Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017

Kerangka<< >>

PRES IOEN REPUBLIK INDONESIA PRES IOEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2OO8 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang :

a. Mengingat :

l. 2. b. c. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa perubahan kebijakan nasional dan dinamika pembangunan nasional telah mempengaruhi penataan ruang wilayah nasional sehingga menuntut adanya peninjauan kembali terhadap rencana lata ruang wilayah nasional; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; Pasal 5 ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2OO7 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan l.embaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O08 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 3. MEMUTUSKAN Menetapkan MEMUTUSKAN: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2OO8 TENTANG RENCANA TATA RUANG WII,AYAH NASIONAL. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2OO8 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833), diubah sebagai berikut:

  1. Ketentuan ayat (21 dan ayat (3) Pasal 5 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 5
    (1)

    Kebilakan pengembangan struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:

    1. peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki; dan

    2. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah nasional. (21 Strategi untuk peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah meliputi:

    3. menjaga dan mewujudkan keterkaitan antarkawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah di sekitarnya;

    4. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat pertumbuhan;

    5. mengembangkan pusat pertumbuhan kota maritim yang berkelanjutan;

    6. mendorong .

    7. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitamya;

    8. mengembangkan pelayanan kawasan perkotaan yang mendukung sektor unggulan sebagai kota industri, wisata, dan maritim secara berkelanjutan; dan

    9. mengembangkan kota dan kawasan perkotaan baru secara holistik dan terintegrasi, inklusif, serta berkelanjutan.

    (3)

    Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana meliputi:

    1. meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara;

    2. mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi terutama di kawasan terisolasi;

    3. meningkatkan jaringan energi untuk memanfaatkan energi terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik;

    4. meningkatkan infrastruktur minyak dan gas bumi nasional yang optimal; dan

    5. meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumber daya air. 2. Ketentuan huruf a Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


    Pasal 6

    Kebljakan dan strategi pengembangan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:

    1. kebijakan dan strategi pengembangan, pemanfaatan, dan pengelolaan kawasan lindung;

    2. kebljakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya; dan

    3. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategi nasional.


  2. Ketentuan .

    Pasal 7
    (1)

    Kebijakan pengembangan, pemanfaatan, dan pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi:

    1. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

    2. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.

    (2)

    Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi:

    1. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;

    2. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam wilayah:


  3. Pulau Sumatera dengan luas paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi, karakter, dan fungsi ekosistemnya serta tersebar secara proporsional;

  4. Pulau Jawa Bali dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi, karakter, dan fungsi ekosistemnya serta tersebar secara proporsional;

  5. Pulau Kalimantan dengan luas paling sedikit 45o/o (empat puluh lima persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi, karakter, dan fungsi ekosistemnya serta tersebar secara proporsional;

  6. Pulau Sulawesi dengan luas paling sedikit 4Oo/o (empat puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi, karakter, dan fungsi ekosistemnya serta tersebar secara proporsional;

  7. Pulau Papua dengan luas paling sedikit 70olo (tqjuh puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi, karalter, dan fungsi ekosistemnya serta tersebar secara proporsional;

  8. Kepulauan Maluku dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi, karakter, dan fungsi ekosistemnya serta tersebar secara proporsional; dan

  9. Kepulauan Nusa Tenggara dengan luas paling sedikit 3O% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi, karakter, dan fungsi ekosistemnya serta tersebar secara proporsional;

    1. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung akibat pengembangErn kegiatan budi daya dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah;

    2. mengendalikan pemanfaatan dan penggunaan kawasan yang berpotensi mengganggu fungsi lindung; dan

    3. mewujudkan, memelihara, dan meningkatkan fungsi kawasan lindung dalam rangka meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai. (3) Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi:

    4. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;

    5. melindungi dan meningkatkan kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;

    6. melindungl dan meningkatkan kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, ener$, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;

    7. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat frsik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;

    8. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;

    9. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin ke sinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan

    10. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana dan kawasan risiko perubahan iklim. 4. Ketentuan ayat (21 dan ayat (3) Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Kebljakan pengembangan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi:

    11. perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya; dan

    12. pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan. (2) Strategi untuk perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya meliputi:

    13. menetapkan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional untuk pemanfaatan sumber daya alam di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah;

      (3)
      1. mengembangkan kegiatan budi daya unggulan di dalam kawasan beserta prasErrErna secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan dan wilayah sekitamya;

    14. mengembangkan kegiatan budi daya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;

    15. menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan, dan mempertahankan kawasan pertanian pangan berkelanjutan untuk mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan p€rngan;

    16. mengembangkan pulau-pulau kecil sebagai sentra ekonomi wilayah yang berbasis kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan;

    17. mengelola kekayaan sumber daya kelautan di wilayah perairan, wilayah yurisdiksi, laut lepas, dan wilayah dasar laut internasional untuk kedaulatan ekonomi nasional; dan

    18. mengembangkan pemanfaatan ruang udara nasional sebagai aset pembangunan dengan tetap menjaga fungsi pertahanan dan keamanan serta keselamatan penerbangan. Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup meliputi:

    19. membatasi dan mengendalikan perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan bencana dan risiko tinggi bencana serta dampak perubahan iklim untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana dan perubahan iklim;

    20. mengembangkan perkotaan metropolitan dan kota besar dengan mengoptimalkan pemanfaatan ruang secara vertikal dan kompak;

    21. membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan metropolitan dan kota besar untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya;

    22. mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan keberadaan pulau- pulau kecil;

    23. membatasi dan mengendalikan kegiatan budi daya pada lokasi yang memiliki nilai konservasi tinggi;

    24. menetapkan lokasi rusak dan tercemar untuk dipulihkan;

    25. mengendalikan keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan di kota sedang sebagai kawasan perkotaan penyangga arus urbanisasi desa ke kota;

    26. mengendalikan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk alokasi lahan pembangunan fagi sektor non kehutanan dengan memperlimbangkan kuatitas lingkungan, karakter sumber daya alam, fungsi ekologi, dan kebutuhan lahan untuk pembangunan secara berkelanjutan;

    27. mendorong pembangunan hutan rakyat untuk mendukung kecukupan tutupan hutan khususnya bagi wilayah daerah aliran sungai atau pulau yang tutupan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen); dan

    28. mengembangkan kegiatan budidaya dengan memperhatikan bioekoregion yang merupakan bentang alam yang berada di dalam satu atau lebih daerah aliran sungai. 5. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) PKN sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: (2t b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi;

    29. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi; dan/atau

    30. kawasan perkotaan yang berada di pesisir yang berfungsi atau berpotensi sebagai pelabuhan hub internasional dan pintu gerbang ekspor hasil kegiatan kelautan dan perikanan. PKW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

    31. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor yang mendukung PKN;

    32. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten;

    33. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten; dan/atau

    34. kawasan perkotaan yang berada di pesisir yang berfungsi atau berpotensi mendukung ekonomi kelautan nasional. PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

    35. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan;

    36. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan; dan/atau

      (3)

      10 c. kawasan perkotaan yang berada di pesisir berfungsi atau berpotensi mendukung ekonomi kelautan lokal. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

      Pasal 15

      PKSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (l) ditetapkan dengan kriteria:


    37. pusat perkotaan yang berpotsnsi ssfagai pos pemeriksaan lintas batas dan berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan negara tetangga; dan

    38. pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan/atau

    39. pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan di sekitarnya. 7. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

      Pasal 18

      Jaringan jalan nasional sebagaimana dimalsud dalam Pasal L7 ayat (2) terdiri atas jaringan jalan arteri primer, jaringan jalan kolektor primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, jaringan jalan strategis nasional, dan jalan tol. Jaringan jalan arteri primer dikembangkan secara menerus dan berhierarki berdasarkan kesatuan sistem orientasi untuk menghubungkan:


    40. antar-PKN;

    41. antara PKN dan PKW; dan/atau

    42. PKN dan/atau PKW dengan bandar udara pengumpul skala pelayanan primer/ sekunder/ tersier dan pelabuhan utama/pengumpul.

