Wakil Presiden;

    3. rumah jabatan menteri;

    4. wisma negara;

    5. gedung instalasi nuklir;

    6. gedung yang menggunakan radio aktif;

    7. gedung instalasi pertahanan;

    8. bangunan Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan penggunaan dan standar khusus;

    9. gedung terminal udara, laut, dan darat;

    10. stasiun kereta api;

    11. stadion atau gedung olah raga;

    12. rumah tahanan dengan tingkat keamanan tinggi ( maximum security );

    13. pusat data;

    14. gudang benda berbahaya;

    15. gedung bersifat monumental;

    16. gedung cagar budaya; dan

    17. gedung perwakilan negara Republik Indonesia.

    (6)

    BGN klasifikasi khusus selain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 130

    (1)

    Standar luas Bangunan Gedung kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) huruf a sebesar rata-rata 10 m ^2 (sepuluh meter persegi) per personel.

    (2)

    Jumlah personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan struktur organisasi yang telah mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi.

    (3)

    Standar luas ruang Bangunan Gedung kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. ruang utama terdiri atas:

  65. ruang Menteri atau pimpinan lembaga atau gubernur atau yang setingkat, seluas 247 m ^2 (dua ratus empat puluh tujuh meter persegi) terdiri atas ruang kerja, ruang tamu, ruang rapat, ruang tunggu, ruang istirahat, ruang sekretaris, ruang staf untuk 8 (delapan) orang, ruang simpan, dan ruang toilet;

  66. ruang wakil menteri atau wakil pimpinan lembaga atau yang setingkat, seluas 117 m2 (seratus tujuh belas meter persegi) terdiri atas ruang kerja, ruang tamu, ruang rapat, ruang tunggu, ruang istirahat, ruang sekretaris, ruang staf untuk 5 (lima) orang, ruang simpan, dan ruang toilet;

  67. ruang pimpinan tinggi utama atau pimpinan tinggi madya setara eselon Ia atau walikota atau bupati atau yang setingkat, seluas 117 m2 (seratus tujuh belas meter persegi) terdiri atas ruang kerja, ruang tamu, ruang rapat, ruang tunggu, ruang istirahat, ruang sekretaris, ruang staf untuk 5 (lima) orang, ruang simpan, dan ruang toilet;

  68. ruang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia seluas 117 m2 (seratus tujuh belas meter persegi) terdiri atas ruang kerja, ruang tamu, ruang rapat, ruang tunggu, ruang istirahat, ruang sekretaris, ruang staf untuk 5 (lima) orang, ruang simpan, dan ruang toilet;

  69. ruang pimpinan tinggi madya setara eselon Ib atau yang setingkat, seluas 83,4 m2 (delapan puluh tiga koma empat meter persegi) terdiri atas ruang kerja, ruang tamu, ruang rapat, ruang tunggu, ruang istirahat, ruang sekretaris, ruang staf untuk 2 (dua) orang, ruang simpan, dan ruang toilet;

  70. ruang pimpinan tinggi pratama setara eselon IIa atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau kabupaten/kota atau yang setingkat, seluas 74,4 m2 (tujuh puluh empat koma empat meter persegi) terdiri atas ruang kerja, ruang tamu, ruang rapat, ruang tunggu, ruang istirahat, ruang sekretaris, ruang staf untuk 2 (dua) orang, ruang simpan, dan ruang toilet;

  71. ruang pimpinan tinggi pratama setara eselon IIb atau yang setingkat, seluas 62,4 m2 (enam puluh dua koma empat meter persegi) terdiri atas ruang kerja, ruang tamu, ruang rapat, ruang tunggu, ruang istirahat, ruang sekretaris, ruang staf untuk 2 (dua) orang, ruang simpan, dan ruang toilet;

  72. ruang administrator setara eselon IIIa atau yang setingkat, seluas 24 m2 (dua puluh empat meter persegi) terdiri atas ruang kerja, ruang tamu, ruang sekretaris, dan ruang simpan;

  73. ruang administrator setara eselon IIIb atau yang setingkat, seluas 21 m2 (dua puluh satu meter persegi) terdiri atas ruang kerja, ruang tamu, dan ruang simpan; dan

  74. ruang pengawas setara eselon IV atau yang setingkat, seluas 18,8 m2 (delapan belas koma delapan meter persegi) terdiri atas ruang kerja, ruang staf untuk 4 (empat) orang, dan ruang simpan.

    1. Ruang penunjang terdiri atas:

  75. ruang rapat utama kementerian dengan luas 140 m ^2 (seratus empat puluh meter persegi) untuk kapasitas 100 (seratus) orang;

  76. ruang rapat utama pimpinan tinggi utama atau pimpinan tinggi madya setara eselon I atau yang setingkat dengan luas 90 m2 (sembilan puluh meter persegi) untuk kapasitas 75 (tujuh puluh lima) orang;

  77. ruang rapat utama pimpinan tinggi pratama setara eselon II atau yang setingkat dengan luas 40 m2 (empat puluh meter persegi) untuk kapasitas 30 (tiga puluh) orang;

  78. ruang studio dengan luas 4 m2 (empat meter persegi) per orang untuk pemakai 10% (sepuluh persen) dari staf;

  79. ruang arsip dengan luas 0,4 m2 (nol koma empat meter persegi) per orang untuk pemakai seluruh staf;

  80. Toilet (Water Closet) dengan luas 2 m2 (dua meter persegi) per 25 (dua puluh lima) orang untuk pemakai pejabat administrator, pengawas dan seluruh staf; dan

  81. musala dengan luas 0,8 m2 (nol koma delapan meter persegi) per orang untuk pemakai 20% (dua puluh persen) dari jumlah personel.

    (4)

    Untuk pejabat pengawas yang memiliki staf lebih dari ketentuan pada ayat (3) huruf a angka 10, penambahan luas ruang staf diperhitungkan sebesar 2,2 m2 (dua koma dua meter persegi) sampai dengan 3 m2 (tiga meter persegi) per personel.

    (5)

    Dalam hal kebutuhan standar luas ruang Bangunan Gedung kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi rata-rata 10 m ^2 (sepuluh meter persegi) per personel, harus mendapat persetujuan dari Menteri. Pasal 131

    (1)

    Standar luas rumah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) huruf b ditetapkan sesuai dengan tipe rumah negara yang didasarkan pada tingkat jabatan dan golongan atau pangkat penghuni.

    (2)

    Standar tipe dan luas rumah negara bagi pejabat dan pegawai negeri ditetapkan sebagai berikut:

    1. tipe khusus diperuntukkan bagi menteri, pimpinan lembaga tinggi negara, atau pejabat yang setingkat dengan menteri, dengan luas bangunan 400 m ^2 (empat ratus meter persegi) dan luas tanah 1000 m ^2 (seribu meter persegi);

    2. tipe a diperuntukkan bagi sekretaris jenderal, direktur jenderal, inspektur jenderal, pejabat yang setingkat, atau anggota lembaga tinggi negara atau anggota dewan dengan luas bangunan 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) dan luas tanah 600 m2 (enam ratus meter persegi);

    3. tipe b diperuntukkan bagi direktur, kepala biro, kepala pusat, pejabat yang setingkat atau pegawai negeri sipil golongan IV/d dan IV/e, dengan luas bangunan 120 m2 (seratus dua puluh meter persegi) dan luas tanah 350 m2 (tiga ratus lima puluh meter persegi);

    4. tipe c diperuntukkan bagi kepala sub direktorat, kepala bagian, kepala bidang, pejabat yang setingkat, atau pegawai negeri sipil golongan IV/a dan IV/c, dengan luas bangunan 70 m2 (tujuh puluh meter persegi) dan luas tanah 200 m2 (dua ratus meter persegi;

    5. tipe d diperuntukkan bagi kepala seksi, kepala sub bagian, kepala sub bidang, pejabat yang setingkat, atau pegawai negeri sipil golongan III, dengan luas bangunan 50 m2 (lima puluh meter persegi) dan luas tanah 120 m2 (seratus dua puluh meter persegi); dan

    6. tipe e diperuntukkan bagi pegawai negeri sipil golongan I dan golongan II, dengan luas bangunan 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi) dan luas tanah 100 m ^2 (seratus meter persegi).

    (3)

    Standar kebutuhan atau jenis ruang rumah negara untuk standar tipe dan luas rumah negara bagi pejabat dan pegawai negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    1. tipe khusus terdiri atas ruang tamu, ruang kerja, ruang duduk, ruang makan, 4 (empat) ruang tidur, 2 (dua) kamar mandi, dapur, gudang, 2 (dua) garasi, 2 (dua) ruang tidur pembantu, ruang cuci, dan kamar mandi pembantu;

    2. tipe a terdiri atas ruang tamu, ruang kerja, ruang duduk, ruang makan, 4 (empat) ruang tidur, 2 (dua) kamar mandi, dapur, gudang, garasi, 2 (dua) ruang tidur pembantu, ruang cuci, dan kamar mandi pembantu;

    3. tipe b terdiri atas ruang tamu, ruang kerja, ruang duduk, ruang makan, 3 (tiga) ruang tidur, 2 (dua) kamar mandi, dapur, gudang, garasi, ruang tidur pembantu, ruang cuci, dan kamar mandi pembantu;

    4. tipe c terdiri atas ruang tamu, ruang makan, 3 (tiga) ruang tidur, kamar mandi, dapur, gudang, dan ruang cuci;

    5. tipe d yang terdiri atas ruang tamu, ruang makan, 2 (dua) ruang tidur, kamar mandi, dapur, dan ruang cuci; dan

    6. tipe e yang terdiri atas ruang tamu, ruang makan, 2 (dua) ruang tidur, kamar mandi, dapur, dan ruang cuci.

    (4)

    Ruang cuci dan kamar mandi pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, sampai dengan huruf f tidak dihitung dalam standar luas rumah negara. Pasal 132

    (1)

    Standar luas BGN lainnya untuk Bangunan Gedung pendidikan, Bangunan Gedung pendidikan dan pelatihan, Bangunan Gedung pelayanan kesehatan, Bangunan Gedung parkir, Bangunan Gedung perdagangan, dan Bangunan Gedung peribadatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (3) ditetapkan oleh menteri sesuai urusan pemerintahan .

    (2)

    Standar luas BGN lainnya selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pengguna anggaran.

    (3)

    Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) setelah berkoordinasi dengan Menteri. Pasal 133

    (1)

    Standar jumlah lantai BGN ditetapkan paling banyak 8 (delapan) lantai.

    (2)

    Jumlah lantai BGN sebagaimana dimaksud ayat (1) dihitung dari ruang yang dibangun di atas permukaan tanah terendah.

    (3)

    Dalam hal BGN yang dibangun lebih dari 8 (delapan) lantai, harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Menteri.

    (4)

    Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dengan mempertimbangkan:

    1. kebutuhan;

    2. peraturan daerah setempat terkait ketinggian bangunan atau jumlah lantai; dan

    3. koefisien perbandingan antara nilai harga tanah dengan nilai harga Bangunan Gedung.

    (5)

    Dalam hal BGN dibangun dengan basemen, jumlah lapis paling banyak 3 (tiga). Paragraf 3 Standar Teknis Bangunan Gedung Negara pada Kegiatan Persiapan

    Pasal 134

    Rencana kebutuhan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) huruf a harus mendapatkan persetujuan dari:

    1. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk pembangunan BGN yang pendanaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara;

    2. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri untuk pembangunan BGN yang pendanaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah; atau

    3. gubernur untuk pembangunan BGN yang pendanaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten atau kota dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah.


    Pasal 135

    (1)

    Rencana pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) huruf b harus mendapatkan rekomendasi oleh:

    1. Menteri untuk pembangunan BGN yang pendanaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara;

    2. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri untuk pembangunan BGN yang pendanaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah; atau

    3. gubernur untuk pembangunan BGN yang pendanaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah.

    (2)

    Rencana pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu harus diprogramkan dan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah kementerian/lembaga atau rencana pembangunan jangka menengah daerah.

    (3)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kebutuhan biaya pembangunan yang memuat:

    1. klasifikasi Bangunan Gedung;

    2. luas bangunan;

    3. jumlah lantai;

    4. rincian komponen biaya pembangunan; dan/atau

    5. tahapan pelaksanaan pembangunan meliputi:

  82. waktu pembangunan;

  83. penahapan biaya; dan

  84. penahapan pembangunan.

    (4)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai acuan tertinggi dalam penyusunan anggaran kegiatan dan pelaksanaan pembangunan BGN yang dituangkan dalam daftar isian pelaksana anggaran atau dokumen pelaksanaan anggaran.

    (5)

    Pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilimpahkan wewenangnya kepada:

    1. Menteri untuk Pembangunan BGN yang dilakukan oleh kementerian/lembaga untuk BGN yang berada di wilayah provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan gedung perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; dan

    2. Pemerintah Daerah Provinsi yang bertanggung jawab atas pembinaan Pembangunan BGN untuk pembangunan BGN yang dilakukan oleh kementerian/lembaga untuk BGN yang berada di luar wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pasal 136

    (1)

    Rencana penyediaan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) huruf c dilakukan oleh kementerian/lembaga atau perangkat daerah pengguna anggaran.

    (2)

    Rencana penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga untuk Pembangunan BGN yang pendanaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara; atau

    2. rencana kerja dan anggaran organisasi perangkat daerah untuk Pembangunan BGN yang pendanaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pasal 137

    (1)

    Pembangunan BGN yang penyelesaiannya memerlukan waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dilakukan dengan perencanaan proyek tahun jamak.

    (2)

    Perencanaan proyek tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:

    1. kompleksitas atau spesifikasi;

    2. besaran kegiatan; dan/atau

    3. ketersediaan anggaran.

    (3)

    Rencana penyediaan dana untuk proyek tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setiap tahun sesuai dengan lingkup pekerjaan yang dapat diselesaikan pada tahun yang bersangkutan.

    (4)

    Rencana penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui penahapan pembangunan BGN dengan berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

    1. penyusunan seluruh dokumen perencanaan teknis selesai di tahun pertama;

    2. pelaksanaan fondasi dan struktur bangunan keseluruhan diselesaikan pada tahun anggaran yang sama; dan/atau

    3. pelaksanaan sisa pekerjaan diselesaikan pada tahun anggaran berikutnya.

    (5)

    Rencana penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dikonsultasikan dengan instansi teknis.

    (6)

    Dalam hal pelaksanaan proyek tahun jamak tidak dapat dilakukan dengan penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), untuk efektivitas dan efisiensi harus dilaksanakan dengan kontrak tahun jamak.

    (7)

    Pembangunan BGN yang akan dilaksanakan dengan kontrak tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus mendapat persetujuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan kontrak tahun jamak.

    (8)

    Sebelum mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pembangunan BGN dengan kontrak tahun jamak harus memperoleh pendapat teknis proyek tahun jamak dari:

    1. Menteri untuk Bangunan Gedung dengan sumber pendanaan yang berasal dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara; atau

    2. kepala Dinas Teknis untuk Bangunan Gedung dengan sumber pendanaan yang berasal dari dana anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah. Pasal 138

    (1)

    Kegiatan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) menghasilkan dokumen pendanaan.

    (2)

    Setelah dokumen pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan, pengguna anggaran melalui kepala satuan kerja melakukan:

    1. pembentukan organisasi pengelola kegiatan;

    2. koordinasi dengan unit layanan pengadaan barang dan jasa, atau kelompok kerja unit layanan pengadaan barang dan jasa, atau pejabat pengadaan;

    3. pengadaan penyedia jasa manajemen konstruksi untuk kegiatan yang memerlukan kegiatan manajemen konstruksi;

    4. menyusun program pelaksanaan pembangunan secara menyeluruh; dan

    5. melakukan persiapan pengadaan penyedia jasa perencanaan konstruksi.

    (3)

    Dalam hal pembangunan BGN menggunakan penyedia jasa manajemen konstruksi, kegiatan penyusunan program pelaksanaan pembangunan secara menyeluruh dan persiapan pengadaan penyedia jasa perencanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e dibantu oleh manajemen konstruksi.

    Pasal 139

    Penyusunan rencana kebutuhan, rencana pendanaan, dan rencana penyediaan dana pembangunan BGN yang pendanaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Standar Teknis Bangunan Gedung Negara pada Tahap Perencanaan Teknis


    Pasal 140

    (1)

    Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) huruf a meliputi:

    1. perencanaan baru;

    2. perencanaan dengan desain berulang;

    3. perencanaan dengan desain prototipe/purwarupa; atau

    4. perencanaan dengan desain sayembara.

    (2)

    Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penyusunan rencana teknis yang meliputi:

    1. konsepsi perancangan;

    2. pra rancangan;

    3. pengembangan rancangan; dan

    4. rancangan detail.

    (3)

    Penyusunan rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan konstruksi berdasarkan:

    1. kerangka acuan kerja pekerjaan perencanaan teknis;

    2. kontrak pekerjaan perencanaan teknis dan lampiran beserta perubahannya;

    3. sistem manajemen mutu; dan

    4. SMKK.

    (4)

    Pembangunan BGN untuk bangunan bertingkat di atas 4 (empat) lantai, bangunan dengan luas total di atas 5000 m ^2 (lima ribu meter persegi), klasifikasi bangunan khusus, bangunan yang melibatkan lebih dari satu penyedia jasa perencanaan maupun pelaksana konstruksi, dan/atau yang dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran ( multiyears project ) harus dilakukan pengawasan pada perencanaan teknis oleh manajemen konstruksi.

    (5)

    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menghasilkan laporan reviu desain.

    (6)

    Dalam hal keadaan darurat bencana, penyusunan rencana teknis untuk Bangunan Gedung dengan klasifikasi sederhana dapat dilakukan oleh kementerian/lembaga atau Dinas Teknis. Pasal 141

    (1)

    Konsepsi perancangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a digunakan untuk:

    1. membantu pengguna jasa dalam memperoleh gambaran atas konsepsi rancangan; dan

    2. mendapatkan gambaran pertimbangan bagi penyedia jasa dalam melakukan perancangan.

    (2)

    Konsepsi perancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

    1. data dan informasi;

    2. analisis;

    3. dasar pemikiran dan pertimbangan perancangan;

    4. program ruang;

    5. organisasi hubungan ruang;

    6. skematik rencana teknis; dan

    7. sketsa gagasan. Pasal 142

    (1)

    Pra rancangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2) huruf b digunakan untuk:

    1. mendapatkan pola dan gubahan bentuk rancangan yang tepat, waktu pembangunan yang paling singkat, serta biaya yang paling ekonomis;

    2. memperoleh kesesuaian pengertian yang lebih tepat atas konsepsi perancangan serta pengaruhnya terhadap kelayakan lingkungan; dan c. menunjukkan keselarasan dan keterpaduan konsepsi perancangan terhadap ketentuan RDTR atau RTBL untuk PBG.

    (2)

    Pra rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan konsepsi perancangan yang telah disetujui dan/atau berdasarkan hasil lokakarya rekayasa nilai ( value engineering ), paling sedikit meliputi:

    1. pola, gubahan, dan bentuk arsitektur yang diwujudkan dalam gambar pra rancangan yaitu:

  85. rencana massa Bangunan Gedung;

  86. rencana tapak;

  87. denah;

  88. tampak Bangunan Gedung;

  89. potongan Bangunan Gedung; dan

  90. visualisasi desain tiga dimensi.

    1. nilai fungsional dalam bentuk diagram; dan

    2. aspek kualitatif serta aspek kuantitatif, dalam bentuk laporan tertulis dan gambar seperti:

  91. perkiraan luas lantai;

  92. informasi penggunaan bahan;

  93. sistem konstruksi;

  94. biaya dan waktu pelaksanaan pembangunan; dan 5. penerapan prinsip BGH.

    (3)

    Lokakarya rekayasa nilai ( value engineering ) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwajibkan untuk kegiatan pembangunan dengan luas bangunan di atas 12.000 m ^2 (dua belas ribu meter persegi) atau di atas 8 (delapan) lantai.

    (4)

    Lokakarya rekayasa nilai ( value engineering ) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan selama 40 (empat puluh) jam. Pasal 143

    (1)

    Pengembangan rancangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2) huruf c digunakan untuk:

    1. kepastian dan kejelasan ukuran serta wujud karakter bangunan secara menyeluruh, pasti, dan terpadu;

    2. mematangkan konsepsi rancangan secara keseluruhan, terutama ditinjau dari keselarasan sistem yang terkandung di dalamnya, baik dari segi kelayakan dan fungsi, estetika, waktu dan ekonomi bangunan serta BGH; dan

    3. penyusunan rancangan detail.

    (2)

    Pengembangan rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pra rancangan yang telah disetujui, paling sedikit meliputi:

    1. pengembangan arsitektur Bangunan Gedung berupa gambar rencana arsitektur, beserta uraian konsep dan visualisasi desain dua dimensi dan desain tiga dimensi;

    2. sistem struktur, beserta uraian konsep dan perhitungannya;

    3. sistem mekanikal, elektrikal termasuk informasi dan teknologi, tata lingkungan, beserta uraian konsep dan perhitungannya;

    4. penggunaan bahan bangunan secara garis besar dengan mempertimbangkan nilai manfaat, ketersediaan bahan, konstruksi, nilai ekonomi, dan rantai pasok; dan

    5. perkiraan biaya konstruksi berdasarkan sistem bangunan yang disajikan dalam bentuk gambar, diagram sistem, dan laporan tertulis. Pasal 144

    (1)

    Rancangan detail sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2) huruf d digunakan untuk penyusunan dokumen teknis pada dokumen tender pekerjaan konstruksi.

    (2)

    Rancangan detail sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pengembangan rancangan yang telah disetujui paling sedikit meliputi:

    1. gambar detail arsitektur, detail struktur, detail utilitas, dan lanskap;

    2. rencana kerja dan syarat yang meliputi:

  95. syarat umum;

  96. syarat administratif; dan

  97. termasuk spesifikasi teknis.

    1. rincian volume pelaksanaan pekerjaan, rencana anggaran biaya pekerjaan konstruksi ( engineering estimate ); dan

    2. laporan perencanaan yang meliputi:

  98. laporan arsitektur;

  99. laporan perhitungan struktur termasuk laporan penyelidikan tanah ( soil test );

  100. laporan perhitungan mekanikal, elektrikal, dan perpipaan (plumbing );

  101. laporan perhitungan informasi dan teknologi;

  102. laporan tata lingkungan; dan

  103. laporan perhitungan BGH.

    (3)

    Dokumen teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi gambar detail, rencana kerja dan syarat, dan rincian volume pelaksanaan pekerjaan.

    Pasal 145

    Tahap perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) menghasilkan dokumen perencanaan teknis yang meliputi:

    1. laporan konsepsi perancangan;

    2. dokumen pra rancangan;

    3. dokumen pengembangan rancangan;

    4. dokumen rancangan detail;

    5. laporan kegiatan lokakarya rekayasa nilai ( value engineering) untuk kegiatan yang diwajibkan;

    6. reviu desain untuk kegiatan yang memerlukan penyedia jasa manajemen konstruksi;

    7. kontrak kerja perencana konstruksi; dan

    8. kontrak kerja manajemen konstruksi untuk kegiatan yang memerlukan penyedia jasa manajemen konstruksi.


    Pasal 146

    (1)

    Pelaksanaan teknis dengan desain berulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) huruf b merupakan penggunaan secara berulang terhadap produk desain yang sudah ada yang dibuat oleh penyedia jasa perencanaan yang sama dan telah ditetapkan sebelumnya dalam kerangka acuan kerja.

    (2)

    Pelaksanaan teknis dengan desain berulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. desain berulang total; dan

    2. desain berulang parsial.

    (3)

    Desain berulang total sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan penggunaan secara berulang terhadap seluruh produk desain yang sudah ada yang dibuat oleh penyedia jasa perencanaan yang sama untuk pekerjaan lain pada tapak yang sama atau pada lokasi lain.

    (4)

    Desain berulang parsial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan penggunaan secara berulang terhadap sebagian produk desain yang sudah ada yang dibuat oleh penyedia jasa perencanaan yang sama untuk pekerjaan lain pada tapak yang sama atau pada lokasi lain.

    (5)

    Biaya perencanaan untuk desain bangunan yang berulang diperhitungkan terhadap komponen biaya perencanaan sebagai berikut:

    1. pengulangan pertama sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);

    2. pengulangan kedua sebesar 65% (enam puluh lima persen); dan

    3. pengulangan ketiga dan pengulangan seterusnya masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen).

    (6)

    Untuk pekerjaan desain berulang, penyedia jasa perencanaan konstruksi dapat ditunjuk langsung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 147

    (1)

    Perencanaan teknis dengan desain prototipe/purwarupa pada pelaksanaan Pembangunan BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) huruf c ditetapkan oleh:

    1. Menteri untuk Bangunan Gedung dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara;

    2. gubernur, untuk Bangunan Gedung dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah; atau

    3. bupati atau wali kota, untuk Bangunan Gedung dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten atau kota dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah.

    (2)

    BGN dengan desain prototipe/purwarupa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. rumah negara yang berbentuk rumah tinggal tunggal atau rumah susun;

    2. gedung kantor sederhana dan tidak sederhana; dan c. gedung sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, atau sekolah menengah kejuruan atau yang sederajat; dan

    3. gedung fasilitas kesehatan.

    (3)

    Perencanaan teknis desain prototipe/purwarupa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan penyesuaian apabila tidak sesuai dengan:

    1. keadaan lokasi;

    2. bahan bangunan; dan

    3. pelaksanaan di lapangan.

    (4)

    Penyesuaian perencanaan teknis desain prototipe/purwarupa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan oleh:

    1. penyedia jasa perencanaan konstruksi;

    2. Kementerian; atau

    3. Pemerintah Daerah.

    (5)

    Penyedia jasa perencanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diberikan biaya penyesuaian perencanaan teknis desain prototipe/purwarupa paling banyak 50% (lima puluh persen) dari biaya perencanaan.

    (6)

    Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c diberikan biaya penyesuaian perencanaan teknis desain prototipe/purwarupa paling banyak 60% (enam puluh persen) dari biaya perencanaan penyesuaian desain prototipe/purwarupa oleh penyedia jasa perencanaan konstruksi.

    (7)

    Perencanaan teknis desain prototipe/purwarupa atau penyesuaiannya ditetapkan sebagai dokumen tender desain prototipe/purwarupa oleh Kementerian atau Pemerintah Daerah.

    (8)

    Dokumen tender desain prototipe/purwarupa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) digunakan sebagai dasar pelaksanaan pembangunan dengan desain prototipe/purwarupa.

    (9)

    Dalam hal Pembangunan BGN menggunakan desain prototipe/purwarupa secara berulang tanpa penyesuaian, tidak diberikan tambahan biaya perencanaan. Pasal 148

    (1)

    Perencanaan teknis dengan desain sayembara pada pelaksanaan Pembangunan BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) huruf d ditetapkan oleh:

    1. Menteri untuk Bangunan Gedung dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara;

    2. gubernur, untuk Bangunan Gedung dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah; atau

    3. bupati atau wali kota, untuk Bangunan Gedung dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten atau kota dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah.

    (2)

    BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. Bangunan Gedung kantor dan BGN lainnya dengan klasifikasi tidak sederhana; atau

    2. BGN klasifikasi khusus.

    (3)

    Pelaksanaan sayembara dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan organisasi profesi.

    (4)

    Perencanaan teknis dengan desain sayembara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. konsepsi perancangan; dan

    2. pra rancangan.

    (5)

    Penyedia jasa perencanaan teknis sebagai pemenang sayembara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan biaya imbalan jasa paling banyak 35% (tiga puluh lima persen) dari biaya keseluruhan perencanaan teknis.

    (6)

    Perencanaan teknis dengan desain sayembara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian keseluruhan pekerjaan perencanaan teknisnya dapat dilakukan oleh pemenang sayembara atau oleh penyedia jasa perencanaan lainnya hasil seleksi dengan tetap bekerja sama dengan pemenang sayembara. Paragraf 5 Standar Teknis Bangunan Gedung Negara pada Tahap Pelaksanaan Konstruksi Pasal 149

    (1)

    Pelaksanaan konstruksi fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) huruf b merupakan tahap perwujudan dokumen perencanaan menjadi Bangunan Gedung yang siap dimanfaatkan.

    (2)

    Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kegiatan:

    1. pembangunan baru;

    2. perluasan;

    3. lanjutan pembangunan Bangunan Gedung yang belum selesai;

    4. pembangunan dalam rangka Perawatan termasuk perbaikan sebagian atau seluruh Bangunan Gedung; dan/atau

    5. pembangunan BGN terintegrasi.

    (3)

    Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    1. pelaksanaan konstruksi sampai dengan serah terima pertama ( provisional hand over ) pekerjaan; dan b. pelaksanaan Pemeliharaan pekerjaan konstruksi sampai dengan serah terima akhir ( final hand over ) pekerjaan, (4) Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa pelaksanaan konstruksi. Pasal 150

    (1)

    Penyedia jasa perencanaan konstruksi dan penyedia jasa manajemen konstruksi untuk kegiatan yang memerlukan manajemen konstruksi dapat membantu unit layanan pengadaan barang dan jasa, kelompok kerja unit layanan pengadaan barang dan jasa, atau pejabat pengadaan dalam proses pengadaan penyedia jasa pelaksanaan konstruksi fisik.

    (2)

    Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan laporan pengadaan penyedia jasa pelaksanaan konstruksi fisik. Pasal 151

    (1)

    Pelaksanaan konstruksi fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 harus mendapatkan pengawasan teknis oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi, dan pengawasan berkala oleh penyedia jasa perencanaan konstruksi.

    (2)

    Penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan harian, laporan mingguan, laporan bulanan, dan laporan akhir pengawasan teknis.

    (3)

    Penyedia jasa perencanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan akhir pekerjaan perencanaan teknis.

    (4)

    Laporan akhir pekerjaan perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:

    1. dokumen perencanaan teknis;

    2. laporan pengadaan penyedia jasa pelaksanaan konstruksi;

    3. laporan penyelenggaraan paket lokakarya rekayasa nilai ( value engineering ), dalam hal terdapat kegiatan rekayasa nilai ( value engineering );

    4. surat penjaminan atas kegagalan bangunan dari penyedia jasa perencanaan konstruksi; dan

    5. laporan akhir pengawasan berkala termasuk perubahan perancangan.

    (5)

    Pelaksanaan konstruksi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa pelaksanaan konstruksi berdasarkan:

    1. kontrak pekerjaan konstruksi atau pemborong dan lampiran beserta perubahannya; dan

    2. SMKK.

    (6)

    Pelaksanaan Pemeliharaan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (3) huruf b merupakan kegiatan menjaga keandalan konstruksi Bangunan Gedung melalui pemeriksaan hasil pelaksanaan konstruksi fisik setelah serah terima pertama ( provisional hand over ).

    (7)

    Dalam Pemeliharaan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penyedia jasa pelaksanaan konstruksi berkewajiban memperbaiki segala cacat atau kerusakan yang terjadi selama masa konstruksi.

    (8)

    Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak kerja pelaksanaan konstruksi BGN, masa Pemeliharaan pekerjaan konstruksi paling sedikit 6 (enam) bulan terhitung sejak serah terima pertama ( provisional hand over ) pekerjaan konstruksi.

    (9)

    Masa Pemeliharaan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diakhiri dengan serah terima akhir ( final hand over ) pekerjaan konstruksi yang dilampiri dengan berita acara pelaksanaan Pemeliharaan pekerjaan konstruksi.

    (10)

    Penyedia jasa pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) membuat dokumen pelaksanaan konstruksi meliputi:

    1. semua berkas perizinan yang diperoleh pada saat pelaksanaan konstruksi fisik, termasuk PBG;

    2. gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan ( as-built drawings );

    3. kontrak kerja pelaksanaan konstruksi fisik, pekerjaan pengawasan konstruksi, atau manajemen konstruksi beserta segala perubahan atau addendumnya;

    4. laporan pelaksanaan konstruksi fisik yang terdiri atas laporan harian, laporan mingguan, laporan bulanan, laporan akhir pengawasan teknis termasuk laporan uji mutu, dan laporan akhir pekerjaan perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4);

    5. berita acara pelaksanaan konstruksi yang terdiri atas perubahan pekerjaan, pekerjaan tambah atau kurang, serah terima pertama ( provisional hand over ), dan serah terima akhir ( final hand over ) dilampiri dengan berita acara pelaksanaan Pemeliharaan pekerjaan konstruksi fisik, pemeriksaan pekerjaan, dan berita acara lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi fisik;

    6. kontrak kerja perencanaan teknis;

    7. pengetesan dan pengujian ( testing and commissioning );

    8. foto dokumentasi yang diambil pada setiap tahapan kemajuan pelaksanaan konstruksi fisik;

    9. dokumen SMKK;

    10. manual operasi dan Pemeliharaan Bangunan Gedung, termasuk pengoperasian dan Pemeliharaan peralatan dan perlengkapan mekanikal, elektrikal, dan perpipaan ( plumbing) ;

    11. garansi atau surat jaminan peralatan dan perlengkapan mekanikal, elektrikal, dan perpipaan ( plumbing) ;

    12. sertifikat BGH, dalam hal ditetapkan sebagai BGH;

    13. surat penjaminan atas kegagalan bangunan dari penyedia jasa pelaksanaan konstruksi dan penyedia jasa pengawasan konstruksi teknis; dan

    14. hasil pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung. Pasal 152

    (1)

    Pembangunan BGN terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (2) huruf e merupakan gabungan pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi konstruksi.

    (2)

    Pembangunan BGN terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 6 Standar Teknis Bangunan Gedung Negara pada Tahap Pengawasan Konstruksi Pasal 153

    (1)

    Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) huruf c dilakukan oleh:

    1. penyedia jasa manajemen konstruksi; atau

    2. penyedia jasa pengawasan konstruksi.

    (2)

    Pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa manajemen konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan pada pembangunan BGN dengan kriteria:

    1. klasifikasi tidak sederhana dengan ketentuan jumlah lantai di atas 4 (empat) lantai dan dengan luas bangunan minimal 5000 m ^2 (lima ribu meter persegi) untuk pembangunan baru, perluasan, dan/atau lanjutan pembangunan Bangunan Gedung;

    2. BGN klasifikasi bangunan khusus;

    3. melibatkan lebih dari satu penyedia jasa, baik perencanaan maupun pelaksana konstruksi; dan/atau d. pelaksanaannya lebih dari satu tahun anggaran dengan menggunakan kontrak tahun jamak.

    (3)

    Pembangunan BGN dengan kriteria selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau dapat dilakukan oleh penyedia jasa manajemen konstruksi dengan rekomendasi dari instansi teknis.

    (4)

    Kegiatan pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. pengendalian waktu;

    2. pengendalian biaya;

    3. pengendalian pencapaian sasaran; dan

    4. tertib administrasi pembangunan BGN.

    (5)

    Pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa manajemen konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    1. pengawasan pada tahap perencanaan teknis;

    2. pengawasan persiapan konstruksi;

    3. pengawasan tahap pelaksanaan konstruksi sampai dengan serah terima pertama ( provisional hand over ) pekerjaan konstruksi; dan

    4. pengawasan tahap Pemeliharaan pekerjaan konstruksi sampai dengan serah terima akhir ( final hand over ) pekerjaan konstruksi.

    (6)

    Pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. pengawasan persiapan konstruksi;

    2. pengawasan tahap pelaksanaan konstruksi sampai dengan serah terima pertama ( provisional hand over ) pekerjaan konstruksi; dan

    3. pengawasan tahap Pemeliharaan pekerjaan konstruksi sampai dengan serah terima akhir ( final hand over ) pekerjaan konstruksi.

    (7)

    Penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi memiliki tanggung jawab memberikan rekomendasi kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang diawasi sesuai dengan dokumen PBG kepada pengguna anggaran. Paragraf 7 Standar Teknis Bangunan Gedung Negara pada Tahap Pascakonstruksi Pasal 154

    (1)

    Pembangunan diikuti dengan kegiatan pasca konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (4).

    (2)

    Kegiatan pasca konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. persiapan untuk mendapatkan status barang milik negara dari pengelola barang;

    2. mendapatkan SLF; dan

    3. pendaftaran sebagai BGN.

