Pemberdayaan Industri

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018

Kerangka<< >>

Menimbang Menimbang Mengingat Menetapkan PRES I DEN REPUELIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERDAYAAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 76, Pasal 83, Pasal 84 ayat (9), Pasal 86 ayat (3), Pasal 90, dan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2OI4 tentang Perindustrian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pemberdayaan Industri ; : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2Ol4 tentang Perind.ustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5a921; MEMUTUSKAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN INDUSTRI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan Industri. 2. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah Bahan Baku dan/atau memanfaatkan sumber daya Industri sehingga menghasilkan Barang yang mempunyai nilai umbah atau manfaat lebih tinggi, termasuk Jasa Industri.

  2. Pemberdayaan 3. Pemberdayaan Industri adalah ^kebdakan ^dan ^upaya Pemerintah Pusat dan Pemerintah ^Daerah ^yang terencana, terarah, dan terukur untuk ^memampukan ^dan memandirikan pelaku Industri secara ^partisipatif ^untuk peningkatan daya saing. +. Industri Kecil dan Industri Menengah ^yang ^selanjutnya disebut IKM adalah Perusahaan ^Industri ^yang ^skala usahanya ditetapkan berdasarkan ^jumlah ^tenaga ^kerja dan nitai investasi oleh Menteri sebagai ^Industri ^Kecil ^dan Industri Menengah. 5. Industri Hijau adalah Industri ^yang ^dalam ^proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya ^secara ^berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan ^pembangunan ^Industri dengan kelestarian fungsi Iingkungan hidup ^serta ^dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. 6. Industri Strategis adalah Industri ^yang penting ^bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang ^banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah ^sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan ^dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara ^dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara. 7. Bahan Baku adalah bahan mentah, Barang ^setengah ^jadi, atau Barang ^jadi yang dapat diolah menjadi ^Barang setengah ^jadi atau Barang ^jadi ^yang ^memPunyai ^nilai ekonomi yang lebih tinggi. 8. Sentra IKM adalah sekelompok IKM dalam ^satu lokasi/tempat yang terdiri dari paling sedikit 5 ^(lima) unit usaha yang menghasilkan ^produk sejenis, menggunakan Bahan Baku sejenis, dan/atau melakukan ^proses produksi yang sama. 9. Kemitraan adalah kerjasama kegiatan usaha baik antar IKM maupun dengan Industri besar dan/atau sektor ekonomi lainnya yang dilandasi oleh ^prinsip ^saling membutuhkan dan saling menguntungkan. 10. Unit Pelayanan Teknis adalah suatu unit kerja ^pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian yang dikelola secara profesional dengan prinsip nirlaba ^yang mempunyai tugas dan fungsi memberikan ^pelayanan kepada perusahaan atau pelaku usaha IKM dalam rangka pembinaan dan pengembangan IKM, termasuk penumbuhan pelaku usaha atau wirausaha baru.

  3. Tenaga Penyuluh Lapangan yang selanjutnya disebut TPL adalah orang yang memiliki keahlian tertentu yang ditugaskan berdasarkan perjanjian kerja ataupun pengangkatan sebagai pegawai tetap dengan fungsi sebagai fasilitator, motivator, komunikator, inisiator, dan dinamisator untuk membimbing dan membantu pengembangan usaha serta mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha IKM. 12. Konsultan IKM adalah individu atau kelompok yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah tercatat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerinta han : di bidang Perindustrian untuk memberikan Jasa konsultansi IKM. 13. Pemagangan adalah kegiatan pembelajaran dan pelatihan yang diikuti oleh IKM dan pembina IKM yang dilaksanakan di perusahaan yang lebih maju, lembaga, atau institusi pendidikan.dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan wawasan. 14. Pendampingan adalah kegiatan supervisi untuk membantu meningkatkan kemampuan teknis dan manajcrial perusahaan IKM yang dilakukan secara terus- menerus dalam jangka waktu tertentu. 15. Inkubator Wirausaha Industri adalah suatu lembaga intermediasi yang melakukan proses inkubasi terhadap peserta inkubasi (tenantl di bidang Industri. 16. Perusahaan Industri adalah setiap orang perseorangan atau korporasi yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri yang berkedudukan di Indoncsia. 17. Jenis Industri adalah bagian dari cabang Industri yang mempunyai ciri khusus yang sama dan/atau hasilnya bersifat akhir ctalam proses produksi, yang ditetapkan sesuai klasifikasi dalam klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia 18. Standar Industri Hijau adalah standar untuk mewujucikan Industri Hijau yang ditetapkan oleh Menteri. 19. Sertifrkasi Industri Hijau adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap Perusahaan Industri dalam pemenuhan Standdr Industri Hijau.

  4. Sertifikat 2O. Sertilikat Industri Hijau adalah pengakuan yang diberikan oleh lembaga Sertifikasi lndustri Hijau untuk menyatakan bahu'a Perusahaan Industri telah memenuhi Standar Industri Hijau.

  5. Produk Dalam Negeri adalah Barang dan Jasa, termasuk rancang bangun dan perekayasaan, yang diproduksi atau dikerjakan oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia, menggunakan seluruh atau sebagian tenaga kerja warga negara Indonesia, dan prosesnya menggunakan Bahan Baku atau komponen yang seluruh atau sebagian berasal dari dalam negeri.

  6. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak rnaupun tidak bergerak, untuk dimanfaatkan atau diperdagangkan oieh pengguna Barang.

  7. Jasa adalah layanan pekerjaan yang dilakukan oleh penyedia jasa, yang mencakup jasa konstruksi termasuk jasa konstruksi terintegrasi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya.

  8. Tingkat Komponen Dalam Negeri yang selanjutnya disebut TKDN adalah besaran kandungan dalam negeri pada Barang, .Iasa, serta gabungan Barang dan Jasa. 25. Bobot Manfaat Perusahaan adalah nilai penghargaan yang diberikan kepada Perusahaan Industri yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia.

  9. Verifikasi adalah kegiatan menghitung nilai TKDN Barang/Jasa dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan berdasarkan data yang diambil atau dikumpulkan dari kegiatan usaha produsen Barang, perusahaan Jasa, atau penyedia gabungan Barang dan Jasa. 27. Preferensi Harga adalah nilai penyesuaian harga terhadap harga penawaran dalam proses harga evaluasi akhir dalam pengadaan Barang/Jasa. 28. Kerja Sama Internasional di. Bidang tndustri adalah bentuk hubungan kerja sama yang dilakukan lintas batas negara dalam rangka pengembangan Industri nasional oleh Pemerintah Pusat, badan usaha, organisasi masyarakat, atau warga negara Indonesia.

  10. Rantai 29. Rantai Suplai Global adalah sistem dari organisasi, orang, kegiatan, informasi, clan sumber daya yang digunakan dalam memproduksi dan mendistribusikan produk Barang dan Jasa dari supplier kepada czrstomer secara global. 3O. Pejabat Perindustrian di Luar Negeri adalah pejabat bidang Perindustrian yang berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian yang ditempatkan dan ditugaskan di luar negeri.

  11. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang . memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik lndonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  12. Pemcrintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

  13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian.

    Pasal 2

    Lingkup pengaturan dalam Peraturan pemerintah ini meliputi: ^' a. penguatan kapasitas kelembagaan dan pemberian fasilitas kepada IKM;

    1. Industri Hijau;

    2. Industri Strategis;

    3. peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri; dan

    4. Kerja Sama Internasional di Bidang Industri. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -6- PENGUATAN KAPASITAS KELEMB*?II, oo* PEMBERIAN FASILITAS KEPADA INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH Bagian Kesatu Umum


    Pasal 3
    (1)

    Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembangunan dan pemberdayaan IKM untuk mewujudkan IKM yang:

    1. berdaya saing;

    2. berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri nasional;

    3. berperan dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja; dan

    4. menghasilkan Barang dan/atau Jasa Industri untuk diekspor. (21 Untuk mewujurikan IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

    5. perumusan dan penetapan kebijakan;

    6. penguatan kapasitas kelembagaan; dan

    7. pemberian fasilitas. (3) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c mengacu kepada kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. Bagian Kedua Penguatan Kapasitas Kelembagaan


    Pasal 4

    Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (21 huruf b paling sedikit dilakukan melalui:

    1. peningkatan kemampuan Sentra IKM, Unit pelayanan Teknis, TPL, serta Konsultan IKM; dan

    2. kerja sama PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -7- b. kerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait.


    Pasal 5
    (1)

    Peningkatan kemampuan Sentra IKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dilakukan paling sedikit dengan cara:

    1. membangun Sentra IKM;

    2. memfasilitasi pembentukan kepengurusan;

    3. meningkatkan kemampuan-kegiatan usaha; dan

    4. mendirikan Unit Pelayanan Teknis. (21 Ketentuan mengenai tata cara pendirian Unit Pelayanan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 6
    (1)

    Peningkatan kemampuan Unit pelayanan Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dilakukan dengan cara:

    1. optimalisasi dan/atau restrukturisasi mesin/peralatan;

    2. pengembangan organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Teknis;

    3. peningkatan sumber daya manusia; dan/atau

    4. perluasan jejaring kerja. (21 Ketentuan mengenai pengembangan organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 7
    (1)

    Peningkatan kemampuan TpL dan Konsultan IKM sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 4 huruf a dilakukan dengan cara:

    1. pendidikan dan pelatihan;

    2. Pcmagangan; dan/atau

    3. sertifikasi kompetensi. (21 Ketentuan mengenai tata cara pendidikan dan pelatihan, Pemagangan, dan sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 8
    (1)

    Apabila jumlah TPL atau Konsultan IKM untuk suatu daerah belum mencukupi, Pemerintah pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan pengadaan TPL atau Konsultan IKM dari daerah lain. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan TpL dan Konsultan IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 9

    Kerja sama dengan lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dilakukan paring sedikit meliputi:

    1. pendidikan dan pelatihan; . b. pendirian Inkubator Wirausaha Industri;

    2. survei dan riset pasar; dan/atau

    3. pemanfaatan hasil riset.


