Otoritas Veteriner

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2017

Kerangka<< >>

Menimbang : Menimbang : Mengingat PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2OL7 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 68E dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2OOg tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4L Tahun 2OL4 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2OOg tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Otoritas Veteriner.

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2OO9 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO9 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor S01S) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2074 tentang perubahan Atas Undang- undang Nomor 18 Tahun 2oog tentang peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Repubrik Indonesia Tahun 2Ol4 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619); Menetapkan : PRES I DEN REPUELII( INDONIESIA -2- MEMUTUSKAN: PERATURAN VETERINER. PEMERINTAH TENTANG OTORITAS BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


  3. otoritas Veteriner adalah kelembagaan pemerintah atau Pemerintah Daerah yang bbrtanggung jawab dan memiliki kompetensi dalam penyerenggaraan Kesehatan Hewan. 2. sistem Kesehatan Hewan Nasional yang selanjutnya disebut Siskeswanas adalah tatanr., k.".hatan Hervan ylrg ditetapkan oleh pemerintah dan diselenggara<an oleh otoritas veteriner dengan melibatkan ^- seluruh penyelenggara Kesehatan Hewan, pemangku kepentingan, dan masyarakat secara terpadu. 3. veteriner adalah segala urusan yang berkaitan der: gan Hewan, Produk Hewan, dan penyakit Hewan. 4- Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perlindungan sumber daya Hewan,-kesehatan masyarakat dan lingkungan, serta penjaminan keamanan Produk Hewan, Kesejahteraan H.*"rr, dan peningkatan akses pasar untuk mendukung kedauiatan, kemandirian, dan ketahanan pangan asal Hiwan. 5. Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan Hewan dan prJduk Hervan yang secara langsung atau tidak langsrng mempengaruhi kesehatan manusia. 6. Karantina Hewan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya harna a.r, e.rry"t it Hewan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia. ," 1,u,1r(4}'s ^ \tSr\l, #.&,w fqp44y 7.

  4. Kesejahteraan Hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental Hervan menurut ukuran perilaku alami Hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi Hewan dari perlakuan Setiap Orang yang tidak layak terhadap Hewan yang dimanfaatkan manusia. Tenaga Kesehatan Hewan adalah orang yang menjalankan aktivitas di bidang Kesehatan Hewan berdasarkan kompetensi dan kewenangan Medik Veteriner yang hierarkis sesuai dengan pendidi<an formal dan/atau pelatihan Kesehatan Helvan bersertifikat. Dokter Hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran Hewan dan kewenangan Medik Veteriner dalam melaksanakan pelayanan Kesehatan Hewan. Dokter Hewan Berwenang adalah Dokter Hewan yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam rangka penyelenggaraan Kesehatan Hewan. Medik Veteriner adalah Dokter Hewan yang menyelenggarakan kegiatan di bidang Kesehatan Hewan. Penyakit Hewan adalah gangguan kesehatan pada Hervan yang disebabkan oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan, infestasi parasit, prion, dan infeksi mikroorganisme patogen. Penyakit Hewan Menular Strategis adalah penyakit Hewan yang dapat menimbulkan angka kematian dan/atau angka kesakitan yang tinggi pada He,*,an, dampak kerugian ekonomi, keresahan masyara<at, dan/atau bersifat zoonotik. Wabah adalah kejadian penyakit luar biasa yang dapat berupa timbulnya suatu penyakit Hewan menular baru di suatu wilayah atau kenaikan kasus penyakit Hes/an menular mendadak yang dikategorikan sebagai bencana nonalam.

    1. t7.
  5. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -4- Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya. Produk Hewan adalah semua bahan yang berasal dari Hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Obat Hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati Hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, farmakoseutika, premiks, dan sediaan Obat Hewan alami. Pelayanan Jasa Medik Veteriner adalah layanan jasa yang berkaitan dengan kompetensi Dokter Hewan yang diberikan kepada masyarakat dalam rangka praktik kedokteran Hewan Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum serta yang melakukan kegiatan di bidang peternakan dan Kesehatan Hewan. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang peternakan dan Kesehatan Hewan. BAB II KELEMBAGAAN OTORITAS VETERINER Bagian Kesatu Umum

    Pasal 2

    Otoritas Veteriner mempunyai tugas menyiapl: an rumusan dan melaksanakan kebijakan dalLam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. Otoritas Veteriner berwenang mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan.

    1. (1) (2) REPUJS,: =",t55*=.,o -5- (3) Pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan penguatan tugas, fungsi, ^'dan wewenang dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. (4) Dalam pengambilan keputusan tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Otoritas Veteriner melibat<an keprofesionalan Dokter Hewan dan mengerahkan semua lini kemampuan profesi.

    Pasal 3

    Otoritas Veteriner mempunyai fungsi:

    1. pelaksana Kesehatan Masyarakat Veteriner;

    2. penyusun standar dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Kesehatan Hewan;

    3. pengidentifikasi masalah dan pelaksana pelayanan Kesehatan Hewan;

    4. pelaksana pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan;

    5. pengawas dan pengendali pemotongan ternak ruminansia betina produktif dan/atau ternak ruminansia indukan; pengawas tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan terhadap Hewan serta aspek Kesejahteraan Hewan lainnya; pengelola Tenaga Kesehatan Hewan; pelaksana pengembangan profesi kedokteran Hewan; pengawas penggunaan alat dan mesin Kesehatan Heu,-an; pelaksana perlindungan Hewan dan lingkungannya; pelaksana penyidikan dan pengamatan Penyakit Hewan; penjamin ketersediaan dan mutu Obat Hewan; penjamin keamanan Pakan dan bahan Pakan asal Hewan; f.

      (1)
      (2)

      PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -6- n. pen5rusun prasarana dan sarana serta pembiayaan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner; dan

    6. pengelola medik akuatik dan medik konservasi.


    Pasal 4

    T\rgas, wewenang, dan fungsi Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 merupakan penguatan tugas, fungsi, dan wewenang Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. Dalam hal belum terdapat tugas, fungsi, dan wewenang dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan, Pemerintah Pusat atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya harus membentuk kelembagaan Otoritas Veteriner.


    Pasal 5

    Otoritas Veteriner terdiri atas:

    1. Otoritas Veteriner nasional;

    2. Otoritas Veteriner kementerian;

    3. Otoritas Veteriner provinsi; dan

    4. Otoritas Veteriner kabupaten/kota. Bagian Kedua Otoritas Veteriner Nasional


    Pasal 6

    Otoritas Veteriner nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a berwenang mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan nasional. Keputusan tertinggi sebagaimana dimaksud pada aya:

    (1)

    meliputi keputusan dalam:

    (1)
    (2)

    pemberian rekomendasi status bebas penyakit Hewan menular tertentu untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Menteri; pemberian rekomendasi penetapan Wabah penyakit Hewan menular kepada Menteri;

    1. pemberian rekomendasi pencabutan penetapan Wabah Penyakit Hewan menular kepada Menteri;

    2. pembuatan kesepakatan persyaratan teknis Kesehatan Hewan dengan negara lain secara bilateral, regional, dan internasional;

    3. pemberian rekomendasi penetapan status darurat Veteriner di tingkat nasional kepada Menteri;

    4. penetapan tingkat perlindungan yang dapat diterir: ra;

    5. penetapan analisis risiko penyakit Hewan terhadap pemasukan Hewan dan produk Hewan dari -uar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    6. penetapan jenis Obat Hewan yang dapat diguna_kan yang boleh beredar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    7. penetapan persyaratan Kesehatan Hewan untuk Hewan dan Produk Hewan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    8. pemberian rekomendasi persetujuan untuk pertama . kali terhadap negara, zor,a dalam suatu negara, dan unit usaha asal Hewan dan produk Hewan kepada Menteri; dan

    9. pemberian rekomendasi pemasukan dan pengeluaran Hewan, bibit, benih, produk Hewan, satwa liar, dan Hewan akuatik dari dan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Menteri. (3) otoritas veteriner nasional mengoordinasikan otoritas veteriner kementerian, otoritas veteriner provinsi, dan otoritas veteriner kabupaten/kota dalam pengambilan keputusan tertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan. a. b.

