Pendidikan Tinggi Keagamaan

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2019

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2OL9 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2OI2 tentang Pendidikan Tinggi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan;

  1. Pasal 5 ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2Ol2 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2Ol2 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336); MEMUTUSKAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN TINGGI KEAGAMAAN. Menetapkan BAB I PENDIDIKAN TINGGI KEAGAMAAN PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -2- BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


  3. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar mahasiswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 2. Pendidikan Tinggi adalah ^jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan k dayaan bangsa Indonesia. 3. Pendidikan Tinggi Keagamaan adalah Pendidikan Tinggi yang diselenggarakan untuk mengkaji dan mengembangkan rumpun ilmu agama serta berbagai rumpun ilmu pengetahuan. 4. Perguruan Tinggi Keagamaan yang selanjutnya disingkat PTK adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi Keagamaan. 5. Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri yang selanjutnya disingkat PTKN adalah PTK yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah.

  4. Perguruan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -3- 6. Perguruan Tinggi Keagamaan Swasta yang selanjutnya disingkat PTKS adalah FrIK yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat. 7. Universitas keagamaan adalah PTK yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam rumpun ilmu agama serta berbagai rumpun ilmu pengetahuan dan/atau teknologi dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam rumpun ilmu agama, dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. 8. Institut keagamaan adalah PTK yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam rumpun ilmu agama dan sejumlah rumpun ilmu pengetahuan dan f atau teknologi tertentu, dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. 9. Sekolah Tinggi keagamaan adalah PIK yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam rumpun ilmu agama, dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.

  5. Ma'had AIA adalah PTK yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) berbasis kitab kuning (turats) dan dirasah islamiyah.

  6. Pasraman adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan PTK Hindu dengan pola pengasramaan dan pengasuhan berbasis keagamaan.

  7. Seminari adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan PTK Katolik dengan pola pengasramaan dan pengasuhan berbasis gereja Katolik.

  8. Program PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -4- 13. Program Studi adalah kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu ^jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi.

  9. Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma adalah kewajiban perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

  10. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa.

  11. Statuta Perguruan Tinggi Keagamaan adalah peraturan dasar pengelolaan perguruan tinggi keagamaan yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional perguruan tinggi keagamaan.

  12. Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat.

  13. Badan Penyelenggara PIKS yang selanjutnya disebut Badan Penyelenggara adalah yayasan, perkumpulan, atau badan hukum nirlaba lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  14. Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan pemerintahan di bidang agama. 20. Kementerian Lain adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan pemerintahan di luar bidang agama. 21. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.

    Pasal 2

    Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi:

    1. penyelenggaraan BAB II PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI KEAGAMAAN Bagian Kesatu Tanggung Jawab, Tugas, Fungsi, dan Wewenang


    Pasal 3
    1. penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Keagamaan; dan

    2. pengelolaan PTK. Menteri bertanggung jawab, bertugas, dan berwenang atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Keagamaan.


    Pasal 4

    Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mencakup:

    1. pengaturan;

    2. perencanaan;

    3. pengawasan, pemantauan, dan evaluasi; dan

    4. pembinaan dan koordinasi.


    Pasal 5
    (1)

    Dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, Menteri memiliki tugas dan wewenang mengatur mengenai:

    1. sistem Pendidikan Tinggi Keagamaan;

    2. anggaran Pendidikan Tinggi Keagamaan;

    3. hak mahasiswa;

    4. akses yang berkeadilan;

    5. mutu Pendidikan Tinggi Keagamaan;

    6. relevansi PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -6- f. relevansi hasil Pendidikan Tinggi Keagamaan; dan g. ketersediaan PTK. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 6
    (1)

    Dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, Menteri memiliki tugas dan wewenang meliputi:

    1. men1rusun dan menetapkan kebijakan umum nasional dalam pengembangan dan koordinasi Pendidikan Tinggi Keagamaan;

    2. men1rusun dan menetapkan kebijakan umum dalam penghimpunan dan pendayagunaan potensi masyarakat untuk mengembangkan Pendidikan Tinggi Keagamaan; dan

    3. mengembangkan Pendidikan Tinggi Keagamaan berdasarkan kebijakan rlmrlm, sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b yang terdiri atas:


  15. rencana pengembangan jangka panjang 25 (dua puluh lima) tahun;

  16. rencana pengembangan jangka menengah atau rencana strategis 5 (lima) tahun; dan

  17. rencana kerja tahunan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Ketentuan mengenai perencarraar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk:

