Penetapan Presentasi dari Beberapa Penerimaan Negara untuk Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1959

Kerangka<< >>

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1959 TENTANG PENETAPAN PRESENTASI DARI BEBERAPA PENERIMAAN NEGARA UNTUK DAERAH Presiden Republik Indonesia, Berkehendak: Melaksanakan lebih lanjut ketentuan dalam "Undang-undang Pertimbangan Keuangan 1957", khususnya untuk menetapkan bagian daerah dari hasil yang diperoleh berdasarkan pasal 4 ayat (1) dan (2) dan pasal 5 ayat (1); Memperhatikan: Keputusan Panitia II (Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan) Musyawarah Nasional pada tanggal 15 September 1957, yang antara lain menyarankan agar supaya: a. dalam peraturan pelaksanaan perimbangan keuangan, bagian- bagian yang diperoleh masing-masing daerah dari pajak yang dipungut (dikenakan di dalam wilayahnya, ditetapkan secara mutlak, menurut sifat pajak dan keadaan daerah masing- masing); b. daerah-daerah sejauh mungkin dan secara langsung , dapat memperoleh bagiannya masing-masing; Menimbang:

  1. bahwa Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1958 (Lembaran- Negara 1958 No. 23) hanya berlaku untuk tahun anggaran 1958;

  2. bahwa perimbangan keuangan berdasarkan "Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957" sesuai dengan kebijaksanaan keuangan Pemerintah sebagai yang telah ditentukan dalam anggaran Negara 1959 perlu mendapat penyelenggaraan lebih lanjut dalam tahun 1959;

  3. bahwa berhubung dengan itu dan sejalan dengan saran Musyawarah Nasional dimaksud di atas, sebagai tindakan sementara pasal 4 ayat (1) dan (2) dan pasal 5 ayat (1) "Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957" dilaksanakan demikian sehingga masing-masing daerah secara langsung dapat memperoleh bagiannya;

  4. bahwa dengan mengetahui secara langsung dan kongkrit sumber- sumber penghasilan daerah dan jumlah penghasilan dari sumber- sumber itu, daerah-daerah dapat segera menuju kearah penyusunan anggaran keuangan yang normal; Mengingat:

  1. "Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957" (Undang-undang No. 32 tahun 1956, Lembaran-Negara 1956 No. 77);

  2. pasal 1 ayat (1) dan (2), pasal 2 dan pasal 73 "Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956" (Undang-undang No. 1 tahun 1957, Lembaran-Negara 1957 No. 6);

  3. Undang-undang tentang Penetapan Anggaran Negara Bagian III dan IV tahun 1959;

  4. pasal 98 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Mendengar:

  5. Panitia Negara Perimbangan Keuangan;

  6. Dewan Menteri dalam sidangnya pada tanggal 25 Maret 1959; Memutuskan Menetapkan: Peraturan Pemerintah tentang penetapan persentasi dari beberapa penerimaan Negara untuk Daerah. Pasal 1.

    (1)

    Bagian dari penerimaan pajak pendapatan ("Ordonansi pajak peralihan 1944", Staatsblad 1944 No. 17 jo. Undang-undang No. 21 tahun 1957, Lembaran-Negara 1957 No. 41) seperti: dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf a "Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957", sepanjang mengenai ketetapan besar, ditetapkan sebesar:

    1. 60% (enam puluh persen) bagi daerah-daerah tingkat I, kecuali Daerah tingkat I Jakarta Raya, b. 10% (sepuluh persen) bagi Daerah tingkat I Jakarta Raya, c. 30% (tiga puluh persen) bagi daerah-daerah tingkat II, kecuali daerah-daerah tingkat II (Kotapraja) Surabaya, Kediri, Malang, Semarang, Bogor, Bandung, Palembang, Tanjungkarang/Teluk Betung, Pangkalpinang, Medan, Padang, Pontianak dan Daerah-daerah tingkat II (Kabupaten lama) Bondowoso, Panarukan, Jember, Banyuwangi, Musi/Banyuasin, Deli/Serdang, Simelungun, dan bagian itu diserahkan kepada masing-masing daerah, dalam wilayah mana pajak tersebut dipungut.