    Pasal 10
    (1)

    Kerja sama dengan lembaga penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf b dilakukan paling sedikit meliputi:

    1. identifrkasi masalah teknis dan manajerial;

    2. identifikasi kebutuhan mesin dan peralatan;

    3. pengembangan desain dan produk;

    4. pemanfaatan laboratorium;

    5. survei dan riset pasar;

    6. pemanfaatan hasil riset; dan/atau

    7. sertifikasi kompetensi. (21 Lembaga penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga penelitian dan pengembangan yang terakreditasi. Pasal 1 1 (1) Keda sama dengan asosiasi Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dilakukan paling sedikit meliputi:

    8. pengembangan pasar produk Sentra IKM;

    9. alih teknologi kepada IKM dan Unit ^pelayanan Teknis;

    10. pengembangan sumber daya manusia;

    11. Pemagangan;

    12. Pendampingan ke Sentra IKM dan Unit pelayanan Teknis; dan/atau

    13. pembukaan akses ke sumber Bahan Baku bagi Sentra IKM. (21 Asosiasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan asosiasi yang memiliki akta pendirian dan anggaran dasar yang dibuat oleh atau di hadapan notaris.


    Pasal 12
    (1)

    Kerja sama dengan asosiasi profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dilakukan paling sedikit meliputi:

    1. pengalihan teknologi kepada Sentra IKM dan Unit Pelayanan Teknis;

    2. pengembangan sumber daya manusia;

    3. survei dan riset; dan/atau

    4. Pendampingan ke Sentra IKM dan Unit pelayanan Teknis. (21 Asosiasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan asosiasi yang memiliki akta pendirian dan anggaran dasar yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Bagian PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 10 Bagian Ketiga Pemberian Fasilitas


    Pasal 13

    Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c diberikan dalam bentuk:

    1. peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan sertifikasi kompetensi;

    2. bantuan dan bimbingan teknis;

    3. bantuan Bahan Baku dan bahan penolong;

    4. bantuan mesin atau peralatan;

    5. pengembangan produk;

    6. bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan Industri Hijau;

    7. bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran;

    8. akses pembiayaan, termasuk penyediaan modal awal bagi wirausaha baru;

    9. penyediaan kawasan industri untuk IKM yang berpotensi mencemari lingkungan hidup; dan/atau

    10. pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan Kcmitraan antara Industri Kecil dengan Industri Menengah, Industri Kecil dengan Industri besar, dan Industri Menengah dengan Industri besar, serta IKM dengan sektor ekonomi lainnya.dengan prinsip saling menguntungkan.


    Pasal 14
    (1)

    Pemberian fasilitas dalam bentuk peningkatan kompetensi sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dilakukan dengan ca.ra penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.

    1. ^Pendidikan ^dan ^pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditakukan berdasarkan kebutuhan, sasaran, dan tujuan pembelajaran. (3) Pendidikan dan pelatihan meliputi pendidikan dan pelatihan teknis dan pendidikan dan pelatihan manajerial. (41 Pendidikan dan pelatihan diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau bekerja sama dengan lembaga pendidikan yang terakreditasi. (5) Biaya pendidikan dan pelatihan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan peningkatan kompetensi sumber daya manusia diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 15
    (1)

    Pemberian fasilitas dalam bentuk sertilikasi kompetensi sebagaimana Cimaksud dalam Pasal 13 huruf a dilakukan dengan cara memfasilitasi pelaku usaha dan/atau tenaga kerja IKM untuk mengikuti uji kompetensi sesuai dengan bidang kerja dan tugasnya. (21 Uji kompetensi sesuai dengan bidang kerja dan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan berdasarkan standar kompetensi kerja nasional Indonesia. (3) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa bantuan biaya untuk mengikuti uji kompetensi. (4) Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah mendapat lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. (5) Bantuan biaya sebagaimana dimaksud- pada ayat (3) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. (6) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan biaya untuk mengikuti uji kompetensi diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 16
    (1)

    Pemberian fasilitas bantuan dan bimbingan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b dilakukan dengan cara Pemagangan dan Pendampingan. (21 Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pelaku usaha dan/atau tenaga kerja IKM. (3) Biaya Pemagangan dan Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.


    Pasal 17
    (1)

    Pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dilakukan dengan cara menempatkan pelaku usaha dan/atau tenaga kerja IKM di Unit Pelayanan Teknis dan/atau Perusahaan Industri yang lebih maju. (2) Pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. manajemen usaha;

    2. penguasaan teknologi;

    3. proses produksi dan tata letak mesin/peralatan;

    4. sistem mutu dan standar mutu;

    5. desain produk; dan/atau

    6. desain kemasan. (3) Pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha dan/atau tenaga kerja IKM. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan Pemagangan diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 18
    (1)

    Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) dilakukan dengan cara menempatkan tenaga ahli, TPL, dan/atau Konsultan IKM pada unit usaha IKM dan/atau Sentra IKM. (2) Pendampingan sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) meliputi:

    1. manajemen usaha;

    2. penguasaan teknologi;

    3. proses produksi dan tata letak mesin/peralatan;

    4. sistem mutu dan standar mutu;

    5. desain produk;

    6. desain kemasan; dan/atau

    7. hak kekayaan intelektual. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan Pendampingan diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 19
    (1)

    Pemberian fasilitas dalam bentuk bantuan Bahan Baku dan bahan penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c diberikan:

    1. berdasarkan skema penyediaan Bahan Baku dan bahan penolong;

    2. melalui unit pelayanan Bahan Baku dan bahan penolong; dan/atau

    3. melalui pengenalan penggunaan Bahan Baku dan bahan penolong alternatif.

      1. ^Selain pemberian ^fasilitas ^sebagaimana dimaksud pada ayat (l), bantuan Bahan Baku dan bahan penolong dapat diberikan secara langsqng kepada Industri Kecil. (3) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 diberikan kepada IKM yang menghadapi hambatan dan permasalahan jumlah, kualitas atau kesinambungan dalam pengadaan Bahan Baku dan bahan penolong. (41 Pembiayaan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. Pasal 2O PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -14-


    Pasal 20
    (1)

    Pemberian fasilitas berdasarkan skema penyediaan Bahan Baku dan bahan penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a dilakukan melalui kerja sama penyediaan Bahan Baku antara ^pemerintah pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan penyedia Bahan Baku dan IKM. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas berdasarkan skema penyediaan Bahan Baku dan bahan penolong diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 2 1 (l) Pemerintah hrsat dan/atau pemerintah Daerah mendirikan dan mengelola unit pelayanan Bahan Baku dan bahan penolong sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (l) huruf b. (21 Lokasi unit pelayanan Bahan Baku dan bahan penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ditetapkan dengan memperhatikan potensi Sentra IKM dan rencana pengembangannya. (3) Unit pelayanan Bahan Baku dan bahan penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat metatutan pengolahan awal guna penyiapan Bahan Baku. (41 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian dan pengelolaan unit pelayanan Bahan Baku dan bahan penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 22
    (1)

    Pengenalan penggunaan Bahan Baku dan bahan penolong alternatif sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara uji coba Bahan Baku dan bahan penoiong alternatif di peruiahaan IKM. l2l ^Bahan Baku dan bahan penolong alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari hasil penelitian yang telah teruji dengan menggunakan sumber daya lokal dan nasiorial. PRES I DEN REPUBLIK INOONESIA 15 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenalan penggunaan Bahan Baku dan bahan penolong alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat l2l diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 23
    (1)

    Pemberian fasilitas bantuan mesin atau peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d dilakukan dalam rangka meningkatkan produktivitas, mutu, dan/atau ragam produk. (21 Pemberian fasilitas bantuan mesin atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:

    1. pemberian secara langsung; atau

    2. potongan harga pembelian mesin atau peralatan. (3) Fasilitas bantuan mesin atau peralatan melalui pemberian secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a diberikan kepada kelompok usaha bersama Industri Kecil yarrg masih menggunakan peralatan dengan teknologi tradisional/manual. (41 Fasilitas bantuan mesin atau peralatan melalui potongan harga sebagaimana dimaksud pada ayat(21huruf b dapat diberikan pada tahun berjalan atau pada tahun berikutnya.


    Pasal 24
    (1)

    Menteri, gubernur, danf atau bupati/wali kota melakukan verihkasi terhadap permintaan fasilitas bantuan mesin dan peralatan sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 23. (21 Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (L), Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota dapat menunjuk atau bekeda sama dengan lembaga independen. (3) Lembaga independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lainnya yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan.

