Investigasi Kecelakaan Transportasi

Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2013

Kerangka<< >>

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 177 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 257 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 369 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi; __ __ Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);

  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849);

  4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);

  5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); MEMUTUSKAN: MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI. BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


  6. Investigasi Kecelakaan Transportasi adalah kegiatan penelitian terhadap penyebab kecelakaan transportasi dengan cara pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data secara sistematis dan objektif agar tidak terjadi kecelakaan transportasi dengan penyebab yang sama.

  7. Kecelakaan Transportasi adalah peristiwa atau kejadian pengoperasian sarana transportasi yang mengakibatkan kerusakan sarana transportasi, korban jiwa, dan/atau kerugian harta benda.

  8. Investigator adalah orang yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi tertentu untuk melaksanakan kegiatan Investigasi Kecelakaan Transportasi.

  9. Kereta Api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api.

  10. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

  11. Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.

  12. Kejadian Serius adalah suatu kondisi pengoperasian Pesawat Udara hampir terjadinya kecelakaan.

  13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi.

    Pasal 2

    Investigasi Kecelakaan Transportasi diselenggarakan berdasarkan prinsip:

    1. tidak untuk mencari kesalahan ( no blame );

    2. tidak untuk memberikan sanksi/hukuman ( _no judicial); _ dan c. tidak untuk mencari siapa yang bertanggung jawab menanggung kerugian ( no liability ).


    Pasal 3

    Investigasi Kecelakaan Transportasi diselenggarakan untuk mengungkap suatu peristiwa kecelakaan transportasi secara profesional dan independen guna memperoleh data dan fakta penyebab terjadinya kecelakaan transportasi.


    Pasal 4

    Pelaksanaan Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi.


    Pasal 5

    Kedudukan, Tugas, dan Organisasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi diatur dengan Peraturan Presiden. BAB II KECELAKAAN TRANSPORTASI


    Pasal 6

    Investigasi Kecelakaan Transportasi dilakukan terhadap:

    1. kecelakaan Kereta Api;

    2. kecelakaan Kapal;

    3. kecelakaan Pesawat Udara; dan

    4. kecelakaan tertentu kendaraan bermotor umum.


    Pasal 7

    Kecelakaan Kereta Api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a terdiri atas:

    1. tabrakan antar Kereta Api;

    2. Kereta Api terguling;

    3. Kereta Api anjlok; dan/atau

    4. Kereta Api terbakar.


    Pasal 8

    Kecelakaan Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b terdiri atas:

    1. Kapal tenggelam;

    2. Kapal terbakar;

    3. Kapal tubrukan; dan/atau

    4. Kapal kandas.


    Pasal 9

    Kecelakaan Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c terdiri atas:

    1. Pesawat Udara yang jatuh pada saat tinggal landas, lepas landas, atau selama penerbangan;

    2. tabrakan antar Pesawat Udara atau antar Pesawat Udara dengan fasilitas di bandar udara;

    3. Pesawat Udara yang hilang atau tidak dapat diketemukan; dan/atau d. Pesawat Udara yang mengalami Kejadian Serius ( serious incident) .


    Pasal 10

    Kecelakaan tertentu kendaraan bermotor umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d terdiri atas:

    1. tabrakan antar kendaraan bermotor umum, antara kendaraan bermotor umum dengan Kereta Api, atau antara kendaraan bermotor umum dengan fasilitas atau dengan benda-benda lainnya;

    2. kendaraan bermotor umum terguling;

    3. kendaraan bermotor umum jatuh ke jurang atau sungai; dan/atau d. kendaraan bermotor umum terbakar. BAB III KRITERIA KECELAKAAN TRANSPORTASI


    Pasal 11
    (1)

    Setiap investigasi kecelakaan Kereta Api, Kapal, Pesawat Udara, dan kecelakaan tertentu terhadap kendaraan bermotor umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi.

    (2)

    Komite Nasional Keselamatan Transportasi dalam melakukan investigasi kecelakaan tertentu terhadap kendaraan bermotor umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.


