Lembaga Sensor Film

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014

Kerangka<< >>

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Sensor Film; Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5060); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM. BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


  3. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

  4. Sensor Film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.

  5. Iklan Film adalah bentuk publikasi dan promosi film.

  6. Lembaga Sensor Film yang selanjutnya disingkat LSF adalah lembaga yang melakukan penyensoran setiap film dan iklan film.

  7. Pertunjukan Film adalah pemutaran dan/atau penayangan film yang diperuntukkan kepada umum melalui berbagai media.

  8. Kode Etik adalah norma yang memuat standar moral dan perilaku anggota LSF dan tenaga sensor.

  9. Tenaga Sensor adalah seseorang yang memiliki kompetensi di bidang penyensoran.

  1. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan kebudayaan.
    Pasal 2
    (1)

    Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.

    (2)

    Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk film cerita atau film noncerita.

    (3)

    Iklan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk poster, stillphoto , slide , klise, trailer , banner , pamflet, brosur, baliho, spanduk, folder, plakat, dan sarana publikasi dan promosi lainnya.

    (4)

    Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup film iklan. BAB II PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, DAN KEANGGOTAAN Bagian Kesatu Pembentukan, Status, dan Tempat Kedudukan


    Pasal 3
    (1)

    Pemerintah membentuk LSF untuk melakukan penyensoran film dan iklan film.

    (2)

    LSF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang bersifat tetap dan independen yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.

    (3)

    LSF berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.


    Pasal 4
    (1)

    LSF dapat membentuk perwakilan di ibukota provinsi.

    (2)

    Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh LSF. Bagian Kedua Susunan Organisasi


    Pasal 5
    (1)

    Susunan organisasi LSF terdiri atas:

    1. ketua merangkap anggota;

    2. wakil ketua merangkap anggota;

    3. anggota; dan

    4. sekretaris bukan anggota.

    (2)

    Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan pimpinan sekretariat LSF.

    (3)

    Ketua dan wakil ketua dipilih oleh dan dari anggota LSF. Bagian Ketiga Tugas, Fungsi, dan Wewenang


    Pasal 6

    LSF mempunyai tugas :

    1. melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan

    2. melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum.


    Pasal 7

    Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, LSF mempunyai fungsi:

    1. perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film dan iklan film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia;

    2. penyusunan pedoman penerbitan dan pembatalan surat tanda lulus sensor;

    3. sosialisasi secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film dan iklan film agar dapat menghasilkan film dan iklan film yang bermutu;

    4. pemberian kemudahan masyarakat dalam memilih dan menikmati pertunjukan film dan iklan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film;

    5. pembantuan pemilik film dan iklan film dalam memberi informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat agar dapat memilih dan menikmati film yang bermutu; dan

    6. pemantauan apresiasi masyarakat terhadap film dan iklan film yang diedarkan, dipertunjukkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya dan/atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan kebijakan kearah pengembangan perfilman di Indonesia.


    Pasal 8

    LSF mempunyai wewenang :

    1. penentuan penggolongan usia penonton;

    2. pengembalian film dan iklan film yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria penyensoran untuk diperbaiki oleh pemillik film dan iklan film;

    3. penyensoran ulang ( re-censor ) film dan iklan film yang sudah diperbaiki oleh pemilik film dan iklan film sesuai pedoman dan kriteria penyensoran;

    4. pemberian surat tanda lulus sensor yang dibubuhkan untuk setiap kopi-jadi film dan iklan film yang dinyatakan telah lulus sensor;

    5. pembatalan surat tanda lulus sensor;

    6. pengusulan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perfilman; dan g. pelaporan kegiatan sensor film dan iklan film baik yang lulus dan yang tidak lulus sensor kepada Presiden melalui Menteri secara periodik.


    Pasal 9

    Dalam pelaksanaan tugas LSF dibantu oleh sekretariat LSF dan Tenaga Sensor.


    Pasal 10
    (1)

    LSF dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berpedoman pada tata kerja dan tata laksana.

    (2)

    Ketentuan mengenai tata kerja dan tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan LSF. Bagian Keempat Keanggotaan


    Pasal 11
    (1)

    LSF beranggotakan 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas 12 (dua belas) orang unsur masyarakat dan 5 (lima) orang unsur Pemerintah.

