Pinjaman Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat PERATURAN PEMEzuNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2018 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO4 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 65 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2OO4 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan Pasal 3O2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2074 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pinjaman Daerah;

  1. Pasal 5 ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO+ tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor a355);

  3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2OO4 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor L26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor aa3g; PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -2- 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2OL4 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56791; MEMUTUSKAN: MenetapKan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PINJAMAN DAERAH BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


  4. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. 2. Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah Pusat yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu sesuai dengan masa berlakunya.

  5. Pinjaman . 3 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -3- Pinjaman Luar Negeri adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah Pusat dari pemberi pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri adalah kesepakatan tertulis mengenai pinjaman antara Pemerintah Pusat dan pemberi Pinjaman Dalam Negeri. Perjanjian Pinjaman Luar Negeri adalah kesepakatan tertulis mengenai pinjaman antara Pemerintah Pusat dan pemberi Pinjaman Luar Negeri. Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri adalah kesepakatan tertulis antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenai penerusan Pinjaman Dalam Negeri yang diperoleh Pemerintah Pusat. Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri adalah kesepakatan tertulis antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenai penerusan Pinjaman Luar Negeri yang diperoleh Pemerintah Pusat. Perjanjian Pinjaman Daerah adalah perjanjian yang dilakukan antara pemberi pinjaman dengan Kepala Daerah. Penerusan Pinjaman adalah Pinjaman Luar Negeri atau Pinjaman Dalam Negeri yang diterima oleh Pemerintah Pusat yang diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah dan/atau badan usaha milik negarafbadan usaha milik daerah yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. 4 5 6 8 9 7 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -4- 10. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. 1 1. Kepala Daerah adalah gubernur atau bupati/wali kota.

  6. Lembaga Keuangan Bank yang selanjutnya disingkat LKB adalah lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan dan menarik dana dari masyarakat secara langsung.

  1. Lembaga Keuangan Bukan Bank yang selanjutnya disingkat LKBB adalah lembaga atau badan pembiayaan yang melakukan kegiatan dalam bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan cara mengeluarkan surat berharga dan menyalurkan kepada masyarakat terutama untuk membiayai investasi Pemerintah Pusat/ Pemerintah Daerah atau swasta.
    Pasal 2
    (1)

    Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah.

    (2)

    Pinjaman Daerah harus merupakan inisiatif Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Daerah bertanggung jawab atas kegiatan yang diusulkan untuk didanai dari Pinjaman Daerah.


    Pasal 3

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -5-


    Pasal 3

    Pengelolaan Pinjaman Daerah harus memenuhi prinsip:

    1. taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan;

    2. transparan;

    3. akuntabel;

    4. efisien dan efektif; dan

    5. kehati-hatian.


    Pasal 4
    (1)

    Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.

    (2)

    Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.

    (3)

    Pendapatan dan/atau barang milik daerah tidak dapat dijadikan jaminan Pinjaman Daerah.

    (4)

    Kegiatan yang dibiayai dari penerbitan Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan jaminan penerbitan Obligasi Daerah.


    Pasal 5

    Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan batas maksimal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing daerah yang dibiayai dari Pinjaman Daerah setiap tahun anggaran. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -6-


    Pasal 6
    (1)

    Penetapan batas maksimal jumlah kumulatif defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan batas maksimal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling lambat bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.

    (2)

    Menteri Keuangan dapat memberikan persetujuan atas pelampauan batas maksimal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan tidak melebihi batas maksimal jumlah kumulatif defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.


    Pasal 7
    (1)

    Nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan Pinjaman Daerah ditetapkan paling sedikit 2,5 (dua koma lima).

    (2)

    Ketentuan mengenai perubahan nilai rasio kemampuan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

    (3)

    Perubahan nilai rasio kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian nasional dan kondisi keuangan daerah.


    Pasal 8

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 7-


    Pasal 8
    (1)

    Menteri Dalam Negeri melakukan pengendalian atas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dengan berdasarkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan batas maksimal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing daerah yang dibiayai dari Pinjaman Daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

    (2)

    Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan pengendalian atas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dengan berdasarkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan batas maksimal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing- masing daerah kabupaten/kota yang dibiayai dari Pinjaman Daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

    (3)

    Pengendalian atas defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pada saat evaluasi terhadap rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. BAB II SUMBER, JENIS, DAN PENGGUNAAN PINJAMAN DAERAH


    Pasal 9
    (1)

    Pinjaman Daerah bersumber dari:

    1. Pemerintah Pusat;

    2. daerah lain;

    3. LKB; PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -8- c. LKB;

    4. LKBB; dan

    5. masyarakat.

    (2)

    Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang terdiri atas:

    1. Penerusan Pinjaman Dalam Negeri;

    2. Penerusan Pinjaman Luar Negeri; dan

    3. sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Pinjaman Daerah yang bersumber dari daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan ketersediaan kas.

    (4)

    LKB dan LKBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d wajib berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    (5)

    Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa Obligasi Daerah.


    Pasal 10
    (1)

    Daerah dapat meneruskan Pinjaman Daerah kepada badan usaha milik daerah.

    (2)

    Penerusan . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -9- (2) Penerusan Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dalam bentuk Penerusan Pinjaman atau penyertaan modal.

