Jaminan Luasan Lahan Pertanian

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2019

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat : I Menetapkan PERATURAN PEIVIERINTAH REPUBLIK INDONESIA I{OMOR 65 TAHUN 2019 TENTANG JAMINAN LUASAN LAHAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2Ol3 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Luasan Lahan Pertanian; Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdavaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia ^'Iahun 2Ol3 Nomor 131, TamLrahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nonror 5+33); MEMUTUSKAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG JAMINAN LUASAN LAHAN PERTANIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan 1. Lahan Pertanian adalah bidang lahan yang digu-nakan untuk usaha tani. 2 2. Usaha 2. Usaha Tani adalah kegiatan dalam bidang Pertanian, mulai dari sarana produksi, produksi/budi daya, penanganan pascapanen, pengolahan, pemasaran hasil, dan I atau ^jasa penunjang. 3. Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/ata.u beserta keluarganya yang melakukan Usaha Tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, danf atau peternakan. 4. Jaminan Luasan Lahan Pertanian adalah kebijakan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk memberikan kemudahan kepada Petani dalam memperoleh lahan untuk mengembangkan Usaha Tani. 5. Alih Fungsi Lahan Pertanian adalah perubahan fungsi pemanfaatan Lahan Pertanian untuk kegiatan selain pertanian. 6. Tanah Negara Bebas yang selanjutnya disebut Tanah Negara adalah tanah yang belum dilekati hak atas tanah. 7. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonorn. 9. Menteri adalah menteri yang rnenyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian. BAB II PENYELENGGARAAN JAMINAN LUASAN LAHAN PERTANIAN Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan Jaminan Luasan Lahan Pertanian bagi Petani. (2) Jaminan . (2) Janrinan Luasan Lahan Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dilakukan dengan memberikan kemudahan untuk memperoleh: a. Tanah Negara yang diperuntukkan atau ditetapkan sebagai kawasan pertanian; dan b. Lahan Pertanian yang berasal dari penetapan lahan terlantar yang potensial sebagai Lahan Pertanian. (3) Tanah Negara yang diperuntukkan atau. ditetapkan sebagai kawasan pertanian sebagaimarra dimaksud ^pada ayat (2) huruf a merupakan Tanah Negara ^yang pengiLlas,aannya berada di Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. (4) Selain kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(2), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi pinjaman mcldal bagi Petani. Pasal 3 (1) Penetapan kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan. (21 Ketentuan iebih lanjut mengenai kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Kemudahan untuk Memperoleh Tanah Negara yang Diperuntukkan atau Ditetaokan Sebagai Kawasan Pertanian Pasal 4 (1) Pembe; ian kemudahan untuk memperoleh Tanah Negara yang diperuntukkan atau ditetapkan sebagai kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, paling luas 2 (dua) hektare. (21 Kemudahan untuk memperoleh Tanah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada: a. Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Llsaha Tani dan menggarap paling Iu,.as 2 (dua) hektare; b. Peta.ni yang memiliki lahan dan melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling luas 2 (dua) hektare; dan/atau c. Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Petani sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Petani yang telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima) tahun berturut- turut. Pasal 5 Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diberikan dalam bentuk rzin pengusahaan, rzin pengelolaan, atau rzin pemanfaatan. Pasal 6 Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang dapat mengajukan permohonan rzin pengusahaan, tzin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus: a. berdomisili di kecamatan yang sama dengan lokasi Tanah Negara yang akan diberikan; dan b. terdaftar sebagai anggota atau tergabung dalam kelembagaan Petani. Pasal 7 Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, untuk memperoleh permohonan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati/wali kota dan melampirkan persyaratan yang meliputi. a. fotokopi kartu tanda penduduk atau keterangan domisili sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a; b. surat pernyataan telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima) tahun bertrrrut-turut yang divalidasi oieh kepala desa/ lurah setempat; c. surat pernyataan telah memanfaatkan Tanah Negara, jika Petani telah memanfaatkan Tanah Negara yang divalidasi oleh kepala desa/lurah setempat; dan d. surat keterangan terdaftar sebagai anggota atau tergabung dalam kelembagaan Petani. Pasal B (1) Bupati/wali kota setelah menerima permohonan izrn pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagainrana dimaksud dalam Pasal 7, melakukan verifikasi paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak persyaratan diterima secara lengkap. (21 Jika trasil verifikasi menunjukkan permohonan rzin telah memenuhi persyaratan, bupati/wali kota dalam waktu 5 (lima) hari kerja memberikan izin pengusahaan, rzin pengelolaan, atau izin penranfaatan. (3) Jika hasil verifikasi menunjukkan permohonan izin tidak memenuhi persyaratan, bupati/wali kota dalarn waktu 5 (lima) hari kerja menolak permohonan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau rzin pernanfaatan. (4) Penolakan terhadap permohonan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan alasan penolakan. Pasal 9 Bupati/wali kota dalam memberikan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2\ berkoordinasi dengan kantor pertanahan kabupaten/kota setempat. Pasal 10 Bupati/wali kota dalam memberikan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal I I Pemberian izin pengusahaan, izin pengelolaarr, atau izin pemanfaatan ditetapkan dengan keputusan bupati/wali kota. Pasal 12 Petani yalrg telah memperoleh izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan wajib: a. melakukan Usaha Tani dengan menerapkan cara budi daya pertanian yang baik (good agriculture practices), cara panen hasil pertanian yang baik (good handling practices), dan cara pengolahan hasil pertanian yang baik (good manufactuing p r actice s) ; b. mem.anfaatkan b. memanfaatkan lahan sesuai peruntukkannya; c. menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah; d. mencegah kerusakan lahan; dan e. memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup Pasal 13 Selain kewajibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Petani yang telah memperoleh izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pernanfaatan dilaran g : a. mengalihfungsikan Lahan Pertanian menjadi lahan nonpertanian; b. mengalihkan Lahan Pertanian kepada pihak lain secara keseluruhan atau sebagian kecuali mendapat rzin dari bupati/wali kota; dan c. mengalihkan pengusahaan, pengelolaan, atau pemanfaatan Lahan Pertanian kepada pihak lain. Pasal 14 (1) Izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) berlaku selama Petani yang telah memperoleh izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan: a. melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; dan b. tidak melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (2) Dalam hal kepentingan umum, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dicabut. Bagian Ketiga Kemudahan untuk Memperoleh Lahan Pertanian yang Berasal dari Penetapan Lahan Terlantar yang Potensial Sebagai Lahan Pertanian Pasal 15 (1) Kemudahan untuk memperoleh Lahan Pertanian yang berasal dari penetapan lahan terlantar yang potensial sebagai Lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b diberikan kepada: a. Petani FRESTDEN REPUBLIK INDONESIA -7 - a. Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Usaha Tani dan menggarap paling luas 2 (dua) hektare; b. Petani yang mem"iliki lahan dan melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling luas 2 (dua) hektare; dan/atau c. Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Pemberian kemudahan untuk memperoleh Lahan Pertanian yang berasal dari penetapan lahan terlantar yang potensial sebagai Lahan Pertanian kepada Petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan kepada Petani setempat yang: a. tidak memiliki lahan dan telah mengusahakan Lahan Pertanian di lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan pertanian selama 5 (lima) tahun berturut-turut; atau b. m-rnriliki Lahan Pertanian kurang dari 2 (dua) hekr-are (3) Petani.sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus: a. berdomisili di kecamatan yang sama dengan lokasi tanah terlantar yang akan diberikan; dan b. terdaftar sebagai anggota atau tergabung dalam kelembagaan Petani. (41 Tata cara pemberian kemudahan terlantar dilaksanakan sesuai peratura.n perundang-undangan. memperoleh tanah dengan ketentuan Bagian Keempat F-asilitasi Pinjaman Modal Pasal 16 (1) Fasilitasi pinjaman mcdal sebagaimana dima.ksud dalam Pasal 2 ayat (4) diberikan kepada: a. Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Usaha Tani dan menggarap paling luas 2 (dua) hektare; b. Petani yang memiliki lahan dan melakukan usaha burli daya tanaman pangan pada lahan paling luas 2 (dua) hektare; dan/atau c. Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdaftar sebagai anggota atau tergabrrng dalam kelembagaan Petani. (3) Pinjaman modal sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) digunakan untuk memiliki dan/atau memperluas kepemilikan Lahan Pertanian. Pasal 17 (1) Fasilitasi pinjaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) paling sedikit berupa: a. prosedur mudah; b. persyaratan ringan; dan c. pemberian akses terhadap lembaga perbankan dan/atau lembaga pembiayaan pertanian. (2) Selain fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b, diberikan fasilitasi jaminan untuk memperoleh pinjaman tanpa agunan. (3) Fasilitasi pinjaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kelima Pelatihan Kewirausahaan dan Bantuan Modal Pasal 18 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya membina Petani yang lahannya sudah dimiiiki oleh Petani lain sebagaimana dimaksud daiam Pasal 16 untuk alih profesi. (2) AIih profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi profesi di bidang penanganan kegiatan panen dan pascapanen, teknologi pengolahan, dan pemasaran hasil pertanian (3) Pembinaan bagi Petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelatihan kewirausahaan dan bantuan modal. (4) Pelatihan . (41 Pelatihan ke',r.rrausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi: a. pelatihan kepemimpinan dan manajemen ^pertanian; dan b. pelatihan teknis pertanian. (5) Bantuan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pembinaan Pasal 19 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan ^pembinaan kepada Petani yang telah: a. memperoleh rzin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); b. memperoleh fasilitasi pinjaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan c. aiih profesi sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 18. Pasal 20 Pembinaan kepada Petani sebagaimana dirtraksud dalam Pasal 19 dilakukan melalur: a. pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; b. penerapan cara budi daya pertanian yang baik (good agrianlture