    Pasal 12

    Kecelakaan Kereta Api yang wajib dilakukan Investigasi Kecelakaan Transportasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 yaitu kecelakaan yang mengakibatkan:

    1. korban jiwa; dan/atau

    2. kerusakan atau tidak dapat beroperasinya Kereta Api yang mengakibatkan rintang jalan selama lebih dari 6 (enam) jam untuk 2 (dua) arah.


    Pasal 13
    (1)

    Kecelakaan Kapal yang wajib dilakukan Investigasi Kecelakaan Transportasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 meliputi:

    1. kecelakaan Kapal dengan bobot lebih dari GT 100 (seratus Gross Tonage ) untuk Kapal penumpang, Kapal penyeberangan, dan Kapal ikan; atau

    2. kecelakaan Kapal dengan bobot lebih dari GT 500 (lima ratus Gross Tonage) untuk Kapal barang dan Kapal tangki.

    (2)

    Kecelakaan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu kecelakaan yang mengakibatkan:

    1. korban jiwa;

    2. kerusakan atau tidak dapat beroperasinya Kapal dan/atau fasilitas di perairan; dan/atau

    3. pencemaran laut.


    Pasal 14

    Investigasi Kecelakaan Transportasi terhadap Kapal asing yang mengalami kecelakaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan atas permintaan negara bendera Kapal yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan internasional dan hukum nasional.


    Pasal 15

    Dalam hal Kapal berbendera Indonesia mengalami kecelakaan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Komite Nasional Keselamatan Transportasi melakukan Investigasi Kecelakaan Transportasi di negara tempat terjadinya kecelakaan sesuai dengan ketentuan internasional.


    Pasal 16
    (1)

    Kecelakaan Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib dilakukan Investigasi Kecelakaan Transportasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi yaitu kecelakaan yang mengakibatkan:

    1. korban jiwa/luka serius; dan/atau

    2. kerusakan berat pada peralatan/fasilitas yang digunakan.

    (2)

    Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan pula terhadap Pesawat Udara yang mengalami Kejadian Serius (serious incident) .


    Pasal 17
    (1)

    Pesawat Udara asing yang mengalami kecelakaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, wajib dilakukan Investigasi Kecelakaan Transportasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi.

    (2)

    Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan wakil resmi dari negara ( acredited representative ) tempat Pesawat Udara didaftarkan, negara tempat badan usaha angkutan udara, negara tempat perancang Pesawat Udara, dan negara tempat pembuat Pesawat Udara, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan ketentuan peraturan perundang- undangan.


    Pasal 18

    Dalam hal Pesawat Udara yang didaftarkan di Indonesia mengalami kecelakaan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Komite Nasional Keselamatan Transportasi dapat mengirimkan wakil resmi dari negara ( acredited representative ) untuk berpartisipasi dalam investigasi tersebut.


    Pasal 19

    Kecelakaan tertentu kendaraan bermotor umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, meliputi:

    1. terdapat korban jiwa paling sedikit 8 (delapan) orang;

    2. mengundang perhatian publik secara luas;

    3. menimbulkan polemik/kontroversi;

    4. menimbulkan prasarana rusak berat;

    5. berulang-ulang pada merek dan/atau tipe kendaraan yang sama dalam satu tahun;

    6. berulang-ulang pada lokasi yang sama dalam satu tahun; dan/atau

    7. mengakibatkan pencemaran lingkungan akibat limbah atau Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang diangkut. BAB IV PEMBERITAHUAN KECELAKAAN TRANSPORTASI


    Pasal 20

    Setiap Kereta Api yang mengalami kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib diberitahukan kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi oleh:

    1. penyelenggara prasarana Kereta Api;

    2. penyelenggara sarana Kereta Api; atau

    3. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi.


    Pasal 21

    Setiap kecelakaan Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib diberitahukan kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi oleh:

    1. nakhoda;

    2. pemilik Kapal; atau

    3. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi.