    (1)

    {2) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA


    Pasal 7

    Otoritas Veteriner nasional dipimpin oleh pejabat Otoritas Veteriner nasional yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Syarat untuk diangkat sebagai pejabat Otoritas Veteriner nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

    1. telah ditetapkan oleh Menteri sebagai Dokter Hervan Berwenang;

    2. memiliki keahlian dan pengalaman di bidang Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner, atau Karantina Hewan; dan

    3. menduduki jabatan paling rendah pimpinan tinggi pratama di bidang Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner, atau Karantina Hewan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat Otoritas Veteriner nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 8

    Pejabat Otoritas Veteriner nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bertindak sebagai wakil Pemerintah Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan dunia. Pejabat Otoritas Veteriner nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:

    1. melakukan kerja sama dengan negara lain atau pihak internasional lain dalam penanganan penyakit Hewan lintas batas, Penyakit Hewan yang baru muncul, dan Penyakit Hewan yang muncul kembali;

    2. menyediakan kajian dan interpretasi terhadap tingkat dan kejadian Penyakit Hewan dan keama: lan Produk Hewan skala nasional dan internasional; dan/atau

      (3)
      (1)

      (21 R E P u JrTo= t,',?Sf; * . =, ^o -9- c. menganalisis prasarana dan sarana Veteriner serta kemampuannya dalam merespon ancaman Penyakit Hewan skala nasional dan internasional terhadap Kesehatan Hewan dan kesehatan manusia. (3) Pejabat Otoritas Veteriner nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan kerja sama dengan negara lain atau pihak internasional -ain sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Otoritas Veteriner Kementerian


    Pasal 9

    Otoritas Veteriner kementerian sebagaimana dalam Pasal 5 huruf b meliputi Otoritas Veteriner a. kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang Kesehatan Hewan;

    1. kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang konservasi sumber hayati dan ekosistemnya; dan

    2. kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perikanan. dimaksud pada: uru.san urusan daya alam urusan (1)


    Pasal 10

    Otoritas Veteriner kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal t huruf a meliputi:

    1. Otoritas Veteriner Kesehatan Hewan;

    2. Otoritas Veteriner Kesehatan Masyarakat Veterirer; dan

    3. Otoritas Veteriner Karantina Hewan. Otoritas Veteriner kementerian sebagairnana dirnaksud pada ayat (1) dipimpin masing-masing oleh pejabat Otoritas Veteriner kementerian yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

      (2)
      (3)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat Otoritas Veteriner kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 1 1 Syarat untuk diangkat sebagai pejabat Otoritas Veteriner kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) sebagai berikut:

    4. telah ditetapkan oleh Menteri sebagai Dokter Hewan Berwenang; dan

    5. menduduki ^jabatan paling rendah pimpinan tinggi pratama yang membidangi:


  6. Kesehatan Hewan;

  7. Kesehatan Masyarakat Veteriner; atau

  8. Karantina Hewan, di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan Hewan.

    Pasal 12
    (1)

    Pejabat Otoritas Veteriner yang menangani Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a melakukan pengambilan keputusan teknis tertinggi dalam: pemberian rekomendasi penetapan jenis Penyakit Hewan Menular Strategis kepada Menteri; pemberian rekomendasi penetapan status dan situasi wilayah Penyakit Hewan Menular Strategis kepada Menteri; penetapan wilayah pembebasan Penyakit He-wan Menular Strategis; penetapan investigasi Wabah Penyakit He-wan rnenular;

    1. C.

    2. {"ffi PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 11- e. penetapan dan pelaksanaan respon penanganan Wabah lintas daerah provinsi; cepat f. pemberian rekomendasi penetapan penggunaan Obat Hewan untuk keamanan ternak konsumsi kepada Menteri;

    3. pemberian rekomendasi penerbitan sertifikat betas Penyakit Hewan suatu wilayah dan unit usaha bidang peternakan dan Kesehatan Hewan kepada Menteri;

    4. pemberian rekomendasi pemasukan Hewan, benih, dan bibit ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Menteri;

    5. pemberian rekomendasi pemasukan Obat Hewan dan bahan pakan asal Hewan ke dalam wila; rah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Menteri;

    6. pemberian rekomendasi persyaratan teknis negara dan unit usaha bidang peternakan dan Kesehatan Hewan dari negara asal kepada Menteri;

    7. pemberian sertifikat Veteriner bagi Hewan yang atlan dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menjadi salah satu dasar pemeriksaan Karantina Hewan di tempat pengeluaran; I. pemberian tugas kepada Dokter Hewan Berwenang untuk memproses pemberian sanksi terhadap pelanggaran di bidang Kesehatan Hewan;

    8. pelaksanaan pengendalian lalu lintas Hewan; dan

    9. penetapan penggunaan Obat Hewan untuk program pengendalian dan penanggulangan Penyakit He''an menular tertentu. (2) Pejabat Otoritas Veteriner yang menangani Kesehatan Masyarakat Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b melakukan pengambilan keputusan teknis tertinggi dalam: REPUJSo=t,',?55r=,o -12- a. pemberian rekomendasi penetapan zoonosis prioritas kepada Menteri;

    10. pelaksanaan pengendalian lalu lintas Produk Hewan;

    11. pemberian sertifikat Veteriner bagi Produk Hewan yang akan dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menjadi salah satu dasar pemeriksaan Karantina Hewan di tempat pengeluaran;

    12. pemberian rekomendasi pemasukan Produk Hewan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Menteri;

    13. pemberian tugas kepada Dokter Hewan Berwenang untuk memproses pemberian sanksi terhadap pelanggaran di bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner;

    14. pemberian rekomendasi persyaratan teknis negara dan unit usaha Produk Hewan dari negara asal kepada Menteri;

    15. penetapan strategi pencegahan penularan zoonosis; dan

    16. penetapan penggunaan Obat Hewan, peralatan, dan perlakuan Hewan dalam tindakan penerapan Kesejahteraan Hewan. (3) Pejabat Otoritas Veteriner yang menangani Karantina Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) hurrrf c melakukan pengambilan keputusan teknis tertinggi dalam:

    17. pemberian rekomendasi penetapan ^jenis media pembawa hama Penyakit Hewan karantina kepada Menteri;

    18. pemberian rekomendasi penetapan ^jenis Penyakit Hewan karantina kepada Menteri;

    19. pemberian rekomendasi analisis risiko Penyakit Hewan karantina kepada Menteri;

    20. pemberian rekomendasi penetapan pemasukan dan pengeluaran Hewan Menteri; hama hama tempat kepada {D e.

    21. ct b.

    22. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -13- pemberian rekomendasi penetapan tempat transit kepada Menteri; pemberian rekomendasi penetapan atau pencabutan kawasan karantina kepada Menteri; pemberian rekomendasi penetapan insta_asi Karantina Hewan kepada Menteri; pemberian rekomendasi penetapan persyaratan alat angkut dan kemasan kepada Menteri; pemberian rekomendasi persyaratan Karantina Hewan dan kewajiban tambahan bagi pemasukan Hewan, Produk Hewan, dan benda lain yang berasal dari luar negeri, dikirim dari suatu area atau pulau ke area atau pulau lainnya, dan yang akan dikeluarkan dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Menteri; penetapan tempat pelaksanaan tindakan Karantina Hewan di negara asal, di luar tempat pemasukan, dan di luar tempat pengeluaran; dan penetapan kebijakan tindakan Karantina Hewan terhadap pemasukan dan/atau pengeluaran Hewan, Produk Hewan, dan benda lain yang berasal cari luar negeri, dikirim dari suatu area atau pulau ke area atau pulau lainnya, dan yang akan dikeluarkan dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


    Pasal 13

    Otoritas Veteriner kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal t huruf b dan huruf c melaksanakan fungsi otoritas kompeten. Fungsi otoritas kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. j. k.

    (1)
    (2)

    Bagian Keempat Otoritas Veteriner Provinsi Pasal 14 (1) otoritas Veteriner provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c berwenang mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan di wilayah provinsi. i2) ^Keputusan tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. penetapan analisis risiko penyakit Hewan terhadap Hewan dan Produk Hewan yang dilatulintaskan dari provinsi lain;

    2. pemberian rekomendasi pemasukan dan pengeluaran Hewan, bibit, benih, produk Hewan, pakan Hewan, dan Obat Hewan antarprovinsi;

    3. penetapan pelaksanaan respon cepat penanganan Wabah lintas kabupaten/kota dalam wilayah provinsi;

    4. pemberian rekomendasi penetapan status Wabah berdampak sosioekonomi tinggi bagi wilayah prov: nsi dan rekomendasi penetapan penutupan daerah akibat Wabah kepada gubernur;

    5. pemberian rekomendasi pencabutan status wabah dan rekomendasi penetapan pencabutan penutupan daerah akibat Wabah dalam satu wilayah prov: nsi kepada gubernur;

    6. pemberian sertifikat nomor kontrol veteriner bagi unit usaha Produk Hewan; dan

    7. pemberian sertifikat Veteriner pengeluaran Hewan dan/atau Produk Hewan dari provinsi. Pasal 15 (1) otoritas veteriner provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) meliputi suburusan:

    (2)
    (3)

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 15- a. Kesehatan Hewan; dan

    1. Kesehatan MasyarakatVeteriner. Otoritas Veteriner provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh pejabat Otoritas Veteriner prov: nsi yang diangkat dan diberhentikan oleh gubernur. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat Otoritas Veteriner provinsi diatur dengan peraturan gubernur.


