Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019

Kerangka<< >>

PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2019 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TE NTANG JAMINAN PRODUK HALAL Mcnirnbang Mengingat : \1enctapkan DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bah wa untuk melaksanakan ketentuan Pas al 11, Pas al 16, Pasal 21 ayat (3), Pasal 44 ayat (3), Pasal 46 ayat (3), Pasal 47 ayat (4), Pasal 52 , dan Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Hala l, perlu rnenetapkan Peraturan Pernerintah tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 T ahun 2014 tentang Jarninan Produk Halal; l. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Und ang-Un dang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republ ik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604 ); MEMUTUSKAN: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL. PRES I DEN REPUBUK INDONESIA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Jaminan Produk Halal, yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukurp. _ terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

  2. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik , produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan , atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

  3. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat I sla: m.

  4. Proses Produk Halal, yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, · penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Prociuk.

  5. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk.

  6. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Prociuk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

  7. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Prod u k.

  8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. 9. Badan Penyclenggara Jaminan Produk Halal, yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 10. Kepala Badan adalah Kepala BPJPH. 11. Majelis Ulama Indonesia, yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim.

  9. Lembaga Pemeriksa Halal, yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/ a tau pengujj~n terhadap kehalalan Produk.

  10. Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk.

  11. Pelaku U saha adalah orang perseorangan a tau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia .

  12. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH.

    Pasal 2
    (1)

    Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

    (2)

    Produk yang berasal dari Bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal.

    (3)

    Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberikan keterangan tidak halal.

    (4)

    Pelaku Usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Prociuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


    Pasal 3

    Sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diberikan terhadap Prociuk yang berasal dari bahan halal dan memenuhi PPH. BAB II KERJA SAMA DALAM PENYELENGGARAAN JAMINAN PRODUK HALAL Bagian Kesatu Umum


    Pasal 4
    (1)

    Penyelenggaraan JPH dilaksanakan oleh Menteri.

    (2)

    Dalam melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri.

    (3)

    BPJPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang:

    1. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;

    2. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;

    3. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;

    4. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;

    5. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;

    6. melakukan akreditasi terhadap LPH;

    7. melakukan registrasi Auditor Halal;

    8. melakukan pengawasan terhadap JPH;


  13. melakukari pembinaan Auditor Halal; dan J. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

    (4)

    Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BPJPH bekerja sama dengan:

    1. kementerian dan/atau lembaga terkait;

    2. LPH; dan C. MUI. Bagian Kedua Kerja Sama Badan Penyelenggara Jaminan Prociuk Halal dengan Kementerian Terkait Pasa1 5 (1) Kerja sama BPJPH dengan kementerian terkai t sebagaimana dimaksud dalam ~P.asal 4 ayat (4) huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian terkait. (2) Kementerian terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bi dang:

    3. perindustrian;

    4. perdagangan;

    5. kesehatan;

    6. pertanian;

    7. koperasi dan usaha kecil dan menengah;

    8. luar negeri; dan

    9. lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JPH.

      Pasal 6

      Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidarig perindustrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a melipu t i:


    10. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan industri , terkait dengan bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong yang diguriakan untuk menghasilkan Produk Halal;

    11. fasilitasi halal bagi industri kecil dan indust ri menengah;

    12. pcmbentukan kawasan industri halal; dan

    13. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

      Pasal 7

      Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b meliputi:


    14. pembinaan kepada Pelaku U saha dan masyarakat;

    15. pengawasan Prociuk Halal yang l: )eredar di pasar;

    16. fasilitasi penerapan JPH bagi Pelaku Usaha di bidang perdagangan;

    17. perluasan akses pasar bagi Produk Halal; dan

    18. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas clan fungsi masing-masing.

      Pasal 8

      Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang rrienyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c meliputi:


    19. pengawasan Sertifikat Halal dan Label Halal bagi alat kcsehatan dan perbekalan keschatan rumah t angga;

    20. fasilitasi sertifikasi halal bagi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga;

    21. rekomendasi pencabutan Sertifikat Halal dan Label Halal bagi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga; dan

    22. tugas lain yang tcrkait dengan penyelcngga r aan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

      Pasal 9

      Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 aya t (2) huruf d meliputi: a . sosialisasi, edukasi, dan publikasi Prociuk Halal; PRES ID EN REPUBLIK INDONESIA b. penetapan persyaratan rumah potong hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas;


    23. penetapan pedoman pemotongan hewan / unggas;

    24. penanganan daging hewan dan hasil ikutannya ;

    25. fasilitasi halal bagi rumah potong hewan / unggas dan unit potong hewan/unggas;

    26. penetapan pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit usaha pangan asal hewan, sistem jaminan mutu, dan keamanan pangan hasil pertanian; dan

    27. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

      Pasal 10

      Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah scbagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e meliputi :


    28. sosialisasi dan pendampingan sertifikasi kehalalan Produk bagi koperasi dan Pelaku Usaha mikro, ke cil, dan menengah;

    29. fasilitasi halal bagi koperasi dan Pelaku U saha menengah;

    30. pendataan koperasi dan Pelaku Usaha menengah;

    31. koordinasi dan pembinaan fasilitasi halal bagi koperasi dan Pelaku Usaha mikro dan kecil;

    32. koordinasi dan pembinaan pendataan Pelaku U saha mikro dan kecil; dan

    33. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas .dan fungsi masing-masing.

      Pasal 11

      Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf f meliputi:


    34. fasilitasi kerja saina internasiona: .l;

    35. promosi Produk Halal di luar negeri;

    36. penyediaan informasi mengenai lembaga halal luar negeri; dan

    37. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

      Pasal 12

      Kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf g meliputi:


    38. sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; dan

    39. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

      Pasal 13

      Ketentuan mengenai tata cara kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Kerja Sama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dengan Lembaga Terkait


      Pasal 14

    (1)

    Kerja sama BPJPH dengan lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga terkait.