    1. Badan Penyelenggara; dan

    2. PTK.

      (3)

      Ketentuan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat ^(2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 7

      (1)

      Dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang pengawasan, pemantarran, dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, Menteri memiliki tugas dan wewenang men)rusun dan menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi Keagamaan. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan, pemantarlan, dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 8

      (1)

      Dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang pembinaan dan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, Menteri memiliki tugas dan wewenang meliputi:

    3. pemberian dan pencabutan rzin pendirian PTK dan izin pembukaan Program Studi, yang meliputi: f . izin pendirian dan perubahan PTKS serta pencabutan tzin PTKS; dan

  18. izin pembukaan Program Studi dan pencabutan izin Program Studi rumpun ilmu agama;

    1. pemantapan dan peningkatan kapasitas pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber daya PTK, melalui evaluasi berkala pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan Tinggi oleh PTK;

    2. peningkatan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -8- c. peningkatan relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses pada Pendidikan Tinggi Keagamaan secara berkelanjutan, yang meliputi:

  19. penyelarasan pengembangan Pendidikan Tinggi Keagamaan dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

  20. penetapan biaya operasional Pendidikan Tinggi Keagamaan dan subsidi kepada PTKN;

  21. pemberian kesempatan yang lebih luas kepada calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal; dan

  22. peningkatan angka partisipasi kasar untuk Pendidikan Tinggi Keagamaan secara nasional;

    1. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau konsorsium yang melibatkan masyarakat untuk merumuskan kebijakan pengembangan Pendidikan Tinggi Keagamaan, meliputi pengembangan:

  23. Tridharma; dan

  24. rumpun ilmu agama. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Jenis Pendidikan Tinggi Keagamaan

    Pasal 9

    Jenis Pendidikan Tinggi Keagamaan meliputi pendidikan akademik, vokasi, dan profesi. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -9 -


    Pasal 10

    Pendidikan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 merupakan Pendidikan Tinggi Keagamaan program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan rumpun ilmu agama, serta berbagai rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 1 1 Pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 merupakan Pendidikan Tinggi program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu.


    Pasal 12
    (1)

    Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 merupakan Pendidikan Tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus. (2) Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh PTK bekerja sama dengan kementerian/lembaga dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan. (3) Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan dalam bentuk pendidikan profesi bidang keagamaan. Bagian Ketiga PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -10- Bagian Ketiga Pendirian, Perubahan Bentuk dan Perubahan Status, dan Pembubaran Perguruan Tinggi Keagamaan Paragraf 1 Pendirian Perguruan Tinggi Keagamaan


    Pasal 13
    (1)

    Pemerintah atau masyarakat dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi Keagamaan dengan mendirikan PTK. (2) PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas PTKN dan PTKS. (3) PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, serta ma'had alA, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis.


    Pasal 14
    (1)

    Pendirian PTKN berbentuk universitas dan institut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara. (2) Pendirian PTKN berbentuk sekolah tinggi dan akademi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.


    Pasal 15

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 11-


    Pasal 15
    (1)

    Pendirian PTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 harus memenuhi persyaratan:

    1. kelayakan prasarana dari aspek tata ruang, geografis, dan ekologis;

    2. kelayakan potensi calon mahasiswa;

    3. ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan;

    4. kemampuan pembiayaan;

    5. kebutuhan PTK untuk mendukung pembangunan; dan

    6. kelayakan sosial dan budaya. (2) Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendirian PTK harus melampirkan rencana induk pengembangan PTK. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pendirian dan rencana induk pengembangan PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 16
    (1)

    Pendirian PTKS yang berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, dan akademi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (21 dan ayat (3) harus memperoleh izin Menteri. (2) Pendirian PTKS yang berbentuk universitas atau institut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh rekomendasi dari Menteri. (3) Izin pendirian PTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mengajukan permohonan.

    (4)

    Permohonan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 12 (4) Permohonan izin pendirian PTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan oleh Badan Penyelenggara kepada Menteri dengan melampirkan dokumen persyaratan pendirian PTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (5) Dalam hal permohonan pendirian PTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memenuhi persyaratan, Menteri memberikan izin pendirian PTKS. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendirian PTKS diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 17 (1) PTK yang berbentuk Universitas atau institut dapat menyelenggarakan Program Studi rumpun ilmu lain, selain rumpun ilmu agama. (2) Penyelenggaraan Program Studi rumpun ilmu lain, selain rumpun ilmu agama setelah mendapatkan tzin dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi. (3) Penyelenggaraan Program Studi rumpun ilmu lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ^jumlahnya tidak lebih banyak dari Program Studi rumpun ilmu agama. Pasal 18 (1) Pendirian PTKS berbentuk ma'had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dilakukan dengan izin Menteri. (2) Izin pendirian PTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan.