    (2)

    Kepada daerah-daerah tingkat II dimaksud di bawah ini diserahkan persentasi, sebagai tertera di belakang nama daerah-daerah tingkat II tersebut, dari pajak pendapatan dimaksud dalam ayat (1), dalam wilayah mana pajak tersebut dipungut. Daerah tingkat II.

    1. (Kotapraja) :

  7. Surabaya 3% (tiga persen) 2. Kediri 15% (lima belas persen) 3. Malang 3% (tiga persen) 4. Semarang 3% (tiga persen) 5. Bogor 3% (tiga persen) 6. Bandung 3% (tiga persen) 7. Palembang 3% (tiga persen) 8. Tanjung Karang/Teluk Betung 3% (tiga persen) 9. Pangkalpinang 8% (delapan Persen) 10. Padang 3% (tiga persen) 11. Medan 3% (tiga persen) 12. Pontianak 6% (enam persen). Daerah tingkat II:

    1. (Kabupaten lama):

  8. Bondowoso 8% (delapan persen) 2. Panarukan 3% (tiga persen) 3. Jember 3% (tiga persen) 4. Banyuwangi 3% (tiga persen) 5. Musi/Banyuasin 3% (tiga persen) 6. Deli/Serdang 3% (tiga persen) 7. Simelungun 20% (dua puluh persen).

    (3)

    Bagian dari penerimaan pajak pendapatan seperti dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf a, "Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957", sepanjang mengenai ketetapan kecil, ditetapkan bagi daerah-daerah tingkat II sebesar 90% (sembilan puluh persen) dan bagian itu diserahkan kepada masing-masing daerah, dalam wilayah mana pajak tersebut dipungut. Pasal 2.

    (1)

    Bagian dari penerimaan pajak upah ("Ordonansi pajak upah 1934", Staatsblad No. 611) seperti dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf b "Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957", ditetapkan sebesar:

    1. 90% (sembilan puluh persen) bagi daerah-daerah tingkat II, kecuali Daerah-daerah tingkat II (Kotapraja) Surabaya, Semarang, Bogor, Bandung, Palembang, Tanjungkarang/Teluk Betung, Padang, Medan dan Daerah- daerah tingkat II (Kabupaten lama) Panarukan, Jember, Banyuwangi, Deli/Serdang, dan bagian itu diserahkan kepada masing-masing daerah, dalam wilayah mana pajak tersebut dipungut.

    2. 10%(sepuluh persen) bagi Daerah tingkat I Jakarta Raya.

    (2)

    Kepada daerah-daerah tingkat II dimaksud di bawah ini diserahkan persentasi, sebagai tertera di belakang nama daerah-daerah tingkat II tersebut, dari pajak upah dimaksud dalam ayat (1), dalam wilayah mana pajak tersebut dipungut. Daerah tingkat II:

    1. (Kotapraja):

  9. Surabaya 30% (tiga-puluh persen) 2. Semarang 75% (tujuh puluh lima Persen) 3. Bogor 65% (enam puluh lima persen) 4. Bandung 70% (tujuh puluh persen) 5. Palembang 60% (enam puluh persen) 6. Tanjungkarang/Teluk Betung 55% (lima puluh lima persen) 7. Padang 70% (tujuh puluh persen) 8. Medan 6% (enam persen). Daerah tingkat II: B (Kebupaten lama):

  10. Panarukan 80% (delapan puluh persen) 2. Jember 5% (lima persen) 3. Banyuwangi 75% (tujuh puluh lima persen) 4. Deli/Serdang 60% (enam puluh persen). Pasal 3.