    (2)

    Lernbaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) rneliputi lembaga pemerintah nonkementerian atau lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang:

    1. pengawasan obat dan makanan;

    2. standardisasi dan penilaian kesesuaian;

    3. akreditasi; dan

    4. lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JPH.

      Pasal 15

      Kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a meliputi:


    5. sertifikasi halal bagi obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan olahan;

    6. pengawasan Produk Halal berupa obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan olahan yang beredar;

    7. rekomendasi pencabutan Sertifikat Halal pada obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan olahan yang beredar;

    8. sosialisasi, edukasi, dan publikasi berupa obat, obat tradisional, kosmetik, suplemcn kesehatan, dan pangan olahan; dan

    9. tugas lain yang terkait / dengan penyelenggaraan JPH I sesuai tugas dan fungsi masing-masing. PRES I DEN REPUSLIK INDONESIA

      Pasal 16

      Kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasa l 14 ayat (2) huruf b meliputi:


    10. penyusunan standar dan skema penilaian kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

    11. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

      Pasal 17

      Kerja sama BPJPH dengan lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang akreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf c meliputi:


    12. akreditasi LPH;

    13. penyusunan skema akreditasi;

    14. penyusunan dokumen pendukung skema akreditasi; dan

    15. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

      Pasal 18

      Kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah nonkementerian atau lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d meliputi:


    16. sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; dan

    17. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA

      Pasal 19

      Ketentuan mengenai tata cara kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 diatur derrgan Peraturan Menteri. Bagian Keernpat Kerja Sama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dengan Lembaga Pemeriksa Halal


      Pasal 20

    (1)

    Kerja sama BPJPH dengan LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b meliputi:

    1. pemeriksaan dan/ a tau pengujian kehalalan Produk, yang ditetapkan oleh BPJPH ; dan

    2. tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-rnasing.

    (2)

    Ketentuan mengenai tata cara kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Pcraturan Menteri. Bagian Kelima Kerja Sama Sadan Penyelenggara Jaminan Produk Hala l dengan Majelis Ulama Indonesia Pasal 21

    (1)

    Kerja sama BPJPH dengan MUI se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c meliput i:

    1. sertifikasi Auditor Halal;

    2. penetapan kehalalan Produk; dan

    3. akreditasi LPH.

    (2)

    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) y ang berkaitan dengan kesesuaian syariah dilaksanakan berdasarkan fatwa MUI. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 22

    (1)

    Kerja sama BPJPH dengan MUI mengenai sertifikasi Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a meliputi pendidikan dan pelatihan serta uji kompetensi.

    (2)

    Pendidikan dan pelatihan sertifikasi Auditor Halal sebagaimana dimaksud pada qyat (1) diselenggarakan oleh BPJPH dan dapat diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Uji kompetensi sertifikasi Auditor Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh MUI. - (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sertifikasi Audi t or Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

    Pasal 23

    (I) Kerja sama BPJPH dengan MUI mengenai penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan:

    1. LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/ a tau pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH yang meliputi dokumen: 1 . Produk dan Bahan yang digunakan ;


  14. PPH;

  15. hasil analisis dan/atau spesifikasi;

  16. berita acara pemeriksaan; dan

  1. rekomendasi;
    1. terhadap basil pemeriksaan dan/ a tau pengujian se bagaimana dimaksud pada huruf a, BPJPH melakukan verifikasi atas dokumen yang disampaikan LPH;

      (2)
      1. BPJPH menyampaikan hasil verifikasi se bagaimana dimaksud pada huruf b kepada MUI;

    2. MUI mengkaji hasil verifikasi BPJPH sebagaimana dimaksud pada huruf c melalui sidang fatwa halal dengan mengikutsertakan pakar, unsur kementerj~n terkait, lembaga terkait, dan/ a tau institusi terkait;

    3. dalam hal sidang fatwa halal memerlukan informasi tambahan yang belum tercantum dalam dokumen yang diajukan oleh BPJPH, MUI mengembalikan dokumen tersebut untuk dilengkapi;

    4. hasil sidang fatwa halal berupa penetapan kehalalan atau ketidakhalalan Prociuk yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI dan diketahui oleh Ketua Umum MUI; dan

    5. penetapan kehalalan atau ketidakhalalan Produk disampaikan kepada BPJPH paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil verifikasi dari BPJPH. Pelaksanaan sidang fatwa se bagaimana dimaksud pad a difasilitasi oleh BPJPH. halal oleh MUI ayat (1) huruf d (3) Keputusan penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.

      Pasal 24
      (1)

      Kerja sama BPJPH dengan MUI mengenai akreditasi LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c berupa penilaian kesesuaian syariah. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA (2) Pelaksanaan penilaian kesesuaian syariah oleh MUI difasilitasi oleh BPJPH.

      (3)

      Akreditasi LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berkoordinasi dengan lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang akreditasi.

      (4)

      Ketentuan mengenai tata cc: r~ fasilitasi penilaian kesesuaian syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

      (1)
      (2)

      Bagian Keenam Kerja Sama Internasional


      Pasal 25

      Pemerintah dapat melakukan kerja internasional dalam bidang JPH. Kerja sama internasional dalam se bagaimana dimaksud pada ayat berbentuk:


    6. pengembangan JPH;

    7. penilaian kesesuaian; dan / a tau c. pengakuan Sertifikat Halal. bidang (1) sama JPH dapat [3) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh BRJPH dalam koordinasi dan konsultasi dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang urusan luar negeri. (4) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaksanakan sesuai dengan politik luar negeri, peraturan perundang-undangan nasional, dan hukum serta kebiasaan internasiona l. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA

      Pasal 26
      (1)

      Kerja sama internasional dalam pengembangan JPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a meliputi:


    8. pengembangan teknologi;

    9. sumber daya manusia; dart c. sarana clan prasarana JP@ ..

