Mahkamah Tentara Daerah Terpencil
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1947
Kerangka Peraturan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1947 TENTANG MAHKAMAH TENTARA DAERAH TERPENCIL Menimbang : bahwa dianggap perlu mengadakan Pengadilan Pengadilan Tentara Luar Biasa yang lebih mendekati suasana daerah pertempuran yang terpecil; Mengingat : Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1946 dan pasal 11 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1946; Memutuskan: Menetapkan Peraturan sebagai berikut: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG MAHKAMAH TENTARA DAERAH TERPENCIL. Pasal 1. Jika perlu berhubung dengan keadaan, Opsir tertinggi yang bertanggung jawab atas daerah pertempuran yang terpencil, untuk mana Pengadilan Tentara (Luar Biasa) yang bersangkutan tak dapat menjalankan kewajibannya, diberi hak membentuk suatu Pengadilan Tentara yang selanjutnya disebut Mahkamah Tentara Daerah Terpencil. Pasal 2. (1). Tiap-tiap Mahkamah Tentara Daerah Terpencil terdiri dari 3 anggota, termasuk pula Ketuanya, yang semuanya adalah Opsir. (2). Ketuanya serendah-rendahnya berpangkat Kapten, dan berkedudukan militer lebih tinggi daripada terdakwa yang perkaranya harus diadilinya, sedang anggota-anggota lainnya serendah-rendahnya berpangkat Letnan II. Apabila dalam suatu perkara Ketua tersebut tak memenuhi syarat tadi sebagai Ketua. (3). Paniteranya boleh seorang Opsir-rendah yang untuk itu ditunjuk oleh Ketua. (4). Opsir tersebut dalam pasal 1 menunjuk seorang Opsir, serendah-rendahnya Letnan II (selanjutnya disebut "Opsir -penuntut") yang menjalankan segala kekuasaan dan kewajiban Jaksa-Tentara. Pasal 3. Pada tiap-tiap Mahkamah Tentara Daerah Terpencil sedapat mungkin ditunjuk oleh Opsir tersebut dalam pasal 1 seorang ahli-hukum yang terdapat dalam daerah itu sebagai penasehat. Pasal 4. Dalam daerah-hukumnya, Mahkamah Tentara Daerah Terpencil menjalankan kekuasaan dan kewajiban Pengadilan Tentara (Luar biasa), dengan mengingat pasal-pasal dalam Peraturan ini. Pasal 5. Tempat kedudukan Mahkamah Tentara Daerah Terpencil, begitu pula hari-hari dan tempat sidangnya ditetapkan oleh Opsir tersebut dalam pasal 1. Pasal 6. Opsir tertinggi tersebut dalam pasal 1 memutuskan - setelah mendengar pendapat Opsir-penuntut - apakah suatu perkara yang termasuk kekuasaan Mahkamah tersebut, akan diselesaikan olehnya, ataukah - jika keadaan telah memungkinkan - dikirimkan kepada Pengadilan Tentara (Luar Biasa) lain, yang daerah hukumnya meliputi daerah-hukum Mahkamah Tentara Daerah Terpencil itu. Pasal 7. Mahkamah Tentara Daerah Terpencil mengadili dalam tingkatan pertama dan penghabisan. Pasal 8. (1). Opsir tertinggi tersebut dalam pasal 1 didalam waktu dua kali 24 jam sesudah keputusan diambil oleh Mahkamah Tentara Daerah Terpencil, harus sudah menerima laporan keputusan itu yang disampaikan kepadanya oleh Opsir-penuntut. (2). Segala keputusan Mahkamah Tentara Daerah Terpencil dapat segera dijalankan, jika dari pihak Opsir tertinggi tadi dalam waktu 24 jam sesudah keputusan tersebut diberitahukan kepadanya, tak diajukan keberatan-keberatan secara termaktub dalam ayat (3) berikut. (3). Opsir tertinggi tersebut dapat memajukan keberatan-keberatannya terhadap keputusan itu kepada Mahkamah Tentara Daerah Terpencil dengan perantaraan Opsir-penuntut, sedang olehnya dapat dipertangguhkan hal dijalankannya keputusan itu atas tanggungannya sendiri. Tentang hal inni - selekas mungkin perhubungan mengizinkan - ia melaporkan kepada Panglima Besar. (4). Selama perhubungan tak mengizinkan