    (3)

    Permohonan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 13- (3) Permohonan izin pendirian PTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diajukan oleh pemrakarsa sesuai dengan persyaratan dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian dan penyelenggaraan ma'had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2 Perubahan Bentuk dan Perubahan Status Perguruan Tinggi Keagamaan


    Pasal 19
    (1)

    Pemerintah dapat mengubah PTKN yang berbentuk akademi, sekolah tinggi, institut, dan universitas sesuai dengan kebutuhan. (2) Perubahan bentuk PTKN dari akademi menjadi sekolah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara. (3) Perubahan bentuk PTKN dari sekolah tinggi menjadi institut dan dari institut menjadi universitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.


    Pasal 20
    (1)

    Menteri dapat mengubah bentuk PTKS dari sekolah tinggi menjadi institut dan/atau dari institut menjadi universitas.

    (2)

    Perubahan . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -14- (2) Perubahan bentuk PTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui permohonan dari Badan Penyelenggara kepada Menteri. (3) Perubahan bentuk PTKS sebagaimana dimaksud pada ayat (21 harus memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri.


    Pasal 21

    (1 (2 PTKS dapat berubah status menjadi PTKN. Dalam hal PTKS berubah statusnya menjadi PTKN, semua kekayaan PTKS menjadi milik negara. Dosen dan tenaga kependidikan pada PTKS yang telah berubah menjadi PTKN diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

    (3)

    Paragraf 3 Pembubaran Pasal 22 (1) Pemerintah dapat membubarkan PTKN yang berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, dan akademi sesuai dengan kebutuhan. (2) Pembubaran PTKN yang berbentuk universitas dan institut ditetapkan dengan Peraturan Presiden setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur Negara. (3) Pembubaran PTKN yang berbentuk sekolah tinggi, dan akademi ditetapkan dengan Peraturan Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur Negara.


    Pasal 23

    Pembubaran PTKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dllak: ukan dengan alasan:

    1. perubahan . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -15- a. perubahan kebijakan Pemerintah peraturan perundang-undangan ;

    2. tidak memenuhi persyaratan sebagai tinggi; dan/atau

    3. dikenai sanksi administratif berat. dan/atau perguruan


    Pasal 24

    Menteri mencabut rzin PTKS yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perguruan tinggi.


    Pasal 25

    Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perubahan bentuk PTKN dan PTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20, perubahan status PTKS menjadi PTKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pembubaran PTKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan pencabutan rzin PTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Penyelenggaraan Program Pendidikan


    Pasal 26
    (1)

    Program Pendidikan pada PTK diselenggarakan oleh fakultas, jurusan, dan Program Studi. (2) Fakultas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk apabila memenuhi sejumlah jurusan dalam 1 (satu) atau beberapa bidang ilmu. (3) Jurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk apabila memenuhi sejumlah Program Studi dalam 1 (satu) bidang ilmu. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t6- (4) Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk untuk 1 (satu) cabang ilmu tertentu apabila telah memiliki bangunan keilmuan secara epistimologis dan berbeda dari cabang ilmu lainnya. (5) Pembidangan atau perumpunan ilmu ke dalam fakultas, jurusan, dan Program Studi menjadi dasar bagi pemberian gelar akademik. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan fakultas, jurusan, dan Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 27
    (1)

    Program Studi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) diselenggarakan atas izin Menteri setelah memenuhi kriteria akreditasi yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. (2) Program Studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kurikulum yang menjadi karakteristik program studi.


    Pasal 28
    (1)

    Program Studi dalam rumpun ilmu humaniora, sosial, alam, formal, dan terapan yang diselenggarakan oleh PTK harus memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi. (2) Program studi dalam rumpun ilmu agama yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang dibina oleh selain Kementerian harus memperoleh tzin dari Menteri.

    (3)

    Ketentuan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin penyelenggaraan Program Studi ilmu agama sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Kurikulum


    Pasal 29

    Kurikulum Pendidikan Tinggi Keagamaan memuat seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi Keagamaan.