    (4)

    Ketentuan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA t6 lO Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas bantuan mesin dan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan pada ayat (1), ayat (21, dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 25
    (1)

    Pemberian fasilitas pengembangan produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf e diberikan kepada IKM yang termasuk dalam prioritas pengembangan IKM dalam rangka diversifikasi, hilirisasi, atau standardisasi produk. l2l ^Pemberian ^fasilitas ^pengembangan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (l) berupa:

    1. bantuan penelitian dan pengembangan produk;

    2. promosi alih teknologi;

    3. bantuan desain produk;

    4. bantuan desain kemasan;

    5. pembuatan purwarupa (prototype)produk; dan/atau

    6. uji coba pasar. (3) Selain fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat l2l, untuk Industri Kecil dapat diberikan fasilitas:

    7. pemberian konsultansi, bimbingan, advokasi dan perlindungan hak kekayaan intelektual; dan/atau

    8. bantuan bimbingan dan fasilitasi sertifikasi untuk Standar Nasional Indonesia, spesifikasi teknis dan/atau pedoman tata cara, dan standar mutu lainnya. (41 Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat (3) dilakukan melalui kerja sarna dengan lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga sertifikasi produk, atau lembaga lainnya. (5) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibiayai oleh Pemerintah Pusat, ^pemerintah Daerah, dan/atau lembaga lainnya baik secara sendiri atau secara bersama dengan perusahaan IKM. (6) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara pemberian fasilitas pengembangan produk diatur dalam peraturan Menteri. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -17-


    Pasal 26
    (1)

    Pemberian fasilitas bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan Industri Hrjau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf f diberikan dengan cara:

    1. bantuan penJrusunan upaya pengelolaan lingkungan hidup, upaya pemantauan lingkungan hidup, dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;

    2. bimbingan dan penyediaan informasi penerapan produksi ramah lingkungan hidup;

    3. penyelenggaraan pengelolaan air limbah bersama; dan/atau

    4. Sertifikasi Industri Hijau. (21 Fasilitas bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada IKM yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, (3) Bantuan pen)rusunan upaya pengelolaan lingkungan hidup, upaya pemantauan lingkungan hidup, dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a serta bimbingan dan penyediaan informasi penerapan produksi ramah lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui kerja ""-" dengan lembaga penelitian dan pengembangan, konsultan lingkungan hidup, atau tenaga ahli lainnya yang mempunyai kompetensi dalam penerapan produksi ramah lingkungan hidup dan Industri Hijau. (41 Penyelengaraan pengelolaan air limbah bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf c dilaksanakan oleh Pemerintr.h D""r.h X"brp"ten/Kota. (5) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Provinsi dapat membantu Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pengelolaan air limbah bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berdasarkan permintaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (6) Menteri menetapkan IKM yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (21. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 18 Pasal 27 (l) Pemberian fasilitas bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 hurrrf g diberikan dengan cara:

    5. penyediaan data dan/atau informasi peluang pasar;

    6. penyediaan sarana promosi dan keikutsertaan dalam pameran serta forum promosi lainnya;

    7. temu usaha; dan/atau

    8. kompetisi produk inovatif dan kreatif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 28

    Pemberian fasilitas akses pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf h dilakukan dengan cara:

    1. penyediaan informasi skema pembiayaan; dan

    2. pen5rusunan studi kelayakan usaha.


    Pasal 29
    (1)

    Pemberian fasilitas penyediaan modal awal bagi wirausaha baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf h bertujuan untuk memberikan kesempatan untuk memulai kegiatan usaha. l2l ^Pemberian ^fasilitas ^sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat ^(1) diberikan paling banyak 1 (satu) kali dengan cara:

    1. investasi berupa mesin, peralatan, dan/atau teknologi produksi termasuk perangkat lunak; dan/atau

    2. modal kerja berupa Bahan Baku, bahan penolong, dan/atau sewa tempat usaha paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Pemberian fasilitas penyediaan modal awal bagi wirausaha baru sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diberikan kepada wirausaha baru Industri Kecil yang menjadi peserta program Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

    (4)

    Wirausaha .

    (4)

    Wirausaha baru Industri Kecil yang ingin mendapatkan fasilitas penyediaan modal awal harus mengajukan permohonan dengan melampirkan rencana usaha. (5) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah menugaskan tim ahli untuk melakukan evaluasi atas rencana usaha dan memberikan rekomendasi terhadap kebutuhan dan besaran modal awal yang diperlukan. (6) Ketentuan mengenai program Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah untuk menumbuhkan wirausaha baru Industri Kecil, penetapan kriteria, besaran, tata cara, dan prosedur pemberian modal awal bagi wirausaha baru ditetapkan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota. Pasal 30 (l) Pemberian fasilitas penyediaan kawasan industri untuk IKM yang berpotensi mencemari lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i dilakukan dengan cara:

    1. relokasi IKM yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup dalam kawasan industri yang sudah ada; dan/atau

    2. pembangunan kawasan industri untuk IKM yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup. (2) Relokasi IKM yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup pada kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. (3) Pembangunan kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perulndang-undangan.


    Pasal 31
    (1)

    Pemberian fasilitas pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan Kemitraan antara Industri Kecil dengan Industri Menengah, Industri Kecil dengan lndustri besar, dan Industri Menengah dengan Induitri besar, serta IKM dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan sebagaimana dimakJud dalam Pasal 13 hurufj dilakukan dengan cara:

    1. kegiatan temu usaha;

    2. bantuan pen)rusunan proposal, kontrak, dan/atau profil; dan

    3. fasilitas lain yang diperlukan guna menjalin hubungan Kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan Kemitraan Industri diatur dalam Peraturan Menteri. BAB III INDUSTRI HIJAU Bagian Kesatu Standardisasi Industri Hrjau


    Pasal 32

    Standardisasi Industri Hijau terdiri dari:

    1. Standar Industri Hijau; dan

    2. Sertilikasi Industri Hijau.


    Pasal 33

    standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 huruf a paling sedikit memuat ketentuan mengenai:

    1. Bahan Baku, bahan penolong, dan energi;

    2. proses produksi;

    3. produk;

    4. manajemen pengusahaan; dan

    5. pengelolaan limbah.


    Pasal 34
    (1)

    Bahan Baku dan bahan penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a harus digunakan secara efisien dan efektif dengan mengupayakan penggunaan Bahan Baku dan bahan penolong terbarukan.

    (2)

    Energi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf a harus digunakan secara efisien dan efektif dengan mengupayakan penggunaan energi baru dan terbarukan. (3) Proses produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b dilakukan dengan optimalisasi kinerja proses produksi. (4) Produk sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf c harus memenuhi persyaratan mutu, termasuk kemasannya. (5) Manajemen pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d harus mengadopsi sistem manajemen pengusahaan yang berlaku. (6) Pengelolaan limbah sebagaimana dimaksud daram pasal 33 huruf e harus menggunakan teknologi yang efektif untuk memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan.


    Pasal 35
    (1)

    Menteri men]rusun standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 berdasarkan Jenis Industri sesuai klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia. (21 Pen5rusunan standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan dengan berkoordinasi dengan kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait, asosiasi Industri, perusahaan Industri, dan/atau lembaga terkait. (3) Pen5rusunan standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 diiakukan berdasarkan pandr", y"rrg ditetapka-n oleh Menteri. Pasal 36 (1) Penerapan standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 secara bertahap dapat diberlakukan secara wajib. l2l ^Pemberlakuan Standar Industri Hijau secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengln mempertimbangkan:

    1. ketersediaan sumber daya alam; dan/atau

    2. daya dukung lingkungan hidup.

    (3)

    Pemberlakuan .

    (3)

    Pemberlakuan Standar Industri Hijau secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.


    Pasal 37

    Perusahaan Industri yang telah memenuhi standar Industri Hijau diberikan Sertifikat Industri Hijau.


    Pasal 38
    (1)

    Sertifikasi Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b dilakukan melalui suatu rangkaian proses pemeriksaan dan pengujian oleh lembaga sertifikasi Industri Hijau yang terakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri. (21 Lembaga Sertifikasi Industri Komite Akreditasi Nasional. Hijau diakreditasi oleh (3) Dalam hal belum terdapat lembaga Sertifikasi Industri Hijau yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 Menteri dapat menunjuk lembaga sertifikasi Industri Hijau. (4) Menteri melakukan pengawasan terhadap lembaga sertifikasi Industri Hijau yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayar (3).


    Pasal 39
    (1)

    Lembaga sertifikasi Industri Hijau daram melakukan pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dilaksanakan oleh auditor Industri Hijau. (2) Auditor Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki sertifikat kompetensi auditoi lnaust.i Hijau. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi auditor Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat(2ldiatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 40
    (1)

    Menteri melakukan pengawasan terhadap penerapan Standar Industri Hijau yang diberlakukan secara wajib. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menunjuk pejabat pengawas dan/atau lembaga Sertifikasi Industri Hijau. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan penerapan Standar Industri Hijau yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (U diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Fasilitas Industri Hrjau


    Pasal 41

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas kepada Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau.


    Pasal 42
    (1)

    Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 berupa fasilitas fiskal dan fasilitas nonfrskal. (21 Fasilitas liskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Bentuk fasilitas nonfiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

    1. pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia Industri dalam penerapan Industri Hijau;

    2. pelimpahan hak produksi atas suatu teknologi yang lisensi patennya telah dipegang oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah;

    3. pembinaan keamanan dan/atau pengamanan kegiatan opcrasional sektor Industri guna keberlangsungan atau kelancaran kegiatan logistik dan/atau produksi bagi Perusahaan Industri yang merupakan obyek vital nasional dan memiliki Sertifikat Industri Hijau; dan/atau

    4. penyediaan. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -24- d. penyediaan bantuan promosi hasil produksi. (4) Dalam hal tertentu, Menteri dapat menetapkan bentuk fasilitas nonfiskal selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Bagian Ketiga Penggunaan Produk Industri Hijau


    Pasal 43

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memprioritaskan penggunaan produk yang memiliki Sertifikat Industri Hijau. BAB IV INDUSTRI STRATEGIS Bagian Kesatu Umum


    Pasal 44
    (1)

    Industri Strategis terdiri atas Industri yang:

    1. memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak;

    2. meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis; dan/atau

    3. mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara. (21 Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh Negara. (3) Penguasaan sebagaimana dimaksud. dilakukan melalui: pada ayat l2l a. pengaturan kepemilikan;

    4. penetapan kebijakan;

    5. pengaturan perizinan;

    6. pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan

    7. pengawasan. Bagian Bagian Kedua Pengaturan Kepemilikan


    Pasal 45
    (1)

    Kepemilikan Industri Strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf a dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui:

    1. penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah Pusat;

    2. pembentukan usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta; atau

    3. pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing. (21 Pelaksanaan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pembentukan usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan batasan saham milik Pemerintah Pusat paling sedikit 51% (lima puluh satu persen).