    (3)

    Barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

    (4)

    Penetapan status BGN sebagai barang milik negara dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah. Pasal 155

    (1)

    Pendaftaran sebagai BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (2) huruf c termasuk rumah negara bertujuan:

    1. terwujudnya tertib pengelolaan BGN;

    2. mengetahui status kepemilikan dan penggunaan BGN;

    3. mengetahui secara tepat dan rinci jumlah aset negara yang berupa BGN;

    4. menyusun program kebutuhan pembangunan, Pemeliharaan, dan Perawatan BGN;

    5. menyusun perhitungan kebutuhan biaya Pemeliharaan dan Perawatan BGN; dan

    6. mengetahui besarnya pemasukan keuangan kepada negara dari hasil sewa, penjualan, dan penghapusan BGN khususnya rumah negara.

    (2)

    Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kementerian/lembaga atau organisasi perangkat daerah pengguna anggaran dengan melaporkan BGN yang telah selesai dibangun kepada:

    1. Menteri untuk BGN dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara, yang dilaksanakan di tingkat pusat, termasuk perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau b. gubernur, bupati atau walikota melalui Dinas Teknis, untuk BGN dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah.

    (3)

    Pendaftaran sebagai BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menghasilkan dokumen pendaftaran berupa surat keterangan bukti pendaftaran BGN dengan diberikan huruf daftar nomor (HDNo).

    (4)

    Huruf daftar nomor (HDNo) BGN diterbitkan oleh Menteri.

    (5)

    Huruf daftar nomor (HDNo) terdiri atas huruf daftar nomor BGN dan huruf daftar nomor rumah negara.

    (6)

    Gubernur atau bupati/walikota melaporkan BGN yang ada di wilayahnya kepada Menteri. Paragraf 8 Standar Teknis Bangunan Gedung Negara pada Tahap Pemanfaatan Pasal 156

    (1)

    BGN dapat dimanfaatkan setelah mendapatkan SLF.

    (2)

    BGN harus dikelola oleh Pengelola BGN.

    (3)

    Pengelola BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pengguna barang.

    (4)

    Pengelola BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibantu oleh Pengelola Bangunan Gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    (5)

    Pengelola BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki tugas:

    1. menyusun dan melaksanakan rencana Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung serta pemeriksaan berkala;

    2. melaksanakan sosialisasi, promosi, dan edukasi kepada Pengguna dan/atau Pengunjung Bangunan Gedung;

    3. mengelola rangkaian kegiatan pemanfaatan, termasuk pemantauan dan evaluasi;

    4. menyusun laporan kegiatan Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung serta pemeriksaan berkala; dan

    5. menyusun, melengkapi, dan melaksanakan manual SOP pelaksanaan Pemanfaatan. Pasal 157

    (1)

    Pemeliharaan BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (5) huruf a merupakan usaha mempertahankan kondisi bangunan dan upaya untuk menghindari kerusakan komponen atau elemen bangunan agar tetap laik fungsi.

    (2)

    Perawatan BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (5) huruf a merupakan usaha memperbaiki kerusakan dan/atau mengganti bagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar BGN tetap laik fungsi.

    (3)

    Pemeliharaan dan/atau Perawatan BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan mempertimbangkan:

    1. umur bangunan;

    2. penyusutan;

    3. kerusakan bangunan; dan/atau

    4. peningkatan komponen bangunan. Pasal 158

    (1)

    Umur bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (3) huruf a merupakan jangka waktu Bangunan Gedung masih tetap memenuhi fungsi dan keandalan bangunan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

    (2)

    Umur BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 50 (lima puluh) tahun.

    (3)

    Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (3) huruf b merupakan nilai penurunan atau depresiasi Bangunan Gedung yang dihitung secara sama besar setiap tahunnya selama jangka waktu umur bangunan.

    (4)

    Penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar:

    1. 2% (dua persen) per tahun untuk bangunan permanen;

    2. 4% (empat persen) per tahun untuk bangunan semi permanen; atau

    3. 10% (sepuluh persen) per tahun untuk Bangunan Gedung darurat, dengan nilai sisa ( salvage value ) paling sedikit sebesar 20% (dua puluh persen). Pasal 159

    (1)

    Kerusakan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (3) huruf c merupakan kondisi tidak berfungsinya bangunan atau komponen bangunan yang disebabkan oleh:

    1. penyusutan atau berakhirnya umur bangunan;

    2. kelalaian manusia; atau

    3. bencana alam.

    (2)

    Kerusakan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan atas tiga tingkat kerusakan, yaitu:

    1. kerusakan ringan;

    2. kerusakan sedang; dan

    3. kerusakan berat.

    (3)

    Penentuan tingkat kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri untuk tingkat nasional atau kepala daerah setempat yang bertanggung jawab terhadap pembinaan Bangunan Gedung untuk tingkat daerah provinsi dan kabupaten atau kota. Pasal 160

    (1)

    Besarnya biaya Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) tergantung pada fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung dan dihitung berdasarkan per m ^2 (meter persegi) Bangunan Gedung.

    (2)

    Biaya Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling banyak 2% (dua persen) dari harga standar per m ^2 (meter persegi) tertinggi tahun berjalan. Pasal 161

    (1)

    Perawatan BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (2) digolongkan sesuai dengan tingkat kerusakan pada bangunan yaitu:

    1. Perawatan untuk tingkat kerusakan ringan;

    2. Perawatan untuk tingkat kerusakan sedang; dan

    3. Perawatan untuk tingkat kerusakan berat.

    (2)

    Untuk Perawatan yang memerlukan penanganan khusus atau dalam usaha meningkatkan wujud bangunan dan pemugaran Bangunan Gedung bersejarah, besarnya biaya Perawatan dihitung sesuai dengan kebutuhan nyata.

    (3)

    Biaya Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Menteri untuk tingkat nasional atau kepala daerah setempat yang bertanggung jawab terhadap pembinaan Bangunan Gedung untuk tingkat daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota. Paragraf 9 Standar Teknis Bangunan Gedung Negara pada Tahap Pembongkaran Pasal 162

    (1)

    BGN dapat dibongkar jika:

    1. tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;

    2. membahayakan lingkungan di sekitarnya;

    3. tidak dapat dimanfaatkan dan/atau dipindahtangankan;

    4. biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan lebih besar daripada biaya Pembongkaran dan pembangunan baru;

    5. adanya kebutuhan Pengguna dan/atau pengguna barang; dan/atau

    6. adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan perubahan rencana tata ruang.

    (2)

    Pembongkaran BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindakan pemusnahan fisik BGN dengan cara dirobohkan.

    (3)

    Dalam hal BGN merupakan BGCB, maka Pembongkaran BGN harus mengikuti ketentuan penyelenggaraan BGCB yang dilestarikan.

    (4)

    Tahap Pembongkaran BGN meliputi:

    1. persiapan Pembongkaran;

    2. pelaksanaan Pembongkaran; dan

    3. penghapusan aset barang milik negara. Pasal 163

    (1)

    Tahap persiapan Pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (4) huruf a meliputi:

    1. permohonan dan persetujuan pemusnahan barang milik negara berupa BGN;

    2. penyusunan rencana pendanaan;

    3. penyusunan RTB; dan

    4. pengadaan penyedia jasa pekerjaan konstruksi Pembongkaran Bangunan Gedung.

    (2)

    Pengguna BGN mengajukan permohonan dan persetujuan pemusnahan barang milik negara berupa BGN dalam bentuk Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan selaku pengelola barang milik negara.

    (3)

    Pengajuan permohonan dan persetujuan pemusnahan barang milik negara berupa BGN dalam bentuk Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah.

    (4)

    Nilai sisa BGN yang dimusnahkan dalam bentuk Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dimintakan kepada Menteri dalam bentuk analisis pendanaan Pembongkaran BGN.

    (5)

    Analisis pendanaan Pembongkaran BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memuat paling sedikit:

    1. perhitungan nilai saat ini ( present value ) Bangunan Gedung;

    2. perhitungan nilai sisa bongkaran Bangunan Gedung; dan

    3. rencana pendanaan Pembongkaran. Pasal 164

    (1)

    Pengguna BGN menyusun rencana pendanaan Pembongkaran BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (1) huruf b dalam bentuk dokumen pendanaan Pembongkaran BGN berupa daftar isian pelaksanaan anggaran atau dokumen pelaksanaan anggaran.

    (2)

    Dokumen pendanaan Pembongkaran BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan:

    1. rencana kebutuhan;

    2. rencana pendanaan; dan

    3. rencana penyediaan dana.

    (3)

    Dokumen pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (4)

    Penyusunan dokumen pendanaan Pembongkaran BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku mutatis mutandis terhadap penyusunan pendanaan pembangunan BGN sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 165

    (1)

    Pengguna BGN dapat menunjuk penyedia jasa untuk menyusun RTB BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (1) huruf c.

    (2)

    Proses penyusunan RTB BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diawali dengan kegiatan peninjauan Pembongkaran. Pasal 166

    (1)

    Pekerjaan Pembongkaran BGN terdiri atas:

    1. penyusunan RTB; dan

    2. pelaksanaan Pembongkaran.

    (2)

    Penyusunan RTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan konstruksi.

    (3)

    Pelaksanaan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh penyedia pekerjaan konstruksi Pembongkaran.

    (4)

    Pekerjaan Pembongkaran BGN sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.

    (5)

    Kuasa pengguna anggaran menetapkan pekerjaan Pembongkaran BGN terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan kewenangannya.

    (6)

    Pekerjaan Pembongkaran BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengguna BGN melalui kegiatan seleksi atau tender sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 167

    (1)

    Pelaksanaan Pembongkaran BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (4) huruf b dilaksanakan oleh penyedia pekerjaan konstruksi Pembongkaran sesuai kontrak kerja dengan Pengguna BGN.

    (2)

    Pelaksanaan Pembongkaran BGN mengikuti standar Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

    (3)

    Penyedia pekerjaan konstruksi Pembongkaran wajib mengembalikan nilai sisa BGN yang telah disetujui pada tahap tender kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

    (4)

    Pengembalian nilai sisa BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh penyedia pekerjaan konstruksi Pembongkaran paling lambat 1 (satu) bulan setelah berita acara serah terima akhir (final hand over) ditandatangani.

    (5)

    Pelaksanaan Pembongkaran BGN dituangkan dalam berita acara pemusnahan barang milik negara berupa BGN yang ditandatangani oleh Pengguna BGN. Pasal 168

    (1)

    Dalam hal Pembongkaran BGN yang diikuti dengan pembangunan baru, pelaksanaan Pembongkaran dan pembangunan baru dapat dilakukan oleh 1 (satu) pelaksana konstruksi.

    (2)

    Pelaksana konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki keahlian Pembongkaran Bangunan Gedung dan pembangunan Bangunan Gedung.

    (3)

    Penilaian dalam pengadaan pelaksana konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan penawaran terendah dari harga perkiraan sendiri pembangunan dan penawaran tertinggi nilai sisa BGN.

    (4)

    Pelaksana konstruksi sebagaimana pada ayat (2) wajib mengembalikan nilai sisa BGN yang telah disetujui pada tahap tender kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

    Pasal 169

    Penghapusan aset barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (4) huruf c dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah. Paragraf 10 Penyelenggara Bangunan Gedung Negara


    Pasal 170

    (1)

    Pengguna anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf a meliputi:

    1. kementerian/lembaga; dan

    2. organisasi perangkat daerah.

    (2)

    Pengguna anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab untuk:

    1. menyusun dokumen pendanaan pembangunan BGN; dan

    2. melaksanakan pembangunan, dan mengendalikan pembangunan.

    (3)

    Pengguna anggaran dapat melimpahkan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunannya kepada kementerian/lembaga atau Dinas Teknis sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 171

    (1)

    Organisasi dan tata laksana pengelola kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (6) terdiri atas:

    1. kuasa pengguna anggaran, kepala satuan kerja atau pejabat pembuat komitmen yaitu pejabat yang ditetapkan oleh pengguna anggaran;

    2. pengelola keuangan yaitu bendahara yang ditetapkan oleh pengguna anggaran;

    3. pejabat verifikasi yang ditetapkan oleh pengguna anggaran;

    4. pengelola administrasi yaitu staf yang ditetapkan oleh kuasa pengguna anggaran atau kepala satuan kerja; dan

    5. pengelola teknis yang ditetapkan oleh kuasa pengguna anggaran atau kepala satuan kerja.

    (2)

    Pengelola kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Pengelola teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berfungsi membantu kuasa pengguna anggaran, kepala satuan kerja atau pejabat pembuat komitmen di bidang teknis administratif pada setiap tahap pembangunan BGN.

    (4)

    Pengelola kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas pada:

    1. kegiatan persiapan dan tahap perencanaan teknis;

    2. tahap pelaksanaan konstruksi; dan

    3. kegiatan pasca konstruksi.

    (5)

    Tugas pengelola kegiatan pada kegiatan persiapan dan tahap perencanaan teknis sebagaimana dimaksud ayat (4) huruf a terdiri atas:

    1. menyiapkan dan menetapkan organisasi kegiatan;

    2. menyiapkan bahan, menetapkan waktu, dan menetapkan strategi penyelesaian kegiatan;

    3. melakukan penyiapan pengadaan penyedia jasa manajemen konstruksi termasuk menyusun kerangka acuan kerja;

    4. melakukan penyiapan pengadaan penyedia jasa perencanaan termasuk menyusun kerangka acuan kerja;

    5. menyusun surat penetapan penyedia barang dan jasa, dokumen kontrak kerja konstruksi, dan surat perintah mulai kerja;

    6. mengendalikan kegiatan manajemen konstruksi dan kegiatan perencanaan; dan/atau

    7. menyusun berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan untuk pembayaran angsuran dan berita acara lainnya yang berkaitan dengan kegiatan manajemen konstruksi dan kegiatan perencanaan.

    (6)

    Tugas pengelola kegiatan pada tahap pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:

    1. melakukan penyiapan pengadaan penyedia jasa pengawasan konstruksi termasuk menyusun kerangka acuan kerja;

    2. melakukan penyiapan pengadaan penyedia jasa pelaksanaan konstruksi;

    3. menyusun surat penetapan penyedia barang dan jasa, surat perjanjian kerja, dan surat perintah mulai kerja;

    4. mengendalikan kegiatan pengawasan pelaksanaan konstruksi;

    5. mengendalikan kegiatan pelaksanaan konstruksi dan penilaian atas kemajuan tahap pelaksanaan konstruksi;

    6. menyusun berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan untuk pembayaran angsuran dan berita acara lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi; dan

    7. menyusun berita acara serah terima dan menerima Bangunan Gedung yang telah selesai dari penyedia jasa pelaksanaan konstruksi.

    (7)

    Tugas pengelola kegiatan pada kegiatan pasca konstruksi sebagaimana dimaksud ayat (4) huruf c terdiri atas:

    1. menyiapkan dokumen pembangunan;

    2. menyiapkan dokumen untuk penetapan status;

    3. menyiapkan dokumen untuk SLF;

    4. menyiapkan dokumen pendaftaran BGN; dan

    5. menyerahkan BGN yang telah selesai dari pengelola kegiatan kepada pengguna barang melalui kuasa pengguna barang. Paragraf 11 Pendanaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung Negara Pasal 172

    (1)

    Pendanaan Penyelenggaraan BGN terdiri atas:

    1. pendanaan pembangunan BGN;

    2. pendanaan pemanfaatan BGN; dan

    3. pendanaan Pembongkaran BGN.

    (2)

    Pendanaan pembangunan BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. komponen biaya pembangunan BGN;

    2. biaya standar dan biaya nonstandar;

    3. standar harga satuan tertinggi;

    4. biaya pekerjaan lain yang menyertai atau melengkapi pembangunan; dan

    5. biaya pembangunan untuk Perawatan. Pasal 173

    (1)

    Biaya pekerjaan lain yang menyertai atau melengkapi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (2) huruf d merupakan biaya pekerjaan yang terkait tetapi terpisah dengan Pembangunan BGN, untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan.

    (2)

    Biaya pekerjaan lain yang menyertai atau melengkapi pembangunan dihitung berdasarkan kebutuhan nyata dan harga pasar yang wajar.

    (3)

    Biaya pengelolaan kegiatan, perencanaan, dan pengawasan untuk perjalanan dinas ke wilayah atau lokasi kegiatan yang sukar dijangkau oleh sarana transportasi ( remote area ), meliputi biaya harian, biaya transportasi, dan akomodasi kegiatan:

    1. survei lokasi;

    2. penjelasan pekerjaan ( aanwijzing );

    3. pengawasan berkala;

    4. opname lapangan;

    5. koordinasi; dan

    6. pemantauan dan evaluasi.

    (4)

    Penyusunan kebutuhan biaya pengelolaan kegiatan, perencanaan, dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berkonsultasi dengan kementerian/lembaga atau Dinas Teknis.

    (5)

    Biaya pengelolaan kegiatan, perencanaan, dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan sebagai biaya pekerjaan lain yang menyertai atau melengkapi pembangunan BGN namun menjadi bagian dari mata anggaran biaya pembangunan BGN.

    (6)

    Biaya pembangunan untuk Perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (2) huruf e dihitung berdasarkan tingkat kerusakan Bangunan Gedung.

    (7)

    Tingkat kerusakan pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan paling banyak:

    1. 30% (tiga puluh persen) untuk kerusakan ringan;

    2. 45% (empat puluh lima persen) untuk kerusakan sedang; dan

    3. 65% (enam puluh lima persen) untuk kerusakan berat.

    (8)

    Tingkat kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Kementerian atau Dinas Teknis.

    (9)

    Biaya pembangunan untuk Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang termasuk kategori bangunan cagar budaya, besarnya biaya Perawatan dihitung sesuai dengan kebutuhan nyata.

    (10)

    Pendanaan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1) huruf b meliputi:

    1. biaya Pemeliharaan BGN;

    2. biaya Perawatan BGN;

    3. biaya Pemeriksaan Berkala;

    (11)

    Pendanaan Pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1) huruf c meliputi:

    1. biaya penyusunan RTB BGN; dan

    2. biaya pelaksanaan Pembongkaran.

    (12)

    Biaya Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf a ditetapkan setiap tahun sesuai fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung yang besarnya dihitung per m ^2 (meter persegi) Bangunan Gedung maksimal 2% (dua persen) dari harga per m ^2 (meter persegi) pembangunan Bangunan Gedung.

    (13)

    Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1) harus dituangkan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran atau dokumen pelaksanaan anggaran.

    (14)

    Daftar isian pelaksanaan anggaran atau dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (13) memuat pendanaan untuk:

    1. perencanaan teknis;

    2. pelaksanaan konstruksi fisik;

    3. manajemen konstruksi atau pengawasan konstruksi; dan

    4. pengelolaan kegiatan.

    (15)

    Pendanaan pembinaan Penyelenggaraan BGN untuk BGN dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara dibebankan pada daftar isian pelaksanaan anggaran Kementerian.

    (16)

    Pendanaan pembinaan Penyelenggaraan BGN untuk BGN dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah dibebankan pada Pemerintah Daerah melalui Dinas Teknis. Pasal 174

    (1)

    Komponen biaya pembangunan BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (2) huruf a meliputi:

    1. biaya perencanaan teknis;

    2. biaya pelaksanaan konstruksi fisik;

    3. biaya pengawasan teknis; dan

    4. biaya pengelolaan kegiatan.

    (2)

    Biaya perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, biaya pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dan biaya pengelolaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dihitung berdasarkan persentase terhadap biaya pelaksanaan konstruksi fisik sesuai dengan klasifikasi BGN. Pasal 175

    (1)

    Biaya perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a merupakan biaya paling banyak yang digunakan untuk membiayai perencanaan BGN.

    (2)

    Biaya perencanaan teknis dihitung secara orang per bulan dan biaya langsung yang dapat diganti, sesuai dengan ketentuan biaya langsung personel ( billing rate ).

    (3)

    Biaya perencanaan teknis ditetapkan dari hasil seleksi atau penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan yang meliputi:

    1. honorarium Tenaga Ahli dan tenaga penunjang;

    2. materi dan penggandaan laporan;

    3. pembelian dan sewa peralatan;

    4. sewa kendaraan;

    5. biaya rapat;

    6. perjalanan lokal, luar kota, dan/atau luar negeri;

    7. biaya komunikasi;

    8. asuransi atau pertanggungan ( professional indemnity insurance ); dan

    9. pajak dan iuran daerah lainnya.

    (4)

    Pembayaran biaya perencanaan teknis didasarkan pada pencapaian prestasi atau kemajuan perencanaan setiap tahapan yang meliputi:

    1. tahap konsepsi perancangan sebesar 15% (lima belas persen);

    2. tahap pra rancangan sebesar 20% (dua puluh persen);

    3. tahap pengembangan rancangan sebesar 25% (dua puluh lima persen);

    4. tahap rancangan detail meliputi penyusunan rancangan gambar detail dan penyusunan rencana kerja dan syarat, serta rencana anggaran biaya sebesar 20% (dua puluh persen);

    5. tahap tender penyedia jasa pelaksanaan konstruksi sebesar 5% (lima persen); dan

    6. tahap pengawasan berkala sebesar 15% (lima belas persen).

    (5)

    Tata cara pembayaran biaya perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 176

    (1)

    Biaya pelaksanaan konstruksi fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf b merupakan biaya paling banyak yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan konstruksi fisik BGN.

    (2)

    Biaya pelaksanaan konstruksi fisik dibebankan pada biaya untuk komponen konstruksi fisik kegiatan yang bersangkutan.

    (3)

    Biaya pelaksanaan konstruksi fisik terdiri atas:

    1. biaya standar; dan

    2. biaya nonstandar.

    (4)

    Biaya standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk biaya umum ( overhead ) penyedia jasa pelaksanaan konstruksi, asuransi, keselamatan kerja, inflasi, dan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (5)

    Biaya nonstandar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dihitung berdasarkan jenis pekerjaan, kebutuhan nyata, dan harga pasar yang wajar.

    (6)

    Keseluruhan biaya nonstandar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan paling banyak 150% (seratus lima puluh persen) dari keseluruhan biaya standar.

    (7)

    Biaya standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a digunakan untuk pelaksanaan konstruksi fisik standar pekerjaan meliputi:

    1. arsitektur;

    2. struktur;

    3. utilitas; dan

    4. perampungan.

    (8)

    Utilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c meliputi pekerjaan perpipaan (plumbing) dan jaringan instalasi penerangan. Pasal 177

    (1)

    Biaya standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ayat (3) huruf a dihitung berdasarkan perkalian dari:

    1. standar harga satuan tertinggi per m ^2 (meter persegi) sesuai klasifikasi BGN;

    2. koefisien atau faktor pengali jumlah lantai bangunan;

    3. luas bangunan; dan

    4. koefisien atau faktor pengali fungsi bangunan atau ruang.

    (2)

    Standar harga satuan tertinggi per m ^2 (meter persegi) sesuai klasifikasi BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. harga satuan tertinggi pembangunan Bangunan Gedung kantor dan gedung negara lainnya;

    2. harga satuan tertinggi pembangunan rumah negara; dan

    3. harga satuan tertinggi pembangunan pagar Bangunan Gedung kantor, pagar BGN lainnya, dan pagar rumah negara.

    (3)

    Standar harga satuan tertinggi pembangunan Bangunan Gedung kantor dan BGN lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas klasifikasi sederhana dan tidak sederhana.

    (4)

    Standar harga satuan tertinggi pembangunan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:

    1. standar harga satuan tertinggi pembangunan bangunan rumah negara dengan klasifikasi sederhana terdiri atas tipe c, tipe d, dan tipe e;

    2. standar harga satuan tertinggi pembangunan bangunan rumah negara dengan klasifikasi tidak sederhana per m ^2 (meter persegi) terdiri atas:

  104. tipe a dan tipe b;

  105. tipe c, tipe d, dan tipe e dengan jumlah lantai lebih dari 2 (dua); dan

  106. rumah negara yang berupa rumah susun.

    (5)

    Rumah negara yang berupa rumah susun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf b angka 3 menggunakan standar harga satuan tertinggi pembangunan Bangunan Gedung kantor dan BGN lainnya dengan klasifikasi tidak sederhana.

    (6)

    Standar harga satuan tertinggi pembangunan pagar Bangunan Gedung kantor, pagar gedung negara lainnya, dan pagar rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:

    1. standar harga satuan tertinggi pembangunan pagar depan, pagar samping, atau pagar belakang Bangunan Gedung kantor dan BGN lainnya per meter; dan

    2. standar harga satuan tertinggi pembangunan pagar depan, pagar samping, atau pagar belakang rumah negara per meter. Pasal 178

    (1)

    Standar harga satuan tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (2) ditetapkan secara berkala setiap tahun oleh bupati/walikota untuk provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan oleh gubernur.

    (2)

    Standar harga satuan tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (2) dihitung berdasarkan pedoman perhitungan standar harga satuan tertinggi yang ditetapkan oleh Menteri secara berkala.

    (3)

    Standar harga satuan tertinggi untuk BGN dengan klasifikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (4) ditetapkan berdasarkan rincian anggaran biaya yang dihitung sesuai dengan tingkat kekhususan, spesifikasi teknis, kebutuhan nyata, dan kewajaran harga yang berlaku. Pasal 179

    (1)

    Pelaksanaan konstruksi fisik pekerjaan standar BGN dibagi dalam komponen pekerjaan standar yang merupakan persentase dari biaya standar.

    (2)

    Pembayaran biaya pelaksanaan konstruksi fisik dilakukan secara bulanan atau tahapan tertentu yang didasarkan pada prestasi atau kemajuan pekerjaan fisik di lapangan.

    (3)

    Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sebagai berikut:

    1. pelaksanaan konstruksi sampai dengan serah terima pertama ( provisional hand over ) pekerjaan konstruksi dibayarkan paling banyak 95% (sembilan puluh lima persen) dari nilai kontrak; dan b. masa Pemeliharaan konstruksi sampai dengan serah terima akhir ( final hand over ) pekerjaan konstruksi dibayarkan 5% (lima persen) dari nilai kontrak.

    (4)

    Tata cara pembayaran biaya pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    Pasal 180

    Ketentuan tentang pedoman perhitungan standar harga satuan tertinggi dan tabel daftar komponen biaya pembangunan BGN ditetapkan oleh Menteri.


    Pasal 181

    Biaya pengawasan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf c berupa:

    1. biaya pengawasan konstruksi; atau

    2. biaya manajemen konstruksi.


    Pasal 182

    (1)

    Biaya pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 huruf a merupakan biaya paling banyak yang digunakan untuk membiayai kegiatan pengawasan konstruksi pembangunan BGN.

    (2)

    Biaya pengawasan konstruksi dihitung secara orang per bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai dengan ketentuan biaya langsung personel ( billing rate ).

    (3)

    Biaya pengawasan konstruksi ditetapkan dari hasil seleksi atau penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan yang meliputi:

    1. honorarium Tenaga Ahli dan tenaga penunjang;

    2. materi dan penggandaan laporan;

    3. pembelian dan/atau sewa peralatan;

    4. sewa kendaraan;

    5. biaya rapat;

    6. perjalanan lokal, luar kota dan/atau luar negeri;

    7. biaya komunikasi;

    8. penyiapan dokumen SLF;

    9. penyiapan dokumen pendaftaran;

    10. asuransi atau pertanggungan ( indemnity insurance );

    11. pajak; dan/atau

    12. biaya tidak langsung lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (4)

    Pembayaran biaya pengawasan konstruksi dilakukan secara bulanan atau tahapan tertentu yang didasarkan pada prestasi atau kemajuan pekerjaan pelaksanaan konstruksi fisik di lapangan.

    (5)

    Pembayaran biaya pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sebagai berikut:

    1. pengawasan konstruksi tahap pelaksanaan konstruksi fisik sampai dengan serah terima pertama ( provisional hand over ) pekerjaan konstruksi paling banyak sebesar 90% (sembilan puluh persen); dan

    2. pengawasan konstruksi tahap Pemeliharaan sampai dengan serah terima akhir ( final hand over ) pekerjaan konstruksi sebesar 10% (sepuluh persen).

    (6)

    Tata cara pembayaran angsuran pekerjaan pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 183

    (1)

    Biaya manajemen konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 huruf b merupakan biaya paling banyak yang digunakan untuk membiayai kegiatan manajemen konstruksi pembangunan BGN.

    (2)

    Besarnya biaya manajemen konstruksi dihitung secara orang per bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai dengan ketentuan biaya langsung personel ( billing rate ).

    (3)

    Biaya manajemen konstruksi ditetapkan dari hasil seleksi atau penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan yang meliputi:

    1. honorarium Tenaga Ahli dan tenaga penunjang;

    2. materi dan penggandaan laporan;

    3. pembelian dan/atau sewa peralatan;

    4. sewa kendaraan;

    5. biaya rapat;

    6. perjalanan lokal dan luar kota;

    7. biaya komunikasi;

    8. penyiapan dokumen SLF;

    9. penyiapan dokumen pendaftaran;

    10. asuransi atau pertanggungan (indemnity insurance) ;

    11. pajak; dan/atau

    12. biaya tidak langsung lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (4)

    Pembayaran biaya manajemen konstruksi dilakukan secara bulanan atau tahapan tertentu yang didasarkan pada prestasi atau kemajuan pekerjaan perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi di lapangan.

    (5)

    Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sebagai berikut:

    1. tahap persiapan pengadaan penyedia jasa perencana dibayarkan sebesar 5% (lima persen);

    2. tahap reviu rencana teknis sampai dengan serah terima dokumen perencanaan dibayarkan sebesar 10% (sepuluh persen);

    3. tahap tender penyedia jasa pelaksanaan konstruksi fisik dibayarkan sebesar 5% (lima persen);

    4. tahap pelaksanaan konstruksi fisik;

    5. pelaksanaan konstruksi sampai dengan serah terima pertama ( provisional hand over ) pekerjaan konstruksi dibayarkan paling banyak 70% (tujuh puluh pesen) dari nilai kontrak; dan

    6. masa Pemeliharaan konstruksi sampai dengan serah terima akhir ( final hand over ) pekerjaan konstruksi dibayarkan sebesar 10% (sepuluh persen).

    (6)

    Tata cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 184

    (1)

    Biaya pengelolaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf d merupakan biaya paling banyak yang digunakan untuk membiayai kegiatan pengelolaan kegiatan pembangunan BGN.

    (2)

    Biaya pengelolaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk biaya operasional unsur kementerian/lembaga atau organisasi perangkat daerah.

    (3)

    Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut:

    1. biaya pengelolaan kegiatan dibebankan pada biaya untuk komponen pengelolaan kegiatan yang bersangkutan;

    2. besarnya nilai biaya pengelolaan kegiatan paling banyak dihitung berdasarkan persentase biaya konstruksi fisik Bangunan Gedung;

    3. perincian penggunaan biaya pengelolaan kegiatan, sebagai berikut:

  107. biaya operasional unsur pengguna anggaran sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari biaya pengelolaan kegiatan yang bersangkutan yang digunakan untuk keperluan: a) honorarium staf dan kelompok kerja pengadaan; b) perjalanan dinas; c) rapat; d) proses pemilihan; e) bahan dan alat yang berkaitan dengan pengelolaan kegiatan sesuai dengan penahapannya; f) penyusunan laporan; g) dokumentasi; dan h) persiapan dan pengiriman kelengkapan administrasi atau dokumen pendaftaran BGN.

  108. Biaya operasional unsur pengelola teknis, sebesar 35% (tiga puluh lima persen) dari biaya pengelolaan kegiatan yang digunakan untuk keperluan: a) honorarium pengelola teknis; b) honorarium tim teknis atau narasumber; c) perjalanan dinas; d) rapat; e) proses pemilihan; f) bahan dan alat yang berkaitan dengan pengelolaan kegiatan sesuai dengan penahapannya; g) penyusunan laporan; dan h) dokumentasi. Paragraf 12 Pengelolaan Teknis Bangunan Gedung Negara

    Pasal 185
    (1)

    Pengelolaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (7) dan ayat (8) dilaksanakan dalam hal:

    1. pembangunan BGN yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara dilaksanakan pimpinan instansi atau kepala satuan kerja kementerian/lembaga di tingkat pusat dengan lokasi pembangunan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;

    2. pembangunan BGN yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara dilaksanakan pimpinan instansi atau kepala satuan kerja kementerian/lembaga di tingkat pusat dengan lokasi pembangunan di luar wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

    3. pembangunan BGN yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara dilaksanakan kuasa pengguna anggaran kementerian/lembaga di daerah dengan lokasi pembangunan di luar wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau

    4. pembangunan BGN yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah.

    (2)

    Prosedur pengelolaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara:

    1. pimpinan instansi atau kepala satuan kerja kementerian/lembaga mengajukan permintaan bantuan tenaga pengelola teknis secara tertulis kepada Menteri; dan

    2. Menteri menugaskan Pengelola Teknis dalam kewenangannya sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasinya.

    (3)

    Prosedur pengelolaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara:

    1. pimpinan instansi atau kepala satuan kerja kementerian/lembaga mengajukan permintaan bantuan tenaga Pengelola Teknis secara tertulis kepada Menteri dan kepala organisasi perangkat daerah pelaksana tugas dekonsentrasi Kementerian kepada Pemerintah Daerah provinsi; dan b. Menteri dan kepala organisasi perangkat daerah pelaksana tugas dekonsentrasi Kementerian kepada Pemerintah Daerah provinsi menugaskan Pengelola Teknis dalam kewenangannya sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasinya.

    (4)

    Prosedur pengelolaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara:

    1. kuasa pengguna anggaran kementerian/lembaga mengajukan permintaan bantuan tenaga pengelola teknis secara tertulis kepada kepala organisasi perangkat daerah pelaksana tugas dekonsentrasi Kementerian kepada Pemerintah Daerah provinsi; dan

    2. kepala organisasi perangkat daerah pelaksana tugas dekonsentrasi Kementerian kepada Pemerintah Daerah provinsi menugaskan Pengelola Teknis dalam kewenangannya sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi.

    (5)

    Prosedur pengelolaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dengan cara:

    1. kepala organisasi perangkat daerah yang melaksanakan pembangunan BGN mengajukan permintaan bantuan tenaga Pengelola Teknis secara tertulis kepada kepala Dinas Teknis; dan

    2. kepala Dinas Teknis menugaskan Pengelola Teknis dalam kewenangannya sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi. Bagian Kesepuluh Ketentuan Dokumen Paragraf 1 Umum


    Pasal 186
    (1)

    Setiap tahap Penyelenggaraan Bangunan Gedung menghasilkan dokumen yang merupakan hasil pekerjaan penyedia jasa, meliputi:

    1. dokumen tahap perencanaan teknis;

    2. dokumen tahap pelaksanaan konstruksi;

    3. dokumen tahap pemanfaatan; dan

    4. dokumen tahap Pembongkaran.

    (2)

    Dalam hal BGCB dan BGFK, selain dokumen sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), juga dilengkapi dengan dokumen sesuai dengan ketentuan penyelenggaraan BGCB atau BGFK. Paragraf 2 Dokumen Tahap Perencanaan Teknis Bangunan Gedung


    Pasal 187
    (1)

    Penyedia jasa perencanaan harus membuat dokumen:

    1. rencana teknis; dan

    2. perkiraan biaya pelaksanaan konstruksi.

    (2)

    Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. dokumen rencana arsitektur;

    2. dokumen rencana struktur;

    3. dokumen rencana utilitas; dan

    4. spesifikasi teknis Bangunan Gedung.

    (3)

    Dokumen rencana arsitektur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berisi:

    1. data penyedia jasa perencana arsitektur;

    2. konsep rancangan;

    3. gambar rancangan tapak;

    4. gambar denah;

    5. gambar tampak Bangunan Gedung;

    6. gambar potongan Bangunan Gedung;

    7. gambar rencana tata ruang dalam;

    8. gambar rencana tata ruang luar; dan

    9. detail utama dan/atau tipikal.

    (4)

    Dokumen rencana struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berisi:

    1. gambar rencana struktur bawah termasuk detailnya;

    2. gambar rencana struktur atas dan detailnya;

    3. gambar rencana basemen dan detailnya; dan

    4. perhitungan rencana struktur dilengkapi dengan data penyelidikan tanah untuk Bangunan Gedung lebih dari 2 (dua) lantai.