    Pasal 30
    (1)

    Kurikulum Pendidikan Tinggi Keagamaan untuk setiap Program Studi di PTK, ditetapkan dan dikembangkan oleh satuan PTK masing-masing dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan keterampilan. (2) Kurikulum Pendidikan Tinggi Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berbasis kompetensi. (3) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 meliputi:

    1. kompetensi utama;

    2. kompetensi pendukung; dan

    3. kompetensi lain.

    (4)

    Ketentuan .

    (4)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kurikulum Pendidikan Tinggi Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat ^(3) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam Gelar, ljazah, dan Sertifikat Profesi


    Pasal 31
    (1)

    Gelar yang diperoleh di PTK harus menggunakan bahasa Indonesia. (21 Penulisan gelar yang diperoleh dari PTK harus mengikuti kaidah bahasa Indonesia. (3) Gelar yang diperoleh dari perguruan tinggi luar negeri digunakan sesuai dengan cara penulisan dan penempatan yang berlaku di negara asal. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai sebutan gelar dan tata cara penulisan gelar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 32
    (1)

    Ijazah diberikan kepada mahasiswa yang telah menyelesaikan proses pembelajaran dalam suatu program pendidikan dan dinyatakan lulus oleh PTK yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ijaza}: , sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditulis dalam bahasa Indonesia. (3) ljazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri Surat Keterangan Pendamping ljazah.


    Pasal 33
    Pasal 33
    (1)

    Surat Keterangan Pendamping ljazah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) diterbitkan oleh PTK yang memberikan rjazah pendidikan akademik, vokasi, dan profesi. (21 Surat Keterangan Pendamping ljazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan dapat disertai terjemahannya dalam bahasa Inggris atau bahasa Arab. (3) Surat Keterangan Pendamping ljazah sebagaimana dimaksud pada ayat (21 disahkan oleh pimpinan PTK.



    Pasal 34

    Ketentuan lebih lanjut mengenai format ljazah, kesetaraan, dan/atau terjemahan rjazah luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 35
    (1)
    (2)

    (s) Lulusan pendidikan profesi diberi sertifikat profesi. Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bentuk pengakuan untuk melakukan praktik profesi. Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh PTK bersama dengan Kementerian, Kementerian Lain, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau organisasi profesi.


    Pasal 36
    Pasal 36

    Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, dan tata cara pemberian sertifikat profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN Bagian Kesatu Umum



    Pasal 37

    Pengelolaan PTK meliputi a. otonomi PTK;

    1. pola pengelolaan PTK;

    2. tata kelola PTK; dan

    3. akuntabilitas publik. Bagian Kedua Otonomi Perguruan Tinggi Keagamaan


    Pasal 38
    (1)

    PTK memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. (2) PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. PTKN;

    2. PTKN Badan Hukum; dan

    3. PTKS. (3) Otonomi pengelolaan PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    4. otonomi di bidang akademik yang meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:


  25. pendidikan;

  26. penelitian PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -21 - 2. penelitian; dan

  27. pengabdian kepada masyarakat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. b. otonomi di bidang nonakademik yang meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan:

  28. organisasi;

  29. keuangan;

  30. kemahasiswaan;

  31. ketenagaan; dan

  32. sarana prasarana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    Pasal 39

    Otonomi pengelolaan pada PTKN meliputi:

    1. bidang akademik terdiri atas:


  33. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan pendidikan terdiri atas: a) persyaratan akademik mahasiswa yang akan diterima; b) kurikulum dan Program Studi; c) proses pembelajaran; d) penilaian hasil belajar; e) persyaratan kelulusan; dan 0 ^wisuda. 2. penetapan norma, kebijakan operasional, serta pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. b. bidang nonakademik terdiri atas:

  34. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan organisasi terdiri atas: a) rencana strategis dan rencana kerja tahunan; dan b) sistem penjaminan mutu internal.

  35. penetapan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -22- 2. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan keuangan terdiri atas: a) membuat perjanjian dengan pihak ketiga dalam lingkup Tridharma; dan b) sistem pencatatan dan pelaporan keuangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 3. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan kemahasiswaan terdiri atas: a) kegiatan kemahasiswaan intrakurikuler dan ekstrakurikuler; b) organisasi kemahasiswaan; dan c) pembinaan bakat dan minat mahasiswa. 4. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan ketenagaan terdiri atas: a) penugasan dan pembinaan sumber daya manusia; dan b) penyusunan target kerja dan ^jenjang karir sumber daya manusia. 5. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan pemanfaatan sarana dan prasarana terdiri atas: a) penggunaan sarana dan prasarana; b) pemeliharaan sarana dan prasarana; dan c) pemanfaatan sarana dan prasarana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    Pasal 40
    (1)

    Kekayaan awal PIKN Badan Hukum berasai dari kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah. (2) Nilai kekayaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

    (3)

    Penatausahaan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -23- (3) Penatausahaan pemisahan kekayaan negara untuk ditempatkan menjadi kekayaan awal PTKN Badan Hukum diselenggarakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. (4) Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibukukan dalam neraca PTKN Badan Hukum dengan pengungkapan yang memadai dalam catatan atas laporan keuangan.