      (2)

      Kerja sama internasional dalam penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b meliputi:

    10. sating pengakuan; dan

    11. saling keberterimaan hasil penilaian kesesuaian. - (3) · Kerja sama internasional dalam pengakuan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c merupakan ker ja sama saling pengakuan Sertifikat Halal. (4) Kerja sama internasional berupa saling pengakuan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan lembaga halal luar negeri yang berwenang untuk menerbitkan Sertifikat Halal.

      Pasal 27

      Lembaga halal luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) merupakan lembaga penerbit sertifikat halal yang dibentuk oleh pemerintah atau lembaga keagamaan Islam yang diakui oleh negara setempat.


      Pasal 28
      (1)

      Kerja sama internasional dalam penilaian kesesua ian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) berupa pengembangan skema penilaian kesesuaian saling pengakuan dan ke berterimaan hasil penilaian kesesuaian.

      (2)

      Sertifikat Halal yang diterbitkan oleh l embaga halal luar negeri dapat diterima sebagai pemenuhan sertifikasi halal berdasarkan perJanJ1an keberterimaan yang berlaku timbal balik.

      (3)

      Lembaga sertifikasi halal yang menerbitkan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diakreditasi oleh lembaga akreditasi di negara asal .. yang telah memperoleh pengakuan dalam organisasi kerja sama akreditasi regional atau internasional.

      (4)

      Kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf a dilakukan oleh lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang akreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf c.

      (5)

      Perjanjian keberterimaan terhadap sertifikat halal luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh BPJPH dalam koordinasi dan konsultasi dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang urusan luar negeri yang berlaku timbal balik.


      Pasal 29

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kerja sama internasional dalam bidang JPH diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III LEMBAGA PEMERIKSA HALAL Bagian Kesatu Pendiri Lembaga Pemeriksa Halal


      Pasal 30
      (1)

      Pemerintah dan/ a tau masyarakat dapat mendirikan LPH.

      (2)

      Pemerintah se bagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.


      Pasal 31
      (1)

      LPH yang didirikan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 meliputi LPH yang didirikan oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi negeri, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah.

      (2)

      LPH yang didirikan oleh kementerian/lembaga at au pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan fungsi unit kerja a tau unit pelaksana teknis kementerian/lembaga, atau perangkat daerah.

      (3)

      LPH yang didirikan oleh perguruan tinggi negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. (4) LPH yang didirikan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan : PRES ID EN REPUBLIK INDONESIA a. bagian dari unit usaha jasa badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; atau


    12. anak perusahaan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

      Pasal 32
      (1)

      LPH yang didirikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.

      (2)

      Lembaga keagamaan Islam berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perkumpulan atau yayasan. Bagian Kedua Persyaratan Pendirian Lembaga Pemeriksa Halal


      Pasal 33
      (1)

      Pendirian LPH oleh pemerintah dan/atau masyarakat sebagaimana di maksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 harus memenuhi persyaratan:


    13. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;

    14. memiliki akreditasi dari BPJPH;

    15. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan

    16. memiliki laboratorium atau kesepakatan ker ja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium .

      (2)

      Lembaga lain yang memiliki laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan lembaga yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat y ang memiliki laboratorium terakred ita si pada lingkup halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      Pasal 34

      Persyaratan pendirian LPH oleh pemerintah dan/ a tau masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dibuktikan dengan dokumen dalam bentuk:


    17. sertifikat hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, surat perjanjian sewa, surat perjanjian pinjam pakai, akta hibah, atau akta jual beli; ..

    18. surat keterangan akreditasi LPH dan sertifikat akreditasi LPH dari BPJPH;

    19. surat keterangan memiliki Auditor Hala l yang dilampiri surat pernyataan kesediaan menjadi Auditor Halal dan sertifikat dari MUI; dan

    20. sertifikat akreditasi laboratorium dari lembaga nonstruktural yang melaksanakan tugas pernerintahan di bidang akreditasi atau surat perjanjian kerja sama dengan lernbaga yang memiliki laboratorium terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2). Bagian Ketiga Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal

      Pasal 35
      (1)

      Akreditasi LPH dilakukan oleh BPJPH.

      (2)

      Permohonan akreditasi LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pimpinan satuan kerja yang terkait dengan penyelenggaraan JPH baik in: stansi pusat maupun instansi daerah, pimpinan perguruan tinggi r'legeri, pimpinan badan usaha milik negara, pimpinan badan usaha milik daerah, dan pimpinan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum kepada Kepala Badan.

      (3)

      Permohonan akreditasi LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diajukan secara tertulis rnenggunakan sistern manual atau elektronik dengan melampirkan dokumen pendukung.

      (4)

      Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:


    21. dokumen sebagaimana dt ~aksud dalam Pasal 34;

    22. pedoman mutu , yang paling sedikit terdiri atas struktur organisasi, kebijakan mutu, manajemen ketidakberpihakan, pers ya ratan sumber daya , persyaratan proses , persyaratan sistem manajemen, tata cara penanganan keluhan dan penyelesaian, ruang lingkup dan skema audit , kerahasiaan informasi publik, serta keterbukaan dan ketersediaan informasi publik; dan

    23. pendukung pedoman mutu, yang paling sedikit terdiri atas daftar dukungan kompetensi Auditor Halal, daftar laboratorium pendukung , daftar audit, rekaman audit internal, kaji ulang manajemen , prosedur operasional standar penanganan keluhan dan penyelesaian, skema a udit , prosedur operasional standar tanggung gugat dan keuangan, pernyataan kesiapan menjaga kerahasiaan, dan pernyataan kesiapan membuka informasi publik.

      Pasal 36
      (1)

      BPJPH melakukan verifik as i terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 paling lama 5 (lima) hari kerja setelah dokumen diterima secara lengkap.