    (5)

    Dokumen rencana utilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berisi:

    1. perhitungan kebutuhan air bersih, listrik, penampungan dan pengolahan air limbah, pengelolaan sampah, beban kelola air hujan, serta kelengkapan prasarana dan sarana pada Bangunan Gedung;

    2. perhitungan tingkat kebisingan dan getaran;

    3. gambar sistem proteksi kebakaran sesuai dengan tingkat risiko kebakaran;

    4. gambar sistem penghawaan atau ventilasi alami dan/atau buatan;

    5. gambar sistem transportasi vertikal;

    6. gambar sistem transportasi horizontal;

    7. gambar sistem informasi dan komunikasi internal dan eksternal;

    8. gambar sistem proteksi petir;

    9. gambar jaringan listrik yang terdiri dari gambar sumber, jaringan, dan pencahayaan; dan

    10. gambar sistem sanitasi yang terdiri dari sistem air bersih, air limbah, dan air hujan.

    (6)

    Dokumen spesifikasi teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d berisi jenis, tipe, dan karakteristik material atau bahan yang digunakan secara lebih detail dan menyeluruh untuk komponen arsitektural, struktural, mekanikal, elektrikal, dan perpipaan (plumbing) .

    (7)

    Dokumen perkiraan biaya pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup laporan uraian perhitungan biaya berdasarkan perhitungan volume masing-masing elemen arsitektur, struktur, mekanikal, elektrikal, dan perpipaan (plumbing) dengan mempertimbangkan harga satuan Bangunan Gedung. __


    Pasal 188

    Dalam proses penerbitan PBG, dokumen yang harus disampaikan merupakan dokumen tahap rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (1) huruf a.


    Pasal 189
    (1)

    Dalam hal perencanaan BGH, penyedia jasa selain membuat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 harus membuat dokumen:

    1. tahap pemrograman BGH;

    2. tahap perencanaan teknis BGH; dan

    3. usulan penilaian kinerja BGH tahap perencanaan.

    (2)

    Dokumen tahap pemrograman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan laporan yang memuat:

    1. dokumentasi tahap pemrograman; dan

    2. rekomendasi dan kriteria teknis.

    (3)

    Dokumen tahap perencanaan teknis BGH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 dan dilengkapi dengan:

    1. perhitungan dan rencana pengelolaan tapak;

    2. perhitungan dan rencana teknis pencapaian efisiensi energi;

    3. perhitungan dan rencana teknis pencapaian efisiensi air;

    4. perhitungan dan rencana teknis pengelolaan sampah;

    5. perhitungan dan rencana teknis pengelolaan air limbah;

    6. perhitungan dan rencana reduksi emisi karbon; dan g. perhitungan teknis sumber daya lainnya dan perkiraan siklus hidup BGH.

    (4)

    Dokumen usulan penilaian kinerja BGH tahap perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berisi penentuan target kinerja berdasarkan borang penilaian kinerja BGH serta dokumen pembuktiannya.


    Pasal 190
    (1)

    Dalam hal perencanaan BGCB, sebelum melakukan perencanaan teknis, penyedia jasa melakukan kegiatan persiapan yang menghasilkan dokumen:

    1. kajian identifikasi; dan

    2. usulan penanganan Pelestarian.

    (2)

    Kajian identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penelitian awal kondisi fisik dari segi arsitektur, struktur, dan utilitas, serta nilai kesejarahan dan arkeologi BGCB.

    (3)

    Hasil kajian identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi:

    1. keputusan kelayakan penanganan fisik BGCB yang dilestarikan, secara keseluruhan atau sebagian; dan

    2. batasan penanganan fisik kegiatan teknis Pelestarian.

    (4)

    Hasil kajian identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dilengkapi dengan gambar dan foto Bangunan Gedung terbaru.

    (5)

    Usulan penanganan Pelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa rekomendasi tindakan Pelestarian, yang disusun berdasarkan hasil kajian identifikasi BGCB.


    Pasal 191
    (1)

    Dalam perencanaan teknis BGCB, penyedia jasa selain membuat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 harus membuat:

    1. dokumen rencana teknis perlindungan BGCB; dan b. dokumen rencana teknis pengembangan dan pemanfaatan BGCB.

    (2)

    Dokumen rencana teknis perlindungan BGCB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat ketentuan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 serta dilengkapi dengan:

    1. catatan sejarah;

    2. foto, gambar, hasil pengukuran, catatan, dan/atau video;

    3. uraian dan analisis kondisi yang sudah ada ( existing ) dan inventarisasi kerusakan Bangunan Gedung dan lingkungannya; dan/atau

    4. usulan penanganan Pelestarian.

    (3)

    Dokumen rencana teknis pengembangan dan pemanfaatan BGCB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa usulan tindakan Pelestarian sesuai dengan fungsi yang akan diterapkan dan berisi:

    1. potensi nilai;

    2. informasi dan promosi;

    3. rencana pemanfaatan;

    4. rencana teknis tindakan Pelestarian; dan

    5. rencana Pemeliharaan, Perawatan, dan pemeriksaan berkala.

    (4)

    Dalam hal pengembangan dan pemanfaatan BGCB telah ditetapkan fungsinya sejak awal, penyusunan kedua dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan secara bersamaan.


    Pasal 192

    Dalam hal perencanaan teknis BGFK, penyedia jasa selain membuat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 harus melengkapi dengan dokumen:

    1. rencana instalasi fungsi khusus;

    2. rencana sistem dan instalasi pengamanan ( security ) BGFK; dan

    3. pedoman atau manual tata cara pengoperasian dan Pemeliharaan BGFK. Paragraf 3 Dokumen Tahap Pelaksanaan Konstruksi Bangunan Gedung


    Pasal 193
    (1)

    Dokumen pelaksanaan konstruksi merupakan seluruh dokumen yang disusun pada setiap tahap pelaksanaan konstruksi.

    (2)

    Dalam tahap persiapan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dilakukan oleh penyedia jasa pelaksanaan konstruksi untuk menyusun:

    1. laporan peninjauan kondisi lapangan;

    2. rencana pelaksanaan konstruksi;

    3. standar manajemen mutu; dan

    4. pedoman SMKK.

    (3)

    Penyusunan laporan peninjauan kondisi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan untuk memeriksa kesesuaian antara kondisi lapangan dengan rencana teknis yang telah disetujui.

    (4)

    Dalam hal laporan peninjauan kondisi lapangan menyatakan rencana teknis tidak dapat dilakukan, penyedia jasa pelaksanaan konstruksi harus melaporkan kepada penyedia jasa perencanaan untuk mendapatkan penyesuaian dengan kondisi lapangan.

    (5)

    Penyusunan rencana pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan oleh penyedia jasa pelaksanaan konstruksi dan dapat melibatkan pemangku kepentingan pelaksanaan konstruksi.

    (6)

    Rencana pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus disampaikan oleh Pemilik, penyedia jasa pengawasan konstruksi, atau manajemen konstruksi kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagai penyampaian informasi jadwal dan tanggal mulai pelaksanaan konstruksi.

    (7)

    Dalam hal rencana pelaksanaan konstruksi mengalami perubahan, Pemilik, penyedia jasa pengawasan konstruksi, atau manajemen konstruksi harus menyampaikan kembali rencana pelaksanaan konstruksi yang telah diubah kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota melalui SIMBG.

    (8)

    Penyusunan pedoman SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan oleh penyedia jasa pelaksanaan konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (9)

    Selain dokumen yang disusun pada tahap persiapan, penyedia jasa pelaksanaan konstruksi harus membuat dokumen pelaksanaan konstruksi pada tahap pelaksanaan pekerjaan, tahap pengujian, dan tahap penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d yang meliputi:

    1. gambar teknis lapangan yang digunakan sebagai acuan pelaksanaan konstruksi ( shop drawings );

    2. gambar yang sesuai dengan pelaksanaan ( as-built drawings );

    3. laporan pelaksanaan konstruksi yang terdiri atas laporan harian, laporan mingguan, laporan bulanan, laporan akhir pengawasan teknis termasuk laporan uji mutu, dan laporan akhir pekerjaan perencanaan;

    4. berita acara pelaksanaan konstruksi yang terdiri atas perubahan pekerjaan, pekerjaan tambah atau kurang, serah terima pertama ( provisional hand over) , dan serah terima akhir (final hand over) dilampiri dengan berita acara pelaksanaan Pemeliharaan pekerjaan konstruksi, pemeriksaan pekerjaan, dan berita acara lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi fisik;

    5. hasil pemeriksaan kelaikan fungsi (commissioning test) disusun bersama penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi;

    6. manual operasi dan Pemeliharaan Bangunan Gedung, termasuk pengoperasian dan Pemeliharaan peralatan dan perlengkapan mekanikal, elektrikal, dan sistem perpipaan (plumbing) ;

    7. garansi atau surat jaminan peralatan dan perlengkapan mekanikal, elektrikal, dan sistem perpipaan (plumbing) ;

    8. sertifikat BGH pada tahap pelaksanaan konstruksi, dalam hal ditetapkan sebagai BGH; dan i. surat penjaminan atas kegagalan Bangunan Gedung disusun bersama penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi.


    Pasal 194

    Penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi harus membuat dokumen pengawasan konstruksi yang meliputi:

    1. laporan pengawasan konstruksi yang terdiri atas laporan harian, laporan mingguan, laporan bulanan, laporan akhir pengawasan teknis termasuk laporan uji mutu, dan laporan akhir pekerjaan perencanaan;

    2. berita acara pengawasan yang terdiri atas perubahan pekerjaan, pekerjaan tambah atau kurang, serah terima pertama (provisional hand over) dan serah terima akhir (final hand over) dilampiri dengan berita acara pelaksanaan Pemeliharaan pekerjaan konstruksi, pemeriksaan pekerjaan, dan berita acara lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi fisik;

    3. hasil pemeriksaan kelaikan fungsi (commissioning test) disusun bersama penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi;

    4. garansi atau surat jaminan peralatan dan perlengkapan mekanikal, elektrikal, dan sistem perpipaan (plumbing) ;

    5. surat penjaminan atas kegagalan Bangunan Gedung disusun bersama penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi; dan

    6. surat pernyataan kelaikan fungsi.


    Pasal 195

    Dalam hal pelaksanaan konstruksi BGH, penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi selain membuat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 dan Pasal 194 melengkapi usulan penilaian kinerja BGH pada tahap pelaksanaan konstruksi beserta dokumen pembuktiannya. Paragraf 4 Dokumen Tahap Pemanfaatan Bangunan Gedung


    Pasal 196
    (1)

    Dokumen Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (1) huruf c terdiri atas:

    1. SOP pemanfaatan Bangunan Gedung; dan

    2. dokumen pemeriksaan berkala.

    (2)

    SOP Pemanfaatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat:

    1. manajemen Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung;

    2. tata cara dan metode Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung; dan

    3. tata cara dan metode pemeriksaan berkala Bangunan Gedung.

    (3)

    Manajemen Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit memuat:

    1. organisasi dan tata kelola kegiatan Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung;

    2. program pembekalan, pelatihan, dan/atau pemagangan; dan

    3. kebutuhan penyedia jasa dan Tenaga Ahli atau terampil Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung jika diperlukan.

    (4)

    Tata cara dan metode Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:

    1. prosedur dan metode Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung;

    2. program kerja Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung;

    3. perlengkapan dan peralatan untuk pekerjaan Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung; dan d. standar dan kinerja Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (5)

    Tata cara dan metode pemeriksaan berkala Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit memuat prosedur dan metode pemeriksaan berkala.

    (6)

    Dokumen pemeriksaan berkala sebagaimana tercantum pada huruf b merupakan laporan evaluasi hasil pemeriksaan berkala berdasarkan daftar simak atau format baku pemeriksaan.

    (7)

    Dokumen pemeriksaan berkala sebagaimana tercantum pada ayat (6) digunakan sebagai kelengkapan dokumen SLF perpanjangan.


    Pasal 197
    (1)

    Dalam hal pemanfaatan BGH, pengelola BGH harus menghasilkan SOP pemanfaatan BGH yang merupakan SOP pemanfaatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (1) huruf a dan dilengkapi dengan metode evaluasi kesesuaian target kinerja BGH.

    (2)

    Selain SOP pemanfaatan BGH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengelola BGH harus menghasilkan laporan tahap pemanfaatan meliputi:

    1. dokumentasi pelaksanaan SOP pemanfaatan BGH; dan

    2. daftar simak penilaian kinerja BGH tahap pemanfaatan beserta dokumen pembuktiannya. Paragraf 5 Dokumen Tahap Pembongkaran Bangunan Gedung


    Pasal 198
    (1)

    Penyedia jasa Pembongkaran harus membuat dokumen:

    1. laporan peninjauan Pembongkaran Bangunan Gedung;

    2. RTB; dan

    3. gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) dalam hal tidak disediakan oleh Pemilik.

    (2)

    Dokumen laporan peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. laporan peninjauan Bangunan Gedung; dan

    2. laporan peninjauan struktur Bangunan Gedung.

    (3)

    Dokumen RTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. konsep dan gambar rencana Pembongkaran;

    2. gambar detail pelaksanaan Pembongkaran;

    3. rencana kerja dan syarat Pembongkaran;

    4. metode Pembongkaran Bangunan Gedung yang memenuhi prinsip keselamatan dan kesehatan kerja;

    5. jadwal dan tahapan pelaksanaan Pembongkaran Bangunan Gedung;

    6. rencana pengamanan lingkungan; dan

    7. pengelolaan limbah hasil Pembongkaran Bangunan Gedung. Paragraf 6 Dokumen Bangunan Gedung Negara


    Pasal 199

    Selain ketentuan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (1) huruf a dan huruf b, pembangunan BGN harus dilengkapi dengan:

    1. dokumen pendanaan; dan

    2. dokumen pendaftaran.


    Pasal 200
    (1)

    Dokumen pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 huruf a disusun pada tahap persiapan pembangunan BGN.

    (2)

    Dokumen pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan daftar isian pelaksanaan anggaran atau dokumen pelaksanaan anggaran.

    (3)

    Dokumen pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pembangunan BGN harus dilengkapi dengan:

    1. rencana kebutuhan;

    2. rencana pendanaan; dan

    3. rencana penyediaan dana.

    (4)

    Dokumen pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 201
    (1)

    Dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 huruf b disusun dalam tahap pengawasan konstruksi.

    (2)

    Dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa surat keterangan bukti pendaftaran BGN.

    (3)

    Dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:

    1. surat permohonan pendaftaran BGN;

    2. daftar inventaris BGN;

    3. kartu leger BGN;

    4. gambar leger dan situasi;

    5. foto bangunan; dan

    6. lampiran berupa dokumen pembangunan. Bagian Kesebelas Ketentuan Pelaku Penyelenggaraan Bangunan Gedung Paragraf 1 Umum


    Pasal 202

    Pelaku Penyelenggaraan Bangunan Gedung meliputi:

    1. Pemilik;

    2. Penyedia Jasa Konstruksi;

    3. TPA;

    4. TPT;

    5. Penilik;

    6. Sekretariat;

    7. pengelola Bangunan Gedung; dan

    8. Pengelola Teknis BGN. Paragraf 2 Penyedia Jasa Konstruksi


    Pasal 203
    (1)

    Penyedia Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf b meliputi:

    1. penyedia jasa perencanaan;

    2. manajemen konstruksi;

    3. penyedia jasa pengawasan konstruksi;

    4. penyedia jasa pelaksanaan;

    5. penyedia jasa Pemeliharaan dan Perawatan;

    6. penyedia jasa pengkajian teknis; dan

    7. penyedia jasa Pembongkaran Bangunan Gedung.

    (2)

    Penyedia jasa perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.

    (3)

    Manajemen konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memberikan layanan untuk mengimplementasikan metode manajemen proyek secara khusus untuk mengelola desain, konstruksi, dan perencanaan proyek, mencakup koordinasi, administrasi, pengendalian biaya, mutu, dan waktu pembangunan Bangunan Gedung, dan pengelolaan sumber daya dari awal hingga akhir.

    (4)

    Penyedia jasa pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi meliputi pengawasan biaya, mutu, dan waktu pembangunan Bangunan Gedung serta pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung.

    (5)

    Penyedia jasa pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.

    (6)

    Penyedia jasa Pemeliharaan dan Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e memberikan layanan jasa dalam rangka menjaga Bangunan Gedung agar selalu laik fungsi.

    (7)

    Penyedia jasa pengkajian teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f memberikan layanan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung dan/atau melakukan pemeriksaan berkala Bangunan Gedung yang dituangkan dalam surat pernyataan kelaikan fungsi atau laporan pemeriksaan berkala.

    (8)

    Penyedia jasa Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g memberikan layanan jasa Pembongkaran yang meliputi rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan pekerjaan Pembongkaran Bangunan Gedung.

    (9)

    Penyelenggaraan Penyedia Jasa Konstruksi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 204
    (1)

    Penyedia jasa pengkajian teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (7) berbentuk:

    1. penyedia jasa orang perseorangan; atau

    2. penyedia jasa badan usaha, baik yang berbadan hukum, maupun yang tidak berbadan hukum.

    (2)

    Penyedia jasa orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat menyelenggarakan jasa pengkajian teknis pada Bangunan Gedung:

    1. berisiko kecil;

    2. berteknologi sederhana; dan

    3. berbiaya kecil.

    (3)

    Penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki hubungan kerja dengan Pemilik atau Pengguna berdasarkan kontrak kerja konstruksi.

    (4)

    Dalam hal pengkajian teknis menggunakan tenaga penyedia jasa pengkajian teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengadaan jasa pengkajian teknis Bangunan Gedung dilakukan melalui e-purchasing , pengadaan langsung, penunjukan langsung, atau seleksi.

    (5)

    Dalam menjalankan penyelenggaraan bangunan, Pengkaji Teknis Bangunan Gedung mempunyai tanggung jawab atas hasil pengkajian teknis dalam suatu dokumen rekomendasi pengkajian teknis bangunan sesuai dengan kontrak kerja.


    Pasal 205
    (1)

    Pengkaji Teknis mempunyai tugas:

    1. melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung; dan/atau

    2. melakukan pemeriksaan berkala Bangunan Gedung.

    (2)

    Pemeriksaan berkala Bangunan Gedung yang dilakukan oleh Pengkaji Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk:

    1. memastikan keandalan seluruh atau sebagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana; dan/atau

    2. memverifikasi catatan riwayat kegiatan operasi, Pemeliharaan, dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (3)

    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengkaji Teknis menyelenggarakan fungsi:

    1. pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis untuk penerbitan SLF Bangunan Gedung yang sudah ada _(existing); _ b. pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis untuk perpanjangan SLF;

    2. pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis keandalan Bangunan Gedung pascabencana; dan/atau d. pemeriksaan berkala Bangunan Gedung.

    (4)

    Pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi:

    1. pemeriksaan fisik Bangunan Gedung terhadap kesesuaiannya dengan Standar Teknis; dan

    2. pelaksanaan verifikasi dokumen riwayat operasional, Pemeliharaan, dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (5)

    Pemeriksaan fisik Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a meliputi:

    1. pemeriksaan visual;

    2. pengujian nondestruktif; dan/atau

    3. pengujian destruktif.

    (6)

    Pemeriksaan fisik Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu yang meliputi:

    1. dokumen gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) yang disediakan oleh Pemilik;

    2. peralatan uji nondestruktif; dan

    3. peralatan uji destruktif.

    (7)

    Peralatan uji nondestruktif dan peralatan uji destruktif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dan huruf c disediakan oleh Pengkaji Teknis.

    (8)

    Pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk Bangunan Gedung kepentingan umum jika diperlukan dilengkapi dengan rekomendasi dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 206
    (1)

    Pengkaji Teknis yang berbentuk penyedia jasa orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 ayat (1) huruf a harus memenuhi:

    1. persyaratan administratif; dan

    2. Standar Teknis.

    (2)

    Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. memiliki pendidikan paling rendah sarjana dalam bidang teknik arsitektur dan/atau teknik sipil;

    2. memiliki pengalaman kerja paling sedikit 3 (tiga) tahun dalam melakukan pengkajian teknis, Pemeliharaan, Perawatan, pengoperasian, dan/atau pengawasan konstruksi Bangunan Gedung; dan

    3. memiliki keahlian pengkajian teknis dalam bidang arsitektur, struktur, dan/atau utilitas yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi kerja kualifikasi ahli.


    Pasal 207
    (1)

    Pengkaji Teknis yang berbentuk penyedia jasa badan usaha, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 ayat (1) huruf b harus memenuhi:

    1. persyaratan administratif; dan

    2. Standar Teknis.

    (2)

    Persyaratan administratif untuk badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. memiliki pengalaman perusahaan paling sedikit 2 (dua) tahun dalam melakukan pengkajian teknis dan/atau pengawasan konstruksi Bangunan Gedung; dan

    2. memiliki tenaga ahli Pengkaji Teknis di bidang arsitektur, struktur, mekanikal, elektrikal, dan tata ruang luar yang masing-masing paling sedikit 1 (satu) orang.


    Pasal 208
    (1)

    Pengkaji Teknis orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 ayat (1) huruf a harus memiliki:

    1. kemampuan dasar; dan

    2. pengetahuan dasar.

    (2)

    Kemampuan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kemampuan untuk:

    1. melakukan pengecekan kesesuaian gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) terhadap dokumen PBG;

    2. melakukan pengecekan kesesuaian fisik Bangunan Gedung terhadap gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) ;

    3. melakukan pemeriksaan komponen terbangun arsitektural Bangunan Gedung;

    4. melakukan pemeriksaan komponen terbangun struktural Bangunan Gedung;

    5. melakukan pemeriksaan komponen terpasang utilitas Bangunan Gedung; dan

    6. melakukan pemeriksaan komponen terbangun tata ruang luar Bangunan Gedung.

    (3)

    Pemeriksaan komponen terbangun arsitektural Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:

    1. dinding dalam;

    2. langit-langit;

    3. lantai;

    4. penutup atap;

    5. dinding luar;

    6. pintu dan jendela;

    7. lisplang; dan

    8. talang.

    (4)

    Pemeriksaan komponen terbangun struktural Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi:

    1. fondasi;

    2. dinding geser;

    3. kolom dan balok;

    4. plat lantai; dan

    5. atap.

    (5)

    Pemeriksaan komponen terpasang utilitas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e meliputi:

    1. sistem mekanikal;

    2. sistem atau jaringan elektrikal; dan

    3. sistem atau jaringan perpipaan (plumbing). (6) Pemeriksaan komponen terbangun tata ruang luar Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f meliputi:

    4. jalan setapak;

    5. jalan lingkungan;

    6. tangga luar;

    7. gili-gili;

    8. parkir;

    9. dinding penahan tanah;

    10. pagar;

    11. penerangan luar;

    12. pertamanan; dan

    13. saluran.

    (7)

    Pengetahuan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit meliputi pengetahuan mengenai:

    1. desain prototipe/purwarupa Bangunan Gedung sederhana 1 (satu) lantai;

    2. persyaratan pokok tahan gempa Bangunan Gedung sederhana 1 (satu) lantai;

    3. inspeksi sederhana saat pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung;

    4. pengisian daftar simak pemeriksaan kelaikan fungsi;

    5. pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung secara visual; dan

    6. pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung menggunakan peralatan nondestruktif.


    Pasal 209
    (1)

    Penugasan Pengkaji Teknis dilakukan oleh Pemilik atau Pengguna.

    (2)

    Penugasan Pengkaji Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan kontrak kerja.


    Pasal 210

    Tata cara pelaksanaan tugas Pengkaji Teknis untuk pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan meliputi:

    1. pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) dan telah memiliki PBG untuk penerbitan SLF pertama;

    2. pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) yang belum memiliki PBG untuk penerbitan SLF pertama;

    3. pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung perpanjangan SLF; dan

    4. pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung pascabencana.


    Pasal 211
    (1)

    Tata cara pelaksanaan tugas Pengkaji Teknis untuk pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) dan telah memiliki PBG untuk penerbitan SLF pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 huruf a meliputi tahapan:

    1. melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen;

    2. melakukan pemeriksaan kesesuaian antara gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) , PBG, dan kondisi Bangunan Gedung dengan Standar Teknis;

    3. melakukan analisis dan evaluasi hasil pemeriksaan kesesuaian antar gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) , PBG, dan kondisi Bangunan Gedung dengan Standar Teknis Bangunan Gedung; dan

    4. menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi kelaikan fungsi Bangunan Gedung.

    (2)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menyatakan bahwa gambar terbangun (as-built drawings) tidak sesuai dengan PBG tetapi kondisi Bangunan Gedung dinyatakan telah memenuhi Standar Teknis, Pengkaji Teknis menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi pengajuan permohonan perubahan PBG.

    (3)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menyatakan bahwa gambar terbangun (as-built drawings) sudah sesuai dengan PBG tetapi kondisi Bangunan Gedung memerlukan Pemeliharaan dan Perawatan terhadap kerusakan ringan, Pengkaji Teknis menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (4)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) tidak sesuai dengan PBG dan kondisi Bangunan Gedung dinyatakan tidak memenuhi Standar Teknis, Pengkaji Teknis menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi penyesuaian Bangunan Gedung dan pengajuan permohonan perubahan PBG.

    (5)

    Pengkaji Teknis melakukan verifikasi terhadap Pemeliharaan dan Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau penyesuaian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dilaksanakan oleh Pemilik atau Pengguna.


    Pasal 212
    (1)

    Tata cara pelaksanaan tugas Pengkaji Teknis untuk pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) dan belum memiliki PBG untuk penerbitan SLF pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 huruf b meliputi pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung melalui tahapan:

    1. pemeriksaan kelengkapan dokumen;

    2. pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung terhadap pemenuhan Standar Teknis;

    3. analisis dan evaluasi pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung terhadap pemenuhan Standar Teknis; dan

    4. menyusun laporan hasil pemeriksaan dan pemberian rekomendasi kelaikan fungsi Bangunan Gedung.

    (2)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menyatakan bahwa kondisi Bangunan Gedung tidak memenuhi Standar Teknis, Pengkaji Teknis menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi penyesuaian Bangunan Gedung.

    (3)

    Pengkaji Teknis melakukan verifikasi terhadap penyesuaian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilaksanakan oleh Pemilik atau Pengguna.


    Pasal 213
    (1)

    Tata cara pelaksanaan tugas Pengkaji Teknis dalam rangka pemeriksaan kelaikan fungsi untuk perpanjangan SLF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 huruf c meliputi tahapan:

    1. melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen;

    2. melakukan pemeriksaan kesesuaian antara gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings ), SLF terdahulu, dan kondisi Bangunan Gedung dengan Standar Teknis;

    3. melakukan analisis dan evaluasi hasil pemeriksaan kesesuaian antara gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) , SLF terdahulu, dan kondisi Bangunan Gedung dengan Standar Teknis; dan

    4. menyusun laporan hasil pemeriksaan dan pemberian rekomendasi kelaikan fungsi Bangunan Gedung.

    (2)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) tidak sesuai dengan SLF terdahulu tetapi kondisi Bangunan Gedung dinyatakan telah memenuhi Standar Teknis, Pengkaji Teknis menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi pengajuan permohonan perubahan PBG.

    (3)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) sudah sesuai dengan SLF terdahulu tetapi kondisi Bangunan Gedung memerlukan Pemeliharaan dan Perawatan terhadap kerusakan ringan, Pengkaji Teknis menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (4)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun ( as-built drawings ) atau gambar terbangun tidak sesuai dengan SLF terdahulu dan kondisi Bangunan Gedung dinyatakan tidak memenuhi Standar Teknis, Pengkaji Teknis menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi penyesuaian Bangunan Gedung dan pengajuan permohonan perubahan PBG.

    (5)

    Pengkaji Teknis melakukan verifikasi terhadap Pemeliharaan dan Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau penyesuaian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dilaksanakan oleh Pemilik atau Pengguna.


    Pasal 214
    (1)

    Tata cara pelaksanaan tugas Pengkaji Teknis untuk pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung pascabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 huruf d meliputi pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung melalui tahapan:

    1. pemeriksaan awal kondisi Bangunan Gedung terhadap aspek keselamatan;

    2. laporan pemeriksaan awal dan rekomendasi pemanfaatan sementara Bangunan Gedung;

    3. pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung terhadap pemenuhan Standar Teknis dan administratif;

    4. analisis dan evaluasi hasil pemeriksaan lanjutan; dan e. menyusun laporan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung.

    (2)

    Dalam hal hasil pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a Bangunan Gedung dinyatakan mengalami kerusakan sedang atau kerusakan berat sehingga tidak dapat dimanfaatkan sementara, Pengkaji Teknis menyusun laporan pemeriksaan awal dan rekomendasi pemanfaatan sementara Bangunan Gedung yang menyatakan bahwa Bangunan Gedung tidak dapat dimanfaatkan sementara.

    (3)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) atau gambar terbangun tidak sesuai dengan PBG tetapi kondisi Bangunan Gedung dinyatakan telah memenuhi Standar Teknis, Pengkaji Teknis menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi pengajuan permohonan perubahan PBG.

    (4)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) atau gambar terbangun sudah sesuai dengan PBG tetapi kondisi Bangunan Gedung memerlukan Pemeliharaan dan Perawatan terhadap kerusakan ringan, Pengkaji Teknis menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (5)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) atau gambar terbangun tidak sesuai dengan PBG dan kondisi Bangunan Gedung dinyatakan tidak memenuhi Standar Teknis, Pengkaji Teknis menyusun laporan hasil pemeriksaan dan rekomendasi penyesuaian Bangunan Gedung dan pengajuan permohonan perubahan PBG.

    (6)

    Pengkaji Teknis melakukan verifikasi terhadap Pemeliharaan dan Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau penyesuaian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang dilaksanakan oleh Pemilik atau Pengguna.

    (7)

    Pemeriksaan awal kondisi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan pengisian daftar simak pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung terhadap aspek keselamatan.


    Pasal 215
    (1)

    Pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 dan Pasal 214 meliputi:

    1. pengisian daftar simak pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung; dan

    2. pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis.

    (2)

    Pengisian daftar simak pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pengkaji Teknis sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.

    (3)

    Pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. pemeriksaan ketentuan tata bangunan; dan

    2. pemeriksaan ketentuan keandalan Bangunan Gedung.

    (4)

    Pemeriksaan ketentuan tata bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:

    1. kesesuaian Pemanfaatan Bangunan Gedung terhadap fungsi Bangunan Gedung;

    2. kesesuaian intensitas Bangunan Gedung;

    3. pemenuhan persyaratan arsitektur Bangunan Gedung; dan

    4. pemenuhan persyaratan pengendalian dampak lingkungan.

    (5)

    Pemeriksaan ketentuan keandalan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi pemenuhan persyaratan:

    1. keselamatan Bangunan Gedung;

    2. kesehatan Bangunan Gedung;

    3. kenyamanan Bangunan Gedung; dan

    4. kemudahan Bangunan Gedung.


    Pasal 216
    (1)

    Kesesuaian Pemanfaatan Bangunan Gedung terhadap fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) huruf a dilakukan untuk mengetahui kondisi nyata tentang:

    1. fungsi Bangunan Gedung;

    2. pemanfaatan setiap ruang dalam Bangunan Gedung; dan

    3. pemanfaatan ruang luar pada persil Bangunan Gedung.

    (2)

    Kesesuaian Pemanfaatan Bangunan Gedung terhadap fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual;

    2. pemeriksaan kesesuaian kondisi faktual dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    3. pendokumentasian.


    Pasal 217
    (1)

    Kesesuaian intensitas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) huruf b dilakukan untuk mengetahui kondisi nyata mengenai:

    1. luas lantai dasar Bangunan Gedung;

    2. luas dasar basemen;

    3. luas total lantai Bangunan Gedung;

    4. jumlah lantai Bangunan Gedung;

    5. jumlah lantai basemen;

    6. ketinggian Bangunan Gedung;

    7. luas daerah hijau dalam persil;

    8. jarak sempadan Bangunan Gedung terhadap jalan, sungai, pantai, danau, rel kereta api, dan/atau jalur tegangan tinggi;

    9. jarak Bangunan Gedung dengan batas persil; dan

    10. jarak antar bangunan gedung.

    (2)

    Kesesuaian intensitas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan;

    2. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    3. pendokumentasian.


    Pasal 218
    (1)

    Pemenuhan persyaratan arsitektur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) huruf c untuk mengetahui kondisi nyata mengenai:

    1. penampilan Bangunan Gedung;

    2. tata ruang dalam Bangunan Gedung; dan

    3. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dengan lingkungan Bangunan Gedung.

    (2)

    Pemeriksaan penampilan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. bentuk Bangunan Gedung;

    2. bentuk denah Bangunan Gedung;

    3. tampak bangunan;

    4. bentuk dan penutup atap Bangunan Gedung;

    5. profil, detail, material, dan warna bangunan;

    6. batas fisik atau pagar pekarangan; dan

    7. kulit atau selubung bangunan.

    (3)

    Pemeriksaan penampilan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    2. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    3. pendokumentasian.

    (4)

    Pemeriksaan tata ruang dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. kebutuhan ruang utama;

    2. bidang-bidang dinding;

    3. dinding-dinding penyekat;

    4. pintu atau jendela;

    5. tinggi ruang;

    6. tinggi lantai dasar;

    7. ruang rongga atap;

    8. penutup lantai; dan

    9. penutup langit-langit.

    (5)

    Pemeriksaan tata ruang dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan;

    2. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    4. pendokumentasian.

    (6)

    Pemeriksaan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dengan lingkungan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

    1. tinggi (peil) pekarangan;

    2. ruang terbuka hijau pekarangan;

    3. pemanfaatan ruang sempadan bangunan;

    4. daerah hijau bangunan;

    5. tata tanaman;

    6. tata perkerasan pekarangan;

    7. sirkulasi manusia dan kendaraan;

    8. jalur utama pedestrian;

    9. perabot lanskap ( landscape furniture );

    10. pertandaan ( signage ); dan

    11. pencahayaan ruang luar Bangunan Gedung.

    (7)

    Pemeriksaan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dengan lingkungan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan;

    2. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    4. pendokumentasian.


    Pasal 219
    (1)

    Pemenuhan persyaratan pengendalian dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) huruf d untuk mengetahui kondisi nyata penerapan pengendalian dampak penting Bangunan Gedung terhadap lingkungan.

    (2)

    Pemenuhan persyaratan pengendalian dampak lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual terhadap dampak lingkungan Bangunan Gedung;

    2. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    3. pendokumentasian.


    Pasal 220
    (1)

    Pemeriksaan pemenuhan persyaratan keselamatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (5) huruf a dilaksanakan untuk mengetahui kondisi nyata mengenai:

    1. sistem struktur Bangunan Gedung;

    2. sistem proteksi kebakaran;

    3. sistem proteksi petir;

    4. sistem instalasi listrik; dan

    5. jalur evakuasi (mean of egress). (2) Pemeriksaan sistem struktur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    6. komponen struktur utama, yaitu fondasi, kolom, balok, pelat lantai, rangka atap, dinding inti (core wall) , dan basemen; dan

    7. komponen struktur lainnya, paling sedikit meliputi dinding pemikul dan penahan geser (bearing and shear wall), pengaku (bracing) , dan/atau peredam getaran (damper) .

    (3)

    Pemeriksaan sistem struktur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual terhadap kondisi struktur terbangun dan kerusakan;

    2. pengukuran dimensi menggunakan peralatan;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi faktual dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun;

    4. indikasi mutu beton dengan menggunakan metode uji nondestruktif; dan

    5. pendokumentasian.

    (4)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode:

    1. penggunaan peralatan destruktif;

    2. pengujian kekuatan material, kemampuan struktur mendukung beban, dan/atau daya dukung tanah; dan/atau

    3. analisis pemodelan struktur Bangunan Gedung.