    Pasal 22

    Setiap kecelakaan Pesawat Udara dan Kejadian Serius Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 wajib diberitahukan kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi oleh:

    1. badan usaha angkutan udara;

    2. penyedia jasa penerbangan; atau

    3. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi.


    Pasal 23

    Komite Nasional Keselamatan Transportasi wajib segera meneruskan pemberitahuan kecelakaan Pesawat Udara atau Kejadian Serius sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 kepada:

    1. negara tempat pesawat terdaftar;

    2. negara operator;

    3. negara tempat perancang pesawat;

    4. negara industri pesawat atau komponen; dan

    5. International Civil Aviation Organization apabila berat pesawat melebihi 2.250 Kg (dua ribu dua ratus lima puluh kilogram).


    Pasal 24
    (1)

    Pemberitahuan Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 disampaikan segera dengan cara lisan atau tertulis.

    (2)

    Pemberitahuan Kecelakaan Transportasi paling sedikit memuat:

    1. lokasi kejadian;

    2. waktu kejadian;

    3. akibat kecelakaan;

    4. jumlah korban jiwa dan/atau luka-luka; dan

    5. prasarana dan sarana transportasi yang mengalami kecelakaan.


    Pasal 25

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberitahuan diatur dengan Peraturan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi. BAB V PELAKSANAAN INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI Bagian Kesatu Pelaksanaan Investigasi


    Pasal 26
    (1)

    Setelah menerima pemberitahuan terjadinya kecelakaan Kereta Api, Kapal, dan Pesawat Udara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, Komite Nasional Keselamatan Transportasi melakukan persiapan investigasi.

    (2)

    Persiapan investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. membentuk tim investigasi;

    2. mempersiapkan peralatan investigasi; dan

    3. melakukan koordinasi dengan instansi terkait atau operator sarana transportasi yang mengalami kecelakaan.

    (3)

    Tim investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi.


    Pasal 27

    Setelah persiapan investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Komite Nasional Keselamatan Transportasi melakukan investigasi awal di lokasi Kecelakaan Transportasi.


    Pasal 28

    Investigasi awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 paling sedikit dilakukan dengan:

    1. mengumpulkan data dan barang bukti Kecelakaan Transportasi;

    2. mengambil gambar atau foto;

    3. mendata korban; dan/atau

    4. mengumpulkan informasi dan keterangan di lokasi Kecelakaan Transportasi dari pihak yang mengetahui kejadian kecelakaan.


    Pasal 29

    Dalam rangka pemenuhan data, keterangan, informasi, dan pengumpulan barang bukti yang lebih lengkap dapat dilakukan investigasi lanjutan.


    Pasal 30

    Investigasi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 paling sedikit dilakukan dengan:

    1. meminta keterangan dari pihak yang terkait dengan kecelakaan;

    2. mengumpulkan data tambahan untuk melengkapi data investigasi awal;

    3. melakukan uji laboratorium; dan/atau

    4. membuat analisis dari hasil keterangan, pengumpulan barang bukti Kecelakaan Transportasi, dan data yang telah diperoleh.


    Pasal 31
    (1)

    Pelaksanaan Investigasi Kecelakaan Transportasi dilakukan oleh Investigator.

    (2)

    Investigator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki kualifikasi dan kompetensi kecakapan tertentu yang dibuktikan dengan sertifikat kecakapan.

    (3)

    Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.


    Pasal 32

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pengangkatan Investigator diatur dengan Peraturan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Bagian Kedua Pengamanan Sarana Transportasi dan Lokasi Kecelakaan Transportasi


    Pasal 33

    Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan barang bukti Kecelakaan Transportasi, mengubah letak sarana transportasi, memindahkan barang bukti, dan mengambil bagian dari sarana transportasi atau barang lainnya yang tersisa akibat Kecelakaan Transportasi kecuali untuk kepentingan penyelidikan dan/atau penyidikan. __


    Pasal 34
    (1)

    Pemindahan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dapat dilaksanakan oleh pejabat berwenang setelah berkoordinasi dengan Komite Nasional Keselamatan Transportasi kecuali mengganggu kepentingan umum.