    Pasal 41

    Otonomi pengelolaan pada PTKN Badan Hukum meliputi:

    1. bidang akademik terdiri atas:


  36. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan pendidikan terdiri atas: a) persyaratan akademik mahasiswa yang akan diterima; b) kurikulum dan Program Studi; c) proses pembelajaran; d) penilaian hasil belajar; e) persyaratan kelulusan; dan 0 ^wisuda. 2. penetapan norma, kebijakan operasional, serta pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. b. bidang nonakademik terdiri atas:

  37. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan organisasi terdiri atas: a) rencana strategis dan operasional; b) struktur organisasi dan tata kerja; c) sistem pengendalian dan pengawasan internal; dan d) sistem penjaminan mutu internal. 2. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan keuangan terdiri atas: a) perencanaan. a) perencanaan dan pengelolaan anggaran jangka pendek dan jangka panjang; b) tarif setiap ^jenis layanan pendidikan; c) penerimaan, pembelanjaan, dan pengelolaan uang; d) melakukan investasi ^jangka pendek dan jangka panjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundan g-undan gan ; e) membuat perjanjian dengan pihak ketiga dalam lingkup Tridharma; 0 ^memiliki utang ^dan ^piutang ^jangka ^pendek dan jangka panjang; dan g) sistem pencatatan dan pelaporan keuangan. 3. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan ketenagaan terdiri atas: a) kegiatan kemahasiswaan intrakurikuler dan ekstrakurikuler; b) organisasi kemahasiswaan; dan c) pembinaan bakat dan minat mahasiswa. 4. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan keten agaar, terdiri atas : a) persyaratan dan prosedur penerimaan sumber daya manusia; b) penugasan, pembinaan, dan pengembangan sumber daya manusia; c) penyusunan target kerja dan jenjang karir sumber daya manusia; dan d) pemberhentian sumber daya manusia. 5. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan sarana prasarana terdiri atas: a) pemilikan sarana dan prasarana; b) penggunaan sarana dan prasarana; c) pemanfaatan sarana dan prasarana; dan d) pemeliharaan sarana dan prasarana. Pasal 42. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -25-

    Pasal 42

    Otonomi pengelolaan pada PTKS termasuk yang berbentuk ma'had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis diatur oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Bagian Ketiga Pola Pengelolaan Perguruan Tinggi Keagamaan


    Pasal 43
    (1)

    Pola pengelolaan PTKN terdiri atas:

    1. PTKN dengan pola pengelolaan keuangan negara pada umumnya;

    2. PTKN dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum; atau

    3. PTKN badan hukum. (2) Penetapan dan perubahan pola pengelolaan keuangan PTKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri terhadap PTKN. (3) Penetapan PTKN dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan penetapan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan atas usul Menteri. (41 Penetapan PIKN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. (5) Evaluasi kinerja terhadap PTKN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh tim independen yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.

    (6)

    Ketentuan (6) Ketentuan mengenai kriteria dan prosedur evaluasi kinerja terhadap PTKN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 44

    Pola pengelolaan keuangan PTKS termasuk yang berbentuk ma'had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis ditetapkan oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Bagian Keempat Tata Kelola Perguruan Tinggi Keagamaan Paragraf 1 Organisasi Penyelenggara Perguruan Tinggi Keagamaan Pasal 45 (1) Organisasi penyelenggara merupakan unit kerja PTK yang secara bersama melaksanakan kegiatan Tridharma dan fungsi manajemen sumber daya. (2) Organisasi penyelenggara PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas unsur:

    1. penyusun kebijakan;

    2. pelaksana akademik;

    3. pengawas dan penjaminan mutu;

    4. penunjang akademik atau sumber belajar; dan

    5. pelaksana administrasi atau tata usaha. Paragraf 2 Organ dan Tata Kelola Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri


    Pasal 46

    Organ penyelenggara PTKN paling sedikit terdiri atas:

    1. senat;

    2. pemimpin . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -27 - b. pemimpin;

    3. satuan pengawas internal; dan

    4. dewan penyantun atau nama lain


    Pasal 47
    (1)

    Senat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a merupakan unsur penyusun kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a yang menjalankan fungsi penetapan dan pertimbangan pelaksanaan kebijakan akademik. (2) Senat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki anggota wakil dari dosen yang mewakili bidang ilmu agama dan/atau bidang ilmu lain yang dikembangkan di PTKN.