    (5)

    Pemeriksaan sistem proteksi kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. akses dan pasokan air untuk pemadaman kebakaran yang merupakan akses mobil pemadam kebakaran pada lingkungan Bangunan Gedung, akses petugas pemadam kebakaran ke lingkungan, akses petugas pemadam kebakaran ke Bangunan Gedung, dan pasokan air untuk pemadam kebakaran;

    2. sarana penyelamatan yang merupakan akses eksit, eksit, keandalan sarana jalan keluar, pintu, ruang terlindung dan proteksi tangga, jalur terusan eksit, kapasitas sarana jalan keluar, jarak tempuh eksit, jumlah sarana jalan keluar, susunan sarana jalan keluar, eksit pelepasan, iluminasi sarana jalan keluar, pencahayaan darurat, penandaan sarana jalan keluar, sarana penyelamatan sekunder, rencana evakuasi, sistem peringatan bahaya bagi Pengguna, area tempat berlindung (refuge area) , titik berkumpul, dan lift kebakaran;

    3. sistem proteksi pasif yang merupakan pintu dan jendela tahan api, penghalang api, partisi penghalang asap, penghalang asap, dan atrium;

    4. sistem proteksi aktif yang merupakan sistem pipa tegak, sistem pemercik putar (sprinkler) otomatis, pompa pemadam kebakaran, penyediaan air, alat pemadam api ringan, sistem deteksi kebakaran, sistem alarm kebakaran, sistem komunikasi darurat, serta ventilasi mekanis dan sistem pengendali asap; dan

    5. manajemen proteksi kebakaran yang merupakan unit manajemen kebakaran, organisasi proteksi kebakaran, tata laksana operasional, dan sumber daya manusia.

    (6)

    Pemeriksaan sistem proteksi kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan;

    2. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi faktual dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    4. pendokumentasian.

    (7)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode:

    1. pengetesan dan pengujian (testing and commissioning) ; dan/atau

    2. simulasi evakuasi darurat secara langsung atau menggunakan perangkat lunak (software) .

    (8)

    Pemeriksaan sistem proteksi petir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

    1. sistem kepala penangkal petir atau terminasi udara;

    2. sistem hantaran penangkal petir atau konduktor penyalur; dan

    3. sistem pembumian atau terminasi bumi.

    (9)

    Pemeriksaan sistem proteksi petir sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    2. pemeriksaan kesesuaian kondisi faktual dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    3. pendokumentasian.

    (10)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning). (11) Pemeriksaan sistem instalasi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:

    1. sumber listrik;

    2. panel listrik;

    3. instalasi listrik; dan

    4. sistem pembumian.

    (12)

    Pemeriksaan sistem instalasi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    2. pemeriksaan dengan menggunakan penginderaan panas (thermal image) dan peralatan pengukuran listrik;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi faktual dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    4. pendokumentasian.

    (13)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (12), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning) .


    Pasal 221

    Pemeriksaan pemenuhan persyaratan kesehatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (5) huruf b dilaksanakan untuk mengetahui kondisi nyata mengenai:

    1. sistem penghawaan;

    2. sistem pencahayaan;

    3. sistem utilitas; dan

    4. penggunaan bahan Bangunan Gedung.


    Pasal 222
    (1)

    Pemeriksaan sistem penghawaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 huruf a meliputi:

    1. ventilasi alami dan/atau mekanis;

    2. sistem pengkondisian udara; dan

    3. kadar polutan udara dalam ruangan.

    (2)

    Pemeriksaan sistem penghawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan;

    2. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun;

    4. pengukuran kualitas mutu udara dalam ruangan; dan e. pendokumentasian.

    (3)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning) .


    Pasal 223
    (1)

    Pemeriksaan sistem pencahayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 huruf b meliputi:

    1. pencahayaan alami;

    2. pencahayaan buatan atau artifisial; dan

    3. tingkat luminansi.

    (2)

    Pemeriksaan sistem pencahayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan;

    2. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    4. pendokumentasian.

    (3)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning) .


    Pasal 224
    (1)

    Pemeriksaan sistem utilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 huruf c meliputi sistem:

    1. air bersih;

    2. pembuangan air kotor dan/atau air limbah;

    3. pembuangan kotoran dan sampah; dan

    4. pengelolaan air hujan.

    (2)

    Pemeriksaan sistem air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. sumber air bersih;

    2. sistem distribusi air bersih;

    3. kualitas air bersih; dan

    4. debit air bersih.

    (3)

    Pemeriksaan sistem air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan;

    2. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar terbangun (as-built drawings) ;

    4. uji kualitas air bersih; dan

    5. pendokumentasian.

    (4)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning) .

    (5)

    Pemeriksaan sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. peralatan saniter dan instalasi saluran masuk ( inlet ) atau saluran keluar ( outlet );

    2. sistem jaringan pembuangan air kotor dan/atau air limbah; dan

    3. sistem penampungan dan pengolahan air kotor dan/atau air limbah.

    (6)

    Pemeriksaan sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    2. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    3. uji kualitas air limbah; dan

    4. pendokumentasian.

    (7)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning) .

    (8)

    Pemeriksaan sistem pembuangan kotoran dan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

    1. saluran masuk (inlet) pembuangan kotoran dan sampah;

    2. penampungan sementara kotoran dan sampah dalam persil; dan

    3. pengolahan kotoran dan sampah dalam persil.

    (9)

    Pemeriksaan sistem pembuangan kotoran dan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    2. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    3. pendokumentasian.

    (10)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning). (11) Pemeriksaan sistem pengelolaan air hujan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:

    1. sistem tangkapan air hujan;

    2. sistem penyaluran air hujan, termasuk pipa tegak dan drainase dalam persil;

    3. sistem penampungan, pengolahan, peresapan, dan pembuangan air hujan; dan/atau

    4. sistem pemanfaatan air hujan.

    (12)

    Pemeriksaan sistem pengelolaan air hujan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    2. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar terbangun ( as-built drawings ); dan

    3. pendokumentasian.

    (13)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (12), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning) .


    Pasal 225
    (1)

    Pemeriksaan penggunaan bahan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 huruf d meliputi:

    1. kandungan bahan berbahaya atau beracun;

    2. efek silau dan pantulan; dan

    3. efek peningkatan suhu.

    (2)

    Pemeriksaan penggunaan bahan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual; dan

    2. pendokumentasian.


    Pasal 226
    (1)

    Pemeriksaan pemenuhan persyaratan kenyamanan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (5) huruf c dilaksanakan untuk mengetahui kondisi nyata mengenai:

    1. ruang gerak dalam Bangunan Gedung;

    2. kondisi udara dalam ruang;

    3. pandangan dari dan ke dalam Bangunan Gedung; dan d. kondisi getaran dan kebisingan dalam Bangunan Gedung.

    (2)

    Pemeriksaan ruang gerak dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. jumlah Pengguna dan batas penghunian (occupancy) Bangunan Gedung; dan

    2. kapasitas dan tata letak perabot.

    (3)

    Pemeriksaan ruang gerak dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual;

    2. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    3. pendokumentasian.

    (4)

    Pemeriksaan kondisi udara dalam ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. temperatur dalam ruang b. kelembapan dalam ruang; dan

    2. laju aliran udara.

    (5)

    Pemeriksaan kondisi udara dalam ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan; dan

    2. pendokumentasian.

    (6)

    Pemeriksaan pandangan dari dan ke dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

    1. pandangan dari dalam setiap ruang ke luar bangunan; dan

    2. pandangan dari luar bangunan ke dalam setiap ruang.

    (7)

    Pemeriksaan pandangan dari dan ke dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual; dan

    2. pendokumentasian.

    (8)

    Pemeriksaan kondisi getaran dan kebisingan dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:

    1. tingkat getaran dalam Bangunan Gedung; dan

    2. tingkat kebisingan dalam Bangunan Gedung.

    (9)

    Pemeriksaan kondisi getaran dan kebisingan dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan; dan

    2. pendokumentasian.


    Pasal 227
    (1)

    Pemeriksaan pemenuhan persyaratan kemudahan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (5) huruf d dilaksanakan untuk mengetahui kondisi nyata mengenai:

    1. fasilitas dan aksesibilitas hubungan ke, dari, dan di dalam Bangunan Gedung; dan

    2. kelengkapan prasarana dan sarana dalam Pemanfaatan Bangunan Gedung.

    (2)

    Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas hubungan ke, dari, dan di dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. hubungan horizontal antarruang atau antar bangunan; dan

    2. hubungan vertikal antar lantai dalam Bangunan Gedung.

    (3)

    Pemeriksaan hubungan horizontal antarruang atau antar bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan;

    2. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    4. pendokumentasian.

    (4)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning) .

    (5)

    Pemeriksaan hubungan vertikal antar lantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan;

    2. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    4. pendokumentasian.

    (6)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning) .

    (7)

    Pemeriksaan kelengkapan prasarana dan sarana dalam Pemanfaatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan metode:

    1. pengukuran menggunakan peralatan;

    2. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

    3. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

    4. pendokumentasian.

    (8)

    Selain metode sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pengkaji Teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning) .


    Pasal 228
    (1)

    Pemeriksaan sistem proteksi kebakaran, keselamatan dan kesehatan kerja, instalasi listrik, dan pengendalian dampak lingkungan dilakukan dengan melibatkan instansi terkait.

    (2)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui permohonan oleh Pemilik kepada instansi berwenang terkait.

    (3)

    Dalam hal instansi berwenang terkait tidak merespon permohonan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja atau tidak melaksanakan pemeriksaan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya surat permohonan, pemeriksaan yang dilakukan oleh pelaksana pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung dianggap disetujui.

    (4)

    Dalam hal terjadi perbedaan antara hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh instansi berwenang terkait dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pelaksana pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung, yang digunakan yaitu hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh instansi berwenang terkait.


    Pasal 229
    (1)

    Proses penyusunan laporan hasil pemeriksaan dilakukan untuk mendokumentasikan keseluruhan proses pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang telah dilakukan.

    (2)

    Laporan hasil pemeriksaan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

    1. metodologi pemeriksaan;

    2. data pelaksana pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung;

    3. hasil pemeriksaan dokumen;

    4. hasil pemeriksaan dan pengujian kondisi Bangunan Gedung;

    5. hasil analisis dan evaluasi;

    6. kesimpulan kelaikan fungsi Bangunan Gedung; dan g. rekomendasi.

    (3)

    Dalam hal kesimpulan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f menyatakan bahwa Bangunan Gedung laik fungsi, diberikan surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung kepada Pemilik atau Pengguna.

    (4)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g dapat berupa:

    1. rekomendasi kelaikan fungsi Bangunan Gedung;

    2. rekomendasi pengajuan permohonan baru atau perubahan PBG;

    3. rekomendasi Pemeliharaan dan Perawatan ringan; atau d. rekomendasi penyesuaian Bangunan Gedung dan pengajuan permohonan baru atau perubahan PBG.

    (5)

    Dalam hal pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung pascabencana, laporan hasil pemeriksaan awal pemanfaatan sementara Bangunan Gedung paling sedikit memuat:

    1. data pelaksana pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung;

    2. hasil pemeriksaan kondisi nyata Bangunan Gedung terhadap aspek keselamatan;

    3. hasil analisis dan evaluasi;

    4. kesimpulan hasil pemeriksaan awal; dan

    5. rekomendasi.


    Pasal 230
    (1)

    Tata cara pelaksanaan tugas Pengkaji Teknis untuk pemeriksaan berkala Bangunan Gedung meliputi tahapan:

    1. melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen;

    2. melakukan pemeriksaan kondisi komponen, subkomponen, perlengkapan, dan/atau peralatan Bangunan Gedung; dan

    3. menyusun laporan pemeriksaan berkala Bangunan Gedung.

    (2)

    Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi dokumen:

    1. operasi; dan

    2. Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (3)

    Pemeriksaan kondisi komponen, subkomponen, perlengkapan, dan/atau peralatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

    1. pengisian daftar simak pemeriksaan kondisi komponen, subkomponen, perlengkapan, dan/atau peralatan Bangunan Gedung; dan

    2. pengisian komentar terhadap hasil pemeriksaan kondisi komponen, subkomponen, perlengkapan, dan/atau peralatan Bangunan Gedung.

    (4)

    Pengisian daftar simak pemeriksaan kondisi komponen, subkomponen, perlengkapan, dan/atau peralatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan oleh Pengkaji Teknis sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.

    (5)

    Format daftar simak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


    Pasal 231

    Penyusunan laporan pemeriksaan berkala Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (1) huruf c merupakan kumpulan dari seluruh daftar simak pemeriksaan kondisi komponen, subkomponen, perlengkapan, dan/atau peralatan Bangunan Gedung. Paragraf 3 Tim Profesi Ahli


    Pasal 232
    (1)

    TPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf c disusun dalam basis data yang disediakan oleh Pemerintah Pusat.

    (2)

    Pemerintah Daerah kabupaten/kota memilih anggota TPA untuk bekerja di wilayah administratifnya dari basis data yang disusun oleh Pemerintah Pusat.

    (3)

    TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas Profesi Ahli dari unsur:

    1. perguruan tinggi atau pakar; dan

    2. Profesi Ahli.

    (4)

    Anggota TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki kompetensi yang meliputi bidang:

    1. arsitektur Bangunan Gedung dan perkotaan;

    2. struktur Bangunan Gedung;

    3. mekanikal Bangunan Gedung;

    4. elektrikal Bangunan Gedung;

    5. sanitasi, drainase, perpipaan (plumbing) , pemadam kebakaran Bangunan Gedung;

    6. BGCB;

    7. BGH;

    8. pertamanan atau lanskap;

    9. tata ruang dalam Bangunan Gedung;

    10. keselamatan dan kesehatan kerja;

    11. pelaksanaan Pembongkaran; dan/atau

    12. keahlian lainnya yang dibutuhkan.

    (5)

    TPA mempunyai tugas:

    1. memeriksa dokumen rencana teknis Bangunan Gedung terhadap pemenuhan Standar Teknis dan memberikan pertimbangan teknis kepada Pemohon dalam proses konsultasi perencanaan Bangunan Gedung; dan

    2. memeriksa dokumen RTB terhadap pemenuhan Standar Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung dan memberikan pertimbangan teknis kepada Pemohon dalam proses konsultasi Pembongkaran.

    (6)

    Dalam hal proses konsultasi Bangunan Gedung adat, TPA dapat melibatkan Masyarakat adat.

    (7)

    Dalam hal Pemerintah Daerah kabupaten/kota belum memiliki RDTR dan/atau RTBL, TPA dapat memberikan pertimbangan teknis kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota terkait informasi KRK.

    (8)

    Dalam hal Pemerintah Daerah kabupaten/kota membutuhkan penyelesaian masalah dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung, TPA dapat memberikan masukan.

    (9)

    Dalam hal sertifikasi BGH, TPA melakukan proses verifikasi daftar simak penilaian kinerja BGH beserta dokumen pembuktiannya dan menetapkan peringkat BGH berdasarkan hasil verifikasi penilaian kinerja.

    (10)

    Hasil kerja TPA dituangkan secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan.


    Pasal 233
    (1)

    TPA menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (5) secara profesional, objektif, tidak menghambat proses konsultasi PBG dan RTB, dan tidak mempunyai konflik kepentingan.

    (2)

    Penyampaian pertimbangan teknis dan/atau masukan dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (7) dan ayat (8) dilakukan dengan ketentuan:

    1. pertimbangan teknis dan/atau masukan anggota TPA sesuai dengan bidang keahliannya; dan

    2. pertanggungjawaban TPA sebatas pada pertimbangan teknis dan/atau masukan yang disampaikan.

    (3)

    TPA bertanggung jawab terbatas pada substansi dari pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (7), sedangkan tanggung jawab dari dokumen rencana teknis atau RTB tetap melekat pada penyedia jasa.

    (4)

    Dalam hal anggota TPA mempunyai konflik kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari penugasan tersebut.

    (5)

    Dalam hal anggota TPA menemukan adanya konflik kepentingan terkait dengan penugasan anggota lainnya, anggota tersebut dapat melaporkan kepada Sekretariat dengan disertai barang bukti.


    Pasal 234
    (1)

    Dalam hal BGFK, TPA sebagaimana dimaksud Pasal 202 huruf c ditetapkan oleh Menteri dan disebut TPA Pusat.

    (2)

    TPA Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur:

    1. perguruan tinggi/pakar;

    2. Profesi Ahli; dan

    3. Tenaga Ahli Fungsi Khusus.

    (3)

    Anggota TPA Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kompetensi yang meliputi bidang:

    1. keahlian khusus terkait jenis BGFK;

    2. arsitektur Bangunan Gedung dan perkotaan;

    3. struktur Bangunan Gedung;

    4. mekanikal Bangunan Gedung;

    5. elektrikal Bangunan Gedung;

    6. sanitasi, drainase, perpipaan (plumbing) , pemadam kebakaran Bangunan Gedung;

    7. pertamanan atau lanskap;

    8. tata ruang dalam Bangunan Gedung;

    9. keselamatan dan kesehatan kerja;

    10. pelaksanaan Pembongkaran; dan/atau

    11. keahlian lainnya yang dibutuhkan.

    (4)

    TPA Pusat mempunyai tugas:

    1. memeriksa dokumen rencana teknis BGFK terhadap pemenuhan Standar Teknis dan memberikan pertimbangan teknis kepada Pemohon dalam proses konsultasi perencanaan BGFK; dan

    2. memeriksa dokumen RTB terhadap pemenuhan Standar Teknis Pembongkaran BGFK dan memberikan pertimbangan teknis kepada Pemohon dalam proses konsultasi Pembongkaran.

    (5)

    TPA Pusat menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara profesional, objektif, tidak menghambat proses konsultasi PBG dan RTB, dan tidak mempunyai konflik kepentingan.

    (6)

    Dalam hal anggota TPA Pusat mempunyai konflik kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), anggota yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari penugasan tersebut.

    (7)

    Dalam hal anggota TPA Pusat menemukan adanya konflik kepentingan terkait dengan penugasan anggota lainnya, anggota tersebut dapat melaporkan kepada Sekretariat pusat dengan disertai barang bukti.

    (8)

    Hasil kerja TPA Pusat dituangkan secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan. Paragraf 4 Tim Penilai Teknis


    Pasal 235
    (1)

    Anggota TPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf d meliputi:

    1. pejabat struktural pada organisasi perangkat daerah yang membidangi urusan Bangunan Gedung;

    2. pejabat fungsional teknik tata bangunan dan perumahan;

    3. pejabat struktural dari perangkat daerah lain terkait Bangunan Gedung; dan/atau

    4. pejabat fungsional dari organisasi perangkat daerah lain terkait Bangunan Gedung.

    (2)

    Pejabat struktural dan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat berasal dari organisasi perangkat daerah yang membidangi:

    1. keselamatan dan kesehatan kerja;

    2. penataan ruang dan lingkungan;

    3. kebakaran; dan/atau

    4. ketenteraman dan ketertiban umum serta pelindungan Masyarakat.

    (3)

    TPT mempunyai tugas:

    1. memeriksa dokumen rencana teknis Bangunan Gedung berupa rumah tinggal terhadap pemenuhan Standar Teknis dan memberikan pertimbangan teknis kepada Pemohon dalam proses konsultasi perencanaan Bangunan Gedung;

    2. memeriksa dokumen permohonan SLF perpanjangan;

    3. memeriksa dokumen RTB Bangunan Gedung berupa rumah tinggal terhadap pemenuhan Standar Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung dan memberikan pertimbangan teknis kepada Pemohon dalam proses konsultasi Pembongkaran; dan d. dalam hal rumah tinggal termasuk dalam klasifikasi kompleksitas tidak sederhana, tugas TPT dalam memeriksa dokumen rencana teknis dan dokumen RTB dapat dibantu oleh TPA.

    (4)

    Dalam hal proses konsultasi Bangunan Gedung adat, TPT dapat melibatkan Masyarakat adat.

    (5)

    TPT menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara profesional, objektif, tidak menghambat proses konsultasi PBG dan RTB, dan tidak mempunyai konflik kepentingan.

    (6)

    Penyampaian pertimbangan teknis dan/atau masukan dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan:

    1. pertimbangan teknis dan/atau masukan anggota TPT sesuai dengan bidang keahliannya; dan

    2. pertanggungjawaban TPT sebatas pada pertimbangan teknis dan/atau masukan yang disampaikan. Paragraf 5 Penilik


    Pasal 236
    (1)

    Penilik sebagaimana dimaksud Pasal 202 huruf e ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (2)

    Penilik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki status kepegawaian sebagai pegawai aparatur sipil negara.

    (3)

    Dalam hal jumlah pegawai aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi, Penilik dapat berasal dari pegawai honorer yang diangkat oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (4)

    Penilik memiliki tugas untuk melakukan pemeriksaan Bangunan Gedung secara administratif agar Penyelenggaraan Bangunan Gedung yang dilaksanakan oleh penyelenggara Bangunan Gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    (5)

    Penilik menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara profesional, objektif, dan tidak mempunyai konflik kepentingan.

    (6)

    Tugas Penilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan pada masa:

    1. konstruksi;

    2. Pemanfaatan Bangunan Gedung; dan

    3. Pembongkaran.

    (7)

    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a, Penilik melakukan inspeksi untuk mengawasi pelaksanaan PBG yang diterbitkan.

    (8)

    Tata cara pelaksanaan inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi:

    1. Penilik menerima surat penugasan dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

    2. melakukan pemeriksaan kesesuaian pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung terhadap PBG dan ketentuan SMKK pada tahap pekerjaan struktur bawah, pekerjaan basemen, pekerjaan struktur atas, dan pekerjaan mekanikal elektrikal;

    3. membuat laporan hasil inspeksi dan mengunggahnya ke dalam SIMBG pada setiap tahapan pekerjaan pelaksanaan konstruksi;

    4. meminta justifikasi teknis kepada Pemilik dalam hal ditemukan ketidaksesuaian antara gambar rencana teknis (detail engineering design) dengan gambar rencana kerja (shop drawing) yang disebabkan oleh kondisi lapangan;

    5. memberikan peringatan kepada penyelenggara Bangunan Gedung dalam hal ditemukan ketidaksesuaian dengan dokumen PBG dan ketentuan manajemen keselamatan konstruksi;

    6. melaporkan hasil inspeksi kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan mengunggahnya kedalam SIMBG;

    7. menyaksikan pelaksanaan pengujian (commissioning test) ;

    8. membuat laporan hasil kesaksian pengujian (commissioning test) dan mengunggahnya ke dalam SIMBG; dan

    9. mengeluarkan surat pernyataan kelaikan fungsi dalam hal Bangunan Gedung berupa rumah tinggal.

    (9)

    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, Penilik melakukan inspeksi dalam rangka pengawasan terhadap Pemanfaatan Bangunan Gedung.

    (10)

    Tata cara pelaksanaan inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) meliputi:

    1. Penilik menerima surat penugasan dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

    2. melakukan pemeriksaan secara visual kesesuaian Pemanfaatan Bangunan Gedung;

    3. melakukan identifikasi Bangunan Gedung yang membahayakan pengguna dan lingkungan;

    4. membuat laporan hasil inspeksi dan mengunggahnya kedalam SIMBG; dan

    5. melaporkan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam hal ditemukan ketidaksesuaian Bangunan Gedung yang membahayakan pengguna dan lingkungan.

    (11)

    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c, Penilik melakukan inspeksi untuk Pembongkaran Bangunan Gedung.

    (12)

    Tata cara pelaksanaan inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) meliputi:

    1. Penilik menerima surat penugasan dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

    2. memeriksa kesesuaian antara pelaksanaan Pembongkaran dengan RTB;

    3. membuat laporan hasil inspeksi dan mengunggahnya ke dalam SIMBG; dan

    4. melaporkan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam hal ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan Pembongkaran dengan RTB. Paragraf 6 Sekretariat


    Pasal 237
    (1)

    Sekretariat merupakan tim yang ditugaskan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (2)

    Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai penanggung jawab pelaksanaan tugas TPA, TPT, dan Penilik.

    (3)

    Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki tugas dalam:

    1. penerimaan dan pemeriksaan kelengkapan dokumen permohonan PBG, SLF perpanjangan, dan RTB;

    2. pembentukan dan penugasan TPA;

    3. pembentukan dan penugasan TPT;

    4. administrasi pelaksanaan tugas TPA, TPT, dan Penilik; dan

    5. pengawasan kinerja pelaksanaan tugas TPA, TPT, dan Penilik.


    Pasal 238
    (1)

    Dalam hal BGFK, Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (1) dibentuk oleh Menteri sebagai Sekretariat pusat.

    (2)

    Sekretariat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai penanggung jawab pelaksanaan tugas TPA Pusat.

    (3)

    Sekretariat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki tugas dalam:

    1. penerimaan dan pemeriksaan kelengkapan dokumen permohonan PBG, SLF perpanjangan, dan RTB BGFK;

    2. pembentukan dan penugasan TPA Pusat;

    3. administrasi pelaksanaan tugas TPA Pusat; dan

    4. pengawasan kinerja pelaksanaan tugas TPA Pusat.


    Pasal 239
    (1)

    Pembentukan TPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (3) huruf b meliputi:

    1. penetapan perkiraan kebutuhan termasuk kriteria dan jumlah anggota TPA;

    2. pemilihan anggota TPA dari basis data yang disusun Pemerintah Pusat;

    3. pengusulan calon anggota TPA kepada Sekretariat; dan

    4. penetapan anggota TPA oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (2)

    Penetapan perkiraan kebutuhan termasuk kriteria dan jumlah anggota TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan pertimbangan terhadap perkiraan beban tugas TPA untuk efektivitas serta efisiensi pelaksanaan tugas TPA.

    (3)

    Pemilihan calon anggota TPA dari basis data yang disusun Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mempertimbangkan keahlian, domisili, dan ketersediaan waktu dari setiap personil TPA.

    (4)

    Penetapan anggota TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan melalui keputusan bupati/walikota berdasarkan usulan Sekretariat.

    (5)

    Penugasan TPA mengacu pada tugas TPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (5) dilaksanakan oleh organisasi perangkat daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan urusan Bangunan Gedung.

    (6)

    Tata cara penugasan dilakukan dalam rangka:

    1. pemeriksaan dokumen rencana teknis Bangunan Gedung terhadap pemenuhan Standar Teknis dan pemberian pertimbangan teknis serta rekomendasi dalam proses konsultasi perencanaan Bangunan Gedung; dan

    2. pemeriksaan dokumen RTB terhadap pemenuhan Standar Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung dan memberikan pertimbangan teknis dalam proses konsultasi Pembongkaran.

    (7)

    Tata cara penugasan TPA sebagaimana yang dimaksud pada ayat (6) meliputi:

    1. Sekretariat mengidentifikasi fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung yang dimohonkan;

    2. Sekretariat menugaskan anggota TPA dengan mempertimbangkan kesesuaian antara kompetensi setiap anggota TPA dengan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung yang dimohonkan;

    3. dalam hal proses penerbitan PBG untuk BGCB, penugasan TPA melibatkan Tenaga Ahli BGCB;

    4. dalam hal proses penerbitan PBG untuk BGH, penugasan TPA melibatkan Tenaga Ahli BGH; dan

    5. Sekretariat memfasilitasi penyelenggaraan proses pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis oleh TPA.

    (8)

    Kegiatan fasilitasi penyelenggaraan proses pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis oleh TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e meliputi:

    1. penetapan jadwal melalui SIMBG; dan

    2. penyampaian daftar undangan melalui SIMBG.

    (9)

    Sekretariat menetapkan jadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a disertai dengan penyampaian dokumen rencana teknis atau RTB kepada Pengkaji Teknis melalui SIMBG.


    Pasal 240
    (1)

    Pembentukan TPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (3) huruf c meliputi:

    1. penetapan perkiraan kebutuhan jumlah anggota TPT; dan

    2. penetapan anggota TPT oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (2)

    Penetapan perkiraan kebutuhan jumlah anggota TPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan pertimbangan terhadap perkiraan beban tugas TPT untuk efektivitas serta efisiensi pelaksanaan tugas TPT.

    (3)

    Penetapan anggota TPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan berdasarkan usulan Sekretariat.

    (4)

    Penugasan TPT mengacu pada tugas TPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (3) melalui surat penugasan dari Sekretariat.

    (5)

    Penugasan TPT dilakukan untuk:

    1. memeriksa dokumen rencana teknis Bangunan Gedung berupa rumah tinggal terhadap pemenuhan Standar Teknis dan memberikan pertimbangan teknis kepada Pemohon dalam proses konsultasi perencanaan Bangunan Gedung;

    2. memeriksa dokumen permohonan SLF perpanjangan; dan

    3. memeriksa dokumen RTB Bangunan Gedung berupa rumah tinggal terhadap pemenuhan Standar Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung dan memberikan pertimbangan teknis kepada Pemohon dalam proses konsultasi Pembongkaran.

    (6)

    Tata cara penugasan TPT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:

    1. Sekretariat menugaskan anggota TPT berdasarkan permohonan konsultasi dalam SIMBG dengan mempertimbangkan beban kerja; dan b. Sekretariat memfasilitasi penyelenggaraan proses pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis oleh TPT.

    (7)

    Kegiatan fasilitasi penyelenggaraan proses pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b paling sedikit meliputi:

    1. penetapan jadwal melalui SIMBG; dan

    2. penyampaian daftar undangan melalui SIMBG.

    (8)

    Sekretariat menetapkan jadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a disertai dengan penyampaian dokumen rencana teknis, dokumen SLF perpanjangan, atau RTB kepada TPT melalui SIMBG.


    Pasal 241

    Administrasi pelaksanaan tugas TPA, TPT, dan Penilik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (3) huruf d meliputi:

    1. penugasan anggota TPA, TPT, dan Penilik;

    2. penyiapan tempat dan konsumsi kegiatan pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis;

    3. penyiapan biaya pelaksanaan tugas TPA, TPT, dan Penilik;

    4. pendokumentasian pelaksanaan tugas TPA, TPT, dan Penilik; dan

    5. penyiapan tata surat menyurat dan administrasi lainnya.


    Pasal 242
    (1)

    Biaya pelaksanaan tugas TPA, TPT, dan Penilik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 huruf c meliputi:

    1. biaya operasional Sekretariat;

    2. biaya pelaksanaan konsultasi;

    3. honorarium TPA, TPT, dan Penilik; dan

    4. biaya perjalanan dinas TPA dan Penilik.

    (2)

    Biaya pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah pada daftar isian pelaksanaan anggaran perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan Bangunan Gedung pada kabupaten/kota.

    (3)

    Biaya operasional Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. operasional Sekretariat;

    2. honor Sekretariat;

    3. pengadaan peralatan; dan

    4. pengadaan alat tulis kantor.

    (4)

    Biaya pelaksanaan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pendanaan penyelenggaraan konsultasi meliputi:

    1. sewa ruang;

    2. penggandaan dokumen; dan/atau

    3. konsumsi.

    (5)

    Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:

    1. honorarium orang per bulan; dan/atau

    2. honorarium orang per jam.

    (6)

    Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan sesuai dengan beban kerja dan pendanaannya mengacu pada standar biaya orang per bulan dan/atau orang per jam yang berlaku di kabupaten/kota tempat TPA, TPT, Penilik, dan Pengkaji Teknis bertugas.

    (7)

    Bentuk dan besaran honorarium TPA, TPT, dan Penilik ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.


    Pasal 243
    (1)

    Pengawasan kinerja pelaksanaan tugas TPA, TPT, Penilik, dan Pengkaji Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (3) huruf e dilakukan terhadap pemenuhan pelaksanaan tugas TPA, TPT, dan Penilik sesuai dengan surat penugasan.

    (2)

    Dalam hal Sekretariat menemukan adanya konflik kepentingan pada anggota TPA, TPT, atau dalam menjalankan tugasnya, Sekretariat dapat mencabut dan menggantikan anggota tersebut dengan anggota lainnya. Paragraf 7 Pengelola Bangunan Gedung


    Pasal 244
    (1)

    Pengelola Bangunan Gedung merupakan organisasi yang bertanggung jawab atas pengelolaan Bangunan Gedung.

    (2)

    Pengelolaan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

    1. pelaksanaan operasional Bangunan Gedung;

    2. Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung; dan c. pembaharuan SOP yang telah digunakan.

    (3)

    Dalam hal Bangunan Gedung berupa rumah tinggal, pengelolaan Bangunan Gedung dilakukan oleh Pemilik.

    (4)

    Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk penyedia jasa atau tenaga ahli atau terampil.

    (5)

    Penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan badan usaha yang melakukan pekerjaan dan mempunyai kompetensi bidang Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (6)

    Tenaga ahli atau terampil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan orang perorangan yang memiliki kompetensi keahlian atau kompetensi keterampilan bidang Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung. Paragraf 8 Pengelola Teknis Bangunan Gedung Negara


    Pasal 245
    (1)

    Pengelola Teknis merupakan pegawai aparatur sipil negara di Kementerian atau Dinas Teknis pelaksana tugas dekonsentrasi Kementerian kepada Pemerintah Daerah provinsi.

    (2)

    Pengelola Teknis merupakan:

    1. pejabat fungsional teknik tata bangunan dan perumahan ahli; atau

    2. pegawai negeri sipil dengan pangkat paling rendah golongan III/b di lingkungan Kementerian atau Dinas Teknis yang bersertifikat yang ditetapkan oleh Menteri.

    (3)

    Pejabat fungsional teknik tata bangunan dan perumahan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:

    1. pegawai negeri sipil; atau

    2. pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.

    (4)

    Pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus mempunyai latar belakang pendidikan:

    1. teknik arsitektur;

    2. teknik sipil Bangunan Gedung;

    3. teknik mekanikal atau mesin; atau

    4. teknik fisika.

    (5)

    Pengelola Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai sertifikat Pengelola Teknis.

    (6)

    Sertifikat Pengelola Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh badan pengembangan sumber daya manusia Kementerian.


    Pasal 246
    (1)

    Pengelola Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) bertugas memberikan bantuan teknis administratif dalam pembangunan Bangunan Gedung kepada kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah.

    (2)

    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengelola Teknis dapat didampingi oleh tenaga ahli atau narasumber dan tenaga pembantu Pengelola Teknis.

    (3)

    Pengelola Teknis melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masa waktu 1 (satu) tahun anggaran, dan dapat diminta perpanjangan penugasan untuk kegiatan pembangunan BGN yang merupakan kegiatan lanjutan dan/atau kegiatan proyek yang melebihi 1 (satu) tahun anggaran.

    (4)

    Bantuan teknis administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada tahap persiapan berupa pemberian informasi atau masukan yang meliputi:

    1. kelengkapan dokumen pendanaan kegiatan;

    2. jadwal pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan BGN;

    3. paket pekerjaan perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi berdasarkan dokumen daftar isian pelaksanaan anggaran atau rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga yang diterbitkan; dan/atau

    4. kerangka acuan kerja, spesifikasi teknis, harga perkiraan sendiri, syarat khusus kontrak, dan sistem pengadaan jasa atas pekerjaan perencanaan teknis, dan pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi untuk diserahkan kepada unit layanan pengadaan.

    (5)

    Bantuan teknis administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pada tahap perencanaan teknis berupa pemberian informasi atau masukan yang meliputi:

    1. penyusunan dokumen perencanaan meliputi proses, kelengkapan, dan kesesuaian terhadap kerangka acuan kerja dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    2. perizinan yang diperlukan kepada penyedia jasa perencanaan konstruksi; dan/atau

    3. sistem pengadaan dan pemilihan penyedia jasa pelaksanaan konstruksi.

    (6)

    Bantuan teknis administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pada tahap pelaksanaan konstruksi dan pengawasan teknis berupa pemberian informasi atau masukan yang meliputi:

    1. penyusunan dokumen pelaksanaan meliputi proses, kelengkapan, dan kesesuaian terhadap kerangka acuan kerja dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    2. perizinan yang diperlukan paling sedikit meliputi PBG dan sistem manajemen keselamatan konstruksi;

    3. pekerjaan pengawasan yang dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi; dan/atau

    4. tindakan turun tangan dalam penyelesaian permasalahan.

    (7)

    Bantuan teknis administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pada tahap pascakonstruksi berupa pemberian informasi atau masukan yang meliputi:

    1. status barang milik negara dari pengelola barang;

    2. SLF dari Pemerintah Daerah; dan/atau

    3. pendaftaran sebagai BGN.

    (8)

    Pengelola Teknis memberikan informasi atau masukan mengenai penyelenggaraan BGN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (9)

    Pengelola Teknis dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengambil alih tugas dan tanggung jawab profesional penyedia jasa.