      (2)

      Verifikasi terhadap dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara pemeriksaan keabsahan dokumen dan pemeriksaan lapangan.

      (3)

      Verifikasi terhadap dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh tim verifikasi y ang dilengkapi dengan surat tugas.


      Pasal 37

      Dalam hal has ii verifikasi terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 telah memenuhi persyaratan, Kepala Sadan mengeluarkan surat keterangan akreditasi LPH.


      Pasal 38
      (1)

      Dalam hal has il verifikasi terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 belum memenuh i pe rsyara t an , Kepala Badan menyampaikan surat permintaan tambahan dokumen kepada pemohon. (2) Pemohon wajib men y erahkan tarnbahan dokumen yang diperlukan kepada Kepala Badan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak surat permintaan tambahan dokumen sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) diterima. (3) Dalam hal surat permintaan tambahan dokumen sebagaimana dirnaksud pada ayat (2) dapa t dipenuhi dan memenuhi persyaratan , Kepala Badan me ngeluarkan surat keterangan akreditasi LPH. (4) Surat keterangan akreditasi LPl-I sebagaimana di maksud pada ayat (3) dan Pasal 37 disampaikan kepada pimpinan kementerian dan/atau lembaga atau perguruan tinggi negeri serta pimpinan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA (5) Pimpinan kementerian dan/atau lembaga atau perguruan tinggi negeri serta pimpinan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum menyampaikan salinan keputusan pendirian LPH kepada Kepala Badan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah keputusan ditetapkan untuk diregistrasi.

      (6)

      Registrasi sebagaimana dima~sµd pada ayat (5) men jadi dasar bagi Kepala Badan untuk menugaskan LPH melakukan pemeriksaan dan/ a tau pengujian · kehalalan Produk.

      (7)

      Dalam hal surat permintaan tambahan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, Kepala Badan memanggil pemohon dan menyampaikan surat penolakan sert a dokumen dikembalikan dengan disertai alasan .


      Pasal 39
      (1)

      Akreditasi LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a untuk memenuhi penilaian kesesuaian LPH dilakukan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh LPH kepada lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang akreditasi dengan melampirkan sura t keterangan akreditasi LPH yang diterbitkan BPJPH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan.

      (2)

      Lembaga nonstruktural yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sama dengan BPJPH dan MUI.

      (3)

      Penilaian kesesuaian LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan dengan melakukan re viu dokumen kesesuaian LPH dan proses asesmen teknis . PRES I DEN REPUBUK INDONESIA (4) Hasil penilaian kesesuaian LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada BPJPH.

      (5)

      Kepala Badan menerbitkan sertifikat akreditasi LPH berdasarkan hasil penilaian kesesuaian LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Ketentuan lebih lanj u t mengenai akredifasi dan registrasi LPH diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Auditor Halal


      Pasal 40
      (1)

      LPH mengangkat Auditor Halal.

      (2)

      Auditor Halal yang diangkat oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:


    24. warga negara Indonesia;

    25. beragama Islam;

    26. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu). di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi;

    27. memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan Prociuk menurut syariat Islam;

    28. mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golon gan; clan f. memperoleh sertifikat dari MU I. (3) Auditor Halal yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diregistrasi oleh BPJPH.

      (4)

      Auditor Halal yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) bertugas :

    29. memeriksa . , . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA a. merneriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;

    30. rnemeriksa dan mengkaji proses pengo l ahan Produk;

    31. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;

    32. meneliti lokasi Prociuk;

    33. meneliti peralatan, ruang produksi, dan peny1mpanan;

    34. merneriksa pendistribusian dan penyajian Produk;

    35. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku U saha; dan

    36. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.

      (5)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi Auditor Halal diatur dengan Peraturan Ment eri. Pasal 41

      (1)

      LPH memberhentikan Auditor Halal. (2) Auditor Halal diberhentikan oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika:

    37. tidak memenuhi lagi salah satu persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);

    38. meninggal dunia;

    39. mengundurkan diri;

    40. ierbukti melakukan pelanggaran etika atau disiplin profesi tingkat berat; atau

    41. terpidana berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

      Pasal 42

      Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian Auditor Halal diatur dengan Peraturan Menteri. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA BAB IV LOKASI, TEMPAT, DAN ALAT PROSES PRODUK HALAL Bagian Kesatu Umum


      Pasal 43
      (1)

      Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat proses Produk tidak halal.

      (2)

      Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:


    42. dijaga kebersihan dan higienitasnya;

    43. bebas dari najis; dan

    44. be bas dari Bah an tidak halal.

      (3)

      Lokasi yang wajib dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni lokasi penyembelihan.

      (4)

      Tempat dan alat PPH yang wajib dip i sahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tempat dan alat:

    45. penyembelihan;

    46. pengolahan; C. penyimpanan;

    47. pengemasan;

    48. pendistribusian ;

    49. penjualan; dan g, penyajian. Bagian Kedua Lokasi, Tempat, dan Alat Proses Produk Halal Penyembelihan

      Pasal 44

      Lokasi, tempat, dan alat penyembelihan hewan halal wajib terpisah dari lokasi penyembelihan hewan tidak halal. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA


      Pasal 45

      Lokasi penyembelihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) wajib memenuhi persyaratan:


    50. terpisah secara fisik antara lokasi rumah potong hewan halal dengan lokasi rumah potong hewan tidak halal;

    51. dibatasi dengan pagar tembok : i; >aling rendah 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu lintas orang, alat, dan Produk antarrumah potong;

    52. tidak berada di daerah rawan banjir , tercemar asap, bau, debu, dan kontaminan lainnya; d . memiliki fasilitas penanganan limbah padat dan ca ir yang terpisah dengan rumah potong hewan t idak halal;

    53. konstruksi dasar seluruh bangunan harus mampu mencegah kontaminasi; dan

    54. memiliki pintu yang terpisah untuk masuknya hewan potong dengan keluarnya karkas dan daging .