    (2)

    Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kepakaran di bidang:

    1. pendidikan;

    2. perfilman;

    3. kebudayaan;

    4. hukum;

    5. teknologi informasi;

    6. pertahanan dan keamanan;

    7. bahasa;

    8. agama; dan/atau

    9. kepakaran lain yang relevan.

    (3)

    Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang:

    1. pendidikan 1 (satu) orang;

    2. kebudayaan1 (satu) orang;

    3. komunikasi dan informasi 1 (satu) orang;

    4. agama 1 (satu) orang; dan

    5. ekonomi kreatif 1 (satu) orang.

    (4)

    Untuk dapat diangkat sebagai anggota LSF harus memenuhi syarat sebagai berikut:

    1. warga negara Republik Indonesia berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun;

    2. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    3. memahami asas, tujuan, dan fungsi perfilman;

    4. memiliki kecakapan dan wawasan dalam ruang lingkup tugas penyensoran; dan

    5. dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu.


    Pasal 12
    (1)

    Masa jabatan anggota LSF selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

    (2)

    Pengangkatan dan pemberhentian anggota LSF ditetapkan dengan Keputusan Presiden.


    Pasal 13

    Calon anggota LSF diseleksi oleh panitia seleksi anggota LSF.


    Pasal 14
    (1)

    Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 berasal dari pemangku kepentingan perfilman yang dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri.

    (2)

    Pemangku kepentingan perfilman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. Pemerintah dan pemerintah daerah b. pelaku kegiatan perfilman;

    2. pelaku usaha perfilman; dan

    3. masyarakat.

    (3)

    Panitia seleksi beranggotakan paling sedikit 5 (lima) orang dan berjumlah gasal.

    (4)

    Panitia seleksi dalam memilih calon anggota LSF bekerja secara jujur, terbuka, dan objektif.

    (5)

    Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bertanggung jawab kepada Menteri.


    Pasal 15
    (1)

    Menteri mengajukan 2 (dua) kali jumlah calon anggota LSF kepada Presiden.

    (2)

    Presiden mengangkat 17 (tujuh belas) anggota LSF setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.


    Pasal 16
    (1)

    Sebelum memangku jabatannya, anggota LSF mengucapkan sumpah atau janji.

    (2)

    Pengucapan sumpah atau janji bagi para anggota LSF dilakukan dihadapan Menteri.


    Pasal 17
    (1)

    Anggota LSF berhenti karena:

    1. berakhir masa jabatannya;

    2. mengundurkan diri dan/atau ditarik oleh kementerian/lembaga yang mengusulkannya; atau

    3. meninggal dunia.

    (2)

    Selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) anggota LSF diberhentikan karena:

    1. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota LSF;

    2. dinyatakan melanggar sumpah/janji atau kode etik;

    3. menyalahgunakan wewenang sebagai anggota LSF berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap;

    4. dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

    5. berhalangan tetap atau secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya; atau f. tidak melaksanakan tugas dan fungsinya secara independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.


    Pasal 18

    Menteri mengusulkan pemberhentian anggota LSF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 kepada Presiden.


    Pasal 19
    (1)

    Dalam hal anggota LSF berhenti dan diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, dan ayat (2) dapat dilakukan penggantian antarwaktu.

    (2)

    Masa jabatan pengganti antarwaktu adalah sampai dengan berakhirnya masa keanggotaan LSF yang digantikan.

    (3)

    Penggantian antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selama kurang dari 2 (dua) tahun tidak dihitung sebagai periode masa jabatan.


    Pasal 20
    (1)

    Calon pengganti antarwaktu anggota LSF harus:

    1. tercantum dalam daftar calon anggota LSF pada saat pemilihan calon anggota LSF;

    2. berasal dari unsur yang sama;

    3. memenuhi syarat calon anggota LSF; dan

    4. bersedia dicalonkan.