    Pasal 247
    (1)

    Pengelola Teknis bertanggung jawab atas kinerja pelaksanaan tugasnya kepada:

    1. Menteri dan/atau gubernur sebagai pelaksana tugas dekonsentrasi untuk BGN dengan sumber pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah; atau

    2. gubernur atau bupati atau walikota untuk BGN dengan sumber pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau perolehan lainnya yang sah.

    (2)

    Pengelola Teknis bertanggung jawab secara operasional kepada kuasa pengguna anggaran kementerian/lembaga atau organisasi perangkat daerah yang mengajukan permintaan bantuan Pengelola Teknis.


    Pasal 248
    (1)

    Pengelola Teknis dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) mendapatkan pembinaan dan pendanaan pengelolaan teknis.

    (2)

    Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:

    1. peningkatan kapasitas Pengelola Teknis pembangunan BGN;

    2. peningkatan kapasitas koordinator Pengelola Teknis; dan

    3. peningkatan kapasitas kesekretariatan koordinator Pengelola Teknis.

    (3)

    Biaya pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pembangunan BGN dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik negara dianggarkan oleh Kementerian.

    (4)

    Biaya pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pembangunan BGN dengan sumber pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau perolehan lainnya yang sah yang akan menjadi barang milik daerah dianggarkan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Teknis.

    (5)

    Pendanaan pengelolaan teknis mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (3) huruf c angka 2.

    (6)

    Biaya pengelolaan teknis sebagai akibat dari pelaksanaan tugas dekonsentrasi dianggarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IV PROSES PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu Umum


    Pasal 250
    (1)

    Proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung meliputi kegiatan pembangunan, pemanfaatan, Pelestarian, dan Pembongkaran.

    (2)

    Dalam proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara berkewajiban memenuhi Standar Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

    (3)

    Pemilik yang belum dapat memenuhi Standar Teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, tetap harus memenuhi ketentuan tersebut secara bertahap.

    (4)

    Pelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengikuti ketentuan penyelenggaraan BGCB yang dilestarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80. Bagian Kedua Pembangunan Paragraf 1 Umum


    Pasal 251
    (1)

    Kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 ayat (1) meliputi kegiatan perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, dan pengawasan konstruksi.

    (2)

    Dalam kegiatan perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyedia jasa perencanaan Bangunan Gedung membuat dokumen rencana teknis untuk memperoleh PBG yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (3)

    Dalam kegiatan pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyedia jasa pelaksanaan konstruksi harus melaksanakan konstruksi sesuai dengan PBG yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Paragraf 2 Perencanaan Teknis


    Pasal 252
    (1)

    Perencanaan teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan Bangunan Gedung yang memiliki sertifikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Perencanaan teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kerangka acuan kerja dan dokumen ikatan kerja.

    (3)

    Perencanaan teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi Standar Teknis.

    (4)

    Dalam hal Bangunan Gedung berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas lantai paling banyak 72 m ^2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan Bangunan Gedung berupa rumah tinggal tunggal 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m ^2 (sembilan puluh meter persegi), dokumen rencana teknis dapat disediakan sendiri oleh Pemohon dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. menggunakan ketentuan pokok tahan gempa;

    2. menggunakan desain prototipe/purwarupa Bangunan Gedung; atau

    3. direncanakan oleh penyedia jasa perencanaan.

    (5)

    Dokumen rencana teknis yang disediakan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat digambar secara sederhana dengan informasi yang lengkap.

    (6)

    Dalam hal BGFK, perencanaan teknis dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan BGFK yang memiliki kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (7)

    Dalam hal penyedia jasa perencanaan BGFK sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum tersedia, perencanaan teknis dilaksanakan oleh penyedia jasa perencanaan yang melibatkan Tenaga Ahli Fungsi Khusus terkait Bangunan Gedung yang direncanakan. Paragraf 3 Persetujuan Bangunan Gedung


    Pasal 253
    (1)

    Dokumen rencana teknis diajukan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau Pemerintah Daerah provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Pemerintah Pusat untuk memperoleh PBG sebelum pelaksanaan konstruksi.

    (2)

    Dalam hal BGFK, dokumen rencana teknis diajukan kepada Menteri.

    (3)

    PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk membangun Bangunan Gedung atau prasarana Bangunan Gedung baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung atau prasarana Bangunan Gedung.

    (4)

    PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan Pemilik sebelum pelaksanaan konstruksi.

    (5)

    PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi proses:

    1. konsultasi perencanaan; dan

    2. penerbitan.

    (6)

    Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa dan disetujui dalam proses konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a.

    (7)

    Proses konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:

    1. pendaftaran;

    2. pemeriksaan pemenuhan Standar Teknis; dan

    3. pernyataan Pemenuhan Standar Teknis.

    (8)

    Konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a diselenggarakan tanpa dipungut biaya.

    (9)

    Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dilakukan oleh Pemohon atau Pemilik melalui SIMBG.

    (10)

    Pemohon atau Pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (9) menyampaikan informasi:

    1. data Pemohon atau Pemilik;

    2. data Bangunan Gedung; dan

    3. dokumen rencana teknis.

    (11)

    Dalam hal bagian Bangunan Gedung direncanakan dapat dialihkan kepada pihak lain, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) ditambahkan dokumen rencana pertelaan.

    (12)

    Kepala Dinas Teknis menugaskan Sekretariat untuk memeriksa kelengkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10).

    (13)

    Dalam hal BGFK, Menteri menugaskan Sekretariat pusat untuk memeriksa kelengkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10).

    (14)

    Setelah informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dinyatakan lengkap, Sekretariat memberikan jadwal konsultasi perencanaan kepada Pemohon atau Pemilik melalui SIMBG.


    Pasal 254
    (1)

    Konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (5) huruf a dilakukan melalui pemeriksaan terhadap dokumen rencana teknis.

    (2)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh TPA atau TPT.

    (3)

    Pemeriksaan oleh TPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap Bangunan Gedung berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan rumah tinggal tunggal 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m2 (sembilan puluh meter persegi).

    (4)

    Pemeriksaan oleh TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap Bangunan Gedung selain Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    (5)

    Dalam hal Bangunan Gedung yang memerlukan pertimbangan aspek adat, pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Masyarakat adat.

    (6)

    Dalam hal BGCB, TPA melibatkan tenaga ahli cagar budaya.

    (7)

    Dalam hal BGH, TPA melibatkan tenaga ahli BGH.

    (8)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling banyak 5 (lima) kali dalam kurun waktu paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja.

    (9)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan pertama kali dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak pengajuan pendaftaran.


    Pasal 255
    (1)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (1) dilakukan melalui tahap:

    1. pemeriksaan dokumen rencana arsitektur; dan

    2. pemeriksaan dokumen rencana struktur, mekanikal, elektrikal, dan perpipaan ( plumbing ).

    (2)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan jika pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan bahwa dokumen rencana arsitektur telah memenuhi Standar Teknis.

    (3)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat melibatkan seluruh anggota TPA yang ditugaskan untuk dokumen rencana teknis yang bersangkutan.

    (4)

    Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilengkapi dengan pertimbangan teknis dituangkan dalam berita acara.

    (5)

    Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus bersifat konkret dan komprehensif serta tidak dapat diubah dan/atau ditambah pada pemeriksaan selanjutnya.

    (6)

    Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diunggah oleh Sekretariat ke dalam SIMBG.

    (7)

    Perbaikan dokumen rencana teknis berdasarkan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diunggah oleh Pemohon sebelum jadwal pemeriksaan selanjutnya.

    (8)

    Berita acara pada pemeriksaan terakhir dilengkapi dengan kesimpulan dari TPA.

    (9)

    Berita acara pemeriksaan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diunggah oleh Sekretariat ke dalam SIMBG.

    (10)

    Kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berisi:

    1. rekomendasi penerbitan surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis; atau

    2. rekomendasi pendaftaran ulang PBG.

    (11)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf a diberikan apabila dokumen rencana teknis telah memenuhi Standar Teknis.

    (12)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b diberikan apabila dokumen rencana teknis tidak memenuhi Standar Teknis.


    Pasal 256
    (1)

    Surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis diterbitkan oleh Dinas Teknis berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 ayat (10) huruf a.

    (2)

    Dalam hal TPA memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 ayat (10) huruf b maka surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis tidak dapat diterbitkan dan Pemohon harus mendaftar ulang kembali.

    (3)

    Dalam hal Pemohon harus mendaftar ulang kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemohon menyampaikan perbaikan dokumen rencana teknis dilengkapi dengan berita acara konsultasi sebelumnya.

    (4)

    Dalam hal Pemohon mendaftar ulang kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) konsultasi dilanjutkan berdasarkan berita acara konsultasi sebelumnya.

    (5)

    Surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk memperoleh PBG dengan dilengkapi perhitungan teknis untuk retribusi.


    Pasal 257
    (1)

    Dalam hal Bangunan Gedung berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m ^2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan 2 (dua) lantai dengan luas paling banyak 90 m ^2 (sembilan puluh meter persegi), pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (3) dilakukan dalam kurun waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.

    (2)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap dokumen rencana teknis.

    (3)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan seluruh anggota TPT yang ditugaskan untuk dokumen rencana teknis yang bersangkutan.

    (4)

    Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilengkapi dengan pertimbangan teknis dituangkan dalam berita acara.

    (5)

    Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus bersifat konkret dan komprehensif serta tidak dapat diubah dan/atau ditambah pada pemeriksaan selanjutnya.

    (6)

    Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diunggah oleh Sekretariat ke dalam SIMBG.

    (7)

    Perbaikan dokumen rencana teknis berdasarkan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diunggah oleh Pemohon sebelum jadwal pemeriksaan selanjutnya.

    (8)

    Berita acara pada pemeriksaan terakhir dilengkapi dengan kesimpulan dari TPT.

    (9)

    Berita acara pemeriksaan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diunggah oleh Sekretariat ke dalam SIMBG.

    (10)

    Kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berisi:

    1. rekomendasi penerbitan surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis; atau

    2. rekomendasi pendaftaran ulang PBG.

    (11)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf a diberikan apabila dokumen rencana teknis telah memenuhi Standar Teknis.

    (12)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b diberikan apabila dokumen rencana teknis tidak memenuhi Standar Teknis.


    Pasal 258
    (1)

    Surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis diterbitkan oleh Dinas Teknis berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (10) huruf a.

    (2)

    Dalam hal TPT memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (10) huruf a maka surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis tidak dapat diterbitkan dan Pemohon harus mendaftar ulang kembali.

    (3)

    Dalam hal Pemohon harus mendaftar ulang kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemohon menyampaikan perbaikan dokumen rencana teknis dilengkapi dengan berita acara konsultasi sebelumnya.

    (4)

    Dalam hal Pemohon mendaftar ulang kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) konsultasi dilanjutkan berdasarkan berita acara konsultasi sebelumnya.

    (5)

    Surat pernyataan pemenuhan Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk memperoleh PBG dengan dilengkapi perhitungan teknis untuk retribusi.


    Pasal 259
    (1)

    Dalam hal BGFK, pemeriksaan terhadap dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (2) dilakukan oleh TPA pusat dengan melibatkan kementerian atau lembaga terkait dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagai lokasi pembangunan BGFK.

    (2)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit pada dokumen rencana arsitektur, struktur, mekanikal, elektrikal, perpipaan (plumbing) , dan komponen khusus dalam BGFK.

    (3)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling banyak 5 (lima) kali dalam kurun waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja.

    (4)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pertama kali dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak pengajuan pendaftaran.

    (5)

    Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dilengkapi dengan pertimbangan teknis dituangkan dalam berita acara.

    (6)

    Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus bersifat konkret dan komprehensif serta tidak dapat diubah dan/atau ditambah pada pemeriksaan selanjutnya.

    (7)

    Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diunggah oleh Sekretariat pusat ke dalam SIMBG.

    (8)

    Perbaikan dokumen rencana teknis berdasarkan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diunggah oleh Pemohon sebelum jadwal pemeriksaan selanjutnya.

    (9)

    Berita acara pada pemeriksaan terakhir dilengkapi dengan kesimpulan dari TPA pusat.

    (10)

    Berita acara pemeriksaan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diunggah oleh Sekretariat pusat ke dalam SIMBG.

    (11)

    Kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) berisi:

    1. rekomendasi penerbitan surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis; atau

    2. rekomendasi pendaftaran ulang PBG.

    (12)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) huruf a diberikan apabila dokumen rencana teknis telah memenuhi Standar Teknis.

    (13)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) huruf b diberikan apabila dokumen rencana teknis tidak memenuhi Standar Teknis.


    Pasal 260
    (1)

    Surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis diterbitkan oleh direktur jenderal cipta karya berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (11) huruf a.

    (2)

    Dalam hal TPA pusat memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (11) huruf b maka surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis tidak dapat diterbitkan dan Pemohon harus mendaftar ulang kembali.

    (3)

    Dalam hal Pemohon harus mendaftar ulang kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemohon menyampaikan perbaikan dokumen rencana teknis dilengkapi dengan berita acara konsultasi sebelumnya.

    (4)

    Dalam hal Pemohon mendaftar ulang kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) konsultasi dilanjutkan berdasarkan berita acara konsultasi sebelumnya.

    (5)

    Surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk memperoleh PBG.


    Pasal 261
    (1)

    Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (5) huruf b meliputi:

    1. penetapan nilai retribusi daerah;

    2. pembayaran retribusi daerah; dan

    3. penerbitan PBG.

    (2)

    Penetapan nilai retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Dinas Teknis berdasarkan perhitungan teknis untuk retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 ayat (5) dan Pasal 258 ayat (5).

    (3)

    Nilai retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan indeks terintegrasi dan harga satuan retribusi.

    (4)

    Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan berdasarkan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.

    (5)

    Harga satuan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (6)

    Pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh Pemohon setelah ditetapkan nilai retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    (7)

    Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan setelah DPMPTSP mendapatkan bukti pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

    (8)

    Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan oleh DPMPTSP.

    (9)

    PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (8) meliputi:

    1. dokumen PBG; dan

    2. lampiran dokumen PBG.


    Pasal 262
    (1)

    Pelayanan penatausahaan PBG meliputi:

    1. pembuatan duplikat dokumen PBG yang dilegalisasi sebagai pengganti dokumen PBG yang hilang atau rusak, dengan melampirkan fotokopi PBG dan surat keterangan hilang dari instansi yang berwenang untuk dilakukan pengecekan arsip PBG; dan

    2. permohonan PBG untuk Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG.

    (2)

    Lingkup PBG perubahan dilakukan dalam hal terdapat:

    1. perubahan fungsi bangunan;

    2. perubahan lapis bangunan;

    3. perubahan luas bangunan;

    4. perubahan tampak bangunan;

    5. perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;

    6. perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;

    7. perlindungan dan/atau pengembangan BGCB; atau h. perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya dengan tingkat kerusakan ringan, sedang, atau berat.

    (3)

    PBG perubahan tidak diperlukan untuk:

    1. pekerjaan Pemeliharaan; dan

    2. pekerjaan Perawatan.

    (4)

    Dalam hal permohonan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, proses penerbitannya bersamaan dengan penerbitan SLF untuk Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) . Paragraf 4 Pelaksanaan dan Pengawasan Konstruksi Bangunan Gedung


    Pasal 263
    (1)

    Pelaksanaan konstruksi dimulai setelah Pemohon memperoleh PBG.

    (2)

    Dalam hal BGFK, pelaksanaan konstruksi dilakukan oleh penyedia jasa pelaksana konstruksi bidang Bangunan Gedung yang memiliki kompetensi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    (3)

    Pemohon harus menyampaikan informasi jadwal dan tanggal mulai pelaksanaan konstruksi kepada Dinas Teknis melalui SIMBG.

    (4)

    Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan sebelum pelaksanaan konstruksi dimulai.

    (5)

    Dalam hal Pemohon tidak menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Dinas Teknis meminta klarifikasi kepada Pemohon melalui SIMBG.

    (6)

    Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan paling banyak 2 (dua) kali dalam kurun waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterbitkan PBG.

    (7)

    Dalam hal Pemohon tidak menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan, PBG dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    (8)

    Dalam hal PBG dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Pemohon harus mengulangi pendaftaran.

    (9)

    Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (7) huruf a.


    Pasal 264
    (1)

    Pengawasan konstruksi Bangunan Gedung berupa kegiatan pengawasan pelaksanaan konstruksi atau kegiatan manajemen konstruksi pembangunan Bangunan Gedung.

    (2)

    Pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan kesesuaian antara pelaksanaan konstruksi dengan PBG.

    (3)

    Pengawasan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi.

    (4)

    Dalam hal BGFK, pengawasan konstruksi melibatkan tim kementerian/lembaga yang memiliki kompetensi di bidang pengawasan pembangunan instalasi fungsi khusus.


    Pasal 265
    (1)

    Dinas Teknis melakukan inspeksi terhadap pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung setelah mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (3).

    (2)

    Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai bentuk pengawasan dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang dapat menyatakan lanjut atau tidaknya pekerjaan konstruksi ke tahap berikutnya.

    (3)

    Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahap:

    1. pekerjaan struktur bawah;

    2. pekerjaan basemen;

    3. pekerjaan struktur atas, arsitektur, mekanikal, elektrikal, dan perpipaan (plumbing ); dan

    4. pengetesan dan pengujian (testing and commisioning) .

    (4)

    Pelaksanaan inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah Dinas Teknis mendapatkan informasi dari Pemohon.

    (5)

    Dalam hal inspeksi tidak dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemohon dapat melanjutkan pelaksanaan konstruksi ke tahap berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    (6)

    Dalam hal BGFK, kementerian/lembaga terkait melakukan inspeksi terhadap pelaksanaan konstruksi BGFK setelah mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (3).

    (7)

    Dalam hal pekerjaan rehabilitasi, renovasi, dan restorasi, inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahap sesuai pekerjaan yang dilaksanakan.

    (8)

    Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali sesuai kebutuhan pada setiap tahap sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    (9)

    Dinas Teknis juga dapat melakukan inspeksi terhadap pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung setelah memperoleh informasi dari pengaduan Masyarakat atau laporan dari kecamatan, desa atau kelurahan, rukun tetangga dan/atau rukun warga.


    Pasal 266
    (1)

    Dinas Teknis menyampaikan informasi kepada Pemohon terkait jadwal inspeksi pada setiap tahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (3) melalui SIMBG.

    (2)

    Dalam melaksanakan inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dinas Teknis menugaskan Penilik.

    (3)

    Pada saat inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi harus menyampaikan laporan pengawasan konstruksi kepada Penilik.

    (4)

    Hasil inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada hasil pengamatan kondisi lapangan dan laporan pengawasan konstruksi terhadap kesesuaian dengan PBG dan/atau ketentuan SMKK.

    (5)

    Penilik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membuat berita acara sebagai hasil inspeksi setiap tahap sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

    (6)

    Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus diunggah ke dalam SIMBG oleh Penilik.


    Pasal 267
    (1)

    Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan konstruksi dengan PBG dan/atau ketentuan SMKK, Penilik melaporkan kepada Dinas Teknis.

    (2)

    Dalam hal ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait pemenuhan ketentuan tata bangunan, Pemilik harus melakukan penyesuaian konstruksi terhadap ketentuan tata bangunan.

    (3)

    Dalam hal Pemilik tidak melakukan penyesuaian konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemilik harus mengurus ulang PBG.

    (4)

    Dalam hal penyesuaian konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau pengurusan ulang PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dilakukan oleh Pemilik, Dinas Teknis dapat menghentikan pelaksanaan konstruksi hingga pengurusan ulang PBG selesai.

    (5)

    Dalam hal ketidaksesuaian pelaksanaan konstruksi dengan ketentuan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditindaklanjuti oleh Pemilik, Teknis dapat menghentikan pelaksanaan konstruksi.


    Pasal 268
    (1)

    Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat (1) terkait pemenuhan ketentuan keandalan Bangunan Gedung, Pemilik harus mengurus ulang PBG.

    (2)

    Ketentuan pengurusan ulang PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan jika ketidaksesuaian disebabkan kondisi lapangan.

    (3)

    Dalam hal terdapat ketidaksesuaian disebabkan oleh kondisi lapangan, Penilik meminta justifikasi teknis kepada Pemilik.

    (4)

    Dalam hal Pemilik tidak menyediakan justifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat menghentikan pelaksanaan konstruksi hingga Pemilik memberikan justifikasi teknis.

    (5)

    Dalam hal penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah dilaksanakan atau justifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sudah disampaikan, Dinas Teknis menyatakan pelaksanaan konstruksi dapat dilanjutkan kembali.

    (6)

    Dalam hal Pemilik tidak menyampaikan justifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 6 (enam) bulan sejak ditemukan ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka PBG dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    (7)

    Dalam hal terjadi perubahan dan/atau penyesuaian pelaksanaan konstruksi terhadap PBG selama proses pelaksanaan konstruksi, harus mendapat persetujuan dari penyedia jasa perencanaan teknis.


    Pasal 269
    (1)

    Dalam hal Bangunan Gedung berupa rumah tinggal tunggal sampai dengan 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m ^2 (sembilan puluh meter persegi) Pemilik harus menyampaikan dokumentasi setiap tahap pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung kepada Penilik pada saat inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (1).

    (2)

    Hasil inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil pengamatan kondisi lapangan dan dokumentasi setiap tahap pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung terhadap kesesuaian dengan PBG dan/atau ketentuan SMKK.

    (3)

    Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan konstruksi dengan PBG dan/atau ketentuan SMKK, Penilik melaporkan kepada Dinas Teknis.

    (4)

    Dalam hal terdapat ketidaksesuaian berdasarkan hasil inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terhadap PBG, Penilik memberikan rekomendasi kepada Pemilik.

    (5)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:

    1. penyesuaian konstruksi Bangunan Gedung terhadap PBG; atau

    2. pengurusan ulang PBG.

    (6)

    Rekomendasi penyesuaian konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a harus ditindaklanjuti dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Penilik sesuai dengan kompleksitas penyesuaiannya.

    (7)

    Dalam hal Pemilik tidak menindaklanjuti rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Dinas Teknis dapat menghentikan pelaksanaan konstruksi hingga rekomendasi terpenuhi.

    (8)

    Dalam hal Pemilik telah menindaklanjuti rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Dinas Teknis menyatakan pelaksanaan konstruksi dapat dilanjutkan kembali.

    (9)

    Penilik membuat berita acara sebagai hasil inspeksi setiap tahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (3).

    (10)

    Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (9) harus diunggah ke dalam SIMBG oleh Penilik.


    Pasal 270
    (1)

    Inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 ayat (3) dilanjutkan dengan tahap pengujian (commissioning test) .

    (2)

    Tahap pengujian (commissioning test) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah semua instalasi mekanikal, elektrikal, dan perpipaan (plumbing) Bangunan Gedung terpasang.

    (3)

    Tahap pengujian (commissioning test) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan instalasi mekanikal, elektrikal, dan perpipaan (plumbing) Bangunan Gedung terpasang dan berfungsi seluruhnya sesuai dengan rencana teknis.

    (4)

    Dalam pelaksanaan pengujian (commissioning test) , penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi melibatkan institusi dan/atau perangkat daerah yang berwenang.

    (5)

    Hasil pengujian (commissioning test) dituangkan dalam bentuk berita acara yang ditandatangani oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi dan institusi dan/atau perangkat daerah yang berwenang.

    (6)

    Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus diunggah dalam SIMBG oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi.


    Pasal 271
    (1)

    Dalam hal Bangunan Gedung berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m ^2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan rumah tinggal tunggal 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m ^2 (sembilan puluh meter persegi) yang tidak dibangun dengan menggunakan penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi, pengujian ( commissioning test ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 ayat (2) dilaksanakan oleh Penilik.

    (2)

    Dalam hal Bangunan Gedung berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m ^2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan rumah tinggal tunggal 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m ^2 (sembilan puluh meter persegi) yang tidak dibangun dengan menggunakan penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi, hasil pengujian ( commissioning test ) dituangkan dalam bentuk berita acara yang ditandatangani oleh Penilik.

    (3)

    Dalam hal Bangunan Gedung berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m ^2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan rumah tinggal tunggal 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m ^2 (sembilan puluh meter persegi) yang tidak dibangun dengan menggunakan penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi, berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diunggah ke dalam SIMBG oleh Penilik.


    Pasal 272
    (1)

    Penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi atau Penilik membuat daftar simak hasil pemeriksaan kelaikan fungsi berdasarkan laporan pengawasan, hasil inspeksi, dan hasil pengujian (commissioning test). (2) Daftar simak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat setelah pelaksanaan konstruksi selesai.

    (3)

    Dalam hal BGFK, daftar simak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat oleh:

    1. penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi untuk bagian BGFK yang tidak terdapat batasan kerahasiaan dan/atau batasan lainnya; dan

    2. kementerian/lembaga terkait untuk bagian atau instalasi yang terdapat batasan kerahasiaan dan/atau batasan lainnya.

    (4)

    Surat pernyataan kelaikan fungsi dikeluarkan oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi atau Penilik berdasarkan daftar simak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    (5)

    Surat pernyataan kelaikan fungsi dikeluarkan oleh Penilik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk Bangunan Gedung berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan rumah tinggal tunggal 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m2 (sembilan puluh meter persegi) yang dibangun tanpa penyedia jasa pengawasan konstruksi/manajemen konstruksi.

    (6)

    Surat pernyataan kelaikan fungsi dikeluarkan oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terhadap Bangunan Gedung selain Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

    (7)

    Surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikeluarkan sebelum serah terima akhir (final hand over). (8) Surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikeluarkan berdasarkan laporan pelaksanaan konstruksi dari Pemilik.

    (9)

    Laporan pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) meliputi:

    1. dokumentasi setiap tahap pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung; dan

    2. surat pernyataan Pemilik bahwa pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung telah selesai dilakukan sesuai dengan PBG.

    (10)

    Surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dikeluarkan sebelum Bangunan Gedung dimanfaatkan.

    (11)

    Daftar simak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), dan gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) harus diunggah dalam SIMBG oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi atau Pemilik.


    Pasal 273
    (1)

    Dalam hal kumpulan Bangunan Gedung yang dibangun dalam satu kawasan dan memiliki rencana teknis yang sama, surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 ayat (4) dikeluarkan oleh penyedia jasa pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi.

    (2)

    Surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan untuk setiap Bangunan Gedung.


    Pasal 274
    (1)

    Dinas Teknis menindaklanjuti surat pernyataan kelaikan fungsi dengan penerbitan SLF dan surat kepemilikan Bangunan Gedung.

    (2)

    SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperoleh oleh Pemilik sebelum Bangunan Gedung dapat dimanfaatkan.

    (3)

    SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. dokumen SLF;

    2. lampiran dokumen SLF; dan

    3. label SLF.


    Pasal 275
    (1)

    Surat kepemilikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ayat (1) meliputi:

    1. SBKBG;

    2. sertifikat kepemilikan Bangunan Gedung satuan rumah susun; atau

    3. sertifikat hak milik satuan rumah susun.

    (2)

    SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    1. dokumen SBKBG; dan

    2. lampiran dokumen SBKBG.

    (3)

    Dokumen SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi informasi mengenai:

    1. kepemilikan atas Bangunan Gedung atau bagian Bangunan Gedung;

    2. alamat Bangunan Gedung;

    3. status hak atas tanah;

    4. nomor PBG; dan

    5. nomor SLF atau nomor perpanjangan SLF.

    (4)

    Lampiran dokumen SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi informasi:

    1. surat perjanjian pemanfaatan tanah;

    2. akta pemisahan;

    3. gambar situasi; dan/atau

    4. akta fidusia bila dibebani hak.


    Pasal 276
    (1)

    Penerbitan SLF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ayat (1) dan SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) huruf a dilakukan bersamaan melalui SIMBG.

    (2)

    Proses penerbitan SLF dan SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak surat pernyataan kelaikan fungsi diunggah melalui SIMBG.

    (3)

    SLF dan SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan tanpa dipungut biaya.


    Pasal 277
    (1)

    Dalam hal kumpulan Bangunan Gedung yang dibangun dalam satu kawasan dan memiliki rencana teknis yang sama, SLF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ayat (1) dan SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) huruf a diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk setiap Bangunan Gedung.

    (2)

    Dalam hal Bangunan Gedung menggunakan desain prototipe/purwarupa, proses penerbitan SLF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ayat (1) dan SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) huruf a dilaksanakan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak surat pernyataan kelaikan fungsi diunggah melalui SIMBG.


    Pasal 278
    (1)

    Dalam hal bagian Bangunan Gedung direncanakan dapat dialihkan kepada pihak lain, SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) huruf a dilengkapi dengan akta pemisahan.

    (2)

    Penerbitan SBKBG yang dilengkapi dengan akta pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah SLF dan akta pemisahan diterbitkan.


    Pasal 279
    (1)

    Penerbitan SBKBG untuk BGN berlaku mutatis mutandis mengikuti ketentuan penerbitan SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276.

    (2)

    SBKBG untuk BGN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia.


    Pasal 280

    Penerbitan sertifikat kepemilikan Bangunan Gedung satuan rumah susun dan sertifikat hak milik satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) huruf b dan huruf c dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 5 Kumpulan Bangunan Gedung yang Dibangun dalam Satu Kawasan


    Pasal 281
    (1)

    Pembangunan kumpulan Bangunan Gedung yang dibangun dalam satu kawasan harus menggunakan penyedia jasa.

    (2)

    Kumpulan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki oleh perorangan atau badan hukum yang sama saat PBG diajukan.

    (3)

    Kumpulan Bangunan Gedung yang dibangun dalam satu kawasan dan memiliki rencana teknis yang sama diterbitkan PBG kolektif.

    (4)

    Dalam pendaftaran konsultasi PBG kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dokumen rencana teknis dilengkapi dengan dokumen masterplan kawasan beserta gambar detailnya.

    (5)

    Dalam proses konsultasi, pemeriksaan dokumen rencana teknis dan dokumen masterplan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh TPA.

    (6)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan melalui tahap:

    1. pemeriksaan dokumen masterplan kawasan;

    2. pemeriksaan dokumen rencana arsitektur; dan

    3. pemeriksaan dokumen rencana struktur, mekanikal, elektrikal, dan perpipaan (plumbing) .

    (7)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dan huruf c dilakukan jika dokumen masterplan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a disetujui oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (8)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan paling banyak 5 (lima) kali dalam kurun waktu paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja.

    (9)

    Dokumen PBG kolektif dilengkapi dengan keterangan lokasi peletakan Bangunan Gedung di dalam masterplan. Paragraf 6 Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang Sudah Ada


    Pasal 282
    (1)

    Pemerintah Pusat mempercepat proses SLF Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) untuk pembinaan Bangunan Gedung.

    (2)

    Untuk percepatan proses sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya dan Masyarakat terkait Bangunan Gedung melakukan upaya:

    1. pendataan Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) yang belum memiliki SLF;

    2. peningkatan kesadaran Pemilik untuk melakukan proses SLF;

    3. pelopori pengurusan penerbitan SLF Bangunan Gedung yang menjadi tanggung jawabnya;

    4. pemberdayaan Masyarakat yang belum mampu memenuhi Standar Teknis perolehan SLF secara bertahap;

    5. peningkatan kapasitas atau kemampuan pengkajian teknis pada Bangunan Gedung yang sudah ada;

    6. peningkatan kelembagaan penyelenggaraan TPT dalam rangka proses SLF;

    7. fasilitasi pengkajian teknis untuk penerbitan SLF Bangunan Gedung tertentu sebagai bentuk pelayanan kepada publik sesuai kemampuannya;

    8. peningkatan koordinasi dalam rangka percepatan pemberian rekomendasi oleh instansi teknis terkait di daerah;

    9. peningkatan pelayanan instansi teknis terkait dalam memberikan rekomendasi yang dibutuhkan untuk penerbitan SLF secara mudah dan tanpa dipungut biaya; dan

    10. pelibatan peran Masyarakat dalam memperoleh SLF.

    (3)

    Penerbitan SLF untuk Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) terdiri atas:

    1. pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) ;

    2. permohonan surat pernyataan pemenuhan Standar Teknis; dan

    3. penerbitan SLF dan SBKBG.

    (4)

    Pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan untuk mengetahui kelaikan fungsi Bangunan Gedung pada masa pemanfaatan yang menjadi tanggung jawab Pemilik.

    (5)

    Pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan oleh:

    1. Pemilik dengan kompleksitas sederhana yang bersertifikat pengkajian teknis;

    2. Pemilik dalam hal memiliki unit atau tenaga internal yang bersertifikat pengkajian teknis; atau

    3. penyedia jasa Pengkaji Teknis yang bersertifikat pengkajian teknis.

    (6)

    Pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan oleh TPT dalam hal Bangunan Gedung berupa rumah tinggal.

    (7)

    Pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui tahap:

    1. proses pemeriksaan kelengkapan dokumen dan kondisi Bangunan Gedung;

    2. proses analisis, evaluasi, dan rekomendasi kelaikan fungsi Bangunan Gedung; dan

    3. proses penyusunan surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung.

    (8)

    Proses pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dilakukan untuk mengetahui:

    1. kelengkapan dokumen; dan

    2. kesesuaian dokumen dengan Bangunan Gedung terbangun.

    (9)

    Pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dilakukan terhadap ketersediaan dokumen yang dibutuhkan untuk pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung.

    (10)

    Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (9) meliputi:

    1. dokumen data umum Bangunan Gedung;

    2. dokumen PBG dan/atau rencana teknis; dan

    3. dokumen pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung atau gambar terbangun (as-built drawing) ;

    (11)

    Pemeriksaan kesesuaian dokumen dengan Bangunan Gedung terbangun sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilakukan terhadap:

    1. identitas Pemilik;

    2. kondisi Bangunan Gedung;

    3. kesesuaian dengan KRK;

    4. dokumen PBG atau rencana teknis atau gambar terbangun (as-built drawing) diperiksa kesesuaiannya dengan Bangunan Gedung terbangun; dan

    5. informasi pelaksanaan Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (12)

    Dalam hal dokumen PBG tidak ada, dapat diganti dengan dokumen rencana teknis atau gambar Bangunan Gedung terbangun ( as-built drawing). (13) Gambar Bangunan Gedung terbangun ( as-built drawing ) sebagaimana dimaksud pada ayat (10) paling sedikit memuat aspek keselamatan yang meliputi:

    1. dimensi balok dan kolom Bangunan Gedung beserta perletakannya;

    2. jalur evakuasi (mean of egress) ;

    3. sistem proteksi kebakaran;

    4. sistem proteksi petir; dan

    5. sistem instalasi listrik.

    (14)

    Proses pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a meliputi:

    1. penyusunan daftar simak pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung; dan

    2. pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung terhadap daftar simak.

    (15)

    Proses analisis, evaluasi, dan rekomendasi kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan baik untuk:

    1. Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) dan telah memiliki PBG untuk penerbitan SLF; atau

    2. Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) dan belum memiliki PBG untuk penerbitan SLF.

    (16)

    Proses analisis, evaluasi, dan rekomendasi kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) untuk penerbitan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b meliputi tahapan:

    1. melakukan analisis terhadap kondisi Bangunan Gedung terbangun dengan Standar Teknis pada saat dibangun; atau

    2. dalam hal Bangunan Gedung terbangun ingin disesuaikan dengan Standar Teknis terbaru, perlu dilakukan evaluasi; dan

    3. menyusun laporan dan rekomendasi kondisi Bangunan Gedung.

    (17)

    Surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c memuat keterangan bahwa Bangunan Gedung tersebut laik fungsi yang ditandatangani oleh penanggung jawab pengkajian teknis.


    Pasal 283
    (1)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (16) huruf a dan huruf b menyatakan bahwa gambar terbangun ( as-built drawings) tidak sesuai dengan PBG tetapi kondisi Bangunan Gedung dinyatakan telah memenuhi Standar Teknis, penyedia jasa pengkajian teknis menyusun laporan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (16) huruf c dan memberikan surat pernyataan kelaikan fungsi disertai rekomendasi pengajuan perubahan PBG.