    Pasal 48
    (1)

    Pemimpin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b merupakan unsur pelaksana akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b yang menjalankan kebijakan akademik serta menetapkan dan menjalankan kebijakan nonakademik dalam pengelolaan PTKN. (21 Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.


    Pasal 49
    (1)

    Pemimpin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) orang, terdiri atas:

    1. wakil pemimpin bidang akademik; dan

    2. wakil pemimpin bidang nonakademik (2) Wakil pemimpin PTKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh pemimpin PTKN.


    Pasal 50

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -28-


    Pasal 50
    (1)

    Satuan pengawas internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c merupakan unsur pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c yang menjalankan fungsi pengawasan nonakademik untuk dan atas nama Pemimpin PTKN. (2) Satuan pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan fungsi pengawasan kinerja. (3) Fungsi pengawasan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (21wajib diatur dalam statuta PTKN. (41 Satuan pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memiliki anggota yang menguasai:

    1. pencatatan dan pelaporan keuangan;

    2. tata kelola perguruan tinggi;

    3. peraturan perundang-undangan di bidang Pendidikan Tinggi Keagamaan; dan

    4. pengelolaan barang milik negara.


    Pasal 51

    Ketentuan mengenai unsur penjaminan mutu, unsur penunjang akademik atau sumber belajar, dan unsur pelaksana administrasi atau tata usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, serta unsur lain yang menjalankan fungsi komplementer diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 52
    (1)

    Dewan penyantun atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf d menjalankan fungsi pertimbangan nonakademik dan fungsi lain yang ditetapkan dalam statuta.

    (2)

    Dewan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -29- (2) Dewan Penyantun atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memiliki anggota yang memiliki:

    1. komitmen untuk memajukan perguruan tinggi; dan

    2. pengalaman mengelola perguruan tinggi.


    Pasal 53
    (1)

    Organ penyelenggara PTKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 52 menjalankan fungsi masing-masing dengan saling menilik dan mengimbangi satu terhadap yang lain. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi penyelenggara PTKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan pasal 52 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Organ dan Tata Kelola Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri Badan Hukum


    Pasal 54

    Organ penyelenggara PTKN Badan Hukum paling sedikit terdiri atas:

    1. majelis wali amanat sebagai unsur penyusun kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (21huruf a yang menjalankan fungsi penetapan, pertimbangan pelaksanaan kebijakan rlmum, dan pengawasan nonakademik;

    2. pemimpin PTKN sebagai unsur pelaksana akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b yang menjalankan fungsi Pengelolaan PTK dan bertanggung ^jawab kepada wali amanat; dan

    3. senat akademik yang menjalankan fungsi penetapan kebijakan, peffiberian pertimbangan, dan pengawasan di bidang akademik.


    Pasal 55

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -30- Pasal 55 (1) Majelis wali amanat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a membentuk komite audit atau nama lain sebagai unsur pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c, untuk menjalankan fungsi pengawasan nonakademik. (2) Majelis wali amanat dapat memiliki anggota yang berasal dari:

    1. unsur Pemerintah;

    2. unsur dosen;

    3. unsur masyarakat; dan

    4. unsur lain.


    Pasal 56

    Pemimpin PTKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) orang terdiri atas:

    1. wakil pemimpin bidang akademik; dan

    2. wakil pemimpin bidang nonakademik.


    Pasal 57

    Senat akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf c memiliki anggota wakil dari dosen yang mewakili bidang ilmu agama dan/atau bidang ilmu lain yang dikembangkan di PTKN.


    Pasal 58

    Unsur pengawas dan penjaminan mutu, unsur penunjang akademik atau sumber belajar, dan unsur pelaksana administrasi atau tata usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c, huruf d, dan huruf e di dalam organisasi penyelenggara PTKN Badan Hukum, serta organ lain yang menjalankan fungsi komplementer ditetapkan dalam statuta masing-masing PTKN Badan Hukum.