    (2)

    Dalam hal calon pengganti antarwaktu dari unsur yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak terpenuhi, Menteri mengusulkan kepada Presiden calon pengganti antarwaktu tanpa melalui proses seleksi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15. Bagian Kelima Kode Etik dan Komite Etik


    Pasal 21
    (1)

    LSF menyusun Kode Etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota LSF dan Tenaga Sensor selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas LSF.

    (2)

    Ketentuan mengenai Kode Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan LSF.


    Pasal 22
    (1)

    Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap Kode Etik, Menteri dapat membentuk komite etik yang bersifat ad hoc. (2) Anggota komite etik berjumlah paling sedikit 9 (sembilan) orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang etika penyensoran serta merupakan tokoh-tokoh masyarakat. BAB III PEDOMAN DAN KRITERIA PENYENSORAN Bagian Kesatu Umum


    Pasal 23
    (1)

    LSF melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran film.

    (2)

    LSF dapat melibatkan tenaga ahli dan wakil organisasi kemasyarakatan untuk memberi masukan terhadap film yang disensor.

    (3)

    Dalam melaksanakan penyensoran film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) LSF dapat mengenakan tarif penyensoran.


    Pasal 24
    (1)

    Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum wajib disensor terlebih dahulu oleh LSF.

    (2)

    Prosedur penyensoran dilakukan sebagai berikut:

    1. pemilik film dan iklan film mendaftarkan film dan iklan film ke LSF;

    2. film dan iklan film diteliti dan dinilai serta ditentukan kelayakannya oleh LSF dan dilabeli dengan surat tanda lulus sensor atau tidak lulus sensor;

    3. film dan iklan film yang tidak lulus sensor dikembalikan kepada pemilik film dan iklan film untuk diperbaiki; dan

    4. film dan iklan film sudah diperbaiki oleh pemilik film dan iklan film dapat diajukan lagi untuk diteliti dan dinilai kembali oleh LSF.

    (3)

    Proses penyensoran film dan iklan film dilaksanakan oleh kelompok penyensor yang terdiri atas:

    1. anggota LSF; dan

    2. Tenaga Sensor.

    (4)

    Dalam hal terjadi perbedaan pendapat di antara kelompok penyensor atas suatu film dan iklan film diteruskan ke sidang pleno untuk mendapatkan keputusan.

    (5)

    Setiap film dan iklan film yang telah dinyatakan lulus sensor diterbitkan surat tanda lulus sensor.


    Pasal 25
    (1)

    Penyensoran film dan iklan film dilakukan berdasarkan prinsip dialogis dengan pemilik film dan iklan film yang disensor.

    (2)

    Selain hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyensoran dimaksudkan pula sebagai sarana pemelihara tata nilai dan budaya bangsa agar dapat terjaga dan berkembang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

    (3)

    Penyensoran sebagai mata rantai pembinaan diarahkan guna menumbuhkan kemampuan untuk mengendalikan diri di kalangan insan perfilman dalam berkarya dan berkreasi sebagai perwujudan tanggung jawab, harkat, dan martabat bangsa.


    Pasal 26

    Pelaksanaan penyensoran oleh LSF dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab dan memperhatikan sifat kontekstual sebuah film, kemajuan teknologi serta perkembangan tata nilai di dalam masyarakat.


    Pasal 27
    (1)

    Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) dikeluarkan oleh LSF dan ditandatangani oleh Ketua LSF.

    (2)

    Dalam hal Ketua LSF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan, baik berhalangan tetap maupun berhalangan tidak tetap, surat tanda lulus sensor ditandatangani oleh Wakil Ketua LSF.


    Pasal 28
    (1)

    Film dan iklan film yang sudah selesai disensor digolongkan ke dalam usia penonton film sebagai berikut:

    1. untuk penonton semua umur;

    2. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;

    3. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan

    4. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

    (2)

    LSF menetapkan kelayakan film dan iklan film ke dalam penggolongan usia penonton sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kedua Pedoman Penyensoran


    Pasal 29
    (1)

    Penyensoran dilakukan dengan meneliti dan menilai film dan iklan film berpedoman kepada asas, tujuan, dan fungsi perfilman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perfilman.