    (2)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (16) huruf a dan huruf b menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) sudah sesuai dengan PBG tetapi kondisi Bangunan Gedung mengalami kerusakan ringan, penyedia jasa pengkajian teknis menyusun laporan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 282 ayat (16) huruf c dan memberikan surat pernyataan kelaikan fungsi disertai rekomendasi perbaikan Bangunan Gedung.

    (3)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (16) huruf a dan huruf b menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) sudah sesuai dengan PBG tetapi kondisi Bangunan Gedung mengalami kerusakan sedang atau berat, penyedia jasa pengkajian teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (16) huruf c memberikan rekomendasi perbaikan dan/atau pengubahsuaian (retrofitting) Bangunan Gedung.

    (4)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (16) ayat huruf a dan huruf b menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) sudah sesuai dengan PBG tetapi kondisi Bangunan Gedung mengalami kerusakan sedang atau berat, dan/atau tidak memenuhi Standar Teknis, penyedia jasa pengkajian teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (16) huruf c memberikan rekomendasi perbaikan dan/atau pengubahsuaian (retrofitting) Bangunan Gedung dan pengajuan permohonan perubahan PBG.

    (5)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (16) huruf a dan huruf b untuk Bangunan Gedung yang belum memiliki PBG, penyedia jasa pengkajian teknis selain menyusun laporan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga merekomendasikan kepada Pemilik untuk mengurus PBG sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ini.

    (6)

    Penyedia jasa pengkajian teknis melakukan verifikasi terhadap perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau pengubahsuaian (retrofitting) Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah dilaksanakan oleh Pemilik atau Pengguna.

    (7)

    Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menyatakan perbaikan dan/atau pengubahsuaian (retrofitting) telah dilaksanakan sesuai rekomendasi, penyedia jasa pengkajian teknis memberikan surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung kepada Pemilik atau Pengguna.


    Pasal 284

    Dalam hal pengkajian teknis dilakukan oleh TPT, pelaksanaan pengkajian teknis mutatis mutandis dengan Pasal 283.


    Pasal 285
    (1)

    Proses permohonan surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis untuk Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3) huruf b dilakukan melalui pendaftaran dokumen permohonan SLF Bangunan Gedung.

    (2)

    Permohonan SLF Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemilik kepada Dinas Teknis.

    (3)

    Dalam hal dokumen permohonan SLF dinyatakan tidak lengkap, Dinas Teknis memberikan catatan kekurangan dokumen kepada Pemilik untuk dilengkapi.

    (4)

    Untuk melakukan pemeriksaan kebenaran dokumen permohonan SLF, Dinas Teknis melakukan verifikasi terhadap:

    1. hasil pemeriksaan kesesuaian dokumen permohonan SLF; dan

    2. kondisi lapangan dengan laporan pemeriksaan kelaikan fungsi.

    (5)

    Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditemukan ketidaksesuaian dan/atau ketidakbenaran, Dinas Teknis menolak melalui surat pemberitahuan dan menyatakan bahwa proses permohonan surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis harus diulang.


    Pasal 286
    (1)

    Penerbitan SLF dan SBKBG untuk Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) sebagaimana dalam Pasal 282 ayat (3) huruf c dilakukan setelah surat pernyataan pemenuhan standar dikeluarkan oleh Dinas Teknis melalui SIMBG setelah hasil pemeriksaan kesesuaian atau kebenaran dokumen permohonan SLF, verifikasi lapangan, dan/atau hasil konfirmasi dinyatakan sudah sesuai dan benar.

    (2)

    Dalam hal permohonan penerbitan SLF untuk Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) dan belum memiliki PBG, proses penerbitan SLF dilakukan bersamaan dengan proses penerbitan PBG sesuai dengan ketentuan SIMBG.

    (3)

    Dalam hal bangunan rumah tinggal belum memiliki SBKBG, Pemilik dapat mengajukan SLF untuk memperoleh SBKBG (4) Proses penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan mutatis mutandis sesuai dengan ketentuan penerbitan PBG dalam Pasal 261.


    Pasal 287
    (1)

    Penerbitan SLF untuk BGFK yang sudah ada (existing) terdiri atas:

    1. pemeriksaan dokumen penetapan BGFK;

    2. pemeriksaan kelaikan fungsi BGFK yang sudah ada (existing) ;

    3. permohonan surat pernyataan pemenuhan Standar Teknis; dan

    4. penerbitan SLF.

    (2)

    Pemeriksaan dokumen penetapan BGFK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Menteri untuk memverifikasi penetapan oleh Menteri.

    (3)

    Dalam hal hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi ketentuan verifikasi maka proses tidak dapat dilanjutkan dan Pemilik harus melengkapi ketentuan yang dipersyaratkan.

    (4)

    Dalam hal proses tidak dapat dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Pemilik harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 282 sampai dengan Pasal 286.


    Pasal 288
    (1)

    Pemeriksaan kelaikan fungsi BGFK yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 ayat (1) huruf b dilakukan untuk mengetahui kelaikan fungsi BGFK pada masa pemanfaatan yang menjadi tanggung jawab Pemilik.

    (2)

    Pemeriksaan kelaikan fungsi BGFK yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:

    1. Pemilik dalam hal memiliki unit atau tenaga internal yang bersertifikat pengkajian teknis dengan melibatkan Tenaga Ahli Fungsi Khusus; atau b. penyedia jasa Pengkaji Teknis yang bersertifikat pengkajian teknis dengan melibatkan Tenaga Ahli Fungsi Khusus.

    (3)

    Pemeriksaan kelaikan fungsi BGFK yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahap:

    1. proses pemeriksaan kelengkapan dokumen dan kondisi Bangunan Gedung;

    2. proses analisis, evaluasi, dan rekomendasi kelaikan fungsi Bangunan Gedung; dan

    3. proses penyusunan surat pernyataan kelaikan fungsi Bangunan Gedung.

    (4)

    Proses pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan untuk mengetahui:

    1. kelengkapan dokumen; dan

    2. kesesuaian dokumen dengan Bangunan Gedung terbangun.

    (5)

    Pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan terhadap ketersediaan dokumen yang dibutuhkan untuk pemeriksaan kelaikan fungsi BGFK.

    (6)

    Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:

    1. dokumen data umum BGFK;

    2. dokumen PBG dan rencana teknis c. dokumen pelaksanaan konstruksi BGFK atau gambar terbangun ( as-built drawing );

    (7)

    Pemeriksaan kesesuaian dokumen dengan BGFK terbangun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan terhadap:

    1. identitas Pemilik BGFK;

    2. kondisi BGFK;

    3. kesesuaian dengan KRK;

    4. dokumen PBG atau rencana teknis atau gambar terbangun (as-built drawing) diperiksa kesesuaiannya dengan Bangunan Gedung terbangun; dan

    5. dokumen Pemeliharaan dan Perawatan BGFK dengan manual pengoperasian, Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (8)

    Dalam hal dokumen PBG tidak ada, dapat diganti dengan dokumen rencana teknis atau gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawing) .

    (9)

    Gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawing) sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling sedikit memuat aspek keselamatan yang meliputi:

    1. dimensi balok dan kolom Bangunan Gedung beserta perletakannya;

    2. jalur evakuasi (mean of egress) ;

    3. sistem proteksi kebakaran;

    4. sistem proteksi petir;

    5. sistem instalasi listrik; dan

    6. sistem standar keamanan (security) .

    (10)

    Proses pemeriksaan kondisi BGFK sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b meliputi:

    1. penyusunan daftar simak pemeriksaan kondisi BGFK; dan

    2. pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung terhadap daftar simak.

    (11)

    Proses analisis, evaluasi, dan rekomendasi kelaikan fungsi BGFK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan baik untuk:

    1. BGFK yang sudah ada (existing) dan telah memiliki PBG untuk penerbitan SLF; atau

    2. BGFK yang sudah ada (existing) dan belum memiliki PBG untuk penerbitan SLF.

    (12)

    Proses analisis, evaluasi, dan rekomendasi kelaikan fungsi BGFK yang sudah ada (existing) untuk penerbitan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi tahapan:

    1. melakukan analisis terhadap kondisi BGFK terbangun dengan Standar Teknis pada saat dibangun; atau

    2. dalam hal BGFK terbangun ingin disesuaikan dengan Standar Teknis terbaru, perlu dilakukan evaluasi; dan

    3. menyusun laporan dan rekomendasi kondisi BGFK.

    (13)

    Surat pernyataan kelaikan fungsi BGFK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c memuat keterangan bahwa Bangunan Gedung tersebut laik fungsi yang ditandatangani oleh penanggung jawab pengkajian teknis.

    (14)

    Daftar simak hasil pemeriksaan kelaikan fungsi BGFK sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf a dibuat oleh:

    1. penyedia jasa pengkajian teknis dengan melibatkan Tenaga Ahli Fungsi Khusus untuk bagian BGFK yang tidak terdapat batasan kerahasiaan dan/atau batasan lainnya; atau

    2. kementerian/lembaga terkait untuk bagian atau instalasi yang terdapat batasan kerahasiaan dan/atau batasan lainnya.


    Pasal 289
    (1)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (12) huruf a dan huruf b menyatakan bahwa gambar terbangun (as-built drawings) tidak sesuai dengan PBG tetapi kondisi BGFK dinyatakan telah memenuhi Standar Teknis, penyedia jasa pengkajian teknis menyusun laporan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (12) huruf c dan memberikan surat pernyataan kelaikan fungsi disertai rekomendasi pengajuan perubahan PBG.

    (2)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (12) huruf a dan huruf b menyatakan bahwa gambar BGFK terbangun (as- built drawings) sudah sesuai dengan PBG tetapi kondisi BGFK mengalami kerusakan ringan, penyedia jasa pengkajian teknis menyusun laporan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 288 ayat (12) huruf c dan memberikan surat pernyataan kelaikan fungsi disertai rekomendasi perbaikan Bangunan Gedung.

    (3)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (12) huruf a dan huruf b menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) sudah sesuai dengan PBG tetapi kondisi BGFK mengalami kerusakan sedang atau berat, penyedia jasa pengkajian teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (12) huruf c memberikan rekomendasi perbaikan dan/atau pengubahsuaian (retrofitting) Bangunan Gedung.

    (4)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (12) huruf a dan huruf b menyatakan bahwa gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) sudah sesuai dengan PBG tetapi kondisi Bangunan Gedung mengalami kerusakan sedang atau berat, dan/atau tidak memenuhi Standar Teknis, penyedia jasa pengkajian teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (12) huruf c memberikan rekomendasi perbaikan dan/atau pengubahsuaian (retrofitting) Bangunan Gedung dan pengajuan permohonan perubahan PBG.

    (5)

    Dalam hal hasil analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat (12) huruf a dan huruf b untuk BGFK yang belum memiliki PBG, penyedia jasa pengkajian teknis selain menyusun laporan kelaikan fungsi BGFK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga merekomendasikan kepada pemilik BGFK untuk mengurus PBG sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ini.


    Pasal 290
    (1)

    Penyedia jasa pengkajian teknis, Tenaga Ahli Fungsi Khusus, dan kementerian atau lembaga terkait melakukan verifikasi terhadap perbaikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 289 ayat (2) atau pengubahsuaian (retrofitting) BGFK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 289 ayat (3) yang telah dilaksanakan oleh Pemilik atau instansi BGFK.

    (2)

    Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan perbaikan dan/atau pengubahsuaian (retrofitting) telah dilaksanakan sesuai rekomendasi, penyedia jasa pengkajian teknis memberikan surat pernyataan kelaikan fungsi BGFK kepada Pemilik atau instansi BGFK.


    Pasal 291
    (1)

    Proses permohonan surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis untuk BGFK yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 ayat (1) huruf c dilakukan melalui pendaftaran dokumen Permohonan SLF BGFK yang sudah ada (existing) .

    (2)

    Permohonan SLF BGFK yang sudah ada (existing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemohon atau instansi kepada Menteri.

    (3)

    Dalam hal dokumen permohonan SLF dinyatakan tidak lengkap, Menteri memberikan catatan kekurangan dokumen kepada Pemohon atau instansi untuk dilengkapi.

    (4)

    Untuk melakukan pemeriksaan kebenaran dokumen permohonan SLF, Menteri melakukan verifikasi terhadap:

    1. hasil pemeriksaan kesesuaian dokumen Permohonan SLF; dan

    2. kondisi lapangan dengan laporan pemeriksaan kelaikan fungsi.

    (5)

    Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditemukan ketidaksesuaian dan/atau ketidakbenaran, Menteri menolak melalui surat pemberitahuan dan menyatakan bahwa proses permohonan surat Pernyataan Pemenuhan Standar Teknis harus diulang.


    Pasal 292
    (1)

    Penerbitan SLF untuk BGFK yang sudah ada (existing) sebagaimana dalam Pasal 287 ayat (1) huruf d dilakukan setelah surat pernyataan pemenuhan Standar Teknis dikeluarkan oleh Menteri melalui SIMBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291.

    (2)

    Dalam hal permohonan penerbitan SLF untuk BGFK yang sudah ada (existing) dan belum memiliki PBG, proses penerbitan SLF dilakukan bersamaan dengan proses penerbitan PBG sesuai dengan ketentuan SIMBG.

    (3)

    Proses penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku mutatis mutandis sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 261. Bagian Ketiga Pemanfaatan Paragraf 1 Umum


    Pasal 293
    (1)

    Pemanfaatan Bangunan Gedung merupakan kegiatan:

    1. memanfaatkan Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasinya yang ditetapkan dalam PBG;

    2. Pemeliharaan dan Perawatan; dan

    3. pemeriksaan secara berkala.

    (2)

    Pemanfaatan Bangunan Gedung harus dilaksanakan oleh Pemilik atau Pengguna sesuai dengan fungsi dan klasifikasinya.

    (3)

    Pemilik atau Pengguna harus melaksanakan Pemeliharaan dan Perawatan agar Bangunan Gedung tetap laik fungsi.

    (4)

    Pemilik atau Pengguna bertanggung jawab terhadap kegagalan Bangunan Gedung yang terjadi akibat:

    1. Pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi dan klasifikasi yang ditetapkan dalam PBG; dan/atau

    2. Pemanfaatan yang tidak sesuai dengan manual pengoperasian, Pemeliharaan, dan Perawatan Bangunan Gedung.

    (5)

    Pemilik dapat mengikuti program pertanggungan terhadap kemungkinan kegagalan Bangunan Gedung selama Pemanfaatan Bangunan Gedung.


    Pasal 294
    (1)

    Dalam hal bagian Bangunan Gedung dimiliki atau dimanfaatkan oleh lebih dari satu pihak, para Pengguna bagian Bangunan Gedung menunjuk Pengelola Bangunan Gedung.

    (2)

    Pengelola Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tanggung jawab atas Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung serta perpanjangan SLF. Paragraf 2 Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung


    Pasal 295
    (1)

    Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung dilakukan oleh Pemilik atau Pengguna untuk mengetahui kelaikan fungsi seluruh atau sebagian Bangunan Gedung.

    (2)

    Pemeriksaan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada komponen, peralatan, dan/atau prasarana dan sarana Bangunan Gedung.

    (3)

    Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    1. komponen arsitektural Bangunan Gedung;

    2. komponen struktural Bangunan Gedung;

    3. komponen mekanikal Bangunan Gedung;

    4. komponen elektrikal Bangunan Gedung;

    5. komponen perpipaan (plumbing) Bangunan Gedung; dan

    6. komponen tata ruang luar Bangunan Gedung.

    (4)

    Pemilik atau Pengguna dapat menggunakan penyedia jasa pengkajian teknis untuk melakukan Pemeriksaan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    (5)

    Pemeriksaan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan periode yang ditentukan oleh Standar Teknis untuk setiap jenis elemen Bangunan Gedung atau paling sedikit setiap 6 (enam) bulan sekali.

    (6)

    Pemeriksaan Perkala dapat dilakukan dengan metode:

    1. pengamatan visual;

    2. pemeriksaan mutu bahan;

    3. analisa model; dan/atau

    4. uji beban.

    (7)

    Hasil Pemeriksaan Berkala dituangkan dalam bentuk laporan. Paragraf 3 Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung


    Pasal 296
    (1)

    Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung dilakukan oleh Pemilik atau Pengguna agar Bangunan Gedung tetap laik fungsi.

    (2)

    Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada komponen, peralatan, dan/atau Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung.

    (3)

    Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

    1. komponen arsitektural Bangunan Gedung;

    2. komponen struktural Bangunan Gedung;

    3. komponen mekanikal Bangunan Gedung;

    4. komponen elektrikal Bangunan Gedung;

    5. komponen perpipaan (plumbing) Bangunan Gedung;

    6. komponen tata gerha Bangunan Gedung; dan

    7. komponen ruang luar Bangunan Gedung.

    (4)

    Pemilik atau Pengguna dapat menggunakan penyedia jasa untuk melakukan Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (5)

    Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan periode yang ditentukan oleh Standar Teknis untuk setiap jenis elemen Bangunan Gedung atau paling sedikit setiap 6 (enam) bulan sekali.

    (6)

    Pekerjaan Pemeliharaan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. pembersihan;

    2. perapihan;

    3. pemeriksaan;

    4. pengujian;

    5. perbaikan; dan/atau

    6. penggantian bahan atau perlengkapan Bangunan Gedung.

    (7)

    Pekerjaan Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan berdasarkan pedoman pengoperasian dan Pemeliharaan Bangunan Gedung.

    (8)

    Hasil Pemeliharaan dituangkan dalam bentuk laporan.

    (9)

    Pekerjaan Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. rehabilitasi;

    2. renovasi; atau

    3. restorasi.

    (10)

    Pemilik atau Pengguna harus memperoleh PBG sebelum pekerjaan Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dimulai.

    (11)

    Perolehan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan dengan mengikuti ketentuan penerbitan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 sampai dengan Pasal 262. Paragraf 4 Perpanjangan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung


    Pasal 297
    (1)

    SLF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ayat (1) harus diperpanjang dalam jangka waktu tertentu.

    (2)

    Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. 20 (dua puluh) tahun untuk rumah tinggal tunggal dan deret; dan

    2. 5 (lima) tahun untuk Bangunan Gedung lainnya.

    (3)

    Perpanjangan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan pemeriksaan kelaikan fungsi.

    (4)

    Kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempertimbangkan kesesuaian kondisi lapangan, dan/atau gambar Bangunan Gedung terbangun (as- built drawings) terhadap SLF terakhir serta Standar Teknis.

    (5)

    Dalam hal gambar Bangunan Gedung terbangun (as- built drawings) tidak sesuai dengan kondisi lapangan, Pemilik atau Pengguna harus melakukan penyesuaian terhadap gambar Bangunan Gedung terbangun (as- built drawings) .

    (6)

    Bangunan Gedung dinyatakan laik fungsi jika kondisi lapangan dan gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) sesuai dengan SLF terakhir.

    (7)

    Pembiayaan pemeriksaan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tanggung jawab Pemilik atau Pengguna.


    Pasal 298
    (1)

    Pemeriksaan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 ayat (3) dilakukan oleh penyedia jasa pengkajian teknis.

    (2)

    Dinas Teknis dapat memberikan bantuan teknis berupa pemeriksaan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 ayat (3) untuk rumah tinggal tunggal dan deret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 ayat (2) huruf a.

    (3)

    Penyedia jasa pengkajian teknis atau Dinas Teknis menyusun daftar simak pemeriksaan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

    (4)

    Daftar simak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempertimbangkan laporan Pemeriksaan Berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (7) yang diberikan oleh Pemilik atau Pengguna.

    (5)

    Penyedia jasa pengkajian teknis atau Dinas Teknis mengeluarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi berdasarkan daftar simak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    (6)

    Hasil pemeriksaan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:

    1. surat pernyataan kelaikan fungsi; dan/atau

    2. rekomendasi.

    (7)

    Surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dikeluarkan jika Bangunan Gedung dinyatakan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

    (8)

    Bantuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan biaya retribusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 299
    (1)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (6) huruf b dikeluarkan dalam hal Bangunan Gedung dinyatakan belum laik fungsi.

    (2)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. rekomendasi perbaikan tanpa pembaruan PBG;

    2. rekomendasi pembaruan PBG tanpa perbaikan; atau c. rekomendasi pembaruan PBG dengan perbaikan.

    (3)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikeluarkan jika:

    1. kondisi lapangan dan gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) Bangunan Gedung sesuai dengan SLF terakhir; dan

    2. perbaikan Bangunan Gedung dengan tingkat kerusakan ringan.

    (4)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikeluarkan bersamaan dengan surat pernyataan kelaikan fungsi.

    (5)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikeluarkan jika kondisi terkini Bangunan Gedung dan gambar terbangun (as-built drawings) sesuai dengan Standar Teknis, namun belum sesuai dengan SLF yang terakhir.

    (6)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dikeluarkan jika:

    1. kondisi lapangan dan gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) Bangunan Gedung tidak sesuai dengan Standar Teknis dan tidak sesuai dengan SLF terakhir;

    2. perubahan pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan; dan/atau

    3. perbaikan Bangunan Gedung dengan tingkat kerusakan sedang atau berat.

    (7)

    Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c disertai dengan perkiraan jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi rekomendasi tersebut (8) Perkiraan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun.


    Pasal 300
    (1)

    Pemilik atau Pengguna harus menindaklanjuti rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2).

    (2)

    Dalam hal rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) huruf a telah ditindaklanjuti dengan perbaikan oleh Pemilik atau Pengguna, penyedia jasa Pengkaji Teknis atau Dinas Teknis mengeluarkan surat pernyataan kelaikan fungsi.

    (3)

    Dalam hal penyedia jasa Pengkaji Teknis atau Dinas Teknis mengeluarkan surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (6) huruf a dan Pasal 299 ayat (4) Pemilik atau Pengguna mengajukan perpanjangan SLF kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

    (4)

    Dalam hal pengajuan perpanjangan SLF berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) huruf c, pembaruan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) huruf c tidak melalui proses konsultasi.

    (5)

    SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan bersamaan dengan PBG baru.


    Pasal 301
    (1)

    Dalam hal pengajuan perpanjangan SLF berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) huruf c, pembaruan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) huruf c mengikuti ketentuan penerbitan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 sampai dengan Pasal 262.

    (2)

    Dalam hal penyedia jasa Pengkaji Teknis atau Dinas Teknis mengeluarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) huruf c, Pemilik atau Pengguna dapat mengajukan surat keterangan pemanfaatan sementara kepada DPMPTSP.

    (3)

    Surat keterangan pemanfaatan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar pemanfaatan sementara Bangunan Gedung.

    (4)

    Surat keterangan pemanfaatan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota berdasarkan surat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) huruf c yang dilengkapi dengan:

    1. surat pernyataan kesediaan melakukan perbaikan Bangunan Gedung oleh Pemilik atau Pengguna; dan

    2. surat pernyataan tanggung jawab risiko kegagalan Bangunan Gedung oleh Pemilik atau Pengguna.

    (5)

    Surat keterangan pemanfaatan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dengan ketentuan:

    1. berlaku sementara selama perkiraan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (8); dan b. surat keterangan pemanfaatan sementara tidak dapat diperpanjang.

    (6)

    Surat keterangan pemanfaatan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak berlaku jika:

    1. Pemohon atau Pengguna tidak mulai menindaklanjuti rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) huruf c dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak surat keterangan pemanfaatan sementara diterbitkan; atau

    2. Pemohon atau Pengguna tidak memenuhi rekomendasi dalam jangka waktu ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (7).


    Pasal 302
    (1)

    Dalam hal SLF dan surat keterangan pemanfaatan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 301 sudah tidak berlaku, SBKBG dinyatakan tidak berlaku serta pelayanan utilitas umum kabupaten/kota dicabut hingga Pemilik atau Pengguna memperoleh SLF kembali.

    (2)

    Pengajuan perpanjangan SLF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 ayat (4) dan Pasal 301 ayat (1) serta pengajuan surat keterangan pemanfaatan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 301 ayat (3) dilakukan oleh Pemilik atau Pengguna melalui SIMBG.

    (3)

    SLF dan surat keterangan pemanfaatan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan tanpa dipungut biaya. Paragraf 5 Penatausahaan Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung


    Pasal 303
    (1)

    Penatausahaan SBKBG dilaksanakan dalam hal sebagian atau seluruh isi SBKBG sudah tidak sesuai dengan keadaan yang ada.

    (2)

    Penatausahaan SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila terjadi:

    1. peralihan hak SBKBG;

    2. pembebanan hak SBKBG;

    3. penggantian SBKBG;

    4. perubahan SBKBG;

    5. penghapusan SBKBG; atau

    6. perpanjangan SBKBG.

    (3)

    Penatausahaan SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya.


    Pasal 304
    (1)

    Peralihan hak SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) huruf a dapat dilakukan melalui jual beli, pewarisan, tender, atau perbuatan pemindahan hak lainnya.

    (2)

    Peralihan kepemilikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan cara jual beli dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    (3)

    Permohonan peralihan kepemilikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan cara jual beli paling sedikit harus melampirkan dokumen:

    1. akta notaris; dan

    2. SBKBG.

    (4)

    Peralihan kepemilikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan cara pewarisan paling sedikit harus melampirkan dokumen:

    1. SBKBG;

    2. surat keterangan kematian pewaris;

    3. surat wasiat atau surat keterangan waris; dan

    4. bukti kewarganegaraan ahli waris.

    (5)

    Peralihan kepemilikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan melalui tender, pendaftaran dilakukan dengan menunjukkan kutipan risalah tender yang dibuat oleh pejabat tender dari kelompok kerja pengadaan yang berwenang.


    Pasal 305
    (1)

    Peralihan hak SBKBG yang dilakukan terhadap Bangunan Gedung yang dibangun di atas tanah milik sendiri, pihak yang menerima hak membuat perjanjian pemanfaatan tanah dengan pemilik tanah.

    (2)

    Peralihan hak SBKBG yang dilakukan terhadap Bangunan Gedung yang dibangun di atas tanah milik pihak lain, pihak yang mengalihkan hak harus mendapat persetujuan pemilik tanah.

    (3)

    Pihak yang mengalihkan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersama dengan penerima hak dapat membuat pembaruan perjanjian pemanfaatan tanah dengan pemilik tanah.

    (4)

    Pembaruan perjanjian pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani antara penerima hak dengan pemilik tanah.

    (5)

    Dalam hal BGN, peralihan hak SBKBG dilakukan setelah izin penghapusan barang milik negara diterbitkan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.


    Pasal 306
    (1)

    Permohonan perubahan SBKBG dalam hal terjadinya peralihan hak, diajukan oleh pihak yang menerima hak atau pihak lain yang merupakan kuasanya.

    (2)

    Pembaruan data Bangunan Gedung didaftarkan melalui SIMBG.

    (3)

    Berdasarkan permohonan perubahan hak atas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Pelaksana SBKBG menerbitkan perubahan SBKBG.


    Pasal 307
    (1)

    Pembebanan hak SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) huruf b dapat dilakukan dengan pemanfaatan SBKBG sebagai jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Pemanfaatan SBKBG sebagai jaminan utang dengan dibebani fidusia dikecualikan terhadap BGN.

    (3)

    SBKBG yang dijadikan sebagai jaminan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

    (4)

    SBKBG yang didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatatkan dalam lampiran dokumen SBKBG oleh Pelaksana SBKBG melalui SIMBG.

    (5)

    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit harus melampirkan dokumen:

    1. identitas Pemohon; dan

    2. akta fidusia.


    Pasal 308
    (1)

    Pemilik yang memanfaatkan SBKBG untuk jaminan utang dilarang mengalihkan kepemilikan Bangunan Gedungnya kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Dalam hal Bangunan Gedung dibangun di atas tanah milik sendiri, Bangunan Gedung dapat dibebankan hak tanggungan bersama dengan tanah.

    (3)

    Bangunan Gedung yang dibebankan hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dimanfaatkan sebagai jaminan utang dengan dibebani fidusia.


    Pasal 309
    (1)

    Penggantian SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) huruf c dilakukan karena SBKBG hilang atau rusak sehingga tidak dapat menjadi alat bukti kepemilikan yang sah.

    (2)

    Permohonan penggantian SBKBG dilakukan oleh Pemilik dengan melampirkan bukti berupa laporan kehilangan SBKBG atau kerusakan SBKBG dari pihak yang berwenang.

    (3)

    Permohonan SBKBG pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diajukan oleh pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak atas Bangunan Gedung atau kuasanya.

    (4)

    Berdasarkan permohonan pemegang hak atas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaksana SBKBG menerbitkan SBKBG baru sebagai penggantian SBKBG yang rusak atau hilang.


    Pasal 310
    (1)

    Perubahan SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) huruf d dilakukan apabila terjadi perubahan data bentuk dan/atau fungsi Bangunan Gedung.

    (2)

    Pemilik mengajukan permohonan perubahan SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pelaksana SBKBG dengan melampirkan bukti perubahan fisik Bangunan Gedung.

    (3)

    Permohonan perubahan SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh Pemilik, atau pihak lain yang merupakan kuasanya.

    (4)

    Berdasarkan bukti perubahan fisik maka Pelaksana SBKBG melakukan pembaruan data Bangunan Gedung yang dicatatkan dalam buku Bangunan Gedung sebagai dasar penerbitan SBKBG.

    (5)

    Berdasarkan permohonan pemegang hak atas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaksana SBKBG menerbitkan perubahan SBKBG berdasarkan pembaruan data dalam buku Bangunan Gedung.


    Pasal 311
    (1)

    Penghapusan SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) huruf e dilakukan karena:

    1. tanah dan/atau Bangunan Gedungnya musnah;

    2. perjanjian pemanfaatan tanah berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan;

    3. SLF dinyatakan tidak berlaku; dan/atau

    4. pelepasan hak secara sukarela.

    (2)

    Pemilik mengajukan permohonan penghapusan SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d kepada Pelaksana SBKBG dengan melampirkan bukti berupa surat perjanjian pemanfaatan tanah, surat pernyataan pelepasan hak, dan/atau bukti dokumentasi.

    (3)

    Permohonan penghapusan SBKBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d hanya dapat diajukan oleh Pemilik atau pihak lain yang merupakan kuasanya.

    (4)

    Berdasarkan bukti dokumentasi, Pelaksana SBKBG melakukan pembaruan data Bangunan Gedung yang dicatatkan dalam buku Bangunan Gedung sebagai dasar penerbitan SBKBG.

    (5)

    Berdasarkan permohonan pemegang hak atas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaksana SBKBG menerbitkan penghapusan SBKBG berdasarkan pembaruan data.

    (6)

    Dalam hal Bangunan Gedung milik negara, penghapusan SBKBG dilakukan setelah izin penghapusan barang milik negara diterbitkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 312
    (1)

    Perpanjangan SBKBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) huruf f dilakukan dalam hal jangka waktu perjanjian pemanfaatan tanah yang di atasnya dibangun Bangunan Gedung berakhir.

    (2)

    Perpanjangan SBKBG dilakukan dengan didahului perpanjangan perjanjian pemanfaatan tanah.

    (3)

    Perpanjangan perjanjian pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan keandalan Bangunan Gedung.

    (4)

    Keandalan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan SLF yang masih berlaku. Paragraf 6 Pengawasan Bangunan Gedung pada Masa Pemanfaatan


    Pasal 313
    (1)

    Pengawasan terhadap Pemanfaatan Bangunan Gedung dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota pada saat:

    1. pengajuan perpanjangan SLF;

    2. adanya laporan dari Masyarakat; dan

    3. adanya indikasi Bangunan Gedung berubah fungsi dan/atau Bangunan Gedung membahayakan lingkungan.

    (2)

    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menjaga Bangunan Gedung tetap laik fungsi.

    (3)

    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:

    1. pemantauan Penyelenggaraan Bangunan Gedung pada masa pemanfaatan melalui SIMBG;

    2. menyampaikan pemberitahuan melalui SIMBG kepada Pemilik atau Pengguna apabila ditemukan ketidaksesuaian Pemanfaatan Bangunan Gedung;

    3. melakukan pemeriksaan kondisi lapangan; atau

    4. identifikasi Bangunan Gedung berubah fungsi dan/atau Bangunan Gedung membahayakan lingkungan.

    (4)

    Dalam hal pemeriksaan kondisi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan identifikasi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, Pemerintah Daerah kabupaten/kota menugaskan Penilik.

    (5)

    Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Pembongkaran Bangunan Gedung Paragraf 1 Umum


    Pasal 314
    (1)

    Pembongkaran Bangunan Gedung harus dilaksanakan secara tertib dan mempertimbangkan keamanan, keselamatan Masyarakat, dan lingkungannya.

    (2)

    Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui penetapan perintah Pembongkaran atau persetujuan Pembongkaran oleh Dinas Teknis.

    (3)

    Penetapan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila:

    1. Bangunan Gedung tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi;

    2. Pemanfaatan Bangunan Gedung menimbulkan bahaya bagi Pengguna, Masyarakat, dan lingkungannya; dan/atau

    3. Pemilik tidak menindaklanjuti hasil inspeksi dengan melakukan penyesuaian dan/atau memberikan justifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ayat (3) pada masa pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung.

    (4)

    Persetujuan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila Pembongkaran merupakan inisiatif Pemilik.

    (5)

    Pelaksanaan Pembongkaran Bangunan Gedung dilakukan mengikuti standar Pembongkaran. Paragraf 2 Penetapan Pembongkaran


    Pasal 315
    (1)

    Penetapan Pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (2) dilakukan Dinas Teknis melalui tahap:

    1. identifikasi;

    2. penyampaian hasil identifikasi;

    3. pengkajian teknis;

    4. penyampaian hasil pengkajian teknis; dan

    5. penerbitan surat penetapan Pembongkaran.

    (2)

    Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan:

    1. hasil pengawasan; dan/atau

    2. laporan dari Masyarakat.

    (3)

    Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui pemeriksaan kondisi lapangan Bangunan Gedung yang terindikasi perlu dibongkar.

    (4)

    Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan justifikasi teknis.

    (5)

    Dinas Teknis menyampaikan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Pemilik dan/atau Pengguna.


    Pasal 316
    (1)

    Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 ayat (5) ditindaklanjuti oleh Pemilik atau Pengguna dengan melakukan pengkajian teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 ayat (1) huruf c.

    (2)

    Dalam hal Bangunan Gedung yang akan dibongkar berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m ^2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan rumah tinggal tunggal 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m ^2 (sembilan puluh meter persegi) yang tidak dibangun dengan menggunakan penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi, pengkajian teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh TPT.

    (3)

    Dalam hal Bangunan Gedung yang akan dibongkar selain dimaksud pada ayat (2), pengkajian teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa pengkajian teknis.

    (4)

    Pemilik atau Pengguna harus menindaklanjuti hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (5) Hasil pengkajian teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota melalui SIMBG.


    Pasal 317
    (1)

    Dalam hal hasil pengkajian teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 ayat (5) menyatakan bahwa Bangunan Gedung tidak laik fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (3) huruf a dan/atau Pemanfaatan Bangunan Gedung menimbulkan bahaya bagi Pengguna, Masyarakat, dan dampak penting terhadap lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (3) huruf b, Dinas Teknis menerbitkan surat penetapan Pembongkaran melalui SIMBG.

    (2)

    Surat penetapan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat batas waktu Pembongkaran, prosedur Pembongkaran, dan sanksi administratif terhadap setiap pelanggaran.

    (3)

    Dalam hal Pemilik dan/atau Pengguna tidak melaksanakan Pembongkaran dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pembongkaran dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan dapat menunjuk penyedia jasa Pembongkaran Bangunan Gedung atas biaya Pemilik kecuali bagi Pemilik rumah tinggal yang tidak mampu, biaya Pembongkaran ditanggung oleh Dinas Teknis.

    (4)

    Penyedia jasa Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat RTB.

    (5)

    Dalam hal pelaksanaan Pembongkaran dilakukan oleh Pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Dinas Teknis melakukan inspeksi pelaksanaan Pembongkaran.

    (6)

    Pemilik harus melaksanakan Pembongkaran sesuai batas waktu dan prosedur yang tercantum dalam surat penetapan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

    (7)

    Dalam melaksanakan inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Pemerintah Daerah kabupaten/kota menugaskan Penilik. Paragraf 3 Persetujuan Pembongkaran


    Pasal 318
    (1)

    Persetujuan Pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (2) dilakukan Pemerintah Daerah kabupaten/kota melalui tahap:

    1. pengajuan Pembongkaran;

    2. konsultasi Pembongkaran; dan

    3. penerbitan surat persetujuan Pembongkaran.