    (3)

    Penerusan Pinjaman atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk penyediaan infrastruktur pelayanan publik yang ditugaskan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 1 1 Jenis Pinjaman Daerah terdiri atas:

    1. pinjaman jangka pendek;

    2. pinjaman jangka menengah; dan

    3. pinjaman jangka panjang.


    Pasal 12
    (1)

    Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan 1 (satu) tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lainnya, yang seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran berjalan.

    (2)

    Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:

    1. daerah lain;

    2. LKB; dan

    3. LKBB.

    (3)

    Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas.


    Pasal 13

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -10-


    Pasal 13
    (1)

    Pinjaman jangka menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lainnya, yang seluruhnya harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah di daerah yang bersangkutan.

    (2)

    Pinjaman jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:

    1. Pemerintah Pusat;

    2. LKB; dan

    3. LKBB. (3) Pinjaman jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk membiayai kegiatan prasarana dan/atau sarana pelayanan publik di daerah yang tidak menghasilkan penerimaan daerah.


    Pasal 14
    (1)

    Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu pengembalian pinjaman lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lainnya, yang seluruhnya harus dilunasi pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman.

    (2)

    Pinjaman PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 11- (2) Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:

    1. Pemerintah Pusat;

    2. LKB;

    3. LKBB; dan

    4. masyarakat.

    (3)

    Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk membiayai infrastruktur dan/atau kegiatan investasi berupa kegiatan pembangunan prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan Pemerintahan Daerah, dengan tujuan:

    1. menghasilkan penerimaan langsung berupa pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan/atau sarana daerah;

    2. menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang seharusnya dikeluarkan apabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan; dan/atau

    3. memberikan manfaat ekonomi dan sosial. BAB III PERSYARATAN PINJAMAN DAERAH


    Pasal 15
    (1)

    Dalam melakukan Pinjaman Daerah, daerah harus memenuhi persyaratan:

    1. jumlah PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t2- a. jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun sebelumnya;

    2. nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan Pinjaman Daerah sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan

    3. tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah Pusat.

    (2)

    Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pinjaman Daerah harus memenuhi persyaratan:

    1. kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Daerah harus sesuai dengan dokumen perencanaan daerah; dan

    2. persyaratan lain yang ditetapkan pemberi pinjaman sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 16
    (1)

    Pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka panjang wajib mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah.

    (2)

    Persetujuan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan pada saat pembahasan kebijakan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan prioritas dan plafon anggaran sementara. BAB IV PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -13- BAB IV PINJAMAN DAERAH YANG BERSUMBER DARI PEMERINTAH PUSAT Bagian Kesatu Umum


    Pasal 17
    (1)

    Daerah dapat mengajukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat kepada Menteri Keuangan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.

    (2)

    Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16. Bagian Kedua Usulan dan Penilaian Pinjaman Daerah


    Pasal 18
    (1)

    Kepala Daerah menyampaikan usulan rencana Pinjaman Daerah untuk mendapatkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dengan melampirkan dokumen:

    1. persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

    2. salinan berita acara pelantikan Kepala Daerah;

    3. kerangka acuan kegiatan;

    4. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah;

    5. Rencana Kerja Pemerintah Daerah;

    6. laporan keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir; g.Anggaran PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -14- g. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran berjalan;

    7. rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun berkenaan; dan

    8. rencana keuangan Pinjaman Daerah.

    (2)

    Berdasarkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri, Kepala Daerah menyampaikan usulan rencana Pinjaman Daerah kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan dokumen:

    1. persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

    2. salinan berita acara pelantikan Kepala Daerah;

    3. kerangka acuan kegiatan;

    4. laporan keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir;

    5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran berjalan;

    6. rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun berkenaan;

    7. rencana keuangan Pinjaman Daerah; dan

    8. surat pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pasa-l 19 (1) Dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Menteri Dalam Negeri melakukan penilaian:

    9. kesesuaian program dan/atau kegiatan dengan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah;

    10. kesesuaian kegiatan dengan urusan yang menjadi kewenangan daerah; PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -15- c. sinkronisasi rencana pinjaman dengan pendanaan selain pinjaman; dan

    11. sinkronisasi rencana kegiatan dengan program prioritas pembangunan nasional.

    (2)

    Pertimbangan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya dokumen usulan rencana Pinjaman Daerah secara lengkap dan benar.

    (3)

    Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), Menteri Keuangan melakukan penilaian:

    1. kemampuan keuangan daerah;

    2. kebutuhan riil Pinjaman Daerah; dan

    3. batas maksimal kumulatif defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dibiayai dari pinjaman.


    Pasal 20
    (1)

    Menteri Keuangan menyetujui atau menolak usulan Pinjaman Daerah berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya dokumen usulan Pinjaman Daerah secara lengkap dan benar.

    (2)

    Persetujuan atau penolakan terhadap usulan Pinjaman Daerah oleh Menteri Keuangan disampaikan kepada Kepala Daerah yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -16- Bagian Ketiga Perjanjian Pinjaman Pasal 2 1 (1) Persetujuan atas usulan Pinjaman Daerah ditindaklanjuti dengan melakukan Perjanjian Pinjaman.