    (2)

    Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. pejabat yang berwenang di bidang transportasi perkeretaapian;

    2. pejabat yang berwenang di bidang transportasi laut;

    3. pejabat yang berwenang di bidang transportasi udara; atau

    4. pejabat yang berwenang di bidang transportasi lalu lintas dan angkutan jalan.


    Pasal 35

    Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib melakukan pengamanan sarana transportasi dan lokasi Kecelakaan Transportasi.


    Pasal 36

    Pengamanan sarana transportasi dan lokasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan guna:

    1. melindungi personil, awak sarana transportasi, penumpang, dan barang;

    2. mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah letak sarana transportasi; dan

    3. mencegah tindakan yang dapat merusak atau mengubah lokasi Kecelakaan Transportasi.


    Pasal 37

    Pengamanan sarana transportasi dan lokasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dilakukan sampai dengan berakhirnya pelaksanaan Investigasi Kecelakaan Transportasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi.


    Pasal 38

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Investigasi Kecelakaan Transportasi diatur dengan Peraturan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi. BAB VI LAPORAN HASIL INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI


    Pasal 39
    (1)

    Hasil kerja tim investigasi dibuat dalam bentuk laporan Investigasi Kecelakaan Transportasi.

    (2)

    Laporan Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. pemberitahuan ( _notification); _ b. laporan awal ( preliminary report ); dan

    2. laporan akhir ( final report).


    Pasal 40
    (1)

    Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a hanya berlaku untuk kecelakaan Pesawat Udara.

    (2)

    Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

    1. pabrik dan nomor seri pesawat;

    2. nama operator;

    3. kebangsaan pilot dan penumpang;

    4. tanggal dan waktu kejadian; dan/atau

    5. kondisi dan situasi lokasi kecelakaan.


    Pasal 41

    Laporan awal Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b memuat:

    1. riwayat operasi prasarana dan/atau sarana transportasi;

    2. data korban;

    3. data kerusakan prasarana dan sarana transportasi;

    4. data kerusakan lain di luar prasarana dan sarana transportasi;

    5. data personil yang terkait dengan kecelakaan;

    6. data rekaman operasi;

    7. komponen yang dapat dijadikan bukti dalam investigasi;

    8. data medis;

    9. data cuaca dan kondisi alam;

    10. hasil wawancara atau tanya jawab dengan petugas yang terkait; dan

    11. data penunjang lain yang terkait dengan Kecelakaan Transportasi.


    Pasal 42

    Laporan awal Investigasi Kecelakaan Transportasi disampaikan oleh ketua tim investigasi kepada Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi __ paling lama 1 (satu) bulan setelah terjadinya kecelakaan.


    Pasal 43

    Laporan akhir Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c memuat:

    1. informasi fakta;

    2. analisis fakta penyebab kecelakaan;

    3. kesimpulan penyebab yang paling memungkinkan terjadinya Kecelakaan Transportasi;

    4. saran tindak lanjut untuk pencegahan dan perbaikan; dan/atau e. lampiran hasil investigasi dan dokumen pendukung lainnya.


    Pasal 44
    (1)

    Penyusunan laporan akhir Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilakukan oleh tim investigasi dengan meminta tanggapan dan/atau masukan dari regulator, operator, pabrikan sarana transportasi, dan pihak terkait lainnya.

    (2)

    Laporan akhir Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh ketua tim investigasi kepada Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi paling lama 1 (satu) tahun setelah laporan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 disampaikan.

    (3)

    Laporan akhir Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi kepada regulator, operator, pabrikan sarana transportasi, dan pihak terkait lainnya sesuai masing-masing moda.


    Pasal 45

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur laporan Investigasi Kecelakaan Transportasi diatur dengan Peraturan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi.


    Pasal 46

    Laporan akhir Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dapat disampaikan oleh Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi kepada Presiden melalui Menteri.