    Pasal 16

    syarat untuk dapat diangkat sebagai pejabat otoritas veteriner provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ls ayat (21 sebagai berikut:

    1. telah ditetapkan oleh gubernur sebagai Dokter Hewan Berwenang; dan

    2. menduduki jabatan paling rendah administrator yang membidangi suburusan Kesehatan Hewan atau Kesehatan Masyarakat Veteriner. Bagian Kelima Otoritas Veteriner Kabupate n / Kota Pasal 17 Otoritas Veteriner kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d berwenang mergambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan di wilayah kabupaten/kota. Keputusan tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    3. penetapan analisis risiko penyakit Hewan terhadap Hewan dan Produk Hewan yang dilalulintaskan dari kabupaten/kota lain dalam wilayah provinsi yang salna;

      (1)
      (2)
      1. pemberian rekomendasi pemasukan dan pengeluaran Hewan, bibit, benih, produk Hewan, pakan Hewan, dan Obat Hewan antar kabupaten/ kota kepada bupati/wali kota; penetapan pelaksanaan respon cepat penanganan Wabah dalam wilayah kabupaten/kota; pemberian rekomendasi penetapan status Wabah berdampak sosioekonomi tinggi bagi wila,lah kabupaten/kota dan rekomendasi penetapan penutupan daerah akibat Wabah kepada bupati/wali kota; pemberian rekomendasi pencabutan status Wabah dan rekomendasi penetapan pencabutan penutupan daerah akibat Wabah dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota kepada bupati/wali kota; dan pemberian sertifikat Veteriner pengeluaran Hevran dan/atau Produk Hewan dari kabupaten/kota.


    Pasal 18
    (1)

    otoritas veteriner kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal lr ayat (1) meliputi suburusarr:

    1. Kesehatan Hewan; dan

    2. Kesehatan Masyarakat Veteriner. (2) otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh pejabat otoritas Veteriner kabupaten/kota yang diangkat dan diberhentikan oleh bupati/wali kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat Otoritas Veteriner kabupaten/kota diatur dengan peraturan bupati/wali kota.


    Pasal 19

    syarat untuk diangkat sebagai pejabat otoritas Veteriner kabupaten/kota sebagairnana dirnaksud daram pasal 1g ayat (21 sebagai berikut: b. d.

    1. telah ditetapkan oleh bupati/wali kota sebagai Dokter Hewan Berwenang; dan

    2. menduduki jabatan paling rendah pengawas yang membidangi suburusan I(esehatan Hewan atau Kesehatan Masyarakat Veteriner. Bagian Keenam Dokter Hewan Berwenang


    Pasal 20
    (1)

    Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan Hewan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota wajib memiliki Dokter Hewan Berwenang. (2) Syarat untuk ditetapkan sebagai Dokter Hewan Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

    1. merupakan Dokter Hewan yang berstatus pegawai negeri sipil; dan

    2. bertugas dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan paling singkat 2 (dua) tahun. (3) Dokter Hewan Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:

    3. Menteri, untuk Dokter Hewan Berwenang pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan hewan;

    4. gubernur, untuk Dokter Hewan Berwenang provinsi; dan

    5. bupati/wali kota, untuk Dokter Hewan Berwenang kabupaten/kota. (4) Jumlah Dokter Hewan Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan jenis, beban kerja, dan jangkauan tugas pelayanan dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan di wilayah kerjanya.

    (1)

    (2t PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 18- Pasal 2 1 Dokter Hewan Berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O berwenang mengambil keputusan teknis berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. Keputusan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. penentuan ternak ruminansia betina yang tidak produktif;

    2. pelaksanaan uisum et repertum karena adanya indikasi terjangkitnya Hewan oleh penyakit Hev.ran menular yang membahayakan kesehatan manusia, Hewan, dan/atau lingkungan;

    3. pengesahan penerapan Hewan; prinsip Kesejahteraan d. pengesahan penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu Produk Hewan;

    4. pengesahan penerapan prosedur biosecurifiT dalarn rangka sertifikasi bebal penyakit Hewan menular tertentu dan pemberantasan penyakit Hewan menular di suatu wilayah;

    5. pengesahan status kesehatan satwa liar dalam konservasi dan rehabilitasi;

    6. pengesahan surat keterangan Kesehatan Hewan untuk status Kesehatan Hewan dan surat keterangan Produk Hewan untuk keamanan produk Hewan dan media pembawa penyakit Hewan lainnya;

    7. pengesahan hasil pengujian dan pengawasan keamanan pakan;

    8. penutupan sementara lokasi usaha di bidang peternakan dan Kesehatan Hewan apabila diindikasikan adanya Wabah; dan {iD (3) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 19- j. pemberian rekomendasi penghentian sementara proses produksi kepada pejabat Otoritas Veteriner sesuai dengan kewenangannya apabila unit usaha di bidang peternakan dan Kesehatan Hewan terdeteksi tercemar bahaya biologik, kimiawi, dan/atau fisik yang membahayakan kesehatan atau diindikasikan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang p.i.r.r"k.., dan Kesehatan Hewan. Dalam rangka pengambilan keputusan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dokter Hewan Berwenang memiliki kewenangan untuk memasuki unit usaha guna melakukan inspeksi status Kesehatan Hewan, Kesejahteraan Hewan, dan keamanan Produk Hewan. Dalam rangka melakukan inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Dokter Hewan Berwenang harus didasarkan pada surat penugasan dari:

    9. pejabat Otoritas Veteriner kementerian; atau

    10. pimpinan perangkat daerah provinsi atau perangkat daerah kabupaten/kota yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan Kesehatan Hewan sesuai dengan kewenangannya.


    Pasal 22

    Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Dokter Hewan Berwenang wajib:

    1. melaporkan pelaksanaan wewenangnya kepada pejabat Otoritas Veteriner; dan

    2. melaksanakan perintah dari pejabat otoritas Veteriner yang merupakan tindak lanjut dari laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (4)


    Pasal 23

    Penetapan sebagai Dokter Hewan dimaksud dalam Pasal 20 ayat gubernur, atau bupati/wali kewenangannya apabila Dokter bersangkutan: Berwenang sebagaimana (3) dicabut oleh Menteri, kota sesuai dengan Hewan Berwenang yang {D a.

    1. mutasi atau alih tugas jabatan penyelenggaraan Kesehatan Hewan; berhenti atau diberhentikan sebagai dari bidang pegawai negeri sipil; atau

    2. melakukan (lima) tahun tindak pidana yang ancaman pidananya S atau lebih.


    Pasal 24

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan atau pencabutan sebagai Dokter Hewan Berwenang diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III SISKESWANAS Bagian Kesatu Umum


    Pasal 25

    Siskeswanas terdiri atas subsistem:

    1. Kesehatan Hewan;

    2. Kesehatan MasyarakatVeteriner;

    3. Kafantina Hewan;

    4. penelitian dan pengembangan Kesehatan Hewan;

    5. sumber daya Kesehatan Hewan;

    6. informasi Kesehatan Hewan; dan

    7. peran serta masyarakat. Subsistem Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat:

    8. penyehatan Hewan;

    9. pengamatan Penyakit Hewan;

      (1)

      (2t R E P u J,-Tnt t,',?Sf; * =., o -2t- c. pencegahan dan pemberantasan penyakit Hewan;

    10. pengamanan ^penyakit Hewan; dan

    11. pengawasan Obat Hewan. (3) subsistem Kesehatan Masyarakat veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat:

    12. penjaminan higiene sanitasi;

    13. pengendalian zoonosis;

    14. keamanan Produk Hewan; dan

    15. penerapan Kesejahteraan Hewan. (4) subsistem Karantina Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit memuat:

    16. persyaratan Karantina Hewan;

    17. tindakan Karantina Hewan;

    18. kawasan Karantina Hewan;

    19. jenis hama Penyakit Hewan karantina;