    (2)

    Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi isi film dan iklan film dari segi:

    1. kekerasan, perjudian, dan narkotika;

    2. pornografi;

    3. suku, ras, kelompok, dan/atau golongan;

    4. agama;

    5. hukum;

    6. harkat dan martabat manusia; dan

    7. usia penonton film. Bagian Ketiga Kriteria Penyensoran


    Pasal 30
    (1)

    Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat mendorong penonton bersimpati pada pelaku yang melakukan kekerasan sadis terhadap manusia dan hewan .

    (2)

    Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a meliputi adegan pelaksanaan berjudi berulang-ulang dan teknik berjudi secara berlebihan.

    (3)

    Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a meliputi adegan teknik penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya secara vulgar dan mudah ditiru.

    (4)

    Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang menampilkan nafsu seks secara vulgar dan berlebihan.

    (5)

    Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi suku, ras, kelompok, dan/atau golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat mengadu domba antar komunitas politik atau komunitas sosial, dan dapat menampilkan kesan mendeskreditkan dan/atau merendahkan suku, ras, kelompok dan/atau golongan.

    (6)

    Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf d meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat merusak kerukunan hidup beragama, yang memperolok-olok dan/atau meremehkan kesucian agama atau simbol agama.

    (7)

    Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e meliputi adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat mendorong penonton melakukan tindakan melawan hukum dan/atau anarkis terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan/atau lambang negara.

    (8)

    Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi harkat dan martabat manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf f meliputi adegan visual, dialog dan/atau monolog yang melanggar hak asasi manusia.

    (9)

    Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film yang dikaitkan dengan usia penonton sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 meliputi adegan visual dan dialog, dan/atau monolog yang layak atau tidak layak dipertontonkan.


    Pasal 31

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan kriteria penyensoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Penggolongan Usia


    Pasal 32

    Film dan iklan film yang telah disensor disertai pencantuman penggolongan usia penonton yang meliputi:

    1. untuk penonton semua umur;

    2. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;

    3. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.


    Pasal 33

    Film dan iklan film digolongkan untuk penonton semua umur apabila memenuhi kriteria:

    1. dibuat dan ditujukan untuk penonton semua umur dengan penekanan pada anak-anak;

    2. berisi tema, judul, adegan visual, serta dialog dan/atau monolog sesuai usia dan tidak merugikan perkembangan dan kesehatan fisik dan jiwa anak-anak;

    3. mengandung unsur pendidikan, budaya, budi pekerti, hiburan sehat, apresiasi estetika dan/atau mendorong rasa ingin tahu mengenai lingkungan;

    4. tidak mempertontonkan adegan kekerasan, baik fisik maupun dialog dan/atau monolog, yang mengakibatkan mudah ditiru/diikuti oleh anak-anak;

    5. tidak mempertontonkan adegan yang memperlihatkan perilaku atau situasi membahayakan yang mudah ditiru/diikuti oleh anak-anak;

    6. tidak mengandung adegan visual dan/atau dialog dan/atau monolog yang dapat mendorong anak meniru perilaku seks, bersikap tidak sopan kepada orang tua dan/atau guru, memaki orang lain dan/atau menggunakan kata-kata kasar serta adegan anti sosial seperti tamak, licik, dan/atau dusta;

    7. tidak mengandung muatan yang membuat anak-anak percaya kepada klenik atau ilmu gaib/perdukunan, spiritual magis, mistis, dan tahayul yang bertentangan dengan norma agama;

    8. tidak mengandung adegan visual horor dan sadis; dan/atau i. tidak menampilkan adegan visual, dialog, dan/atau monolog yang dapat mengganggu perkembangan jiwa anak seperti perselingkuhan, bunuh diri, perjudian, penggunaan narkotika dan zat adiktif lainnya.


    Pasal 34

    Film dan iklan film digolongkan untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih apabila memenuhi kriteria:

    1. mengandung nilai pendidikan, budi pekerti, apresiasi, estetika, kreatifitas, dan pertumbuhan rasa ingin tahu yang positif;

    2. berisi tema, judul, adegan visual serta dialog dan/atau monolog yang sesuai dengan penonton berusia peralihan dari anak-anak ke remaja; dan/atau

    3. tidak menampilkan adegan yang peka untuk ditiru oleh usia peralihan dari anak-anak ke remaja seperti adegan berbahaya serta adegan pergaulan bebas antar manusia yang berlainan jenis maupun sesama jenis.