    (2)

    Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

    1. jumlah pinjaman;

    2. jangka waktu pinjaman;

    3. suku bunga pinjaman;

    4. peruntukan pinjaman;

    5. hak dan kewajiban; dan

    6. ketentuan dan persyaratan.

    (3)

    Perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.

    (4)

    Perjanjian pinjaman yang dananya berasal dari Penerusan Pinjaman Dalam Negeri dituangkan dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri.

    (5)

    Perjanjian pinjaman yang dananya berasal dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri dituangkan dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri.

    (6)

    Perjanjian pinjaman yang dananya berasal dari sumber lainnya dituangkan da-lam Perjanjian Pinjaman Daerah. Pasal 22 . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -17-


    Pasal 22
    (1)

    Mata uang yang dicantumkan dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri dapat berupa mata uang rupiah atau mata uang asing.

    (2)

    Dalam hal mata uang yang digunakan adalah mata uang rupiah, selisih kurs yang terjadi menjadi beban daerah.


    Pasal 23
    (1)

    Menteri Keuangan dan/atau Kepala Daerah dapat mengajukan usulan perubahan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri, atau Perjanjian Pinjaman Daerah.

    (2)

    Perubahan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri, atau Perjanjian Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.


    Pasal 24

    Kepala Daerah menyampaikan salinan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri, dan Perjanjian Pinjaman Daerah kepada Menteri Dalam Negeri. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 18- Bagian Keempat Penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Penarikan dan Penyaluran Pinjaman Daerah Pasa-l 25 (1) Menteri Keuangan menJrusun rencana alokasi pengeluaran pembiayaan dan estimasi penerimaan pembiayaan dalam rangka pemberian pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Rencana alokasi pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan rencana tahunan pencairan dan/atau penyaluran pinjaman.

    (3)

    Rencana estimasi penerimaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup anggaran penerimaan pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai ketentuan peraturan perLrndang-undangan.

    (4)

    Anggaran penerimaan pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun berdasarkan tahapan dan/atau jadwal rencana pembayaran kembali pinjaman.


    Pasal 26

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t9- Pasa-l 26 (1) Menteri Keuangan melakukan penyaluran pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah setelah penandatanganan Perjanjian Pinjaman Daerah dan penetapan alokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Menteri Keuangan melakukan penarikan dan penyaluran pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang dananya berasal dari Pinjaman Dalam Negeri setelah penandatanganan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri dan penetapan alokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (3)

    Menteri Keuangan melakukan penarikan dan penyaluran pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang dananya berasal dari Pinjaman Luar Negeri setelah penandatanganan Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri dan penetapan alokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 2T

    (1)

    Penarikan dan/atau penyaluran pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dilakukan secara bertahap sesuai dengan pencapaian kinerja.

    (2)

    Penarikan dan/atau penyaluran pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui:

    1. pembayaranlangsung;

    2. rekening PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -20- b. rekening khusus;

    3. pemindahbukuan ke rekening kas umum daerah;

    4. letter of credit, atau e. pembiayaan pendahuluan. BAB V PINJAMAN DAERAH YANG BERSUMBER DARI DAERAH LAIN, LEMBAGA KEUANGAN BANK, DAN LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK Bagian Kesatu Prosedur Pinjaman Jangka Pendek


    Pasal 28
    (1)

    Daerah mengajukan usulan Pinjaman Daerah kepada calon pemberi pinjaman.

    (2)

    Daerah memilih pemberi pinjaman yang paling menguntungkan bagi daerah.

    (3)

    Pinjaman dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Kepala Daerah dan pemberi pinjaman. Bagian Kedua Prosedur Pinjaman Jangka Menengah dan Pinjaman Jangka Panjang Paragraf 1 Pengajuan Pinjaman


    Pasal 29
    (1)

    Daerah mengajukan usulan Pinjaman Daerah kepada calon pemberi pinjaman.

    (2)

    Daerah.

    (2)

    Daerah dalam melakukan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16.

    (3)

    Daerah memilih pemberi pinjaman yang paling menguntungkan bagi daerah. Paragraf 2 Perjanjian Pinjaman


    Pasal 30
    (1)

    Pinjaman Daerah yang bersumber dari daerah lain, LKB, dan LKBB dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang ditandatangani Kepala Daerah dengan pemberi pinjaman.

    (2)

    Perjanjian Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan perubahan Perjanjian Pinjaman Daerah atas usulan Kepala Daerah kepada pemberi pinjaman.

    (3)

    Salinan Perjanjian Pinjaman Daerah yang telah ditandatangani Kepala Daerah dan pemberi pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan.


    Pasal 31

    Pelaksanaan pinjaman yang bersumber dari daerah lain, LKB, dan LKBB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. BAB VI PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -22- BAB VI OBLIGASI DAERAH Bagian Kesatu Umum


    Pasal 32
    (1)

    Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat dilakukan di pasar modal domestik dan dalam mata uang rupiah.

    (2)

    Daerah bertanggung jawab atas segala risiko yang timbul akibat dari penerbitan Obligasi Daerah.