      (1)
      (2)
      (3)

      Jaringan "ib -. dFi. EXE _r)br€ (3) Jaringan jalan kolektor primer dikembangkan untuk menghubungkan antara PKN dan PKL, antar-PKW, serta antara PKW dan PKL. (41 Jaringan jalan strategis nasional dikembangkan untuk menghubungkan:

    43. antar-PKSN dalam satu kawasan perbatasan negara;

    44. antara PKSN dan pusat kegiatan lainnya; dan

    45. PKN dan/atau PKW dengan kawasan strategis nasional. (5) Jalan tol dikembangkan untuk mempercepat perwujudan jaringan jdan bebas hambatan sebagai bagian dari jaringan jalan nasional. (6) Pemerintah dapat menetapkan jalan bebas hambatan selain yang tercantum dalam lampiran III berdasarkan kriteria yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (71 Jaringan jalan bebas hambatan tercantum dalam Lampiran III yang merupakan lagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. 8. Ketentuan ayat (3) Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Jaringan jalur kereta api umum terdiri atas:

    46. ^jaringan jalur kereta api antarkota; dan

    47. ^jaringan jalur kereta api perkotaan. (21 Jaringan jalur kereta api antarkota dikembangkan untuk menghubungkan:

    48. PKN dengan pusat kegiatan di negara tetangga;

    49. antar-PKN;

    50. PKW dengan PKN; atau

    51. antar-PKW. (3) Jaringan jalur kereta dikembangkan untuk: api perkotaan a. menghubungkan kawasan perkotaan dengan bandar udara pengumpul skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan utama/pengumpul; dan so'\, =*'-' fLr( ^y --ffi xgyqS 12 b. mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan. (4) Jaringan jalur kereta api antarkota dan perkotaan beserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkeretaapian. 9. Ketentuan Pasa1 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

      Pasal 26
      (1)

      Pelabuhan umum terdiri atas pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, pelabuhan pengumpan regional, dan pelabuhan pengumpan lokal. (21 Pelabuhan utama dikembangkan untuk:


    52. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah besar;

    53. menjangkau wilayah pelayanan sangat luas; dan

    54. menjadi simpul jaringan transportasi laut internasional.

      (3)

      Pelabuhan pengumpul dikembangkan untuk:

    55. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah menengah;

    56. menjangkau wilayah pelayanan menengah; dan

    57. memiliki fungsi sebagai simpul jaringan transportasi laut nasional. (41 Pelabuhan pengumpEm regional dikembangkan untuk:

    58. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah; dan

    59. menjangkau wilayah pelayanan menengah.

      (5)

      Pelabuhan pengumpan lokal dikembangkan untuk:

    60. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran ralgrat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil; dan

    61. menjangkau wilayah pelayanan terbatas. (6) Pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

  10. Ketentuan Pasal 28 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (l) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) terdiri atas alur pelayaran di laut dan alur pelayaran di sungai dan danau. (21 Alur pelayaran di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. alur pelayaran umum dan perlintasan; dan

    2. alur pelayaran masuk pelabuhan. (3) Alur pelayaran di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga memiliki Alur Laut Kepulauan Indonesia.

      (4)

      AIur pelayaran sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    3. alur pelayaran sungai; dan

    4. alur pelayaran danau. (5) Kriteria teknis penetapan alur pelayaran ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi laut. (6) Alur Laut Kepulauan Indonesia ditetapkan berdasarkan kriteria yang berlaku secara internasional dan peraturan perundang- undangan.

      (7)

      Alur pelayaran nasional ditetapkan oleh yang tugas dan tanggung jawabnya di transportasi laut. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi berikut: menteri bidang sebagai 11. Pasal 30

      (1)

      Bandar udara umum terdiri atas:

    5. bandar udara pengumpul skala pelayanan primer;

    6. bandar udara pengumpul sekunder;

    7. bandar udara pengumpul tersier; dan skala pelayanan skala pelayanan d. bandar udara pengumpan. (21 Bandar udara pengumpul skala pelayanan primer, sekunder, dan tersier tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

  11. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 33 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (l) Jaringan jalan arteri primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (l) ditetapkan dengan kriteria:

    1. menghubungkan antar-PKN, antara PKN dan PKW, dan/atau PKN/PKW dengan bandar udara pengumpul skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan utama/pengumpul;

    2. berupa jalan umum yang melayani angkutan;

    3. melayani perjalanan jarak jauh;

    4. memungkinkan untuk lalu lintas dengan kecepatan rata-rata tinggi; dan

    5. membatasi jumlah jalan masuk secara berdaya guna.

      (2)

      Jaringan (21 Jaringan jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

    6. menghubungkan antar-PKW dan antara PKW dan PKL;

    7. berupa jalan umum yang berfungsi melayani angkutan;

    8. melayani perjalanan jarak sedang;

    9. memungkinkan untuk lalu lintas dengan kecepatan rata-rata sedang; dan

    10. membatasi ^jumlah jalan masuk. (3) Kriteria jaringan jalan strategis nasional dan jaringan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) ditetrpkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

  12. Ketentuan ayat (2) Pasal 34 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 34
    (1)

    Jaringan jalur kereta api antarkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a 6ilgtapkan dengan kriteria menghubungkan antara PKN dan pusat kegiatan di negara tetangga, antar-PKN, PKW dengan PKN, atau antar-PKW. (21 Jaringan jalur kereta api perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria menghubungkan kawasan perkotaan dengan bandar udara pengumpul skala pelayanan primer/ sekunder/ tersier dan pelabuhan utama/pengumpul atau mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan metropolitan.

    (3)

    Kriteria teknis jaringan jalur kereta api antarkota dan perkotaan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkeretaapian.


  13. Di antara .

  14. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 35 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Pelabuhan sungai dan pelabuhan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (ll huruf a ditetapkan dengan kriteria:

    1. berdekatan dengan kawasan permukiman penduduk;

    2. terintegrasi dengan sistem jaringan tran sportasi darat lainnya; dan

    3. berada di luar kawasan lindung. (21 Pelabuhan penyeberangall 5glagairnana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

    4. berada di lokasi yang menghubungkan dengan pelabuhan penyeberangan lain pada jarak terpendek yang memiliki nilai ekonomis; dan

    5. berada di luar kawasan lindung. (2a) Pelabuhan sungai, danau, dan penyeberangan mempertimbangkan faktor keamanan dan keselamatan penumpang serta pertahanan dan keamanan negara. (3) IGiteria teknis pelabuhan sungai, danau, dan penyeberangErn ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi sungai, danau, dan penyeberangan.

  15. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Pelabuhan utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

    1. berhadapan langsung dengan AIur Laut Kepulauan Indonesia dan/atau jalur pelayaran internasional;

    2. dihapus (21 b. dihapus;

    3. bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antarnegafa;

    4. berfungsi sebagai simpul utama pendukung pengembangan produksi kawasan andalan ke pasar internasional;

    5. berada di luar kawasan lindung; dan

    6. dihapus. Pelabuhan pengumpul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (ll ditetapkan dengan kriteria:

    7. merupakan bogan dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antarprovinsi;

    8. berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan andalan ke pasar nasional;

    9. memberikan akses lagi pengembangan pulau- pulau kecil dan kawasan andalan laut, termasuk pengembangan kawasan tertinggal;

    10. berada di luar kawasan lindung; dan

    11. dihapus. Pelabuhan pengumpan regional sgfagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (l) ditetapkan dengan kriteria:

    12. merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN atau PKW dalam sistem transportasi antarprovinsi;

    13. berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan andalan ke pasar regional;

    14. memberikan akses bag pengembangan kawasan andalan laut, kawasan pedalaman sungai, dan pulau-pulau kecil, termasuk pengembangan kawasan tertinggal;

    15. berada di luar kawasan lindung; dan

    16. dihapus. Pelabuhan pengumpan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

      (3)
      (4)

      18 a. merupakEln bagran dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKW atau PKL dalam sistem transportasi antarkabupaten / ^kota ^dalam satu provinsi;

    17. berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan budi daya di sekitarnya ke pasar lokal;

    18. berada di luar kawasan lindung; dan

    19. dihapus;

    20. dapat melayani pelayaran ralryat. (5) Kriteria teknis pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, pelabuhan pengumpan regional, dan pelabuhan pengumpan lokal ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang transportasi laut.

  16. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 (1) Bandar udara pengumpul skala pelayanan primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria:

    1. merupakan bagran dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN; dan

    2. melayani penumpang dengan jumlah paling sedikit 5.O0O.0O0 (lima juta) orang per tahun. (21 Bandar udara pengumpul skala pelayanan sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria:

    3. merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN; dan

    4. melayani penumpang dengan jumlah ar'ltara 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.0O0.O00 (tima juta) orang per tahun. (3) Bandar udara pengumpul skala pelayanan tersier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan kriteria:

    5. merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN atau PKW terdekat; dan 19 b. melayani penumpang dengan jumlah antara 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan l.O0O.O0O (satu ^juta) orang per tahun. (4) Kriteria teknis bandar udara pengumpul skala pelayanan primer, bandar udara pengumpul skala pelayanan sekunder, dan bandar udara pengumpul skala pelayanan tersier ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi udara.

  17. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Sistem jaringan energi nasional ssfegaimana dimaksud dalam Pasal 1O ayat (1) huruf c terdiri atas:

    1. ^jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi; dan

    2. ^jaringan infrastruktur ketenagalistrikan. (21 Jaringan infrastruktur ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan segala hal yang berkaitan dengan:

    3. Infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan sarana pendukungnya; dan

    4. Infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana pendukungnya. (3) Jaringan infrastruktur pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan segala hal yang berkaitan dengan pembangkit, jett5r, sarana pemyimpanan bahan bakar, sarana pengolahan hasil pembakaran, travo step up, dan pergudangan. (4) Jaringan infrastruktur penyaluran tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan segala hal yang berkaitan dengan transmisi tenaga listrik, gardu induk, distibusi tenaga listrik, dan gardu hubung.

