Hak Pengusahaan Hutan Dan Hak Pemungutan Hasil Hutan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970
Kerangka Peraturan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1970 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN Menimbang:
bahwa hutan di Indonesia merupakan suatu potensi kekayaan alam, yang perlu segera dimanfaatkan secara maksimal dan lestari dalam rangka Pembangunan Ekonomi Nasional;
bahwa untuk pemanfaatan hutan secara maksimal perlu diadakan Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan secara maksimal pula;
bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam rangka Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Mengingat:
Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, 2. Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan;
Undang-undang Nomor1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing;
Undang-undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, 5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan. MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN. BAB I. KETENTUAN UMUM. Pasal 1. Di dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
(1)"Hak Pengusahaan Hutan" adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu Kawasan Hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas perusahaan. (2) "Pemegang Hak Pengusahaan Hutan" adalah Badan Hukum Indonesia yang diberi Hak Pengusahaan Hutan oleh Menteri Pertanian. (3) "Areal Kerja Pengusahaan Hutan" adalah areal hutan yang dibebani Hak Pengusahaan Hutan. (4) "Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan" ialah ijin beserta ketentuan-ketentuannya yang diberikan oleh Menteri Pertanian untuk melaksanakan pengusahaan hutan atas suatu areal kerja Pengusahaan Hutan. (5) "Hak Pemungutan Hasil Hutan" adalah hak untuk menebang menurut kemampuan yang meliputi areal hutan paling luas 100 (seratus) ha untuk jangka waktu selama-lamanya 2(dua) tahun serta untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dalam jumlah yang ditetapkan dalam surat ijin yang bersangkutan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan. (6) "Rencana Karya Pengusahaan Hutan" adalah rencana kegiatan-kegiatan yang meliputi seluruh areal kerja Pengusahaan Hutan selama berlangsungnya Pengusahaan Hutan. (7) "Kewajiban finansiil Pemohon Hak Pengusahaan Hutan" adalah semua biaya yang dibebankan kepada pemohon sejak masuknya surat permohonan sampai dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pertanian. (8) "Usaha secara nyata dalam melaksanakan Hak Pengusahaan Hutan" adalah persiapan di lapangan sekurang-kurangnya ada base camp terdiri dari bangunan-bangunan dan peralaran-peralatan untuk melaksanakan pengusahaan hutan. BAB II. SYARAT PERMOHONAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN KEWAJIBAN PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMEGANG HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN. Pasal 2.
(1)Syarat-syarat dan cara mengajukan permohonan serta cara memberikan Hak Pengusahaan Hutan ditetapkan oleh Menteri Pertanian. (2) Biaya yang sehubungan dengan pelaksanaan dari pada ayat (1) pasal ini dibebankan kepada pihak pemohon dan diserahkan kepada Instansi yang sierahi tugas/wewenang mengurus Kehutanan, yang berupa:
Biaya survey.
- Uang Muka penyelesaian pelaksanaan.(3)
Pelaksanaan dari pada ayat (2) tersebut di atas akan diatur lebih, lanjut oleh Menteri Pertanian. Pasal 3.
(1)Pemegang Hak Pengusahaan Hutan wajib membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan, Iuran Hasil Hutan dan lain-lain pembayaran dengan peraturan yang berlaku. (2) Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan wajib membayar Iuran Hasil Hutan dan lain-lain pembayaran sesuai dengan peraturan yang berlaku. (3) Pemegang Hak Pengusahaan Hutan wajib membuat Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang terdiri atas:
Rencana Karya Tahunan yang harus diserahkan untuk disetujui Menteri Pertanian dua bulan sebelum penebangan dimulai;
Rencana Karya Lima tahun yang harus diserahkan untuk disetujui Menteri Pertanian dalam waktu satu tahun setelah dikeluarkan Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan, c. Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang meliputi seluruh jangka waktu Pengusahaan Hutan yang harus diserahkan untuk disetujui Menteri Pertanian dalam waktu tiga tahun setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan.