    (1)

    Bagian dari penerimaan pajak meterai ("Peraturan bea meterai 1921 ", Staatsblad 1921 No. 498) seperti dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf c "Undang-undang Pertimbangan Keuangan 1957", ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen) bagi daerah-daerah tingkat I, kecuali Daerah tingkat I Jakarta Raya, dan bagian itu diserahkan kepada masing-masing daerah dalam wilayah mana pajak tersebut dipungut.

    (2)

    Kepada Daerah tingkat I Jakarta Raya diserahkan 2% (sepuluh persen) dari penerimaan pajak meterai dalam wilayah mana pajak tersebut dipungut. Pasal 4.

    (1)

    Bagian dari penerimaan:

    1. pajak kekayaan ("Ordonansi pajak kekayaan 1932", Staatsblad 1932 No. 405).

    2. pajak perseroan ("Ordonansi pajak perseroan 1925" Staatsblad 1925 No. 319) seperti dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) "Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957" ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dan bagian itu diserahkan kepada masing-masing daerah tingkat I, kecuali Daerah tingkat I Jakarta Raya, dalam wilayah mana pajak tersebut dipungut.

    (2)

    Kepada Daerah tingkat I Jakarta Raya diserahkan 10% (sepuluh persen) dari pajak kekayaan dan 0,25% (dua puluh lima per seratus persen), dari pajak perseroan dalam wilayah mana pajak-pajak tersebut dipungut. Pasal 5.

    (1)

    Bagian dari penerimaan:

    1. bea masuk.

    2. bea keluar, seperti dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) "Undang- undang Perimbangan Keuangan 1957" ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dan bagian itu diserahkan kepada masing-masing daerah tingkat I, kecuali Daerah tingkat I Jakarta Raya, dalam wilayah mana bea-bea tersebut dipungut.

    (2)

    Kepada Daerah tingkat I Jakarta Raya diserahkan 0,5% (lima persepuluh persen) dari penerimaan bea masuk dan bea keluar dalam wilayah mana bea-bea tersebut dipungut. Pasal 6.

    (1)

    Bagian dari penerimaan cukai seperti dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) "Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957" ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dan bagian itu diserahkan kepada masing-masing daerah tingkat I, kecuali Daerah tingkat I Jakarta Raya, dalam wilayah mana cukai tersebut dipungut.

    (2)

    Kepada Daerah tingkat I Jakarta Raya diserahkan 2% (dua persen) dari penerimaan cukai, dalam wilayah mana cukai tersebut dipungut.

    (3)

    Mengenai cukai minyak tanah pemberian bagian kepada masing- masing daerah tingkat I didasarkan atas pemakaian minyak tanah di daerah itu. Pasal 7.

    (1)

    Penyerahan tersebut pasal 1 sampai dengan 4 dilaksanakan oleh Kantor Pusat Perbendaharaan Negara atas permintaan dari Kantor Inspeksi Keuangan yang bersangkutan.

    (2)

    Penyerahan tersebut pasal 5 dan 6 dilaksanakan oleh Kantor pusat Perbendaharaan Negara atas permintaan dari Kantor Daerah Bea-Cukai yang bersangkutan.

    (3)

    Penyerahan tersebut pasal 5 dan 6, yang tidak dipungut melalui sesuatu Kantor Bea-Cukai, diatur oleh Kantor Besar Jawatan Bea-Cukai.

    (4)

    Penyerahan-penyerahan tersebut ayat (1), (2) dan (3) dilakukan tiap-tiap bulan.

    (5)

    Pengeluaran-pengeluaran tersebut ayat (1), (2) dan (3) dibebankan atas mata-anggaran 4.1.7.36 dari anggaran belanja tahun 1959 dari Kementerian Keuangan. Pasal 8.

    (1)

    Menteri Dalam Negeri dapat memberikan ganjaran, subsidi dan sumbangan dalam arti pasal 7, 8 dan 9 "Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957" kepada daerah-daerah.