    (3)

    Daerah dilarang menerbitkan Obligasi Daerah yang menggunakan indeks tertentu yang menyebabkan nilai nominal Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo tidak sama dengan nilai nominal pada saat diterbitkan. Bagian Kedua Persyaratan Penerbitan Obligasi Daerah


    Pasal 33
    (1)

    Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri dan persetujuan dari Menteri Keuangan.

    (2)

    Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:

    1. persetujuan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -23- a. persetujuan atas pembayaran pokok, bunga, dan segala biaya yang timbul sebagai akibat penerbitan Obligasi Daerah; dan

    2. persetujuan atas nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan pada saat penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

    (3)

    Penerbitan Obligasi Daerah digunakan untuk membiayai infrastruktur dan/atau investasi berupa kegiatan pembangunan prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan Pemerintahan Daerah. (a) Pelaksanaan kegiatan pembangunan prasararLa dan/atau sarana daerah dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak melampaui akhir tahun anggaran pada masa berakhirnya jabatan Kepala Daerah.

    (5)

    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dikecualikan bagr kegiatan pembangunan prasarana dan/atau sarana daerah dalam rangka penyediaan pelayanan publik untuk mendukung prioritas nasional sesuai ketentuan peraturan perulndang-undangan.


    Pasal 34
    (1)

    Dalam menerbitkan Obligasi Daerah, daerah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 15 dan Pasal 16. harus dalam (2) Se1ain PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -24- (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), laporan keuangan daerah yang diaudit terakhir harus dengan opini wajar tanpa pengecualian atau wajar dengan pengecualian. Bagian Ketiga Usulan dan Penilaian Penerbitan Obligasi Daerah


    Pasal 35
    (1)

    Kepala Daerah menyampaikan usulan rencana penerbitan Obligasi Daerah untuk mendapatkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dengan melampirkan dokumen:

    1. persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

    2. salinan berita acara pelantikan Kepala Daerah;

    3. kerangka acuan kegiatan;

    4. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah;

    5. Rencana Kerja Pemerintah Daerah;

    6. laporan keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan;

    7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran berjalan;

    8. rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun berkenaan; dan

    9. rencana keuangan Pinjaman Daerah.

    (2)

    Berdasarkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri, Kepala Daerah menyampaikan usulan rencana penerbitan Obligasi Daerah kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan dokumen:

    1. persetujuan . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -25- a. persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

    2. salinan berita acara pelantikan Kepala Daerah;

    3. kerangka acuan kegiatan;

    4. laporan keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan;

    5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran berjalan;

    6. rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun berkenaan;

    7. rencana keuangan Pinjaman Daerah; dan

    8. surat pertimbangan Menteri Dalam Negeri.


    Pasal 36
    (1)

    Dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Menteri Dalam Negeri melakukan penilaian:

    1. kesesuaian kegiatan dengan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah;

    2. kesesuaian kegiatan dengan urusan yang menjadi kewenangan daerah danlatau prioritas nasional; dan

    3. sinkronisasi rencana pinjaman dengan pendanaan selain pinjaman.

    (2)

    Pertimbangan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya dokumen usulan rencana penerbitan Obligasi Daerah secara lengkap dan benar. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -26- (3) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2), Menteri Keuangan melakukan penilaian:

    1. kemampuan keuangan daerah;

    2. kebutuhan riil Pinjaman Daerah; dan

    3. batas maksimal kumulatif dehsit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dibiayai dari pinjaman.


    Pasal 37
    (1)

    Menteri Keuangan menyetujui atau menolak usulan Obligasi Daerah berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya dokumen usulan penerbitan Obligasi Daerah secara lengkap dan benar.

    (2)

    Persetujuan atau penolakan terhadap usulan Obligasi Daerah oleh Menteri Keuangan disampaikan kepada Kepala Daerah yar: g bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri. Bagian Keempat Perjanjian Penerbitan Obligasi Daerah


    Pasal 38
    (1)

    Perjanjian Penerbitan Obligasi Daerah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan dan ditandatangani oleh Kepala Daerah dan wali amanat sebagai wakil pemegang obligasi.

    (2)

    Setiap PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA (2) Setiap perjanjian penerbitan Obligasi Daerah paling sedikit mencantumkan:

    1. identitas para pihak;

    2. utang pokok;

    3. jatuh tempo utang pokok;

    4. bunga;

    5. sanksi yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya kewajiban dalam kontrak perwaliamanatan;

    6. penyisihan dana untuk pembayaran pokok atau bunga;

    7. penggunaan dana;

    8. tugas dan kewajiban;

    9. pembelian kembali Obligasi Daerah;

    10. rapat umum pemegang Obligasi Daerah; dan

    11. keadaan lalai. Bagian Kelima Penerbitan Obligasi Daerah Pasa1 39 (1) Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

    (2)

    Kepala Daerah wajib menyampaikan Peraturan Daerah mengenai penerbitan Obligasi Daerah kepada otoritas di bidang pasar modal sebelum pernyataan efektif Obligasi Daerah dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan.

    (3)

    Peraturan Daerah mengenai penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -28- a. jumlah nominal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan;

    1. penggunaan dana Obligasi Daerah; dan

    2. pembayaran pokok, bunga, dan biaya lainnya yang timbul sebagai akibat penerbitan Obligasi Daerah.