    Pasal 59

    Paragraf 4 Organ dan Tata Kelola Perguruan Tinggi Keagamaan Swasta


    Pasal 61

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -31 -


    Pasal 59

    Komite audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) paling sedikit memiliki anggota yang menguasai:

    1. pencatatan dan pelaporan keuangan;

    2. tata kelola PTKN;

    3. peraturan perundang-undangan di bidang Pendidikan Tinggi Keagamaan; dan

    4. pengelolaan barang milik negara. Pasal 60 (1) Organ penyelenggara PTKN Badan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 59 menjalankan fungsi masing- masing dengan saling menilik dan mengimbangi satu terhadap yang lain. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi penyelenggara PTKN Badan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 59 diatur dalam Statuta PTKN Badan Hukum.

      (1)

      Organ PTKS serta ma'had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis ditetapkan oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai organisasi dan tata kelola PTKS serta ma'had aly, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam statuta PTKS dan ditetapkan dengan peraturan Badan Penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Paragraf 5 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -32- Paragraf 5 Statuta


    Pasal 62
    (1)

    Statuta PTKN ditetapkan oleh Menteri. (2) Statuta PTKN Badan Hukum ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. (3) Statuta PTKN dan PTKN Badan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat:

    1. ketentuan umum;

    2. identitas;

    3. penyelenggaraan Tridharma;

    4. sistem pengelolaan;

    5. sistem penjaminan mutu internal;

    6. bentuk dan tata cara penetapan peraturan;

    7. pendanaan dan kekayaan;

    8. ketentuan peralihan; dan

    9. ketentuan penutup. (4\ Substansi dan sistematika statuta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan dengan kebutuhan PTKN dan PTKN Badan Hukum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan statuta PTKN dan PTKN Badan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Akuntabilitas Publik Perguruan Tinggi Keagamaan


    Pasal 63
    (1)

    Akuntabilitas publik PTK diwujudkan melalui pemenuhan atas:

    1. kewajiban menjalankan visi dan misi Pendidikan Tinggi Keagamaan sesuat rzin WK dan izin Program Studi;

    2. target kinerja yang ditetapkan oleh:


  38. Menteri 1. Menteri bagi PTKN;

  39. majelis wali amanat bagi PTKN Badan Hukum; atau

  1. Badan Penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PTKS. c. Standar Nasional Pendidikan Tinggi melalui penerapan sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi Keagamaan yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Pemenuhan akuntabilitas publik PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam bentuk laporan tahunan. (3) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri, senat, atau Badan Penyelenggara sesuai dengan kewenangan masing-masing. (4) Ringkasan laporan tahunan PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diumumkan paling sedikit dalam 1 (satu) media cetak nasional dan 1 (satu) media cetak lokal serta dalam situs web PTK. (5) Ketentuan mengenai akuntabilitas publik PTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam statuta PTK. BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN
    Pasal 64
    (1)

    Penilaian dan penetapan angka kredit dari jabatan asisten ahli pangkat/golongan penata muda, IIIla, sampai dengan lektor, penata tingkat I, \I I d, dinilai dan ditetapkan oleh rektor atau ketua. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -34- (2) Penilaian dan penetapan angka kredit ^jabatan lektor kepala pangkatlgolongan pembina, lY la, sampai dengan pembina utama muda, IY f c, dan jabatan profesor pangkat/golongan pembina utama madya, IV/d sampai dengan pembina utama, IV le, untuk rumpun ilmu agama dinilai dan ditetapkan oleh Menteri. BAB V KETENTUAN PERALIHAN


    Pasal 65

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Keagamaan dan pengelolaan PTK dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP


    Pasal 66

    Semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus ditetapkan paling larna 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.


    Pasal 67

    Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Ind JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2Ol9 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENDIDIKAN TINGGI KEAGAMAAN I. UMUM Pendidikan Tinggi Keagamaan merupakan jenjang Pendidikan Tinggi setelah pendidikan menengah yang bertujuan mengembangkan potensi mahasiswa untuk mengkaji ilmu agama yang berwawasan integrasi ilmu, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Misi utama PTK adalah mencari, menemukan, menyebarluaskan, dan menjunjung tinggi kebenaran. Agar misi tersebut dapat diwujudkan, maka perguruan tinggi sebagai penyelenggara Pendidikan Tinggi harus bebas dari pengaruh, tekanan, dan kontaminasi apapun seperti kekuatan politik dan/atau kekuatan ekonomi, sehingga Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dapat dilaksanakan berdasarkan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. T\rgas utama negara di dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi adalah menjamin mutu Pendidikan Tinggi sehingga kepentingan masyarakat tidak dirugikan. Sedangkan tugas utama negara dalam pengelolaan perguruan tinggi adalah untuk menjamin agar otonomi perguruan tinggi dapat diwujudkan. Berdasarkan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -2- Berdasarkan kerangka berpikir di atas, Peraturan Pemerintah ini dirancang dan ditetapkan untuk mengatur tugas dan wewenang serta pelaksanaan tugas negara tersebut oleh Pemerintah. II. PASAL DEMI PASAL


    Pasal 1

    Cukup ^jelas.