    (2)

    Pemilik dapat melakukan pengajuan Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melalui SIMBG kepada Dinas Teknis.

    (3)

    Pengajuan Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi dengan RTB.

    (4)

    Dalam hal Pemilik bukan sebagai pemilik tanah, pengajuan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perlu diketahui dan/atau disetujui oleh pemilik tanah.


    Pasal 319
    (1)

    Dinas Teknis menugaskan Sekretariat untuk menyusun dan menyampaikan jadwal konsultasi Pembongkaran kepada Pemilik melalui SIMBG.

    (2)

    Konsultasi Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh TPA atau TPT dengan Pemilik.

    (3)

    Dalam hal Bangunan Gedung yang akan dibongkar berupa rumah tinggal tunggal 1 (satu) lantai dengan luas paling banyak 72 m ^2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan rumah tinggal tunggal 2 (dua) lantai dengan luas lantai paling banyak 90 m ^2 (sembilan puluh meter persegi) yang tidak dibangun dengan menggunakan penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi, konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh TPT.

    (4)

    Dalam hal Bangunan Gedung yang akan dibongkar selain dimaksud pada ayat (3), konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh TPA.

    (5)

    Pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menugaskan penyedia jasa Pembongkaran.

    (6)

    Konsultasi Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan terhadap:

    1. kesesuaian antara hasil identifikasi kondisi Bangunan Gedung terbangun dan lingkungan dengan metodologi Pembongkaran yang direncanakan; dan

    2. kesesuaian antara RTB dengan Standar Teknis Pembongkaran.

    (7)

    Konsultasi Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan untuk memastikan metodologi Pembongkaran tidak menimbulkan bahaya terhadap Pengguna dan/atau Masyarakat sekitar, dan dampak penting terhadap lingkungannya.


    Pasal 320
    (1)

    Hasil konsultasi Pembongkaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 319 ayat (6) yang dilengkapi dengan pertimbangan teknis dituangkan dalam berita acara.

    (2)

    Berita acara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Dinas Teknis kepada Pemilik melalui SIMBG.

    (3)

    Dalam hal berita acara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) menyatakan metodologi Pembongkaran tidak menimbulkan bahaya terhadap Pengguna dan/atau Masyarakat sekitar, dan dampak penting terhadap lingkungannya, Dinas Teknis menerbitkan surat persetujuan Pembongkaran melalui SIMBG.

    (4)

    Dalam hal berita acara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa metodologi Pembongkaran menimbulkan bahaya terhadap Pengguna dan/atau Masyarakat sekitar, dan dampak penting terhadap lingkungannya, Dinas Teknis memberikan rekomendasi penyesuaian RTB kepada Pemilik yang disampaikan melalui SIMBG.

    (5)

    Pemilik harus memperbaiki RTB sesuai dengan rekomendasi penyesuaian RTB sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

    (6)

    Perbaikan RTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan oleh Pemilik melalui SIMBG untuk dikonsultasikan kembali.

    (7)

    Dalam hal hasil konsultasi kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah menyatakan metodologi Pembongkaran tidak menimbulkan bahaya terhadap Pengguna dan/atau Masyarakat sekitar, dan dampak penting terhadap lingkungannya, Dinas Teknis menerbitkan surat persetujuan Pembongkaran melalui SIMBG. Paragraf 4 Pelaksanaan Pembongkaran


    Pasal 321
    (1)

    Pelaksanaan Pembongkaran dimulai setelah Pemilik memperoleh surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 320 ayat (7).

    (2)

    Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan Pemilik sebelum Pelaksanaan Pembongkaran.

    (3)

    Pemilik dan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan sosialisasi dan pemberitahuan tertulis kepada Masyarakat di sekitar Bangunan Gedung sebelum pelaksanaan Pembongkaran.

    (4)

    Dalam masa pelaksanaan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Dinas Teknis melaksanakan inspeksi.

    (5)

    Dalam melaksanakan inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Daerah kabupaten/kota menugaskan Penilik.

    (6)

    Surat persetujuan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku jika:

    1. Pemilik tidak mulai melaksanakan Pembongkaran dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak surat persetujuan Pembongkaran diterbitkan;

    2. Pemilik tidak melaksanakan Pembongkaran sesuai dengan RTB yang disetujui; dan/atau

    3. Pemilik tidak mengikuti ketentuan prinsip keselamatan dan kesehatan dalam melaksanakan Pembongkaran.

    (7)

    Pembongkaran Bangunan Gedung dapat dilakukan oleh Pemilik dan/atau Pengguna dan dapat menggunakan penyedia jasa Pembongkaran Bangunan Gedung yang memiliki sertifikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (8)

    Khusus untuk Pembongkaran Bangunan Gedung yang menggunakan peralatan berat dan/atau bahan peledak harus dilaksanakan oleh penyedia jasa Pembongkaran Bangunan Gedung. Bagian Kelima Pendataan Bangunan Gedung


    Pasal 322
    (1)

    Proses pendataan Bangunan Gedung dilakukan pada tahap:

    1. perencanaan teknis, meliputi saat permohonan PBG dan permohonan pembaruan PBG;

    2. pelaksanaan konstruksi, yaitu selama proses pelaksanaan konstruksi yang menjadi dasar diterbitkannya SLF dan SBKBG sebelum Bangunan Gedung dimanfaatkan;

    3. pemanfaatan, yaitu pada saat permohonan perpanjangan SLF, pembaruan SBKBG, atau pada Bangunan Gedung terbangun;

    4. Pelestarian, yaitu pada saat Bangunan Gedung dinyatakan sebagai cagar budaya; dan

    5. Pembongkaran Bangunan Gedung.


    Pasal 323
    (1)

    Kelengkapan dokumen Bangunan Gedung yang akan didaftarkan oleh Pemilik atau Pengguna meliputi:

    1. data umum;

    2. data teknis Bangunan Gedung; dan

    3. data status Bangunan Gedung.

    (2)

    Data umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat:

    1. nama Bangunan Gedung;

    2. alamat lokasi Bangunan Gedung;

    3. data kepemilikan;

    4. data tanah;

    5. fungsi dan/atau klasifikasi Bangunan Gedung;

    6. jumlah lantai Bangunan Gedung;

    7. luas lantai dasar Bangunan Gedung;

    8. total luas lantai Bangunan Gedung;

    9. ketinggian Bangunan Gedung;

    10. luas basemen;

    11. jumlah lantai basemen; dan

    12. posisi Bangunan Gedung.

    (3)

    Data teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat gambar Bangunan Gedung terbangun (as-built drawings) .

    (4)

    Data status Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit memuat dokumen:

    1. PBG; dan

    2. SLF.

    (5)

    Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di lengkapi dengan data pendukung.


    Pasal 324

    Setiap Bangunan Gedung yang telah terdata melalui SIMBG mendapatkan nomor induk Bangunan Gedung.


    Pasal 325

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pendataan Bangunan Gedung diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Keenam Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung


    Pasal 326
    (1)

    Proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 ayat (1) dilaksanakan pembinaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota melalui SIMBG.

    (2)

    Proses pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. konsultasi;

    2. penerbitan PBG;

    3. pelaksanaan inspeksi;

    4. penerbitan SLF;

    5. penerbitan SBKBG;

    6. persetujuan RTB; dan

    7. Pendataan Bangunan Gedung.

    (3)

    SIMBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi tentang proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung.

    (4)

    Pengguna SIMBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. Pemerintah Pusat;

    2. Pemerintah Daerah provinsi;

    3. Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

    4. Pemohon; dan

    5. Masyarakat.

    (5)

    SIMBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibangun, dikelola, dan dikembangkan oleh Pemerintah Pusat.

    (6)

    Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a menggunakan SIMBG untuk:

    1. menyelenggarakan BGFK; dan

    2. memantau Penyelenggaraan Bangunan Gedung secara nasional.

    (7)

    Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b menggunakan SIMBG untuk memantau Penyelenggaraan Bangunan Gedung pada tingkat provinsi.

    (8)

    Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c harus menggunakan dan mengoperasikan SIMBG dalam pelaksanaan proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

    (9)

    Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d harus menggunakan SIMBG untuk melakukan proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    (10)

    Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e menggunakan SIMBG untuk mendapatkan informasi tentang proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung. Bagian Ketujuh Sanksi Administratif


    Pasal 327
    (1)

    Setiap Pemilik, Pengelola, Pengguna, Penilik, Penyedia Jasa Konstruksi, Pengkaji Teknis, Profesi Ahli, TPA, dan/atau TPT yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 ayat (2), Pasal 251 ayat (3), Pasal 253 ayat (4), Pasal 274 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 293 ayat (2) dan ayat (3), dan/atau Pasal 321 ayat (2), dikenai sanksi administratif.

    (2)

    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. pembatasan kegiatan:


  109. pembangunan;

  110. pemanfaatan; dan

  111. Pembongkaran;

    1. penghentian sementara atau tetap pada kegiatan:

  112. tahapan pembangunan;

  113. pemanfaatan; dan

  114. Pembongkaran.

    1. pembekuan:

  115. PBG;

  116. SLF; dan

  117. persetujuan Pembongkaran;

    1. pencabutan:

  118. PBG;

  119. SLF; dan

  120. persetujuan Pembongkaran;

    1. penghentian pemberian tugas sebagai TPA selama 3 (tiga) bulan;

    2. dikeluarkan dari basis data TPA;

    3. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;

    4. diusulkan untuk mendapat sanksi dari asosiasi profesi atau perguruan tinggi tempat bernaung;

    5. penghentian sementara atau tetap pada Pemanfaatan Bangunan Gedung;

    6. penghentian pemberian tugas sebagai Penilik; dan/atau l. penghentian tugas sebagai Penilik. BAB V PERAN MASYARAKAT Bagian Kesatu Pemantauan dan Penjagaan Ketertiban

      Pasal 328
      (1)

      Dalam proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Masyarakat dapat berperan untuk memantau dan menjaga ketertiban, baik dalam kegiatan pembangunan, pemanfaatan, Pelestarian, maupun kegiatan Pembongkaran Bangunan Gedung.

      (2)

      Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara objektif, dengan penuh tanggung jawab, dan dengan tidak menimbulkan gangguan dan/atau kerugian bagi Pemilik dan/atau Pengguna, Masyarakat, dan lingkungan.

      (3)

      Masyarakat melakukan pemantauan melalui kegiatan pengamatan, penyampaian masukan, usulan, dan pengaduan.

      (4)

      Dalam melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Masyarakat dapat melakukannya baik secara perorangan, kelompok, organisasi kemasyarakatan, maupun melalui TPA.

      (5)

      Berdasarkan pemantauannya, Masyarakat melaporkan secara tertulis kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap:


    7. indikasi Bangunan Gedung yang tidak laik fungsi; dan/atau b. Bangunan Gedung yang pembangunan, pemanfaatan, Pelestarian, dan/atau Pembongkaran dengan potensi menimbulkan gangguan dan/atau bahaya bagi Pengguna, Masyarakat, dan lingkungannya.

      Pasal 329
      (1)

      Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota harus menindaklanjuti laporan pemantauan Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328 ayat (5) dengan melakukan penelitian dan evaluasi, baik secara administratif maupun secara teknis.

      (2)

      Penelitian dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan lapangan, dan melakukan tindakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (3)

      Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana di maksud pada ayat (2) disampaikan kepada Masyarakat.


      Pasal 330
      (1)

      Masyarakat ikut menjaga ketertiban Penyelenggaraan Bangunan Gedung dengan mencegah setiap perbuatan diri sendiri atau kelompok yang dapat mengurangi tingkat keandalan Bangunan Gedung dan/atau mengganggu Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan lingkungan.

      (2)

      Dalam melaksanakan ketentuan menjaga ketertiban Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Masyarakat dapat melaporkan secara lisan dan/atau tertulis kepada instansi yang berwenang atau kepada pihak yang berkepentingan atas perbuatan setiap orang.


      Pasal 331
      (1)

      Instansi yang berwenang wajib menindaklanjuti laporan Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 ayat (2) dengan melakukan penelitian dan evaluasi baik secara administratif maupun secara teknis.

      (2)

      Penelitian dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemeriksaan lapangan, dan melakukan tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

      (3)

      Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana di maksud pada ayat (2) disampaikan kepada Masyarakat. Bagian Kedua Pemberian Masukan terhadap Penyusunan dan/atau Penyempurnaan Peraturan, Pedoman, dan Standar Teknis


      Pasal 332
      (1)

      Masyarakat dapat memberikan masukan terhadap penyusunan dan/atau penyempurnaan peraturan, pedoman, dan Standar Teknis di bidang Bangunan Gedung kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

      (2)

      Masukan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan baik secara perorangan, kelompok, organisasi kemasyarakatan, maupun melalui TPA dengan mengikuti prosedur dan berdasarkan pertimbangan nilai-nilai sosial budaya setempat.

      (3)

      Masukan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pertimbangan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam penyusunan dan/atau penyempurnaan peraturan, pedoman, dan Standar Teknis di bidang Bangunan Gedung. Bagian Ketiga Penyampaian Pendapat dan Pertimbangan


      Pasal 333
      (1)

      Masyarakat dapat menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada instansi yang berwenang terhadap penyusunan RTBL, rencana induk sistem proteksi kebakaran kota, rencana teknis Bangunan Gedung tertentu dan/atau kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan agar Masyarakat yang bersangkutan ikut memiliki dan bertanggung jawab dalam penataan bangunan dan lingkungannya.

      (2)

      Pendapat dan pertimbangan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan baik secara perorangan, kelompok, organisasi kemasyarakatan, maupun melalui TPA dengan mengikuti prosedur dan dengan mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya setempat.


      Pasal 334
      (1)

      Pendapat dan pertimbangan Masyarakat untuk rencana teknis Bangunan Gedung tertentu dan/atau kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, dapat disampaikan melalui TPA atau dibahas dalam dengar pendapat publik yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, kecuali untuk BGFK difasilitasi oleh Pemerintah Pusat melalui koordinasi dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

      (2)

      Hasil dengar pendapat publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi pertimbangan dalam proses penetapan rencana teknis oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Bagian Keempat Pelaksanaan Gugatan Perwakilan


      Pasal 335
      (1)

      Masyarakat dapat mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (2)

      Masyarakat yang dapat mengajukan gugatan perwakilan adalah:


    8. perorangan atau kelompok orang yang dirugikan, yang mewakili para pihak yang dirugikan akibat adanya proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung yang mengganggu, merugikan, atau membahayakan kepentingan umum; atau

    9. perorangan atau kelompok orang atau organisasi kemasyarakatan yang mewakili para pihak yang dirugikan akibat adanya proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung yang mengganggu, merugikan, atau membahayakan kepentingan umum. BAB VI PEMBINAAN Bagian Kesatu Umum

      Pasal 336
      (1)

      Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, menyelenggarakan pembinaan Bangunan Gedung secara nasional untuk meningkatkan pemenuhan persyaratan dan Penyelenggaraan Bangunan Gedung.

      (2)

      Penyelenggaraan pembinaan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan agar proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan Bangunan Gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.

      (3)

      Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Pemerintah Daerah dan Penyelenggara Bangunan Gedung.

      (4)

      Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:


    10. Pemerintah Daerah provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam bentuk pemberdayaan, pengawasan dan evaluasi proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

    11. Pemerintah Daerah provinsi kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Masyarakat dan penyelenggara Bangunan Gedung dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan terhadap pemenuhan Standar Teknis dan proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung; dan

    12. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Masyarakat dan penyelenggara Bangunan Gedung dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan terhadap pemenuhan Standar Teknis dan proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung. Bagian Kedua Pembinaan oleh Pemerintah Pusat

      Pasal 337
      (1)

      Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan penyusunan dan penyebarluasan norma, standar, prosedur dan kriteria Bangunan Gedung yang bersifat nasional.

      (2)

      Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah dan penyelenggara Bangunan Gedung.

      (3)

      Pemerintah Pusat dapat memberikan bantuan teknis dalam penyusunan kebijakan daerah di bidang Bangunan Gedung yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

      (4)

      Penyebarluasan norma, standar, prosedur dan kriteria Bangunan Gedung dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah.


      Pasal 338
      (1)

      Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 ayat (2) dilakukan kepada Pemerintah Daerah dan penyelenggara Bangunan Gedung.

      (2)

      Pemberdayaan kepada aparat Pemerintah Daerah dan penyelenggara Bangunan Gedung berupa:


    13. peningkatan kesadaran akan hak, kewajiban dan peran dalam proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung melalui sosialisasi, diseminasi, percontohan, dan penegakan hukum termasuk pemberian insentif dan disinsentif; dan

    14. peningkatan kapasitas aparat Pemerintah Daerah dan penyelenggara Bangunan Gedung melalui sosialisasi, diseminasi, dan pelatihan.

      Pasal 339
      (1)

      Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 ayat (2) dilakukan melalui pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundang- undangan bidang Bangunan Gedung dan upaya penegakan hukum.

      (2)

      Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap Penyelenggaraan Bangunan Gedung di daerah dengan cara melakukan evaluasi terhadap substansi teknis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

      (3)

      Apabila terdapat permasalahan di dalam penerapan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah Daerah dapat berkonsultasi kepada Menteri. Bagian Ketiga Pembinaan oleh Pemerintah Daerah Provinsi


      Pasal 340
      (1)

      Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 ayat (4) huruf b dilakukan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota di dalam wilayah provinsi berupa:


    15. peningkatan kesadaran akan hak, kewajiban, dan peran dalam proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung melalui sosialisasi, diseminasi, percontohan, dan penegakan hukum termasuk pemberian insentif dan disinsentif;

    16. peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dan penyelenggara Bangunan Gedung melalui sosialisasi, diseminasi, dan pelatihan; dan

    17. peningkatan kapasitas pelaksanaan tata cara operasionalisasi norma, standar, prosedur dan kriteria di daerah.

      (2)

      Pengawasan sebagaimana dimaksud Pasal 336 ayat (4) huruf b dilakukan melalui pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundang- undangan bidang Bangunan Gedung dan upaya penegakan hukum.

      (3)

      Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara mengevaluasi penerapan norma, standar, prosedur dan kriteria Bangunan Gedung dan proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung di setiap Pemerintah Daerah kabupaten/kota, kecuali Pemerintah Daerah Provinsi untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Bagian Keempat Pembinaan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

      Pasal 341

      Penyebarluasan norma, standar, prosedur, dan kriteria Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 337 ayat (4) dapat dilakukan bersama-sama dengan Masyarakat yang terkait dengan Bangunan Gedung.


      Pasal 342

      (1)

      Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 ayat (4) huruf c dilakukan kepada penyelenggara Bangunan Gedung di wilayahnya.

      (2)

      Pemberdayaan kepada penyelenggara Bangunan Gedung dapat berupa:

    18. penyebarluasan norma, standar, prosedur, dan kriteria Bangunan Gedung dapat dilakukan bersama-sama dengan Masyarakat yang terkait dengan Bangunan Gedung;

    19. peningkatan kesadaran akan hak, kewajiban, dan peran dalam proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung melalui sosialisasi, diseminasi, percontohan, dan penegakan hukum termasuk pemberian insentif dan disinsentif;

    20. peningkatan kapasitas aparat Pemerintah Daerah dan penyelenggara Bangunan Gedung melalui sosialisasi, diseminasi, dan pelatihan; dan

    21. penetapan tata cara atau operasionalisasi pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria di daerah.

      Pasal 343

      Pemberdayaan terhadap Masyarakat yang belum mampu memenuhi Standar Teknis Bangunan Gedung dilakukan bersama-sama dengan Masyarakat yang terkait dengan Bangunan Gedung melalui:


    22. pendampingan pembangunan Bangunan Gedung secara bertahap;

    23. pemberian bantuan percontohan rumah tinggal yang memenuhi Standar Teknis; dan/atau

    24. bantuan penataan bangunan dan lingkungan yang sehat dan serasi.

      Pasal 344
      (1)

      Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 ayat (4) huruf c terhadap pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Penyelenggaraan Bangunan Gedung melalui mekanisme PBG, inspeksi, SLF, SBKBG, dan RTB.

      (2)

      Pemerintah Daerah kabupaten/kota mendayagunakan peran Masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang Bangunan Gedung.


      Pasal 345

      Untuk pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung, ketentuan lebih rinci mengenai:


    25. fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;

    26. standar perencanaan dan perancangan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;

    27. standar pelaksanaan dan pengawasan konstruksi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;

    28. standar Pemanfaatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62;

    29. ketentuan penyelenggaraan BGH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107;

    30. ketentuan Penyelenggaraan BGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124;

    31. ketentuan pelaku Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202; dan

    32. proses Penyelenggaraan Bangunan Gedung melalui SIMBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 ayat (1); tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN

      Pasal 346
      (1)

      Bangunan Gedung yang telah memperoleh perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini izinnya dinyatakan masih tetap berlaku.

      (2)

      Bangunan Gedung yang telah memperoleh izin mendirikan bangunan dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, izinnya masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin.

      (3)

      Bangunan Gedung yang telah berdiri dan belum memiliki PBG, untuk memperoleh PBG harus mengurus SLF berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP


      Pasal 347
      (1)

      Pemerintah Pusat menyediakan basis data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (1), dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku.

      (2)

      Pemerintah Daerah kabupaten/kota harus menyediakan PBG dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku.


      Pasal 348

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    33. Peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532), tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini; dan

    34. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

      Pasal 349

      Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY TAMBAHAN No.6628 INFRASTRUKTUR. Bangunan Gedung. Peraturan Pelaksanaan. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2021 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG I. UMUM Bangunan Gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia. Karena itu, Penyelenggaraan Bangunan Gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan Masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan Bangunan Gedung yang andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Bangunan Gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, pengaturan Bangunan Gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung, setiap Bangunan Gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis Bangunan Gedung. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai pengaturan lebih lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, baik dalam pemenuhan persyaratan yang diperlukan dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung, No. 6628 - 2 - maupun dalam pemenuhan tertib Penyelenggaraan Bangunan Gedung. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mewujudkan Penyelenggaraan Bangunan Gedung yang tertib, baik secara administratif maupun secara teknis, agar terwujud Bangunan Gedung yang fungsional, andal, yang menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan pengguna, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya. Peraturan Pemerintah ini mengatur ketentuan pelaksanaan tentang fungsi Bangunan Gedung, persyaratan Bangunan Gedung, Penyelenggaraan Bangunan Gedung, peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung, dan pembinaan dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung. Pengaturan fungsi Bangunan Gedung dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan agar Bangunan Gedung yang akan didirikan dari awal telah ditetapkan fungsinya, sehingga Masyarakat yang akan mendirikan Bangunan Gedung dapat memenuhi Standar Teknis Bangunan Gedungnya dengan efektif dan efisien, sehingga apabila bermaksud mengubah fungsi yang ditetapkan harus diikuti dengan perubahan Standar Teknis. Di samping itu, agar pemenuhan persyaratan teknis setiap fungsi Bangunan Gedung lebih efektif dan efisien, fungsi Bangunan Gedung tersebut diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat risiko bahaya kebakaran, lokasi, ketinggian, kepemilikan, dan/atau klas bangunan. Pengaturan persyaratan administratif Bangunan Gedung dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan agar Masyarakat mengetahui lebih rinci persyaratan administratif yang diperlukan untuk mendirikan Bangunan Gedung, baik dari segi kejelasan status tanahnya, kejelasan status kepemilikan Bangunan Gedungnya, maupun kepastian hukum bahwa Bangunan Gedung yang didirikan telah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Daerah dalam bentuk Bangunan Gedung. Kejelasan hak atas tanah adalah persyaratan mutlak dalam mendirikan Bangunan Gedung, meskipun dalam Peraturan Pemerintah ini dimungkinkan adanya Bangunan Gedung yang didirikan di atas tanah milik orang/pihak lain dengan perjanjian. Dengan demikian kepemilikan Bangunan Gedung dapat berbeda dengan kepemilikan tanah, sehingga perlu adanya pengaturan yang jelas dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang kepemilikan tanah. No. 6628 -3- Bagi Pemerintah Daerah sendiri, dengan diketahuinya persyaratan administratif Bangunan Gedung oleh Masyarakat luas, khususnya yang akan mendirikan atau memanfaatkan Bangunan Gedung, menjadi suatu kemudahan dan sekaligus tantangan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik. Pelayanan pemrosesan dan pemberian Bangunan Gedung yang transparan, adil, tertib hukum, partisipatif, tanggap, akuntabel, efisien dan efektif, serta profesional, merupakan wujud pelayanan prima yang harus diberikan oleh Pemerintah Daerah. Pengaturan persyaratan teknis dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut persyaratan teknis tata bangunan dan keandalan Bangunan Gedung, agar Masyarakat dalam mendirikan Bangunan Gedung mengetahui secara jelas persyaratan-persyaratan teknis yang harus dipenuhi sehingga Bangunan Gedungnya dapat menjamin keselamatan pengguna dan lingkungannya, dapat ditempati secara aman, sehat, nyaman, dan aksesibel, sehingga secara keseluruhan dapat memberikan jaminan terwujudnya Bangunan Gedung yang fungsional, layak huni, berjati diri, dan produktif, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya. Dengan dipenuhinya persyaratan teknis Bangunan Gedung sesuai fungsi dan klasifikasinya, maka diharapkan kegagalan konstruksi maupun kegagalan Bangunan Gedung dapat dihindari, sehingga Pengguna bangunan dapat hidup lebih tenang dan sehat, rohaniah dan jasmaniah yang akhirnya dapat lebih baik dalam berkeluarga, bekerja, bermasyarakat, dan bernegara. Pengaturan Bangunan Gedung dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, keserasian Bangunan Gedung, dan lingkungannya bagi Masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Oleh karena itu, Masyarakat diupayakan untuk terlibat dan berperan aktif, positif, konstruktif, dan bersinergi bukan hanya dalam rangka pembangunan dan Pemanfaatan Bangunan Gedung untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan Bangunan Gedung dan tertib Penyelenggaraan Bangunan Gedung pada umumnya. Pelaksanaan peran Masyarakat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang organisasi kemasyarakatan, sedangkan pelaksanaan gugatan perwakilan yang merupakan salah satu bentuk peran Masyarakat dalam No. 6628 - 4 - Penyelenggaraan Bangunan Gedung juga mengacu pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan gugatan perwakilan. Pengaturan peran Masyarakat dimaksudkan untuk mendorong tercapainya tujuan Penyelenggaraan Bangunan Gedung yang tertib, fungsional, andal, dapat menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan bagi Pengguna dan Masyarakat di sekitarnya, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya. Pengaturan penyelenggaraan pembinaan dimaksudkan sebagai ketentuan dasar pelaksanaan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung dengan berlandaskan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Pembinaan dilakukan untuk Pemilik Bangunan Gedung, Pengguna Bangunan Gedung, Penyedia Jasa Konstruksi, maupun Masyarakat yang berkepentingan dengan tujuan untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan dan keandalan Bangunan Gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis, serta yang dilaksanakan dengan penguatan kapasitas penyelenggara Bangunan Gedung. Penyelenggaraan Bangunan Gedung tidak terlepas dari peran Penyedia Jasa Konstruksi baik sebagai perencana, pelaksana, pengawas atau manajemen konstruksi maupun jasa-jasa pengembangannya, termasuk penyedia jasa Pengkaji Teknis Bangunan Gedung, dan pelaksanaannya juga berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi. Penegakan hukum menjadi bagian yang penting dalam upaya melindungi kepentingan semua pihak agar memperoleh keadilan dalam hak dan kewajibannya dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung. Penegakan dan penerapan sanksi administratif perlu dimasyarakatkan dan diterapkan secara bertahap agar tidak menimbulkan ekses di lapangan, dengan tetap mempertimbangkan keadilan dan ketentuan perundang-undangan lain. Mengenai sanksi pidana, tata cara pengenaan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) dan Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dilaksanakan dengan tetap mengikuti ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Peraturan Pemerintah ini mengatur hal-hal yang bersifat pokok dan normatif mengenai Penyelenggaraan Bangunan Gedung sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan lain seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, No. 6628 -5- standardisasi nasional, maupun Peraturan Daerah dengan tetap mempertimbangkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini. II. PASAL DEMI PASAL


      Pasal 1

      Cukup jelas.


      Pasal 2

      Cukup jelas.


      Pasal 3

      Cukup jelas.


      Pasal 4

      Cukup jelas.


      Pasal 5

      Ayat (1) Yang dimaksud fungsi hunian meliputi:


    35. rumah tinggal tunggal;

    36. rumah tinggal deret;

    37. rumah susun. Ayat (2) Yang dimaksud fungsi keagamaan meliputi:

    38. bangunan masjid termasuk musala;

    39. bangunan gereja termasuk kapel;

    40. bangunan pura;

    41. bangunan vihara;

    42. bangunan kelenteng;

    43. bangunan peribadatan agama/kepercayaan lainnya yang diakui oleh negara. Ayat (3) Yang dimaksud fungsi usaha meliputi:

    44. Bangunan Gedung perkantoran, termasuk kantor yang disewakan; No. 6628 - 6 - b. Bangunan Gedung perdagangan, seperti warung, toko, pasar dan mal;

    45. Bangunan Gedung perindustrian, seperti pabrik, laboratorium, dan perbengkelan;

    46. untuk Bangunan Gedung laboratorium yang termasuk dalam fungsi usaha adalah laboratorium yang bukan merupakan fasilitas layanan kesehatan dan layanan pendidikan;

    47. Bangunan Gedung perhotelan, seperti wisma, losmen, hostel, motel, rumah kos, hotel, dan kondotel.

    48. bangunan wisata dan rekreasi, seperti gedung pertemuan, olahraga, anjungan, bioskop, dan gedung pertunjukan;

    49. Bangunan Gedung terminal, seperti terminal angkutan darat, stasiun kereta api, bandara, dan pelabuhan laut;

    50. Bangunan Gedung tempat penyimpanan, seperti gudang, tempat pendinginan, dan gedung parkir. Ayat (4) Yang dimaksud fungsi sosial dan budaya meliputi:

    51. Bangunan Gedung pendidikan, termasuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, perguruan tinggi, dan sekolah terpadu;

    52. Bangunan Gedung kebudayaan, termasuk museum, gedung pameran, dan gedung kesenian;

    53. Bangunan Gedung kesehatan, termasuk puskesmas, klinik bersalin, tempat praktik dokter bersama, rumah sakit, dan laboratorium; dan

    54. Bangunan Gedung pelayanan umum lainnya. Ayat (5) Yang dimaksud fungsi khusus meliputi:

    55. mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi untuk kepentingan nasional atau yang penyelenggaraannya dapat membahayakan Masyarakat di sekitarnya dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi, dan penetapannya dilakukan oleh Menteri berdasarkan usulan menteri terkait tempat melakukan kegiatan yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi tingkat nasional; No. 6628 -7- b. sebagai bangunan instalasi pertahanan misalnya kubu- kubu dan atau pangkalan-pangkalan pertahanan (instalasi peluru kendali), pangkalan laut dan pangkalan udara, serta depo amunisi;

    56. Sebagai bangunan instalasi keamanan misalnya laboratorium forensik dan depo amunisi.

      Pasal 6

      Yang dibangun untuk menampung kegiatan dengan tujuan mendapatkan keuntungan.


      Pasal 7

      Ayat (1) Yang dimaksud dengan dampak negatif bagi Pengguna dan lingkungan antara lain:


    57. Bangunan Gedung yang aktivitasnya bisa menyebabkan ledakan atau menimbulkan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) tidak boleh digabungkan dengan aktivitas hunian;

    58. menggabungkan fungsi hunian dengan aktivitas produksi yang dapat mengganggu kesehatan dan keselamatan manusia. Ayat (2) Cukup jelas.

      Pasal 8

      Cukup jelas.


      Pasal 9

      Ayat (1) Klasifikasi Bangunan Gedung merupakan pengklasifikasian lebih lanjut dari fungsi Bangunan Gedung, agar dalam pembangunan dan pemanfaatan Bangunan Gedung dapat lebih tajam dalam penetapan persyaratan administratif dan teknisnya yang harus diterapkan. Dengan ditetapkannya fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung yang akan dibangun, maka pemenuhan persyaratan No. 6628 - 8 - administratif dan teknisnya dapat lebih efektif dan efisien. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) a. Klasifikasi Bangunan Gedung permanen adalah Bangunan Gedung yang rencana penggunaannya lebih dari 5 (lima) tahun.


    59. Klasifikasi Bangunan Gedung nonpermanen adalah Bangunan Gedung yang rencana penggunaannya sampai dengan 5 (lima) tahun. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Klasifikasi berdasarkan lokasi meliputi:

    60. lokasi padat; lokasi padat pada umumnya lokasi yang terletak di daerah perdagangan/pusat kota dan/atau kawasan dengan KDB lebih dari 60% (enam puluh persen).

    61. lokasi sedang; lokasi sedang pada umumnya terletak di daerah permukiman dan/atau kawasan dengan KDB antara 40% (empat puluh persen) hingga 60% (enam puluh persen).

    62. lokasi renggang; lokasi renggang pada umumnya terletak pada daerah pinggiran/luar kota atau daerah yang berfungsi sebagai resapan dan/atau kawasan dengan KDB 40% (empat puluh persen) atau di bawahnya. Ayat (6) Klasifikasi berdasarkan ketinggian meliputi:

    63. bangunan super tinggi adalah Bangunan Gedung dengan jumlah lantai bangunan di atas 100 (seratus) lantai.

    64. bangunan pencakar langit adalah Bangunan Gedung dengan jumlah lantai 40 (empat puluh) – 100 (seratus) lantai.

    65. bangunan bertingkat tinggi adalah Bangunan Gedung dengan jumlah lantai bangunan lebih dari 8 (delapan) lantai;

    66. bangunan bertingkat sedang adalah Bangunan Gedung dengan jumlah lantai bangunan 5 (lima) sampai 8 No. 6628 -9- (delapan) lantai;

    67. bangunan bertingkat rendah adalah Bangunan Gedung dengan jumlah lantai bangunan sampai dengan 4 (empat) lantai. Ayat (7) Cukup jelas.

      Pasal 10

      Cukup jelas.


      Pasal 11

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan perubahan fungsi termasuk perubahan sub fungsi.


      Pasal 12

      Cukup jelas.


      Pasal 13

      Cukup jelas.


      Pasal 14

      Cukup jelas.


      Pasal 15

      Cukup jelas.


      Pasal 16

      Cukup jelas.


      Pasal 17

      Cukup jelas.


      Pasal 18

      Cukup jelas. No. 6628 - 10 -


      Pasal 19

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) KRK merupakan ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi:


    68. fungsi Bangunan Gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;

    69. ketinggian maksimum Bangunan Gedung yang diizinkan;

    70. jumlah lantai/lapis Bangunan Gedung di bawah permukaan tanah dan KTB yang diizinkan;

    71. garis sempadan dan jarak bebas minimum Bangunan Gedung yang diizinkan;

    72. KDB maksimum yang diizinkan;

    73. KLB maksimum yang diizinkan;

    74. KDH minimum yang diwajibkan;

    75. KTB maksimum yang diizinkan; dan

    76. jaringan utilitas kota. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.

      Pasal 20

      Cukup jelas.


      Pasal 21

      Cukup jelas.


      Pasal 22

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) a. aspek daya dukung lingkungan yaitu kemampuan lingkungan untuk menampung kegiatan dan segala No. 6628 -11- akibat/dampak yang ditimbulkan, antara lain kemampuan daya resapan air, ketersediaan air bersih, volume persampahan dan limbah yang ditimbulkan, serta beban transportasi;


    77. aspek keseimbangan lingkungan yaitu terkait pemenuhan proporsi ruang terbuka terhadap ruang terbangun dalam lingkup kawasan;

    78. aspek keselamatan lingkungan yaitu terkait kemudahan akses bagi pemadam kebakaran dan akses terhadap evakuasi pada saat terjadi bencana;

    79. aspek keserasian lingkungan yaitu terkait perwujudan wajah kota yang diharapkan;

    80. aspek perkembangan kawasan yaitu terkait kebijakan pada kawasan yang didorong atau dibatasi pengembangannya. Ayat (3) Cukup jelas.