    20. jenis media pembawa hama penyakit Hewan karantina; dan

    21. tempat pemasukan dan pengeluaran. (5) subsistem penelitian dan pengembangan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit memuat inovasi, pengkajian, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Kesehatan Hewan. (6) subsistem sumber daya Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e paling sedikit memuat:

    22. sumber daya manusia;

    23. prasarana dan sarana; dan

    24. pendanaan. (7) subsistem informasi Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit memuat: #iB REPUJ.Tot',RSS*uu,o -22- a. status dan situasi Penyakit Hewan;

    25. persyaratan teknis Kesehatan Hewan;

    26. pemetaan Penyakit Hewan;

    27. kajian epidemiologik;

    28. komunikasi risiko; dan

    29. pelayanan Kesehatan Hewan. (8) Subsistem peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g paling sedikit memuat peran serta masyarakat dalam:

    30. pemeliharaan atau perawatan Kesehatan Hewan;

    31. pengamatan Penyakit Hewan;

    32. pengendalian zoonosis;

    33. peningkatan kesehatan lingkungan;

    34. penerapan Kesejahteraan Hewan;

    35. peningkatan kesadaran dalam keamanan produk Hewan;

    36. pelayanan Kesehatan Hewan;

    37. prasarana dan sarana; dan

    38. pengembangan sumber daya manusia Kesehatan Hewan. Bagian Kedua Penyusunan Siskeswanas


    Pasal 26

    Rancangan Siskeswanas disusun oleh pejabat otoritas veteriner nasional dengan mengikutsertakan pejabat Otoritas Veteriner kementerian, pejabat Otoritas Veteriner provinsi, dan pejabat otoritas Veteriner kabupaten/kota. Rancangan Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sejalan dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional.

    (1)

    {2)


    Pasal 27
    (1)

    Rancangan Siskeswanas yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 disampaikan kepada Menteri untuk dilakukan konsultasi publik. (2) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit melibatkan:

    1. pejabat Otoritas Veteriner kementerian;

    2. pejabat Otoritas Veteriner provinsi;

    3. pejabat Otoritas Veteriner kabupatenlkota;

    4. kementerian/lembaga pemerintahan nonkementerian yang bidang tugasnya terkait dengan bidang penyelenggaraan Kesehatan Hewan;

    5. organisasi profesi kedokteran Hewan; dan

    6. perguruan tinggi terkait. Pasal 28 (1) Rancangan siskeswanas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 disampaikan oleh Menteri kepada presiden untuk ditetapkan. (2) Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan bagi Otoritas Veteriner dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. (3) Dalam hal Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, pelaksanaan penyelenggaraan Kesehatan Hewan oleh Otoritas Veteriner kementerian dilakukan dengan menggunakan rencana strategis kementerian. (4) Dalam hal Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, pelaksanaan penyelenggaraan Kesehatan Hewan oleh Otoritas Veteriner provinsi dilakukan dengan mengacu:

    7. pada rencana strategis kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan

    8. menggunakan rencana strategis perangkat daerah provinsi yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan Kesehatan Hewan di provinsi.

    (1)

    R E P u J,-T,: ^=,',355* . =, ^rt -24- (5) Dalam hal Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, pelaksanaan penyelenggaraan Kesehatan Hewan oleh Otoritas Veteriner kabupaten/kota dilakukan dengan:

    1. mengacu pada rencana strategis kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan rencana strategis perangkat daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan

    2. menggunakan rencana strategis perangkat daerah kabupaten/kota yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan Kesehatan Hewan di kabupaten/kota.


    Pasal 29

    Siskeswanas dapat tahun. ditinjau kembali setelah 5 (lima) (21 Ketentuan mengenai penyusunan rancangan Siskeswanas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 berlaku secara mutatis mutandis terhadap peninjauan kembali Siskeswanas. Bagian Ketiga Pelaksanaan Siskeswanas


    Pasal 30

    Dalam rangka pelaksanaan Siskeswanas, Otoritas Veteriner nasional, otoritas Veteriner kementerian, otoritas Veteriner provinsi, dan Otoritas Veteriner kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya melaksanakan koordinasi. REPU JTTo",'SSf; * r'o -25- Bagian Keempat Sistem Informasi Veteriner Pasal 31 Sistem informasi Veteriner diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah-an di bidang Kesehatan Hewan, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya terkait dengan bidang Kesehatan Hewan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota. Pasal 32 (1) Sistem informasi Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 merupakan sistem informasi yang terintegrasi antara sistem informasi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan Hewan, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya terkait dengan Kesehatan Hewan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. (21 Sistem informasi Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan oleh Menteri. (3) Dalam mengintegrasikan sistem informasi Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya terkait dengan Kesehatan Hewan wajib memberikan akses data dan informasi terkait penyelenggaraan Kesehatan Hewan kepada Menteri sesuai dengan permintaan. (41 sistem informasi veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:

    1. pengendalian dan penanggulangan penyakit Hewan;

    2. Kesehatan Masyarakat Veteriner;

    3. Kesejahteraan Hewan;

    4. pelaporan Penyakit Hewan;

    5. jumlah dan jenis Hewan, produk Hewan, dan media pembawa Penyakit Hewan lainnya yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    6. jumlah dan jenis Hewan, Produk Hewan, dan media pembawa Penyakit Hewan lainnya yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari 1 (satu) pulau ke pulau lain dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    7. kompetensi di bidang Kesehatan Hewan;

    8. ketersediaan dan kebutuhan Tenaga Kesehatan Hewan;

    9. pengembangan Tenaga Kesehatan Hewan;

    10. penempatan Tenaga Kesehatan Hewan;

    11. lembaga pendidikan dan pelatihan Kesehatan Hewan; dan


  9. prasarana dan sarana Kesehatan Hewan.

    Pasal 33

    Informasi Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (41harus dapat diakses oleh Setiap Orang.


    Pasal 34

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumpulan data, pengolahan data, dan penyajian informasi Veteriner diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV TENAGA KESEHATAN HEWAN Bagian Kesatu Umum


    Pasal 35

    {D (21 (3) (4) (s) (6) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 27- Tenaga Kesehatan Hewan terdiri atas tenaga Medik veteriner, sarjana kedokteran Hewan, dan tenaga paramedik Veteriner. Tenaga Medik veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas Dokter Hewan dan Dokter Hewan spesialis. Tenaga paramedik veteriner sebagaimana dimaksud p"d^..3{1t (2) paling sedikit terdiri atas tenaga yang memiliki kompetensi teknis di bidang: a. b. c.

    1. Kesehatan Hewan; Kesehatan Hewan akuatik; kesehatan satwa liar; perawatan Hewan; farmasi Veteriner; higiene pangan; laboratorium Veteriner; reproduksi Veteriner; anestesi; radiologi; pemeriksaan daging dan susu; biologi molekuler; Kesejahteraan Hewan; dan

    2. Karantina Hewan. Kompetensi tenaga paramedik Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat {4) dapat diubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan kompetensi tenaga paramedik veteriner sebagaimana dimaksud pada ay"l 1s1 ditetapkan oleh Menteri.


    Pasal 36

    Penyediaan tenaga Medik kedokteran Hewan dilakukan tinggi kedokteran Hewan. Veteriner dan sarjana oleh lembaga pendidikan (1) R E P u JrT,[ t,',?Sf; * = =, ^o -28- (2) Penyediaan tenaga paramedik Veteriner dapat dilakukan - ^oleh ^lembaga ^pendidikan ^di ^bidang Kesehatan Hewan. (3) Lembaga pendidikan di bidang Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki karakter pendidikan kedokteran Hewan. (4) Lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 dapat diselenggarakan oleh pemerintah Pusat, pemerintah daerah, d.anf atau masyarakat. (5) Penyelenggaraan pendidikan di bidang Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Penyediaan Paragraf 1 Perencanaan


    Pasal 37

    Perencanaan Tenaga Kesehatan Hewan ditetapkan oleh:

    1. Menteri, untuk rencana Tenaga Kesehatan Hewan;

    2. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan, untuk rencana Tenaga Kesehatan Hewan akuatik;

    3. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintaha.n di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, untuk rencana Tenaga Kesehatan Hewan yang merupakan satwa liar;

    4. gubernur, untuk rencana Tenaga Kesehatan Hewan provinsi; dan

    5. bupati/wali kota, untuk rencana Tenaga Kesehatan Hewan kabupaten/kota. Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

      (1)
      (2)
      1. rencana Tenaga Kesehatan Hewan jangka panjang untuk periode 20 (dua puluh) tahun;

    6. rencana Tenaga Kesehatan Hewan jangka menengah untuk periode 5 (lima) tahun; dan

    7. rencana Tenaga Kesehatan Hewan tahunan untuk periode 1 (satu) tahun. (3) Rencana Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana . ^dimaksud ^pada ^ayat ^(1) ^paling sedikit ^memuat:

    8. peta penyebaran Tenaga Kesehatan Hewan;

    9. kebutuhan Tenaga Kesehatan Hewan;

    10. program pengembangan Tenaga Kesehatan Hewan; dan

    11. peluang kerja bagi Tenaga Kesehatan Hewan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.


