Izin Usaha Industri

Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015

Kerangka<< >>

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 108 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Izin Usaha Industri; Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI. BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


  3. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri.

  4. Jasa Industri adalah usaha jasa yang terkait dengan kegiatan Industri.

  5. Bahan Baku adalah bahan mentah, barang setengah jadi, atau barang jadi yang dapat diolah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.

  6. Izin Usaha Industri yang selanjutnya disingkat dengan IUI adalah izin yang diberikan kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan usaha Industri.

  7. Perusahaan Industri adalah setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri yang berkedudukan di Indonesia.

  8. Perluasan Industri yang selanjutnya disebut dengan Perluasan adalah penambahan kapasitas produksi untuk Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 5 (lima) digit yang sama sebagaimana tercantum dalam IUI.

  9. Izin Perluasan adalah izin yang diberikan kepada Perusahaan Industri untuk melakukan Perluasan.

  10. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri.

  11. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  12. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang selanjutnya disingkat dengan KBLI adalah klasifikasi kegiatan ekonomi di Indonesia yang ditetapkan oleh kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik.

  13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. BAB II KLASIFIKASI IZIN USAHA INDUSTRI

    Pasal 2
    (1)

    Setiap kegiatan usaha Industri wajib memiliki IUI.

    (2)

    Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan mengolah Bahan Baku dan/atau memanfaatkan sumber daya Industri untuk:

    1. menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi; dan/atau

    2. menyediakan Jasa Industri.

    (3)

    Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan sebagai berikut:

    1. Industri kecil;

    2. Industri menengah; dan

    3. Industri besar.

    (4)

    Industri kecil, Industri menengah, dan Industri besar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi.


    Pasal 3
    (1)

    IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi:

    1. IUI kecil untuk Industri kecil;

    2. IUI menengah untuk Industri menengah; dan

    3. IUI besar untuk Industri besar.

    (2)

    IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

    1. identitas perusahaan;

    2. nomor pokok wajib pajak;

    3. jumlah tenaga kerja;

    4. nilai investasi;

    5. luas lahan lokasi Industri;

    6. kelompok Industri sesuai dengan KBLI; dan

    7. kapasitas produksi terpasang untuk Industri yang menghasilkan barang atau kapasitas jasa untuk Jasa Industri.

    (3)

    IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.


    Pasal 4
    (1)

    IUI diberikan kepada perusahaan yang akan menjalankan kegiatan usaha Industri.

    (2)

    Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berlokasi di Kawasan Industri.

    (3)

    IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada perusahaan yang akan menjalankan kegiatan usaha Industri dan berlokasi di luar Kawasan Industri, dengan ketentuan:

    1. berlokasi di daerah Kabupaten/Kota yang:


  14. belum memiliki Kawasan Industri; atau

  1. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah habis;
    1. termasuk klasifikasi Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau

    2. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.

      (4)

      Perusahaan yang akan menjalankan kegiatan usaha Industri dan berlokasi di luar Kawasan Industri dengan ketentuan:

    3. berlokasi di daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; dan/atau

    4. termasuk klasifikasi Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, wajib berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

      (5)

      Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c ditetapkan oleh Menteri. Pasal 5

      (1)

      Perusahaan Industri yang melakukan penambahan atau pengurangan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi yang mengakibatkan perubahan klasifikasi kegiatan usaha Industri harus mengganti IUI yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

      (2)

      Perusahaan Industri yang melakukan perubahan klasifikasi usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

      (3)

      Perusahaan Industri yang tidak melakukan penggantian IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pelanggaran terhadap ketentuan kewajiban memiliki IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

      (4)

      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang melakukan perubahan klasifikasi kegiatan usaha Industri tanpa menambah lahan lokasi industri atau pindah lokasi industri. Pasal 6

      (1)

      Dalam 1 (satu) IUI hanya berlaku bagi 1 (satu) Perusahaan Industri yang:

    5. memiliki usaha Industri dengan 1 (satu) kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit dan berada dalam 1 (satu) lokasi Industri;

    6. memiliki beberapa usaha Industri yang merupakan 1 (satu) unit produksi terpadu dengan KBLI 5 (lima) digit yang berbeda dalam 1 (satu) Kawasan Industri; atau

    7. memiliki beberapa usaha Industri dengan 1 (satu) kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit yang sama dan berada di beberapa lokasi dalam 1 (satu) Kawasan Industri.