    Pasal 46
    (1)

    Menteri mengusulkan kepemilikan atas Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a dan huruf b yang akan ditetapkan sebagai Industri Strategis. (21 Kepemilikan atas Industri Strategis yang mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (l) huruf c diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Penetapan Kebijakan


    Pasal 47

    Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (3) huruf b terdiri dari:

    1. penetapan Jenis Industri Strategis;

    2. pemberian fasilitas; dan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -26- c pemberian kompensasi kerugian Pasal 48 (U Menteri mengusulkan Jenis Industri strategis seterah berkoordinasi dengan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait. (21 Jenis Industri strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan presiden.


    Pasal 49
    (1)

    Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 huruf b dilakukan oleh ^pemerintah pusat dalam rangka pembangunan dan pengembangan Industri Strategis. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Industri Strategis yang melakukan:

    1. pendalaman struktur;

    2. penelitian dan pengembangan teknologi;

    3. pengujian dan sertifikasi; atau

    4. restrukturisasi mesin dan peralatan. (3) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (f) berupa fasilitas fiskal dan fasilitas nonfiskal. (4) Fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perulndang- undangan. (5) Fasilitas nonfiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan paling sedikit dalam bentuk:

    5. kemudahan pelayanan perizinan;

    6. kemudahan memperoleh lahan/lokasi; dan

    7. pemberian bantuan teknis.


    Pasal 50

    (21 Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas kerugian yang dialami oleh Industri Strategis sesuai pengaturan produksi, distribusi, dan harga yang ditetapkan oleh Pemerintah hrsat. (3) Pemberian kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diberikan dalam bentuk margin yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Pengaturan Produksi, Distribusi, dan Harga


    Pasal 51
    (1)

    Pengaturan produksi, distribusi, dan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (31 huruf d dilakukan dalam rangka memelihara stabilitas ekonomi nasional dan ketahanan nasional. (21 Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk. (3) Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk sebagaimana dimaksud pada ayatl2l dilakukan terhadap:

    1. produk Industri Strategis yang digunakan oleh Pemerintah Pusat; atau

    2. produk yang terkait dengan kebutuhan masyarakat yang hanya diproduksi oleh Industri Strategis. (41 Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan/atau harga produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.


    Pasal 52

    Perusahaan Industri Strategis wajib melaporkan rencana dan realisasi produksi, kebutuhan dan stok Bahan Baku, distribusi, dan harga produk kepada Menteri setiap 6 (enam) bulan dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Bagian PRES I DEN REPUELIK INDONESIA 28 Bagian Kelima Pengawasan


    Pasal 53
    (1)

    Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf e dilakukan oleh Menteri paling sedikit atas:

    1. penetapan Industri Strategis sebagai obyek vital nasional; dan

    2. distribusi produk. (21 Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap status kepemilikan, pelaksanaan kebijakan, legalitas perizinan, kegiatan produksi, distribusi, dan penerapan harga produk dari Industri Strategis. (3) Penetapan Industri Strategis sebagai obyek vital nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri. BAB V PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI Bagian Kesatu Umum


    Pasal 54

    Peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri bertujuan untuk:

    1. memberdayakan Industri dalam negeri; dan

    2. memperkuat struktur Industri.


    Pasal 55

    Pengguna Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 terdiri dari Pemerintah pusat, pemerintah Daerah, badan usaha, dan masyarakat. Pasal 56 .


    Pasal 56

    Lingkup pengaturan peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri meliputi:

    1. keu,ajiban penggunaan Produk Dalam Negeri;

    2. upaya peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri oleh badan usaha swasta dan masyarakat;

    3. TKDN;

    4. tim peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri;

    5. pembinaan dan pengawasan; dan

    6. penghargaan atas penggunaan Produk Dalam Negeri. Bagian Kedua Kewajiban Penggunaan Produk Dalam Negeri


    Pasal 57

    Produk Dalam Negeri wajib digunakan oleh pengguna Produk Dalam Negeri sebagai berikut:

    1. lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, lembaga pemerintah lainnya, dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan Barang/Jasa apabila sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri; dan

    2. badan usaha milik negara, badan hukum lainnya yang dimiliki negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta dalam pengadaan Barang/Jasa yang:


  14. pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;

  15. pekerjaannya dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan badan usaha; dan/atau

  16. mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 30

    Pasal 58
    (1)

    Kewajiban penggunaan Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dilakukan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan pengadaan Barang/Jasa. l2l ^Pengguna ^Produk Dalam ^Negeri ^sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 harus memberikan informasi mengenai rencana kebutuhan tahunan Barang/Jasa yang akan digunakan. (3) Rencana kebutuhan tahunan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (21 meliputi spesifikasi teknis, jumlah, harga, dan pelaksanaan pengadaan Barang/Jasa. (4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 harus diumumkan melalui media elektronik, media cetak, dan/atau melalui sistem informasi Industri nasional.


    Pasal 59
    (1)

    Pen5rusunan rencana kebutuhan tahunan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan Industri dalam negeri sesuai daftar inventarisasi produk Dalam Negeri yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian. (21 Peny'usunan rencana kebutuhan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan melalui audit teknotogi. (3) Audit teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 60

    Pengadaan Produk Dalam Negeri terdiri dari:

    1. pengadaan Barang;

    2. pengadaan Jasa; dan

    3. pengadaan gabungan Barang dan Jasa. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -31-


    Pasal 61
    (1)

    Dalam pengadaan Barang/Jasa, pengguna Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib menggunakan Produk Dalam Negeri apabila terdapat Produk Dalam Negeri yang memiliki penjumlahan nilai TKDN dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan minimal ^4O%o (empat puluh persen). (2) Produk Dalam Negeri yang wajib digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki nilai TKDN paling sedikit 25% (dua puluh lima persen). (3) Pengadaan BaranglJasa yang memenuhi ketentuan nilai TKDN dan Bobot Manfaat Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui tender atau pembelian langsung secara elektronik (e purchasing) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (4) Nilai TKDN dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada daftar inventarisasi Barang/Jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh Menteri. (5) Menteri dapat menetapkan batas minimum nilai TKDN pada Industri tertentu di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Besaran nilai TKDN dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan atas Produk Dalam Negeri yang diserahkan oleh produsen Barang dan/atau penyedia Jasa dalam pengadaan Produk Dalam Negeri harus sesuai dengan besaran nilai yang dicantumkan pada daftar inventarisasi Barang/Jasa produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (71 Produsen Barang dan/atau penyedia Jasa wajib menjamin Produk Dalam Negeri yang diserahkan dalam pengadaan Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diproduksi di dalam negeri.


    Pasal 62
    (1)

    Dalam pen5rusunan dokumen pengadaan Barang/Jasa, pejabat pengadaan BaranglJasa wajib mencantumkan persyaratan Produk Dalam Negeri yang wajib digunakan. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -32- (2) Pejabat pengadaan Barang/Jasa dapat meminta klarifikasi terhadap kebenaran nilai TKDN yang tercantum dalam daftar inventarisasi Barang/Jasa produksi dalam negeri kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian. Pasal 63 (l) Dalam pengadaan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b dan pengadaan gabungan Barang dan Jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf c, pengguna Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib mengikutsertakan perusahaan Jasa dalam negeri. (21 Perusahaan Jasa dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha milik negara, badan usaha lainnya yang dimiliki negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha yang menghasilkan Jasa yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan kepemilikan saham lebih dari 50% (lima puluh persen) oleh badan usaha milik negara, badan usaha mitik daerah, badan usaha yang dimiliki seluruhnya.oleh warga negara Indonesia, dan/atau perseorangan warga negara Indonesia. Pasal 64 (l) Pengguna Produk Dalam Negeri sebagaimana crimaksud dalam Pasal 57 wajib memberikan preferensi Harga atas Produk Dalam Negeri yang memiliki nilai rKDN lebih besar atau sama dengan 21o/o (dua puluh lima persen). (21 Preferensi Harga Produk Dalam Negeri untuk Barang diberikan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen). (3) Preferensi Harga Produk Dalam Negeri untuk Jasa konstruksi yang dikerjakan oleh perusahaan dalam negeri diberikan paling tinggi 7,so/o (tujuh koma lima pers.rry ai atas harga penawaran terendah dari perusahaan asing. (4) Ketentuan dan tata cara pemberian preferensi Harga sesuai dengan yang diatur dalam peraturan presidJn tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah. Bagian Bagian Ketiga Upaya Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri oleh Badan Usaha Swasta dan Masyarakat Pasal 65 (l) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau pemangku kepentingan lainnya mengupayakan peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri kepada badan usaha swasta dan masyarakat melalui:

    1. promosi dan sosialisasi mengenai Produk Dalam Negeri;

    2. pendidikan sejak dini mengenai kecintaan, kebanggaan, dan kegemaran menggunakan Produk Dalam Negeri; dan

    3. pemberian akses informasi Produk Dalam Negeri. (2) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat menyediakan fasilitas fiskal dan/atau fasilitas nonfiskal kepada badan usaha swasta yang menggunakan Produk Dalam Negeri. (3) Fasilitas fiskal dan/atau fasilitas nonliskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 66

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri diatur dalam peraturan Menteri. Bagian Keempat Tingkat Komponen Dalam Negeri


    Pasal 67
    (1)

    Produk Dalam Negeri ditentukan berdasarkan besaran komponen dalam negeri pada setiap Barang/Jasa yang ditunjukkan dengan nilai TKDN. (21 TKDN sebagaimana dimaksud pada ayat (l) terdiri dari:

    1. TKL\N Barang;

    2. TKDN Jasa; ctan c. TKDN PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -34- c. TKDN gabungan Barang dan Jasa. (3) Nilai TKDN Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a dihitung berdasarkan faktor produksi yang meliputi:

    3. bahan/material langsung;

    4. tenaga kerja langsung; dan

    5. biaya tidak langsung pabrik (factory ouerteadl. (41 Nilai TKDN Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dihitung berdasarkan biaya yang meliputi:

    6. tenaga kerja;

    7. alat kerja/fasilitasi kerja; dan

    8. Jasa umum. (5) Nilai TKDN gabungan Barang dan Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf c dihitung berdasarkan gabungan faktor produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (41. (6) Nilai kemampuan intelektual (brainware)dapat dihitung sebagai biaya dalam penghitungan nilai TKDN.