      Pasal 46

      Tempat penyembelihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a wajib memisahkan antara:


    55. penampungan hewan;

    56. penyembelihan hewan; C. pengulitan;

    57. pengeluaran jeroan;

    58. ruang pelayuan;

    59. penanganan karkas;

    60. ruang pendinginan; dan

    61. sarana penanganan limbah, untuk yang halal dan tidak halal. PRES I DEN REPUBUK INDONESIA

      Pasal 47

      Alat penyembelihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a wajib memenuhi persyaratan:


    62. tidak menggunakan alat penyembelihan secara bergantian dengan yang digunakan untuk penyembelihan hewan tidak halal;

    63. menggunakan sarana ya ng berb€da untuk yang halal dan tidak halal dalam pembersihan alat;

    64. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang hala l dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan

    65. memiliki tempat penyimpanan alat sendiri untuk y ang halal dan tidak halal. Bagian Ketiga Tempat dan Alat Proses Produk Halal Pengolahan Pasa148 Tempat pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf b wajib memisahkan antara: a . penampungan Bahan;

    66. penimbangan Bahan;

    67. pencampuran Bahan;

    68. pen c etakan Produk; d an e. pemasakan Produk, untuk ya ng halal dan tidak halal.

      Pasal 49

      Alat pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf b wajib memenuhi persyaratan:


    69. tidak menggunakan alat pengolahan secara bergantian den g an yang digunakan untuk pengolahan Produk tidak halal;

    70. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pembersihan alat; ' . - c. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan

    71. memiliki tern pat penyimpanan alat sendiri untuk yang halal dan tidak halal. Bagian Keempat Tempat dan Alat Proses Produk Halal Penyi _ mpanan

      Pasal 50

      Tempat penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasa l 43 ayat (4) huruf c wajib memisahkan antara:


    72. penerimaan Bahan;

    73. penerimaan Produk setelah proses pengolahan; dan

    74. sarana yang digunakan untuk penyimpanan Bahan dan Produk, untuk yang halal dan tidak halal.

      Pasal 51

      Alat penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf c wajib memenuhi persyaratan:


    75. tidak menggunakan alat penyimpanan secara bergantian dengan yang digunakan untuk penyimpanan Produk tidak halal;

    76. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pembersihan alat;

    77. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan

    78. memiliki tempat penyimpanan alat sendiri untuk yang halal dan tidak halal. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 29 - Bagian Kelima Tempat dan Alat Proses Produk Halal Pengemasan

      Pasal 52

      Tempat pengemasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf d wajib dipisahkan antara:


    79. bahan kemasan yang digunakaR un tuk mengemas Produk; dan

    80. sarana pengemasan Produk, un tuk yang halal dan tidak halal.

      Pasal 53

      Alat pengemasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf d wajib memenuhi persyaratan:


    81. tidak menggunakan alat pengemasan secara bergantian dengan yang digunakan untuk pengemasan Produk tidak halal ; b . menggunakan sarana ya ng berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pembersihan alat;

    82. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan

    83. memiliki tempat penyimpanan alat sendiri untuk yang halal dan tidak halal. Bagian Keenam Tempat dan Alat Proses Produk Halal Pendistribusian

      Pasal 54

      Tempat pendistribusian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf e wajib dipisahkan antara:


    84. sarana pengangkutan dari tempat penyimpanan ke alat distribusi Prociuk; dan

    85. alat tra nspo rtasi untuk distribusi Produk, untuk yang halal dan tidak halal.

      Pasal 55

      Alat pendistribusian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf e wajib memenuhi persyaratan :


    86. tidak menggunakan alat pendistribusian .secara bergantian dengan yang digunakan untuk pendistribusian Prociuk tidak halal;

    87. menggunakan sarana yang beroe.da untuk yang halal dan tidak halal dalam pembersihan alat ;

    88. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat; dan

    89. memiliki tempat penyimpanan alat sendiri u n tuk y ang halal dan tidak halal. Bagian Ketujuh Tempat dan Alat Proses Prociuk Halal Penjualan

      Pasal 56

      Tempat penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf f wajib dipisahkan antara:


    90. sarana penjualan Produk; dan

    91. proses penjualan Prociuk, untuk yang halal dan tidak halal.

      Pasal 57

      Alat penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf f wajib memenuhi persyaratan:


    92. tidak menggunakan alat penjualan secara bergantian dengan yang digunakan untuk penjualan Produk tidak halal;

    93. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pembersihan alat ; dan

    94. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan alat. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Bagian Kedelapan Tempat dan Alat Proses Produk Halal Penyajian

      Pasal 58

      Tempat penyajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf g wajib memisahkan antara:


    95. sarana penyajian Produk Halal; <lan b. proses penyajian Produk, un tuk yang halal dan tidak halal.

      Pasal 59

      A.lat penyajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf g wajib memenuhi persyaratan:


    96. tidak menggunakan alat penyajian secara bergantian dengan yang digunakan untuk penyajian Produk tidak halal;

    97. rnenggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pembersihan alat;

    98. menggunakan sarana yang berbeda untuk yang halal dan tidak halal dalam pemeliharaan al at; dan

    99. memiliki tempat penyimpanan alat sendiri untuk yang halal dan tidak halal.

      Pasal 60

      {l) Pendistribusian, penjualan, dan penya j ian Prociuk segar asal hewan tidak halal dipisahkan dari pendistribusian, penjualan, dan penyajian Prociuk segar asal hewan halal. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA (2) Pendistribusian Produk olahan asal hewan tidak halal dan Produk olahan asal non hewan tidak halal dapat disatukan dengan pendistribusian Produk olahan asal hewan halal dan Produk olahan non hewan ha lal sepanjang terjamin tidak terjadi kontaminasi silang dan alat distribusi bukan setelah digunakan untuk mendistribusikan Produk segar asal hewan tidak . . halal, yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari pihak produsen atau distributor.