    Pasal 47
    (1)

    Operator, pabrikan sarana transportasi, dan pihak terkait lainnya wajib menindaklanjuti rekomendasi keselamatan yang tercantum dalam laporan akhir Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3).

    (2)

    Operator, pabrikan sarana transportasi, dan pihak terkait lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan perkembangan tindak lanjut rekomendasi kepada Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi.


    Pasal 48

    Semua dokumen yang berkaitan dengan seluruh proses Investigasi Kecelakaan Transportasi sampai dengan laporan Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.


    Pasal 49

    Dalam hal Investigasi Kecelakaan Transportasi telah selesai dilakukan, namun ditemukan kembali bukti baru (novum) memperjelas penyebab terjadinya Kecelakaan Transportasi, Investigasi Kecelakaan Transportasi dapat dibuka kembali ( reopening an investigation) oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi. BAB VII SISTEM INFORMASI INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI


    Pasal 50
    (1)

    Sistem informasi Investigasi Kecelakaan Transportasi mencakup pengumpulan, pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi untuk:

    1. mendukung pelaksanaan investigasi;

    2. mencapai hasil investigasi yang optimal; dan

    3. mendukung perumusan kebijakan transportasi dan upaya pencegahan Kecelakaan Transportasi.

    (2)

    Sistem informasi Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi.


    Pasal 51

    Sistem informasi Investigasi Kecelakaan Transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 paling sedikit memuat:

    1. jumlah Kecelakaan Transportasi;

    2. jenis Kecelakaan Transportasi;

    3. penyebab terjadinya Kecelakaan Transportasi;

    4. akibat Kecelakaan Transportasi;

    5. fasilitas Investigasi Kecelakaan Transportasi;

    6. tenaga Investigator Kecelakaan Transportasi;

    7. lokasi Kecelakaan Transportasi; dan/atau

    8. isi rekomendasi.


    Pasal 52

    Penyelenggaraan sistem informasi Investigasi Kecelakaan Transportasi dilakukan dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi secara efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.


    Pasal 53
    (1)

    Informasi mengenai Investigasi Kecelakaan Transportasi didokumentasikan dan dipublikasikan serta dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat.

    (2)

    Pengelolaan sistem informasi Investigasi Kecelakaan Transportasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.


    Pasal 54

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan pengelolaan sistem informasi Investigasi Kecelakaan Transportasi diatur dengan Peraturan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP


    Pasal 55

    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 2013 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Oktober 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 156 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI I. UMUM Dalam rangka mengantisipasi perkembangan penyelenggaraan transportasi dan upaya untuk mewujudkan transportasi yang aman, selamat, lancar, tertib, dan teratur sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional maka perlu diambil langkah secara terencana dan terpadu dengan peningkatan keselamatan sebagai prioritas utama. Dalam hal terjadinya suatu kecelakaan transportasi, langkah Investigasi Kecelakaan Transportasi merupakan langkah yang tepat untuk dapat mengetahui penyebab dari suatu kecelakaan. Investigasi Kecelakaan Transportasi merupakan kegiatan penelitian terhadap penyebab peristiwa atau kejadian pengoperasian sarana transportasi yang mengakibatkan kerusakan sarana transportasi dimaksud, korban jiwa, dan/atau kerugian harta benda dengan cara pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data secara sistematis, dan obyektif agar kecelakaan transportasi dengan penyebab yang sama tidak terulang kembali. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 177 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 257 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 369 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi. Untuk kepentingan tersebut maka dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai jenis kecelakaan transportasi, kriteria kecelakaan transportasi, pemberitahuan kecelakaan transportasi, pelaksanaan investigasi, laporan hasil investigasi, dan sistem informasi Investigasi Kecelakaan Transportasi. II. PASAL DEMI PASAL


    Pasal 1

    Cukup jelas.


    Pasal 2

    Cukup jelas.


    Pasal 3

    Cukup jelas.


    Pasal 4

    Cukup jelas.