      (2)

      Dalam hal Perusahaan Industri memiliki usaha Industri di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Industri wajib memiliki IUI baru. Pasal 7

      (1)

      Perusahaan Industri wajib:

    8. melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai dengan IUI yang dimiliki; dan

    9. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan.

      (2)

      Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 8

      (1)

      IUI berlaku selama Perusahaan Industri yang bersangkutan melakukan kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sesuai dengan IUI yang dimiliki.

      (2)

      Perusahaan Industri yang tidak melakukan kegiatan usaha Industri selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut diberikan peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu masing-masing 1 (satu) tahun.

      (3)

      Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diberikan peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali dan tidak melakukan kegiatan usaha Industri, IUI yang dimiliki Perusahaan Industri dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

      Pasal 9

      IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku juga sebagai izin tempat penyimpanan mesin/peralatan, Bahan Baku, dan/atau hasil produksi dengan ketentuan:


    10. tempat penyimpanan dimaksud terkait dengan kegiatan dan/atau kepentingan produksi Perusahaan Industri bersangkutan yang tidak terpisahkan dari kegiatan Industrinya dan berada dalam 1 (satu) lokasi usaha Industri; dan

    11. tempat penyimpanan dimaksud tidak disewakan atau dikomersialkan. BAB III KEWENANGAN PEMBERIAN IUI

      Pasal 10
      (1)

      Menteri berwenang memberikan IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk:


    12. Industri strategis;

    13. Industri teknologi tinggi;

    14. Industri minuman beralkohol;

    15. Industri yang terkait langsung dengan pertahanan dan keamanan;

    16. Industri yang berdampak penting pada lingkungan; dan f. Industri yang merupakan penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah negara lain.

      (2)

      Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

      (3)

      Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf d, dan huruf e ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

      (4)

      Menteri dapat mendelegasikan kewenangan pemberian IUI kepada kepala instansi Pemerintah Pusat yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu untuk Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 11

      (1)

      Gubernur berwenang memberikan IUI besar untuk Industri selain yang menjadi kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

      (2)

      Gubernur memberikan pendelegasian wewenang pemberian IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kepala instansi pemerintah provinsi yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu. Pasal 12

      (1)

      Bupati/walikota berwenang memberikan IUI menengah dan IUI kecil yang lokasi Industrinya berada pada kabupaten/kota untuk Industri selain yang menjadi kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

      (2)

      Bupati/walikota memberikan pendelegasian wewenang pemberian IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kepala instansi pemerintah kabupaten/kota yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu.

      Pasal 13

      Kepala instansi Pemerintah Pusat yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), kepala instansi pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), dan kepala instansi pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dalam memberikan IUI kepada Perusahaan Industri wajib mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian IUI yang ditetapkan oleh Menteri.


      Pasal 14

      Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan pelaksanaan pemberian IUI oleh kepala instansi pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.


      Pasal 15

      Dalam rangka pendalaman struktur dan peningkatan daya saing Industri, kepala instansi pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu dalam menerbitkan IUI mengacu pada kebijakan penanaman modal bidang Industri yang ditetapkan oleh Menteri. BAB IV TATA CARA PEMBERIAN IUI Bagian Kesatu IUI Kecil


      Pasal 16

      (1)

      IUI kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a diberikan kepada Industri kecil yang memenuhi ketentuan:

    17. seluruh modal usahanya harus dimiliki oleh Warga Negara Indonesia; dan

    18. bidang usaha Industri yang dinyatakan terbuka dan terbuka dengan persyaratan untuk penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan penanaman modal di bidang Industri yang ditetapkan oleh Menteri.

      (2)

      Permohonan IUI kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada:

    19. Menteri; atau

    20. bupati/walikota melalui pelayanan terpadu satu pintu.