    Pasal 38
    (1)

    Pen5rusunan rencana Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud dalam pasal gT ayat (1) dilakukan melalui tahap:

    1. inventarisasi;

    2. penyiapan rencana; dan

    3. penetapan.rencana. Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai peta penyebaran dan kebutuhan Tenaga Kesehatan Hewan. Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 digunakan sebagai bahan pen5rusunan rancangan rencana Tenaga Kesehatan Hewan.


    Pasal 39

    Dalam men]rusun rencana Tenaga Kesehatan Hewan harus mempertimbangkan: {2) (3) {D a. b.

    1. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 30- kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; peraturan perundang-undangan; dan kebutuhan Tenaga Kesehatan Hewan.


    Pasal 40
    (1)

    Perencanaan Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a disusun oleh Otoritas Veteriner kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan Hewan bersama kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya terkait. (2) Perencanaan Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan Otoritas Veteriner provinsi dan Otoritas Veteriner kabupaten/kota. Pasal 4 1 Perencanaan Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 tidak termasuk perencanaan sumber daya manusia Kesehatan Hewan aparatur Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia. Pasal 42 Perencanaan Tenaga Kesehatan Hewan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) menjadi pedoman dalam penyusunan rencana formasi Tenaga Kesehatan Hewan provinsi dan kabupaten/kota. Perencanaan Tenaga Kesehatan Hewan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman dalam pen5rusunan rencana formasi Tenaga Kesehatan Hewan kabupaten/kota.

    (1)

    {2) REpuJS,[=,l"ot]*==,o -31 - Paragraf 2 Pengadaan


    Pasal 43

    Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan Hewan, kementerian/lembaga pemerintah non kementerian yang bidang tugasnya terkait dengan Kesehatan Hewan, pemerintah frovinsi, dan pemerintah kabupatenlkota wajib memiliki Tenaga Kesehatan Hewan yang sesuai dengan bidang tugasnya.


    Pasal 44
    (1)

    Tenaga Kesehatan Hewan pada usaha pelayanan Kesehatan Hewan dan usaha di bidang Kesehatan Hewan yang diselenggarakan oreh orang perseorangan dan/atau badan hukum, pengadaannya dilakukan oleh orang perseorangan dan/atau badan hukum. (2) Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib sesuai dengan kompetensinya.


    Pasal 45

    Pengadaan Tenaga Kesehatan Hewan pada kementerian I_ang ^menyelenggarakan ^urusan ^pemerintahan ^di ^bidang Kesehatan Hewan, kementerian/lembaga pemerintaf, nonkementerian yang bidang tugasnya ^-terkait dengan Kesehatan Hewan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten / kota dilakukan :

    1. dengan mengacu pada perencanaan Tenaga Kesehatan Hewan; dan

    2. sesuai dengan ketentuan peraturan undangan. perundang- (1) (21 Paragraf 3 Pengembangan


    Pasal 46

    Pengembangan Tenaga Kesehatan Hewan dilakukan untuk meningkatkan kompetensi kerja Tenaga Kesehatan Hewan. Pengembangan Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (i) dilaksanakan dengan cara: 'a. pendidikan dan pelatihan;

    1. penyuluhan; dan/atau

    2. pengembangan lainnya.


    Pasal 47

    Pendidikan dan pelatihan Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a merupakan satu kesatuan dalam sistem pendidikan nasional dan pembinaannya dilakukan bersama oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. Pendidikan dan pelatihan Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbasis kompetensi kerja di bidang Kesehatan Hewan. Jenis kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (21ditetapkan oleh Menteri. (4) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Tenaga Kesehatan Hewan dilakukan secara terpadu antara kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota, dan masyarakat. (5) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Tenaga Kesehatan Hewan secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.

    (1)
    (2)
    (3)
    (1)

    (2',)


    Pasal 48

    Tenaga Kesehatan Hewan wajib meningkatkan kompetensi F.ti" ^di ^bidang ^Kesehatan ^Hewan sesuai ^dengan jenis kompetensi kerja yang ditetapkan untuk jabaian *t^, pekerjaan di bidang Kesehatan Hewan


    Pasal 49

    Kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakat dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Kesehaian Hewan. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wqiib memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 50

    Menteri, gubernur, bupati/wali kota, dan badan usaha di bidang Kesehatan Hewan memberikan pen5ruluhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (21 huruf b secara berkala kepada Tenaga Kesehatan Hewan yang bukan pegawai negeri sipil, peternak, dan pelaku usaha di bidang peternakan dan Kesehatan Hewan.


    Pasal 51

    Pengembangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (2) huruf c dapat berupa pemagangan, bimbingan teknis, lokakarya, dan seminar.


    Pasal 52

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan Tenaga Kesehatan Peraturan Menteri. syarat dan tata cara Hewan diatur dengan R E P u J'T,: ^t,',i5|* = ^r, ^o -34- Bagian Ketiga Penempatan Pasal 53 Menteri, menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya terkait dengan Kesehatan Hewan, gubernur, dan bupati/wali kota *I3iu menempatkan Tenaga Kesehatan Hewan sesuai dengln kebutuhan dan kompetensinya. Bagian Keempat Tenaga Asing Kesehatan Hewan


    Pasal 54

    Penggunaan tenaga asing Kesehatan Hewan hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Dok[er Hewan spesialis. Penggunaan tenaga asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerj aan.


    Pasal 55

    Dokter Hewan spesialis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) hanya dapat melakukan pelayanan Jasa Medik veteriner berdasarkan perjanjian biiateral atau multilateral antara negara Indonesia dan negara atau lembaga internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan Jasa Medik Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oteh Dokter Hewan spesialis yang memenuhi persyaratan:

    1. mampu berbahasa Indonesia dengan lancar secara lisan dan tulisan;

      (1)
      (2)
      (1)
      (2)
      (3)
      (4)

      (s) b. memiliki sertifikat kompetensi sebagai Dokter Hewan spesialis dari negara asalnya;

    2. memiliki surat izin praktik dari negara asal;

    3. tidak memiliki masalah etika profesi dan pelanggaran hukum di negara asal yang dibuktikan dengan surat keterangan tertulis dari pejabat Otoritas Veteriner nasional negara asal;

    4. memiliki kartu anggota dari organisasi profesi Dokter Hewan dari negara asal;

    5. terdaftar pada organisasi profesi kedokteran Hewan di Indonesia;

    6. bermitra dengan Dokter Hewan Indonesia;

    7. memiliki sertifikat kompetensi di bidang penyakit Hewan tropik di Indonesia;

    8. memenuhi standar kompetensi yang sama dengan Dokter Hewan spesialis Indonesia sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan; dan

    9. bersedia mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Dokter Hewan spesialis yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan izin praktik untuk melakukan pelayanan Jasa Medik Veteriner di Indonesia. Izin praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh bupati/wali kota setelah mendapai rekomendasi dari organisasi profesi kedokteran Hewan. Dalam melakukan Pelayanan Jasa Medik veteriner Dokter Hewan spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika profesi. PFIES IDEN REFUBLIK INDONESIA 36 BAB V PELAYANAN KESEHATAN HEWAN Bagian Kesatu Umum Pasal 56 (1) Pelayanan Kesehatan Hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, perayanan jasa 1aboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan Jasa Medik veteriner, dan pelayanan jasa di pusat Kesehatan Hewan atau pos Kesehatan Hewan. (21 Pelayanan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan ke dalam pelayanan:

    10. jasa laboratorium; dan

    11. jasa Medik Veteriner.


    Pasal 57

    Pelayanan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dapat dilakukan oleh kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, orang perseorangan, atau badan hukum. fada ^setiap kabupaten/kota ^wajib ^tersedia ^pelayanan jasa laboratorium dan jasa Medik Veteriner. Bagian Kedua Pelayanan Jasa Laboratorium Pasal 58 (1) Pelayanan jasa laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a meliputi pelayanan:

    (1)
    (2)
    (2)

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 37- a. ^jasa diagnostik;

    1. jasa pengujian kesehatan benih, keamanan dan mutu Produk Hewan, keamanan dan mutu Obat Hewan, keamanan pakan, dan status keamanan media pembawa Penyakit Hewan lainnya; dan

    2. penelitian dan pengembangan. Pelayanan jasa laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipimpin oleh Dokter Hewan.