      (3)

      Penjualan dan penyajian Produk segar dan olahan asal hewan dan non hewan tidak halal dipisahkan dari penjualan dan penyajian Produk segar dan olahan asal hewan dan non hewan halal.

      (4)

      Pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk se bagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BABV BIA YA SERTIFIKASI HALAL


      Pasal 61
      (1)

      Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku U saha yang mengajukan permohonan Sertifikat HalaL (2) Biaya sertifikasi halal yang dibebankan kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus efisien, terjangkau, dan tidak diskriminatif.

      (3)

      Penetapan besaran atau nominal biaya sertifikasi halal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ....... .


      Pasal 62
      (1)

      Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.

      (2)

      Fasilitasi oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi oleh:


    100. pemerintah pusat melalui ~I)ggaran pendapatan dan belanja negara;

    101. pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah;

    102. perusahaan;

    103. lembaga sosial;

    104. lembaga keagamaan;

    105. asosiasi; atau

    106. komunitas.

      Pasal 63

      Ketentuan mengenai tata cara pembayaran biaya sertifi.kasi halal dan tata cara fasilitasi biaya ser t ifikasi halal oleh pihak lain diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VI TATA CARA REGISTRASI SERTIFIKAT HALAL LUAR NEGER J


      Pasal 64
      (1)

      Produk Halal yang Sertifikat Halalnya diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan Sertifikat Halal dengan BPJPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dan ayat (4) tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halal.

      (2)

      Sertifikat Halal yang diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk diedarkan di Indonesia. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA (3) Produk Halal yang Sertifikat Halalnya diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang sebelum diedarkan di Indonesia, selain memenuhi kewajiban registras i Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga Produk tersebut wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai persyaratan peredara?- . Produk terkait.


      Pasal 65
      (1)

      Registrasi Sertifikat Halal luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) diajukan permohonannya oleh Pelaku U saha kepada BPJPH secara tertulis dengan melampirkan:


    107. salinan Sertifikat Halal luar negeri Prociuk bersangkutan yang telah disahkan oleh perwakilan Indonesia di luar negeri;

    108. daftar barang yang akan diimpor ke Indonesia dilengkapi dengan nomor kode sistem harmonisasi; dan

    109. surat pernyataan yang menyatakan dokumen yang disampaikan benar dan sah.

      (2)

      Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik atau manual. Pasal 66

      (1)

      Kepala Badan menerbitkan nomor registrasi bagi Sertifikat Halal luar negeri yang telah memenuhi persyaratan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65.

      (2)

      Pelaku Usaha yang telah memperoleh nomor registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan nomor registrasi berdekatan dengan Label Halal pada: PRES I DEN REPUBLIK INDONES iA a. kemasan Prociuk;

    110. bagian tertentu dari Produk; dan / a tau c. tempat tertentu pada Prociuk.

      (3)

      Ketentuan lebih l anjut mengenai Registrasi Sertifika t Halal luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri.

      Pasal 67

      Dalam hal Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga ha lal luar negeri y ang tidak memiliki kerja sama dengan BPJPH, Pe laku Usaha wajib melakukan sertifikasi halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII PENAHAPAN JENIS PRODUK YANG BERSERTIFIKAT HALAL


      Pasal 68

      (1)

      Produk yang wajib bersertifikat halal terdiri atas:

    111. barang; dan/atau

    112. jasa .

      (2)

      Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

    113. makanan;

    114. mmuman ;

    115. obat;

    116. kosm e tik;

    117. produk kimiawi;

    118. produk biologi;

    119. produk rekayasa genetik; dan h . barang gunaan yang dipakai , digunakan , atau dimanfaatkan. (3) Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hu ruf b meliputi layanan usaha yang terkait dengan :

    120. pen y cmbelihan ; PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA b. pengolahan;

    121. peny1mpanan;

    122. pengemasan;

    123. pendistribusian;

    124. penjualan; dan

    125. penyajian.

      Pasal 69
      (1)

      Makanan, minuman, obat, dan kosmetik scbagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d ditetapkan masing-masing jenisnya oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian terkait, lembaga terkait, dan MUI.

      (2)

      Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi oleh BPJPH.


      Pasal 70

      Produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik sebagaimana dirnaksud dalarn Pasal 68 ayat (2) huruf e sampai dengan huruf g dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) hanya yang terkait dengan makanan, minurnan, obat, atau kosmetik.


      Pasal 71
      (1)

      Barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) huruf h hanya bagi barang yang berasal dari dan/ a tau mengandung unsur hewan. (2) Barang gunaan yang dipakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:


    126. sandang;

    127. penutup kepala; dan

    128. aksesoris.

      (3)

      Barang gunaan yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    129. perbekalan kesehatan rumah tangga; b-. peralatan rumah tangga;

    130. perlengkapan peribadatan bagi umat Islam;

    131. kemasan makanan dan minuman; dan

    132. alat tulis dan perlengkapan kantor. (4) Barang gunaan yang dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni alat kesehatan. (5) Barang gunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat ditambahkan jenisnya oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian terkait, lembaga terkait, dan MUI. (6) Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) difasilitasi oleh BPJPH.

      Pasal 72
      (1)

      Kewajiban bersertifikat halal bagi Jenis Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 71 dilakukan secara bertahap.

      (2)

      Penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi Jenis Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:


    133. kewajiban kehalalan produk sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

    134. produk sudah bersertifikat halal sebelum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal berlaku;

    135. produk merupakan kebutuhan primer dan di konsumsi secara masif;

    136. produk yang memiliki titik kritis ketidakhalalan yang tinggi;

    137. kesiapan pelaku usaha dan;

    138. kesiapan infrastruktur pelaksanaan JPH. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA (3) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

    139. dimulai dari Produk makanan dan minuman; dan

    140. tahap selanjutnya untuk Produk selain rnakanan dan minuman.