(4)Pemegang Hak Pengusahaan Hutan wajib mengelola areal Pengusahaan Hutan berdasarkan Rencana Karya Pengusahaan Hutan serta mentaati segala ketentuan dibidang Kehutanan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 4. Pemegang Hak Pengusahaan Hutan wajib mentaati segala ketentuan dibidang perburuhan menurut peraturan yang berlaku serta diwajibkan untuk memperkerjakan secukupnya tenaga-tenaga ahli Kehutanan yang memenuhi persyaratan menurut penilaian Menteri Pertanian terutama dibidang : a.Perencanaan dan Penataan Hutan; b.Pengelolaan Hutan, c.Pengukuran dan Pengujian Kayu. Pasal 5. Pemegang Hak Pengusahaan Hutan diwajibkan untuk dengan sungguh-sungguh mendirikan Industri Pengelolaan Hasil Hutan di Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang disyahkan oleh Menteri Pertanian. Pasal 6.
(1)Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan. (2) Pelaksanaan tersebut dalam ayat (1) pasal ini harus seijin Pemegang Hak Pengusahaan Hutan yang diwajibkan meluluskan pelaksanaan hak tersebut pada ayat (1) pasal ini yang diatur dengan suatu tata-tertib sebagai hasil musyawarah antara Pemegang Hak dan Masyarakat Hukum Adat dengan bimbingan dan pengawasan Dinas Kehutanan. (3) Demi keselamatan umum, didalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan. Pasal 7. Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan wajib memberikan semua data dan bantuan kepada petugas-petugas yang melaksanakan pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk itu maupun petugas- petugas Kehutanan. BAB III. PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN. Pasal 8.
(1)Hak Pengusahaan Hutan pada dasarnya hanya diberikan untuk penebangan dengan cara tebang pilih atas dasar kelestarian hutan pengolahan dan pemasaran hasil hutan, dengan dibebani kewajiban untuk, mengadakan pemudaan secara alami atau buatan dan pemeliharaan hutannya. (2) Dalam Kawan Hutan dapat dibuka tanah baik untuk penanaman bahan makanan guna keperluan sendiri maupun untuk bangunan-bangunan, jalan-jalan darat dan air, jembatan-jembatan dan lain-lain yang langsung diperlukan dalam pelaksanaan pengusahaan hutan tersebut, satu dan lain sebagaimana tercantum pada Rencana Karya Pengusahaan Hutan. Bangunan-bangunan, jalan-jalan darat dan air, jembatan-jembatan tersebut diatas menjadi milik Negara pada waktu Hak Pengusahaan Hutan berakhir. Pasal 9. Hak Pengusahaan Hutan dapat diberikan kepada :
Perusahaan milik Negara;
Perusahaan Swasta, c. Perusahaan campuran. Pasal 10.
(1)Hak Pengusahaan Hutan diberikan untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang apabila tidak bertentangan dengan kepentingan umum. (2) Luas areal hutan yang diberikan sebagai areal kerja kepada Pemegang Hak sebagaimana dilukiskan pada peta lampiran Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan yang dikeluarkan Menteri Pertanian sekaligus merupakan penetapan Kawasan Hutan. (3) Luas areal hutan yang diberikan kepada Pemohon Hak Pengusahaan Hutan adalah sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan dan target produksi yang diajukan oleh yang bersangkutan dan disuahkan oleh Menteri Pertanian. (4) Atas Hutan Lindung, Hutan Suaka Alam, Hutan Wisata dan Hutan dengan peruntukan khusus lainnya tidak dapat diberikan Hak Pengusahaan Hutan maupun Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pasal 11.
(1)Hak Pemungutan Hasil Hutan hanya dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia dan Badan-badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. (2) Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan tidak boleh menangkap dan mengeluarkan Margasatwa dan tumbuh-tumbuhan yang dilindungi. Pasal 12.
(1)Hak Pengusahaan Hutan diberikan oleh Menteri Pertanian setelah mendengar pendapat Gubernur/Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan. (2) Hak Pemungutan Hasil Hutan diberikan oleh Gubernur/Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan sesuai dengan petunjuk-petunjuk Menteri Pertanian. BAB IV. HAPUSNYA HAK PENGUSAHAAN HUTAN. Pasal.13.