    Pasal 59

    Pelayanan jasa laboratorium hanya dapat dilakukan oleh laboratorium yang terakreditasi sesuai dengan ruang lingkup pengujian berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam hal laboratorium yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada, Menteri menetapkan laboratorium yang memiliki kemampuan pemerikiaan dan pengujian laboratorium tertentu untuk wilayah regional.


    Pasal 60

    Laboratorium terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dapat ditetapkan sebagai laboratorium rujukan oleh Menteri. Laboratorium rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memberikan pelayanan jasa laboratorium, juga melaksanakan fungsi:

    1. pengukuran kemampuan laboratorium lain;

    2. pemagangan bagi sumber laboratorium lain; daya manusia c. pengembangan teknik dan metode diagnosa dan uji laboratorium;

      (1)
      (2)
      (1)

      (21 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -38- pene.guhan diagnosis hasil uji penyakit Hewan; dan/atau peneguhan hasil uji bahaya biologik, kimiawi, dan fisik pada Produk Hewan.


    Pasal 61

    Pemberian pelayanan jasa laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 yang dilakukan oleh Setiap Orang wajib memiliki izin usaha dari bupati/wali kota. lzin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan rekomendasi dari pejabai Otoritas Veteriner kabupaten/kota.


    Pasal 62

    Pelayanan jasa laboratorium diagnostik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a dilakukan untuk menentukan status Kesehatan Hewan. Hasil pelayanan jasa laboratorium diagnostik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan oleh Dokter Hewan untuk melakukan tindakan lanjutan.


    Pasal 63

    Pelayanan jasa pengujian kesehatan benih, keamanan dan mutu Produk Hewan, keamanan dan mutu Obat Hewan, keamanan pakan, dan status keamanan media pembawa Penyakit Hewan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b dilakukan untuk menentukan status kesehatan benih, keamanan dan mutu produk Hewan, keamanan dan mutu Obat Hewan, keamanan pakan, dan status keamanan media pembawa penyakit Hewan lainnya. d. e.

    (1)

    (2t (1) (2) (1) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -39- Pasal 64 Apabila dalam pelayanan jasa laboratorium sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat (1) ditemukan agen Penyakit Hewan menular, penanggung jawab laboratorium wajib melaporkan t<epaaa p-3"u"t Otoritas Veteriner kabupaten/ kota. Dalam hal agen penyakit Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengindikasikan terjadinya wabah, laporan wajib disampaikan dalam waktu paling l"T1 ^7 ^x ^24 ^(satu ^kali ^dua ^puluh ^empat) ^jam ^sejak indikasi Wabah diketahui. Pejabat Otoritas Veteriner kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat itt wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud p"dr. ayat (1) dan ayat (2) dengan:

    1. memberikan rekomendasi kepada bupati/wali kota untuk melaporkan terjadinya Wabah kepada gubernur dan Menteri; dan

    2. melakukan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan laboratorium provinsi, penanggung jawab laboratorium wajib melaporkan kephda p.3"U"t Otoritas Veteriner provinsi dengan tembusan disampaikan kepada pejabat otoritas veteriner nasional dan pejabat Otoritas Veteriner kabupaten/ kota yang bersangkutan. Dalam hal laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan laboratorium kementerian, penanggung jawab laboratorium wajib melaporkan kepada pejabat Otoritas Veteriner nasional d.rrg"r, tembusan disampaikan kepada pejabat otoritas veteriner provinsi dan pejabat otoritas Veteriner kabupate n / kota setempat. (21 (3) (41 (s) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 40 (1) pasal 65 Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal sg ayat (11 huruf c dilakukan oreh Iaboratorium untuk:

    3. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Kesehatan Hewan; - b. pengkajian dan penerapan teknologi di bidang Kesehatan Hewan;

    4. ^pengembangan industri di bidang Kesehatan Hewan; dan

    5. pengembangan biosafetg dan biosecuity dalam rangka keamanan dan pertahanan negara. Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan penyakit Hewan menular eksotik dapat dilakukan setelah memberitahukan terlebih dahulu kepada Menteri. Pasal 66 Hasil penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 wajib diberitahukan kepada Menteri. Dalam hal hasil penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (t) yan[ berkaitan dengan Penyakit Hewan menular - eksotik yang berpotensi memiliki dampak sosioekonomi tinggi waji6 disampaikan terlebih dahulu kepada Menteii untuk llemperoleh ^persetujuan ^sebelum ^digunakan ^dan/atau dipublikasikan. Pemberian persetujuan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah meriperoleh rekomendasi dari pejabat otoritas Veteriner nasi,onal. Pasal 67 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan jasa laboratorium sebagaimana dimaksud dalam pasal 5g sampai dengan Pasal 66 diatur dengan peraturan Menteri. (21 (1) (2) (3) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -4t- Bagian Ketiga Pelayanan Jasa Medik Veteriner (1)


    Pasal 68

    Pelayanan jasa Medik veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf b meliputi:

    1. pemberian diagnosis dan prognosis penyakit Hewan;

    2. tindakan transaksi terapetik; dan

    3. konsultasi Kesehatan Hewan dan pendidikan klien atau masyarakat mengenai Kesehatan Hewan dan lingkungan. Pelayanan jasa Medik Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap Hewan terestrial, satwa liar, dan Hewan akuatik, termasuk produknya. Pelayanan jasa Medik Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas permintaan klien atau menindaklanjuti keputusan Pemerintah Pusat dan/atau pemerintah daerah yang berkaitan dengan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan dan/atau Kesehatan Masyarakat Veteriner. Tindak lanjut Pelayanan Jasa Medik veteriner dapat berupa:

    4. konfirmasi kepada unit pelayanan Kesehatan Hewan rujukan jika diperlukan; dan

    5. penyampaian data Penyakit Hewan kepada pejabat Otoritas Veteriner setempat.

      (2)
      (3)
      (4)
      (1)
      (2)
      (1)
      (2)

      Pasal 69 Dalam hat pelayanan Jasa Medik veteriner sebagaimana dimaksud dalam pasal 6g ditemukan hasil diagnosis penyakit Hewan Menurar strategis yang mengindikasikan wabah dan/atau penyakit Hewan menular eksotik, petugas pelayanan Jasa Medik veteriner wajib melaporkan kepada pejabat otoritas veteriner kabupaten/kota datam ^- waktu paring 1"Tl ^l.x ^24 ^(satu ^kali ^dua ^puluh ^empat) ^jam ^sejaf indikasi ditemukan. Pejabat otoritas Veteriner kabupaten/kota wajib menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud p.d. ayat (1) dengan:

    6. memberikan rekomendasi kepada bupati/wali kota untuk melaporkan tedadinya Wabah dan/atau Penyakit Hewan menurar eksotik kepada gubernur dan Menteri; dan

    7. melakukan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan sesuai dengan titentuan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 70

    Pelayanan jasa Medik veteriner sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 68 ayat (1) dilakukan plda unit pelayanan Kesehatan Hewan. Irhit pelayanan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tempat praktik Dokter Hewan mandiri, ambulatori, kldik H.*"rr, pusat Kesehatan Hewan, rumah sakit Hewan, dan rumah potong Hewan. Ambulatori sebagaimana dimaksud pada ayat (2ldapat berupa pelayanan klinik Hewan ketiling danTaiau pelayanan jasa laboratorium.

    (3)
    (1)
    (2)

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 43


    Pasal 71

    Ambulatori, klinik Hewan, pusat Kesehatan Hewan, rumah sakit Hewan, dan rumah potong Hewan yang diselenggarakan oleh Setiap orang wajib memiliki izin usaha dari bupati/wali kota. Ambulatori sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang !9f1-teSrasi ^dengan ^unit ^pelayanan ^Kesehalan'Hewan, klinik Hewan, pusat Kesehatan Hewan, rumah sakit Hewan, dan rumah potong Hewan tidak memerlukan izin usaha dari bupati/wali kota. pasal T2 (1) Pelayanan Jasa Medik Veteriner sebagaimana dimaksud dalam pasal 6g ayat (1) dilakukan oleh Dokter Hewan spesialis, Dokter Hewan, sarjana kedokteran Hewan, dan tenaga paramedik veteriner. (21 Pelayanan Jasa Medik veteriner yang dilakukan oleh sarjana kedokteran Hewan dan tenaga paramedik veteriner sebagaimana dimaksud pada "y"c (r) hanya dapat dilakukan untuk tindakan yarrs' bersiiat nonparenteral. (3) Dalam hal sarjana kedokteran Hewan dan tenaga paramedik veteriner melakukan tindakan Medik veteriner selain tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib di bawah penyeliaan Dokter Hewan.