      (4)

      Produk yang belum bersertifikat halal pada t angga l 17 Oktober 2019 diatur lebih lanj; 1~ dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian/lernbaga terkait .

      (5)

      Ketentuan mengenai penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi J enis Produk se bagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.

      Pasal 73

      Penahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 tidak membatalkan kewajiban bersertifikat halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


      Pasal 74

      (1} Prociuk berupa obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang akan dilakukan sertifikasi halal harus rnemenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu scsuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


      (2)

      Dalam hal produk obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang bahan bakunya belum bersumber dari bahan halal dan/atau cara pembuatannya belum halal, dapat beredar dengan mencantumkan informasi asal bahan sampai ditemukan bahan yang halal dan/atau cara pembuatannya yang halal.

      (3)

      Produk obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang akan dilakukan sertifikasi halal se bagaimana dimaksud pada ayat (1), selain memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan dan mutu, juga harus memenuhi cara pembuatan yang baik dan halal.

      (4)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai produk obat , produk biologi, dan alat kesehatan ya!"lg bahan bakunya belum bersumber dari bahan halal dan/atau cara pembuatannya belum halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ketentuan memenuhi cara pembuatan yang baik dan halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden. BAB VIU PENGAWASAN Pasal 75

      (1)

      BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.

      (2)

      Pengawasan terhadap JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh BPJPH secara sendiri-sendiri kementerian atau terkait, bersama-sama lembaga · terkait, dengan dan/atau pemerintah daerah sesua1 dengan tugas dan fungsinya, (3) Pengawasan terhadap JPH oleh BPJPH, kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah dilaksanakan oleh pengawas JPH. Pasal 76

      (1)

      Pengawas JPH se bagaimana dimaksud dalam Pas al 75 ayat (3) merupakan pegawai aparatur sipil negara yang diberi wewenang oleh pejabat yang berwenang di instansi masing-masing pengawasan terhadap JPH. untuk melakukan (2) Pengawas JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh Pelaku U saha .

      (3)

      Pengawas JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan pengawasan harus dilengkapi dengan surat tugas dan tanda pengenal. Pasal 77

      (1)

      Pengawasan JPH dilakukan terhadap:

    141. LPH;

    142. masa berlaku Sertifikat Halal;

    143. kehalalan Produk;

    144. pencantuman Label Halal;

    145. pencantuman keterangan tidak halal;

    146. pemisahan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, peny1mpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;

    147. keberadaan Penyelia Halal; dan/atau

    148. kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.

      (2)

      Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu- waktu.

      (3)

      Pengawasan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. PRES I DEN REPUBLIK INDONES IA (4) Pengawasan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai kebutuhan dan/atau dalam hal terjadi dugaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan . Pasal 78

      (1)

      Pengawasan pencantuman keterangan tidak halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf e dilakukan terhadap Produk. (2) Keterangan tidak halal pada Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa gambar, tanda, dan/ a tau tulisan. (3) Ketentuan mengenai gambar, tanda , dan/atau tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mencakup pelindungan dan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keterangan tidak halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 79

      (1)

      BPJPH, kementerian terkait, lembaga terkait, dan/ a tau pemerintah daerah dalam melaksanakan pengawasan terhadap JPH dapat mengikutsertakan institusi terkait.

      (2)

      Institusi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diikutsertakan dalam pelaksanaan pengawasan terhadap JPH dalam kegiatan pendampingan. Pasal 80 Ketentuan lebih lanjut mengena1 pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 diatur dengan Pcraturan Mcntcri. ' ,•,• BAB IX KETENTUAN PERALIHAN

      Pasal 81

      Dalam hal belum berlakunya peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai penetapan besaran atau nominal biaya sertifikasi ha }~l namun Peraturan Pemerintah ini telah berlaku atau sebaliknya, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan.


      Pasal 82

      Produk yang sudah beredar dan diperdagangkan serta memiliki Sertifikat Halal sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini atau memiliki Sertifikat Halal sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud da 1 am Pasal 81 tetap berlaku sampai dengan masa berlaku Sertifikat Halal berakhir. BABX KETENTUAN PENUTUP


      Pasal 83

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai JPH dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.


      Pasal 84

      Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada ta nggal diundangkan. PRES I DEN REPUBLIK INDONES!A Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah m1 dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2019 MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ttd. YASONNA H. LAOLY ttd. JOKO WIDODO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 88 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO MOR 31 TAHUN 2019 TENTANG PERATURAN PELAKSANMN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk menjamin setiap pemeluk agama Islam beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Prociuk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Untuk itu, Peraturan Pemerintah ini disusun sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentangJaminan Produk Halal dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi masyarakat muslim atas JPH . Pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain:


    149. dalam rangka memberikan pelayanan publik, pemerintah bertanggung jawab dalam . rnenyelenggarakan JPH, yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH dan bekerja sama, antara lain dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan, pertanian, koperasi dan usaha kecil dan menengah, luar negeri, PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA dan lembaga pemerintah nonkementerian atau lembaga nonstruktural yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan o bat dan rnakanan, standardisasi dan penilaian kesesuaian, dan akreditasi serta LPH dan MUI;

    150. ketentuan yang mengatur mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH yang meliputi lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, tempat dan alat pengolahan, tempat dan alat penyimp~~an, tempat dan alat pengemasan, ternpat dan alat pendistribusian , tempat dan al at penjualan, dan tempat dan alat penyajian;

    151. ketentuan yang mengatur mengenai kerja sama intemasional dalam bidang JPH, dalam bentuk pengembangan JPH, penilaian kesesuaian, dan/ a tau pengakuan Sertifikat Halal;