  18. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi dikembangkan untuk:

    1. menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi ke kilang pengolahan dan/atau tempat penyimpanan; atau

    2. menyalurkan minyak dan gas bumi dari kilang pengolahan atau tempat penyimpanan ke konsumen. (21 Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi beserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang minyak dan gas bumi. Ketentuan Pasal 4O diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4O (1) Pembangunan Jarrngan infrastruktur 19.

  19. ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (21 dilaksanakan untuk memenuhi penyediaan tenaga listrik sesuai kebutuhan yang mampu mendukung kegiatan perekonomian. (21 Pembangunan Janngan infrastruktur ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan di seluruh wilayah kabupaten/ kota berdasarkan kriteria yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4OA sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40A Pembangkitan Tenaga Listrik tercantum dalam Lampiran VA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  20. Pasal 41 (1) Pembangunan jaringan transmisi lsnaga listrik dilaksanakan untuk menyalurkan tenaga listrik antarsistem dengan menggunakan kawat saluran udara, kabel bawah tanah, dan/atau kabel laut. (21 Gardu induk yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari transmisi tenaga listrik untuk mendistribusikan listrik tersebar secara merata di seluruh wilayah kabupaten/ kota. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 42

    Sistem jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi, pembangkitan tenaga listrik, serta jaringan transmisi tenaga listrik ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung ^jawabnya di bidang energi. Ketentuan Pasal 43 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (l) Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi sslagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria:

    1. adanya fasilitas produksi minyak dan gas bumi, fasilitas pengolahan dan/atau penyimpanan, serta konsumen yang terintegrasi dengan fasilitas tersebut; dan

    2. berfungsi sebagai pendukung sistem pasokan energi nasional. (2) Infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan sarana pendukungnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan kriteria:

    3. mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan umum di kawasan perkotaan, perdesaan hingga kawasan terisolasi;

    4. mendukung pengembangan kawasan perdesaan, pulau-pulau kecil, dan kawasan terisolasi;

    5. berada pada kawasan dan/atau di luar kawasan yang memiliki potensi sumber daya energi; dan

    6. berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan jarak bebas dan ^jarak aman. (3) Infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana pendukungnya sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 38 ayat (21 huruf b ditetapkan dengan kriteria:

    7. mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan umum di kawasan perkotaan, perdesaan, hingga kawasan terisolasi;

    8. mendukung pengembangan kawasan perdesaan, pulau-pulau kecil, dan kawasan terisolasi;

    9. melintasi kawasan perrnukiman, wilayah sungai, laut, hutan, persawahan, perkebunan, dan jalur transportasi;

    10. berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan persyaratan ruang bebas dan jarak aman;

    11. merupakan media penyaluran tenaga listrik adalah kawat saluran udara, kabel bawah laut, dan kabel bawah tanah; dan

    12. menyalurkan tenaga listrik berkapasitas besar dengan tegangan nominal lebih dari 35 (tiga puluh lima) kilo Volt. 24. Ketentuan huruf c Pasal 51 diubah dan huruf d dihapus, sehingga Pasal 5l berbunyi sebagai berikut: Pasal 5l Kawasan lindung nasional terdiri atas:

    13. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;

    14. kawasan perlindungan setempat;

    15. kawasan konservasi;

    16. dihapus;

    17. kawasan lindung geologi; dan

    18. kawasan lindung lainnya.


  21. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas:

    1. kawasan hutan lindung;

    2. kawasan gambut; dan

    3. kawasan resapan air. (21 Kawasan perlindungan setempat terdiri atas: sempadan pantai; sempadan sungai; kawasan sekitar danau atau waduk; dan ruang terbuka hijau kota. (3) Kawasan konservasi terdiri atas:

    4. kawasan suaka alam, yang terdiri atas suaka margasatwa, suaka margasatwa laut, cagar alam, dan cagar alam laut;

    5. kawasan pelestarian a1am, yang terdiri atas taman nasional, taman nasional laut, taman hutan raya, taman wisata alam, dan taman wisata alam laut;

    6. kawasan taman buru; dan

    7. kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang terdiri atas:

  22. kawasan konservasi pesisir dan pulau- pulau kecil yang meliputi suaka pesisir, suaka pulau kecil, taman pesisir, dan taman pulau kecil;

  23. kawasan konservasi maritim yang meliputi daerah perlindungan adat maritim dan daerah perlindungan budaya maritim; dan

  24. kawasan konservasi perairan. (4) Kawasan lindung geologi terdiri atas:

    1. kawasan cagar alam geologi; dan

    2. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah. (5) Kawasan lindung lainnya terdiri atas:

    3. cagar biosfer;

        1. d.

    4. ramsar . ramsar; cagar budaya; kawasan perlindungan plasma nutfah; kawasan pengu.ngsian satwa; dan kawasan ekosistem mangrove.

  25. Ketentuan ayat(21 Pasal 53 dihapus, sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimalsud dalam Pasal 52 ayat ( ) huruf a terdiri atas:

    1. kawasan keunikan batuan dan fosil. b. kawasan keunikan bentang alam; din c. kawasan keunikan proses geologi. (2) Dihapus. (3) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) huruf b terdiri atas:

    2. kawasan imbuhan air tanah; dan

    3. sempadan mata air.

  26. Ketenitan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

            1. Pasal 55 (l) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria:

    1. kawasaa hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih;

    2. kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 4Oo/o (empat puluh persen);

    3. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut; atau

    4. kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan kelerengan di atas lebih dari 15% (lima belas persen). (21 Kawasan gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria:

    5. berupa kubah gambut; dan

    6. ketebalan gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa. (3) Kawasan resapan air sebagaimana dimalsud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan kriteria kawasan y€rng mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan dan sebagai pengontrol tata air permukaan.

  27. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 57
    (1)

    Kawasan suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf a ditetapkan dengan kriteria:

    1. merupalan tempat hidup dan perkembangbiakan dari suatu jenis satwa langkadan/atau hampir punah;

    2. memiliki keanekaragaman satwa yang tinggr;

    3. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; atau

    4. memiliki luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan. (21 Cagar alam dan cagar alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf a ditetapkan dengan kriteria:

    5. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem;

    6. memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit penJrusunnya;

    7. mempunyai .

    (3)
    1. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;

    2. mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; dan/atau

    3. terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaannya terancam punah. Taman nasional dan taman nasional laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan kriteria:

    4. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;

    5. memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;

    6. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; dan

    7. merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, ?,ona rimba, dan/atau znna lainnya sesuai dengan keperluan. Taman hutan raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan kriteria:

    8. merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan pada wilayah yang ekosistemnya masih utuh ataupun witayah yang eko sistemnya sudah berubah;

    9. memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam; dan

    10. mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan/atau satwa.

    (4)
    (5)

    Taman .

    (5)

    Taman wisata alam dan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan kriteria:

    1. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang a1am, gejala alam, serta formasi geologi yang unik;

    2. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik alam untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; dan

    3. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan kriteria:

    4. memiliki luas yang cukup dan tidak membahayakan untuk kegiatan berburu; dan

    5. terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan yang memungkinkan perburuan secara teratur dan berkesinambungan dengan mengutamakan segi aspek rekreasi, olahraga, dan kelestarian satwa. Kawasan suaka pesisir atau suaka pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) hurufd angka 1, ditetapkan dengan kriteria:

    6. merupakan wilayah pesisir atau pulau kecil yang menjadi tempat hidup dan berkembang biaknya suatu jenis atau sumber daya alam hayati yang khas, unik, langka, dan dikhawatirkan akan punah, dan/atau merupakan tempat kehidupan bagi jenis biota migrasi tertentu yang keberadaannya memerlukan upaya perlindungan, dan/atau pelestarian;

    7. mempunyai keterwakilan dari satu atau beberapa ekosistem di wilayah pesisir atau pulau kecil yang masih asli dan/atau alami;

    8. mempunyai luas wilayah pesisir atau pulau kecil yang cukup untuk menjamin kelangsungan habitat jenis sumber daya ikan yang perlu dilakukan upaya konservasi dan dapat dikelola secara efektif; dan

    (6)
    (7)
    1. merupakan wilayah pesisir atau pulau kecil yang mempunyai daya tarik sumber daya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala atam yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi sumber daya alam hayati, wisata bahari, serta rekreasi;

    2. mempunyai luas wilayah pesisir atau pulau kecil yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan pesisir yang berkelanj utan; dan

    3. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata bahari dan rekreasi. (9) Kawasan daerah perlindungan adat maritim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf d angka 2, ditetapkan dengan kriteria:

    4. wilayah pesisir dan/atau pulau kecil yang memiliki kesatuan masyarakat hukum adat dan/atau kearifan lokal, hak tradisional, dan lembaga adat yang masih berlaku;

    5. mempunyai aturan lokal/kesepakatan adat masyarakat yang diberlakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan; dan

    6. tidak bertentangan dengan hukum nasional. (10) Kawasan daerah perlindungan budaya maritim sebagaimana dimaksud dalam ^pasal 52 ayat (3) huruf d angka 2, ditetapkan dengan kriteria:

    7. tempat tenggelamnya kapal yang mempunyai nilai arkeologi-historis khusus;

    8. tempat ritual keagamaan atau adat.