      (3)

      Permohonan IUI kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melampirkan paling sedikit:

    21. fotokopi identitas pemilik dan pelaku usaha/perusahaan;

    22. fotokopi nomor pokok wajib pajak; dan

    23. fotokopi dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (4)

      Permohonan IUI kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan dari perizinan yang menyangkut gangguan.

      Pasal 17

      Menteri dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima:


    24. menerbitkan IUI kecil dalam hal persyaratan dipenuhi dengan lengkap dan benar; atau

    25. menolak permohonan dalam hal tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Bagian Kedua IUI Menengah dan IUI Besar

      Pasal 18
      (1)

      IUI menengah dan IUI besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan kepada Industri menengah dan Industri besar yang memenuhi ketentuan bidang usaha Industri yang dinyatakan terbuka dan terbuka dengan persyaratan untuk penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan penanaman modal di bidang Industri yang ditetapkan oleh Menteri.

      (2)

      Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk:


    26. Industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan budaya bangsa; dan

    27. Industri menengah tertentu yang dicadangkan untuk dimiliki oleh warga negara Indonesia, seluruh modal usahanya harus dimiliki oleh Warga Negara Indonesia.

      (3)

      Permohonan IUI menengah dan IUI besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada:

    28. Menteri;

    29. gubernur melalui pelayanan terpadu satu pintu; atau

    30. bupati/walikota melalui pelayanan terpadu satu pintu.

      (4)

      Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Presiden.

      Pasal 19

      Sebelum mengajukan permohonan IUI menengah dan IUI besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), perusahaan yang akan melakukan kegiatan usaha Industri harus:


    31. telah selesai melaksanakan persiapan dan kegiatan pembangunan, pengadaan, pemasangan/instalasi peralatan dan kesiapan lain;

    32. siap melakukan kegiatan usaha Industri; dan

    33. memenuhi ketentuan lokasi Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

      Pasal 20
      (1)

      Permohonan IUI menengah dan IUI besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) melampirkan paling sedikit:


    34. fotokopi identitas diri pemohon;

    35. fotokopi nomor pokok wajib pajak perusahaan;

    36. fotokopi akta pendirian perusahaan dan/atau perubahannya yang telah disahkan/ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;

    37. fotokopi izin lingkungan atau fotokopi izin lingkungan Kawasan Industri; dan

    38. fotokopi dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      (2)

      Permohonan IUI menengah dan IUI besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari perizinan yang menyangkut gangguan. Pasal 21

      (1)

      Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya sejak permohonan IUI diterima dengan lengkap dan benar dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja melakukan pemeriksaan lokasi Industri yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.

      (2)

      Berdasarkan hasil berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

    39. Menteri;

    40. gubernur melalui pelayanan terpadu satu pintu; atau

    41. bupati/walikota melalui pelayanan terpadu satu pintu, menerbitkan atau menolak permohonan IUI paling lama 5 (lima) hari kerja sejak berita acara pemeriksaan diterima.

      (3)

      Permohonan ditolak apabila berdasarkan hasil pemeriksaan lokasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan/atau terdapat ketidaksesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.

      Pasal 22

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 18, dan Pasal 19 diatur dalam Peraturan Menteri. BAB V IZIN PERLUASAN


      Pasal 23

      (1)

      Setiap Perusahaan Industri yang memiliki IUI dapat melakukan Perluasan.

      (2)

      Perusahaan Industri yang melakukan perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib memiliki Izin Perluasan.

      (3)

      Perusahaan Industri yang Perluasannya berpengaruh terhadap lingkungan hidup wajib melakukan perubahan terhadap dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 24

      (1)

      Dalam hal diperlukan, Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan permohonan Izin Perluasan.

      (2)

      Dalam hal Perluasan menggunakan sumber daya alam yang diwajibkan memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, Perusahaan Industri wajib memiliki Izin Perluasan.