    Pasal 73

    Dokter Hewan dan Dokter Hewan spesialis yang melakukan Pelayanan Jasa Medik Veteriner wajib memiliki izin praktik pelayanan Kesehatan Hewan dari bupati/wali kota. U..ntu-k mendapatkan izin praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dokter Hewan dan Dokter Hewan spesialis mengajukan surat permohonan kepada bupati/wali kota.

    (1)
    (2)

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -44- (3) lztn praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan rekomendasi dari iejabai Otoritas Veteriner kabupaten/ kota.


    Pasal 74

    Terhadap tenaga Kesehatan Hewan yang bertugas pada kementerian yang menyelenggr.it "r, urusan pemerintahan di bidang Kesehatan Hewan, kementerian/tembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya terkait dengan Kesehatan Hewan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota yang melaksanakan tugas pelayanan Jasa Medik Veteriner, keputusan mengenai penugasan pelayanan Jasa Medik veteriner disamakan sebagai iiin praktik pelayanan Jasa Medik Veteriner. pasal 75 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan Jasa Veteriner sebagaimana dimaksud dalam pasal 6g dengan Pasal 74 diatur dengan peraturan Menteri. Medik sampai BAB VI PRAKTIK KEDOKTERAN HEWAN


    Pasal 76

    Otoritas Veteriner bersama dengan kedokteran Hewan melakukan pelaksanaan praktik kedokteran Hewan Negara Kesatuan Republik Indonesia. organisasi profesi pembinaan atas di seluruh wilayah PasalTT Pembinaan sebagaimana dimaksud dalarn pasal r6 meliputi penyusunan pedoman, pengawasan, dan evaluasi terhadap pedoman praktik kedokteran Hewan.

    (1)
    (2)

    PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 45


    Pasal 78

    Pedoman praktik kedokteran Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 disusun oleh otoritas veteriner nasional bersama organisasi profesi kedokteran Hewan.


    Pasal 79

    Pengawasan terhadap praktik kedokteran Hewan sebagaimana dimaksud dalam pasal TT dirahtkan oleh otoritas veteriner dan organisasi profesi kedokteran Hewan. otoritas Veteriner melakukan pengawasan terhadap kegiatan praktik kedokteran Hewan sesuai dengan pedoman praktik. kedokteran Hewan. organisasi profesi kedokteran Hewan melakukan pengawasan atas mutu pelayanan medik yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan Hewan sesuai dengan pedoman praktik kedokteran Hewan.


    Pasal 80

    Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam pasal TT dilakukan terhadap pedoman praktik kedokteran Hewan. Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama oleh otoritas veteriner nasionai dan organisasi profesi kedokteran Hewan setiap tahun.


    Pasal 81

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pen5rusunan pedoman, pengawasan, dan evaluasi terhadap pedoman praktik kedokteran hewan sebagaimana dimak",rd drl"- pasal rZ diatur dengan Peraturan Menteri.

    (3)
    (1)
    (2)
    (1)

    (21 (1) (21 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 46 BAB VII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 82 Setiap Orang yang melakukan pelayanan jasa laboratorium yang tidak memiliki lzin- usaha dari bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dikenai sanksi administratif. Setiap Orang yang melakukan usaha ambulatori, klinik Hewan, pusat Kesehatan Hewan, rumah sakit Hewan, atau rumah potong Hewan yang tidak memiliki izin usaha dari bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal TL ayat (1) dikenai sanksi administratif.


    Pasal 83

    sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 berupa:

    1. peringatan tertulis; dan/atau

    2. penutupan pelayanan. sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh bupati/wali kota berdasarkan rekomendasi dari otoritas Veteriner kabupaten/kota. pasal 84 (1) sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasaf g3 ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari kerja. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -47 - (21 Apabita setelah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam pasai s2 tid; k mula] mengajukan permohonan izin usaha dari bupati/wali kota, diberikan sanksi administratif berupa penutupan pelayanan.


    Pasal 85

    Dokter Hewan spesialis yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undlngan dan/atau etika profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (5) diberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik. Pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan pemberian sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan keimigrasian.

    (1)

    (2)


    Pasal 86

    Penanggung jawab usaha jasa laboratorium yang tidak melaporkan ditemukannya indikasi wabah kepada pejabat otoritas veteriner kabupaten/kota dalam jangka wSktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 iyat- (2) diberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha.


    Pasal 87

    Petugas Pelayanan Jasa Medik veteriner yang tidak melaporkan hasil diagnosis penyakit Hewan Menular strategis yang mengindikasikan wabah dan/atau Penyakit Hewan menular eksotik kepada pejabat otoritas Veteriner kabupaten/kota dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1t; aiu.rikan sanksi administratif berupa: di bidang b. sanksi kepegawaian dan pencabutan keputusan mengenai penugasan pelayanan Jasa Medik veteriner lSSi ^petugas ^yang ^merupakan Tenaga ^Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud dalam pasal Z4; atau pencabutan izin praktik bagi petugas yang bukan merupakan Tenaga Kesehatan Hewan seba aimana dimaksud dalam ^pasal 74. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP


    Pasal 88

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

    1. Dalam hal di suatu wilayah kabupaten/kota belum terdapat Dokter Hewan yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil untuk ditetapkan sebagai Dokter Hewan Berwenang, bupati/wali kota """r"i dengan kewenangannya dapat menetapkan:


  10. Dokter Hewan yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri sipil sebagai Dokter Hewan Berwenang untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya peraturan Pemerintah ini; atau

  1. Dokter Hewan Berwenang dari dan melarui koordinasi dengan pemerintah daerah 1ain yang berdekatan atau instansi pemerintah pusai lainnya. b. Apabila wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan daerah otonom !1.r, ^jangka ^waktu ^3 ^(tiga) ^tahun ^dihitung ^sejak dilantiknya kepala daerah untuk yang pertama kali.- Pasal Peraturan Pemerintah diundangkan. mulai berlaku pada tanggal 89 ini Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Januari 2OLT ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 Januari 2OlZ MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2OI7 NOMOR 20 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2OI7 TENTANG OTORITAS VETERINER I. UMUM Penyelenggaraan Kesehatan Hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hal yang harus dilakukan oleh Pemerintah _ ^Pusat ^dan ^pemerintah ^daerah. o-alam ^penyelenggaraan Kesehatan Hewan, Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah fierkeir,rajiban meningkatkan penguatan tugas, fungsi, dan wewenang Otoritas Veteriner sebagai kelembagaan yang berwenang mengambit kepuiusan tertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan. Otoritas Veterinerbertuga" ,rr..ryiu.if."" rumusan dan melaksanakan kebijakan dalam penyelengga-raan Kesehatan Hewan dengan mengacu pada Siskeswa.r"" y".rg diietapfin oleh presiden. Otoritas Veteriner terdiri atas Otoritas Veteriner nasional, Otoritas Veteriner kementerian, Otoritas Veteriner provinsi, dan Otoritas Veteriner kabupatenf kota, masing-masing dipimpin oleh pejabat Otoritas Veteriner. Pejabat otoritas Veteriner harus Dokte; Hewan B.r*.ru.ng dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Dokter Hewan Berwenang harus berstatus sebagai pegawai negeri sipil dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan Hewan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/koti wajib memiliki Dokter Hewan Berwenang. R E ^p u JrT,: t,',utot| * . ., o -2- Pejabat Otoritas Veteriner nasional diangkat oleh Menteri. pejabat Otoritas Veteriner nasional mengoordinasikan-pejabat Otoritas Veteriner kementerian, pejabat Otoritas Veteriner provinsi, dan pejabat Otoritas Veteriner kabupaten/kota dalam p"ng"rrrbilan keputusan lertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan rE3aUat otoritas veteriner nasional bertindak sebagai wakil Pemerintih Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan dunia. Otoritas Veteriner provinsi diangkat oleh gubernur, dan Otoritas veteriner kabupaten/kota diangkat olef, bupati/w"li kot.. Sebagai suatu kelembagaan, Otoritas Veteriner tidak mungkin dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan optimal tanpa dibantu oleh Dokter Hewan Berwenang dan Tenaga Kesehatan Hewan yang melaksanakan pelayanan Kesehatan Hewan. Otoritas Veteriner bersama organisasi profesi kedokteran Hewan melaksanakan Siskeswanas dengan memberdayakan potensi Tenaga Kesehatan Hewan dan membina pelaksanaan prakiit t"aoiteran Hewan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka diperlukan pengaturan dalam suatu Peraturan Pemerintah mengenai Otoritas Veteriner, Siskeswanas, Tenaga Kesehatan Hewan, pelayairan Kesehatan Hewan, dan praktik kedokteran Hewan sebagai peiakslnaan ketentuan Pasal 68E dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor i8 Tahun 2OOg tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah diubah dengai Undang-Undang Nomor 4l Tahun 2014 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2OO9 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. II. PASAL DEMI PASAL
    Pasal 1

    Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup jelas. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -3- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pengambi]an keputusan tertinggi dilakukan oleh Otoritas veteriner pada setiap tingkat, baik Oioritas Veteriner nasional, otoritas Veteriner kementerian, Otoritas Veteriner provinsi, maupun Otoritas Veteriner kabupaten/ kota. Yang dimaksud dengan "mengerahkan semua lini kemampuan profesi" adalah pengerahan semua Dokter Hewan dan/atau Dokter Hewan spesialis berdasarkan spesies dan/atau keilmuan kedokteran Hewan. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -4- Huruf i Yang dimaksud dengan "alat dan mesin Kesehatan Hewan,, adalah peralatan kedokteran Hewan yang disiapkan dan digunakan untuk Hewan sebagai alat bantu dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf I Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Yang dimaksud dengan "medik konservasi" adalah penerapan Medik Veteriner . ^dalam ^penyelenggaraan ^Kesehatan ^Hewan ^ai ^bidang konservasi satwa liar.


    Pasal 4

    Cukup jelas.


    Pasal 5

    Cukup jelas.


    Pasal 6

    Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas.


    Pasal 8

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "penyakit Hewan 1intas batas,, adalah penyakit endemik yang mempunyai daya penularan tinggi dan cepat dan tidak mengenal batas negara. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.


    Pasal 9

    Cukup jelas.


    Pasal 10

    Cukup jelas. Pasal 1 1 Cukup jelas.


    Pasal 12

    Ayat (1) Huruf a Cukup je1as. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf I Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Tertentu dalam ketentuan ini antara lain dan agen penyebabnya mudah bermutasi, diagnosis, alat, dan mesin baru. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. berupa jenis penyakit resisten, dan metode PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -7 -


    Pasal 13

    Cukup jelas.


    Pasal 14

    Cukup jelas.


    Pasal 15

    Cukup jelas.


    Pasal 16

    Cukup jelas.


    Pasal 17

    Cukup jelas.


    Pasal 18

    Cukup jelas.


    Pasal 19

    Cukup jelas.


    Pasal 20

    Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Keputusan teknis berdasarkan jangkauan tugas pelayanan dilakukan oleh Dokter Hewan Berwening di unit-init pelayanan Kesehatan Hewan seperti di laboratorium Kesehatan Hewan, rumah potong Hewan, dan pusat Kesehatan Hewan. Ayat (21 Huruf a R E ^p u JrTot ^=,',?otln, . r, o -8- Huruf b visum et reperfum diperrukan . misalnya untuk keperluan pembuktian adanya tindak pidana yang berkaitan dengan Hewan yang mati, tindak pidana pencuriai, da, tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan Hewan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas.


    Pasal 22

    Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. fl.ffi


    Pasal 25

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Huruf a sumber daya manusia yaitu Tenaga Kesehatan Hewan dan sarjana serta vokasi dari disiplin iliru lainnya yang tugasnya berkaitan dengan penyerengg"r"a' Kesehatan- He=wan, dan masyarakat yang berperan serta dalam pelaksanaan Kesehatan Hewan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "kajian epidemiologik,, adarah kajian yang meliputi interaksi antara agen penyakit Hewan, hosies, dan lingkungan hidup. PRES I DEN REPUELIK INDONESIA -10- Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas.


    Pasal 26

    Cukup jelas.


    Pasal 27

    Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas.


    Pasal 29

    Ayat (1) Ditinjau kembali setelah lima tahun dimaksudkan untuk memberikan kepastian bahwa sejak ditetapkan sampai dengan 5 (lima) tahun, siskeswannas dapat men3aai acuan blgi Otoritas Veteriner. Ayat (21 Cukup jelas.


    Pasal 30

    Cukup jelas.


    Pasal 31

    Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas.


    Pasal 33

    Cukup jelas.


    Pasal 34

    Cukup jelas.


    Pasal 35

    Cukup jelas.


    Pasal 36

    Cukup jelas.


    Pasal 37

    Cukup jelas.


    Pasal 38

    Cukup jelas.


    Pasal 39

    Cukup jelas.


    Pasal 40

    Ayat (1) Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bidang tugasnya terkait, antara lain kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di _bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi dan kerninterian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembairgunan ' nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 1 Cukup jelas.


    Pasal 42

    Cukup jelas.


    Pasal 43

    Cukup jelas.


    Pasal 44

    Ayat (1) Usaha di bidang Kesehatan Hewan dalam ketentuan ini misalnya usaha di bidang Obat Hewan dan peralatan Kesehatan Hewan antara lain perusahaan produsen, importir, distributor, depo, toko obat atau peralatan Kesehatan H"*"r, pembibitan Hewan kesayangan, usaha kebun binatang, konservasi atau taman nasional, laboratorium Kesehatan Hewan antara lain laboratorium diagnostik, pemeriksaan dan pengujian, mutu, penelitian dan pengembangan Kesehatan Hewan, laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, rumah potong Hewan, rumah sakit Hewan, klinik Hewan, pusat Kesehatan-Hewa]r, atau kios daging. Ayat (21 Cukup jelas.


    Pasal 45

    Cukup jelas.


    Pasal 46

    Cukup jelas.


    Pasal 47

    Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas.


    Pasal 49

    Cukup jelas.


    Pasal 50

    Cukup jelas.


    Pasal 51

    Cukup jelas.


    Pasal 52

    Cukup jelas. Pasal 53 Ketentuan ini dimaksudkan agar Dokter Hewan, sarjana kedokteran Hewan, dan tenaga paramedit Veteriner ditempatf.a" p"a" bidang tugas yang berkaitan dengan penyelenggaraan Kesehatan Hlwan.


    Pasal 54

    Cukup jelas.


    Pasal 55

    Cukup jelas.


    Pasal 56

    Cukup jelas.


    Pasal 57

    Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas.


    Pasal 59

    Cukup jelas.


    Pasal 60

    Cukup jelas.


    Pasal 61

    Ayat (1) Pemberian pelayanan jasa , berada pada unit usaha di Ayat (2) Cukup jelas.


    Pasal 62

    Cukup jelas.


    Pasal 63

    Cukup jelas.


    Pasal 64

    Cukup jelas.


    Pasal 65

    Cukup jelas.


    Pasal 66

    Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas.


    Pasal 68

    Ayat (1) Huruf a laboratorium termasuk laboratorium yang bidang Kesehatan Hewan. prognosis penyakit Hewan dapat klinis, patologis, laboratoris, forensik, Pemberian diagnosis dan dilakukan misalnya secara dan/atau epidemiologik. Klinis misalnya pemeriksaan pernafasan, kulit, dan mata. reproduksi, pencernaan, Huruf b Yang,dimaksud dengan ''terapetik,, yaitu ilmu pengetahuan dan teknik untuk mengembarikan Kesehltan Hewan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas.


    Pasal 70

    Cukup jelas.


    Pasal 71

    Cukup jelas.


    Pasal 72

    Cukup jelas.


    Pasal 73

    Cukup jelas. Pasal T4 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas.


    Pasal 76

    Cukup jelas.


    Pasal 77

    Cukup jelas.


    Pasal 78

    Cukup jelas.


    Pasal 79

    Cukup jelas.


    Pasal 80

    Cukup jelas.


    Pasal 81

    Cukup jelas.


    Pasal 82

    Cukup jelas.


    Pasal 83

    Cukup jelas.


    Pasal 84

    Cukup jelas.


    Pasal 85

    Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. REpu JtT': t".T|* u'o 77


    Pasal 87

    Cukup jelas.


    Pasal 88

    Cukup jelas.


    Pasal 89 Cukup jelas. #H

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):