    (4)

    Dalam hal Obligasi Daerah diterbitkan dalam beberapa tahun anggaran, Peraturan Daerah mengenai penerbitan Obligasi Daerah harus memuat ketentuan mengenai jadwal penerbitan tahunan Obligasi Daerah.

    (5)

    Dalam hal Obligasi Daerah yang diterbitkan membutuhkan jaminan, Peraturan Daerah mengenai penerbitan Obligasi Daerah harus memuat ketentuan mengenai kegiatan yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam kegiatan tersebut yang akan dijadikan jaminan.


    Pasal 40
    (1)

    Daerah dapat membeli kembali Obligasi Daerah yang diterbitkan.

    (2)

    Obligasi Daerah yang dibeli kembali dapat diperlakukan sebagai pelunasan atas Obligasi Daerah tersebut atau disimpan untuk dapat dijual kembali.

    (3)

    Dalam hal Obligasi Daerah yang dibeli kembali disimpan untuk dapat dijual kembali, hak yang melekat pada Obligasi Daerah batal demi hukum.


    Pasal 41
    (1)

    Dana hasil penerbitan Obligasi Daerah ditempatkan pada rekening tersendiri yang merupakan bagian dari rekening kas umum daerah. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -29- (2) Dana hasil penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan sesuai dengan tujuan penerbitan Obligasi Daerah yang telah direncanakan.

    (3)

    Dalam hal terdapat sisa dana hasil penerbitan Obligasi Daerah setelah seluruh kegiatan terlaksana, Pemerintah Daerah dapat menggunakan sisa dana tersebut untuk mendukung pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau pembelian kembali Obligasi Daerah.

    (4)

    Dalam hal dana hasil penerbitan Obligasi Daerah tidak mencukupi kebutuhan pendanaan untuk membiayai kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), daerah bertanggungjawab untuk menutup kekurangan pendanaan kegiatan dimaksud.


    Pasal 42
    (1)

    Setiap tahun Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan dana cadangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai kemampuan keuangan daerah untuk pembayaran pokok Obligasi Daerah termasuk pembelian kembali Obligasi Daerah.

    (2)

    Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

    (3)

    Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan untuk keperluan lainnya sampai dengan berakhirnya kewajiban Obligasi Daerah. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -30- Bagian Keenam Pengelolaan Obligasi Daerah


    Pasal 43
    (1)

    Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah.

    (2)

    Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit:

    1. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk kebijakan pengendalian risiko ;

    2. perencanaan dan penetapan struktur portofolio Obligasi Daerah;

    3. penerbitan Obligasi Daerah;

    4. penjualan Obligasi Daerah melalui lelang;

    5. pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;

    6. pelunasan pada saat jatuh tempo;

    7. pelaporan dan publikasi; dan

    8. pertanggungjawaban.

    (3)

    Dalam pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah dibantu oleh unit pengelola Obligasi Daerah pada perangkat daerah yang bertugas melaksanakan pengelolaan keuangan daerah.

    (4)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Obligasi Daerah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. BAB VII PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA BAB VII PENGANGGARAN PINJAMAN DAERAH DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH


    Pasal 44
    (1)

    Seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (2)

    Keterangan yang memuat rincian penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam lampiran dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

    (3)

    Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor atau dibukukan dalam rekening kas umum daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perurndang-undangan.


    Pasal 45
    (1)

    Pemerintah Daerah wajib menganggarkan pembayaran pokok pinjaman, bunga/kupon, dan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian pinjaman.

    (2)

    Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.

    (3)

    Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari pendapatan daerah.

    (4)

    Dalam PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -32- (4) Dalam hal kewajiban pembayaran pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah jatuh tempo melebihi dana yang dianggarkan, Kepala Daerah tetap melakukan pembayaran sebesar jumlah kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut.

    (5)

    Kewajiban pembayaran pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dianggarkan dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau laporan realisasi anggaran dan catatan atas laporan keuangan tahun anggaran berjalan.

    (6)

    Dalam hal pembayaran pokok pinjaman, bunga/kupon, dan kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melampaui masa jabatan Kepala Daerah yang menandatangani perjanjian pinjaman, pemb ayar an pokok pinjaman, bunga/kupon, dan kewajiban lainnya wajib dilanjutkan oleh Kepala Daerah yang baru.


    Pasal 46
    (1)

    Pemerintah Daerah wajib melakukan pembayaran kembali pokok pinjaman, bunga, dan kewajiban lainnya atas Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat dan disetorkan ke rekening kas umum Negara atau rekening lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

    (2)

    Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat dilakukan dengan mata uang sesuai yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman. BAB VIII PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -33- BAB VIII PENATAUSAHAAN, PELAPORAN, DAN PERTANGGUNGJAWABAN PINJAMAN DAERAH Bagian Kesatu Penatausahaan


    Pasal 47
    (1)

    Menteri Keuangan melakukan penatausahaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat atas:

    1. penarikan dan/atau penyaluran Pinjaman Daerah; dan

    2. penerimaan kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah.