      (3)

      Industri yang wajib memiliki Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

      Pasal 25

      Izin Perluasan diberikan oleh:


    42. Menteri;

    43. gubernur melalui pelayanan terpadu satu pintu; atau

    44. bupati/walikota melalui pelayanan terpadu satu pintu sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

      Pasal 26

      Izin Perluasan diberikan kepada Perusahaan Industri yang telah selesai melaksanakan persiapan dan kegiatan pembangunan, pengadaan, pemasangan/instalasi peralatan, dan kesiapan lain dalam rangka Perluasan.


      Pasal 27
      (1)

      Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) mengajukan permohonan Izin Perluasan kepada:


    45. Menteri;

    46. gubernur melalui pelayanan terpadu satu pintu; atau

    47. bupati/walikota melalui pelayanan terpadu satu pintu.

      (2)

      Permohonan Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan paling sedikit:

    48. fotokopi IUI;

    49. dokumen rencana Perluasan;

    50. data Industri 2 (dua) tahun terakhir yang disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional;

    51. perubahan izin lingkungan; dan

    52. dokumen lain yang dipersyaratkan peraturan perundang-undangan.

      Pasal 28
      (1)

      Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya sejak permohonan Izin Perluasan diterima dengan lengkap dan benar dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja melakukan pemeriksaan lokasi Industri yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.

      (2)

      Berdasarkan hasil berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):


    53. Menteri;

    54. gubernur melalui pelayanan terpadu satu pintu; atau

    55. bupati/walikota melalui pelayanan terpadu satu pintu, menerbitkan atau menolak permohonan Izin Perluasan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak berita acara pemeriksaan diterima.

      (3)

      Permohonan ditolak apabila berdasarkan hasil pemeriksaan lokasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan/atau terdapat ketidaksesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

      Pasal 29

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Izin Perluasan diatur dalam Peraturan Menteri. BAB VI TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF


      Pasal 30

      (1)

      Perusahaan Industri yang tidak memiliki IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:

    56. peringatan tertulis;

    57. denda administratif; dan

    58. penutupan sementara.

      (2)

      Perusahaan Industri yang tidak berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dan/atau Perusahaan Industri yang dikecualikan yang tidak berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa:

    59. peringatan tertulis;

    60. denda administratif;

    61. penutupan sementara;

    62. pembekuan IUI; dan/atau

    63. pencabutan IUI.

      (3)

      Perusahaan Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau Perusahaan Industri yang tidak memiliki Izin Perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:

    64. peringatan tertulis;

    65. denda administratif;

    66. penutupan sementara;

    67. pembekuan IUI; dan/atau

    68. pencabutan IUI.

      (4)

      Pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat langsung dikenakan sepanjang diatur dalam undang- undang.

      Pasal 31

      Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.


      Pasal 32

      (1)

      Perusahaan Industri yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan perbaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dikenai sanksi administratif berupa denda administratif.

      (2)

      Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 1% (satu persen) dari nilai investasi.

      (3)

      Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima. Pasal 33

      (1)

      Perusahaan Industri yang tidak memenuhi kewajibannya dan tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.

      (2)

      Dalam hal Perusahaan Industri telah membayar denda administratif tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal batas waktu pembayaran denda administratif tidak memenuhi kewajibannya dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.

      (3)

      Sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bagi:

    69. Perusahaan Industri yang tidak memiliki IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenakan sampai dengan perusahaan yang bersangkutan memperoleh IUI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    70. Perusahaan Industri yang tidak berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Perusahaan Industri yang dikecualikan yang tidak berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Perusahaan Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), atau Perusahaan Industri yang tidak memiliki Izin Perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat penutupan sementara diterima.

      Pasal 34
      (1)

      Dalam hal sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) huruf b Perusahaan Industri tidak memenuhi kewajibannya dan/atau tidak membayar denda administratif dikenai sanksi administratif berupa pembekuan IUI.

      (2)

      Pembekuan IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan surat penetapan pembekuan.


      Pasal 35

      Perusahaan Industri yang telah memenuhi kewajibannya dan membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dapat mengajukan permohonan pemulihan status pembekuan IUI.