    (2)

    Pengeluaran tersebut ayat (1) dibebankan atas anggaran belanja tahun 1959 dari Kementerian Dalam Negeri. Pasal 9. Pelaksanaan selanjutnya serta penyelesaian persoalan yang timbul dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dalam instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Pasal 10. Peraturan ini berlaku untuk tahun anggaran 1959. Pasal 11. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan berlaku surut sampai 1 Januari 1959. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 April 1959. Presiden Republik Indonesia, ttd. SOEKARNO. Menteri Keuangan, ttd. SOETIKNO SLAMET. Menteri Dalam Negeri ttd. SANOESI HARDJADINATA. Diundangkan pada tanggal 25 April 1959, Menteri Kehakiman, ttd. G. A. MAENGKOM. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMEINTAH No. 14 TAHUN 1959 tentang PENETAPAN PERSENTASI DARI BEBERAPA PENERIMAAN NEGARA UNTUK DAERAH. I. UMUM. 1. Seperti telah dimaklumi Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1958 hanya berlaku untuk tahun anggaran 1958 dan guna melaksanakan lebih lanjut dari perimbangan keuangan dalam tahun anggaran 1959, sesuai dengan anggaran Negara Bag. III dan IV tahun 1959, khusus untuk mengatur pelaksanaan pasal 4 dan 5 "Undang-undang Perimbangan Ksuangan 1957" guna penetapan persentasi/bagian bagi semua daerah berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah dalam batas-batas kesanggupan keunagannya, dipandang perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah ini.

  11. Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1958, maka Pemerintah dalam tahun 1958 telah dapat memperoleh bahan-bahan dan angka-angka seperlunya, sehingga dalam tahun 1959 Pemerintah dapat mengambil langkah setapak lebih lanjut dan lebih riil terhadap pelaksanaan perimbangan keuangan antara Negara dan daerah.

  12. Dengan mempergunakan bahan-bahan, yang telah diperleh itu serta menghapuskan kelemahan-kelemahan, yang ada pada Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1958 ditentukanlah dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain :

    1. Penghapusan adanya prinsip "plafond" seperti tercantum dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1958:

    2. Penetapan bagian untuk Kotapraja Jakarta Raya dari penerimaan pajak meterai pajak kekayaan, pajak perseroan, bea keluar/masuk dan cukai;

    3. Penetapan bagian bagi tiap-tiap Daerah tingkat I dari penerimaan cukai.

    4. Penetapan persentasi tersendiri terhadap beberapa. Daerah tingkat II (Kotapraja dan Kabupaten lama), yang tidak sama dengan bagian beberapa pajak Negara untuk Daerah-daerah yang bersamaan. Penetapan ini dianggap perlu diadakan. karena pada dasarnya perimbangan keuangan bertujuan antara lain untuk menggantikan pemberian tunjangan (subsidi dahulu) dengan sistim penyerahan sumber- sumber penghasilan Negara, yang menjadi endapat pokok dan tulang punggung dari keuangan Negara, sehingga dengan demikian daerah tidak lagi menggantungkan iri kepada Pemerintah Pusat dan dapat menuju kearah "self-suppporting" dengan mengintensivir sumber pendapatan daerah dan mengadakan sumber-sumber baru.