    Pasal 68
    (1)

    Produsen Barang dan/atau diberikan nilai penghargaan Perusahaan. (21 Besaran capaian nilai Bobot sebagaimana dimaksud pada berdasarkan faktor penentu. (3) Ketentuan mengenai faktor penentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan Menteri.


    Pasal 69

    Ketentuan dan tata cara penghitungan nilai TKDN sebagaimana dimaksud dalam pasal 6T d,an besaran nilai Bobot Manfaat Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 diatur dalam Peraturan Menteri. penyedia Jasa dapat berupa Bobot Manfaat Manfaat Perusahaan ayat (U dihitung


    Pasal 70
    Pasal 70
    (1)

    Penghitungan dan verifikasi besaran nilai rKDN dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan dilakukan melalui sertifikasi TKDN oleh Menteri. (21 Menteri dalam melakukan penghitungan dan verifikasi besaran nilai rKDN dan nilai Bobot Manfaat perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk lembaga verifikasi independen yang kompeten di bidangnya. (3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayar (f ) dilakukan terhadap produsen Barang, penyedia Jasa, atau penyedia gabungan Barang dan Jasa yang memiliki izin usaha Industri yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam melakukan penghitungan nilai TKDN dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengacu pada ketentuan dan tata cara penghitungan nilai rKDN dan besaran nilai Bobot Manfaat Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69. (5) Hasil penghitungan dan verifikasi besaran nilai rKDN Barang dan nilai Bobot Manfaat ^perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandasahkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri dalam bentuk sertifikat TKDN. (6) Besaran nilai TKDN Barang dan/atau nilai Bobot Manfaat Perusahaan yang dimuat dalam sertifikat TKDN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dicantumkan dalam daftar inventarisasi Barang/Jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh kementerian menyelenggarakan urusan pemerintahan di Perindustrian. yang bidang (71 Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan rembaga verifikasi independen diatur dengan peraturan Menteri.



    Pasal 71

    Perusahaan Industri selaku produsen Barang mencantumkan besaran nilai rKDN Barang yang sudah ditandasahkan pada label produk. Pasal,72 (1) Produsen Barang dapat melakukan penghitungan sendiri (self assesment) nilai TKDN Barang dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan sesuai dengan ketentuan dan tata cara penghitungan nilai rKDN dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69. (21 Nilai TKDN Barang dan nilai Bobot Manfaat perusahaan hasil penghitungan sendiri oleh produsen Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (l) menjadi pertimbangan awal bagi lembaga verifikasi independen dalam penghitungan besaran nilai TKDN Barang dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan bagi pengguna produk Dalam Negeri. (3) Penyedia Jasa dan/atau penyedia gabungan Barang dan Jasa dapat melakukan penghitungan sendiri nilai TKDN Jasa dan/atau nilai TKDN gabungan Barang dan Jasa sesuai dengan ketentuan dan tata cara perhitungan nilai TKDN dan nilai Bobot Manfaat perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 untuk satu kegiatan pelaksanaan tender. Bagian Ke1ima Tim Peningkatan Penggunaan produk Dalam Negeri


    Pasal 73
    (1)

    Dalam rangka pelaksanaan peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri, ^pemerintah pusat membentuk Tim Nasional Peningkatan ^penggunaan produk Dalam Negeri, yang selanjutnya disebut Tim Nasional p3DN. (21 Tim Nasional P3DN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan presiden. (3) Untuk mendukung Tim Nasional p3DN, dibentuk satuan kerja P3DN di bawah Menteri.


    Pasal 74
    (1)

    Untuk mengoptimalkan penggunaan Produk Dalam Negeri, dibentuk Tim P3DN pada setiap pengguna Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 yang beranggotakan wakil dari unsur Pemerintah hrsat atau Pemerintah Daerah dan unsur dunia usaha. (21 Tim P3DN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:

    1. melakukan koordinasi, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri di lingkungan masing-masing;

    2. memberikan tafsiran final atas permasalahan kebenaran nilai TKDN antara produsen Barang atau penyedia Jasa dengan tim pengadaan Barang/Jasa; dan

    3. melakukan tugas lain yang terkait dengan peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Tim P3DN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Keenam Pembinaan dan Pengawasan Pasal 75 (l) Menteri melakukan pembinaan kepada produsen Barang dan/atau penyedia Jasa untuk mampu memenuhi rencana kebutuhan penggunaan Produk Dalam Negeri oleh pengguna Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57. (21 Untuk melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menlrusun rencana pengembangan peningkatan nilai TKDN atas produk prioritas yang akan dikembangkan. (3) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh satuan kerja di bawah Menteri sesuai dengan tugas dan fungsinya. (41 Pemerintah Pr.rsat dapat memberikan fasilitas paling sedikit berupa:

    4. Preferensi Harga dan kemudahan administrasi dalam pengadaan Barang/Jasa; dan

    5. sertihkasi PRES I DEN REPUELIK INDONESIA -38- b. sertifikasi TKDN.


    Pasal 76
    (1)

    Pengawasan terhadap pelaksanaan peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri ditakukan oleh Aparatur Pengawas Internal ^pemerintah serta pejabat pengawas internal dan Tim p3DN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan terhadap pelaksanaan peningkatan penggunaarr produk Dalam Negeri termasuk konsistensi komitmen pengguna Produk Dalam Negeri dan/atau produsen Barang dan/atau penyedia Jasa dalam peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri. (3) Produsen Barang dan/atau penyedia Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi apabila:

    1. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan tain yang tidak benar terkait dengan nilai TKDN; dan/atau

    2. berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam pengadaan Barang/JaLa produksi dalam negeri. Bagian Ketujuh Penghargaan


    Pasal 77
    (1)

    Pemerintah memberikan penghargaan kepada pengguna Produk Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 57. (21 Ketentuan mengenai tata cara pemberian penghargaan penggunaan Produk Dalam Negeri diatur dalam peraturan Menteri. BAB VI PRES IOEN REPUBLIK INDONESIA -39- BAB VI KERJA SAMA INTERNASIONAL DI BIDANG INDUSTRI Bagian Kesatu Umum


    Pasal 78

    Kerja Sama Internasional di Bidang Industri ditujukan untuk:

    1. pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional;

    2. pembukaan akses pada sumber daya Industri;

    3. pemanfaatan jaringan Rantai Suplai Global sebagai sumber peningkatan produktivitas Industri; dan

    4. peningkatan investasi.


    Pasal 79

    Lingkup pengaturan Kerja Sama Internasional di Bidang Industri meliputi:

    1. fasilitasi Kerja Sama Internasional di Bidang Industri;

    2. Pejabat Perindustrian di Luar Negeri; dan

    3. pembinaan, pengembangan, dan pengawasan kerja sama internasional. Bagian Kedua Fasilitasi Kerja Sama Internasional di Bidang Industri


    Pasal 80
    (1)

    Dalam rangka pengembangan Industri, pemerintah h.rsat melakukan Kerja Sama Internasional di Bidang Industri. (2) Dalam melakukan Kerja Sama Internasional di Bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah Pusat dapat:

    1. men5rusun rencana strategis;

    2. menetapkan langkah penyelamatan Industri; dan/atau

    3. memberikan fasilitas. Pasal 81 .


    Pasal 81
    (1)

    Rencana strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8O ayat (21huruf a disusun dengan memperhatikan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional. (21 Rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

    1. sasaran kerja sama internasional;

    2. lingkup kerja sama internasional;

    3. strategi Kerja Sama Internasional di Bidang Industri; dan

    4. rencana aksi Kerja Sama Internasional di Bidang Industri. (3) Rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.


    Pasal 82
    (1)

    Rencana strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a disusun oleh Menteri. (2) Dalam men5rusun rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat berkoordinasi dengan menteri terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait. (3) Rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pen5rusunan rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 83
    (1)

    Pemerintah hrsat menetapkan langkah penyelamatan Industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 8O ayat (2) huruf b apabila Kerja Sama Internasional di Bidang Industri berpotensi merugikan atau membahayakan kepentingan Industri nasional.

    (2)

    Potensi PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 4t {21 ^Potensi ^merugikan ^atau ^membahayakan kepentingan Industri nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pada hasil kajian yang dilakukan oleh Menteri. (3) Bentuk langkah penyelamatan Industri dapat benrpa:

    1. penundaan sementara baik sebagian atau keseluruhan kesepakatan kerja sama; dan/atau

    2. peninjauan kembali kesepakatan kerja sama. Pasal 84 Dalam menetapkan langkah penyelamatan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, pemerintah pusat dapat mempertimbangkan masukan dari kementerian/lembaga terkait, asosiasi lndustri, dan masyarakat.