      Pasal 36

      Dalam hal Perusahaan Industri sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa pembekuan IUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) tidak memenuhi kewajibannya dan/atau tidak membayar denda administratif dikenai sanksi administratif berupa pencabutan IUI.


      Pasal 37
      (1)

      Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 kepada Perusahaan Industri.

      (2)

      Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan yang berasal dari:


    71. pengaduan; dan/atau

    72. tindak lanjut hasil pengawasan.

      (3)

      Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam memberikan sanksi administratif wajib mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian sanksi administratif yang ditetapkan oleh Menteri.

      Pasal 38

      Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan laporan pembekuan, pemulihan status pembekuan, dan pencabutan IUI kepada Menteri.


      Pasal 39

      Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) merupakan penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN


      Pasal 40

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    73. Perusahaan yang telah mengajukan permohonan perizinan berupa Tanda Daftar Industri, IUI, dan Izin Perluasan dan masih dalam proses permohonan perizinan harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini;

    74. Perusahaan Industri yang telah memiliki izin yang menyangkut gangguan sebagai persyaratan permohonan IUI yang diterbitkan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, izin tersebut tidak perlu dilakukan pembaharuan atau perpanjangan. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP

      Pasal 41

      Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


    75. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3596) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    76. Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3596) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini; dan

    77. Perusahaan Industri yang telah memiliki izin berupa Tanda Daftar Industri, IUI, atau izin sejenis untuk kegiatan Industri yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dan peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang Perusahaan Industri yang bersangkutan masih beroperasi sesuai dengan izin yang diberikan.

      Pasal 42

      Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 329 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI I. UMUM Pembangunan Industri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dilaksanakan dengan berdasarkan asas kepentingan nasional, demokrasi ekonomi, kepastian berusaha, pemerataan persebaran, persaingan usaha yang sehat, dan keterkaitan Industri. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban memberikan pembinaan dan pengembangan terhadap pertumbuhan Industri serta menciptakan iklim usaha yang sehat bagi perkembangan dunia usaha. Di sisi lain, dunia usaha perlu memberikan respon positif dengan mengembangkan Industri yang inovatif, efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga memiliki daya saing di tingkat global. Melalui pembinaan, pengembangan, dan pengaturan Industri yang dilakukan, Pemerintah mengupayakan untuk menciptakan iklim usaha Industri secara sehat dan mantap. Dengan iklim usaha Industri tersebut, diharapkan Industri dapat memberikan umpan balik dalam menciptakan lapangan kerja yang luas, menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan dan kekuatan sendiri dalam membangun Industri. Pencapaian pertumbuhan Industri membutuhkan kepastian berusaha melalui pengaturan perizinan usaha Industri. Menyadari peran tersebut, perizinan harus mampu memberikan motivasi yang dapat mendorong dan menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di sektor Industri. Perizinan merupakan salah satu kebijakan Pemerintah yang dapat menjadi alat untuk menggerakkan perkembangan dunia usaha ke bidang yang mendukung pembangunan Industri. Oleh karena itu, sistem perizinan dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemerataan persebaran Industri, pendayagunaan potensi sumber daya Industri secara efisien dan optimal, dan pendataan Industri. Untuk mencapai hal tersebut, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian mengamanatkan untuk melakukan pengaturan lebih lanjut tentang IUI. Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi klasifikasi IUI, kewenangan pemberian IUI, tata cara pemberian IUI, Izin Perluasan, serta tata cara pengenaan sanksi administratif. II. PASAL DEMI PASAL


      Pasal 1

      Cukup jelas.


      Pasal 2

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Bahan Baku dan/atau memanfaatkan sumber daya Industri” termasuk kegiatan mengolah Bahan Baku atau sumber daya Industri milik orang lain untuk menghasilkan barang berdasarkan pesanan orang tersebut (maklun). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.


      Pasal 3

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “identitas perusahaan” antara lain nama perusahaan, alamat perusahaan, lokasi Industri, nama pemilik perusahaan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “kapasitas produksi terpasang” adalah kemampuan berproduksi maksimal per tahun. Ayat (3) Cukup jelas.