  1. Dari penetapan sebagian dari penerimaan cukai untuk tiap-tiap Daerah tingkat 1, tampaklah kemajuan dalam pelaksanaan dasar-dasar yang ditetapkan dalam "Undang- undang Perimbangan Keuangan 1957", sekalipun perimbangan keuangan sebagai yang dicita-citakan berdasarkan Undang-undang dimaksud masih belum mendapat realisasi sepenuhnya, satu dan lain karena pelaksanaan dan pemecahan persoalan dimaksud masih memerlukan banyak bahan-bahan keterangan dan waktu. II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Istilah yang dipakai sekarang ialah "pajak pendapatan" oleh karena istilah "pajak peralihan" sebagai tercantum dalam Ordonansi pajak peralihan 1944 (Staatsblad 1944 No. 17) sudah diganti dengan istilah "pajak pendapatan" sebagai termaktub dalam Undang-undang No. 21 tahun 1957 (Lembaran-Negara 1957 No 41). Adanya perbedaan mengenai sifat dan pajak pendapatan dalam pajak pendapatan ketetapan besar dan ketetapan kecil oleh Kepala Desa dibawah penilikan Pamongpraja. Inilah yang menjadi alasan untuk menetapkan pajak penapatan ketetapan kecil sebagai pajak, yang 90% dari penerimaannya diserahkan kepada Daerah-daerah tingkat II. Pasal 2. Pada dasarnya penerimaan pajak upah (Ordonanasi pajak upah 1934, Staatsblad 1934 No. 611) hanya diberikan sebagian kepada Daerah-daerah tingkat II, akan tetapi oleh karena dalam Kotapraja Jakarta Raya tidak terdapat Daerah-daerah tingkat II, maka dianggap perlu dan sudah pada tempatnya, bahwa sebagian dari pajak upah dimaksud diberikan pula kepada Daerah tingkat I Jakarta Raya. Pasal 3. Bagian dari penerimaan pajak meterai (Peraturan bea meterai 1921. Staatsblad 1921 No. 498) ditetapkan hanya untuk Daerah tingkat I, karena sukar diketahui dimana tempat kediaman sebenarnya dari pemakai meterai itu. Pasal 4. Berhubung dengan kenyataan, bahwa pajak kekayaan (Ordonansi pajak kekayaan 1932, Staatsblad 1932 No. 405) dan pajak perseroan. (Ordonansi pajak perseroan 1925, Staatsblad 1925 No. 319) selalu ditetapkan berdasarkan alasan-alasan yang senantiasa terdapat dalam lingkungan Daerah tingkat I. maka karena itulah sebagian dari penerimaan kedua pajak tersebut diserahkan kepada Daerah-daerah tingkat I. Pasal 5. Pada dasarnya penetapan bagian dari penerimaan bea keluar masuk diperuntukkan bagi Daerah-daerah tingkat I, karena penerimaan terebut merupakan hasil dari pada pemakaian serta pengeluaran barangbarang dari seluruh Daerah tingkat I yang bersangkutan. Didalam hal ini Daerah tingkat I Jakarta Raya, dengan adanya pelabuhan ekspor dan impor yang terpenting diwilayahnya dan yang dipergunakan untuk kepentingan seluruh Indonesia, memperoleh pula sebagian dari penerimaan bea keluar/masuk tersebut. Pasal 6. Ketentuan dalam pasal 6 ini merupakan pelaksanaan lanjutan dari pada perimbangan keuangan antara Pusat dan daerah untuk dapat memberikan jaminan terhadap sumber-sumber keuangan daerah seperti yang dimaksudkan dalam "Undang-undang Perimbangan Keuangan 1957". Seperti halnya tercantum dalam penjelasan dari pada pasal 5, maka bagian dari cukai ini ditetapkan untuk Daerahdaerah tingkat I, dalam wilayah mana cukai itu dipungut. Dalam ayat 3 diadakan ketentuan, bahwa mengenai cukai minyak tanah pemberian bagian didasarkan tas pemakaian. Hal ini disebabkan, karena pembayaran cukai minyak tanah itu dilakukan seluruhnya oleh Kantor Besar perusahaan-perusahaan minyak dan tidak oleh perusahaanperusahaan minyak setempat. Pasal 7. Cukup jelas. Pasal 8. Cukup jelas. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 10. Cukup jelas. Diketahui: Menteri Kehakiman, ttd. G. A. MAENGKOM. LEMBARAN NEGARA TAHUN 1959 NOMOR 26 DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 1760

Webmentions

Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.

Tanggapan (0):