      Pasal 23

      Ayat (1) Huruf a GSB merupakan garis yang membatasi jarak bebas minimum dari bidang terluar suatu massa Bangunan Gedung terhadap batas as jalan, tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, as jalan kereta api, dan/atau as jaringan listrik tegangan tinggi. Huruf b Yang dimaksud dengan “jarak bangunan dengan batas persil” adalah garis yang membatasi jarak bebas minimum dari bidang terluar suatu massa Bangunan Gedung dengan batas persil. Huruf c Yang dimaksud dengan “jarak antar-Bangunan Gedung” adalah garis yang membatasi jarak bebas minimum dari bidang terluar suatu massa Bangunan Gedung dengan bidang terluar massa Bangunan Gedung lain dalam satu persil. No. 6628 - 12 - Ayat (2) Cukup jelas.


      Pasal 24

      Cukup jelas.


      Pasal 25

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “revitalisasi” adalah upaya untuk meningkatkan nilai lahan/kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.


      Pasal 26

      Cukup jelas.


      Pasal 27

      Cukup jelas.


      Pasal 28

      Cukup jelas.


      Pasal 29

      Ayat (1) Cukup jelas. No. 6628 -13- Ayat (2) Yang dimaksud dengan kuat adalah kondisi struktur Bangunan Gedung yang kemungkinan terjadinya kegagalan struktur Bangunan Gedung sangat kecil, yang kerusakan strukturnya masih dalam batas-batas persyaratan teknis yang masih dapat diterima selama umur bangunan yang direncanakan. Yang dimaksud dengan stabil adalah kondisi struktur Bangunan Gedung yang tidak mudah terguling, miring, atau tergeser selama umur bangunan yang direncanakan. Yang dimaksud dengan kemampuan pelayanan ( serviceability ) adalah kondisi struktur Bangunan Gedung yang selain memenuhi persyaratan keselamatan juga memberikan rasa aman, nyaman, dan selamat bagi Pengguna. Yang dimaksud dengan keawetan adalah umur struktur yang panjang (lifetime) sesuai dengan rencana, tidak mudah rusak, aus, lelah (fatigue) dalam memikul beban. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Beban meliputi:


    81. Beban muatan tetap yaitu beban muatan mati atau berat sendiri Bangunan Gedung dan beban muatan hidup yang timbul akibat fungsi Bangunan Gedung.

    82. Beban muatan sementara yaitu selain gempa dan angin, termasuk beban muatan yang timbul akibat benturan atau dorongan angin, dan lain-lain. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a konstruksi beton terdiri dari konvensional dan pracetak. Pracetak terdiri dari prategang dan bukan prategang. Huruf b Cukup jelas. No. 6628 - 14 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas.

      Pasal 30

      Cukup jelas.


      Pasal 31

      Cukup jelas.


      Pasal 32

      Cukup jelas.


      Pasal 33

      Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “sistem proteksi petir eksternal” adalah sistem proteksi terhadap sambaran langsung. Huruf b Yang dimaksud dengan “sistem proteksi petir internal” adalah sistem proteksi terhadap sambaran petir secara tidak langsung, misalnya imbas melalui grounding listrik, menyambar jaringan listrik sehingga jaringan listrik bertegangan petir. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.


      Pasal 34

      Cukup jelas. No. 6628 -15-


      Pasal 35

      Cukup jelas.


      Pasal 36

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Ventilasi alami merupakan bentuk pertukaran udara secara alamiah tanpa bantuan alat. Huruf b Ventilasi mekanis merupakan bentuk pertukaran udara dengan bantuan alat. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.


      Pasal 37

      Cukup jelas.


      Pasal 38

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Air limbah terdiri atas limbah domestik, limbah industri, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. No. 6628 - 16 - Ayat (4) Cukup jelas.


      Pasal 39

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Sampah rumah tangga berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. Sampah sejenis sampah rumah tangga berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya. Sampah spesifik meliputi:


    83. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;

    84. sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;

    85. sampah yang timbul akibat bencana;

    86. puing bongkaran bangunan;

    87. sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau f. sampah yang timbul secara tidak periodik. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.

      Pasal 40

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. No. 6628 -17- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bahan bangunan lokal yaitu berasal dari lokasi bangunan didirikan dengan mempertimbangkan proses produksi, distribusi, dan pemanfaatan yang tidak merusak atau mengganggu lingkungan hidup.


      Pasal 41

      Cukup jelas.


      Pasal 42

      Cukup jelas.


      Pasal 43

      Cukup jelas.


      Pasal 44

      Cukup jelas.


      Pasal 45

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan getaran dapat berupa getaran tetap maupun getaran tidak tetap. Getaran tetap berasal dari sumber getar tetap seperti: genset, AHU, mesin lift. Getaran tidak tetap dapat berupa getaran kejut, getaran mekanik atau seismik. Getaran tidak tetap berasal dari sumber seperti: kereta api, gempa, pesawat terbang, kegiatan konstruksi. Huruf b Yang dimaksud dengan bising adalah sumber suara mengganggu berupa dengung, gema, atau No. 6628 - 18 - gaung/pantulan suara yang tidak teratur. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.


      Pasal 46

      Cukup jelas.


      Pasal 47

      Cukup jelas.


      Pasal 48

      Cukup jelas.


      Pasal 49

      Cukup jelas.


      Pasal 50

      Cukup jelas.


      Pasal 51

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pihak terkait” antara lain:


    88. Pemilik bangunan terdampak;

    89. Pemerintah Pusat;

    90. Pemerintah Daerah provinsi; dan/atau

    91. Pemerintah Daerah kabupaten/kota. No. 6628 -19- Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas.

      Pasal 52

      Cukup jelas.


      Pasal 53

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penerapan pola tata ruang dalam dilaksanakan untuk mendukung kejelasan orientasi dalam Bangunan Gedung. Huruf c Penerapan pola rancangan dilakukan pada permukaan bidang, material dan elemen alam, dan penempatan perabot. Huruf d Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. No. 6628 - 20 -


      Pasal 54

      Cukup jelas.


      Pasal 55

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Beban statis berupa:


    92. beban akibat berat Bangunan Gedung itu sendiri beserta seluruh isinya.

    93. statis dari luar dalam jangka panjang akibat tekanan tanah. Huruf b Beban dinamik berupa:

    94. beban tekanan dinamik tanah akibat getaran, benturan atau pergerakan dari kendaraan atau kegiatan-kegiatan lainnya dari bangunan prasarana atau sarana umum yang berada di atas permukaan tanah.

    95. beban akibat pukulan gelombang pada bagian- bagian Bangunan Gedung, termasuk pengaruh siraman air terhadap Bangunan Gedung atau beban benturan dari kendaraan air yang merapat ke Bangunan Gedung;

    96. beban benturan akibat benturan dari kendaraan, terutama untuk Bangunan Gedung yang berada di atas jalan umum atau jalur kereta api. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

      Pasal 56

      Cukup jelas. No. 6628 -21-


      Pasal 57

      Cukup jelas.


      Pasal 58

      Cukup jelas.


      Pasal 59

      Cukup jelas.


      Pasal 60

      Cukup jelas.


      Pasal 61

      Cukup jelas.


      Pasal 62

      Cukup jelas.


      Pasal 63

      Cukup jelas.


      Pasal 64

      Ayat (1) Pemeliharaan Bangunan Gedung adalah kegiatan menjaga keandalan Bangunan Gedung beserta prasarana dan sarananya agar Bangunan Gedung selalu laik fungsi (preventive maintenance) . Perawatan Bangunan Gedung adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar Bangunan Gedung tetap laik fungsi (curative maintenance). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. No. 6628 - 22 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyusutan merupakan nilai penurunan atau depresiasi Bangunan Gedung yang dihitung secara sama besar setiap tahunnya selama jangka waktu umur bangunan. Penyusutan Bangunan Gedung ditetapkan sebesar:


    97. 2% (dua persen) per tahun untuk bangunan permanen;

    98. 4% (empat persen) per tahun untuk bangunan semi permanen; atau

    99. 10% (sepuluh persen) per tahun untuk bangunan konstruksi darurat, dengan nilai sisa ( salvage value ) paling sedikit sebesar 20% (dua puluh persen). Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “peningkatan komponen bangunan” antara lain:

    100. peningkatan mutu; dan

    101. peningkatan kelengkapan dan peralatan; dalam rangka pemenuhan Standar Teknis.

      Pasal 65

      Cukup jelas.


      Pasal 66

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. No. 6628 -23- Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan kerusakan ringan adalah kerusakan terutama pada komponen non struktural, seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai, dan dinding pengisi. Perawatan untuk tingkat kerusakan ringan, biayanya maksimum adalah sebesar 35% (tiga puluh lima persen) dari harga satuan tertinggi pembangunan Bangunan Gedung baru yang berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama. Huruf b Yang dimaksud dengan “kerusakan sedang” adalah kerusakan pada sebagian komponen non-struktural, dan atau komponen struktural seperti struktur atap, lantai, dan lain-lain. Huruf c Yang dimaksud dengan “kerusakan berat” adalah kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan, baik struktural maupun non-struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah memperbaiki bangunan yang telah rusak sebagian dengan maksud menggunakan sesuai dengan fungsi tertentu yang tetap, baik arsitektur maupun struktur Bangunan Gedung tetap dipertahankan seperti semula, sedang utilitas dapat berubah. Huruf b Yang dimaksud dengan “renovasi” adalah memperbaiki bangunan yang telah rusak berat sebagian dengan maksud menggunakan sesuai fungsi tertentu yang dapat tetap atau berubah, baik arsitektur, struktur maupun utilitas bangunannya. No. 6628 - 24 - Huruf c Memperbaiki bangunan yang telah rusak berat sebagian dengan maksud menggunakan untuk fungsi tertentu yang dapat tetap atau berubah dengan tetap mempertahankan arsitektur bangunannya sedangkan struktur dan utilitas bangunannya dapat berubah. Ayat (6) Cukup jelas.


      Pasal 67

      Cukup jelas.


      Pasal 68

      Cukup jelas.


      Pasal 69

      Cukup jelas.


      Pasal 70

      Ayat (1) Yang dimaksud dengan “rentang waktu tertentu” adalah dilakukan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tiga bulanan, setiap enam bulanan, setiap tahun, dan dimungkinkan pula diperiksa untuk jadwal waktu yang lebih panjang sesuai dengan jenis elemennya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. No. 6628 -25-


      Pasal 71

      Cukup jelas.


      Pasal 72

      Ayat (1) Huruf a Peninjauan dilakukan terhadap pemanfaatan bangunan termasuk peninjauan tapak bangunan, bagian irisan bangunan dengan bangunan sekitar, jalur pejalan kaki, dan jalan raya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.


      Pasal 73

      Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Jenis limbah yang ada di Bangunan Gedung antara lain:


  121. limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun);

  122. material yang dapat mencemari udara; dan

  123. material yang dapat mengontaminasi tanah. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. No. 6628 - 26 - Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.

    Pasal 74

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Elemen struktur Bangunan Gedung khusus paling sedikit meliputi:

    1. pracetak;

    2. prategang;

    3. struktur statis tertentu ( kantilever, hinged/pin jointed trusses) ;

    4. struktur komposit dan baja;

    5. cladding wall ;

    6. struktur gantung;

    7. fasilitas penampung minyak;

    8. struktur pada perairan;

    9. struktur pada bawah tanah; dan

    10. struktur pendukung tahan atau pada lembah. No. 6628 -27- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Peralatan transportasi dalam gedung meliputi vertikal dan horizontal. Huruf d Peralatan proteksi kebakaran dapat berupa antara lain sprinkler , hidran, dan pompa kebakaran. Huruf f Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Peralatan catu daya antara lain trafo, genset. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Penginderaan dini seperti alarm. Huruf g Cukup jelas.


    Pasal 75

    Cukup jelas. No. 6628 - 28 -


    Pasal 76

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan jaringan publik merupakan pelayanan dari kementerian/lembaga atau perusahaan yang paling sedikit meliputi:

    1. listrik;

    2. air bersih;

    3. gas;

    4. telekomunikasi;

    5. drainase dan drainase kota;

    6. jalur transportasi. Ayat (2) Huruf a Jaringan air bersih harus terhubung guna menyiram puing beton agar tidak terjadi polusi udara. Huruf b Jaringan telekomunikasi tidak diputus agar menjaga keamanan dan komunikasi antara lokasi Pembongkaran dengan lingkungan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. No. 6628 -29-


    Pasal 77

    Cukup jelas.


    Pasal 78

    Cukup jelas.


    Pasal 79

    Cukup jelas.


    Pasal 80

    Cukup jelas.


    Pasal 81

    Cukup jelas.


    Pasal 82

    Cukup jelas.


    Pasal 83

    Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan nilai penting merupakan persyaratan nilai penting BGCB harus dapat menjamin terwujudnya makna dan nilai penting yang meliputi langgam arsitektur, teknik membangun, sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. No. 6628 - 30 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Utilitas meliputi mekanikal, elektrikal, dan perpipaan (plumbing) . Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.


    Pasal 84

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Utilitas meliputi mekanikal, elektrikal dan perpipaan (plumbing) . Huruf d Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. No. 6628 -31-


    Pasal 85

    Cukup jelas.


    Pasal 86

    Cukup jelas.


    Pasal 87

    Cukup jelas.


    Pasal 88

    Cukup jelas.


    Pasal 89

    Cukup jelas.


    Pasal 90

    Cukup jelas.


    Pasal 91

    Cukup jelas.


    Pasal 92

    Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Utilitas meliputi mekanikal, elektrikal dan perpipaan (plumbing) . Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. No. 6628 - 32 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas,. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas.


    Pasal 93

    Cukup jelas.


    Pasal 94

    Cukup jelas.


    Pasal 95

    Cukup jelas.


    Pasal 96

    Cukup jelas.


    Pasal 97

    Cukup jelas.


    Pasal 98

    Cukup jelas.


    Pasal 99

    Cukup jelas. No. 6628 -33-


    Pasal 100

    Cukup jelas.


    Pasal 101

    Cukup jelas.


    Pasal 102

    Cukup jelas.


    Pasal 103

    Ayat (1) Jenis BGFK antara lain:

    1. reaktor nuklir;

    2. instalasi peluru kendali sebagai kubu/pangkalan pertahanan;

    3. pangkalan laut dan udara sebagai instalasi pertahanan;

    4. laboratorium forensik; dan/atau

    5. depo amunisi sebagai instalasi pertahanan atau instalasi keamanan; Standar keamanan (security) adalah persyaratan yang diperlukan untuk melindungi kegiatan terhadap kemungkinan gangguan atau ancaman kerusuhan dan perusakan dari dalam atau dari luar yang mengganggu berjalannya kegiatan dengan menggunakan sistem pendeteksi (detection) , penghalang (delay), dan tindakan (response) terhadap gangguan sesuai dengan standar yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.


    Pasal 104

    Cukup jelas. No. 6628 - 34 -


    Pasal 105

    Cukup jelas.


    Pasal 106

    Cukup jelas.


    Pasal 107

    Cukup jelas.


    Pasal 108

    Cukup jelas.


    Pasal 109

    Cukup jelas.


    Pasal 110

    Cukup jelas.


    Pasal 111

    Cukup jelas.


    Pasal 112

    Cukup jelas.


    Pasal 113

    Cukup jelas.


    Pasal 114

    Cukup jelas.


    Pasal 115

    Cukup jelas.


    Pasal 116

    Cukup jelas. No. 6628 -35-


    Pasal 117

    Cukup jelas.


    Pasal 118

    Cukup jelas.


    Pasal 119

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “rencana kerja H2M” adalah dokumen rencana pemenuhan peraturan dan Standar Teknis BGH pada H2M. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.


    Pasal 120

    Cukup jelas.


    Pasal 121

    Cukup jelas.


    Pasal 122

    Cukup jelas. No. 6628 - 36 -


    Pasal 123

    Cukup jelas.


    Pasal 124

    Cukup jelas.


    Pasal 125

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Perawatan meliputi rehabilitasi, renovasi, dan restorasi. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas.


    Pasal 126

    Cukup jelas. No. 6628 -37-


    Pasal 127

    Cukup jelas.


    Pasal 128

    Cukup jelas.


    Pasal 129

    Cukup jelas.


    Pasal 130

    Cukup jelas.


    Pasal 131

    Cukup jelas.


    Pasal 132

    Cukup jelas.


    Pasal 133

    Cukup jelas.


    Pasal 134

    Cukup jelas.


    Pasal 135

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Rekomendasi diberikan dengan ketentuan:

    1. kinerja tinggi, biaya tinggi (high performance high cost) ;

    2. kinerja optimal, biaya optimal (optimum performance optimum cost ); dan/atau No. 6628 - 38 - c. kinerja optimal, biaya rendah (optimum performance, low cost) . Ayat (5) Cukup jelas.


    Pasal 136

    Cukup jelas.


    Pasal 137

    Cukup jelas.


    Pasal 138

    Cukup jelas.


    Pasal 139

    Cukup jelas.


    Pasal 140

    Cukup jelas.


    Pasal 141

    Cukup jelas.


    Pasal 142

    Cukup jelas.


    Pasal 143

    Cukup jelas.


    Pasal 144

    Cukup jelas.


    Pasal 145

    Cukup jelas.


    Pasal 146

    Cukup jelas. No. 6628 -39-


    Pasal 147

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemerintah Daerah dapat mendelegasikan kepada Dinas Teknis. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas.


    Pasal 148

    Cukup jelas.


    Pasal 149

    Cukup jelas.


    Pasal 150

    Cukup jelas.


    Pasal 151

    Cukup jelas. No. 6628 - 40 -


    Pasal 152

    Cukup jelas.


    Pasal 153

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Sasaran meliputi kuantitas dan kualitas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.


    Pasal 154

    Cukup jelas.


    Pasal 155

    Cukup jelas.


    Pasal 156

    Cukup jelas. No. 6628 -41-


    Pasal 157

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan peningkatan komponen bangunan antara lain:

    1. Peningkatan mutu; dan

    2. Peningkatan kelengkapan dan peralatan; dalam rangka pemenuhan Standar Teknis.


    Pasal 158

    Cukup jelas.


    Pasal 159

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan kerusakan ringan adalah kerusakan terutama pada komponen nonstruktural, seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai, dan dinding pengisi. Huruf b Yang dimaksud dengan kerusakan sedang adalah kerusakan pada sebagian komponen nonstruktural, dan/atau komponen struktural, dengan kondisi:


  124. bangunan tersebut tidak boleh miring lebih dari 1% (satu persen); No. 6628 - 42 - 2. kerusakan struktural tidak lebih dari 30% (tiga puluh persen) khususnya pada sambungan balok- kolom;

  125. tidak melampaui ambang batas deformasi yang diijinkan seperti struktur atap dan lantai. Huruf c Yang dimaksud dengan kerusakan berat adalah kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan, baik nonstruktural maupun struktural dengan kondisi:

  126. bangunan tersebut tidak boleh miring lebih dari 1% (satu persen).

  127. kerusakan struktural melebihi 30% (tiga puluh persen) atau kerusakan pada sambungan kolom- balok;

  128. tidak melampaui ambang batas deformasi yang diijinkan;

  1. yang apabila setelah diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Ayat (3) Cukup jelas.
    Pasal 160

    Cukup jelas.


    Pasal 161

    Cukup jelas.


    Pasal 162

    Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. No. 6628 -43- Huruf e Termasuk di dalamnya apabila ada keinginan dari pengguna barang untuk membongkar bangunan gedung dalam rangka kebutuhan pengguna dan/atau peningkatan kualitas. Huruf f Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.


    Pasal 163

    Ayat (1) Huruf a Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.


    Pasal 164

    Cukup jelas. No. 6628 - 44 -


    Pasal 165

    Cukup jelas.


    Pasal 166

    Cukup jelas.


    Pasal 167

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pekerjaan Pembongkaran dapat dilakukan terintegrasi bila pekerjaan Pembongkaran perlu dilakukan segera di lokasi Pembongkaran guna pembangunan BGN yang baru atau pembangunan fasilitas umum lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.


    Pasal 168

    Cukup jelas.


    Pasal 169

    Cukup jelas.


    Pasal 170

    Cukup jelas.


    Pasal 171

    Cukup jelas.


    Pasal 172

    Cukup jelas. No. 6628 -45-


    Pasal 173

    Ayat (1) Biaya pekerjaan lain yang menyertai atau melengkapi Pembangunan meliputi:

    1. penyiapan lahan dalam kompleks yang meliputi pembentukan kualitas permukaan tanah atau lahan sesuai dengan rancangan, pembuatan tanda lahan, pembersihan lahan, dan Pembongkaran;

    2. pematangan lahan dalam kompleks. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Yang dimaksud harga per m ^2 (meter persegi) adalah harga yang berlaku pada saat ini (biaya standar dan biaya nonstandar). Biaya standar disesuaikan dengan standar harga satuan tertinggi tahun berjalan. Biaya nonstandar dihitung paling banyak 150% (seratus lima puluh persen) dari biaya standar. Biaya tersebut dihitung oleh kementerian/lembaga atau No. 6628 - 46 - organisasi perangkat daerah pada tahap pemrograman. Ayat (13) Cukup jelas. Ayat (14) Cukup jelas. Ayat (15) Cukup jelas. Ayat (16) Cukup jelas.


    Pasal 174

    Cukup jelas.


    Pasal 175

    Cukup jelas.


    Pasal 176

    Cukup jelas.


    Pasal 177

    Cukup jelas.


    Pasal 178

    Cukup jelas.


    Pasal 179

    Cukup jelas.


    Pasal 180

    Cukup jelas.


    Pasal 181

    Cukup jelas.


    Pasal 182

    Cukup jelas. No. 6628 -47-


    Pasal 183

    Cukup jelas.


    Pasal 184

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Tim teknis atau narasumber diperlukan dalam hal Kementerian dimintai saran teknis teknologis sesuai kewenangan Kementerian selaku lembaga teknis. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) Cukup jelas. Huruf e) Cukup jelas. Huruf f) Cukup jelas. Huruf g) Cukup jelas. Huruf h) Cukup jelas. No. 6628 - 48 -


    Pasal 185

    Cukup jelas.


    Pasal 186

    Cukup jelas.


    Pasal 187

    Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Perkiraan biaya pelaksanaan konstruksi dilengkapi dengan spesifikasi teknis. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dokumen rencana utilitas meliputi mekanikal, elektrikal, dan perpipaan (plumbing) . Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Gambar rencana basemen dan detailnya apabila diperlukan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. No. 6628 -49- Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.


    Pasal 188

    Cukup jelas.


    Pasal 189

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud rekomendasi dan kriteria teknis memuat:

    1. pemilihan tapak;

    2. pemilihan objek Bangunan Gedung yang akan ditetapkan sebagai BGH;

    3. penetapan tingkat pencapaian kinerja BGH sesuai dengan kebutuhan;

    4. penetapan metode penyelenggaraan proyek BGH; dan e. pengkajian kelayakan BGH. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penentuan target kinerja dilakukan dengan:

    5. memperkirakan target kinerja berdasarkan nilai rata-rata kinerja Bangunan Gedung sejenis pada umumnya di kawasan yang direncanakan; dan

    6. menentukan asumsi kinerja BGH yang diinginkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah atau dapat ditetapkan minimal 25% (dua puluh lima persen) untuk konservasi energi dan 10% (sepuluh persen) untuk konservasi air di atas kinerja Bangunan Gedung No. 6628 - 50 - sejenis pada umumnya di kawasan yang belum ditentukan target capaian kinerjanya.


    Pasal 190

    Cukup jelas.


    Pasal 191

    Cukup jelas.


    Pasal 192

    Cukup jelas.


    Pasal 193

    Cukup jelas.


    Pasal 194

    Cukup jelas.


    Pasal 195

    Cukup jelas.


    Pasal 196

    Cukup jelas.


    Pasal 197

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Termasuk dokumentasi pelaksanaan SOP pemanfaatan BGH:

    1. kebijakan pelestarian lingkungan;

    2. inovasi dalam Pemeliharaan dan perawatan BGH;

    3. evaluasi energi, air, pencahayaan, suhu, kualitas udara, keamanan, aksesibilitas, dan kesesuaian dengan fungsi Bangunan Gedung masa pemanfaatan BGH; No. 6628 -51- d. tindak lanjut hasil evaluasi; dan

    4. panduan penggunaan BGH untuk pengguna/penghuni. Huruf b Cukup jelas.


    Pasal 198

    Cukup jelas.


    Pasal 199

    Cukup jelas.


    Pasal 200

    Cukup jelas.


    Pasal 201

    Cukup jelas.


    Pasal 202

    Cukup jelas.


    Pasal 203

    Cukup jelas.


    Pasal 204

    Cukup jelas.


    Pasal 205

    Cukup jelas.


    Pasal 206

    Cukup jelas.


    Pasal 207

    Cukup jelas. No. 6628 - 52 -


    Pasal 208

    Cukup jelas.


    Pasal 209

    Cukup jelas.


    Pasal 210

    Cukup jelas.


    Pasal 211

    Cukup jelas.


    Pasal 212

    Cukup jelas.


    Pasal 213

    Cukup jelas.


    Pasal 214

    Cukup jelas.


    Pasal 215

    Cukup jelas.


    Pasal 216

    Cukup jelas.


    Pasal 217

    Cukup jelas.


    Pasal 218

    Cukup jelas.


    Pasal 219

    Cukup jelas. No. 6628 -53-


    Pasal 220

    Cukup jelas.


    Pasal 221

    Cukup jelas.


    Pasal 222

    Cukup jelas.


    Pasal 223

    Cukup jelas.


    Pasal 224

    Cukup jelas.


    Pasal 225

    Cukup jelas.


    Pasal 226

    Cukup jelas.


    Pasal 227

    Cukup jelas.


    Pasal 228

    Cukup jelas.


    Pasal 229

    Cukup jelas.


    Pasal 230

    Cukup jelas.


    Pasal 231

    Cukup jelas. No. 6628 - 54 -


    Pasal 232

    Cukup jelas.


    Pasal 233

    Cukup jelas.


    Pasal 234

    Cukup jelas.


    Pasal 235

    Cukup jelas.


    Pasal 236

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota merupakan dinas teknis yang membidangi Bangunan Gedung. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. No. 6628 -55- Ayat (12) Cukup jelas.


    Pasal 237

    Cukup jelas.


    Pasal 238

    Cukup jelas.


    Pasal 239

    Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Beban tugas TPA diperkirakan berdasarkan perkiraan jumlah permohonan PBG dan RTB yang masuk, kompetensi profesi ahli yang dibutuhkan, ketersediaan profesi ahli di wilayah kabupaten/kota tersebut. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas


    Pasal 240

    Ayat (1) Cukup jelas. No. 6628 - 56 - Ayat (2) Beban tugas TPT diperkirakan berdasarkan perkiraan jumlah permohonan PBG dan RTB yang masuk, kompetensi profesi ahli yang dibutuhkan, ketersediaan profesi ahli di wilayah kabupaten/kota tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c RTB untuk rumah dituangkan dalam bentuk form yang akan disediakan oleh Pemerintah Daerah. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas.


    Pasal 241

    Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dokumentasi dapat berupa berita acara. Huruf e Tata surat menyurat dan administrasi lainnya meliputi semua dokumen yang dihasilkan dalam pelaksanaan tugas TPA, TPT, dan Penilik. No. 6628 -57-


    Pasal 242

    Cukup jelas.


    Pasal 243

    Cukup jelas.


    Pasal 244

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pelaksanaan operasional Bangunan Gedung dengan cara:

    1. menerapkan sistem pengarsipan yang teratur untuk seluruh dokumen, surat-surat, buku-buku manual pengoperasian, Pemeliharaan dan perawatan, serta laporan-laporan yang ada;

    2. mengevaluasi penggunaan bahan dan energi serta biaya operasional;

    3. menyusun dan menyajikan laporan operasional sesuai dengan tata laksana baku (standard operation procedure );

    4. menyusun rencana anggaran kebersihan;

    5. menyusun rencana kerja dan anggaran operasional untuk periode tertentu;

    6. meneliti laporan dan usulan yang disampaikan oleh pemilik dan/atau pengguna;

    7. merumuskan, mengevaluasi dan memberikan rekomendasi serta mengawasi proses pengadaan barang dan jasa yang berkaitan dengan administrasi gedung;

    8. menyusun dan melaporkan penggunaan dana operasional; dan

    9. memeriksa pembelian, pengadaan barang/jasa serta pengeluaran anggaran sesuai wewenang yang ditetapkan; No. 6628 - 58 - Huruf b Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung dengan cara:

    10. memeriksa dan memantau pengoperasian peralatan mekanikal dan elektrikal secara rutin;

    11. mengadakan inspeksi langsung secara periodik ke seluruh ruangan/bangunan untuk memeriksa kondisi mesin, peralatan/perlengkapan bangunan dan instalasi serta utilitas bangunan;

    12. melaksanakan Pemeliharaan, perawatan, dan perbaikan peralatan/perlengkapan gedung, instalasi dan utilitas bangunan;

    13. memantau hasil pekerjaan penyedia jasa (kontraktor) mekanikal dan elektrikal secara rutin;

    14. memeriksa kebersihan secara rutin;

    15. mengendalikan penggunaan bahan dan peralatan pembersih;

    16. mengatur dan mengawasi pelaksanaan kebersihan; dan h. mengatur jadwal kerja Pemeliharaan harian, mingguan dan bulanan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud “mempunyai kompetensi” adalah perorangannya. Ayat (6) Cukup jelas.


    Pasal 245

    Cukup jelas. No. 6628 -59-


    Pasal 246

    Cukup jelas.


    Pasal 247

    Cukup jelas.


    Pasal 248

    Cukup jelas.


    Pasal 249

    Cukup jelas.


    Pasal 250

    Cukup jelas.


    Pasal 251

    Cukup jelas.


    Pasal 252

    Cukup jelas.


    Pasal 253

    Cukup jelas.


    Pasal 254

    Cukup jelas.


    Pasal 255

    Cukup jelas.


    Pasal 256

    Cukup jelas.


    Pasal 257

    Cukup jelas. No. 6628 - 60 -


    Pasal 258

    Cukup jelas.


    Pasal 259

    Cukup jelas.


    Pasal 260

    Cukup jelas.


    Pasal 261

    Cukup jelas.


    Pasal 262

    Cukup jelas.


    Pasal 263

    Cukup jelas.


    Pasal 264

    Cukup jelas.


    Pasal 265

    Cukup jelas.


    Pasal 266

    Cukup jelas.


    Pasal 267

    Cukup jelas.


    Pasal 268

    Cukup jelas.


    Pasal 269

    Cukup jelas. No. 6628 -61-


    Pasal 270

    Cukup jelas.


    Pasal 271

    Cukup jelas.


    Pasal 272

    Cukup jelas.


    Pasal 273

    Cukup jelas.


    Pasal 274

    Cukup jelas.


    Pasal 275

    Cukup jelas.


    Pasal 276

    Cukup jelas.


    Pasal 277

    Cukup jelas.


    Pasal 278

    Cukup jelas.


    Pasal 279

    Cukup jelas.


    Pasal 280

    Cukup jelas.


    Pasal 281

    Cukup jelas. No. 6628 - 62 -


    Pasal 282

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “bertahap” adalah memprioritaskan bangunan gedung umum untuk memperoleh SLF sebelum bangunan gedung lainnya. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Bangunan gedung tertentu dimaksudkan antara lain:

    1. bangunan gedung strategis daerah;

    2. bangunan gedung sosial budaya/keagamaan; dan/atau c. bangunan gedung lainnya yang ditetapkan pemerintah daerah. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. No. 6628 -63- Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Huruf a Data umum mencakup:

    3. identitas pemilik bangunan gedung;

    4. kondisi faktual batas dan luas persil, untuk pemeriksaan kesesuaian dengan KRK;

    5. identitas pemilik dengan dokumen PBG; dan

    6. data tahun mulai dibangun gedung, tahun selesai dibangun, dan proses tahapan pembangunannya (bertahap atau sekaligus). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Ayat (13) Cukup jelas. Ayat (14) Cukup jelas. Ayat (15) Cukup jelas. Ayat (16) Cukup jelas. Ayat (17) Cukup jelas. No. 6628 - 64 -


    Pasal 283

    Ayat (1) Perubahan PBG diajukan dalam hal terdapat:

    1. perubahan tampak;

    2. perubahan pada intensitas bangunan; dan/atau

    3. perubahan fungsi ruang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.


    Pasal 284

    Cukup jelas.


    Pasal 285

    Cukup jelas.


    Pasal 286

    Cukup jelas.


    Pasal 287

    Cukup jelas.


    Pasal 288

    Cukup jelas. No. 6628 -65-


    Pasal 289

    Ayat (1) Perubahan PBG diajukan dalam hal terdapat:

    1. perubahan tampak;

    2. perubahan pada intensitas bangunan; dan/atau

    3. perubahan fungsi ruang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.


    Pasal 290

    Cukup jelas.


    Pasal 291

    Cukup jelas.


    Pasal 292

    Cukup jelas.


    Pasal 293

    Cukup jelas.


    Pasal 294

    Cukup jelas.


    Pasal 295

    Cukup jelas.


    Pasal 296

    Cukup jelas. No. 6628 - 66 -


    Pasal 297

    Cukup jelas.


    Pasal 298

    Cukup jelas.


    Pasal 299

    Cukup jelas.


    Pasal 300

    Cukup jelas.


    Pasal 301

    Cukup jelas.


    Pasal 302

    Cukup jelas.


    Pasal 303

    Cukup jelas.


    Pasal 304

    Cukup jelas.


    Pasal 305

    Cukup jelas.


    Pasal 306

    Cukup jelas.


    Pasal 307

    Cukup jelas.


    Pasal 308

    Cukup jelas. No. 6628 -67-


    Pasal 309

    Cukup jelas.


    Pasal 310

    Cukup jelas.


    Pasal 311

    Cukup jelas.


    Pasal 312

    Cukup jelas.


    Pasal 313

    Cukup jelas.


    Pasal 314

    Cukup jelas.


    Pasal 315

    Cukup jelas.


    Pasal 316

    Cukup jelas.


    Pasal 317

    Cukup jelas.


    Pasal 318

    Cukup jelas.


    Pasal 319

    Cukup jelas.


    Pasal 320

    Cukup jelas. No. 6628 - 68 -


    Pasal 321

    Cukup jelas.


    Pasal 322

    Cukup jelas.


    Pasal 323

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Luas basemen diperlukan apabila Bangunan Gedung tersebut di dalamnya dilengkapi basemen. Huruf k Jumlah lantai basemen diperlukan apabila Bangunan Gedung tersebut di dalamnya dilengkapi basemen. Huruf l Cukup jelas. No. 6628 -69- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.


    Pasal 324

    Cukup jelas.


    Pasal 325

    Cukup jelas.


    Pasal 326

    Cukup jelas.


    Pasal 327

    Cukup jelas.


    Pasal 328

    Cukup jelas.


    Pasal 329

    Cukup jelas.


    Pasal 330

    Cukup jelas.


    Pasal 331

    Cukup jelas.


    Pasal 332

    Cukup jelas.


    Pasal 333

    Cukup jelas. No. 6628 - 70 -


    Pasal 334

    Cukup jelas.


    Pasal 335

    Cukup jelas.


    Pasal 336

    Cukup jelas.


    Pasal 337

    Cukup jelas.


    Pasal 338

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan percontohan Bangunan Gedung antara lain Bangunan Gedung yang memenuhi Standar Teknis, BGH dan BGCB. Huruf b Cukup jelas.


    Pasal 339

    Cukup jelas.


    Pasal 340

    Cukup jelas.


    Pasal 341

    Cukup jelas.


    Pasal 342

    Cukup jelas.


    Pasal 343

    Cukup jelas. No. 6628 -71-


    Pasal 344

    Cukup jelas.


    Pasal 345

    Cukup jelas.


    Pasal 346

    Cukup jelas.


    Pasal 347

    Cukup jelas.


    Pasal 348

    Cukup jelas.


    Pasal 349 Cukup jelas.

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):