      Pasal 4

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus” adalah Industri yang menggunakan Bahan Baku yang karena karakteristik Bahan Bakunya memerlukan lokasi yang terintegrasi dengan sumber Bahan Baku. Yang dimaksud dengan “Industri yang proses produksinya memerlukan lokasi khusus” adalah Industri yang memerlukan lokasi tertentu dengan pertimbangan antara lain faktor/kondisi produksi, keamanan, geografis, dan sosial budaya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.


      Pasal 5

      Cukup jelas.


      Pasal 6

      Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “1 (satu) lokasi Industri” adalah lokasi pelaksanaan kegiatan Industri (pabrik) yang terletak dalam 1 (satu) bentangan lahan yang tidak dipisahkan oleh suatu pemisah, misalnya jalan atau sungai. Huruf b Yang dimaksud dengan “satu unit produksi terpadu” adalah rangkaian proses produksi yang terdiri dari beberapa simpul produksi yang setiap simpulnya menghasilkan satu produk dan/atau jasa yang digunakan untuk menghasilkan satu produk akhir. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.


      Pasal 7

      Cukup jelas.


      Pasal 8

      Cukup jelas.


      Pasal 9

      Yang dimaksud dengan “izin tempat penyimpanan” adalah izin gudang atau tanda daftar gudang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf a Yang dimaksud dengan “lokasi” adalah tempat Perusahaan Industri melakukan kegiatan usaha Industri. Huruf b Cukup jelas.


      Pasal 10

      Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Industri strategis” adalah Industri yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “Industri yang terkait langsung dengan pertahanan dan keamanan” antara lain Industri kertas berharga dan Industri senjata, amunisi, dan bahan peledak. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “Industri yang merupakan penanaman modal asing” adalah termasuk penanaman modal untuk melakukan usaha Industri di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.


      Pasal 11

      Cukup jelas.


      Pasal 12

      Cukup jelas.


      Pasal 13

      Cukup jelas.


      Pasal 14

      Cukup jelas.


      Pasal 15

      Cukup jelas.


      Pasal 16

      Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan ”dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan” misalnya Peraturan Presiden mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bagi penanaman modal mempersyaratkan bukti kemitraan bagi Industri tertentu, dan Undang-Undang mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mempersyaratkan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL). Ayat (4) Yang dimaksud dengan “gangguan” sebagaimana tercantum dalam Hinderordonnantie, Staatsblad 1926: 226.


      Pasal 17

      Cukup jelas.


      Pasal 18

      Cukup jelas.


      Pasal 19

      Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “siap melakukan kegiatan usaha Industri” ditunjukkan paling sedikit dengan data dan/atau bukti-bukti terkait dengan:


    78. pelaksanaan uji coba produksi;

    79. pengadaan Bahan Baku dan/atau bahan penolong dalam proses produksi; dan

    c. rencana penggunaan tenaga kerja termasuk kualifikasinya. Huruf c Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Fotokopi izin lingkungan dipersyaratkan untuk Industri yang berada di luar Kawasan Industri dan fotokopi izin lingkungan Kawasan Industri dipersyaratkan untuk Industri yang berada di Kawasan Industri. Huruf e Yang dimaksud dengan ”dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan” misalnya Peraturan Presiden mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bagi penanaman modal mempersyaratkan izin operasional dari BIN untuk Industri kertas berharga dan dokumen keterangan asal bahan baku untuk Industri kertas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “gangguan” sebagaimana tercantum dalam Hinderordonnantie, Staatsblad 1926: 226 . Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada prinsipnya Izin Perluasan tidak diwajibkan namun dimungkinkan untuk dimiliki apabila diperlukan, mengingat sering dibutuhkan antara lain untuk mendapatkan fasilitas fiskal, kredit perbankan/ pembiayaan. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “nilai investasi” adalah nilai investasi yang tercantum dalam IUI yang dimiliki. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penutupan sementara” adalah menghentikan kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan IUI. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “gangguan” sebagaimana tercantum dalam Hinderordonnantie, Staatsblad 1926: 226 . Pasal 42 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5797

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):