    Pasal 5

    Cukup jelas.


    Pasal 6

    Cukup jelas.


    Pasal 7

    Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “anjlok” adalah kereta keluar dari rel. Huruf d Cukup jelas.


    Pasal 8

    Yang dimaksud dengan “kecelakaan Kapal” antara lain: - Kecelakaan sangat berat ( very serious marine casualty ) adalah suatu kecelakaan yang dialami satu Kapal yang berakibat hilangnya Kapal tersebut atau sama sekali tidak dapat diselamatkan ( total loss ), menimbulkan korban jiwa, atau pencemaran berat. - Kecelakaan berat ( serious casualty ) adalah sebuah kecelakaan yang tidak dikategorikan sebagai kecelakaan sangat berat tetapi terkait dengan hal-hal sebagai berikut:

    1. terjadinya kebakaran di Kapal, ledakan, kandas, senggolan ( contact) , kerusakan akibat cuaca buruk, keretakan badan Kapal ( hull cracking ), atau dugaan cacat pada badan Kapal ( suspected hull defect ), dan lain-lain;

    2. kerusakan konstruksi yang menjadikan Kapal tidak laik laut, misalnya ada kebocoran pada badan Kapal di bawah garis air, tidak berfungsinya mesin induk Kapal, kerusakan besar pada akomodasi, dan lain-lain;

    3. pencemaran laut, tanpa memperhitungkan jumlah atau besarnya tumpahan;

    4. ketidakberdayaan Kapal sehingga memerlukan penundaan ( towage ) atau bantuan dari darat; dan/atau

    5. setiap kejadian berikut yang dengan memperhitungkan keadaan sekelilingnya dapat memungkinkan menjadi penyebab cedera serius atau gangguan kesehatan seseorang dikarenakan kejadian atau peristiwa dibawah ini:


  14. meledaknya ( bursting ) atau lumpuhnya ( collapse ) suatu bejana tekan, saluran pipa atau katup;

  15. lumpuhnya ( collapse ) atau tidak bekerjanya suatu alat angkat atau peralatan untuk memasuki ruangan ( access equipment ), atau penutup palka, peranca ( staging );

  16. jatuhnya muatan ( cargo ), pergeseran muatan yang tidak dikehendaki atau tolak bara Kapal ( ballas t) yang menjadi sebab kemiringan Kapal yang membahayakan atau jatuhnya muatan ke laut;

  17. terjadinya kontak seseorang dengan serat asbes ( asbestos fibre ) yang terlepas, kecuali yang bersangkutan mengenakan pakaian pelindung lengkap; dan/atau

  1. tersebarnya bahan berbahaya atau unsur yang dapat mencederai seseorang.
    Pasal 9

    Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas


    Pasal 11

    Cukup jelas.


    Pasal 12

    Cukup jelas.


    Pasal 13

    Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas.


    Pasal 15

    Cukup jelas.


    Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Kejadian Serius ( serious incident)” yaitu suatu kondisi pengoperasian Pesawat Udara hampir terjadinya kecelakaan antara lain:

  1. kegagalan fungsi atau kerusakan pada sistem kemudi penerbangan ( flight control system) ;

  2. ketidakmampuan dari awak Pesawat Udara ( flight crew member) untuk menjalankan tugas secara normal yang diakibatkan oleh adanya luka atau sakit;

  3. kerusakan komponen struktur turbin mesin kecuali kompresor dan daun-daun turbin dan baling-baling;

  4. kebakaran;

  5. kerusakan/kebocoran bahan berbahaya dan beracun;

  6. kerusakan pada properti;

  7. kerusakan sistem listrik dalam penerbangan yang membutuhkan bantuan pasokan daya listrik cadangan ( emergency bus) dari sumber daya dukung seperti baterai, unit daya tambahan atau generator yang digerakkan oleh udara untuk mempertahankan kemudi terbang atau instrumen- instrumen penting;

  8. kerusakan sistem hidrolik dalam penerbangan yang mengakibatkan ketergantungan pada satu-satunya sistem hidrolik atau sistem mekanis yang tersisa untuk pergerakan permukaan kemudi terbang;

  9. kehilangan terus menerus tenaga atau daya dorong yang dihasilkan oleh dua mesin atau lebih;

  10. hampir mengalami tabrakan antar pesawat udara; dan

  1. batal tinggal landas.
    Pasal 17

    Cukup jelas.