pelaporan itu, Opsir tertinggi tersebut berhak untuk menarik kembali keberatan-keberatan termaksud dalam ayat (3) dan Opsir-penuntut segera dapat menjalankan keputusan yang bersangkutan. Jika dianggap perlu oleh Opsir tertinggi tersebut, ia dapat memerintahkan, agar perkara yang bersangkutan diperiksa kembali oleh Mahkamah Tentara Daerah Terpencil, yang terdiri dari anggota-anggota lain yang untuk perkara itu saja ditunjuk olehnya (oleh Opsir tertinggi tersebut). (5). Jika Panglima Besar menyetujui pendapat Opsir tertinggi tersebut, ia meneruskan daftar perkaranya kepada Mahkamah Tentara Agung, yang dapat memeriksa perkaranya sendiri atau menunjuk suatu Pengadilan Tentara (Luar Biasa) untuk menyelesaikannya dalam tingkatan penghabisan. (6). Sebaliknya jika Panglima Besar menyetujui keputusan Mahkamah Tentara Daerah Terpencil seperti termaksud dalam ayat (2), maka ia memerintahkan untuk segera dijalankan keputusan tersebut, perintah mana tidak dapat dibatalkan lagi. Pasal 9. (1). Guna acara Mahkamah Tentara Daerah Terpencil termasuk pula pemeriksaan permulaan perkara, berlaku sebagai pedoman Undang-undang No. 8 - 1946, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan dalam Peraturan Pemerintah ini. (2). Opsir-penuntut boleh membawa siterdakwa kehadapan Pengadilan dengan tidak memperhatikan acara apapun juga. (3). Selanjutnya dipakai sebagai pedoman oleh Mahkamah Tentara Daerah Terpencil Titel 10 Bagian I dan III H.I.R. dengan memperhatikan hal-hal yang tersebut dalam pasal 337 dibawah A, B, C, E dan F. Jika dianggap perlu oleh Ketua, maka ia dapat memerintahkan kepada Opsir-penuntut untuk menambah pemeriksaan-permulaan. Untuk itu maka daftar perkara yang bersangkutan dikembalikan kepadanya. Pasal 10. Kecuali apa yang telah ditetapkan diatas, maka segala penyelenggaraan Peraturan Pemerintah ini dikerjakan dengan Penetapan Menteri Pertahanan. Pasal terakhir. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari diumumkan. Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 18 Agustus 1947. SOEKARNO Menteri Pertahanan, AMIR SJARIFOEDIN. Diumumkan pada tanggal 19 Agustus 1947. Sekretaris Negara, A.G. PRINGGODIGDO. PENJELASAN. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 1947 TENTANG PENGADILAN TENTARA DAERAH TERPENCIL. Penjelasan Umum. Berhubung dengan keadaan bahaya (keadaan perang) pada waktu sekarang ini, selainnya dibutuhkan penyelesaian perkara-perkara yang lebih cepat daripada yang sudah-sudah, juga mungkin sekali bahwa suatu pasukan tentara pada suatu waktu berada didalam daerah yang sama sekali terpencil dari daerah lainnya, dimana pengadilan Tentara (Luar Biasa) yang telah terbentuk tak dapat (tak mampu) menjalankan kewajibannya Didalam keadaan demikian, diharapkan bahwa pengadilan tetap berjalan pula, meskipun dengan bentukan lain. Setidak-tidaknya lebih baik jika ada pengadilan daripada tidak ada sama sekali. Maka dengan Peraturan Pemerintah ini dimungkinkan pembentukan yang dinamakan Mahkamah Tentara Daerah Terpencil, terdiri dari 3 anggota, termasuk Ketuanya, yang semuanya adalah Opsir. Adapun pangkat yang serendah-rendahnya ditentukan berturut-turut bagi jabatan Ketua, anggota-anggota lainnya, Panitera dan Opsir-penuntut pada Mahkamah Tentara Daerah Terpencil adalah dimaksudkan sebagai suatu jaminan kearah pengadilan yang baik, Disampingnya itu masih tetap berlaku azas yang tertera dalam pasal 11 ayat (3) Undang-undang No. 7-1946, yaitu bahwa Hakimnya berkedudukan militer lebih tinggi daripada kedudukan militer terdakwa yang perkaranya harus diadili, meskipun sekarang ini