    Pasal 35

    Film dan iklan film digolongkan untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih apabila memenuhi kriteria:

    1. mengandung nilai pendidikan, budaya, budi pekerti, apresiasi, estetika, dan/atau pertumbuhan rasa ingin tahu yang positif;

    2. berisi tema, judul, adegan visual serta dialog dan/atau monolog yang sesuai dengan penonton berusia 17 (tujuh belas) tahun ke atas;

    3. berkaitan dengan seksualitas yang disajikan secara proporsional dan edukatif;

    4. berkaitan dengan kekerasan yang disajikan secara proporsional; dan/atau

    5. tidak menampilkan adegan sadisme.


    Pasal 36

    Film dan iklan film digolongkan untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih apabila memenuhi kriteria:

    1. judul, tema, adegan visual, dan/atau dialog dan/atau monolog yang ditujukan untuk orang dewasa;

    2. tema dan permasalahan keluarga;

    3. adegan visual dan dialog tentang seks serta kekerasan dan sadisme tidak berlebihan;

    4. penayangan di televisi setelah pukul 23.00 sampai dengan pukul 03.00 waktu setempat; dan/atau

    5. pertunjukan hanya di gedung bioskop, kecuali untuk kegiatan apresiasi film atau pertunjukan film untuk tujuan pendidikan dan/atau penelitian.


    Pasal 37

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penggolongan usia sebagaimana dimaksud Pasal 32 sampai dengan Pasal 36 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Penarikan Peredaran Film dan Iklan Film


    Pasal 38
    (1)

    Film dan iklan film yang sudah lulus sensor dapat ditarik dari peredaran oleh Menteri berdasarkan pertimbangan LSF apabila menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketentraman atau keselarasan hidup masyarakat.

    (2)

    Ketentuan mengenai penarikan film dan iklan film dari peredaran diatur dalam Peraturan Menteri. BAB IV SEKRETARIAT LEMBAGA SENSOR FILM


    Pasal 39
    (1)

    Sekretariat LSF dipimpin oleh Sekretaris LSF.

    (2)

    Sekretaris LSF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari pegawai negeri sipil.

    (3)

    Sekretariat LSF mempunyai tugas memberikan dukungan administratif dan teknis kepada LSF.

    (4)

    Sekretariat LSF secara administratif bertanggungjawab kepada Menteri.

    (5)

    Sekretaris LSF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

    (6)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat LSF ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi.


    Pasal 40

    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Sekretariat LSF mempunyai fungsi:

    1. penyusunan dan pelaksanaan bahan rumusan kebijakan di bidang penyensoran;

    2. penyusunan rencana dan program;

    3. pengelolaan urusan sumber daya; dan

    4. pengelolaan urusan umum. BAB V TENAGA SENSOR


    Pasal 41
    (1)

    Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, LSF dibantu oleh Tenaga Sensor yang memiliki tugas penyensoran:

    1. melaksanakan penelitian, penilaian, dan analisa terhadap suatu film dan iklan film untuk dipertunjukkan, ditayangkan, dan/atau diedarkan kepada khalayak umum;

    2. memantau hasil penyensoran yang dipertunjukkan, ditayangkan, dan/atau diedarkan kepada khalayak umum melalui layar lebar, televisi, dan jaringan teknologi informatika;

    3. melaporkan hasil penelitian, penilaian, dan pemantauan kepada LSF.

    (2)

    Tenaga Sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari pegawai negeri sipil dan/atau bukan pegawai negeri sipil.

    (3)

    Tenaga Sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. Tenaga Sensor yang berkedudukan di pusat; dan

    2. Tenaga Sensor yang berkedudukan di ibukota provinsi.

    (4)

    Tenaga Sensor yang berkedudukan di pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berjumlah paling banyak 45 (empat puluh lima) orang.

    (5)

    Tenaga Sensor yang berkedudukan di ibukota provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berjumlah paling banyak 15 (lima belas) orang.