    Pasal 18

    Cukup jelas.


    Pasal 19

    Cukup jelas.


    Pasal 20

    Cukup jelas.


    Pasal 21

    Cukup jelas.


    Pasal 22

    Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud „‟penyedia jasa penerbangan‟‟ antara lain:

    1. badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara;

    2. penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan;

    3. badan usaha pemeliharaan Pesawat Udara;

    4. penyelenggara pendidikan dan pelatihan penerbangan; dan

    5. badan usaha rancang bangun dan pabrik pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat udara, dan komponen pesawat udara. Huruf c Cukup jelas.


    Pasal 23

    Cukup jelas.


    Pasal 24

    Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”cara lisan atau tertulis” antara lain telepon, sms ( short message service) , faksimili, dan/atau email. Ayat (2) Cukup jelas.


    Pasal 25

    Cukup jelas.


    Pasal 26

    Cukup jelas.


    Pasal 27

    Cukup jelas.


    Pasal 28

    Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan ”pihak yang mengetahui kejadian kecelakaan” antara lain awak atau personil sarana transportasi, penumpang, petugas, atau orang lain yang berada di lokasi kejadian kecelakaan transportasi.


    Pasal 29

    Cukup jelas.


    Pasal 30

    Cukup jelas.


    Pasal 31

    Cukup jelas.


    Pasal 32

    Cukup jelas.


    Pasal 33

    Cukup jelas.


    Pasal 34

    Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”pejabat yang berwenang di bidang transportasi perkeretaapian” antara lain, kementerian yang bertanggung jawab di bidang transportasi perkeretaapian, aparat keamanan setempat, dan kepala stasiun. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pejabat yang berwenang di bidang transportasi laut” antara lain, kementerian yang bertanggung jawab di bidang transportasi laut, aparat keamanan setempat, dan kepala otoritas pelabuhan. Huruf c Yang dimaksud dengan ”pejabat yang berwenang di bidang transportasi udara” antara lain, kementerian yang bertanggung jawab di bidang transportasi udara, aparat keamanan setempat, dan kepala otoritas bandara. Huruf d Yang dimaksud dengan ”pejabat yang berwenang di bidang transportasi lalu lintas dan angkutan jalan” antara lain, kementerian yang bertanggung jawab di bidang transportasi lalu lintas dan angkutan jalan, aparat keamanan setempat, dan kepala terminal.


    Pasal 35

    Cukup jelas.


    Pasal 36

    Cukup Jelas.


    Pasal 37

    Cukup jelas.


    Pasal 38

    Cukup jelas.


    Pasal 39

    Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas.


    Pasal 41

    Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “data personil yang terkait dengan kecelakan”, misalnya awak sarana transportasi. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas.


    Pasal 42

    Cukup jelas.


    Pasal 43

    Cukup jelas.


    Pasal 44

    Ayat (1) Permintaan tanggapan dilakukan oleh Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.


    Pasal 45

    Cukup jelas.


    Pasal 46

    Cukup jelas.


    Pasal 47

    Cukup jelas.


    Pasal 48

    Cukup jelas.


    Pasal 49

    Yang dimaksud dengan “telah selesai” adalah sampai adanya laporan akhir hasil Investigasi Kecelakaan Transportasi yang telah dipublikasikan kepada masyarakat.


    Pasal 50

    Cukup jelas.


    Pasal 51

    Cukup jelas.


    Pasal 52

    Cukup jelas.


    Pasal 53

    Cukup jelas.


    Pasal 54

    Cukup jelas.


    Pasal 55 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5448 __

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):