    Pasal 2

    Cukup ^jelas.


    Pasal 3

    Cukup ^jelas.


    Pasal 4

    Cukup ^jelas.


    Pasal 5

    Cukup ^jelas.


    Pasal 6

    Cukup ^jelas.


    Pasal 7

    Cukup ^jelas.


    Pasal 8

    Cukup jelas.


    Pasal 9

    Cukup ^jelas.


    Pasal 10

    Cukup ^jelas. Pasal 1 1 Cukup ^jelas.


    Pasal 12

    Cukup jelas.


    Pasal 13
    Pasal 13

    Cukup ^jelas.



    Pasal 14

    Cukup ^jelas.


    Pasal 15

    Cukup ^jelas.


    Pasal 16

    Cukup ^jelas.


    Pasal 17

    Cukup ^jelas.


    Pasal 18

    Cukup jelas.


    Pasal 19

    Cukup jelas.


    Pasal 20

    Cukup jelas.


    Pasal 21

    Cukup ^jelas.


    Pasal 22

    Cukup ^jelas.


    Pasal 23

    Cukup ^jelas.


    Pasal 24

    Cukup jelas.


    Pasal 25

    Cukup ^jelas.


    Pasal 26

    Cukup jelas.


    Pasal 27

    Cukup ^jelas.


    Pasal 28
    Pasal 28

    Cukup ^jelas.



    Pasal 29

    Cukup ^jelas.


    Pasal 30

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kurikulum Pendidikan Tinggi Keagamaan berbasis kompetensi" adalah kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan tugas-tugas dengan standar performansi tertentu untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat mahasiswa agar dapat melakukan sesuatu dengan mahir, tepat, berhasil, dan penuh tanggung jawab. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas.


    Pasal 31

    Cukup ^jelas.


    Pasal 32

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -5- Ayat (3) Yang dimaksud dengan "Surat Keterangan Pendamping Ijazah" adalah penjelasan mengenai kompetensi dan capaian pembelajaran peserta didik baik dalam maupun di luar Program Studi.


    Pasal 33

    Cukup jelas.


    Pasal 34

    Cukup ^jelas.


    Pasal 35

    Cukup ^jelas.


    Pasal 36

    Cukup ^jelas.


    Pasal 37

    Cukup ^jelas.


    Pasal 38

    Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup ^jelas. Angka 4


    Pasal 39

    Cukup jelas.


    Pasal 40

    Cukup ^jelas.


    Pasal 41

    Cukup ^jelas.


    Pasal 42

    Cukup ^jelas.


    Pasal 43

    Cukup ^jelas.


    Pasal 44

    Cukup jelas.


    Pasal 45

    Cukup ^jelas.


    Pasal 46

    Cukup ^jelas.


    Pasal 47

    Cukup ^jelas.


    Pasal 48

    Cukup jelas.


    Pasal 49

    Cukup jelas.


    Pasal 50

    Cukup jelas. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -6- Angka 4 Yang dimaksud dengan "ketenagaan" terdiri atas dosen dan tenaga kependidikan. Angka 5 Cukup ^jelas.


    Pasal 51

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -7 -


    Pasal 51

    Cukup ^jelas.


    Pasal 52

    Cukup ^jelas.


    Pasal 53

    Cukup ^jelas.


    Pasal 54

    Cukup ^jelas.


    Pasal 55

    Cukup ^jelas.


    Pasal 56

    Cukup ^jelas.


    Pasal 57

    Cukup jelas.


    Pasal 58

    Cukup ^jelas.


    Pasal 59

    Cukup ^jelas.


    Pasal 60

    Cukup ^jelas.


    Pasal 61

    Cukup ^jelas.


    Pasal 62

    Cukup jelas.


    Pasal 63

    Cukup ^jelas.


    Pasal 64

    Cukup ^jelas.


    Pasal 65

    Cukup ^jelas.


    Pasal 66

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -8-


    Pasal 66

    Cukup ^jelas.


    Pasal 67 Cukup ^jelas.

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):