    (11)

    Kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf d angka 3, ditetapkan dengan kriteria:

    1. perairan laut nasional dan perairan kawasan strategis nasional yang mempunyai daya tarik sumberdaya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan pemanfaatan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, dan peningkatan kesadaran konservasi sumberdaya alam hayati;

    2. perairan laut nasional dan perairan kawasan strategis nasional yang mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan sumber daya hayati yang berkelanjutan;

    3. perairan laut daerah yang mempunyai daya tarik sumber daya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan pemanfaatan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, dan peningkatan kesadaran konservasi sumberdaya alam hayati; dan

    4. perairan laut daerah yang mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan sumber daya hayati yang berkelanjutan.


  28. Pasal 58 dihapus.

  29. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Cagar biosfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf a ditetapkan dengan kriteria:

    1. memiliki keterwakilan ekosistem yang masih alami, kawasan yang sudah mengalami degradasi, mengalami modifikasi, atau kawasan binaan;

    2. memiliki komunitas alam yang unik, langka, dan indah;

    3. merupakan bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alam dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis; atau

    4. berupa tempat bagr pemantauan perubahan ekologi melalui penelitian dan pendidikan. (2) Ramsar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf b ditetapkan dengan kriteria:

    5. berupa lahan basah baik yang bersifat alami atau mendekati alami yang mewakili langka atau unit yang sesuai dengan biogeografisnya;

    6. mendukung spesies rentan, langka, hampir langka, atau ekologi komunitas yang terancam;

    7. mendukung keanekaragaman populasi satwa dan/atau flora di wilayah biogeografisnya; atau

    8. merupakan tempat perlindungan bagi satwa dan/atau flora saat melewati masa kritis dalam hidupnya. (3) Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) hurufc ditetapkan dengan kriteria sebagai satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata nrang yang khas. (4) Kawasan perlindungan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf d ditetapkan dengan kriteria:

    9. memiliki .

    10. memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang memungkinkan kelangsungan proses pertumbuhannya; dan

    11. memiliki luas tertentu yang memungkinkan kelangsungan proses pertumbuhan jenis plasma nutfah. (5) Kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf e ditetapkan dengan kriteria:

    12. merupakan tempat kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut;

    13. merupakan tempat kehidupan baru bag satwa; dan

    14. memiliki luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan kehidupan serta berkembangbiaknya satwa. (6) Kawasan ekosistem mangrove sslagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf f ditetapkan dengan kriteria koridor di sepanjang pantai dengan lebar paling sedikit 130 (seratus tiga puluh) kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan, diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Pasal 61 dihapus. Di antara huruf e dan huruf f Pasal 63 disisipkan 1 (satu) huruf, yakni huruf ee sehingga Pasal 63 berbunyi sebagai berikut:

      Pasal 63

      Kawasan budi daya terdiri atas: kawasan peruntukan hutan produksi; kawasan peruntukan hutan rakyat; kawasan peruntukan pertanian; kawasan peruntukan perikanan; kawasan peruntukan pertambangan; kawasan peruntukan panas bumi; kawasan peruntukan industri; kawasan peruntukan pariwisata; kawasan peruntukan permukiman; dan/atau kawasan peruntukan lainnya.


                    1. i.

  30. Ketentuan

  31. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64 (l) Kawasan peruntukan hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. (21 Kawasan peruntukan hutan produksi ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar 174 (seratus tqiuh puluh empat).

    (3)

    Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan produksi ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung ^jawabnya di bidang kehutanan.

  32. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 (U Kawasan peruntukan pertanian terdiri atas:

    1. kawasan tanaman pangan;

    2. kawasan hortikultura;

    3. kawasan perkebunan; dan/atau

    4. kawasan petemakan. (21 Kawasan peruntukan pertanian ditetapkan dengan kriteria:

    5. memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan seba gai kawasan pertanian;

    6. ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan;

    7. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional; dan/atau

    8. dapat dikembangkan sesuai dengan ketersediaan infrastruktur dasar.

      (3)

      Kriteria .

      (3)

      Kriteria teknis kawasan peruntukan pertanian ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertanian.

  33. Ketentuan ayat (1) Pasal 68 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 (1) Kawasan peruntukan pertambangan yang memiliki nilai strategis nasional terdiri atas pertambangan mineral, batubara, serta minyak dan gas bumi. (21 Kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan dengan kriteria:

    1. memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/data geologi;

    2. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pemusatan kegiatan pertambangan secara berkelanjutan; dan/atau

    3. merupalan bagian proses upaya merubah kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil. (3) Kriteria teknis kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan.

  34. Di antara Pasal 68 dan Pasal 69 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 68A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68A (1) Kawasan peruntukan panas bumi ditetapkan dengan kriteria:

    1. memiliki sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi; dan

    2. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pemanfaatan langsung panas bumi dan pemanfaatan tidak langsung panas bumi. (2) IGiteria teknis kawasan peruntukan panas bumi ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang panas bumi.

  35. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 78

    Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan sosial dan budaya ditetapkan dengan kriteria:

    1. merupalan warisan budaya dunia;

    2. merupakan tempat pelestarian dan pengembangan cagar budaya beserta adat istiadatnya atau budaya, serta nilai kemasyarakatan; dan/atau

    3. merupalan tempat peningkatan kualitas warisan budaya.


  36. Ketentuan ayat (3) Pasal 82 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82 (1) Penetapan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal ZT, Pasat 28, Pasal 79, dan Pasal 80 tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (21 Pemerintah dapat menetapkan kawasan strategis nasional selain yang tercantum dalam Lampiran X berdasarkan kriteria yang diatur dalam ^peraturan Pemerintah ini. (3) Kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan Presiden.

  37. Ketentuan .

  38. Ketentuan ayat (1) dan ayat (21 Pasal 95 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 95
    (1)

    Peraturan zonasi untuk jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi harus memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan kawasan di sekitarnya.

    1. ^Peraturan zonasi untuk ^pembangkitan tenaga listrik disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar pembangkitan listrik harus memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain.

    (3)

    Peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


  39. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 99
    (1)

    Peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung disusun dengan memperhatikan:

    1. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengurangi fungsi lindung;

    2. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi fungsi lindung;

    3. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagr penduduk asli dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat; (2t d. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan latihan militer tanpa mengurangi fungsi kawasan hutan dan tutupan vegetasi; dan

    4. pemanfaatan hutan lindung dan penggunaan kawasan hutan lindung untuk keperluan di luar sektor kehutanan yang diperoleh melalui izin pinjam pakai kawasan hutan atau mekanisme lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Peraturan zonasi untuk kawasan gambut disusun dengan memperhatikan:

    5. pemanfaatan ruang untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan,dan/atau jasa lingkungan tanpa merubah bentang alam;

    6. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi merubah tata air dan ekosistem unik;

    7. pengendalian material sedimen yang masuk ke kawasan gambut melalui badan air; dan

    8. penanggulangan terhadap kerusakan ekosistem gambut. Peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan:

    9. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;

    10. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan

    11. penerapan prinsip z,ero delta Q policg terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya. (s) 41. Ketentuan ,-lI -- -Bs"rNl : -+Y' s ,l .r; .r,21i>>19


  40. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100 (1) Peraturan zonasi untuk sempadan pantai disusun dengan memperhatikan:

    1. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;

    2. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi;

    3. pemanfaatan untuk pelabuhan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan;

    4. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai, pelabuhan, bandar udara, dan pembangkitan tenaga listrik. e. ketentuan pelarangan bangunan selain yang dimaksud pada huruf d; dan

    5. ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan. (21 Peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan kawasan sekitar danau/waduk disusun dengan memperhatikan:

    6. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hljau;

    7. pemanfaatan untuk pelabuhan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan;

    8. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air, pemanfaatan air, dan/atau pelabuhan;

    9. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi dan/atau pelabuhan; dan

    10. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (3)

      Peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau disusun dengan memperhatikan:

    11. pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi;

    12. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya; dan

    13. kegiatan pelarangan pendirian bangunan pennanen selain yang dimaksud pada huruf b.