    Pasal 85

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan langkah penyelamatan Industri diatur dengan peraturan Menteri.


    Pasal 86
    (1)

    Setiap kerja sama internasional yang berdampak pada Industri wajib terlebih dahulu dilakukan melalui konsultasi, koordinasi, dan/atau persetujuan Menteri. (2) Konsultasi dan/atau koordinasi dengan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk kerja sama internasional yang berdampak pada Industri yang ditujukan untuk:

    1. pembukaan akses pada sumber daya Industri;

    2. pemanfaatan jaringan Rantai suplai Global sebagai sumber peningkatan produktivitas Industri; dan/atau

    3. peningkatan investasi. (3) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan secara tertulis untuk kerja sama internasional yang berdampak pada Industri yang ditujukan untuk pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional.

    (4)

    Dalam memberikan konsultasi, koordinasi, dan/atau persetujuan, Menteri dapat mempertimbangkan masukan dari asosiasi Industri, dunia usaha, dan akademisi.


    Pasal 87
    (1)

    Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf c paling sedikit meliputi:

    1. bimbingan, konsultasi, dan advokasi;

    2. bantuan negosiasi;

    3. promosi Industri; dan

    4. kemudahan arus Barang dan Jasa. {2) ^Ketentuan ^mengenai ^kriteria Industri, ^syarat, dan tata cara pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (f ) diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 88

    Dalam rangka pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, Menteri melakukan:

    1. penetapan posisi runding berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional;

    2. pengusulan penghapusan kebijakan negara mitra/organisasi internasional yang menghambat akses pasar produk Industri;

    3. pengembangan jejaring kerja dengan mitra di luar negeri; dan/atau

    4. promosi produk dan Jasa Industri nasional di luar negeri.


    Pasal 89

    Dalam rangka pembukaan akses pada sumber daya Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf b, Menteri paling sedikit melakukan:

    1. penyediaan informasi kebutuhan sumber daya Industri di dalam negeri dan penyediaan informasi sumber daya Industri di negara mitra;

    2. kerja sama PRES I DEN REPUELIK INDONESIA 43 b. kerja s€una internasional dalam bidang:


  17. peningkatan kemampuan sumber daya manusia Industri;

  18. pengembangan akses sumber daya alam;

  19. pengembangan dan pemanfaatan teknologi Industri;

  20. peningkatan riset dan pengembangan;

  21. peningkatan sumber pembiayaan proyek Industri; dan/atau

  22. pengembangan standar kualitas produk dan Jasa Industri.

    Pasal 90

    b Dalam rangka pemanfaatan jaringan Rantai suplai Global sebagai sumber peningkatan produktivitas Industri sebagaimana dimaksud dalam pasal T8 huruf c, Menteri mengembangkan Industri nasional dengan mengintegrasikan Industri nasional ke dalam jaringan Rantai suplai Global dengan cara:

    1. membangun jejaring kerja dengan negara dan mitra Industri; membangun jejaring kerja di dalam negeri mendukung Industri nasional terintegrasi ke jaringan Rantai Suplai Global; dan menyesuaikan standar kualitas produk dan kompetensi Jasa Industri nasional dengan standar negara mitra. untuk dalam c


    Pasal 91
    (1)

    Menteri mengembangkan Industri nasional melalui peningkatan investasi di sektor Industri. (2) Untuk meningkatkan investasi di sektor Industri, Menteri melakukan:

    1. penJrusunan perencanaan kebutuhan investasi di sektor Industri dengan melibatkan instansi pemerintah, asosiasi, dan dunia usaha terkait;

    2. koordinasi implementasi rencana investasi di sektor Industri dengan instansi terkait; dan/atau c PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -44- promosi investasi di sektor Industri Bagian Ketiga Pejabat Perindustrian di Luar Negeri


    Pasal 92
    (1)

    Pejabat Perindustrian di Luar Negeri merupakan pegawai negeri sipil yang berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian yang ditempatkan di negara yang potensial untuk meningkatkan Kerja Sama Internasional di Bidang Industri. (2) Pejabat Perindustrian di Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas atase Perindustrian dan/atau staf teknis ^perindustrian. (3) Pejabat Perindustrian di Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperbantukan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hubungan dan politik luar negeri dan ditempatkan pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dengan status diplomatik guna nrelaksanakan tugas teknis, sesuai dengan tugas pokok kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian. (4) Penetapan formasi jabatan bagi Pejabat perindustrian di Luar Negeri dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hubungan dan politik luar negeri dengan berdasarkan pada:

    1. bobot misi;

    2. intensitas dan derajat hubungan Indonesia dengan negara penerima; dan/atau

    3. tolak ukur kepentingan nasional. (5) Pejabat Perindustrian di Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (21 melaksanakan tugas dan fungsi di bidang Perindustrian yang meliputi pengkajian sumblr daya Industri, analisis potensi kerjasama investasi di sektor Industri, penetrasi terhadap pemanfaatan Rantai Suplai Global bagi Industri dalam negeri, identifikasi terhadap hambatan akses pasar produk Industri, dan pemeliharaan kelangsun gan kerja sama Industri. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -45- (6) Dalam hal belum terdapat Pejabat Perindustrian di Luar Negeri pada Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pelaksanaan tugas dan fungsi Pejabat Perindustrian di Luar Negeri dilakukan oleh pejabat fungsional diplomat.


    Pasal 93

    Penempatan Pejabat Perindustrian di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perllndang-undangan.


    Pasal 94
    (1)

    Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Pejabat Perindustrian di Luar Negeri dapat dibantu oleh staf yang berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian. (21 Staf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertugas membantu menangani substansi pengkajian sumber daya Industri, analisis potensi kerjasama investasi di sektor Industri, penetrasi terhadap pemanfaatan Rantai Suplai Global bagi Industri dalam negeri, identifikasi terhadap hambatan akses pasar produk Industri, dan pemeliharaan kelangsungan kerja sama Industri.


    Pasal 95
    (1)

    Dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas dan fungsinya, Pejabat Perindustrian bertanggung jawab langsung kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia. (21 Kerjasama antar bidang diatur oleh Kepala Perwakilan sesuai dengan pembidangan yang ada pada Perwakilan Republik lndonesia.


    Pasal 96
    (1)

    Pejabat Perindustrian di Luar Negeri menyampaikan laporan secara berkala setiap 1 (satu) bulan kepada Menteri.

    (2)

    Laporan l2l ^Laporan ^sebagaimana ^dimaksud pada ^ayat (1) ^paling sedikit berisi informasi mengenai:

    1. peluang atau potensi pemanfaatan dan pembukaan akses pasar produk Industri di negara mitra;

    2. peluang atau potensi pemanfaatan sumber daya Industri di negara mitra;

    3. peluang atau potensi pemanfaatan jaringan Rantai Suplai Global;

    4. peluang dan potensi sumber investasi Industri di negara mitra;

    5. profil Industri unggulan dan teknologi Industri di negara mitra; dan/atau

    6. perkembangan pelaksanaan kerja sama internasional dengan negara mitra dan negara mitra dengan negara dagang lainnya. (3) Hubungan komunikasi timbal balik kementerian yang yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian dengan Pejabat Perindustrian di Luar Negeri dilakukan melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hubungan dan politik ltrar negeri.


    Pasal 97

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan dan penempatan Pejabat Perindustrian di Luar Negeri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII SANKSI ADMTNISTRATTF


    Pasal 98
    (1)

    Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya memberikan sanksi administratif kepada Industri yang melanggar Standar Industri Hijau yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36. (21 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. denda . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -47- b. denda administratif;

    3. penutupan sementara;

    4. pembekuan izin usaha industri; dan/atau

    5. pencabutanizin usaha industri. (3) Gubernur atau bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan sanksi administratif setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. Pasal 99 (l) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing paling lama 3 (tiga) bulan. (21 Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan oleh pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pengawasan Standar Industri Hijau. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian peringatan tertulis diatur dalam Peraturan Menteri.


    Pasal 100
    (1)

    Apabila Perusahaan Industri tetap tidak memenuhi Standar Industri Hijau yang diberlakukan secara wajib dalam jangka waktu peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasa199 ayat (1), Menteri, gubernur atau bupati/wali kota mengenakan sanksi denda administratif. (21 Besaran sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi Rp3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).


    Pasal 101
    (1)

    Denda administratif wajib disetor ke kas negara atau kas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3O (tiga puluh) hari kerja sejak surat pengenaan sanksi denda administratif ditetapkan.

    (3)

    Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah. Pasal 1O2 (1) Perusahaan Industri yang tidak memenuhi Standar Industri Hijau yang diberlakukan secara wajib dan tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal lOl ayat (21 dikenakan sanksi administratif berupa penutupan sementara l2l ^Penutupan ^sementara ^Sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (1) ditangguhkan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan bagi Perusahaan Industri yang membayar denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal lOO ayat (2). (3) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat(21 yang tetap tidak memenuhi Standar Industri Hijau setelah jangka waktu penangguhan berakhir, dikenai sanksi administratif bempa penutupan sementara.


    Pasal 103

    Penutupan sementara dilakukan oleh:

    1. Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur dan/atau bupati/wali kota; atau

    2. gubernur dan/atau bupati/wali kota setelah mendapat rekomendasi Menteri.


    Pasal 104
    (1)

    Instansi penerbit izin membekukan izin usaha Industri dari Perusahaan Industri yang dikenakan sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102. (21 Pembekuan izin usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan. Pasal lO5.