(1)Hak Pengusahaan Hutan hapus karena :
Jangka waktu yang diberikan telah berakhir;
Dicabut, oleh Menteri Pertanian sebagai sanksi yang dikenakan kepada Pemegang Hak Pengusahaan Hutan;
Diserahkan kembali oleh Pemegang Hak Pengusahaan Hutan kepada Pemerintah sebelum jangka waktu yang diberikan berakhir.
(2)Berakhirnya Hak Pengusahaan Hutan atas dasar ketentuan ayat (1) pasal ini tetap mewajibkan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan untuk :
melunasi Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan luran Hasil Hutan serta lain-lain kewajiban finansiil terhadap Pemerintah;
melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya Hak Pengusahaan Hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BAB V. SANKSI. Pasal 14. Hak Pengusahaan Hutan dicabut karena:
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan tidak membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan pada waktu yang telah ditentukan sebagaimana tertera dalam surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan;
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan tidak membayar Iuran Hasil Hutan terhadap kayu yang telah dikeluarkan dari areal Perusahaan hutannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, c. Pemegang Hak Pengusahaan Hutan tidak melaksanakan usahanya secara nyata dalam waktu 180 hari setelah Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan dikeluarkan, d. Pemegang Hak Pengusahaan Hutan tidak menyerahkan Rencana Karya Tahunan, Rencana Karya Lima Tahun dan Rencana Karya Pengusahaan Hutan menurut ketentuan pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini;
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan meninggalkan arealnya dan pekerjaannya sebelum Hak Pengusahaan Hutan berakhir;
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan tidak mendirikan Industri Pengolahan Hasil HUtan menurut ketentuan pasal 5 tersebut diatas;
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan tidak mengindahkan tegoran dan peringatan yang telah diberikan tiga kali berutur-turut oleh yang berwajib. Pasal 15. Luas areal yang dibebani Hak Pengusahaan Hutan dapat dikurangi karena Pemegang Hak tidak berhasil memenuhi target produksi sebagaimana telah ditetapkan dalam Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang telah disyahkan oleh Menteri Pertanian. Pasal 16.
(1) Tindakan yang menjalani ketentuan-ketentuan yang berlaku dan kelalaian-kelalaian dari pada Pemegang Hak yang mengakibatkan kerusakan hutan, dijatuhi denda sesuai dengan berat serta intensitas kerusakan yang ditimbulkan dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Pertanian. (2) Pemegang Hak yang meninggalkan usahanya sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pengusahaan. Hutannya tanpa pemberitahuan kepada serta ijin dari Pemerintah, segala milik perusahaannya disita untuk Negara. BAB VI. KETENTUAN LAIN-LAIN. Pasal 17. Ijin "Konsensi Hutan", "Persil Penebangan "dan" Hak Pengusahaan Hutan" yang telah dikeluarkan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, akan ditinjau. kembali dan disesuaikan dengan jiwa dan bunyi pasal-pasal Peraturan Pemerintah ini. Pasal 18. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka ketentuan yang tercantum dalam Bab II pasal-pasal 9, 10, 11 dan 12 Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1957 tentang Penyerahan sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat dilapangan Perikanan Luat, Kehutanan dan Karet Rakyat kepada Daerah-daerah Swatantra tingkat I, sepanjang mengenai Eksploitasi Hutan, dicabut. BAB VII. KETENTUAN PENUTUP. Pasal 19. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta. pada tanggal 23 Mei 1970. SOEHARTO. Jenderal TNI. Diundangkan di Jakarta. pada tanggal 23 Mei 1970. SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ALAMSJAH. Mayor Jenderal TNI. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1970 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN. PENJELASAN UMUM. Penggalian kekayaan alam yang berupa hutan secara intensif merupakan suatu unsur pelaksanaan dari pada Pembangunan Ekonomi Nasional. Penggalian kekayaan hutan secara maksimal harus dilaksanakan dengan pengusahaan hutan secara modern di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan pada jaman sebelum perang dunia ke- II dulu, pengusahaan hutan di Indonesia terutama hanya dilakukan terhadap hutan jati di Jawa dan Madura. Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang mengatur tentang pengusahaan hutan dalam pasal 13 dan 14, Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, maka pengusahaan hutan di Indonesia mengalami perkembangan yang melonjak sehubungan dengan besarnya minat dari pengusaha baik Asing maupun Nasional, untuk menanam modalnya di bidang kehutanan. Dengan ikut sertanya modal swasta baik asing maupun Nasional, maka dimungkinkan pengusahaan hutan secara intensif dan modern dengan memanfaatkan pengalaman dan keahlian dari Negara- negara yang lebih maju di bidang ini. Pengusahaan hutan dengan tehnik modern akan memberikan hasil yang sebesar-besarnya, apabila dilaksanakan di daerah/wilayah kerja yang cukup luas, sehingga merupakan proyek-proyek produksi dan industri hasil hutan yang besar yang memberikan sumbangan kepada pembangunan ekonomi Nasional. Kebijaksanaan serta koordinasi dalam rangka pengusahaan hutan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik yang berdasar penanaman Modal Asing maupun Modal Dalam Negeri, dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, namun hal ini tidak mengabaikan kepentingan Daerah, dimana pengusahaan hutan itu dilaksanakan. Dalam hal di atas areal hutan yang dibebani Hak Pengusahaan Hutan menurut kenyataannya ada hak ulayat dan/atau hak-hak rakyat lainnya berdasarkan Hukum Adat yang masih hidup, pelaksanaannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi pelaksanaan Pengusahaan Hutan yang bersangkutan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan. Perlu ditegaskan di sini bahwa dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang bersumber pada Undang-undang Pokok Kehutanan serta dengan memperhatikan pelaksanaan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri di bidang Kehutanan, maka untuk menghindarkan timbulnya dualisme dalam pelaksanaan pemberian Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, perlu dicabut Bab II pasal-pasal 9, 10, 11 dan 12 Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat di lapangan Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat kepada Daerah-daerah Swatantra Tingkat I, sepanjang mengenai Eksploitasi Hutan. Yang dimaksud dengan istilah "Eksploitasi Hutan" dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1957 maknanya sama dengan istilah "Pengusahaan Hutan" yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Dengan dicabutnya Bab II pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1957, maka hapuslah wewenang yng diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk memberikan surat ijin eksploitasi hutan, yang berupa. a.Izin Konsesi Hutan, yaitu untuk jangka waktu selama-lamanya 20 tahun dan untuk wilayah hutan seluas-luasnya 10.000 ha. b.Izin persil penebangan, yaitu untuk jangka waktu selama-lamanya 5 tahun dan untuk wilayah hutan seluas-luasnya 5.000 ha. c.Izin penebangan, yaitu untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dalam jumlah tertentu untuk jangka waktu selama- lamanya 2 tahun. Sebagai gantinya berlaku ketentuan-ketentuan pada Bab III Peraturan Pemerintah ini tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan pasal 13 jo. Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) dan (5). Mengingat pentingnya Pengusahaan Hutan serta dalam rangka menjaga asas kelestariaan hutan maka pemberian Hak Pengusahaan Hutan disertai berbagai syarat dan kewajiban terhadap Pemegang Hak sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan yang dimuat baik dalam Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan, maupun yang diatur tersendiri dengan peraturan lainnya. Oleh karena itu guna memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan pemberian, hak Pengusahaan Hutan, ketentuan persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang dipandang penting