  41. Ketentuan Pasal lO1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101 (1) Peraturan zonasi untuk cagar alam, cagar alam laut, suaka margasatwa, dan suaka margasatwa laut disusun dengan memperhatikan:

    1. pemanfaatan ruang untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan, serta ilmu pengetahuan;

    2. pemanfaatan ruang untuk penyimpanan atau penyerapan karbon, pemanfaatan air, energi air, energi parias, energi mgrn, serta pemanfaatan sumber plasma nutfah;

    3. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a dan huruf b;

    4. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

    5. ketentuan pelarangan terhadap penanaman flora dan pelepasan satwa yang bukan merupakan flora dan satwa endemik kawasan. (21 Peraturan zonasi untuk taman nasional dan taman nasional laut disusun dengan memperhatikan:

    6. pemanfaatan ruang untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan, serta ilmu pengetahuan;

    7. pemanfaatan ruang untuk penyimpanan atau penyerapan karbon, pemanfaatan air, energi air, energi p€rnas, dan energi angin;

    8. pemanfaatan . 39 c. pemanfaatan ruang untuk pemanfaatan sumber plasma nutfah sebagai penunjang budi daya dan pemanfaatan tumbuhan, satwa liar, serta koleksi keanekaragaman hayati;

    9. pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat;

    10. ketentuan pelarangan kegiatan budi daya di zona inti; dan

    11. ketentuan pelarangan kegiatan budi daya yang berpotensi mengurangi tutupan vegetasi atau terumbu karang di znna penyangga.

      (3)

      Peraturan zonasi untuk taman hutan raya disusun dengan memperhatikan :

    12. pemanfaatan ruang untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan, serta ilmu pengetahuan;

    13. pemanfaatan ruang untuk penyimpanan atau penyerapan karbon, pemanfataan air, energi air, energi panas, dan energi angin;

    14. pemanfaatan ruang untuk pemanfaatan sumber plasma nutfah sebagai penunjang budi daya dan pemanfaatan tumbuhan, satwa liar, serta koleksi keanekaragaman hayati;

    15. pemanfaatan tradisional oleh masyaralat setempat;

    16. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    17. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d. (41 Peraturan zonasi untuk taman wisata alam dan taman wisata alam laut disusun dengan memperhatikan:

    18. pemanfaatan ruang untuk wisata penelitian dan pengembangan, serta alam, ilmu pengetahuan;

    19. pemanfaatan ruang untuk penyimpanan atau penyerapan karbon, pemanfataan air, energi air, energi panas, dan energi angin; (s) 40 c. pemanfEratan ruang untuk pemanfaatan sumber plasma nutfah sebagai penunjang budi daya dan pemanfaatan tumbuhan, satwa liar, serta koleksi keanekaragaman hayati;

    20. pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat;

    21. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d dilaksanalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    22. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d. Peraturan zonasi untuk taman buru disusun dengan memperhatikan:

    23. pemanfaatan ruang untuk kegiatan perburuan secara terkendali;

    24. penangkaran dan pengembangbiakan satwa untuk perburuan;

    25. ketentuan pelarangan perburuan satwa yang tidak ditetapkan sebagai buruan; dan

    26. penerapan standar keselamatan bagi pemburu dan masyarakat di sekitarnya. Peraturan zonasi untuk kawasan konservasi di pesisir dan pulau-pulau kecil disusun dengan memperhatikan:

    27. pemanfaatan ruang untuk perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, serta alur migrasi biota laut, perlindungan ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan, perlindungan situs budaya/adat tradisional, penelitian serta pengembangan, dan/atau pendidikan;

    28. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata dan rekreasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada mr: a yarLg ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

      (6)
    29. pemanfaatan ruang untuk perlindungan dan pelestarian adat dan budaya maritim, pendidikan, penelitian, pariwisata, dan rekreasi;

    30. pendirian bangunan yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi maritim pada zona yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    31. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a dan huruf b. (8) Peraturan zonasi untuk kawasan konservasi perairan disusun dengan memperhatikan:

    32. pemanfaatan ruang untuk penangkapan ikan, budidaya ikan, pariwisata alam perairan, dan penelitian dan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    33. pendirian bangunan di perairan kawasan konservasi perairan untuk mendukung penangkapan ikan, budidaya ikan, pariwisata alam perairan, dan penelitian dan pendidikan pada znna yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    34. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a dan huruf b. Pasal 102 dihapus. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1O3 (1) Peraturan zonasi untuk cagar biosfer disusun dengan memperhatikan:

    35. pemanfaatan untuk pariwisata tanpa mengubah bentang alam;

    36. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam; dan

    37. pengendalian (21 (3) 42 c. pengendalian kegiatan budi daya yang dapat merubah bentang alam dan ekosistem. Peraturan zonasi untuk rarnsar disusun dengan memperhatikan peraturan zonasi untuk kawasan lindung. Peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya disusun dengan memperhatikan:

    38. pemanfaatan untuk pariwisata, penelitian dan pengembangan, serta ilmu pengetahuan; dan

    39. ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan. Peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan plasma nutfah disusun dengan memperhatikan:

    40. pemanfaatan untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;

    41. pelestarian flora, fauna, dan ekosistem unik kawasan; dan c, pembatasan pemanfaatan sumber daya alam. Peraturan zonasi untuk kawasan pengungsian satwa disusun dengan memperhatikan:

    42. pemanfaatan untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;

    43. pelestarian flora dan fauna endemik kawasan; dan

    44. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam. Peraturan zonasi untuk kawasan ekosistem mangrove disusun dengan memperhatikan:

    45. pemanfaatan ruang untuk wisata a1am, penelitian dan pengembangan, serta ilmu pengetahuan;

    46. ketentuan pelarangan pemanfaatan kayu mangrove; dan

    47. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengubah, mengurangi luas, dan/atau mencemari ekosistem mangrove. (41 (s) (6) 45.

  42. 43 Pasal lO5 dihapus. Ketentuan Pasal lO7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 107

    Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi disusun dengan memperhatikan :

    1. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan;

    2. pemanfaatan kawasan hutan produksi untuk pembangunan infrastruktur dan bangunan lain yang mendukung pengelolaan hutan, sesuai dengan mekanisme ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan; dan

    3. penggunaan kawasan hutan produksi untuk kepentingan di luar sektor kehutanan diperoleh melalui izin pinjam pakai kawasan hutan.


  43. Di antara Pasal 1O7 dan Pasal 108 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 1O7A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107A Peraturan zonasi untuk kawasan hutan ralryat disusun dengan memperhatikan:

    1. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan;

    2. pemanfaatan ruang budi daya hutan ralgrat untuk permukiman dan/atau usaha budi daya lainnya dalam satu kesatuan pengelolaan yang terpadu; dan

    3. pemanfaatan ruang lainnya dalam kawasan hutan ralryat mengikuti mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. q,D 48. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi seb"gai berikut:

      Pasal 108

      Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian disusun dengan memperhatikan:


    4. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah;

    5. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi kawasan dan/atau fungsi lain kecuali untuk kepentingan umum; dan

    6. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan kecuali untuk kepentingan umum dan/atau karena bencana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  44. Ketentuan Pasal 110 ditambahkan 1 (satu) huruf, yakni huruf d, sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 110

    Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertambangan disusun dengan memperhatikan:

    1. pengaturan pendirian bangunan agar tidak mengganggu fungsi alur pelayaran yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;

    2. pengaturan kawasan tambang berdasarkan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara risiko dan manfaat;

    3. pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan bahaya sesuai dengan kepentingan daerah; dan

    4. pengaturan kawasan tambang dengan memanfaatkan kawasan karst sesuai daya dukung ekosistem karst.


  45. Di antara

  46. Di antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11OA sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal llOA Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan panas bumi disusun dengan memperhatikan:

    1. pemanfaatan untuk pengusahaan panas bumi dilakukan berdasarkan prinsip konservasi dan keberlanjutan; dan

    2. ketentuan pelarangan atih fungsi lahan menjadi lahan budi daya selain pengusahaan panas bumi yang meliputi kegiatan survey pendahuluan, eksplorasi, eksploitasi, dan pemanfaatan.

  47. Ketentuan ayat (4) Pasal 114 dihapus, sehingga Pasal 114 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 114
    (1)

    Arahan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf b merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana struktur dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini. (21 Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya. (3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (41 Dihapus.


  48. Di antara Pasal 114 dan Pasal 115 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 114A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114A Dalam hal rencana kegiatan pemanfaatan ruang bemilai strategis nasional dan/atau berdampak besar yang belum dimuat dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota, dan/atau rencana rincinya, izin pemanfaatan ruang sebagai66p4 dimaksud dalam Pasal ll4 didasarkan pada Peraturan Pemerintah ini. Dalam pemberian bin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (l) Menteri dapat memberikan rekomendasi pemanfaatan ruang.