practices), cara panen hasil pertanian 1,,ang baik (good handling practices), dan cara pengolahan hasil pertanian yang baik (good manufactuing practices); dan c. bimbingan, supervisi, dan konsult-asi. Bagian Bagian Kedua Pcngawasan Pasal 21 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan. (21 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemantauan, pelaporan, dan evaluasi. Pasal 22 Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat ^(2) dilakukan paling sedikit untuk: a. memverifikasi data penyelenggaraan Jaminan Luasan Lahan Pertanian dengan hasil pemeriksaan lapangan; dan b. mengetahui perkembangan penyelenggaraan Jaminan Luasan Lahan Pertanian. Pasal 23 Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (21 paiing sedikit memuat informasi mengenai: a. luas Lahan Pertanian dan lokasi secara spasial; b. jumlah Peta.ni yang memperoleh Jaminan Luasan Lahan Pertanian; dan c. penilaian terhadap penerapan cara budi daya pertanian yang b4ik (good agrianlture practicesl, cara panen hasil pertanian yang baik (good handling practicesl, dan cara pengolahan hasil pertanian yang baik (good manufactunng practices). Pasal 24 (1) Hasil pengawasan sebagairnana dimaksud dalam Pasal 2l sampai dengan Pasal 23 dituangkan dalam laporan hasil pengawasan. (21 Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara berjenjang dari: a. bupati/wali kota kepada gubernur; dan b. gubernur kepada Menteri. (3) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk dokumen tertulis dan disertai dokumen pendukung lainnya. (4) Laporan (4) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling kurang 1 (satu) tahun sekali atau seu,aktu-waktu jika diperlukan. (5) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 25 Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dunaksud dalam Pasal 21, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan pelaporan sesuai dengan potensi masyarakat setempat. BAB IV SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 26 Petani yang tidak mernenuhi kriteria atau perbyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 15, serta melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dikenakan sanksi administratif oleh bupati/wali kota berupa pencabutan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Peraturan Pemerintah diundangkan. ini mulai berlaku pada tanggal Agar Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 September 2Ol9 ttd JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 September 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2019 TENTANG JAMINAN I.UASAN LAHAN PERTANIAN I. UMUM Lahan Pertanian memiliki nilai ekonomis, sosial, dan religius. Oleh karena itu Lahan Pertanian memiliki peran strategis bagi masyarakat, Indonesia yang bercorak agraris yang sebagian besar penducluknya menggantungkan hidup pada sektor Pertanian. Dalam pembangunan pertanian, lahan merupakan sumber daya pokok dalam Usaha Tani, terutama pada kondisi yang sebagian besar bidang usahanya masih bergantung pada pola pertanian berbasis lahan. Di sisi lain, Iahan merupakan sumber daya alam yang terbatas tetapi kebutuhan terhadap lahan terus meningkat. Dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian yang berbasis lahan, Petani mempunyai peran sentral dan memberikan kontribusi besar. Petani pada umumnya berusaha dengan skala kecil, yaitu rata-rata luas Usaha Tani kurang dari O,5 (nol koma lima) hektare dan bahkan sebagian Petani tidak memiliki sendiri lahan Usaha Tani atau disebut Petani penggarap, yang merupakan buruh tani. Fenomena tersebut menunjukkan indikasi bahwa Petani kecil kian terdesak dan tidak berdaya dengan luasaii Usaha Tani yang sangat sempit. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan dengan membuka akses lahan bagi Petani berlahan sempit dalam peningkatan luasan Lahan Pertanian untuk Usaha Tani melalui penyelenggaraan Jaminan Luasan Lahan Pertanian. Penyelenggaraan Jaminan Luasan L,ahan Pertanian dilakukan dengan menggunakan Tanah Negara untuk Usaha Tani yang diberikan melalui izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Selain itu, untuk menambah luasan lahan meialui kepemilikan lahan, Petani difasilitasi dalam memperoleh pinjaman modal. Adapun Petani yang alih profesi dengan mengalihkan kepemilikan lahan diberikan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan serta bantuan modal. Sasaran Sasaran penyelenggaraan Jaminan Luasan Lahan Pertanian adalah Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Usaha Tani dan menggarap paling luas paling luas 2 (dua) hektare, Petani yang memiliki lahan dan melakukan usaha budi daya tanarnan pangan pada lahan paling luas 2 (dua) hektare, dan/atau Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu pengaturan mengenai Jaminan Luasan Lahan Pertanian dalam peraturan pemerintah dengan ruang lingkup pengaturannya meliputi kemudahan untuk memperoleh Tanah Negara, kemudahan untuk memperoleh tanah terlantar yang potensial sebagai Lahan Pertanian, fasilitasi pinjaman modal, pendidikan dan pelatihan kewirausahaan, serta bantuan modal. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "penguasaannya berada di Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah" adalah pelaksanaan kewenangan mengatur mengenai penggunaan Tanah Negara yang bukan merupakan barang milik negara. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang' dirnaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah peraturan perundang- undangan di bidang hortikultura, perkebunan, peternakan, an usaha mikro, kecil, dan menengah. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 1 1 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6389

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):