    (2)

    Kepala Daerah melakukan penatausahaan Pinjaman Daerah atas:

    1. penerimaan dan penggunaan Pinjaman Daerah; dan

    2. kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah. Bagian Kedua Pelaporan dan Pertanggungiawaban


    Pasal 48
    (1)

    Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman, termasuk alokasi pemenuhan kewajiban dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap semester. (21Laporan . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -34- (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari informasi keuangan daerah.


    Pasal 49
    (1)

    Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Menteri Keuangan men5rusun dan menyajikan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.

    (2)

    Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Pinjaman Daerah, Pemerintah Daerah men5rusun dan menyajikan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.


    Pasal 50

    Pertanggungjawaban atas pengelolaan Pinjaman Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Ra}ryat Daerah sebagai bagian dari Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.


    Pasal 51

    Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban Pinjaman Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, yang ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -35- BAB IX PEMANTAUAN DAN EVALUASI PINJAMAN DAERAH


    Pasal 52
    (1)

    Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan sesuai dengan kewenangannya, melakukan pemantauan dan evaluasi atas penarikan, penggunaan, dan pembayaran kembali Pinjaman Daerah.

    (2)

    Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan melakukan koordinasi penyelesaian atas permasalahan pemberian Pinjaman Daerah.

    (3)

    Menteri Keuangan dapat membatalkan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, apabila:

    1. penyerapan pinjaman mengalami keterlambatan yang sangat jauh menyimpang dari rencana penarikan; dan/atau b. penggunaan pinjaman tidak sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian pinjaman.

    (4)

    Pembatalan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pemberi pinjaman. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -36- BAB X PUBLIKASI PINJAMAN DAERAH


    Pasal 53
    (1)

    Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan publikasi informasi mengenai Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah kepada masyarakat secara berkala.

    (2)

    Publikasi informasi mengenai Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit:

    1. kebijakan tentang Pinjaman Daerah;

    2. posisi kumulatif Pinjaman Daerah;

    3. jangka waktu Pinjaman Daerah;

    4. tingkat suku bunga Pinjaman Daerah;

    5. sumber Pinjaman Daerah;

    6. penggunaan Pinjaman Daerah;

    7. realisasi penyerapan Pinjaman Daerah; dan

    8. pemenuhan kewajiban Pinjaman Daerah.

    (3)

    Publikasi informasi mengenai Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit:

    1. kebijakan penerbitan Obligasi Daerah;

    2. rencana penerbitan Obligasi Daerah yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan;

    3. pengelolaan Obligasi Daerah;

    4. jumlah Obligasi Daerah yang beredar komposisinya, struktur jatuh tempo, dan bunga;

    5. laporan keuangan Pemerintah Daerah; dan

    6. laporan penggunaan dana yang diperoleh penerbitan Obligasi Daerah.


    Pasal 54

    Setiap Perjanjian Pinjaman Daerah yang dilakukan Pemerintah Daerah merupakan dokumen publik diumumkan dalam berita daerah. beserta tingkat melalui oleh dan BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF


    Pasal 55
    (1)

    Dalam hal Pemerintah Daerah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (l), Menteri Keuangan mengenakan sanksi administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak daerah yang bersangkutan.

    (2)

    Pemerintah Daerah yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) kepada Pemerintah Pusat, pembayaran kewajiban diperhitungkan dengan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak daerah yang bersangkutan. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -38- (3) Pemerintah Daerah yang tidak menyampaikan laporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), Menteri Keuangan dapat menunda penyaluran Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagr Hasil kepada daerah yang bersangkutan.

    (4)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran kewajiban pinjaman kepada Pemerintah Pusat melalui perhitungan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN


    Pasal 56

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

    1. Perjanjian Pinjaman Daerah yang telah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya pelunasan pembayaran pinjaman; dan

    2. Pinjaman Daerah yang telah diajukan oleh daerah sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, proses penilaian dilaksanakan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2OlL tentang Pinjaman Daerah. BAB XIII . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -39- BAB XIII KETENTUAN PENUTUP


    Pasal 57

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2oll tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OlL Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5219), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.


    Pasal 58

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2}ll Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5219) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


    Pasal 59

    Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.


    Pasal 60

    Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -+o- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2018 JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 248 PR ESIDE N REPUBLIK INDONESIA -40- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2018 JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2O18 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2OI8 NOMOR 248 I PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2018 TENTANG PINJAMAN DAERAH UMUM Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa penyerahan sumber keuangan daerah baik berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan merupakan konsekuensi dari adanya penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah yang diselenggarakan berdasarkan asas otonomi. Untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, daerah harus mempunyai sumber keuangan agar daerah tersebut mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada ralryat di daerahnya. Sumber keuangan daerah harus seimbang dengan beban atau urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Keseimbangan sumber keuangan ini merupakan jaminan terselenggaranya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Ketika daerah mempunyai kemampuan keuangan yang kurang mencukupi untuk membiayai urusan pemerintahan dan khususnya urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar, Pemerintah Pusat dapat menggunakan instrumen dana perimbangan untuk membantu daerah sesuai dengan prioritas nasional yang ingin dicapai. Hal ini disebabkan, Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan daerah untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan kepada daerah. Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah tersebut meliputi:

    1. pemberian a. pemberian sumber penerimaan daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah;

    2. pemberian dana transfer dari Pemerintah Pusat ke daerah, yang meliputi dana perimbangan, dana otonomi khusus, dana keistimewaan, dana desa, dan dana percepatan; dan