  49. Mengubah Lampiran I sampai dengan Lampiran XI.

  50. Di antara Lampiran III dan Lampiran IV, disisipkan (satu) lampiran, yalni Lampiran IIIA.

  1. Di antara Lampiran V dan Lampiran VI, disisipkan (satu) lampiran, yakni Lampiran VA. Pasal II Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. (l) (2) Agar . PRES I DEN REFUBLII( II.]DONESIA Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2Ol7 ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 April 2Ol7 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2OL7 NOMOR 77 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2OO8 TENTANG RENCANA TATA RUANG WII,AYAH NASIONAL UMUM Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) merupakan pedoman untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional, penJrusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional, mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, keserasian antarsektor, penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis nasional, serta penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/ kota. RTRWN disusun dengan memperhatikan dinamika pembangunan yang berkembang, antara lain tantangan globalisasi, otonomi dan aspirasi daerah, keseimbangan perkembangan antara kawasan barat Indonesia dengan kawasan timur Indonesia, kondisi frsik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana, dampak pem€rnasEm global, pengembangan potensi kelautan dan pesisir, pemanfaatan ruang t9t -pTH, penanganan kawasan perbatasan negara, serta peran teknologi dalam memanfaatkan ruang. Untuk mengantisipasi dinamika pembangunan tersebut, upaya pembangunan nasional juga harus ditingkatkan melalui perencanaan, ne.lakyna31, ^dan ^pengendalian pemanfaatan ruang yang le6ih baik agar seluruh pikiran dan sumber daya dapat diarahkan secara berhasil gu].a dan berdaya guna. Salah satu hal penting yang dibutuhkan uituk mencapai tduan tersebut adalah melalui peningkatan keterpaduan dan keserasian pembangunan di segala bidang pembangunan y"ng se""ra spasial dirumuskan dalam RTRWN. # Penggunaan sumber daya alam dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besamya untuk kemakmuran rakyat, memperkuat struktur ekonomi yang memberikan efek pengganda yang maksimum terhadap pengembangan industri pengolahan dan jasa dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, serta keanekaragaman hayati guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, RTRWN yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional merupakan matra spasial dalam pembangunan nasional yang mencakup pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan secara arnan, tertib, efektif, dan elisien. RTRWN memadukan dan menyerasikan tata guna tanah, tata guna udara, tata guna air, dan tata guna sumber daya alam lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi dan disusun melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam dan lingkungan sosial. Untuk itu, penyusunan RTRWN ini didasarkan pada upaya untuk mewujudkan tujuan penata€ur ruang wilayah nasional, antara lain, meliputi perwujudan ruang wilayah nasional yerng aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, serta perwujudan keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah yang diterjemahkan dalam kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang wilayah nasional. Struktur ruang wilayah nasional mencakup sistem pusat perkotaan nasional, sistem jaringan transportasi nasional, sistem jaringan energi nasional, sistem jaringan telekomunikasi nasional, dan sistem ^jaringan sumber daya air. Pola ruang wilayah nasional mencakup kawasan lindung dan kawasan budi daya termasuk kawasan andalan dengan sektor unggulan yang prospektif dikembangkan serta kawasan strategis nasional. Selain rencana pengembangan struktur ruang dan pola ruang, RTRWN ini juga menetapkan kriteria penetapan struktur ruang, pola **g, kawasan andalan, kawasan strategis nasional, arahan pemanfaatan ruang yang merupakan indikasi program utama jangka menengah lima tahunan, serta arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. Secara substansial rencara tata ruang pulau/ kepulauan dan kawasan strategis nasional sangat berkaitan erat dengan RTRWN karena merupakan kewenangan Pemerintah dan perangkat untuk mengoperasionalkannya. Oleh karena itu, penetapan Peraturan Pemerintah ini mencakup pula penetapan kawasan strategis nasional. Pasal I Angka 1 Pasal 5 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Keterkaitan antara kawasan perdesaan dan perkotaan dapat diwujudkan, antara lain dengan pengembangan kluster, khususnya kawasan:
    1. agropolitan;

    2. minapolitan;

    3. pariwisata; dan

    d. transmigrasi, yang merupakan kawasan perdesaan dan pengembangan desa pusat pertumbuhan yang memiliki keunggulan komparatif dan/atau kompetitif dibanding dengan kawasan perdesaan lainnya. Hurufb Cukup ^jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "kota maritim" adalah kota yang berada di pantai/pesisir dan mempunyai fungsi kegiatan yang berkaitan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Hurufd Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Angka 2 *rruJintt,lootf; *.r,o -4- Angka2 Pasal 6 Cukup ^jelas. Angka 3 Pasal 7 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Hurufa Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "pengelolaan daerah aliran sungai" adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam daerah aliran sungai dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f . * = ", J.Tnt t,',?ouf; * r' o -5- Huruf f Cukup ^jelas. Hurufg Yang dimaksud dengan "kawasan risiko perubahan iklim' adalah kawasan yang berisiko terkena dampak perubahan iklim. Angka 4 Pasal 8 Ayat (l) Huruf a Keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya mengandung pengertian bahwa kawasan budi daya yang dikembangkan bersifat saling menunjang satu sama lain sehingga dapat mewujudkan sinergi dalam meningkatkan ke sej ahteraan masyarakat. Agar keterpaduan dan keterkaitan antar kawasan budi daya dapat diwujudkan, diperlukan integrasi rencana pengembangan, sinkronisasi program, dan koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan di antara para pemangku kepentingan. Hurufb Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional" adalah kawasan yang menjadi tempat kegiatan perekonomian yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional dan/atau menjadi tempat kegiatan pengolahan sumber daya strategis seperti kawasan pertambangan dan pengolahan migas, radioaktif, atau logam mulia. Huruf b Yang dimaksud dengan ^okegiatan budi daya unggulan" adalah kegiatan yang menjadi penggerak utama perekonomian kawasan dan wilayah sekitarnya. Agar kegiatan budi daya unggulan dapat berkembang dengan baik, perlu dikembangkan prasarana dan sarana pendukung seperti jaringan jalan, air bersih, jaringan listrik, dan telekomunikasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut dan di kawasan sekitarnya. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Huruf f Pengembangan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan di ALKI, ZEE Indonesia, dan/atau Landas Kontinen didasarkan pada hak berdaulat atas sumber daya alam yang terkandung di dalamnya berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional. Hak untuk memanfaatkan sumber daya alam di ALKI, ZEE Indonesia, dan/atau Landas Kontinen merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan dari perencanaan hingga pemanfaatannya. Huruf g Cukup ^jelas. pengendalian Ayat (3) Yang dimaksud dengan "daya dukung lingkungan hidup" adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, serta keseimbangan antar keduanya yang ada di dalamnya. Yang dimaksud dengan "daya tampung lingkungan hidup" adalah kemampuan lingkungan untuk menampung/menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Huruf a . Hurufa Yang dimaksud dengan "kawasan rawan bencana" antara lain, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, kawasan rawan banjir, kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan gerakan tanah, kawasan yang terletak di ?,orra pata}: an aktif, kawasan rawan tsunami, kawasan rawan abrasi, dan kawasan rawan bahaya gas beracun. Potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibatbencana termasuk pula ancaman terhadap jiwa manusia. Kawasan rawan bencana menjadi salah satu data dan informasi yang penting dalam melakukan analisis pada proses penyusunan rencana tata ruang wilayah. Huruf b Yang dimaksud dengan ^opemanfaatan ruang secara vertikal" adalah pemanfaatan ruang secara tegak lurus baik di atas permukaan tanah maupun di dalam bumi dengan batas geometri tertentu yang disesuaikan dengan kondisi geografis daerah. Yang dimaksud dengan "pemanfaatan ruang secara kompak' adalah pemanfaatan ruang yang mengintegrasikan jaringan prasarana dan sarana dengan kawasan permukiman yang bertqiuan untuk mewujudkan efisiensi dalam pemanfaatan lahan dan meminimalisasi pergerakan manusia. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Pembatasan perkembangan kawasan terbangun di kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan pembangunan perkotaan-perdesaan. Huruf e Cukup jelas. *. r, J.Tnt t,'*totf; *. r' o -8- Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup ^jelas. Huruf h Cukup ^jelas. Hurufi Cukup ^jelas. Hurufj Cukup ^jelas. Hurufk Cukup ^jelas. Angka 5 Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi, antara lain pelabuhan utama/pengumpul, bandar udara pengumpul skala pelayanan primer/ sekunder/ tersier, stasiun skala besar, dan terminal tipe A. Terminal tipe A adalah sarana penunjang kelancaran perpindahan penumpang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda. Kriteria teknis penetapan terminal ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi darat. Pengembangan terminal penumpang tipe A sebagai simpul transportasi penghubung sistem perkotaan nasional dapat dilakukan pada pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, maupun pusat kegiatan strategis nasional. Terminal tipe A lintas negara tercantum dalam Lampiran IIIA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Huruf d =", Jintt,lootf; ..r,o -9- Hurufd Kawasan perkotaan yang berada di pesisir yang berfungsi atau berpotensi sebagai pelabuhan hub internasional, antara lain berupa kota bandar internasional. Ayat (2) Hurufa Cukup ^jelas. Hurufb Cukup ^jelas. Huruf c Simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten, antara lain pelabuhan regional, bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan tersier, stasiun skala menengah, dan terminal tipe B. Hurufd Kawasan perkotaan yang berada di pesisir yang berfungsi atau berpotensi mendukung ekonomi kelautan, antara lain berupa kota bandar nasional dan kota bandar regional. Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Simpul transportasi yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan, antara lain pelabuhan lokal, bandar udara bukan pusat penyebaran, stasiun skala kecil, dan terminal tipe C. Huruf c Kawasan perkotaan yang berada di pesisir berfungsi atau berpotensi mendukung ekonomi kelautan lokal, antara lain berupa kota pantai sentra pertumbuhan ekonomi lokal dan teknopark kelautan. Angka 6 Pasal 15 Cukup ^jelas. Angl<a7 * = ", J.Tnt t,lootf; ^ ^. ^r, ^o 10 ArrdaT Pasal 18 Ayat (l) Jaringan ^jalan strategis nasional merupakan jaringan jalan yang dikembangkan untuk mendukung kebljakan pengembangan wilayah yang memiliki nilai strategis nasional. Spesifikasi teknis jalan strategis nasional disesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang ada, sehingga tidak harus sama dengan spesilikasi teknis jaringan jalan arteri primer atau kolektor primer. Yang dimaksud dengan "jalan tol" adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Jaringan kolektor primer dikembangkan pula untuk menghubungkan antaribukota provinsi. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "jalan bebas hambatan" adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Angka 8 Pasal 21 Cukup ^jelas. Angka 9 Pasal 26 Ayat (1) Pelabuhan umum diselenggarakan guna mewujudkan sistem transportasi laut yang handal dan berkemampuan tinggi dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Ayat (21 .: '_ , : ,,, Ayat (2) Pengembangan pelabuhan utama dimaksudkan antara lain untuk membuka akses berbagai produk sektor unggulan ke pasar internasional sehingga pengembangannya perlu mempertimbangkan keberadaan kawasan Asia Pasilik yang merupakan tujuan ekspor terbesar di dunia. Hurufa Yang dimaksud dengan 'jumlah besar' adalah pelabuhan yang melayani angkutan peti kemas dengan ^jumlah:

  1. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu) TEU's/tahun untuk pelabuhan hub utama dan 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 3.500.000 (tiga juta lima ratus ribu) TEU's/tahun untuk pelabuhan utama internasional yang berperan sebagai pelabuhan alih muat angkutan peti kemas; dan

  2. 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu) TEU's/tahun untuk pelabuhan utama internasional. Hurufb Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 10 *. ", J.Tnt t,',?otf; * = ^r, ^o -t2- Angka 10 Pasal 28 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "Alur [,aut Kepulauan Indonesia" (ALKI) adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat dan/atau pesawat udara asing di atas alur tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang melalui atau di atas perairan kepulauan dan laut territorial yang berdampingan Antara satu bagian laut lepas atalu Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 6.p bagran laut lepas atau 7.ona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Angka 11 Pasal 30 Ayat (1) Bandar udara umum diselenggarakan guna mewujudkan sistem transportasi udara yang andal dan berkemampuan tinggr dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Ayat (2) *. r, J.Tnt t,',?otf; *. r, o -13- Ayat (2) Cukup ^jelas. Angka 12 Pasal 33 Cukup ^jelas. Angka 13 Pasal 34 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "kriteria teknis" adalah persyaratan teknis untuk pembangunan fisik jaringan jalur kereta api sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan transportasi perkeretaapian. Angka 14 Pasal 35 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Hurufa Untuk mewujudkan pelayanan yang cepat dan efisien, pelabuhan penyeberangan dikembangkan di lokasi yang memungkinkan waktu pelayaran antar 2 (dua) pelabuhan penyeberangan yang singkat. Untuk. *. ", J.Tnt t,',?Sf; ,.,. r, o -14- Untuk menjamin kelangsungan pelayanan angkutan penyeberangan, lokasi yang ditetapkan sebagai pelabuhan penyeberangan harus memungkinkan penyelenggara angkutan penyeberangan untuk mendapatkan keuntungan yang wajar. Oleh sebab itu, faktor jarak dan besaran permintaan angkutan penyeberangan harus dipertimbangkan secara bersamaan. Huruf b Cukup ^jelas. Ayat (2al Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan 'kriteria teknis" adalah persyaratan teknis penyelenggaraan pelabuhan sungai, pelabuhan danau, dan pelabuhan penyeberangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang keselamatan pelayaran. Angka 15 Pasal 36 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (a) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c *. ", J.Tnt t,'root5 * . r, o -15- Huruf c Cukup ^jelas. Hurufd Dihapus. Huruf e Yang dimaksud dengan "pelayaran ra$at" adalah kegiatan angkutan laut khusus untuk barang atau hewan antarpelabuhan di Indonesia dengan menggunakan kapal layar dengan kapasitas paling besar 100 m3 (seratus meter kubik) atau kapal layar motor dengan kapasitas paling besar 850 m3 (delapan ratus lima puluh meter kubik). Ayat (5) Yang dimaksud dengan ^okriteria teknis" adalah persyaratan teknis penyelenggaraan pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, pelabuhan pengumpan regional, dan pelabuhan pengumpan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan pelayaran. Angka 16 Pasal 37 Ayat (l) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Yang dimaksud dengan "kriteria teknis" adalah persyaratan teknis penyelenggaraan bandar udara pengumpul skala pelayanan primer, bandar udara pengumpul skala pelayanan sekunder, dan bandar udara pengumpul skala pelayanan tersier sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan penerbangan. Angka 17 Pasal 38 Cukup ^jelas. * u ", J.Tnt ^=,loot5 *. r, o 16 Angka 18 Pasal 39 Cukup ^jelas. Angka 19 Pasal 40 Pembangunan ^jaringan infrastruktur ketenagalistrikan yang berupa pembangkitan tenaga listrik dilakukan dengan memanfaatkan sumber energi tak terbarukan, sumber energi terbarukan, dan sumber energi baru. Pembangkitan tenaga listrik antara lain berupa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU), Pembangkit Listrik Energi Laut, Pembangkit Listrik Hidrogen, dan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Lainnya dan Energi Terbarukan Lainnya. Angka 2O Pasal 40A Cukup ^jelas. Angka 21 Pasal 4l Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ^ugardu induk yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari transmisi listrik" adalah suatu sistem tenaga yang dipusatkan pada suatu tempat berisi saluran transmisi dan distribusi perlengkapan hubung bagi transformator, peralatan pengaman,dan peralatan kontrol. Angka22 Pasal 42 Cukup ^jelas. Angka 23 #",D *.'rJrTo",l"Sf; * =r,o -t7- Angka 23 Pasal 43 Cukup ^jelas. Angka24 Pasal 51 Kawasan lindung dapat diterapkan untuk mengatasi dan mengantisipasi ancaman kerusakan lingkungan saat ini dan pada masa yang akan datang akibat kurangnya kemampuan perlindungan wilayah yang ada. Penetapan suatu kawasan berfungsi lindung wajib memperhatikan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) yang ada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan. Pengaturan mengenai kawasan lindung pada ruang laut sama halnya yang dimaksud dengan "kawasan konservasi" yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan bidang kelautan dan perikanan. Angka 25 Pasal 52 Ayat (1) Pengaturan kawasan hutan lindung memperhatikan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Kawasan konservasi dilaksanakan dengan memperhatikan pemberdayaan masyarakat pada kawasan hutan konservasi melalui pengembangan desa konservasi, fasilitas kemitraan antara pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat, pemberian izin jasa wisata alam, serta akses untuk memungut hasil hutan bukan kayu pada blok autozor: a tradisional atau pemanfaatan tradisional. Pengaturan kawasan konservasi memperhatikan pembentukan dan pengembangan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi dan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional. *=', JrT[t,'S5f; =r,o Kawasan konservasi memperhatikan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan konservasi untuk kepentingan di luar sektor kehutanan yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kehutanan. Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Hurufd Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil dapat berupa antara lain terumbu karang dan kawasan koridor bagi ^jenis satwa atau biota laut yang dilindungi. Kawasan terumbu karang ditetapkan dengan kriteria berupa kawasan yang terbentuk dari koloni masif dari hewan kecil yang secara bertahap membentuk terumbu karang, terdapat di sepanjang pantai dengan kedalaman paling dalam 40 (empat puluh) meter, dan dipisahkan oleh laguna dengan kedalaman antara 4O (empat puluh) sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) meter. Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi ditetapkan dengan kriteria berupa kawasan memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses penunjang kehidupan, dan mendukung alur migrasi biota laut. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Arrda26 Pasal 53 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) . *. ", J5,l t,'*to=f; ,., r., o -19- Ayat (2) Dihapus. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "kawasan imbuhan air tanah" adalah wilayah resapan air yang mampu menambah air tanah secara alamiah pada cekungan air tanah. Huruf b Cukup ^jelas. Pngka2T Pasal 55 Cukup ^jelas. Angka 28 Pasal 57 Cukup ^jelas. Angla29 Pasal 58 Dihapus. Angka 3O Pasal 59 Ayat (1) Hurufa Cukup ^jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "komunitas alam'adalah kumpulan dari unsur alami yang meliputi tumbuhan, binatang, dan bentang alam. Huruf c Cukup ^jelas. Hurufd Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) *. *, J.Tnt t,',?5| *.., o -20- Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Angka 31 Pasal 61 Dihapus. Angka 32 Pasal 63 Kawasan budi daya menggambarkan kegiatan dominan yang berkembang di dalam kawasan tersebut. Dengan demikian, masih dimungkinkan keberadaan kegiatan budi daya lainnya di dalam kawasan tersebut. Sebagai contoh, pada kawasan peruntukan industri dapat dikembangkan perumahan untuk para pekerja di kawasan peruntukan industri. Peruntukan kawasan budi daya dimaksudkan untuk memudahkan pengelolaan kegiatan termasuk dalam penyediaan prasarana dan sarana penunjang, penanganan dampak lingkungan, penerapan mekanisme insentif, dan sebagainya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penyediaan prasarana dan sarana penunjang kegiatan akan lebih elisien apabila kegiatan yang ditunjangnya memiliki besaran yang memungkinkan tercapainya skala ekonomi dalam penyediaan prasarana dan sarana. Peruntukan kawasan budi daya disesuaikan dengan kebiiakan pembangunan yang ada. Pengaturan mengenai kawasan budi daya pada ruang laut sama halnya dengan yang dimaksud dengan "kawasan pemanfaatan umum" yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan bidang kelautan dan perikanan. Hurufa Kawasan peruntukan hutan produksi dimaksudkan untuk menyediakan komoditas hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan untuk keperluan industri, sekaligus untuk melindungi kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutanlindung dan hutan konservasi dari kerusakan akibat pengambilan hasil hutan yang tidak terkendali. Pengaturan kawasan hutan produksi memperhatikan pembentukan dan pengembangan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional. Huruf b Kawasan peruntukan hutan ralryat dimalsudkan untuk memenuhi kebutuhan akan hasil hutan. Kawasan hutan rakyat berada pada lahan masyarakat dan dikelola oleh masyarakat. Huruf c Kawasan peruntukan pertanian selain dimaksudkan untuk mendukung kedaulatan pangan nasional ^juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan penyediaan lapangan kerja. Huruf d Kawasan peruntukan perikanan dapat berada di ruang darat, ruang laut, dan di luar kawasan lindung. Huruf e Kawasan pemntukan pertambangan dimaksudkan untuk mengarahkan agar kegiatan pertambangan dapat berlangsung secara efisien dan produktif tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Huruf ee Cukup ^jelas. Huruf f Kawasan peruntukan industri antara lain dimaksudkan untuk mengarahkan agar kegiatan industri dapat berlangsung secara eflsien dan produktif, mendorong pemanfaatan sumber daya setempat, dan pengendalian dampak lingkungan. Hurufg Yang dimaksud dengan "kawasan peruntukan pariwisatao adalah kawasan yang didominasi oleh fungsi kepariwisataan dapat mencakup sebagian areal dalam kawasan lindung atau kawasan budi daya Iainnya di mana terdapat konsentrasi daya tarik dan fasilitas penunjang pariwisata. Kebutuhan. *. r, J5ot t,',?otf; *. r, o -22- Kebutuhan pariwisata berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengelolaan objek dan daya tarik wisata yang mencakup:

  3. obyek dan daya tarik wisata ciptaan T\rhan Yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna; dan

  1. obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi, dan tempat hiburan. Hurufh Kawasan peruntukan permukiman harus dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan serta tempat ke{a yang memberikan pelayanan dan kesempatan kerja terbatas untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan sehingga fungsi permukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna. Kawasan peruntukan permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Huruf i Kawasan peruntukan lainnya mencakup kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan. Angka 33 Pasal 64 Penggunaan kawasan hutan produksi untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dapat dilakukan dengan izin pinjam pakai kawasan hutan selama tidak mengubah fungsi kawasan hutan. Angka 34 Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penerapan kriteria kawasan peruntukan pertanian secara tepat diharapkan akan mendorong terwujudnya kawasan pertanian yang dapat memberikan manfaat:
    1. memelihara dan meningkatkan kedaulatan pangan nasional;

    2. meningkatkan daya dukung lahan melalui pembukaan lahan baru untuk pertanian tanaman pangan (padi sawah, padigogo, palawija, kacang- kacangan, dan umbi-umbian), perkebunan, peternakan, hortikultura, dan pendayagunaan investasi;

    3. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya;

    4. meningkatkan upaya pelestarian dan konservasi sumber dayaalam untuk pertanian serta fungsi lindung;

    5. menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan serta kesej ahteraan masyarakat;

    6. meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;

    7. mendorong perkembangan industri hulu dan hilir melalui efek kaitan;

    8. mengendalikan adanya alih fungsi lahan dari pertanian kenon pertanian agar keadaan lahan tetap abadi;

    9. melestarikan nilai sosial budaya dan daya tarik kawasan perdesaan; dan/atau

    10. mendorong pengembangan sumber energi terbarukan. Hurufa Cukup ^jelas. Huruf b Lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan bagian integral dari Peraturan Pemerintah ini yang ditetapkan dalam Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B). *. r, J.Tnt t,lootf; * .., o -24- l<P2B terdiri atas lahan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan cadangan pertanian pangEm berkelanjutan. Lahan pertanian pangan berkelanjutan berupa lahan irigasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak), dan/atau lahan tidak beririgasi. KP2B yang ditetapkan pada tingkat nasional menjadi dasar dalam penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Huruf c Upaya perwujudan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional dilakukan dengan pengendalian luasan pertanian tanaman pangan lahan basah dan/atau lahan kering paling sedikit 77.4LO (tujuh puluh tqjuh ribu empat ratus sepuluh) kilo meter persegi yang tersebar di seluruh provinsi/kabupaten/kota. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Angka 35 Pasal 68 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Penerapan kriteria kawasan peruntukan pertambangan secara tepat diharapkan akan mendorong terwujudnya kawasan pertambangan yang diharapkan dapat memberikan manfaat berikut:

    11. meningkatkan produksi pertambangan dan mendayagunakan investasi;

    12. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya;

    13. tidak mengganggu fungsi lindung;

    14. memperhatikan {iD {iD *. ", J.Tnt t,',?o=f; *.., o -25- d. memperhatikan upaya pengelolaan kemampuan sumber daya alam;

    15. meningkatkan pendapatan masyarakat;

    16. meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;

    17. menciptakan kesempatan kerja;

    18. meningkatkan ekspor; dan/atau

    19. meningkatlan kesejahteraan masyarakat. Ayat (3) Cukup ^jelas. Angka 36 Pasal 68A Cukup ^jelas. Angka 37 Pasal 78 Cukup ^jelas. Angka 38 Pasal 82 Cukup ^jelas. Angka 39 Pasal 95 Cukup ^jelas. Angka 4O Pasal 99 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c . ^.,,\ *. ", J.To= t,'oo=f; * . r, o -26- Huruf c Yang dimaksud dengan "z,ero delta Q policgf adalah keharusan agar tiap bangunan tidak boleh mengakibatkan bertambahnya debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai. Angka 41 Pasal 100 Cukup ^jelas. Angl<a42 Pasal 101 Cukup ^jelas. Angka 43 Pasal 102 Dihapus. Angka 44 Pasal 103 Cukup ^jelas. Angka 45 Pasal 105 Dihapus. Angka 46 Pasal 1O7 Hurufa Cukup ^jelas. Hurufb Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hutan produksi dilalsanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Huruf c Cukup ^jelas. Andka47. {i} $-,D * = ^r, ^J.T[ t,',?o=]. r, o -27- Angka4T Pasal 107A Cukup ^jelas. Angka 48 Pasal 108 Cukup ^jelas. Angka 49 Pasal l lO Cukup ^jelas. Angka 5O Pasa1 11OA Cukup ^jelas. Angka 51 Pasal 114 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Dihapus. Angka 52 Pasal 1l4A Ayat (1) Dampak besar dan penting dalam pemanfaatan ruang dapat diukur, ar^tara lain dengan kriteria:

    20. adanya perubahan bentang alam;

    21. besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak pemanfaatan ruang;

    22. luas wilayah penyebaran dampak;

    23. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

    24. banyaknya komponen lingkungan hidup dan lingkungan buatan yang akan terkena dampak;

    25. sifat kumulatif dampak; dan/atau

    g. sifat . E &_ Ayat (2) Cukup ^jelas. Angka 53 Cukup ^jelas. Angka 54 Cukup ^jelas. Angka 55 Cukup ^jelas. Pasal II Cukup ^jelas.

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):