    Pasal 42
    (1)

    Tenaga Sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 harus memenuhi syarat:

    1. warga negara Republik Indonesia;

    2. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    3. memahami asas, tujuan, dan fungsi perfilman;

    4. memiliki kompetensi di bidang penyensoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    5. dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu;

    6. memiliki pemahaman tentang budaya daerah dan kearifan lokal; dan

    7. mampu melakukan penilaian terhadap isi film.

    (2)

    Tenaga Sensor dipilih melalui seleksi oleh panitia seleksi.

    (3)

    Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

    (4)

    Tenaga Sensor yang terpilih diangkat oleh Menteri.


    Pasal 43
    (1)

    Tenaga Sensor sebelum melaksanakan tugas, wajib mengucapkan sumpah atau janji.

    (2)

    Pengambilan sumpah atau janji bagi para Tenaga Sensor film dilakukan oleh Ketua LSF BAB VI PENDANAAN


    Pasal 44
    (1)

    LSF dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara.

    (2)

    Selain dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja negara, LSF dapat didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN


    Pasal 45

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, anggota LSF yang diangkat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dengan pengambilan sumpah atau janji para anggota LSF berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP


    Pasal 46

    Semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 12) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.


    Pasal 47

    Semua peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.


    Pasal 48

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 12) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


    Pasal 49

    Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 48 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM I. UMUM Kesadaran manusia akan kebutuhan hiburan memberi peluang besar pada industri perfilman untuk mengembangkan usahanya dalam melayani masyarakat. Perkembangan industri perfilman menjadi salah satu aspek signifikan dalam pergerakan roda perekonomian negara. Pada beberapa negara industri justru menjadi salah satu ujung tombak perekonomian negaranya. Indonesia memiliki kondisi yang berbeda dengan negara-negara yang menjadi pelaku utama industri perfilman global. Kondisi Indonesia yang memiliki keterbatasan aspek produksi film nasional menjadikan negara ini lebih banyak mengakses komoditi film dari luar/mengimpor film. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh pada perkembangan dan pembangunan industri perfilman nasional. Pengaruh yang dibawa oleh film dari luar tidak hanya berupa pengaruh dalam makna sistem dan teknis semata, namun juga pengaruh dalam makna ideologis. Bentuk ideologis itu bisa berupa nilai dan norma yang berbeda dengan ketetapan hukum di Indonesia. Perbedaan ini baik secara langsung maupun tak langsung akan berimbas pada dekonstruksi dan perubahan nilai dan norma yang belum tentu bermakna positif bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Film sebagai sebuah komoditas informasi hiburan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai, norma, dan budaya yang dibawanya. Perkembangan perfilman sedikit banyak tentu saja akan mempengaruhi pola dan gaya hidup masyarakat yang mengaksesnya. Hadirnya nilai dan norma baru ini merupakan aspek-aspek yang mempunyai potensi membentuk budaya baru atau merubah budaya yang sudah ada. Beberapa aspek tersebut mungkin tidak sesuai dengan nilai dan norma luhur yang sudah ada di Indonesia dan telah terwariskan dari generasi ke generasi. Nilai yang dibawa dalam film tidak selalu berasal dari ideologi barat, tidak selalu berasal dari film impor saja. Nilai dan norma yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia juga sangat mungkin berasal dari film produksi dalam negeri. Kondisi ini tentu saja harus mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah dan masyarakat. Sebuah upaya untuk menciptakan filter budaya bangsa dari rongrongan budaya luar dan dalam yang bersifat destruktif dan sudah selayaknya menjadi prioritas dalam konteks pembangunan perfilman nasional. Penyensoran dilaksanakan dengan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah. Film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor. Selain masyarakat wajib dilindungi dari pengaruh negatif film, masyarakat juga diberi kesempatan untuk berperan serta dalam perfilman, baik secara perseorangan maupun secara kelompok. Lembaga Sensor Film (LSF) pada dasarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat dari beberapa persoalan di atas. LSF harus dapat melakukan fungsinya sebagai sensor yang profesional. Film sebagai sebuah kesatuan narasi audio-visual tidak bisa dipilah menjadi bagian kecil yang terpisah. Film memiliki kesatuan makna yang hanya bisa diidentifikasi dalam sebuah urutan narasi dari awal sampai pada akhir. Hal inilah yang menjadikan tugas LSF lebih bersifat terurai dan jelas. Penghilangan sebuah adegan yang substansial akan menghilangkan makna film itu sendiri. Masalah ketidakjelasan ini akan mengundang persepsi yang beragam dan multitafsir atas kandungan isi film dan iklan film di Indonesia. Untuk maksud tersebut dibentuk Peraturan Pemerintah yang memberikan landasan hukum dan kepastian hukum. Penyensoran film dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keahlian dalam penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum. Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai Pembentukan, Kedudukan, Keanggotaan Lembaga Sensor Film, Pedoman dan Kriteria Penyensoran Film dan Iklan Film, Sekretariat Lembaga Sensor Film, Tenaga Sensor, serta Pendanaan. II. PASAL DEMI PASAL