baik dari pihak Pemerintah maupun dari pihak Pengusaha perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Ayat (5) Dengan pemungutan hasil Hutan di sini dimaksudkan cara pengambilan kayu dan lain-lain hasil hutan secara kecil- kecilan yang dilakukan dengan izin pemerintah Daerah. Berhubung dengan ini maka luas areal hutan yang dipungut hasilnya dibatasi paling luas sampai 100 ha (seratus hektare) dan waktunya dibatasi pula selama-lamanya 2 (dua) tahun. Surat izin pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan dengan syarat-syaratnya diberikan oleh Gubernur/Kepala Daerah Propinsi cq. Kepala Dinas Kehutanan sesuai dengan petunjuk Menteri Pertanian. Dalam kenyataan pemungutan Hasil Hutan yang berupa penebangan kayu untuk keperluan lokal memakan waktu yang tidak sedikit sehingga penebangan seluas 100 ha tidak akan habis dilaksanakan dalam waktu 2 tahun. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Dalam mengusahakan hutan secara besar-besaran diperlukan tenaga kerja yang tidak sedikit jumlahnya dan dipekerjakan di tengah-tengah hutan, yang pada umumnya jauh dari kota. Dalam hubungan kerja ini para Pemegang Hak Pengusahaan Hutan diwajibkan mentaati segala ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan di bidang perburuhan. Untuk menjaga kelestarian hutan dan berhasilnya pengusahaan hutan, maka ada kegiatan-kegiatan yang pelaksanaannya harus dilaksanakan oleh ahli kehutanan terutama di bidang: a. Perencanaan dan Penataan Hutan; b. Pengelolaan Hutan; c. Pengukuran dan Pengujian kayu. Oleh karena itu para Pemegang Hak Pengusahaan Hutan diwajibkan untuk mempekerjakan tenaga-tenaga ahli kehutanan yang keahliannya perlu dinilai dan diakui oleh Menteri Pertanian. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Ayat (3) Di atas areal hutan yang sedang dilakukan penebangan dalam rangka pelaksanaan pengusahaan hutan, untuk keselamatan dan keamanan umum, maka dalam hal di sekitar hutan yang bersangkutan memang ada hak-hak rakyat berdasarkan Hukum Adat yang masih hidup untuk memungut hasil hutan, pelaksanaannya ditangguhkan sampai pekerjaan penebangan di atas areal hutan yang bersangkutan selesai. Pasal 7. Cukup jelas. Pasal 8. Ayat (1) Guna menjamin kelestarian hutan, maka pada dasarnya eksploitasi hutan rimba hanya dilaksanakan secara tebang pilih yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Pedoman Umum Eksploitasi Hutan. Penebangan, penyadaran dan pengangkutan kayu tidak jarang mengakibatkan kerusakan-kerusakan di dalam atau di sekitar hutan yang dikerjakan, maka sesuai dengan azas kelestarian hutan, Pemegang Hak Pengusahaan Hutan, wajib menanami kembali bidang- bidang yang rusak tersebut, di samping kewajibannya untuk memelihara peremajaan hutan secara alami. Pasal 9. a. Yang dimaksud dengan Perusahaan Milik Negara adalah Perusahaan milik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang didirikan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. b. Yang dimaksud dengan Perusahaan Swasta adalah Perusahaan Swasta Nasional maupun Perusahaan Swasta Asing yang berbadan Hukum Indonesia. c. Yang dimaksud dengan Perusahaan Campuran adalah usaha bersama antara Perusahaan Milik Negara atau Perusahaan Swasta Nasional dengan Perusahaan Swasta Asing, atau Perusahaan Milik Negara dengan Perusahaan Swasta Nasional dengan mendirikan Badan Hukum Indonesia. Pasal 10. Cukup jelas. Pasal 11. Ayat (2) Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan tidak diperkecualikan dari ketentuan peraturan perundangan tentang pemburuan serta yang mengatur tentang perlindungan terhadap binatang liar dan mengatur tentang tumbuh-tumbuhan yang dilindungi. Pasal 12. Ayat (1) Guna kelancaran dan pengamanan pelaksanaan nantinya, Gubernur/Kepala Daerah Propinsi dalam menyiapkan pendapatnya, meminta pertimbangan-pertimbangan dari Muspida setempat. Pasal 13 sampai dengan pasal 19. Cukup jelas. -------------------------------- CATATAN Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1970 YANG TELAH DICETAK ULANG Sumber: LN 1970/31; TLN NO. 2935
Webmentions
Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.