    3. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif (fiskaI). Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut ketentuan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO4 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 65 Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2OO4 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan Pasal 3O2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2Ol4 tentang Pemerintahan Daerah. Pinjaman Daerah merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk mendanai kegiatan yang merupakan inisiatif Pemerintah Daerah dalam rangka urusan Pemerintahan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pinjaman Daerah dapat digunakan untuk membiayai infrasruktur dan/atau investasi prasarana danf alau sarana daerah dalam rangka pelayanan publik. Selain itu, Pinjaman Daerah juga dapat digunakan untuk menutup arus kas daerah. Pinjaman Daerah memiliki risiko kesinambungan fiskal, risiko tingkat bunga, dan risiko pembiayaan kembali, sehingga diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pengelolaan Pinjaman Daerah. Peraturan Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat, daerah lain, LKB, LKBB, dan masyarakat berupa Obligasi Daerah termasuk persyaratan dan prosedur serta jenis Pinjaman Daerah. Selain itu diatur pula ketentuan mengenai perencanaan dan penganggaran Pinjaman Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, pemantauan dan evaluasi, publikasi Pinjaman Daerah dan sanksi administratif. II. PASAL DEMI PASAL


    Pasal 1

    Cukup jelas.


    Pasal 2

    Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud dengan "taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah bahwa dalam pengelolaan Pinjaman Daerah harus patuh dan tunduk pada kaidah hukum yang ada. Huruf b Yang dimaksud dengan "transparan" adalah prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah. Huruf c Yang dimaksud dengan "akuntabel" adalah perwujudan kewajiban seseorang atau satuan kerja untuk mempertanggungiawabkan Pinjaman Daerah dalam pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Huruf d Yang dimaksud dengan "eflsien" adalah penggunaan Pinjaman Daerah untuk pencapaian keluaran yang maksimal dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. Yang dimaksud dengan "efektif' adalah pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. Huruf e Yang dimaksud dengan "kehati-hatian" adalah prinsip yang harus dipegang oleh Pemerintah Daerah dalam mengelola Pinjaman Daerah yaitu harus sesuai dengan tujuan melakukan Pinjaman Daerah.


    Pasal 4

    Cukup jelas. Pasa-l 5 Yang dimaksud dengan "batas maksimal jumlah kumulatif defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah" adalah jumlah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam 1 (satu) tahun anggaran.


    Pasal 6
    Pasal 6

    Cukup jelas.



    Pasal 7

    Ayat (1) Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman menunjukan rasio kemampuan membayar kembali pinjaman yang dikenal dengan istilah Debt Seruice Couerage Ratio (DSCR) dihitung dengan formula sebagai berikut: { ^PAD + ^DAU + (DBH-DBHDR)} - ^BW DSCR >x Pokok pinjaman + Bunga + BL DSCR = Rasio Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman Daerah yang bersangkutan; PAD = Pendapatan Asli Daerah; DAU = Dana Alokasi Umum; DBH = Dana Bagi Hasil; DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi; BW = Belanja Wajib; Pokok Pinjaman = Angsuran Pokok Pinjaman; Bunga = Beban Bunga Pinjaman; BL = Biaya Lain. DSCR Pemerintah Daerah ^> x X = Rasio kemampuan membayar kembali pinjaman (DSCR) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasa-l 8 Cukup je1as. Pasal 9 Cukup jelas. Pasa-l 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pelayanan publik" adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi masyarakat atas barang dan jasa yang disediakan oreh penyelenggara pelayanan publik. Pasa-l 11 Cukup jelas.


    Pasal 12

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan "tahun anggaran berjalan" adarah tahun anggaran pada saat Pemerintah Daerah melakukan pinjaman jangka pendek, sehingga jangka waktu pelunasan pinjaman jangka pendek tidak diperbolehkan melampaui tahun anggaran berjalan. Dengan demikian, pinjaman jangka pendek tidak diperbolehkan dilakukan untuk mendanai defisit kas pada akhir tahun anggaran. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pinjaman jangka pendek yang digunakan untuk menutup kekurangan arus kas dalam rangka pengelolaan kas antara lain untuk menutup kekurangan pembayaran gaji pegawai.


    Pasal 13

    Cukup jelas.


    Pasal 14

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "menghasilkan penerimaan tidak Iangsung" adalah berupa penghematan terhadap belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang seharusnya dikeluarkan apabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan. Huruf c Yang dimaksud dengan "manfaat ekonomi dan sosial" antara lain dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mengentaskan kemiskinan. Pasal 15. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -8- Pasa] 15 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "jumlah sisa Pinjaman Daerah" adalah jumlah seluruh kewajiban pembayaran kembali pinjaman lama yang belum dibayar, yang meliputi pembayaran pokok, bunga, danf atau kewajiban lainnya. Yang dimaksud dengan ' jumlah pinjaman yang akan ditarik" ada-lah jumlah rencana pinjaman yang diusulkan. Yang dimaksud dengan "penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah" adalah seluruh penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang tidak ditentukan penggunaannya, termasuk Dana Alokasi Khusus, hibah, dana bagi hasil cukai hasil tembakau, dan dana reboisasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dokumen perencanaan daerah meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah. Huruf b Cukup jelas. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -9-


    Pasal 16

    Ayat (1) Persetujuan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah dalam bentuk keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan hasil sidang paripurna, yang memuat antara lain penggunaan Pinjaman Daerah, jumlah Pinjaman Daerah, jangka waktu Pinjaman Daerah, dan kewajiban pembayaran pokok, bunga dan biaya lainnya. Persetujuan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah atas penggunaan Pinjaman Daerah, termasuk dalam hal Pinjaman Daerah diteruspinjamkan dan/atau dijadikan penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah. Ayat (2) Cukup jelas.