    Pasal 1

    Cukup jelas.


    Pasal 2

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “film cerita” adalah semua film yang mengandung cerita, termasuk film eksperimental dan film animasi. Yang dimaksud dengan “film noncerita” adalah semua film yang berisi penyampaian informasi, termasuk film animasi, film iklan (film yang memuat materi iklan), film ekperimental, film seni, film pendidikan, dan film dokumenter. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “film iklan” adalah film yang memuat materi iklan atau film informasi yang bersifat komersial dan/atau layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak umum.


    Pasal 3

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”independen” adalah LSF dalam penyensoran yang meliputi meneliti, menilai, penentuan kelayakan, dan penentuan penggolongan usia film dan iklan film bebas dari pengaruh manapun. Ayat (3) Cukup jelas.


    Pasal 4

    Cukup jelas.


    Pasal 5

    Cukup jelas.


    Pasal 6

    Cukup jelas.


    Pasal 7

    Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “film yang bermutu” adalah film yang baik dan benar serta layak ditonton. Huruf f Cukup jelas.


    Pasal 8

    Cukup jelas.


    Pasal 9

    Cukup jelas.


    Pasal 10

    Cukup jelas.


    Pasal 11

    Cukup jelas.


    Pasal 12

    Cukup jelas.


    Pasal 13

    Cukup jelas.


    Pasal 14

    Cukup jelas.


    Pasal 15

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam ketentuan ini bukan merupakan uji kelayakan dan kepatutan.


    Pasal 16

    Cukup jelas.


    Pasal 17

    Cukup jelas.


    Pasal 18

    Cukup jelas.


    Pasal 19

    Cukup jelas.


    Pasal 20

    Cukup jelas.


    Pasal 21

    Cukup jelas.


    Pasal 22

    Cukup jelas.


    Pasal 23

    Cukup jelas.


    Pasal 24

    Cukup jelas.


    Pasal 25

    Ayat (1) Prinsip dialogis dimaksudkan untuk menumbuhkan swasensor ( self-censhorship ) masyarakat serta menumbuhkan kemampuan diri kalangan film dan iklan film dalam berkarya berdasarkan kebebasan berkreasi sejalan dengan dinamika masyarakat, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan dan budaya bangsa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.


    Pasal 26

    Cukup jelas.


    Pasal 27

    Cukup jelas.


    Pasal 28

    Cukup jelas.


    Pasal 29

    Cukup jelas.


    Pasal 30

    Cukup jelas.


    Pasal 31

    Cukup jelas.


    Pasal 32

    Cukup jelas.


    Pasal 33

    Cukup jelas.


    Pasal 34

    Cukup jelas.


    Pasal 35

    Cukup jelas.


    Pasal 36

    Cukup jelas.


    Pasal 37

    Cukup jelas.


    Pasal 38

    Cukup jelas.


    Pasal 39

    Cukup jelas.


    Pasal 40

    Cukup jelas.


    Pasal 41

    Cukup jelas.


    Pasal 42

    Cukup jelas.


    Pasal 43

    Cukup jelas.


    Pasal 44

    Cukup jelas.


    Pasal 45

    Cukup jelas.


    Pasal 46

    Cukup jelas.


    Pasal 47

    Cukup jelas.


    Pasal 48

    Cukup jelas.


    Pasal 49 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5515

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):