    152. dalarn rangka menjamin penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH, masa berlaku Sertifikat Halal, kehalalan Prociuk, pencanturnan Label Halal, pencanturnan keterangan tidak halal, pemisahan lokasi, tempat, dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian , penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak ha l al , keberadaan Penyelia Halal, dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH; dan

    e. ketentuan yang mengatur rnengenaijenis Produk yang bersertifikat halal dan tahapan sertifikasi halal jenis Produk setelah pemberlakuan wajib Sertifikat Halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 PRES I DEN REPUBLIK INDONES IA Cukup jelas. PasalS Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "fasilitasi halal" adalah upaya yang dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian un t uk mendorong, mendukung, dan memberikan bantuan dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan JPH. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "fasilitasi penerapan JPH" adalah upaya yang dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan untuk mendorong, mendukung, dan memberikan bantuan dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan JPH. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "fasilitasi halal" adalah upaya yang dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian untuk mendorong, mendukung, dan memberikan bantuan dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan JPH Huruff Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas . Huruf b Yang dimaksud dengan "fasilitasi halal" adalah upaya yang dilakukan oleh kementerian yang menyelenggaraka n urusan pemerintahan di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah untuk memberikan bantuan penyelenggaraan JPH. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b mendorong, mendukung, dan dalam peningkatan kualitas Yang dimaksud dengan "promosi produk halal di luar negeri" adalah meliputi sosialisasi , edukasi, dan publikasi produk halal di luar negeri. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cuku p j elas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup Jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 6 - Huruf d Yang dimaksud dengan "inst i tusi terkait" antara lain organisasi kemasyarakatan yang berupa lembaga keagamaan Islam. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2} Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas . Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cuku p j elas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jclas. - 8 - Huruf c PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Yang dimaksud dengan "sarjana strata 1 (sa tu) di bidang pangan" meliputi sarjana pangan , teknologi pangan , pertanian, teknologi pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, kedokteran hewan, dan gizi. Huruf d Cukup jelas . Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3·) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas . . Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. PRES I DEN REPUBLIK INOONESIA - 10 - Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Huruf a PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 11 - Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kode sistem harmonisasi" atau harmonized system codes adalah bahasa numerik secara klasifikasi Produk atau bahan Produk sebagai standar internasional untuk pelaporan barang di bea cukai dan instansi terkait. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 66 PRES I DEN Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Ayat (2) Yang dimaksud dengan "jasa" adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil kerja yang dicapai, yang disediakan oleh satu pihak ke pihak lain dalam masyarakat un tuk dimanfaatkan oleh konsumen a tau Pelaku U saha. Huruf a Yang dimaksud dengan "makanan" adalah bahan yang berasal dari tumbuhan atau hewan atau campuran keduanya dalam bentuk kemasan maupun non kemasan yang dikonsumsi oleh manusia untuk memperoleh tenaga dan nutrisi. Huruf b Yang dimaksud dengan "minuman" adalah bahan yang bersifat cair, mudah ditelan, tidak memabukkan dan diedarkan dalam bentuk kemasan maupun non kemasan untuk dikonsumsi oleh rnanusia. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f PRES I DEN Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas . Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas . Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "sandang" antara lain meliputi pakaian, pakaian dalam, kaos kaki, dan jaket yang mengandung dan/ a tau berasal dari hewan. Huruf b Yang dimaksud dengan "penutup kepala" antara lain meliputi peci, topi, kerudung, dan helm yang mengandung dan/atau berasal dari hewan. Huruf c Yang dimaksud dengan "aksesoris" antara lain meliputi cincin, jam tangan, anting, gelang, pengikat rambut, ikat pinggang, dompet, tas, sepatu, sandal, bingkai kacamata, dan bros, yang mengandung dan/atau berasal dari hewan. Ayat (3) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Huruf a Yang dimaksud dengan "perbekalan kesehatan rumah tangga" antara lain meliputi sikat gigi, tusuk g1g1, benang g1g1, dan enzim pencuci yang mengandung dan/ a tau berasal dari hewan. Huruf b Yang dimaksud dengan "peralatan rumah tangga" antara lain meliputi sofa, sendok, garpu, piring, mangkok, gelas, dan pisau yang mengandung dan/atau berasal dari hewan. Huruf c Yang dimaksud dengan "perlengkapan peribadatan bagi umat Islam" antara lain meliputi sajadah, tasbih, sarung, dan mukena yang mengandung dan/atau berasal dari hewan. Huruf d Yang dimaksud dengan "kemasan makanan dan minuman" antara lain meliputi kemasan plastik, kemasan kertas, sterofoam (styrofoam), dan alumuniurn foil yang mengandung dan/atau berasal dari hewan. Huruf e Ayat (4) Yang dimaksud dengan "alat tulis clan perlengkapan kantor" antara lain meliputi tinta, lem, dan kertas pembuatan cetakan Al-Quran, dan bolpoin yang mengandung dan/ a tau berasal dari hewan. Yang dimaksud dengan "alat kesehatan" antara lain meliputi katup jantung, benang bedah, alat bantu dengar, dan gigi palsu yang mengandung dan/atau berasal dari hewan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 15 - Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu" termasuk memenuhi cara pembuatan yang baik dan halal (good manufacturing practice-hala~. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "tulisan" adalah pembedaan warna tulisan dalam komposisi produk. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pelindungan dan hak asas1 manusia terhadap kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas" antara la ! !"! berupa menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam kemudahan mendapatkan informasi kehalalan produk yang disesuaikan dengan kemampuan penyandang disabilitas yang bersangkutan . Sebagai contoh yaitu tersedianya gambar, tanda, dan/atau tulisan dalam huruf braille bagi penyandang disabilitas yang mengalami masalah dalam penglihatan . Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "institusi terkait" antara lain MUI dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang berupa lembaga keagamaan Islam . Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cuku p jelas. Pasal 84 Cukup jelas. PRES ID EN REPUBLIK INOONESIA

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):