    Pasal 17

    Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "persetujuan Dewan Per-wakilan Ralryat Daerah" adalah persetujuan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan Pinjaman Daerah yang diputuskan dalam sidang paripurna Dewan Per-wakilan Rakyat Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kerangka acuan kegiatan diperlukan dalam hal Pinjaman Daerah akan digunakan untuk membiayai program dan kegiatan yang menghasilkan penerimaan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran berjalan" adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada saat daerah yang bersangkutan mengajukan usulan Pinjaman Daerah untuk mendapat pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan "rencana keuangan Pinjaman Daerah" adalah jadwal, waktu, dan besaran dana pinjaman yang akan ditarik dan jadwal, waktu, dan besaran dana pengembalian pinjaman. Ayat (2) Cukup jelas.


    Pasal 19

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (3) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "kemampuan keuangan daerah" adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaanya sudah diarahkan, untuk membiayai urusan Pemerintahan Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikalikan dengan jumlah penduduk miskin. Huruf b Yang dimaksud dengan "kebutuhan riil Pinjaman Daerah" adalah besaran pinjaman Pemerintah Daerah untuk membiayai programfkegiatan prioritas bagi Pemerintah Daerah. Huruf c Cukup jelas.


    Pasal 20

    Cukup jelas. Pasa-l 21 Cukup jelas.


    Pasal 22

    Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -12-


    Pasal 25

    Cukup jelas.


    Pasal 26

    Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "rekening khusus" adalah rekening Pemerintah Daerah yang dibuka oleh Kepala Daerah pada bank yang ditunjuk untuk menampung dan menyalurkan dana pinjaman Pemerintah Pusat dan dapat dipulihkan saldonya setelah dipertanggungjawabkan kepada Pemerintah Pusat sebagai pemberi pinjaman. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas.


    Pasal 29

    Cukup jelas. Pasal 30 . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -13-


    Pasal 30

    Cukup jelas. Pasal 31 Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah, Undang-Undang mengenai Perbankan, dan Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Biaya yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah antara lain biaya emisi, denda, jasa pemeringkat efek, serta jasa profesi dan lembaga penunjang pasar modal. Huruf b Yang dimaksud dengan "nilai bersih" adalah total keseluruhan nilai nominal Obligasi Daerah yang beredar yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah di luar nilai nominal Obligasi Daerah yang ditarik kembali sebagai pelunasan sebelum jatuh tempo danf atau Obligasi Daerah yang telah dilunasi pada saat jatuh tempo selama 1 (satu) tahun anggaran. Ayat (3) Kegiatan yang dibiayai dari penerbitan Obligasi Daerah terdiri dari satu atau beberapa kegiatan. Ayat (a) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -L4- Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.


    Pasal 34

    Cukup jelas.


    Pasal 35

    Cukup jelas.


    Pasal 36

    Cukup jelas. Pasa] 37 Cukup jelas.


    Pasal 38

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Wali Amanat" dalam ketentuan ini adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek bersifat utang termasuk Obligasi Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasa] 39 Cukup jelas.


    Pasal 40

    Cukup jelas.


    Pasal 41

    Cukup jelas.


    Pasal 42

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA


    Pasal 42

    Cukup jelas.


    Pasal 43

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengendalian risiko antara lain ketepatan waktu atas pembayaran bunga dan prinsipal Obligasi Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Pelunasan pada saat jatuh tempo akan dibayarkan pokok pinjaman kepada pemegang obligasi bersangkutan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas.


    Pasal 44

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA


    Pasal 44

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "rekening kas umum daerah" adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.


    Pasal 45

    Cukup jelas.


    Pasal 46

    Cukup jelas.


    Pasal 47

    Cukup jelas.


    Pasal 48

    Cukup jelas.


    Pasal 49

    Cukup jelas.


    Pasal 50

    Cukup jelas.


    Pasal 51

    Cukup jelas.


    Pasal 52

    Cukup jelas.


    Pasal 53

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA


    Pasal 53

    Cukup jelas. Pasal 54 Yang dimaksud dengan "dokumen publik" adalah dokumen yang dapat diketahui oleh seluruh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan dan pertanggungjawaban yang jelas kepada masyarakat tentang kewajiban Pemerintah Daerah terhadap Pinjaman Daerah yang dilakukan.


    Pasal 55

    Cukup ^je1as.


    Pasal 56

    Cukup jelas.


    Pasal 57

    Cukup jelas.


    Pasal 58

    Cukup jelas.


    Pasal 59

    Cukup jelas.


    Pasal 60 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6279

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):