terbatas pada Ketuanya saja. Hal ini ditegaskan dalam pasal 2 ayat (2) Peraturan ini. Selanjutnya dimungkinkan pula oleh pasal 3 untuk sedapat mungkin ditunjuk orang ahli hukum yang terdapat didaerah yang terpencil itu sebagai penasehat. Kekuasaan Mahkamah Tentara Daerah Terpencil adalah lebih luas daripada Mahkamah Tentara (biasa atau Luar Biasa), karena (lihat pasal 4) perkara-perkara yang sebelum ada peraturan ini termasuk kekuasaan Mahkamah Tentara Agung dapat diselesaikan olehnya. Sebaliknya diadakan kesempatan bagi Opsir tertinggi yang bertanggung jawab atas daerah pertempuran tersebut untuk menimbang serta memutuskan - setelah mendengar pendapat Opsir-penuntut - apakah suatu perkara yang termasuk kekuasaan Mahkamah Tentara Daerah Terpencil akan diselesaikan olehnya, ataukah -jika keadaan telah memungkinkan - mengirimkan perkara termaksud kepada Pengadilan Tentara (Luar Biasa) lain yang daerah-hukumnya meliputi daerah-hukum Mahkamah Tentara Daerah Terpencil tersebut (Pasal 6). Dapat dikatakan secara singkat bahwa Opsir tertinggi yang bertanggung jawab atas sesuatu daerah pertempuran yang terpencil diberi beberapa hak yang berkenaan dengan penyelenggaraan pengadilan dalam daerahnya. Untuk mempercepat penyelesaian perkara-perkara, maka oleh Peraturan ini ditetapkan acara sumir bagi Mahkamah Tentara Daerah Terpencil itu. Bahkan kita tak usah mengindahkan syarat-syarat untuk memajukan perkara secara singkat, seperti berlaku buat Pengadilan Negeri, sehingga (lihat pasal 9) Opsir-penuntut dapat membawa setiap terdakwa kehadapan sidang Mahkamah Tentara Daerah Terpencil dengan tidak usah memperhatikan acara (formaliteit) apapun juga. Selanjutnya dipakai sebagai pedoman oleh Mahkamah Tentara Daerah Terpencil Titel 10 Bagian I dan III H.I.R. dengan memperhatikan hal-hal yang tersebut dalam pasal 337 H.I.R. dibawah A, B, C, E dan F. Dan Ketua dari Mahkamah Tentara Daerah Terpencil dapat memerintahkan kepada Opsir-penuntut untuk menambah pemeriksaan permulaan. Penjelasan pasal demi pasal. Pasal 1: Dengan perkataan Pengadilan Tentara termaksud pula Mahkamah Tentara Agung. Lihat selanjutnya pasal 4. Dalam perkataan Pengadilan Tentara Luar Biasa termasuk pula Mahkamah Tentara Sementara. Lihat Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1947. Pasal 2 ayat (1): Cukup jelas ayat (2): Azas bahwa Hakim yang mengadili suatu perkara harus berkedudukan militer lebih tinggi daripada terdakwanya, dalam peraturan ini, terbatas hanya pada Ketuanya saja. ayat (3): Yang dimaksud ialah bahwa Paniteranya serendah-rendahnya seorang Opsir-rendah. ayat (4): Sedapat mungkin hendaknya dipergunakan keahlian hukum yang terdapat dalam daerah tersebut, sehingga penyelesaian perkara dapat lebih sempurna daripada jika sama sekali tak dipergunakan pertimbangan seorang ahli-hukum. Pasal 4 : Ditegaskan disini bahwa kekuasaan Mahkamah Tentara Daerah Terpencil lebih luas daripada kekuasaan Mahkamah Tentara (Luar Biasa), karena perkara-perkara yang termasuk kekuasaan Mahkamah Tentara Agung dapat diadili olehnya Selanjutnya lihat pasal 2 ayat (2) dan pasal 6. Pasal 5 : Satu sama lain agar sesuai dengan keadaan daerah yang bersangkutan yang diketahui benar oleh Opsir tertinggi termaksud. Pasal 6 : Tak membutuhkan penjelasan. Pasal 7 : Untuk mempercepatkan penyelesaian perkara juga. Pasal 8 : Cukup jelas. Pasal 9 : Lihat penjelasan umum. Pasal 10 dan pasal terakhir : Tak membutuhkan penjelasan.
Webmentions
Anda dapat memberikan tanggapan atas peraturan ini dengan like, retweet/repost pada tweet yang mencantumkan tautan pada laman ini.