    Pasal 105
    (1)

    Apabila Perusahaan Industri tidak memenuhi Standar Industri Hijau yang diberlakukan secara wajib sampai dengan berakhirnya sanksi administratif berupa pembekuan izin usaha Industri, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha Industri. (2) Pencabutan izin usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi penerbit izin.


    Pasal 106
    (1)

    Lembaga verifikasi independen TKDN yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal TO ayat (41 dikenakan sanksi administratif. (21 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. peringatan tertulis; dan/atau

    2. pencabutan penunjukan sebagai lembaga verifikasi independen TKDN. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 1O7 (1) Pejabat pengadaan Barang/Jasa pada lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga pemerintah lainnya, dan satuan kerja perangkat daerah, badan usaha milik negara, badan hukum lainnya yang dimiliki negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta sebagaimana dimaksud dalam pasar 57 yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:

    3. peringatan tertulis;

    4. denda administratif; dan/atau

    5. pemberhentian dari jabatan pengadaan Barang/Jasa. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:

    6. plmpman a. pimpinan lembaga negara, kementerian, Iembaga pemerintah nonkementerian, lembaga pemerintah lainnya, dan satuan kerja perangkat daerah untuk pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan oleh lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, lembaga pemerintah lainnya, dan satuan kerja perangkat daerah;

    7. pimpinan instansi pemerintah yang:

      1. menyediakan pembiayaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;

      2. bertanggungjawab atas pekerjaan yang dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah h.rsat dan/atau Pemerintah Daerah dengan badan usaha; dan/atau

      3. mengatur pengusahaan sumber daya yang dikuasai negara, untuk pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan hukum lainnya yang dimiliki negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta. (3) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan surat rekomendasi dari Aparatur Pengawas Internal Pemerintah serta pejabat pengawas internal dan Tim P3DN jika pejabat pengadaan tidak memerluhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 ayat (1) dan ayat(21. (4) sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan terhadap pelanggaran pertama sampai dengan pelanggaran ketiga. (5) sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan terhadap pelanggaran keempat. (6) sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sebesar lo/o (satu persen) dari nilai kontrak pengadaan Barang/Jasa dengan nilai paling tinggi Rp500.O00.000,OO (lima ratus juta rrpiah). (7) Sanksi pemberhentian dari jabatan pengadaan Barang/ Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan terhadap pelanggaran kelima. Pasal 1O8 (1) Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO7 ayat (1) huruf b wajib disetor ke kas negara atau kas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak surat pengenaan sanksi denda administratif ditetapkan. (3) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah. (4) Dalam hal denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO7 ayat (1) huruf b tidak dilaksanakan maka pejabat pengadaan Barang/Jasa dikenakan sanksi administratif pemberhentian dari jabatan pengadaan Barang/Jasa. Pasal 109 (l) Produsen Barang dan/atau penyedia Jasa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (6), Pasal 61 ayat (71, dan/atau Pasal 76 ayat (31 dikenakan sanksi administratif berupa:

    8. pencabutan sertifikat TKDN;

    9. pencantuman dalam daftar hitam; dan

    10. denda administratif. (21 Pencabutan sertifikat TKDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh pejabat yang menandasahkan sertifikat TKDN. (3) Pencantuman dalam daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. l4l ^Denda ^administratif ^sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf c dikenakan apabila produsen Barang dan/atau penyedia Jasa melanggar ketentuan:

    11. Pasal 61 ayat (6) berupa pengurangan pembayaran sebesar selisih antara nilai TKDN penawaran dengan nilai TKDN pelaksanaan paling tinggi 15% (lima belas persen); dan

    12. Pasal 61 .

    13. Pasal 61 ayat (7) berupa 3 (tiga) kali nilai Barang yang diimpor. (5) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan kepada produsen Barang dan/atau penyedia Jasa oleh:

    14. pimpinan lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga pemerintah lainnya, dan satuan kerja perangkat daerah untuk pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan oleh lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, lembaga pemerintah lainnya, dan satuan kerja perangkat daerah;

    15. pimpinan instansi pemerintah yang:

      1. menyediakan pembiayaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; 2l bertanggungiawab atas pekedaan yang dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah hrsat dan/atau Pemerintah Daerah dengan badan usaha; dan/atau

      2. mengatur pengusahaan sumber daya yang dikuasai negara, untuk pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan hukum lainnya yang dimiliki negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 1 10 (1) Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf c wajib disetor ke kas negara atau kas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

    (2)

    Pembayaran (21 Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3O (tiga puluh) hari kerja sejak surat pengenaan sanksi denda administratif ditetapkan. (3) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal I I I Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


  23. segala kegiatan Pemberdayaan Industri yang telah dilaksanakan, dinyatakan sebagai kegiatan pemberdayaan Industri yang berlaku menurut Peraturan pemerintah ini; dan

  24. kegiatan Pemberdayaan Industri yang masih dilaksanakan pada saat diundangkannya Peraturan pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan selesai. BAB IX KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 112

    Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud daram pasal 4g ayat (21ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. Pasal I 13 Peraturan Pemerintah .ini diundangkan. mulai berlaku pada tanggal Aga. PRE S I DEN REPUBLIK INDONESIA -54- Agar setiap orang mcngetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13.Iuli 2Ol8 ttd JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Juli 2Ol8 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLTK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERDAYAAN INDUSTRI I. UMUM Guna mengantisipasi pengaruh globalisasi dan liberalisasi serta perkembangan ekonomi internasional, pengembangan sektor Industri nasional memerlukan kebijakan dan pengaturan tentang Perindustrian yang lebih kondusif yang telah disusun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2Ol4 tentang Perindustrian. Sebagai landasan normatif dan konsepsional, setiap undang- undang perlu ditindaklanjuti dengan peraturan turunannya, termasuk dalam upaya Pemberdayaan Industri dalam negeri. Sektor lndustri mempunyai peran signifikan dalam pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) suatu negara. GDP nasional cenderung naik sampai tingkat tertentu, dan cenderung melandai dan menurun ketika telah mencapai tingkat tersebut. Indonesia yang saat ini berada dalam tingkat GDP kelompok negara berpendapatan menengah masih mengharapkan sektor Industri untuk meningkatkan perannya dalam GDP Nasional. Pengembangan [ndustri harus dilakukan secara terintegrasi dalam suatu sistem Industri yang mencakup berbagai elemen yang menggambarkan semua aktivitas atau proses yang diperlukan, dalam suatu rangkaian yang saling membutuhkan. Dalam merajut rangkaian tersebut mutlak diperlukan infrastruktur pendukung Industri, baik yang bersifat keras dan tangible (hard infr ostru cfitrel maup u n yan g int ang ible ( s oft infr as tru cture) . Perkembangan sektor Industri yang mempengaruhi perekonomian serta berbagai keberhasilan pembangunan menunjukkan dinamika yang perlu diantisipasi dengan baik. Secara umum struktur sistem Industri mencakup Industri penghasil Bahan Baku dari sumber daya alam (primer), Industri manufaktur atau proses (sekunder), dan Industri Jasa (tersier). Dalam upaya mengantisipasi perkembangan dan meningkatkan peranan sektor Industri yang mempengaruhi perekonomian maka upaya untuk Pemberdayaan Industri dalam negeri merupakan hal yang perlu dilakukan. Pemberdayaan Pemberdayaan Industri perlu dilakukan secara afirmatif kepada kelompok Industri yang dinilai mempunyai kelemahan, dan perlu diberikan dorongan untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Dilihat dari skala usaha Industri dapat dibagi kedalam skala Industri yang meliputi Industri Kecil, Industri Menengah, dan Industri besar. Secara khusus, Industri Kecil dan Industri Menengah memiliki karakteristik yang hampir sama sehingga dikelompokkan menjadi satu dengan istilah Industri Kecil dan Industri Menengah (IKM). Dilihat dari fungsi dan sifat, lndustri ^juga dapat dikategorikan sebagai Industri Hijau dan Industri Strategis. Upaya peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri untuk menciptakan pasar bagi produk Industri dalam negeri merupakan hal yang sangat perlu dilakukan. Dalam pemberdayaan IKM, infrastruktur kelembagaan dan fasilitasi untuk pengembangan merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Aspek kelembagaan diperlukan oleh sistem Industri sehingga peran dari seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan Industri menjadi jelas. Berbeda dengan Industri besar yang mampu membangun dirinya secara mandiri, IKM seringkali dianggap memiliki lebih banyak kelemahan serta hambatan untuk berkembang. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena banyak IKM yang juga memiliki keunggulan dalam membangun daya saing. Namun demikian bagi sebagian besar unit IKM lainnya yang masih lemah dan memiliki hambatan untuk berkembang diperlukan affirmatiue actions oleh Pemerintah yang diberikan dalam bentuk berbagai fasilitas. Keberhasilan IKM yang telah sukses secara empiris dalam membangun daya saing menjadi dasar (good practices) pengembangan model kinerja IKM dalam rangka pembangunan dan pembinaan IKM secara keseluruhan. Pemberdayaan Industri melalui pembangunan dan pengembangan Industri Hijau telah menjadi isu penting dan mutlak untuk segera dilaksanakan mengingat semakin terbatasnya ketersediaan sumber daya alam dan terbatasnya daya dukung lingkungan hidup dalam menerima limbah dan emisi akibat kegiatan lndustri. Di samping itu tuntutan masyarakat terhadap produk yang ramah lingkungan hidup semakin meningkat di pasar global, karena masyarakat sudah semakin sadar akan pentingnya produk yang ramah lingkungan hidup baik untuk kesehatan ataupun untuk keberlangsungan lingkungan hidup. Pengembangan Industri Hijau dapat dilakukan melalui beberapa penerapan seperti produksi bersih (cleaner production), konservasi energi (energy efficiencg), elisiensi sumber daya (resource efficiencg), eco-design, proses daur ulang, dan low- carbon teclnology. Dengan penerapan Industri Hijau, maka akan terjadi efisiensi pemakaian Bahan Baku, energi dan air, sehingga limbah maupun emisi yang dihasilkan menjadi minimal. Dengan demikian, maka proses produksi akan menjadi lebih efisien yang tentunya akan meningkatkan daya saing produk Industri. Industri dapat dikategorikan sebagai lndustri Hrjau apabila telah memenuhi Standar Industri Hijau melalui sertifikasi oleh lembaga Sertifikasi Industri Hijau. Industri Strategis merupakan Industri prioritas yang memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan ra}ryat atau menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara. Meskipun disadari pentingnya keberadaan Industri Strategis dalam pembangunan Industri nasional, namun dalam kenyataannya Industri Strategis belum berperan secara berarti. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain nilai investasi yang relatif besar, risiko usaha yang tinggi, margin keuntungan yang relatif kecil, dan memerlukan teknologi yang tinggi. Oleh karena itu, pengembangan Industri Strategis tidak dapat sepenuhnya mengharapkan peran swasta mengingat faktor-faktor tersebut di atas sehingga memerlukan keterlibatan dan penguasaan Pemerintah untuk mempercepat pembangunan Industri Strategis. Penguasaan Pemerintah dalam pembangunan Industri Strategis dilakukan melalui pengaturan kepemilikan, penetapan kebijakan, pengaturan perizinan, pengaturan produksi, distribusi, dan harga, serta pengawasan. Globalisasi dan liberalisasi membawa dinamika perubahan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian nasional. Di satu sisi pengaruh yang paling dirasakan adalah terjadi persaingan yang semakin ketat dan di sisi lain membuka peluang kolaborasi sehingga pembangunan Industri memerlukan berbagai dukungan dalam bentuk perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, pengelolaan yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri mampu membangun kepercayaan atas kekuatan bangsa sendiri, mampu menghasilkan produk yang berkualitas internasional dengan harga yang kompetitif, dan waktu p".,ye.ahan serta jumlah yang memadai, sehingga semakin meningkatkan kecintaan dan kebanggaan akan Produk Dalam Negeri dan mampu mewujudkan mimpi untuk menjadi negara Industri yang tangguh, mandiri, berdaya saing internasional dengan struktur Industri yang kuat pada tahun 2035. Pengoptimalan penggunaan Produk Dalam Negeri diharapkan akan menjamin kemandirian dan stabilitas perekonomian nasional, dimana sektor Industri akan menjadi penggerak perekonomian nasional, menjadikan Indonesia sebagai negara produsen bukan negara importir, memiliki daya kekuatan untuk mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri keseluruhan wilayah Indonesia, yanB akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara adil dan merata dan memperkokoh ketahanan nasional. Dalam Dalam rangka mengoptimalkan penggunaan Produk Dalam Negeri, lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga pemerintah lainnya dan satuan kerja perangkat Caerah, badan usaha milik negara, badan hukum lainnya yang dimiliki negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta dan tokoh masyarakat berperan aktif memberikan teladan dalam penggunaan Produk Dalam Negeri. Peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri merupakan suatu kebijakan Pemberdayaan Industri yang bertujuan untuk:


  25. Meningkatkan penggunaan Produk Dalam Negeri oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, badan usaha, dan masyarakat. 2. Memberdayakan Industri dalam negeri melalui pengamanan pasar domestik, mengurangi ketergantungan kepada produk impor, dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. 3. Memperkuat struktur Industri dengan meningkatkan penggunaan Barang modal, Bahan Baku, komponen, teknologi, dan sumber daya manusia dari dalam negeri. Semakin banyaknya keterlibatan Indonesia dalam kesepakatan internasional terkait dengan sektor Industri baik yang sudah pada tahap implementasi, dalam proses perundingan, maupun yang akan dilakukan, diperlukan peningkatan usaha Pemerintah dalam meningkatkan Kerja Sama Internasional di Bidang Industri dalam rangka meningkatkan ketahanan dan daya saing produk Industri agar dapat bersaing di pasar domestik dan internasional. II. PASAL DEMI PASAI, Pasal 1 Cukup ^jelas Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Huruf b Kerja sama dengan asosiasi Industri dilakukan baik dengan asosiasi Industri, gabungan asosiasi Industri, dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Sentra IKM meliputi pula sentra Industri kreatif. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "peningkatan sumber daya manusia" termasuk di dalamnya pengelola Unit Pelayanan Teknis dan operator Unit Pelayanan Teknis. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Fasilitasi TPL dalam mendapatkan sertilikat kompetensi meliputi bantuan administrasi dan pembiayaan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 1 1 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat" adalah pembiayaan dari lembaga-lembaga resmi atau pembiayaan bersama antara anggar€rn pendapatan dan belanja negara dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah, anggaran pendapatan dan belanja negara/anggaran pendapatan dan belanja daerah dengan lembaga atau peserta. Ayat (6) Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup ^jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 2 1 Cukrrp jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Cuktrp ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "sarana promosi" antara lain: media cetak, media elektronik, leaflet, brosur. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 3O Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Yang dimakstrd dengan "sistem manajemen pengusahaan yang berlaku" antara lain sistem manajemen mutu, sistem manajemen lingkungan, sistem manajemen energi, sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja. Ayat (6) Cukup ^jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "penerapan Standar Industri Hijau secara bertahap" adalah penerapan secara wajib sebagian kriteria/parameter pada Standar Industri Flijau sesuai dengan kemampuan Industri. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "sumber daya alam" antara lain terdiri dari Bahan Baku, energi, dan air. Huruf b Yang dimaksud dengan "daya dukung lingkungan hidup", yaitu kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain d.an keseimbangan antar keduanya. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -10- Pasal 4O Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "sumber daya alam strategis" meliputi sumber daya alam yang terbarukan dan tidak terbarukan, hayati dan non hayati, keberadaannya terbatas, nilai ekonomi tinggi, sebagai sumber daya alam alternatif, memiliki potensi sebagai Bahan Baku alternatif, mineral langka, dibutrrhkan untuk memenuhi Industri hilirnya. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Huruf a Penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah hrsat meliputi Industri yang:

  26. hanya boleh dimiliki oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan; atau

  1. tidak menarik bagi investor swasta namun diperlukan oleh negara dan/atau masyarakat banyak. Huruf b Cukup ^jelas. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -11- Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Pemerintah Pusat dapat membentuk usaha patungan, baik dengan pihak swasta nasional maupun pihak swasta asing. Pasal 46 Cukup ^jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Pendalaman strukturyang dilakukan Industri Strategis antara lain pengadaan teknologi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pengujian dan sertifikasi yang dilakukan misalnya dalam kaitan kelaikan keselamatan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. PRES I DEN REPUELIK INDONESIA -12- Pasal 5O Cukup jelas Pasal 51 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Pemerintah Pusat dapat menetapkan harga pada kondisi darurat (bencana alam, unsur kemanusiaan), sistem distribusi Barang dan logistik yang tidak memadai. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup ^jelas. Pasal 57 Huruf a Cukup ^jelas Huruf b Angka 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Cukup ^jelas. PRES IOEN REPUBLIK INDONESIA -13- Angka 3 Yang dimaksud dengan "mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara" adalah kegiatan badan usaha yang mengelola sumber daya alam antara lain sumber daya minyak dan gas bumi, sumber daya tambang mineral dan batu bara, sumber daya air, sumber daya bahan galian non logam, sumber daya hutan, sumber daya kelautan, sumber daya udara, sumber daya angin, sumber daya gelombang dan frekuensi, dan sumber daya lain yang dikuasai negara. Pengusahaan sumber daya yang dikuasai oleh negara termasuk sumber daya pada saat pendirian badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah dan sumber daya lainnya antara lain frekuensi yang digunakan dalam pengusahaan telekomunikasi dan sumber daya alam antara lain pengusahaan hutan, pengusahaan tambang mineral dan batu bara, pengusahaan minyak bumi dan gas bumi. Pasal 58 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Sistem informasi lndustri nasional diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian. Pasal 59 Ayat (l) Yang dimaksud dengan "mempertimbangkan kemampuan Industri dalam negeri" adalah mempertimbangkan kemampuan maksimal spesifikasi yang bisa diproduksi di dalam negeri, kemampuan tercepat penyerahan Barang dan harga yang wajar. Ayat (2) Audit teknologi dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan Barang/Jasa dengan standar minimum operasional. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 6O PRES I DEN REPUELIK INDONESIA -14- Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup ^jelas Pasal 62 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pejabat pengadaan Barang/Jasa" adalah pejabat yang bertanggung jawab dalam menetapkan spesifikasi pengadaan Barang/ Jasa. Yang dimaksud dengan "klarifikasi" adalah kegiatan meminta penjelasan Iebih lanjut oleh pengguna Barang/Jasa kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian tentang nilai TKDN dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan dalam daftar inventarisasi Barang/Jasa produksi dalam negeri. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 7l Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Pasal 8O Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 PRES I DEN REPUELIK INDONESIA 16 Pasal 86 Cukup ^jelas Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup ^jelas Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup ^jelas. Pasal 9 1 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup jelas Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -17 - Pasal 1O0 Cukup jelas. Pasal lOl Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 1O3 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup ^jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasa1 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal l1O Cukup jelas. Pasal 1 I 1 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6220

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):